Kisah Si Pedang Terbang Jilid 06

Karena Kerajaan Tang sedang dalam keadaan lemah, dan banyak gerombolan pengacau yang menggunakan kesempatan mengail di air keruh, maka aliran-aliran itu pun mendapat angin. Banyak pula di antara mereka yang dimasuki gerombolan dari suku-suku dari barat dan utara, berlomba untuk mengeduk keuntungan dan kekuasaan.

Tiga orang datuk murid Sam-mo-ong juga tidak lepas dari pada pengaruh kelompok orang Mongol yang berhasil menarik mereka menjadi kaki tangan kepala suku Mongol. Karena maklum kalau hanya mempergunakan kekuatan anak buah saja mereka tidak akan dapat menguasai pedalaman, maka orang-orang Mongol kemudian mengutus tiga orang datuk untuk mengadakan hubungan dengan para pemimpin aliran Fa atau Hoat, mengharapkan bahwa aliran itu akan bisa membantu mereka menguasai daerah perbatasan di utara dan kemudian, bila keadaan memungkinkan, untuk mengembangkan dan memperluas daerah kekuasaan mereka jauh ke selatan.

Demikianiah, kemunculan Kwi-jiauw Lo-mo, Hek-bin Mo-ong dan Pek-bin Mo-ong di Bukit Ayam Emas itu ada hubungannya dengan tugas mereka mengadakan hubungan dengan para pimpinan Hoat-kauw yang berpusat di propinsi Kuang-si.

Mereka mencari tempat yang aman dan cukup sepi, dan mereka merasa cocok dengan tempat itu, jauh dari pasukan keamanan pemerintah, juga di situ mereka dapat melakukan pertemuan dengan aman tanpa diketahui oleh golongan lain. Selain itu, juga orang-orang dusun itu mudah mereka paksa untuk membantu mereka menjamu para pimpinan Hoat-kauw.

Ketika orang-orang yang datang untuk bersembahyang melihat betapa Liu Ma dan Han Lin lenyap, maka mereka menjadi ketakutan sekali, terutama sesudah wanita muda yang tadi dirangkul Hek-bin Mo-ong, begitu dilepaskan, saking takutnya wanita itu lalu lari menubruk dinding, sengaja membenturkan kepalanya pada dinding sehingga akhirnya dia pun roboh dan tewas dengan kepala retak berlumuran darah.

Kwi-jiauw Lo-mo mengerutkan alisnya, tak senang dengan adanya gangguan yang semua itu disebabkan ulah Hek-bin Mo-ong yang mata keranjang. "Kalian semua harus menaati kami, kalau tidak, kalian semua akan kami siksa seorang demi seorang sampai mati!"

Mendengar ini, tujuh orang pengunjung kelenteng itu, dua orang wanita setengah tua dan lima orang pria, menjadi ketakutan dan mereka segera menjatuhkan diri berlutut.

"Kami..., kami tidak berani, kami akan taat...," kata salah seorang di antara mereka, yang laki-laki dan yang masih mampu mengeluarkan suara.

"Baguslah kalau begitu!" kata Kwi-jiauw Lo-mo. "Sekarang kalian lima orang laki-laki cepat bawa mayat ini ke kebun belakang lalu kubur di sana, sedangkan kalian dua orang wanita, cepat pergi ke dusun lalu carikan kami daging ayam dan babi, juga sayur-sayuran, beras dan minuman arak. Ini uangnya dan cepat kalian kembali ke sini, mintalah bantuan orang dusun untuk membawakan semua itu. Beli sebanyak yang cukup untuk menjamu sepuluh orang dan awas, jangan macam-macam. Kalau kalian tidak menaati perintah kami, kepala kalian akan menjadi seperti ini!"

Kwi-jiauw Lo-mo menepuk singa-singaan batu dengan tangan kirinya, lantas kepala singa-singaan batu itu hancur berkeping-keping. Tentu saja ketujuh orang itu menjadi pucat dan semakin ketakutan.

"Dan kalau kalian mengajak penduduk dusun untuk menentang kami, maka dusun Libun akan kami bakar dan semua penghuninya kami lemparkan ke dalam api!"

Dua orang wanita itu hanya mengangguk-angguk, tidak berani mengeluarkan suara saking takutnya. Mereka menerima beberapa potong perak dari Kwi-jiauw Lomo, kemudian pergi meninggalkan kelenteng, sedangkan lima orang laki-laki itu segera mengangkat jenazah wanita yang membunuh diri, lalu membawanya ke kebun belakang untuk dikubur.

Penduduk dusun Libun menjadi geger ketika dua orang wanita itu pulang sambil menangis dan menceritakan semua peristiwa yang terjadi di kelenteng, betapa Liu Ma dan Han Lin dikejar kakek gendut muka hitam lantas hilang, betapa wanita muda itu dihina olehnya lalu membunuh diri dengan membenturkan kepala ke dinding, dan lima orang laki-laki ditahan di sana dan disuruh mengubur jenazah wanita yang membunuh diri.

Suami wanita itu menangis dan hendak nekat pergi ke kelenteng, membalaskan kematian isterinya. Akan tetapi dua orang wanita itu cepat memegangi tangannya sambil menangis, melarangnya pergi karena tiga orang kakek berikut seorang pemuda yang kini menguasai kelenteng nampaknya bukan orang biasa.

"Kakek yang gendut mirip katak itu tadi menampar kepala singa-singaan batu dan kepala singa itu hancur berantakan. Kami semua sangat ketakutan. Kalau engkau nekat ke sana, berarti hanya mengantar nyawa!"

Kepala dusun itu segera datang dan setelah mendengar laporan dua orang wanita itu, dia pun mengerutkan alisnya.

"Dan di mana adanya tiga orang losuhu yang mengurus kelenteng?" tanyanya.

"Kami tidak tahu, mereka tidak nampak. Tapi menurut pendengaran kami dari percakapan manusia-manusia iblis itu, agaknya ketiga orang losuhu itu juga telah mereka bunuh. Kami pun merasa khawatir sekali akan nasib Liu Ma. Ketika itu dia dilarikan anaknya, kemudian dikejar oleh si gendut muka hitam dan kami mendengar teriakan mengerikan dari Liu Ma yang memanggil anaknya, kemudian tidak terdengar apa-apa lagi."

Dua orang wanita itu lantas menceritakan betapa mereka berdua diberi perak dan disuruh berbelanja untuk membuat masakan, untuk menjamu sepuluh orang di kelenteng itu.

"Aku harus membalas kematian isteriku!" Suami yang kehilangan isterinya itu berseru dan teman-temannya juga mendukungnya.

Kepala dusun yang sudah setengah tua itu mengangkat kedua tangannya, minta supaya warganya tenang. "Memang kita tidak bisa membiarkan saja orang-orang jahat menguasai kelenteng kita itu. Akan tetapi menurut keterangan dua orang ini, mereka adalah orang-orang yang sangat tangguh dan lihai. Karena itu kita tidak boleh gegabah dan menyerang begitu saja. Kita harus menghimpun tenaga yang ada, karena hanya dengan jumlah yang banyak saja kita akan mampu menandingi dan mengusir mereka dari sini."

Semua orang menyatakan setuju dan setelah semua lelaki di dusun Libun dikumpulkan, dari yang berusia dua puluh sampai empat puluh tahun, ternyata jumlah mereka ada tiga puluh orang lebih. Yang usianya kurang dari dua puluh atau lewat empat puluh, dilarang ikut pergi oleh kepala dusun.

Kemudian berbondong-bondong mereka mendaki bukit menuju kelenteng, dipimpin sendiri oleh kepala dusun Can. Kepala dusun Can adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap. Usianya sekitar empat puluh lima tahun, namun dia seorang pemberani dan dibandingkan para penghuni dusun lainnya, dia adalah seorang terpelajar karena pernah lama tinggal di kota dan juga pernah mempelajari sastera sampai cukup tinggi. Lurah ini pula yang oleh Liu Ma diminta untuk mendidik Han Lin dalam iImu sastera.

Hari sudah menjelang senja ketika rombongan penghuni dusun Libun tiba di luar halaman kelenteng yang nampak sunyi itu. Namun sebenarnya empat orang yang kini menguasai kelenteng itu tengah memandang kepada rombongan orang itu dengan senyum mengejek, sedangkan Iima orang penduduk dusun yang tadi mengubur jenazah wanita muda yang membunuh diri, memandang terbelalak dengan amat khawatir melihat para rekan sedusun berbondong-bondong naik ke situ.

Karena ngeri membayangkan ancaman para datuk sesat itu bahwa jika orang dusun Libun berani menentang mereka, maka dusun Libun akan dibakar dan semua penghuninya akan dibunuh, kelima orang itu segera berlari ke pekarangan sambil mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi ke atas untuk mencegah mereka melakukan penyerbuan.

"Can-chungcu (Lurah Can), perlahan dulu!" teriak lima orang itu. Lurah Can segera maju menghadapi mereka.

"Kenapa kalian menahan kami? Kalau kelenteng kami dirampas orang, dan ada penduduk dusun yang tewas, kami tidak mungkin dapat berdiam diri saja. Sepatutnya kalian berlima juga membantu kami!"

"Tidak, jangan." Lalu lima orang itu berbisik-bisik.

Mereka memberi tahu bahwa tiga orang hwesio pengurus kelenteng telah tewas terbunuh dan jenazah mereka telah dikubur di kebun belakang kelenteng. Juga bahwa empat orang itu bukan orang-orang sembarangan, melainkan memiliki ilmu kepandaian seperti iblis.

Sementara itu Seng Gun tidak sabar melihat rombongan orang dusun berkerumun di luar pekarangan kelenteng itu. "Ayah, monyet-monyet dusun itu sudah bosan hidup, biar aku yang membasmi mereka semua!"

Akan tetapi Kwi-jiauw Lo-mo menggelengkan kepalanya. "Mereka itu tidak ada harganya kalau dibunuh. Mereka hanyalah orang-orang dusun, maka akan merepotkan saja apa bila dibunuh semua. Ini kesempatan baik sekali untuk menguji kepandaianmu, Seng Gun. Aku menghendaki engkau membunuh dua tiga orang pimpinan mereka saja, dan mengalahkan mereka akan tetapi tidak membunuh, supaya selanjutnya mereka semua patuh dan tidak berani lagi mengganggu kita."

"Baik, ayah!" kata Seng Gun girang dan pemuda ini lalu meloncat keluar dan menyambut tiga puluh orang lebih itu di pekarangan kelenteng yang luas.

Sementara itu para penghuni dusun menjadi semakin penasaran dan sangat marah ketika mendengar keterangan dari lima orang rekan mereka bahwa tiga orang hwesio kelenteng itu telah dibunuh oleh para penjahat yang menguasai kelenteng itu,.

Kepala dusun Can juga tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Dia pun melangkah maju bersama dua orang pembantunya yang di dusun itu terkenal sebagai orang-orang yang tangguh. Bantuan mereka itulah yang membuat kepala dusun Can bisa memimpin dusun Libun dengan adil.

Kepala dusun agak ragu melihat bahwa yang muncul menyambut mereka adalah seorang pemuda remaja berusia belasan tahun yang berpakaian serba putih model sastrawan dan lagaknya anggun dan angkuh. Pemuda itu berdiri di pekarangan sambil bertolak pinggang, wajahnya yang tampan tersenyum mengejek. Karena pemuda remaja itu nampak tampan dan seperti bangsawan, sama sekali bukan seperti penjahat, kepala dusun Can bersikap hati-hati.

"Orang muda, siapakah engkau? Kami ingin bicara dengan mereka yang telah membunuh hwesio dan beberapa orang penduduk dusun kami."

Seng Gun tersenyum, akan tetapi pandang matanya yang tajam itu memandang dingin.

"Anggap saja aku yang sudah membunuhi mereka karena mereka menentang kami. Nah, kalau kalian tidak ingin mengalami nasib seperti mereka, pergilah dan jangan menentang kami!"

Tentu saja kepala dusun Can terbelalak mendengar ucapan itu. Bocah begini tampan dan nampak terpelajar, mengapa dapat bersikap begini sombong dan kejam? Dia mendengar laporan dari dua orang wanita tadi bahwa iblis-iblis itu adalah tiga orang kakek lihai, maka pemuda tampan ini tentulah murid mereka.

Tiba-tiba saja dia mendapat pikiran yang dianggapnya amat baik. Kalau mereka menawan pemuda ini tanpa kekerasan, maka mereka bisa menjadikan pemuda ini sebagai sandera lalu minta kepada tiga orang kakek itu agar menyerahkan diri untuk diseret ke pengadilan!

"Kita tangkap pemuda ini!” katanya kepada dua orang pembantunya.

Dua orang pembantu itu boleh diandalkan. Mereka berdua memiliki tenaga besar dan juga pandai silat. Pendek kata, untuk dusun Libun dan sekitarnya, dua orang pembantu kepala dusun Can ini merupakan orang-orang yang tangguh.

Sambil membentak nyaring dua orang itu menubruk dari kanan dan kiri untuk menangkap Seng Gun, ada pun kepala dusun Can juga menerjang ke depan untuk membantu mereka menangkap pemuda itu untuk dijadikan sandera. Akan tetapi pemuda yang mereka tubruk itu tiba-tiba saja lenyap dari depan mereka karena telah meloncat ke atas dengan gerakan yang ringan sekali. Mereka terkejut dan cepat memandang ke atas.

Tubuh Seng Gun yang tadinya meloncat ke atas, kini menukik ke bawah. Sebatang suling perak telah berada di tangannya dan ujung suling itu menempel pada mulutnya.

"Serrrr…!"

Tiupan itu amat kuat dan nampak sinar hitam menyambar ke bawah, ke arah kepala desa Can dan dua orang pembantunya. Serangan itu demikian mendadak dan tidak terduga-duga. Apa lagi kepala desa Can, sedangkan dua orang pembantunya saja tidak menduga sama sekali. Dan sinar hitam itu menyambar dari jarak dekat sekali, dari atas dan dengan kecepatan kilat, maka mereka pun tidak sempat menghindarkan diri.

Ketiga orang itu tiba-tiba saja terpelanting dan berkelojotan, lalu terdiam dan tewas dalam keadaan yang sangat mengerikan karena muka mereka berubah kehitaman. Mereka telah menjadi korban jarum-jarum beracun yang ditiupkan melalui suling hingga mengenai muka dan leher mereka.

Melihat betapa kepala dusun Can serta kedua orang pembantunya tewas, para penduduk dusun Libun menjadi terkejut dan marah bukan main. Karena merasa sedih mereka pun menjadi nekat, lantas sambil berteriak-teriak mereka maju mengeroyok Seng Gun dengan segala macam senjata yang mereka bawa dari rumah, yaitu alat-alat bertani dan berkebun seperti cangkul, parang, linggis, kapak dan sebagainya.

Seng Gun segera mengamuk. Pemuda ini merasa gembira sekali mendapat kesempatan untuk menguji kepandaiannya. Dan dia pun menaati pesan ayahnya agar tidak melakukan pembunuhan.

Dengan suling perak di tangan dia pun mengamuk, menyambut terjangan puluhan orang itu. Dia menangkis dengan pengerahan tenaga sehingga membuat banyak senjata para pengeroyok terpental dan terlempar, lalu dia merobohkan mereka satu demi satu dengan tendangan. tamparan tangan kiri, juga totokan sulingnya tanpa pengerahan tenaga yang terlalu kuat sehingga tidak ada di antara mereka yang sampai tewas.

Dalam waktu singkat saja kurang lebih tiga puluh orang itu sudah roboh semua dan biar pun tidak ada yang menderita luka parah, namun mereka menjadi jeri dan tidak berani lagi melanjutkan pengeroyokan.

Kini tiga orang kakek itu keluar, dan Kwi-jiauw Lo-mo tertawa senang melihat kemajuan puteranya. "Bagus, Seng Gun."

Pemuda itu berdiri dengan mulut tersenyum dan wajah berseri. Hek bin Mo-ong kemudian berseru dengan suara nyaring kepada semua orang yang masih nampak terkejut, jeri dan juga gelisah itu.

"Sekarang kalian masih diampuni, tetapi kalau kami melihat penduduk Libun masih berani menentang kami, dusun itu akan kami bakar dan kalian semua beserta seluruh keluarga kalian akan kami bunuh! Nah, bawa pergi mayat-mayat ini dan jangan sekali-kali berani ke sini kalau tidak kami panggil!"

Para penduduk dusun itu tidak berani banyak cakap lagi. Mereka menggotong mayat tiga orang itu kemudian menuruni bukit dengan wajah muram. Lima orang warga dusun yang pertama tidak berani pergi karena mereka sudah diberi tugas untuk bekerja melayani para datuk itu. Dua orang wanita yang tadi mendapat tugas memasak dan menyediakan bahan masakan, kini sudah datang dan dibantu oleh beberapa orang menggotong semua bahan masakan yang mereka beli.

Pada malam hari, setelah matahari tenggelam di kaki langit barat dan hari sudah berubah menjadi gelap, muncullah tamu-tamu yang ditunggu oleh tiga orang datuk sesat itu. Dan kemunculan lima orang tamu ini pun seperti setan saja. Tahu-tahu mereka telah muncul di pekarangan kelenteng itu.

Seng Gun yang oleh ayahnya ditugaskan berjaga-jaga di ruang depan kelenteng, merasa terkejut dan kagum. Lima orang tamu itu benar-benar hebat, tanpa mengeluarkan suara, juga tidak nampak bayangan mereka datang, tahu-tahu telah berdiri disitu, berjajar seperti patung, tidak mengeluarkan suara namun mereka berdiri tegak dengan sikap berwibawa.

Inilah lima orang yang oleh ayahnya dan kedua orang susiok-nya disebut sebagai Bu-tek Ngo-sin-liong (Lima Naga Sakti Tanpa Tandingan)! Mereka adalah tokoh-tokoh besar dari perkumpulan atau aliran Hoat-kauw. Kabarnya mereka memiliki tingkat kepandaian yang sangat hebat, bahkan menurut ayahnya, tingkat mereka sudah sebanding dengan tingkat ayahnya dan dua orang susiok-nya!

Bukan main! Padahal selama ini dia selalu beranggapan bahwa ayahnya dan kedua orang susiok-nya adalah datuk-datuk tanpa tanding di dunia persilatan! Apa lagi sesudah melihat perwujudan mereka, hatinya pun menjadi ragu-ragu.

Dia sudah mendapat keterangan jelas dari ayahnya mengenai lima orang tokoh ini, maka setelah kini mereka berdiri di pekarangan dan wajah mereka disinari lampu-lampu gantung di depan kelenteng, dia pun dapat mengenali mereka satu demi satu.

Orang pertama dari Lima Naga Sakti itu adalah Ang-sin-liong (Naga Sakti Merah) Yu Kiat, seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun yang bertubuh tinggi tegap dan berwajah tampan. Pria ini sikapnya tinggi hati dan pakaiannya serba merah. Di pinggangnya terselip sebatang goiok yang punggungnya seperti gergaji.

Orang ke dua bernama Tiat-sin-liong (Naga Sakti Besi) Lai Cin. Lelaki ini berusia sekitar empat puluh tahun, tubuhnya tinggi kurus dengan muka pucat. Nampaknya saja orang ini berpenyakitan dan Iemah, namun sesuai dengan julukannya, dia adalah seorang manusia besi alias tubuhnya kebal, keras bagaikan besi. Dia memegang sebatang konce (tombak cagak) yang beronce biru.

Yang ketiga adalah seorang wanita bernama Hui-sin-liong (Naga Sakti Terbang) Mo Hwa. Usianya tiga puluh tahun, cantik dan anggun, dengan sikap yang angkuh galak. Pandang matanya dingin, tubuhnya ramping dan pada punggungnya nampak siang-kiam (sepasang pedang). Sesuai dengan julukannya, wanita ini memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat sehingga dia dijuluki Naga Sakti Terbang.

Orang yang ke empat bernama Lam-hai Sin-liong Kwa Him, berusia dua puluh tujuh tahun, tubuhnya tinggi besar dan mukanya merah, gagah sekali. Sesuai dengan julukannya Lam-hai Sin-liong (Naga Sakti Laut Seiatan) dia memang memiliki keahlian di dalam air seperti seekor naga laut, dan di samping keahlian di dalam air, juga Kwa Him ini terkenal memiliki tenaga gajah.

Orang ke lima adalah adik dari Kwa Him, seorang gadis berusia dua puluh tiga tahun yang bernama Bi-sin-liong (Naga Sakti Cantik) Kwa Lian. Gadis ini memiliki wajah yang cantik manis, terutama sekali mata dan mulutnya yang nampak menantang dan genit. Tubuhnya ramping sekali dengan pinggang yang kecil dan pinggul besar. Sebatang pedang dengan ronce merah nampak di punggungnya.

Akan tetapi Seng Gun segera mengerutkan alisnya ketika melihat mereka, apa lagi orang ke tiga, ke empat dan ke lima, Orang-orang seperti itu dikatakan amat lihai oleh ayahnya? Dia tidak percaya! Terutama sekali orang termuda, Bi-sin-liong Kwa Lian.

Bagaimana mungkin gadis cantik yang nampak lembut itu dapat memiliki ilmu kepandaian tinggi? Maka timbullah keinginan hatinya untuk menguji. Dari ruangan depan dia lalu turun ke pekarangan menghampiri lima orang yang berdiri bagaikan patung itu.

Seng Gun mengangkat dua tangannya ke depan dada memberi hormat. Pemuda remaja yang berpakaian sutera serba putih ini memang tampan dan sangat pandai membawa diri sehingga sikapnya yang menghormat itu menyenangkan. Akan tetapi lima orang itu tidak bergerak.

"Kalau boleh saya mengetahui, siapakah ngo-wi (anda berlima) dan ada keperluan apakah datang ke kelenteng ini?" tanya Seng Gun dengan sikap menjajagi.

Bin-sin-liong Kwa Lian adalah seorang gadis cantik yang memiliki suatu kelemahan, yaitu dia mudah terpikat oleh pria yang halus dan tampan. Kini, melihat Seng Gun, meski pun pemuda itu masih remaja, paling banyak enam belas tahun usianya, seketika dia terpikat. Pemuda itu memang tampan menarik.

Mendengar pertanyaan Seng Gun, Kwa Lian lalu melangkah maju, mewakili empat orang rekannya tanpa minta persetujuan lagi, dan dia pun memandang kepada Seng Gun sambil tersenyum manis dan pandang matanya mengerling tajam.

"Kami Bu-tek Ngo-sin-liong datang untuk memenuhi undangan Kwi-jiauw Lo-mo. Siapakah engkau, adik tampan? Jika Kwi-jiauw Lo-mo berada di kelenteng, tolong panggil dia keluar menemui kami. Dan engkau sendiri siapakah?"

“Namaku Tong Seng Gun dan Kwi-jiauw Lo-mo Tong Lui adalah ayahku. Memang ayahku menugaskan aku untuk menyambut Bu-tek Ngo-sin-liong. Akan tetapi melihat ngo-wi, aku menjadi ragu apakah benar aku sedang berhadapan dengan Bu-tek Ngo-sin-liong. Apa lagi melihat engkau, enci, yang masih begini muda, cantik dan kelihatan lemah. Padahal, menurut yang telah kudengar, Lima Naga Sakti adalah orang-orang yang mempunyai ilmu kepandaian hebat."

Apa bila empat orang yang lain mengerutkan alis mereka memandang kepada Seng Gun dengan wajah tidak senang, sebaliknya Bi-sin-liong Kwa Lian terkekeh genit.

"Hi-hik-hik, katakan saja engkau ingin menguji kami, adik tampan! Baiklah, sebagai putera Kwi-jiauw Lo-mo, tentu engkau pun bukan anak sembarangan. Untuk meyakinkan hatimu bahwa julukan kami bukan hanya julukan kosong belaka, engkau majulah. Apa bila daIam sepuluh jurus sulingmu dapat menyentuhku dan aku masih belum bisa menundukkanmu, biar aku berganti julukan saja, hi-hik!"

Sekarang Seng Gun yang merasa mukanya panas karena amat penasaran. Memang dia pernah terdesak oleh murid mendiang Kong Hwi Hosiang, akan tetapi dengan seorang diri saja dia dapat merobohkan tiga puluhan orang! Bagaimana mungkin hanya sepuluh jurus saja dia akan kalah oleh gadis yang usianya hanya beberapa tahun lebih tua darinya itu?

"Baik, enci. Apa bila dalam sepuluh jurus engkau dapat menundukkan aku, nanti di dalam aku akan memberi hormat dengan menyuguhkan tiga cawan arak kepadamu. Akan tetapi bagaimana kalau aku mampu bertahan sampai sepuluh jurus?"

Kembali wanita itu terkekeh dan kini senyumnya yang melebar membuat deretan giginya yang terpelihara rapi dan putih bersih terlihat manis sekali. "Jika engkau mampu bertahan sampai sepuluh jurus maka aku mengaku kalah dan aku akan memberi tiga kali ciuman kepadamu!"

Wajah Seng Gun berubah kemerahan akan tetapi hatinya merasa gembira bukan main. Jika dicium wanita biasa, betapa pun cantiknya dia, masih belum ada artinya. Akan tetapi dicium Bi-sin-liong Kwa Lian? Sungguh merupakan kebanggaan tersendiri! '

"Baik, aku akan mulai, enci!" katanya sambil mencabut suling perak dari sabuknya.

"Bagus, aku sudah siap!" kata pula Kwa Lian gembira.

Seng Gun yang tentu saja ingin mendapatkan kemenangan langsung menyerang dengan sulingnya. Suling itu menjadi sinar putih kemilauan yang menyambar diiringi suara ngaung yang nyaring, dan sudah meluncur ke arah leher Kwa Lian untuk menotok jalan darah.

"Bagus!" kata Kwa Lian, dan dengan gerakan ringan sekali dia mengelak.

Seng Gun tidak melanjutkan serangannya. Dia teringat bahwa taruhannya adalah bahwa dia harus mampu bertahan hingga sepuluh jurus, maka sikap yang paling menguntungkan baginya adalah sikap berjaga diri dan mencurahkan seluruh daya untuk mencegah agar dia tidak sampai dikalahkan dalam sepuluh jurus.

Kini satu jurus sudah lewat dan dia tidak mau menyia-nyiakan jurus-jurus selebihnya untuk menyerang karena dengan menyerang maka penjagaan dirinya tentu kurang kuat. Setiap kali menyerang pasti ada bagian tubuhnya yang terbuka dan pertahanannya lemah. Maka kini dia hanya memutar sulingnya menjadi gulungan sinar perak, tapi dia tidak melakukan serangan!

Melihat ini, Kwa Lian tertawa. "Heh-heh-heh, engkau adik yang tampan dan cerdik. Lihat, enci-mu mulai menyerang!"

Mulailah wanita itu menyerang dengan cengkeram dan totokan, sambil menghitung jurus-jurusnya. Gerakannya aneh namun indah, dan bau harum yang keluar dari dua tangannya ketka dia menyerang, membuat Seng Gun merasa agak pening.

Seng Gun terkejut lalu cepat mengerahkan sinkang karena maklum bahwa bau harum itu bukanlah sembarang bau, melainkan racun atau hawa beracun! Dia pun mengelak sambil menggerakkan suling untuk menangkis kelebatan tangan lawan yang mencengkeram atau menotok.

Sampai hitungan ke delapan dia masih mampu bertahan sehingga hatinya sudah merasa girang bukan main. Dia akan mendapat hadiah tiga kali ciuman, dan timbul rasa bangga bahwa dia telah dapat membuat orang ke lima dari Bu-tek Ngo-sin-liong kalah bertaruh!

"Awas, ini jurus ke sembilan!" terdengar suara Kwa Lian dan kedua tangannya melakukan totokan dari kanan kiri!.

Melihat ini Seng Gun segera menggerakkan sulingnya untuk menyambut tangan kiri gadis itu dengan totokan pada telapak tangan, ada pun tangan kirinya siap menangkis totokan lawan dengan tangan kanan. Tiba-tiba wanita itu mengeluarkan suara terkekeh, kepalanya bergerak dan mendadak nampak sinar hitam menyambar dari atas kepalanya.

Itulah rambutnya yang hitam dan panjang, yang merupakan senjata ampuh wanita itu di samping pedangnya. Sekali dia menggerakkan kepala dengan sentakan tertentu, rambut itu sudah terlepas dari sanggulnya dan rambut yang hitam panjang itu kini menyambar ke arah Seng Gun, terpecah menjadi dua gumpal dan tahu-tahu dua gumpal rambut itu telah melibat kedua pergelangan tangan Seng Gun! Demikian kuat libatannya sehingga pemuda remaja itu merasa kedua lengannya lumpuh.

"Nah, dalam sembilan jurus aku telah mengalahkanmu, adik tampan!" kata Kwa Lian.

Seng Gun mengerahkan tenaga, berusaha melepaskan dua tangannya yang telah terlibat rambut, namun gagal. Muka wanita itu begitu dekat dengan mukanya sehingga dia dapat merasakan hembusan napas dari hidung wanita itu ke mukanya. Namun dia sudah gagal untuk mendapatkan ciuman kemenangan, maka dia pun menghela napas kecewa.

"Baiklah, aku mengaku kalah. Nanti aku akan memberi hormat kepadamu dengan cawan arak," katanya lemas.

"Hik-hik, engkau tampan dan cerdik, maka sudah sepantasnya kuberi hadiah ciuman, biar pun hanya satu kali," kata Kwa Lian.

Tanpa melepaskan libatan rambutnya dia pun menggunakan kedua tangannya merangkul leher pemuda itu, lalu menariknya dan di lain saat, mulutnya sudah mencium mulut Seng Gun.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar