Bayangan Bidadari Jilid 08

Diam-diam In Hong menjadi sebal sekali. Dia tahu benar bahwa dibandingkan dengan jumlah kekayaan kakek ini, tujuh kereta barang itu hanya merupakan jumlah kecil saja, setitik air dalam air seguci, dan toh kakek itu seakan-akan kehilangan seluruh hartanya.

“Apakah begini watak semua hartawan?” pikir gadis ini dengan hati sebal.

Ia mulai merasa kecewa dan tidak puas, bahkan ia mulai mengingat-ingat bagaimanakah watak kedua orangtuanya yang dahulunya juga disebut-sebut orang kaya.

Pada sore hari itu, di ruang depan dari rumah gedung keluarga Yo diadakan perundingan. Yo Kang dan ayahnya mengundang Ngo-losuhu yang ternyata adalah lima orang berusia antara empat puluh sampai lima puluh tahun, dan mereka ini adalah pembantu-pembantu Yo Kang yang memiliki kepandaian tinggi.

Tadinya mereka adalah kauwsu-kauwsu (guru-guru silat) dan kini dipekerjakan sebagai pelatih-pelatih kepada para pembantu Yo Kang yang mengawal barang-barang kiriman. Juga mereka ini berkewajiban membereskan kalau terjadi rintangan dan gangguan pada barang-barang kiriman. Akan tetapi oleh karena sekarang ini terjadi perampasan yang luar biasa dan besar, Yo Kang hendak mengurusnya sendiri dengan bantuan mereka.

Atas desakan Yo Kang maka In Hong diperkenankan hadir dalam pertemuan ini. Ketika diperkenalkan kepada para kauwsu tua itu, In Hong memberi hormat selayaknya, akan tetapi lima orang kauwsu itu hanya membalas penghormatan In Hong dengan dingin saja. Mereka adalah orang-orang berkepandaian, sudah tentu tidak begitu memandang kepada In Hong yang dianggap mereka hanya seorang gadis muda cantik yang manja dan yang berlagak seorang pendekar wanita!

In Hong diam-diam memperhatikan mereka. Menurut penglihatannya, di antara lima orang kauwsu itu, hanya seorang saja yang kelihatannya ‘berisi’, yakni yang bernama Pouw Cun. Mata kauwsu tua ini setengah terkatup seperti orang mengantuk, namun dari balik bulu matanya yang jarang itu memancar sepasang sinar mata yang tajam dan bergerak-gerak cepat.

Juga hanya dia seorang di antara lima kauwsu itu yang tidak memegang senjata. Empat kauwsu yang lain semua membawa senjata. The Sun dan The Kwan dua saudara yang diperkenalkan sebagai guru-guru silat asal dari selatan, membawa pedang di pinggang mereka, sedangkan dua orang lagi adalah Tan Koay Kok yang membawa rantai atau pian lemas dan Lay Kiat yang bersenjata golok besar.

“Ngo-wi losuhu, sebetulnya, mengingat bahwa yang melakukan perampasan adalah Wu Wi Thaysu dari Go-bi-pay, sebetulnya aku tidak akan menarik panjang urusan ini. Biar pun aku belum pernah berjumpa dengan Wu Wi Thaysu, namun namanya sebagai tokoh Go-bi sudah cukup terkenal, dan pula harus diingat bahwa ia melakukan perampasan untuk menolong orang-orang yang menderita kelaparan.

Akan tetapi, kalau diingat lagi, perjalanan antara See-ciu amat penting artinya bagi kita. Sedikitnya tiga kali sebulan kita mengirim dan mengambil barang antara See-ciu dan Han-ciu. Kalau gangguan sekali ini dibiarkan saja, tentu para hek-to akan mengira kita lemah dan mereka akan mendapatkan contoh yang buruk,” kata Yo Kang.

“Wu Wi Thaysu adalah seorang tokoh besar dari Go-bi-pay, kalau aku tidak salah, dia adalah tokoh kedua atau murid dari ketua Go-bi-pay, Pek Eng Thaysu. Mengherankan sekali mengapa seorang tokoh besar seperti dia mau melakukan atau mengurus hal-hal semacam itu,” kata Lay Kiat dengan kening berkerut.

Memang, ketika mendengar bahwa yang melakukan perampasan adalah tokoh Go-bi-pay itu, Lay Kiat dan kawan-kawannya merasa gentar dan gelisah. Mereka sudah mendengar tentang kelihayan tosu itu, lagi pula kedudukan Wu Wi Thaysu amat tinggi di kalangan kangouw.

“Apa yang akan kau lakukan selanjutnya, Yo-kongcu?” tanya Pouw Cun, suaranya hanya perlahan akan tetapi jelas. “Harus kau ingat bahwa Wu Wi Thaysu kepadaiannya sangat tinggi, bukan aku hendak berkata bahwa kau takut padanya tetapi menanam permusuhan dengan pihak Go-bi-pay bukanlah hal yang cerdik.”

Yo Kang mengangguk. “Memang betul kata-katamu, Pouw-suhu. Aku sendiri juga ingin mencoba kepandaiannya dan aku tidak takut. Tetapi aku merasa ragu untuk bermusuhan dengan partai persilatan Go-bi yang demikian besar dan ternama. Tidak, aku tidak akan memusuhi Go-bi-pay, aku hanya ingin mengajak cuwi sekalian pergi menjumpainya dan hanya perlu untuk mencuci muka kita sekalian supaya para penjahat tidak mengira kami takut. Terhadap Wu Wi Thaysu, aku hanya ingin minta penjelasan tentang pertolongan kepada mereka yang kelaparan itu, dan minta dia berjanji supaya lain kali apa bila ada keperluan, agar suka datang kesini dan minta secara terus terang dari pada mengganggu barang kiriman.”

“Baik, aku setuju dengan pikiran itu,” kata The Sun mengangguk-angguk. “Kapan kita akan berangkat?”

“Besok pagi-pagi, dan yang menjadi penunjuk jalan cukup Cong-piauwsu seorang saja. Tidak perlu ramai-ramai, banyak orang menarik perhatian saja, seakan-akan kita hendak mengerahkan semua tenaga hanya untuk menghadapi seorang tosu,” kata Yo Kang.

Semua guru silat itu mengangguk setuju.

“Yo-twako, aku pun hendak ikut,” tiba-tiba In Hong berkata.

Sesungguhnya gadis ini tidak tertarik dengan urusan yang dihadapi oleh Yo Kang, akan tetapi dia memang tidak kerasan di rumah itu. Apa lagi kalau Yo Kang pergi, dia takkan betah tinggal disitu.

Di samping ini, dia pun tertarik mendengar bahwa yang melakukan perampasan itu adalah seorang tokoh Go-bi-pay, karena bukankah gurunya juga sedang menghadapi tantangan pihak Go-bi-pay ketika dia pergi? Dia ingin sekalian bertemu dengan Wu Wi Thaysu itu, untuk bertanya tentang gurunya dan tentang pertandingan yang dilakukan oleh gurunya untuk menghadapi tantangan pihak Go-bi-pay.

Mendengar gadis itu hendak ikut, Yo Kang berseri wajahnya, akan tetapi lima orang guru silat itu memandang heran dan nampaknya tidak setuju. Hanya Pouw Cun saja yang tak berobah air mukanya, namun dari balik bulu matanya, ia menatap wajah In Hong dengan tajam.

“Kwee-siocia, perjalanan ini bukan main-main. Kami akan menghadapi orang yang sudah mengganggu pekerjaan kami, siapa tahu akan terjadi pertempuran!” kata The Sun.

“The-kauwsu, kalau ada pertempuran, yang bertempur adalah kau dan kawan-kawanmu, itu tugasmu. Aku hanya ingin ikut saja untuk menambah pengalaman,” jawab In Hong ramah.

“Akan tetapi perjalanan ini tidak dekat dan amat melelahkan, dan bagaimana jika sampai terjadi apa-apa? Kami bahkan harus melindungimu, Kwee-siocia,” kata The Kwan yang juga tidak setuju.

“Belum kalau muncul orang jahat,” kata Tan Koay Kok, “maafkan siocia, akan tetapi mata orang-orang jahat akan menjadi gelap kalau melihat seorang gadis muda yang ehh... cantik di tengah jalan. Tentu hanya akan menimbulkan keributan belaka.”

In Hong tersenyum dan memandang kepada Tan-kauwsu dengan mata berseri. Ia maklum akan maksud kata-kata ini dan tahu pula bahwa kauwsu tua ini bicara dengan sejujurnya, maka ia tidak marah.

“Tan-kauwsu, terima kasih atas pujianmu. Akan tetapi, tentang perjalanan jauh, agaknya tidak mengapa bagiku karena aku pun biasa menunggang kuda. Bahkan kudaku masih terpelihara baik-baik di kandang Yo-twako. Ada pun tentang orang-orang kurang ajar, ada ngo-wi lo-kauwsu dan Yo-twako di-sampingku, aku takut apa sih?”

Akhirnya semua kauwsu itu menyerahkan keputusannya kepada Yo Kang dan semua mata memandang kepada pemuda ini.

“Hong-moy, soal kuda, aku mempunyai kuda yang lebih baik dari pada kudamu. Memang, dengan adanya ngo-losuhu bersama kita, kau tak usah khawatir terganggu orang dijalan. Akan tetapi, terus terang saja, perjalanan ini bukan tidak berbahaya. Agaknya akan lebih amanlah hatiku kalau kau tinggal saja di rumah. Urusan ini dikata kecil juga kecil, akan tetapi kalau dianggap besar juga amat besar.”

Walau pun mulutnya berkata demikian, namun di dalam hatinya Yo Kang merasa sangat gembira kalau nona yang mencuri hatinya ini ikut serta dalam perjalanan itu. Ia ingin sekali memamerkan keberanian dan kegagahannya kepada In Hong dan inilah kesempatannya.

“Yo-twako, memang aku tidak ada gunanya dalam menghadapi urusanmu yang besar ini, tetapi ingatlah, aku sekalian hendak mendengar-dengar tentang ibuku, hendak menyelidiki tentang Can Mama. Sekarang ada kesempatan baik sekali, mau tunggu kapan lagi?”

“Baiklah, Hong-moy. Memang kalau tidak ada peristiwa gangguan ini, aku pun tentu akan mengantarmu melakukan penyelidikan itu,” akhirnya Yo Kang berkata dan demikianlah, mereka semua bersiap-siap untuk melakukan perjalanan itu pada keesokan harinya.

Pagi-pagi sekali, berangkatlah rombongan terdiri dari delapan orang itu. Mereka adalah Yo Kang, In Hong, Cong-piauwsu, dan kelima Ngo-lokauwsu. Mereka menunggang kuda dan para guru silat itu merasa lega melihat betapa In Hong benar-benar tidak kikuk pada saat melompat naik ke punggung kuda. Tadinya mereka sudah merasa khawatir kalau-kalau nona itu akan menjadi penghalang dan penghambat perjalanan mereka.

Sesudah melompat di atas punggung kudanya yang disediakan oleh Yo Kang, In Hong berpaling dan tersenyum memandang mereka. Ia maklum bahwa mereka memperhatikan gerakannya tadi, maka ia tidak memperlihatkan kepandaian, hanya melompat biasa saja seperti orang yang sudah pandai menunggang kuda tetapi tidak mempunyai ginkang yang luar biasa.

“Mari kita berangkat!” Yo Kang mengomando.

Yang terdepan adalah Cong-piauwsu sebagai penunjuk jalan, kemudian menyusul lima orang kawsu. Yo Kang menjalankan kudanya berendeng dengan In Hong, mengikuti dari belakang. Entah mengapa dia sendiri tidak mengerti, Yo Kang merasa gembira luar biasa melakukan perjalanan ini. Jauh sekali bedanya dengan yang biasa ia lakukan, padahal kali ini menghadapi urusan besar yang menjengkelkan.

Semua ini tentu saja karena In Hong berada disampingnya! Sejak pertemuan pertama, hati Yo Kang memang telah terampas oleh In Hong dan pemuda ini jatuh hati kepadanya.

“Jangan khawatir, Hong-moy, apa pun yang terjadi, dengan adanya aku di sampingmu, kau akan selamat. Aku menyediakan nyawa dan raga untuk melindungimu,” kata Yo Kang lirih.

Hati In Hong berdebar lebih kencang mendengar kata-kata yang penuh arti ini. Ketika ia memandang, wajahnya menjadi merah. Sinar mata pemuda itu membuka semua rahasia hati dan diam-diam In Hong menghela napas gelisah. Hatinya risau ketika dia membaca rahasia hati pemuda ini.

Ia akui bahwa Yo Kang amat baik terhadapnya, akan tetapi ia tidak mengira bahwa sejauh itu perasaan hati pemuda ini terhadapnya. Karena ia maklum bahwa ia tidak mungkin membalas perasaan ini, dan karena ia teringat akan percakapan yang ia dengar antara ayah bunda pemuda ini tentang dia, maka ia menjadi risau dan kasihan kepada Yo Kang.

“Yo Kang, kau seorang pemuda yang baik, kuharap saja tidak kau lanjutkan perasaanmu terhadapku, karena aku tidak ingin melihat kau menderita,” demikian pikir In Hong sambil mencambuk kudanya untuk menghindari pernyataan Yo Kang tadi.

Betul saja, para penjahat tidak ada yang memiliki nyali begitu besar untuk mengganggu rombongan ini. Mereka kenal baik kepada Yo Kang, apa lagi disitu pemuda ini dikawani oleh lima orang kauwsu yang berkepandaian tinggi.

Sungguh pun banyak orang yang mengincar kecantikan In Hong dan mengincar pula perhiasan burung Hong pada rambutnya, namun siapakah yang begitu berani mati untuk mengganggu gadis yang berada dalam rombongan orang-orang kuat itu? Apa lagi gagang pedang di pundak In Hong juga merupakan peringatan kepada mereka bahwa gadis yang berada di tengah-tengah rombongan sekuat itu tentulah bukan seorang gadis lemah yang mudah dijadikan mangsa.

Beberapa hari kemudian sampailah mereka di perbatasan propinsi Honan yang sedang terancam bahaya kelaparan. Sudah terlampau lama musim kering mengganggu daerah ini sehingga bagian yang jauh dari sungai tidak kebagian air dan para petani tidak berdaya. Tanaman-tanaman pada mati dan kering dan persediaan bahan makanan sebentar saja habis dan tidak mencukupi.

Orang-orang kaya tentu saja dengan mudah dapat membeli dari daerah lain, kemudian menyimpan persediaan yang cukup di dalam gudang mereka, tetapi bagaimana dengan kaum tani yang mengandalkan pengisi perut dari tanah sendiri? Banyak orang yang sudah mati kelaparan, banyak pula yang meninggalkan kampung halaman untuk hidup menjadi pengemis di daerah lain, sekadar untuk mengelak dari terkaman maut yang merajalela di daerah sendiri. Yang lebih hebat lagi, di daerah ini berjangkit bermacam-macam penyakit, terutama penyakit panas, sehingga penderitaan rakyat kecil makin menghebat.

“Masih jauhkah tempat itu?” tanya Yo Kang kepada Cong-piauwsu. Pemuda ini sekarang bersama In Hong mendahului para kauwsu dan menjalankan kuda di dekat Cong-piauwsu.

“Ini memang daerahnya, akan tetapi dusun itu masih kira-kira sepuluh lie dari sini,” kata Cong-piauwsu. Berdebar juga hati Yo Kang sesudah dekat dengan tempat yang dituju. Para kauwsu juga sudah bersiap-siap, menjaga segala kemungkinan.

Ketika mereka memasuki dusun pertama, kurang lebih enam lie dari tempat yang mereka tuju, mereka melihat orang-orang dusun yang kurus kering sedang berkerumun. Jumlah mereka ada tiga puluh orang lebih dan mereka sedang mengelilingi seorang laki-laki tinggi besar yang berpakaian compang-camping akan tetapi bertubuh tegap dan gagah. Laki-laki ini sedang membagi-bagikan beras kepada mereka dan wajah laki-laki yang tampan dan gagah ini nampak berseri.

“Sabar dan tenang, saudara-saudara! Tidak perlu berebut dan tidak perlu tergesa-gesa. Kalian sudah cukup mengalami penderitaan dengan sabar, masa untuk menunggu giliran pembagian saja tidak dapat bersabar?”

Melihat hal ini, wajah para kauwsu dan juga Yo Kang menjadi merah. Mereka berenam, juga Cong-piauwsu mengira bahwa beras itu tentulah beras mereka yang telah dirampas. Melihat barangnya dibagi-bagikan kepada orang banyak seperti itu, tentu saja mereka merasa mendongkol.

Ada pun lelaki gagah itu, ketika melihat serombongan kauwsu ini, segera menghentikan pekerjaannya membagi beras, kemudian ia tertawa bergelak. Suara ketawanya keras dan nyaring, sikapnya terbuka sekali. Dia lalu berkata dengan suara keras dan nyaring pula,

“Ha-ha-ha, kalau tak salah mereka inilah pemilik-pemilik gandum yang tempo hari dibagi-bagikan oleh Wu Wi Thaysu yang baik hati. Ehh, apakah kalian datang untuk menambah sumbanganmu? Mana kereta-kereta terisi gandum? Kami amat membutuhkan!”

“Sungguh tidak tahu malu! Merampas barang orang dan membagi-bagikan kepada orang lain tanpa seijin pemiliknya, sungguh tidak tahu malu!” kata The Sun marah.

Laki-laki gagah itu lalu memberikan tugasnya membagi beras kepada seorang dusun, dan ia sendiri sekali melompat telah berhadapan dengan The Sun dan kawan-kawannya.

Laki-laki ini tadi terhalang oleh banyak orang maka In Hong tak dapat melihatnya dengan jelas. Sekarang ia bisa melihat seorang laki-laki berusia paling banyak empat puluh tahun, berpakaian compang camping dan bertubuh tegap. Sikapnya gagah sekali, mukanya tampan dan membayangkan kegagahan yang jarang dimiliki oleh laki-laki lain. Sepasang alisnya amat tebal dan giginya putih bersih serta kuat, wajahnya bersifat jantan dan cara ia bergerak menunjukkan bahwa ilmu silatnya tinggi sekali.

“Jadi kalian merasa penasaran dan datang untuk merampas kembali barang-barangmu? Ha-ha-ha, kalian ini seperti sekumpulan babi yang terlampau gemuk, yang kebingungan karena kehilangan sedikit makanan. He, babi-babi gemuk, ketahuilah bahwa makananmu itu telah menghidupkan banyak sekali orang dusun. Masih penasarankah kau?”

Tentu saja lima orang kauwsu itu marah sekali dimaki babi gemuk. Tan Koay Kok yang wataknya paling keras, segera majukan kudanya dan membentak,

“Enak saja membuka mulut. Kau memaki kami babi, kalau begitu kaulah anjing kelaparan yang bermata buta, menyerang siapa saja untuk mendapatkan tulang kering guna mengisi perutmu yang tiada dasarnya!”

Orang itu tersenyum sambil menggeleng kepalanya. Aneh sekali, ketika ia tersenyum, In Hong melihat seperti ada bayangan kedukaan besar sekali dibalik senyum itu. Diam-diam ia tertarik sekali kepada orang ini dan memperhatikan.

“Sayang sekali bukan demikian, sahabat. Aku juga orang yang kebetulan lewat di daerah sengsara ini. Melihat orang-orang kelaparan, aku lantas mencari beras untuk menolong mereka.”

“Tentu beras kami yang kau bagi-bagikan. Kau tentu kaki tangan dari Wu Wi Thaysu!”

Laki-laki itu menggeleng kepalanya. “Meski pun aku kagum kepada Wu Wi Thaysu, tetapi aku belum ada kehormatan bertemu dengan dia yang kini sedang sibuk mengobati orang-orang sakit di bagian lain, dengan menggunakan obat dari kereta-keretamu itu. Beras ini kuperoleh dari para hartawan yang mau tidak mau menyumbangkan persediaannya.”

“Dimana Wu Wi Thaysu? Kami hendak bertemu dengan dia!” kata The Kwan.

“Kalian hendak menagih utang? Tidak perlu mencari Wu Wi Thaysu, kalau kalian datang bukan untuk membawa gandum guna menolong orang banyak, lebih baik kalian pulang saja, jangan mengganggu pemandangan mata disini.”

“Jahanam busuk, kau kurang ajar sekali. Tidak tahukah dengan siapa kau berhadapan?” membentak Tan Koay Kok sambil majukan kudanya.

Laki-laki itu tadinya sudah hendak kembali ke tempat orang banyak, mendengar bentakan ini ia membalikkan tubuhnya lagi dan matanya menyapu rombongan itu. Ia hanya melihat sekilas saja kepada In Hong dan agaknya menganggap tidak ada gunanya memandang gadis itu.

“Dengan siapa? Tadinya kukira akan berhadapan dengan orang Bu-tong-pay yang berjiwa gagah, tidak tahunya hanya sekumpulan babi gemuk yang banyak lagak. Kalian mencari Wu Wi Thaysu mau apa? Kalau hendak mencari ribut, cukup dengan aku saja. Biar aku mewakili Wu Wi Thaysu menghajar kalian!”

Sebelum Tan Koay Kok turun tangan, Yo Kang sudah mendahuluinya. Pemuda ini cepat melompat turun dan menjura kepada orang gagah itu.

“Maafkan kami, saudara yang gagah. Sesungguhnya kami merasa kagum melihat kau menolong orang-orang ini, akan tetapi sikapmu benar-benar terlalu kasar.”

“Siapa kau?!” laki-laki itu membentak.

“Siauwte yang bodoh bernama Yo Kang, dan sebenarnya siauwte adalah pemilik barang-barang dalam kereta yang dirampas oleh Wu Wi Thaysu.”

“Jadi kau yang berjuluk Bu-tong Sin-to, anak murid Bu-tong-pay itu? Hm, seharusnya kau dapat menahan lidah orang-orangmu.”

“Maaf, dengan siapakah kami berhadapan? Saudara tentu seorang tokoh kangouw, dari golongan manakah gerangan?” tanya Yo Kang dan diam-diam In Hong memuji pemuda ini yang sikapnya jauh lebih baik dari pada guru-guru silat tua itu.

“Aku? Ha-ha-ha, akulah Bu Jin Ay, tidak ternama sama sekali. Yo Kang, kau mau apakah datang ke tempat ini?”

In Hong merasa geli dan juga terharu mendengar orang itu menyebutkan namanya. Mana ada orang yang bernama Bu Jin Ay (Tidak ada orang yang menyinta)? Tentu orang itu memakai nama palsu, pikirnya. Dan pikiran ini membuat dia diam-diam tersenyum. Cara orang itu memilih nama baik sekali!

Yo Kang juga bukan orang bodoh, dan ia tahu bahwa orang itu sengaja menyembunyikan nama aslinya.

“Aku hendak bertemu dengan Wu Wi Thaysu untuk minta penjelasan. Ada pun tentang sumbangan, yah, kalau dipikir-pikir sesungguhnya ada banyak perbedaan antara minta sumbangan, pinjam, atau merampas! Yang paling akhir ini, biar pun di kalangan kangouw bisa disebut tidak pantas!”

Yo Kang mulai bicara dengan nada gemas, karena tadi ia mendengar orang ini memuji-muji Wu Wi Thaysu dan mengejek pihaknya. Di hadapan Wu Wi Thaysu mungkin pemuda ini tidak berani bicara kasar, akan tetapi sikap orang ini yang amat berat sebelah benar-benar memanaskan perutnya dan membuat darah mudanya menjadi panas.

“Benar sekali kata-katamu, anak muda. Memang sebagai seorang murid Bu-tong-pay, kau patut mengerti akan hal itu. Tetapi kau masih muda dan masih hijau sehingga kau tidak dapat mengerti atau menduga bahwa Wu Wi Thaysu bukanlah orang yang merampas begitu saja. Aku berani bertaruh bahwa dia tentu lebih dulu minta atau minta tolong, baru merampas melihat orang-orangmu menolak permintaannya. Bukankah benar begitu?”

Mendengar ini, air muka Cong-piauwsu langsung berobah. Memang harus ia akui bahwa sebelum merampas, Wu Wi Thaysu telah berkali-kali minta tolong dan minta pinjam tujuh kereta terisi bahan makanan dan obat-obatan itu.

“Yo-kongcu, marilah kita melanjutkan perjalanan dan mencari Wu Wi Thaysu. Perlu apa mesti bercekcokan dengan orang luar?” katanya.

“Benar!” kata Tan Koay Kok yang gemas sekali melihat orang yang mengaku bernama Bu Jin Ay ini. “Perlu apa melayani segala jembel dan anjing kelaparan?”

Yo Kang menjura kepada Bu Jin Ay tanpa bicara lagi, lalu sekali melompat, dari tempat berdirinya dia sudah berada di punggung kudanya, tanpa binatang itu nampak terkejut. Dengan gerakan ini, Yo Kang memperlihatkan ilmu ginkang-nya dan kemahirannya naik kuda.

Akan tetapi Bu Jin Ay menghadang di tengah jalan. “Kalau kalian hendak mencari Wu Wi Thaysu, boleh saja, asal membawa lagi tujuh kereta gandum. Kalau tidak, jangan harap akan dapat melanjutkan perjalanan mengotori daerah yang sudah cukup sengsara ini!”

“Bedebah kotor, kau mau apakah?” Tan Koay Kok majukan kudanya. “Apakah matamu buta, tidak tahu bahwa kami berlima yang mengawani Yo-kongcu adalah Ngo-losu dari See-ciu yang tidak boleh dibuat main-main? Minggirlah, kalau tidak jangan katakan bahwa aku Liong-pian (Pian naga) Tan Koay Kok adalah orang yang suka menghina si lemah!”

Bu Jin Ay tertawa bergelak sehingga kuda yang ditunggangi oleh Tan Koay Kok menjadi kaget dan menggerak-gerakkan kepalanya.

“Ha-ha-ha, badut lucu! Kau sudah berani membuka mulut, maka kau harus didenda. Kau tidak membawa apa-apa, tetapi kudamu amat gemuk. Penduduk disini hanya menerima pembagian beras, sekarang kau mengantarkan kuda gemuk, banyak terima kasih!”

Tan Koay Kok marah bukan main dan ia sudah mengeluarkan pian baja yang lemas dan panjang, dengan senjata mana ia menyabet dengan hebatnya ke arah kepala Bu Jin Ay. Tenaga dari Tan Koay Kok sangat besar, maka sabetannya ini mengeluarkan angin dan kalau kepala orang itu terkena hantaman pian baja itu, tentu akan hancur berantakan. Akan tetapi apa yang terjadi?

Dengan tangan kosong orang itu menerima serangan pian dengan mengibas tangannya. Dari samping telapak tangan orang itu menghantam ujung pian sehingga senjata ini lantas membalik dan menghantam kepala kuda yang ditunggangi oleh Tan Koay Kok sendiri. Terdengar suara keras dan kepala kuda itu pecah terpukul oleh pian, kemudian binatang itu roboh terguling!

Tan Koay Kok tentu akan ikut roboh pula bila ia tidak cepat-cepat melompat ke samping. Mukanya pucat bukan main karena ketika pian tadi tersampok, ia tidak dapat menahan senjatanya sehingga memukul kepala kudanya dengan amat keras! Dari sini saja ia sudah tahu bahwa lweekang dari orang aneh ini benar-benar hebat dan jauh lebih tinggi dari pada tenaganya sendiri.

Bu Jin Ay tertawa senang. Dengan mudahnya ia memegang empat kaki-kuda. Kaki depan dipegang dengan tangan kiri sedangkan kaki belakang dengan tangan kanan. Kemudian ia mengangkat bangkai kuda itu dengan ringan, melontarkannya ke tengah dusun didekat orang-orang dusun yang berkumpul menonton pertempuran sambil berkata,

“Nah, kalian boleh membagi-bagi daging kuda gemuk ini!”

Orang-orang dusun itu menjadi gembira sekali. Sebentar saja kuda itu sudah dikuliti orang dan dagingnya dibagi-bagi.

“Kau benar-benar kurang ajar!” The Sun membentak keras sambil mencabut pedangnya.

Ilmu pedang dari The Sun amat lihay dan biar pun di atas kuda, ketika kudanya maju dan pedangnya berkelebat, sinar yang terang menuju ke arah tenggorokan Bu Jin Ay. Pedang itu sudah ditusukkan dengan gerak tipu Liong-teng-thi-cu (Ambil mutiara dikepala naga), dan serangan itu amat berbahaya.

“Kau merasa iri dan hendak mendermakan kudamu juga? Kam-sia (terima kasih), kam-sia...!” kata Bu Jin Ay.

Secepat kilat ia merendahkan tubuhnya sehingga ujung pedang lewat di atas kepalanya, kedua tangannya menangkap kaki depan kuda yang ditunggangi oleh The Sun kemudian menariknya ke atas. Tentu saja tubuh kuda itu menjadi berdiri dan The Sun tentu akan terlempar ke belakang kalau saja ia tidak mempergunakan kedua kakinya menjepit perut kuda dan mengerahkan tenaga lweekang pada kedua kaki.

Ia tidak tinggal diam dan dari samping pedangnya menyambar ke depan untuk menyerang orang yang memegang kaki depan kudanya. Akan tetapi sambil tertawa Bu Jin Ay telah menggerakkan kaki kanan menendang ke bawah perut kuda, mengenai dada kuda.

Tiba-tiba orang melihat tubuh The Sun terpental tinggi ke udara. Baiknya orang ini cepat mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga ia dapat jatuh di atas tanah dalam keadaan berdiri. Mukanya juga pucat dan peluhnya membasahi muka.

Tendangan Bu Jin Ay pada perut kuda tadi sekaligus melumpuhkan kedua kaki The Sun, karena tenaga lweekang yang disalurkan dari kaki ke perut kuda bukan main hebatnya. Ada pun kuda itu yang terluka isi perutnya, tewas pada saat itu juga.

Seperti tadi, kuda itu pun dilempar oleh Bu Jin Ay ke arah orang-orang dusun yang cepat menerima dan mengulitinya!

Melihat ini, The Kwan dan Lay Kiat menjadi marah. Mereka melompat turun dari kuda dan masing-masing mencabut senjata. The Kwan memegang pedang dan Lay Kiat memegang golok dan tanpa banyak cakap mereka menyerbu, menyerang Bu Jin Ay dengan hebat.

Ada pun In Hong ketika melihat dua kali gerakan Bu Jin Ay ketika merampas kuda tadi, dapat menduga bahwa kepandaian orang ini benar-benar tinggi dan agaknya kedudukan kakinya seperti ahli silat Siauw-lim-si.

Ia pernah mendengar penuturan yang jelas dari Hek Moli, bahwa seorang murid Siauw-lim-si kalau belum tinggi kepandaiannya, dilarang keras meninggalkan perguruan. Dan gurunya memuji-muji Siauw-lim-si sehingga Hek Moli sendiri yang sudah berani mengacau Go-bi-pay dan Kun-lun-pay, masih belum berani mencoba-coba untuk menguji kepandaian tokoh-tokoh Siauw-lim-pay yang jarang mau mencampuri dunia ramai itu.

Menghadapi serangan The Kwan dan Lay Kiat, Bu Jin Ay tertawa bergelak lantas berkata dengan suaranya yang nyaring,

“Yo Kang, kau lihat, orang-orangmu begini tak ada guna, bagaimana orang-orang macam ini akan kau hadapkan dengan Wu Wi Thaysu? Ha-ha-ha!” Tubuhnya berkelebat kesana sini dan biar pun golok dan pedang itu menyambar-nyambarnya, namun tak pernah dapat mendekatinya. Tiba-tiba terdengar suara keras dan tahu-tahu pedang dan golok itu saling beradu, lalu terpental dan melayang ke kanan-kiri.

Lay Kiat dan Thio Kwan melompat mundur dengan muka berobah merah. Tadi, ketika mereka menyerang berbareng, entah bagaimana, pergelangan tangan mereka tertangkap oleh Bu Jin Ay dan sekali menggerakkan tangan yang memegang pergelangan tangan kedua lawannya, Bu Jin Ay sudah memaksa mereka mengadu senjata sendiri, sedemikian kerasnya sehingga mereka tidak dapat menguasai tangan dan senjata mereka terlepas. Sebelum lawan merobohkan mereka, kedua orang yang tahu diri ini cepat melompat ke belakang.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar