“Bedebah, mampuslah kalian!” bentak Hek Moli dan kembali tongkatnya menyambar-nyambar.
Diam-diam Cu Sim Sanjin tertegun. Pukulannya dengan ujung lengan baju tadi adalah pukulan To-san-ciang (Pukulan menghantam gunung), hebatnya bukan main dan betapa pun kuat tubuh seorang lawan, pasti akan roboh kalau terkena pukulan ini. Akan tetapi, wanita tua ini hanya terhuyung tiga langkah, bahkan dapat mengamuk lagi dengan hebatnya. Benar-benar luar biasa sekali!
“Siluman wanita, bukankah kau datang dari Sik-kim dan kau adalah keturunan dari Bhutan Koay-jin (Orang aneh dari Butan)?”
Mendengar ini, berobahlah wajah Hek Moli, akan tetapi ia mengamuk makin hebat sambil berseru, “Tutup mulut dan mampuslah kalian!”
Tongkatnya membuat gerakan memanjang yang luar biasa kerasnya, disusul dengan gerakan terputar, kini tidak menghadapi lima orang pengeroyoknya, melainkan menindih dan mendesak kepada Wi Kong Tosu. Mana tosu Go-bi-pay ini mampu mempertahankan diri setelah tongkat itu khusus diserangkan kepadanya? Dengan tepat kepalanya terkena sambaran ujung tongkat sehingga pecah dan ia menggeletak tak bernyawa tanpa dapat mengeluarkan sedikitpun suara!
Akan tetapi, karena perhatiannya hanya ditujukan kepada seorang saja, sedetik setelah tongkatnya menghancurkan kepala Wi Kong Tosu, empat orang lawannya hampir berbareng melakukan serangan hebat. Pedang kiri Wi Tek Tosu menusuk pangkal lengan Hek Moli, ujung lengan baju Cu Sim Sanjin menampar kepalanya, Siang-koan-pit sebelah kanan dari Kim Sim Sanjin menotok jalan darah pada iganya, sedangkan ujung hud-tim (kebutan) dari Sun Sim Sanjin menotok jalan darah pada lehernya.
“Tongkat jahanam... ternyata manusia tidak seperti engkau... kau tidak bisa mati, tak bisa rusak akan tetapi aku... majikanmu... sudah lemah dan sekarang akan mati...”
Empat orang pengeroyoknya mendengar kata-kata ini dengan mata memandang heran, akan tetapi Cu Sim Sanjin orang tertua dari Kun-lun-pay yang mengerti akan maksud kata-kata ini, merasa kasihan. Memang ia terkenal seorang yang mudah sekali merasa kasihan kepada orang-lain, oleh karena itu ia dijuluki Cu Sim Sanjin (Orang-gunung berhati penuh welas asih).
“Hek Moli, kau salah duga. Biar pun tongkat benda mati namun ia bisa lapuk dan rusak.” Sambil berkata demikian ia menyambar tongkat panjang yang tertindih oleh tubuh Hek Moli, menggenggamnya di kedua tangan. Ia mengerahkan lweekang-nya yang paling tinggi di antara kawan-kawannya. Terdengar suara “krek! krek!” dan tongkat itu hancur pada bagian yang dicengkeramnya, lalu patah menjadi tiga potong.
“Lihat, Hek Moli, tongkatmu pun lapuk dan tua seperti kau.”
“Cu Sim Sanjin... terima kasih...” Hek Moli tersenyum puas, terengah-engah.
“Hek Moli, sebelum kau pergi, terangkanlah kepada pinto, apakah betul dugaanku bahwa kau ada hubungan dengan Bhutan Koay-jin dari Sikkim?” tanya Cu Sim Sanjin.
Hek Moli memandang kepadanya, lalu tersenyum pahit.
“Kau baik... sudah berusaha menghiburku... kau tidak tahu... Koay-jin itu adalah... adalah suamiku...” Setelah berkata demikian, Hek Moli tertawa lemah dan suara tertawanya menghilang bersama nyawanya.
Cu Sim Sanjin menarik napas panjang. “Pantas saja dia begini ganas. Kalau mengingat akan nasib suaminya, masih cukup baik bila dia tidak membunuh secara buta tuli...”
“Siapakah Butan Koay-jin?” tanya Wi Tek Tosu penasaran mendengar tokoh Kun-lun-san ini masih menaruh hati kasihan kepada Hek Moli.
Cu Sim Sanjin menggeleng kepalanya, “Diberitahu juga kau takkan mengerti, Wi Tek To-yu. Lebih baik kau merawat empat orang kawanmu yang terbinasa. Kami tidak dapat tinggal lebih lama lagi, selamat berpisah.” Setelah berkata demikian, Cu Sim Sanjin mengajak kedua orang sute-nya pergi meninggalkan tempat itu. Sebelum jauh ia menengok dan berkata lagi,
“Kami datang karena kau undang dan Hek Moli mau pun empat orang kawanmu tewas dalam pertempuran yang diadakan oleh Go-bi-pay. Oleh karena itu, disamping empat orang kawanmu, agaknya sudah sepatutnya kalau kau merawat jenazah Hek Moli juga.”
Wi Tek Tosu mendongkol sekali mendengar kata-kata ini, akan tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu karena tiga orang kakek Kun-lun-pay itu sudah pergi dan tidak kelihatan bayang-bayangnya lagi. Betapa pun juga, ia harus akui bahwa tanpa bantuan tiga orang kakek Kun-lun-pay itu, ia takkan dapat membunuh Hek Moli, bahkan nyawanya sendiri tentu akan terbang pula oleh nenek yang sakti ini.
Ia berhasil membujuk Kim Sim Sanjin untuk datang membantunya melawan Hek Moli dan hanya karena Kim Sim Sanjin pernah dikalahkan oleh Hek Moli maka tiga orang kakek itu mau datang membantu. Pula, ia telah berdaya untuk memanaskan hati mereka dengan menyatakan betapa kejamnya Hek Moli sehingga muridnya, yakni Tek Seng Cu dibuntungi lengannya oleh nenek itu.
Kini, biar pun ia sudah dapat membunuh Hek Moli, akan tetapi tiga orang sute-nya tewas, bahkan muridnya juga tewas oleh Hek Moli. Bagaimana ia sudi mengubur dan merawat jenazah nenek yang mendatangkan mala petaka bagi Go-bi-pay ini? Apa lagi kalau diingat bahwa ia harus menghadapi pertanggungan jawabnya apabila pibu ini terdengar oleh suhu-nya, yakni Pek Eng Taysu.
Sudah berkali-kali Pek Eng Taysu menyatakan bahwa Go-bi-pay tidak ada urusan dendam dengan Hek Moli. Memang betul bahwa Hek Moli sudah pernah naik ke Go-bi-san, sudah menjatuhkan mereka, bahkan melukai Tek Seng Cu, akan tetapi semua itu terjadi dalam sebuah pibu yang adil. Tidak ada alasannya untuk bersakit hati.
“Apa lagi untuk membalasnya dengan jalan pibu. Pinto sendiri sudah bosan main-main seperti anak kecil, mengadu kepalan seperti badut. Sedangkan kiraku tak seorangpun di antara kalian yang dapat menandinginya, maka sudahlah, urusan kecil itu habiskan saja.” Pek Eng Taysu pernah berkata ketika murid-muridnya mengajukan penasaran dan hendak membalas kepada Hek Moli.
Sekarang, di luar tahunya Pek Eng Taysu, Wi Tek Tosu dan tiga orang sute-nya, bersama muridnya, minta bantuan tiga kakek Kun-lun-pay dan berhasil menewaskan Hek Moli. Akan tetapi tiga orang sute-nya dan seorang muridnya tewas, bagaimana ia dapat menjawab pertanyaan suhu-nya?
“Dia inilah yang menjadi gara-gara dan biangkeladi?” Wi Tek Tosu memaki sambil memandang kepada jenazah Hek Moli yang menggeletak miring. Makin dipandang, makin gemaslah dia, apa lagi kalau ia memandang kepada empat mayat kawan-kawannya. Dalam kegemasannya, Wi Tek Tosu mencabut siang-kiamnya (sepasang pedangnya), lalu menghampiri jenazah Hek Moli.
“Siluman wanita, kalau belum menghancurkan tubuhmu, aku belum puas!” katanya.
Pedang kanannya digerakkan dan “bless!” pedang itu amblas ke dalam punggung Hek Moli. Ia mencabut pedang itu dan hendak diayun lagi untuk memenggal leher mayat Hek Moli. Akan tetapi, tiba-tiba menyambar sebuah benda kecil yang tepat mengenai pedang yang diayunnya itu.
“Criing...!”
Wi Tek Tosu terkejut dan melompat mundur. Tangannya terasa tergetar. Ia mengira bahwa tiga orang kakek Kun-lun-san yang kembali dan mengganggunya, akan tetapi ketika ia menengok, ia melihat seorang laki-laki bertubuh gagah, bermata tajam dan beralis tebal sedang memandangnya sambil bertolak pinggang. Laki-laki ini berusia empat puluh tahun lebih dan melihat pakaiannya yang sederhana itu, mudah diduga bahwa dia adalah seorang ahli silat yang sedang melakukan perjalanan jauh dengan jalan kaki.
“Wi Tek Totiang, mengapa seorang pendeta seperti kau mau mengganggu tubuh yang sudah tak bernyawa lagi?” tanya laki-laki gagah itu dengan suaranya yang keras.
Wi Tek Tosu tentu saja mengenal laki-laki gagah itu karena dia ini adalah seorang tokoh kangouw yang terkenal. Dengan muka berobah merah sekali saking jengah dan malu, Wi Tek Tosu tertawa masam lalu berkata,
“Eh, kiranya Ong Tiang Houw Tayhiap yang datang. Baiknya tayhiap keburu mencegah pinto yang menjadi hilap karena amarah sehingga pinto tidak jadi merusak mayat manusia iblis ini.” Wi Tek Tosu menyimpan kembali pedangnya.
“Siapakah dia itu?” tanya orang gagah yang bukan lain adalah Ong Tiang Houw yang sudah kita kenal dibagian depan dari cerita ini. Ia mendekati dan agak terkejut ketika mendapatkan mayat-mayat lain yang ia kenal sebagai tosu-tosu terkemuka dari Go-bi-pay. “Ayaa... a...! Kulihat tosu-tosu Go-bi-pay ada yang tewas pula! Apakah yang telah terjadi, totiang?”
Wi Tek Tosu menarik napas panjang. “Sute-sute-ku dan muridku sebanyak empat orang ini tewas oleh siluman wanita ini.”
Ong Tiang Houw kini mengalihkan perhatiannya kepada mayat Hek Moli. Ia melihat mayat seorang nenek tua yang berpakaian buruk, bertubuh kurus panjang dan mukanya tidak kelihatan karena tertutup oleh lengannya, didekatnya terdapat sebatang tongkat hitam panjang yang sudah patah-patah. Ia merasa hatinya terguncang keras.
“Wi Tek Totiang, tahukah kau siapa adanya wanita tua ini?” tanyanya sambil menekan guncangan hatinya.
“Dia adalah Hek Moli, iblis wanita yang sejahat-jahatnya,” jawab Wi Tek Tosu. “Tanpa sebab dia pernah naik ke Go-bi-san, menghina kami, malah membuntungi sebelah lengan muridku. Hari ini muridku bersama sute-sute-ku hendak memberi hajaran kepadanya, akan tetapi dia ternyata jahat dan ganas sekali sehingga murid dan sute-sute-ku tewas. Baiknya kami dapat menewaskan pula siluman ini.”
Mendengar bahwa nenek itu adalah Hek Moli, muka yang tampan dari Ong Tiang Houw menjadi gelap, dan hatinya tidak enak sekali. Ia memandang tajam kepada Wi Tek Tosu sambil berkata,
“Wi Tek Totiang, aku tidak tahu urusan apa yang terjadi antara Hek Moli dan Go-bi-pay, akan tetapi yang jelas, dia ini lihay sekali sehingga dapat mengalahkan empat orang tokoh Go-bi-pay. Sekarang dia tewas, bagaimanapun juga, tidak patut sekali kalau kau menuruti nafsu iblis dan merusak mayat yang tidak bernyawa lagi.”
Kembali muka tosu itu menjadi merah. Ia menjura dan kata-katanya terdengar kering, “Ong-tayhiap, kau tidak tahu bagaimana sakit hati orang melihat tiga orang sute dan seorang muridnya menggeletak tak bernyawa, sehingga pinto menjadi mata gelap. Baiknya kau datang sehingga pinto tak jadi melakukan hal-hal yang kurang layak. Terima kasih atas kedatanganmu ini.”
Setelah berkata demikian, tanpa meno]eh kepada Tiang Houw lagi, Wi Tek Tosu lalu menghampiri empat mayat kawan-kawannya, mengambil empat mayat itu satu demi satu, lalu memanggul mereka dengan sedikitpun tak kelihatan berat, kemudian ia lari turun gunung O-mei-san dengan cepat.
Ong Tiang Houw hanya memandang dan menarik napas panjang. “Tak pantas menjadi pendeta,” celanya dengan suara perlahan.
Kemudian ia menghampiri mayat Hek Moli, menurunkan lengan yang menutup muka nenek itu. Ia melihat wajah yang sudah tua, wajah yang keriputan dan menghitam, yang kelihatan sekelebatan amat buruk. Akan tetapi ketika ia memperhatikan, ternyata olehnya bahwa sebetulnya wajah itu mempunyai garis-garis yang amat baik, bahwa mata, hidung dan mulut itu dahulunya amat baik, wajah seorang yang dahulu amat cantik.
Teringatlah ia akan pesan dari mendiang suhu-nya, yakni Bu Sek Tianglo ketika kakek itu hendak menghembuskan nafas terakhir,
“Tiang Houw, kelak kalau kau sudah terjun ke dunia kangouw, dan kau bertemu dengan seorang wanita yang memakai nama julukan Hek Moli, betapa pun jahat ia nampaknya, jangan kau mengganggunya. Bahkan kau harus membela dia sedapat mungkin, Tiang Houw. Dialah satu-satunya orang di dunia ini yang kupuja, yang kuhormati dan yang takkan pernah terbayar budinya yang telah kuterima. Bela dan lindungi dia, Tiang Houw, sungguhpun ilmu silatnya sudah amat tinggi, mungkin dia dibenci orang-orang kangouw...”
Dalam perantauannya di dunia kangouw memang Tiang Houw telah seringkali mendengar akan nama Hek Moli yang amat ditakuti orang, akan tetapi belum pernah ia bertemu muka dengan orangnya. Ia mencari-cari keterangan dan akhirnya ia mendapat gambaran bahwa orang yang namanya Hek Moli adalah seorang nenek seperti siluman, bertongkat panjang hitam, berpakaian butut dan berwajah buruk sekali, mempunyai watak aneh dan ganas.
Dan kini, di puncak O-mei-san, tanpa tersangka-sangka, ia telah bertemu dengan Hek Moli dalam keadaan sudah tak bernyawa lagi. Namun, hatinya bersyukur bahwa dalam saat terakhir itu ia telah dapat memenuhi pesanan suhu-nya, yakni membela Hek Moli, sungguhpun pembelaannya itu amat sedikit artinya, yakni hanya mencegah orang merusak mayat nenek itu. Dengan sebutir senjata rahasia thi-lan-ci, ia tadi mencegah Wi Tek Tosu menurunkan pedang merusak jenazah Hek Moli. Diam-diam ia merasa lega.
Ia dapat membayangkan betapa sukar kedudukannya kalau ia datang lebih pagi, yakni selagi Hek Moli bertempur menghadapi pengeroyokan orang-orang Go-bi-pay. Apa yang harus ia lakukan? Biar pun suhu-nya sudah meninggalkan pesan agar ia membela Hek Moli, akan tetapi suara yang ia dengar tentang Hek Moli yang dianggap sebagai seorang iblis wanita ganas dan kejam, lagi pula suka mencari perkara, membuat ia ragu-ragu.
Apa lagi kalau melihat Hek Moli bertempur melawan tokoh-tokoh Go-bi-pay! Ia mengenal baik ketua Go-bi-pay, yakni Pek Eng Thaysu yang diketahuinya benar-benar adalah seorang kakek pertapa yang berhati mulia dan suci. Ia tahu bahwa Go-bi-pay adalah sebuah partai persilatan yang amat besar, berpengaruh dan ternama, yang menghasilkan banyak pendekar-pendekar budiman. Bagaimana ia dapat membantu Hek Moli dan bermusuhan dengan Go-bi-pay?
“Betapa pun juga, aku telah membelanya,” kembali Tiang Houw menghela napas lega, “setidaknya membela mayatnya.”
Ia lalu menggali lubang di tempat yang baik di puncak gunung, kemudian memondong mayat nenek itu dan menguburnya baik-baik. Agar kuburan itu tidak akan lenyap begitu saja tanpa bekas, ia lalu mengambil tongkat hitam yang sudah patah-patah itu, kemudian ia menancapkan tiga potongan tongkat itu di depan gundukan tanah kuburan.
Bagaimana Ong Tiang Houw dapat tiba di O-mei-san dan kebetulan sekali dapat mencegah Wi Tek Tosu merusak mayat Hek Moli? Untuk mengikuti perjalanan Ong Tiang Houw, baiklah kita mundur sebentar dan mengikuti pengalaman Nyonya Kwee Seng…..
********************
Seperti telah dituturkan dibagian depan dari cerita ini, empat belas tahun yang lalu Ong Tiang Houw memimpin pasukan rakyat yang mempergunakan nama Kay-sin-tin, menyerbu dan membasmi orang-orang hartawan dan bangsawan di beberapa dusun, termasuk dusun Tiang-on. Sudah diceritakan pula betapa keluarga hartawan Kwee Seng pun menjadi korban. Kwee Seng sendiri tewas terkena sambaran senjata rahasia thi-lian-ci dari Ong Tiang Houw, adapun Kwee-hujin atau Nyonya Kwee yang masih muda dan cantik jelita itu menarik hati Ong Tiang Houw sehingga duda yang masih muda dan gagah ini tidak tega untuk membunuhnya, bahkan lalu melarikannya di atas kuda.
Kwee Hujin, atau nama kecilnya Yo Cui Hwa, siuman dari pingsannya, membuka mata perlahan dan mengeluarkan suara rintihan. Ia membuka mata lebar-lebar ketika merasa betapa angin menyambar-nyambar dan membuat kulit mukanya terasa dingin. Ia melihat pohon-pohon berlari-larian cepat sekali dan setelah ia sadar betul-betul, barulah ia tahu bahwa ia berada dalam pondongan seorang laki-laki di atas kuda!
Kenyataan ini demikian mengejutkan dan mengerikan hatinya sehingga sambil mengeluarkan keluhan lemah, nyonya muda ini pingsan kembali dalam pelukan Ong Tiang Houw. Tiang Houw merasa betapa tubuh nyonya yang dipondongnya tadi bergerak perlahan, lalu lemas kembali, akan tetapi kini terasa hawa panas keluar dari tubuh yang dipondongnya itu. Bukan main panasnya sehingga ia sendiri sampai berpeluh.
Ia menahan kendali kudanya dan meraba jidat nyonya Kwee. Alangkah terkejutnya ketika tangannya meraba kulit jidat yang panas seperti terbakar. Ternyata bahwa luka dikepala karena beradu dengan batu, ditambah dengan pukulan batin melihat dirinya dilarikan oleh seorang laki-laki, telah menda-tangkan demam hebat pada diri Yo Cui Hwa nyonya muda itu.
“Dia harus cepat-cepat mendapat perawatan yang baik,” Ong Tiang Houw berkata seorang diri. Cepat ia membalapkan kuda menuju ke kampungnya sendiri.
Saat Yo Cui Hwa sadar kembali, ia mendapatkan dirinya telah rebah di atas pembaringan sederhana dalam sebuah kamar yang bersih. Di atas meja dekat pembaringan itu terdapat sebuah tempat kembang terisi kembang yang masih segar. Keadaan disitu tenteram dan damai, menyenangkan sekali.
“Ibu, harap suka minum dulu obat ini agar lekas sembuh.”
Cui Hwa tersentak kaget dan menengok. Di sebelah pembaringan, ternyata seorang anak laki-laki berusia kurang lebih enam tahun tengah berlutut dan memegang sebuah mangkok terisi obat masakan yang masih hangat dan berbau harum. Cui Hwa tercengang. Anak itu berwajah bundar, kulit mukanya putih bersih, matanya bersinar dan bibirnya merah. Benar-benar muka seorang anak laki-laki yang tampan sekali.
Cui Hwa segera bangun dan duduk, memandang dengan mata terbuka lebar-lebar.
“Siapa kau? Dimana aku...?”
“Ibu, anak adalah Teng San dan ibu berada di rumah kita sendiri. Marilah minum obatnya, ibu...,” ucapan itu seperti tadi, terdengar amat halus dan penuh kasih sayang, sehingga Cui Hwa menjadi makin heran.
“Bagaimana kau memanggil aku ibu dan... dan bagaimana aku bisa berada disini? Apa artinya ini semua?” Cui Hwa hampir menjerit saking tegangnya perasaan diwaktu itu.
Semua ini terjadi seperti dalam mimpi buruk. Tahu-tahu ia berada disebuah kamar asing dan anak laki-laki ini, yang selama hidupnya belum pernah dilihatnya, tiba-tiba saja menyebutnya sebagai ibunya! Gilakah dia?
Anak laki-laki itu memandang dan bibirnya bergerak seperti orang berduka. “Ibu, anak mohon ibu minum dulu obat ini agar lekas sembuh. Tentang semua pertanyaan itu, nanti akan anak jawab setelah ibu minum obat.”
Kata-kata yang amat halus dan penuh perhatian itu benar-benar membuat Cui Hwa terharu. Tak dapat lagi ia menolaknya, maka sambil memandang muka anak itu tanpa berkedip, ia menerima mangkok dan minum isinya tanpa ragu-ragu lagi. Rasanya agak pait dan masam. Adapun anak itu memandang dengan muka berseri ketika melihat Cui Hwa minum obatnya, kemudian anak itu memandang kagum melihat betapa muka Cui Hwa bergerak-gerak menahan rasa pahit. Dalam pandangannya, muka itu bukan main indahnya.
“Pahit, ibu?” tanyanya dan suaranya mengandung kasih sayang yang menggetarkan kalbu Cui Hwa. Ia menaruh mangkok kosong itu di atas meja dekat pembaringan, kemudian ia bertanya,
“Nah, sekarang ceritakanlah yang jelas. Siapa namamu tadi? Teng San?”
“Ong Teng San nama anak, ibu. Ayahku yang membawa ibu dalam keadaan sakit hebat. Kata ayah, ibu ditolong oleh ayah dari ancaman maut, dan menurut ayah, kau adalah pengganti ibuku yang sudah meninggal dunia. Kata ayah, aku harus menganggap kau sebagai ibuku sendiri, dan karena... karena aku pun suka sekali mempunyai ibu seperti kau, maka aku menurut pesan ayah dan merawat ibu disini. Anak merasa senang sekali melihat ibu berangsur sembuh dan...”
“Nanti dulu!” Cui Hwa kini memandang pucat. “Apa kau bilang? Siapa itu ayahmu? Bagaimana ia berani sekali mengatakan bahwa aku...”
“Ibu, maafkanlah ayah... dia seorang yang paling mulia di dunia ini, jangan marah kepadanya. Dia... di... ibuku... telah meninggal dunia setahun lebih yang lalu dan dia... aku... amat berduka.”
Melihat anak itu menangis tersedu-sedu, Cui Hwa menjadi terharu. Memang, kesedihan hati sendiri akan terobat melihat penderitaan atau kesedihan orang lain, dan untuk sementara, seorang berhati mulia seperti Cui Hwa yang sedang berduka, akan melupakan kedukaan sendiri menghadapi orang lain yang demikian berduka. Ia turun dari pembaringan, memegang pundak Teng San dan menyuruhnya berdiri.
“Diamlah, nak,” ia mengelus-elus kepala anak itu. “Dan kau pergilah, panggil ayahmu kesini.”
“Akan tetapi jangan marah kepadanya, ibu...”
Melihat betapa sepasang mata yang tajam dan bening itu memandang kepadanya dengan penuh permohonan, mengucurlah airmata dari sepasang mata Cui Hwa dan dengan mulut tersenyum sedih, ia menggeleng perlahan kepalanya sambil berkata perlahan,
“Kalau ayahmu sebaik engkau, aku takkan marah, Teng San.”
Mendengar ini, Teng San kelihatan girang sekali dan ia lalu berlari keluar. Sampai di pintu, ia menengok kembali dan berkata,
“Kau duduklah dulu, ibu. Jangan berdiri saja, kau masih lemah. Biar anak memanggil ayah!”
Cui Hwa menghela napas dan duduk, termenung. Dalam rumah siapakah ia tiba? Dengan orang macam apa ia akan berhadapan? Ia mengingat kembali semua pengalamannya. Yang teringat olehnya hanyalah bahwa suaminya sudah menggeletak mandi darah di dalam hutan, kemudian ia dibawa lari di atas kuda oleh seorang laki-laki yang tak dilihat mukanya diwaktu itu. Apakah laki-laki itu yang menjadi ayah Teng San?
“Suamiku... agaknya kau... kau telah...” Sampai disini, air matanya turun bertitik-titik di atas sepasang pipinya yang agak pucat. Kemudian ia teringat akan puterinya, In Hong, maka makin deraslah air matanya.
“In Hong... bagaimana nasibmu, anakku...??” bisiknya.
Pada saat itu, terdengar suara langkah orang di luar pintu kamar. Teng San muncul bersama seorang laki-laki yang sikapnya gagah, pakaiannya sederhana, dan wajahnya tampan.
“Ibu, mengapa kau menangis...?” Teng San berlari menghampiri Cui Hwa dan memeluk nyonya muda yang sedang duduk menangis itu. “Jangan bersedih, ibu, ada Teng San disini yang akan menghiburmu.”
Cui Hwa makin terharu dan tak terasa pula ia mendekap kepala anak itu kepangkuannya, terisak-isak menangis. Kemudian ia teringat akan laki-laki yang datang bersama Teng San, maka ia lalu mengangkat muka memandang.
Dua pasang mata bertemu lama, yang sepasang penuh kasih sayang, yang sepasang lagi penuh selidik dan curiga, akhirnya sepasang mata Cui Hwa yang memandang penuh selidik itu mengalihkan ke bawah, mukanya menjadi agak merah karena ia merasa amat tidak enak dan malu berhadapan dengan seorang laki-laki muda yang tak dikenalnya di dalam kamar yang asing itu. Baiknya disitu ada Teng San, maka ia mengelus-elus kepala anak itu untuk menghilangkan kebingungannya.
“Kau sayang kepada Teng San, bagus sekali. Bukan main lega hatiku melihatnya,” terdengar laki-laki itu berkata dan suaranya mempunyai gaya seperti suara Teng San, halus dan lemah lembut, namun berpengaruh.
Dengan perlahan, Cui Hwa mendorong kepala Teng San dari pangkuannya dan anak ini lalu duduk di atas pembaringan dekat Cui Hwa.
“Kau siapakah? Dan apa maksudnya ini semua? Mengapa kau membawaku kesini dan bagaimana dengan... suamiku? Dimana pula In Hong anakku?” Cui Hwa hanya sebentar saja menatap wajah laki-laki itu, karena pandang mata yang penuh kekaguman dan kasih sayang yang ditujukan kepadanya itu membuat ia tidak berani memandang dan bertemu pandang terlalu lama.
Laki-laki itu yang bukan lain adalah Ong Tiang Houw, menarik sebuah bangku di dekat meja, lalu duduk. Ia menarik napas panjang berkali-kali, agaknya hendak menenteramkan hatinya yang berguncang, kemudian berkata lambat-lambat,
“Biarlah kita bicara dengan hati terbuka dan biar pun yang akan kita bicarakan ini tidak patut didengarkan oleh seorang anak-anak, akan tetapi kurasa lebih baik Teng San biar tinggal disini agar kau tidak merasa kikuk dan pula lebih pantas kalau dia mengawanimu disini.”
Hati Cui Hwa lega mendengar kata-kata ini, ia merasa setuju dan terhibur mendengar kata-kata yang mencerminkan sikap sopan dan jujur ini, maka ia mengangguk menyetujui.
“Aku bernama Ong Tiang Houw, seorang... duda yang hidup berdua dengan puteraku ini, Ong Teng San...”
Kembali Cui Hwa mengangguk tanda bahwa ia sudah mengerti akan hal ini, karena memang ia sudah mendengar dari Teng San bahwa ibunya meninggal dunia setahun lebih yang lalu. Nama Ong Tiang Houw tidak pernah dikenalnya, maka tidak mendatangkan sesuatu yang aneh. Padahal bagi dunia kangouw, nama ini tentu akan dikenal baik sebagai nama seorang pendekar muda yang lihay sekali!
“Dua pekan yang lalu, pada suatu malam, lewat tengah malam, aku mendapatkan kau menggeletak di dalam hutan dalam keadaan pingsan dan...”
“Dua pekan yang lalu?” Cui Hwa mengulang dan ia memandang wajah Tiang Houw untuk sejenak.
Tiang Houw mengangguk. “Ya, dua pekan yang lalu. Kau telah menderita sakit demam yang cukup hebat selama hampir dua pekan.”
“Aahhh... teruskanlah.”
“Selain kau, aku melihat pula... seorang laki-laki rebah di atas tanah dalam keadaan sudah... tewas.”
Cui Hwa tak dapat menahan air matanya yang mengucur keluar. Ia mengangguk-angguk kemudian berkata terputus-putus, “Aku tahu, aku tahu... aku melihat dia... suamiku... menggeletak dengan kepala penuh darah. Sudah kuduga... dia tentu sudah... meninggal dunia...”
Tiang Houw membiarkan nyonya muda itu terisak-isak sebentar dan Teng San memeluk Cui Hwa, “Tenanglah, ibu, harap suka menguatkan hati...”
“Teruskanlah...” minta Cui Hwa dengan suara sayu.
“Karena di dalam keributan itu aku tidak dapat melakukan sesuatu untuk menolongmu, maka terpaksa aku lalu membawamu pergi dari tempat berbahaya itu dan membawamu pulang ke rumahku ini. Kau berada dalam keadaan pingsan dan ketika kau kubawa kesini, kau terserang demam hebat. Nah, hanya itulah yang dapat kuceritakan.”
Cui Hwa kembali mengangkat muka, memandang kepada Tiang Houw dengan sinar mata penuh selidik.
“Siapakah yang membunuh suamiku?”
Ketika ia melakukan pertanyaan ini, kedua matanya demikian tajam menatap wajah Tiang Houw sehingga yang dipandang terpaksa mengalihkan pandang matanya kekanan, tidak berani menghadapi sinar mata Cui Hwa secara langsung.
Tiang Houw adalah seorang laki-laki gagah perkasa yang tidak akan merasa gentar menghadapi keroyokan musuh yang bagaimana kuatpun, akan tetapi kini menghadapi Cui Hwa dengan sinar matanya yang bening tertutup air mata itu dan mendengar pertanyaan yang diucapkan oleh bibir yang gemetar, hatinya berdebar keras! Dan baru pertama kali ini selama hidupnya, Tiang Houw merasa takut dan tidak merasa malu untuk membohong!
“Malam hari itu terjadi keributan besar, orang-orang miskin membalas dendam kepada orang-orang yang menindas mereka, aku hanya mendapatkan kau dan... suamimu dalam keadaan seperti yang kututurkan tadi, bagaimana aku bisa tahu?” jawab Tiang Houw secara menyimpang.
“Ibu, kalau ayah tahu orang yang membunuh, tentu pembunuh itu takkan dapat melarikan diri. Ayah adalah seorang gagah yang berkepandaian tinggi...”
“Teng San, jangan menyombong!” tegur Tiang Houw.
“Tidak, ayah, terhadap orang lain tentu saja anak tidak akan mau menyombongkan diri atau menyombongkan ayah, tetapi di depan ibu...” Akan tetapi, ia segera menghentikan kata-katanya ketika melihat pandang mata ayahnya melarangnya bicara terus.
Cui Hwa termenung sejenak. Kemudian ia bertanya,
“Dan tahukah kau dimana adanya puteriku, In Hong?”
“Sayang sekali aku tidak tahu, dan ketika aku mendapatkan kau di dalam hutan itu, aku tidak melihat lain orang, tidak melihat seorang anak-anak disana.”
Kembali Cui Hwa termenung. Memang ia tahu bahwa Tiang Houw tak mungkin bertemu dengan In Hong. Anaknya itu sudah melarikan diri dengan Can Mama, dan ia tidak tahu bagaimana nasib mereka.....