Asmara Si Pedang Tumpul Jilid 26

Walau pun menjadi tamu dari Si Kedok Hitam, namun Ouwyang Cin dan Maniyoko masih asing dengan gerakan mereka sebab agaknya Si Kedok Hitam masih belum percaya betul kepada mereka. Semua hal dirahasiakan, hanya bila Si Kedok Hitam ingin bicara dengan mereka, baru muncul seorang utusan yang mengundang mereka datang di suatu tempat. Malam ini pun mereka berdua dijemput dan diantar dengan sebuah perahu kecil menuju ke perahu besar itu karena Yang Mulia mengundang mereka.

Setelah Tung-hai-liong Ouwyang Cin dan Maniyoko dipersilakan masuk ke dalam ruangan besar di perahu itu, mereka disambut oleh Si Kedok Hitam yang sudah duduk di sana. Di tempat itu hadir pula belasan orang yang kesemuanya bertopeng dengan berbagai warna. Melihat ini, Tung-hai-liong Ouwyang Cin yang selalu bersikap angkuh dan tak mau tunduk itu tertawa bergelak.


"Ha-ha-ha-ha, aku merasa seperti sedang berada di atas panggung wayang, menghadapi orang-orang berkedok! Yang Mulia, aku sudah mau mengalah dan memanggilmu dengan sebutan Yang Mulia, maka kiranya sudah tiba saatnya engkau memperkenalkan diri siapa engkau dan siapa pula anak-anak buahmu ini. Bagaimana mungkin aku bisa bekerja sama dengan orang-orang berkedok yang tidak kukenal?"

Si Kedok Hitam tidak menjadi marah. Dia telah mengenal baik watak para datuk dan tidak mengherankan bila Ouwyang Cin bersikap angkuh. Dia adalah datuk di daerah timur yang kekuasaannya seperti seorang raja muda saja! Si Kedok Hitam tertawa di balik kedoknya.

"Tung-hai-liong dan Maniyoko, silakan duduk. Ketahuilah bahwa kami adalah orang-orang rahasia yang bekerja secara rahasia pula. Oleh karena itu wajah kami hanya dapat kami perlihatkan kepada kawan-kawan seperjuangan yang telah kami percayai sepenuhnya."

Berkerut sepasang alis dari datuk yang berkepala botak dan berperut gendut itu. "Bagus! Kalau kalian belum percaya kepada kami berdua, mengapa kami diundang untuk bekerja sama?" kata Tung-hai-liong Ouwyang Cin dengan suaranya yang dingin.

"Pekerjaan kami adalah pekerjaan besar, sebuah perjuangan yang teramat penting. Untuk dapat mempercayai seorang yang bersekutu dengan kami, haruslah kami uji dahulu agar cita-cita kami tidak akan gagal. Malam inilah saat penentuan, dan besok pagi-pagi engkau harus dapat membuktikan kesetiaanmu terhadap kami, baru kami akan memperkenalkan diri kepadamu, Tung-hai-liong."

Kalau saja yang bicara seperti itu bukan Si Kedok Hitam yang menjadi pemimpin sebuah persekutuan besar yang kuat, tentu Ouwyang Cin sudah marah dan menyerangnya. Dia memandang dengan mata melotot, seperti hendak menembusi kedok itu dengan pandang matanya, kemudian dia bertanya, suaranya masih kaku dan dingin,

"Hemm, bukti kesetiaan macam apa yang harus kulakukan, Yang Mulia?"

"Pada esok hari engkau dan muridmu harus mampu membunuh Raja Muda Yung Lo dan Pangeran Mahkota, atau paling tidak salah seorang di antara mereka!"

Ouwyang Cin meloncat bangkit dari kursinya, diikuti oleh Maniyoko. "Gila! Ini sama saja dengan menyuruh kami berdua memasuki lautan api! Tidak, kami tidak sudi!"

"Kami akan melindungimu, Tung-hai-liong,” bujuk Si Kedok Hitam.

"Tidak, sekali lagi tidak! Kami mau bekerja sama, tapi aku bukan pembunuh bayaran, apa lagi membunuh pangeran! Aku mau saja bertempur, memimpin pasukan dan anak-anak buahku, bukan menyelinap seperti maling untuk melakukan pembunuhan gelap."

"Tung-hai-liong, kalau engkau ingin bekerja sama dengan kami, kalau kelak ingin menjadi raja muda, haruslah taat kepada kami dan membuktikan kesetiaanmu."

"Hemmm, sejak kecil aku tidak pernah mentaati perintah siapa pun juga! Aku hanya mau bekerja sama, bukan hendak menghambakan diri kepadamu. Sudahlah, agaknya di antara kita tidak ada kecocokkan, lebih baik kami pergi saja. Maniyoko, mari kita pergi!" Datuk itu sudah marah sekali.

"Tunggu dulu, Tung-hai-liong! Kami kira kalian takkan dapat pergi begitu saja, karena mau tidak mau kalian harus melaksanakan perintah kami! Kalian tidak dapat menolak lagi."

"Hemm, Kedok Hitam, apa maksud ucapanmu itu?" Ouwyang Cin membentak, kini tidak mau lagi menyebut Yang Mulia.

"Lihatlah sendiri!!" Si Kedok Hitam bangkit, diikuti belasan orang pembantunya, kemudian memberi isyarat kepada Ouwyang Cin dan Maniyoko supaya mengikuti mereka. Setelah tiba di depan kamar perahu paling ujung, Si Kedok Hitam memberi isyarat kepada penjaga untuk membuka daun pintunya.

"Lihatlah, Tung-hai-liong, kalau engkau dan muridmu menolak permintaan kami, aku akan menyuruh orang-orangku agar menghina dan menyiksa puterimu sampai mati di hadapan matamu!"

Mata Ouwyang Cin dan Maniyoko terbelalak melihat Ouwyang Kim rebah telentang dalam keadaan kaki tangannya terbelenggu dan tubuhnya terikat pada sebuah dipan.

"Ayah, suheng, jangan pedulikan aku! Serang saja, aku tidak takut mati. Lebih baik mati dari pada menyerah!" Ouwyang Kim berteriak-teriak, namun gadis ini tidak dapat meronta, hanya mampu menoleh ke arah ayahnya karena tubuhnya lemas tertotok dan terbelenggu kuat-kuat.

Tung-ha-liong Ouwyang Cin marah bukan kepalang. Sungguh tak pernah disangkanya dia akan melihat puterinya tertawan oleh gerombolan ini, puterinya yang disangkanya berada di rumah bersama ibunya.

"Kedok Hitam, bebaskan puteriku!" bentaknya dengan suara menggereng seperti seekor binatang liar.

"Ha-ha-ha, Tung-hai-liong, lebih baik engkau memenuhi permintaan kami dan kita menjadi sekutu, puterimu akan kubebaskan."

Pada saat itu pula terdengar suara keras, perahu terguncang dan nampak api bernyala di ujung belakang perahu besar itu. Ternyata ada sebuah balok besar yang agaknya diikat kain yang basah dengan minyak bakar, sudah melayang dan jatuh ke sana, lalu ada yang membakarnya sehingga di tempat itu berkobar api yang besar.

Tentu saja semua orang menjadi terkejut dan saat itu cepat digunakan oleh Tung-hai-liong Ouwyang Cin dan Maniyoko untuk mencabut senjata lantas mengamuk. Si Kedok Hitam telah menggunakan pedang pendeknya untuk menghadapi Tung-hai-liong yang juga telah mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar berkilauan menyilaukan mata.

"Jaga tawanan!" Si Kedok Hitam masih sempat berteriak sebelum dia sibuk menghadapi datuk timur yang lihai sekali itu.

Dua orang tokoh besar ini bertanding dan keduanya memang sama hebatnya, sedangkan Maniyoko agak repot dikeroyok banyak anak buah Si Kedok Hitam. Bahkan Ouwyang Cin juga dikeroyok sehingga datuk ini tidak sempat menolong puterinya yang terbelenggu di atas dipan dalam kamar itu.

Sesosok bayangan berkelebat lalu merobohkan empat orang penjaga yang menghadang di depan pintu kamar tahanan. Entah bagaimana, tahu-tahu empat orang itu terpelanting ke kanan kiri dan bayangan itu menerobos masuk ke dalam kamar.

"Sin Wan...…..!” Gadis itu berseru girang.

"Akim, cepat bantu ayahmu," kata Sin Wan yang menggunakan pedang tumpulnya untuk membabat putus semua belenggu, kemudian membebaskan totokan di tubuh Akim yang segera dapat bergerak kembali. "Nih, pedangmu!"

Melihat pemuda yang dicintanya itu membebaskannya, bahkan juga telah mengembalikan pedangnya, dan dia pun maklum bahwa Sin Wan pula yang menimbulkan kebakaran pada perahu, Akim lalu merangkul dan menciumnya sehingga membuat Sin Wan gelagapan.

"Sekarang engkau yang menyelamatkan aku dan ayah," bisik Akim.

Dia segera melepaskan rangkulannya dan tubuhnya sudah berkelebat keluar, lalu dia pun menyerang Si kedok Hitam membantu ayahnya. Sin Wan juga berkelebat keluar dan dia segera dikepung dan dikeroyok. Akan tetapi Sin Wan merobohkan empat orang lagi lalu berteriak,

"Akim, cepat kau ajak ayah dan suhengmu lari, perahu ini segera akan terbakar habis dan tenggelam!"

Mendengar ini Tung-hai-liong Ouwyang Cin beserta puterinya memutar pedang, membuat para pengeroyok mundur, kemudian mereka meneriaki Maniyoko agar melarikan diri pula. Mereka bertiga segera meloncat keluar dari perahu yang masih terbakar hebat, karena usaha pemadaman dari anak buah Si Kedok Hitam tidak berhasil sama sekali.

Tung-hai-liong dan puterinya, juga muridnya, adalah orang-orang yang sangat ahli dalam ilmu renang. Mereka memang tinggal di dekat lautan dan sebagai datuk para bajak laut, tentu saja Ouwyang Cin sangat menguasai ilmu dalam air yang diajarkannya pula kepada puterinya dan muridnya. Maka, begitu tubuh mereka jatuh ke air, mereka lalu menyelam dan segera lenyap.

Si Kedok Hitam juga tidak mau tinggal lebih lama di atas perahu yang terbakar itu. "Bunuh jahanam busuk itu!" teriaknya berulang-ulang melihat Sin Wan dikeroyok anak buahnya.

Dia sendiri lalu meloncat keluar dari perahu besar, hinggap di atas perahu kecil yang telah dipersiapkan anak buahnya, lantas perahu itu pun didayung cepat meninggalkan perahu besar yang masih berkobar.

Sin Wan terpaksa berloncatan ke sana-sini menghadapi pengeroyokan belasan orang dan amukan api. Ia tidak bisa meniru apa yang dilakukan Akim dan ayahnya. Kepandaiannya di air hanya sekedar dapat mencegah tubuhnya tenggelam saja. Itu pun hanya di air yang tenang. Membayangkan terjun ke air sungai yang arusnya kuat dan amat dalam itu, dia sudah merasa ngeri, apa lagi harus meloncat ke sana! Bagaimana pun juga hatinya sudah merasa lega karena dia dapat menyelamatkan Akim.

Malam itu dengan susah payah dia mencari-cari Akim, menyewa sebuah perahu lantas mencari di sepanjang kedua tepi sungai. Akhirnya, saat melihat perahu besar itu berlabuh di tempat sunyi, timbul kecurigaannya dan dia membayar tukang perahu yang ketakutan, lalu meninggalkan perahu dan bergantung pada rantai jangkar perahu besar, merayap ke atas.

Memang dia sudah menyiapkan segalanya ketika menyewa perahu. Sebuah balok besar yang tadinya disediakan untuk menolongnya kalau-kalau terpaksa harus meloncat ke air, sekarang dia gunakan untuk membakar perahu dengan bantuan kain dan minyak bakar yang didapatnya dari tukang perahu.

"Trang-trang-trangg...!"

Tiga batang golok para pengeroyok yang menyambar kepadanya dari tiga penjuru dapat ditangkisnya sehingga patah-patah. Akan tetapi belasan orang itu agaknya sangat taat kepada perintah Si Kedok Hitam, yaitu agar mereka membunuh Sin Wan, maka mereka segera mengeroyok lebih ketat lagi.

Tiba-tiba saja dua orang roboh ketika ditampar oleh tangan Akim yang basah. Gadis itu muncul secara tiba-tiba, mengamuk dan menghampiri Sin Wan lalu berteriak, "Sin Wan, apa kau ingin menjadi sate bakar? Hayo pergi!"

Akan tetapi tentu saja Sin Wan tidak berani. "Aku... aku tidak pandai renang...," katanya.

Akim tidak peduli, menyambar lengan Sin Wan dan menarik tubuh pemuda itu, diajaknya melompat ke air. Sin Wan cepat menyimpan pedangnya lantas menutup kedua matanya ketika tubuhnya melayang dari atas perahu.

"Byuurrrrr...!"

Dia gelagapan, kedua kakinya menendang-nendang dan tubuhnya dapat timbul. Sebuah tangan yang kuat menangkap punggung bajunya dan dia pun diseret ke atas permukaan air. Kiranya yang mencengkeram dan menariknya adalah Akim.

Sin Wan kagum bukan main melihat dalam keremangan cuaca betapa gadis itu berenang seperti ikan saja, sama sekali tidak nampak kesulitan biar pun sebelah tangannya sedang mencengkeram baju di punggungnya.

Akhirnya Akim dapat menangkap pinggiran sebuah perahu kecil yang terapung lepas, dan membantu Sin Wan naik ke atas perahu kecil. Perahu itu hanyut terbawa air dan mereka bersimpuh di perahu, terengah-engah dan basah kuyup. Akan tetapi ketika mereka saling pandang di bawah sinar bulan sepotong, mereka saling tatap kemudian keduanya tertawa melihat betapa muka dan pakaian mereka basah kuyup, tertawa selepas mungkin karena perasaan lega dan bahagia telah dapat terlepas dari bahaya maut! Dan Akim menubruk, merangkul dan menciumi muka Sin Wan yang basah kuyup, membuat pemuda itu untuk ke dua kalinya gelagapan seperti dibenamkan ke dalam air.

"Sin Wan, engkau sudah menyelamatkan aku, ayah dan suheng. Aihh, aku cinta padamu, Sin Wan, aku cinta padamu dan aku sangat bahagia...” Dengan suara mengandung isak seperti menangis Akim merapatkan tubuhnya dan mendekap sehingga mukanya merapat pada dada Sin Wan.

Celaka, pikir Sin Wan yang teringat akan pengalamannya dengan Lili dan dengan Ci Hwa. Apakah aku harus selalu mengalami kesalah pahaman cinta semacam ini yang akhirnya hanya akan menyiksa? Dalam keadaan seperti inilah timbulnya kesalah pahaman antara dia dan Lili, antara dia dan Ci Hwa.

Memang membutuhkan kekerasan hati untuk menyangkal balasan cinta terhadap seorang gadis seperti Akim, atau seperti Lili dan Ci Hwa. Tetapi dia tidak menghendaki terulangnya kembali peristiwa salah paham karena cinta itu, tidak ingin melihat kesalah pahaman Akim berlarut-larut.

Dengan lembut tapi kuat dia mendorong kedua pundak gadis itu dan menahannya sejauh kedua lengannya dilempangkan. Merasa gerakan ini Akim mengangkat muka memandang penuh perhatian. Kebetulan udara amat jernih sementara bulan sepotong menyinari muka mereka berdua.

"Akim, maafkan aku. Sebaiknya kalau saat ini juga aku membuat pengakuan agar engkau menyadari kesalah pahaman ini. Kesalah pahaman tentang perasaan kita berdua...”

"Sin Wan, apa maksudmu? Aku cinta padamu, dan engkau pun cinta kepadaku, bukan? Kesalah pahaman apa lagi?"

"Akim, ingat. Belum pernah aku menyatakan cintaku kepadamu."

"Aihh...?! Bukankah engkau cinta padaku, Sin Wan. Engkau bilang bahwa engkau kagum dan suka kepadaku, bukan?"

"Memang, sampai sekarang aku kagum dan suka kepadamu, akan tetapi itu bukan cinta, Akim. Aku suka kepadamu sebagai seorang sahabat, dan agar kesalah pahaman ini tidak sampai berlarut, terus terang saja kuakui bahwa aku sudah mencinta seorang gadis lain, Akim."

Wajah yang masih basah itu berubah pucat sekali, lalu merah dan sampai lama Akim tak mampu mengeluarkan suara. Akhirnya terdengar suaranya lirih, "Lili...? Tetapi kau bilang tidak mencintanya...”

"Memang bukan Lili. Aku suka kepada Lili sebagai seorang sahabat, seperti aku pun suka kepadamu, tapi aku telah mencinta seorang gadis lain, jauh sebelum aku mengenalmu...”

"Siapakah gadis itu?"

"Dia adalah sumoi-ku sendiri. Maafkan, Akim, bukan maksudku hendak menyinggung dan mengecewakan hatimu," kata Sin Wan melihat betapa wajah yang tadinya cantik manis itu kini berubah muram.

Akan tetapi Akim telah bangkit berdiri. "Kau... kau… siapa kecewa? Persetan denganmu, Sin Wan!" Dan gadis itu pun lalu mendorong Sin Wan yang sama sekali tidak menduga, membuat pemuda itu terdorong dan terjengkang keluar dari dalam perahu kecil.

"Byuurrrrr...!"

Sin Wan jatuh ke air. Ketika dia menggunakan tangan dan kaki untuk timbul, dia melihat perahu itu sudah didayung cepat oleh Akim mempergunakan tangannya karena memang perahu itu tidak mempunyai dayung.

"Akim, tunggu...!" Dia berteriak akan tetapi gadis itu tidak menghiraukannya.

Sin Wan gelagapan terseret arus air. Pemuda ini berusaha sekuat tenaga untuk melawan arus agar tidak tenggelam. Ketika dia melihat sepotong kayu sebesar pahanya dan cukup panjang, dia pun menyambar kayu itu lalu bergantung pada kayu, terpaksa membiarkan dirinya hanyut.

Pada waktu matahari telah muncul di permukaan air sungai sebelah timur, Sin Wan masih hanyut perlahan-lahan. Dia tidak berani melepaskan kayunya karena dia berada di tengah sungai, jauh dari daratan. Perlahan-lahan dia menggunakan tangannya untuk mendayung kayu itu ke tepi, akan tetapi selalu disambut arus sungai sehingga kembali ke tengah.

Ketika tiba di sebuah tikungan, arus menyeretnya ke tepi, akan tetapi di bagian yang amat dalam dan yang airnya hanya berputar-putar. Pada saat itu pula muncul dua buah perahu yang didayung oleh masing-masing tiga orang laki-laki. Sesudah dekat, Sin Wan terkejut melihat betapa mereka itu semuanya mengenakan topeng beraneka warna. Anak buah Si Kedok Hitam!

Dia hanya dapat memandang dengan hati khawatir, sambil mencari akal bagaimana dia akan mampu melawan mereka di air, di mana dia sudah tidak berdaya, kedinginan dan kelelahan. Kini dua buah perahu itu mengelilinginya.

"Heii, lihat, dia memang pemuda yang dimaksudkan Yang Mulia. Hayo tangkap dia!"

"Kita bunuh dia! Dia sudah hampir mati lemas!"

Sin Wan sudah merasa girang sekali. Harapan satu-satunya adalah agar perahu-perahu itu, atau sebuah di antara mereka, mendekat dan kalau dia berhasil naik ke atas perahu, dia pasti akan dapat mengatasi enam orang itu.

"Heiii, tahan, jangan kalian mendekat!" teriak seorang di antara enam orang itu. "Jauhkan perahu dan jangan sampai dia dapat mencapai perahu kita. Akan berbahaya kalau begitu. Kita serang dia selagi dia tidak berdaya di air!" Kini empat orang berloncatan ke air dan menyelam, sedangkan dua buah perahu itu dikendalikan dua orang di antara mereka.

Sin Wan terkejut bukan main. Matanya liar memandang ke kanan dan kiri karena dia tidak melihat adanya empat orang yang tadi meloncat ke dalam air. Tiba-tiba saja dia merasa betapa kedua kakinya dipegang oleh tangan-tangan dari bawah permukaan air. Dia cepat menggerakkan kedua kakinya untuk melepaskan kedua kaki itu dari cengkeraman.

Akan tetapi di dalam air gerakannya lemah dan tenaganya seperti hilang. Walau pun dia meronta-ronta, tetap saja kedua kakinya dipegang banyak tangan dan sekarang tubuhnya ditarik ke bawah!

Mati-matian Sin Wan menggunakan lengan kanan memeluk kayu pengapung, dan tangan kirinya berusaha meraih ke bawah untuk menangkap atau memukul para pengeroyoknya, namun tangannya tidak sampai ke bawah. Dia hanya bisa meronta-ronta dan menggerak-gerakkan kedua kakinya.

Tarikan dari bawah itu terlampau kuat, dilakukan empat orang yang sudah berpengalaman dan ahli bermain di air, maka akhirnya tubuh Sin Wan tertarik ke dalam air bersama kayu yang masih dirangkulnya. Dia gelagapan, namun berhasil mendorongkan kedua kakinya sekuat tenaga ke bawah sehingga tubuhnya kini dapat dapat timbul kembali.

Dia megap-megap dan meronta-ronta karena kembali para musuh di bawah menarik-narik kedua kakinya. Ia pun maklum bahwa dia berada dalam ancaman bahaya. Dia tentu akan tertawan atau terbunuh, tanpa berdaya untuk membela diri sebaiknya.

Sudah empat kali Sin Wan terseret ke bawah permukaan air hingga gelagapan dan minum banyak air. Dia sudah lemas ketika berhasil timbul kembali setelah meronta sekuat tenaga di dalam air.

Pada saat yang sangat gawat itu tiba-tiba nampak sebuah perahu kecil meluncur datang, kemudian sebatang bambu panjang yang dipergunakan orang di dalam perahu itu untuk menggerakkan perahunya, dua kali menyambar. Dua orang penumpang perahu pertama berteriak, kemudian terpelanting ke dalam air. Si penunggang perahu itu lantas meloncat keluar dari perahunya dan bagaikan seekor ikan hiu dia pun menyelam.

Sin Wan hanya melihat betapa si penunggang perahu itu merobohkan dua orang dengan sebatang bambu, lantas melihat orang itu melompat ke air. Dia tidak dapat melihat jelas siapa orang itu dan apakah maunya, karena dia sendiri sudah lemas dan hampir seluruh perhatiannya dia curahkan ke bawah, ke arah empat orang lawan yang masih memegangi kedua kakinya dan berusaha menenggelamkannya.

Mendadak Sin Wan merasa betapa terjadi gerakan-gerakan kuat di bawah, lantas tangan-tangan yang tadi memegangi kedua kakinya menjadi kacau. Kemudian, satu demi satu, delapan buah tangan itu melepaskan kedua kakinya. Dia bebas! Kemudian muncul orang tadi dan dia melihat tubuh enam orang itu terseret air. Tanpa mengeluarkan suara, orang yang telah menolongnya itu sudah mencengkeram punggung bajunya dan menariknya ke atas perahu yang masih terapung dan berputar di situ. Dalam keadaan setengah pingsan, dengan perut membesar penuh air, Sin Wan diangkat dan dilempar ke dalam perahu.

Orang itu lalu naik ke perahu, menelungkupkan tubuh Sin Wan di perahu itu, kemudian menduduki punggung Sin Wan dan menghimpit-himpit perutnya sehingga air dari di dalam perut Sin Wan keluar dari mulutnya seperti dituangkan!

Setelah perut Sin Wan mengempis, pemuda ini mengeluh. Karena orang itu sudah bangkit dari punggungnya yang tadi diduduki, dia pun merangkak dan bangkit duduk. Sesudah dia menoleh dan memandang, kiranya dia berhadapan dengan Akim!

"Kau...?" katanya lemah dan mengguncang kepalanya karena kepala itu masih berdenyut-denyut pening.

"Ya, aku! Engkau mau berkata apa sekarang?" kata Akim dengan sikap menantang dan gadis ini mendayung perahu ke arah selatan, ke tepi dari mana tadi mereka datang.

Sin Wan menarik napas panjang, kemudian menghimpun hawa murni untuk menyehatkan kembali tubuhnya. Peningnya lenyap dan tenaganya mulai pulih.

"Apa yang dapat kukatakan, Akim? Engkau yang medorong aku ke dalam air sehingga aku hampir mati karenanya, kemudian engkau pula yang menyelamatkan aku dari tangan mereka. Aku tidak mengerti akan sikapmu ini, Akim."

"Huh, engkau memang laki-laki yang tolol, bagaimana dapat mengerti?"

Gadis itu nampak marah-marah dan mendayung perahu sekuat tenaga. Perahu meluncur cepat sekali dan melihat gadis itu marah-marah, Sin Wan tidak berani mengeluarkan kata-kata, khawatir membuat gadis itu menjadi semakin marah. Dia lantas mengambil dayung yang terdapat di dalam perahu dan membantu gadis itu mendayung perahu. Dan ketika dia teringat akan enam orang tadi, dia pun memberanikan diri bertanya, suaranya halus dan tidak mengandung teguran karena dia tidak ingin menyinggung lagi hati gadis itu.

"Akim, kau bunuhkah mereka tadi?"

"Hemm, aku pukul mereka, entah mampus entah pingsan aku tidak peduli!" kata gadis itu ketus sambil terus mendayung.

Sin Wan juga memperkuat gerakan dayungnya sehingga sebentar saja perahu itu sudah tiba di tepi. Akim meloncat ke darat, disusul Sin Wan. Mereka berdiri berhadapan.

"Akim, maafkan kalau aku menyinggung perasaanmu dan membuat hatimu menjadi tidak senang. Dan terima kasih atas pertolonganmu tadi."

"Huhh! Kau laki-laki bodoh! Aku.. aku... benci padamu!" Dan gadis itu lalu berkelebat pergi meninggalkan suara isak seperti menangis.

Sampai beberapa lamanya Sin Wan berdiri seperti patung. Betapa persisnya sikap Akim dengan sikap Lili. Tadinya menyatakan cinta dengan terus terang, kemudian cinta mereka berubah pernyataan benci! Cinta seorang gadis memang sangat aneh dan dia tetap tidak mengerti. Kui Siang sendiri pun tadinya sudah saling mencinta dengan dia, tetapi akhirnya gadis itu pun menjauhkan diri dan membencinya!

Haruskah semua cinta seorang wanita berakhir dengan kebencian? Dia benar-benar tidak mengerti. Ia sendiri hanya merasa kasihan kepada Lili, kepada Ci Hwa dan kepada Akim. Juga dia merasa kasihan kepada Kui Siang, rasa iba yang bercampur dengan rasa rindu dan duka.

Ketika teringat akan tugasnya, dia segera sadar dari lamunannya dan cepat meninggalkan tempat itu. Dia masih merasa penasaran kepada Jenderal Yauw Ti yang telah menangkap dan menahannya. Jenderal itu amat membencinya dan sungguh merupakan orang yang keras hati, juga tidak bijaksana. Meski pun Jenderal itu membencinya karena dia seorang Uighur, namun setidaknya jenderal itu harus ingat bahwa dia adalah utusan kaisar yang membawa leng-ki atau bendera tanda kekuasaan dari kaisar!

Tiba-tiba dia mendengar suara ribut-ribut di depan, maka cepat dia berlari menghampiri. Dia melihat tiga buah kereta berhenti dan banyak orang yang berkerumun, juga terdengar ribut-ribut suara orang yang marah-marah. Di antara mereka banyak pula terdapat gadis-gadis cantik dan bau harum tercium olehnya dari jarak yang cukup jauh itu.

Dia merasa heran sekali, lantas mengintai sambil menyelinap mendekati. Kini dia melihat betapa seorang laki-laki berkedok biru sedang mencengkeram pundak seorang setengah tua yang agaknya merupakan pemimpin rombongan tiga buah kereta itu, dan si kedok biru marah-marah. Dia mengguncang laki-laki setengah tua itu dan menghardik.

"Engkau tinggal menerima saja, tidak usah banyak bertanya atau akan kubunuhi semua rombongan ini! Aku hanya titip tiga orang ini agar ikut dalam rombongan penabuh musik, dan engkau berani menolak?"

Pria setengah tua itu nampak ketakutan, akan tetapi dia pun kukuh menolak. "Bagaimana kami berani menerima penyusupan orang luar? Kami dipercaya oleh para penguasa, jika sampai ketahuan tentu kami akan celaka."

"Itu kalau ketahuan! Kalau tidak, tentu tak apa-apa. Akan tetapi sekarang, ketahuan atau tidak, kalau engkau menolak, akan kubunuh kalian semua! Nah, pilih mana?"

Laki-laki setengah tua itu nampak kebingungan. Dia memandang kepada si topeng biru dan tiga orang laki-laki tinggi besar yang berwajah bengis itu, tidak tahu harus menjawab bagaimana. Kemudian dia menengok dan memandang kepada anak buahnya yang terdiri dari delapan orang laki-laki pemain musik dan lima belas orang gadis cantik penyanyi dan penari, seperti ingin minta pendapat mereka.

Dari rombongan penari wanita yang cantik-cantik dengan gincu berwarna menyolok dan bedak tebal, muncul seorang gadis yang bertubuh ramping dan kini dia melangkah maju, kemudian sekali tangannya bergerak, pegangan orang bertopeng pada pundak pemimpin rombongan kesenian itu terlepas.

"Jahanam busuk! Beraninya engkau mengancam orang di tengah perjalanan? Engkau ini perampok busuk, pengecut besar. Buka kedokmu kalau memang engkau berani! Apa bila engkau tidak cepat-cepat pergi, maka terpaksa aku akan menghajar kalian berempat!"

Mendengar suara itu Sin Wan menjadi terkejut dan jantungnya berdebar. Lili! Wajah gadis itu dirias sedemikian rupa seperti para penari lain sehingga dia tidak dapat mengenalnya, akan tetapi suara itu! Suara yang bisik-bisik basah, suara khas Lili!

Si Kedok Biru marah bukan main, demikian pula tiga orang lelaki tinggi besar yang akan diselundupkan ke dalam rombongan itu. Mereka berempat sama sekali tidak menyangka bahwa ada seorang gadis penari yang akan berani bersikap seperti itu kepada mereka.

"Engkau sudah bosan hidup!" bentak Si Topeng Biru dan dia pun menggerakkan tangan kanan menampar ke arah kepala Lili.

"Huhh! Kalian yang sudah bosan hidup!" kata gadis itu sambil tersenyum mengejek dan mendengus, suara dengusan yang sudah dikenal baik oleh Sin Wan.

Dari tempat pengintaiannya dia dapat membayangkan betapa kalau sudah mengeluarkan suara mendengus seperti itu, cuping hidung Lili pasti kembang kempis dengan lucunya. Dan senyumnya pasti menimbulkan lesung pipit yang amat manis, yang sekarang tentu saja tertutup oleh bedak tebal yang membuat kulit mukanya menjadi kaku.

Si Kedok Biru itu benar-benar mencari penyakit, pikir Sin Wan sambil tersenyum, namun diam-diam dia waspada dan siap membantu kalau sampai gadis itu terancam bahaya.

Melihat tamparan itu Lili tidak mengelak, melainkan mengangkat tangan kanannya untuk menyambut sambil mengerahkan tenaganya.

"Dukkk!"

Akibat pertemuan kedua tangan itu, Si Kedok Biru terhuyung ke belakang dan Lili berdiri tertawa sambil bertolak pinggang, lalu dengan telunjuk kirinya memberi isyarat untuk maju kepada tiga orang tinggi besar anak buah Si Kedok Biru yang hendak diselundupkan itu. Sikapnya amat menantang dan mengejek sekali, telunjuknya digerak-gerakkan menyuruh mereka maju.

Dengan geram tiga orang itu mencabut senjata pedang yang mereka sembunyikan di balik jubah mereka lalu menyerang Lili. Akan tetapi gadis ini sudah siap. Dengan gerakan yang sangat lincah dan lucu, dengan tubuh yang ramping itu berlenggang-lenggok seperti tubuh ular, pinggulnya yang bulat itu bergoyang, maka semua tusukan dan bacokan tiga batang pedang itu berhasil dia hindarkan. Gerakannya nampak lucu dan aneh, akan tetapi semua serangan lawan luput. Begitu tubuhnya menyusup ke depan dan kaki tangannya bergerak, tiga orang itu langsung terpental seperti ditiup badai!

Mereka menjadi penasaran lantas menerjang lagi, akan tetapi sekali ini Lili tidak memberi ampun lagi. Tubuhnya seperti menyelinap di antara sinar golok, lalu terdengarlah teriakan-teriakan kesakitan ketika dia telah membagi-bagi tamparan yang cepatnya bagai patukan ular namun yang datangnya sangat keras karena mengandung tenaga sinkang sehingga tiga orang itu kini terpelanting keras dan terbanting sampai terguling-guling!

Si Kedok Biru menjadi semakin marah. Dia pun segera mencabut pedangnya dan begitu dia bergerak memainkan pedangnya, Lili terkejut sekali karena lawan ini mempunyai ilmu pedang yang cukup lihai. Maka dia pun cepat mencabut pedang yang disembunyikan di balik bajunya dan nampaklah sinar putih bergulung-gulung. Itulah Pek-coa-kiam (Pedang Ular Putih) yang amat ampuh.

Si Kedok Biru juga terkejut menyaksikan kehebatan sinar pedang yang bergulung-gulung itu. Dia menyerang dengan pedangnya yang disambut oleh gulungan sinar putih sehingga terjadilah serang menyerang yang cukup hebat. Namun, belum sampai sepuluh jurus, Si Kedok Biru maklum bahwa dara ini memang lihai bukan main dan tingkat ilmu pedangnya jauh lebih tinggi darinya.

"Tranggg...!"

Hampir saja tangannya yang memegang pedang terbabat jika dia tidak cepat melepaskan pedangnya yang terpukul jatuh. Dia pun melarikan diri, mengikuti tiga orang anak buahnya yang sudah lari lebih dahulu!

"Pengecut…!" Lili berseru namun dia tidak mengejar karena dia tidak mau meninggalkan rombongan pemusik itu.

Si Kedok Biru melarikan diri sambil berloncatan secepat dan selebar mungkin agar segera meninggalkan tempat yang berbahaya itu dan menjauhkan diri dari gadis yang membuat hatinya merasa ngeri itu. Namun tiba-tiba ada sebatang kaki yang panjang terjulur keluar dari balik semak-semak dan tanpa dapat dihindarkan lagi, Si Kedok Biru jatuh tersungkur!

Dia marah sekali. Dia berani menghadapi siapa pun juga kecuali terhadap dara cantik tadi. Akan tetapi, sesudah dia bangkit dan melihat siapa orangnya yang menjegalnya, melihat wajah Sin Wan, mata di balik kedok itu langsung terbelalak.

"Kau....!” Dia pun menggerakkan kaki hendak melarikan diri lebih cepat lagi. Akan tetapi tiba-tiba dia roboh terpelanting dalam keadaan lemas tertotok.

Sin Wan mencengkeram punggung baju Si Kedok Biru, lantas menyeret tubuh yang tinggi kurus itu ke arah rombongan pemusik yang tadi hanya menjadi penonton yang tegang dan ketakutan.

Lili sangat terkejut ketika melihat betapa Si Kedok Biru itu ditawan oleh seorang pemuda yang bukan lain adalah Sin Wan! Akan tetapi dia teringat bahwa dia dalam penyamaran sebagai seorang anggota penari, maka dia pura-pura tidak mengenalnya.

Melihat sikap Lili, Sin Wan tersenyum. Dia tahu bahwa Lili hendak mengelabuinya dengan mengandalkan bedak dan gincu tebal yang membuat wajahnya mirip seperti anak wayang sehingga tiada bedanya dengan para penari lain. Kalau tadi tidak mengenal suara Lili, dia sendiri tentu tidak akan tahu bahwa gadis ini adalah Lili.

Sin Wan melepaskan tubuh yang lemas itu ke depan kaki Lili. Tubuh itu roboh telentang dan tidak mampu bergerak, hanya mata di balik kedok itu nampak ketakutan. Sejenak Lili dan Sin Wan berhadapan dan saling pandang, keduanya pura-pura tidak saling mengenal!

Karena setelah melepaskan Si Kedok Biru itu Sin Wan diam saja dan hanya saling tatap dengannya, Lili mengerutkan alisnya dan bertanya, suaranya sungguh jauh berbeda dari tadi. Kini suaranya mendadak menjadi kecil dipaksakan, tidak berbisik-bisik basah seperti suara aslinya.

"Kenapa engkau menyeret dia ke sini?"

Diam-diam Sin Wan merasa geli sekali, akan tetapi menahan diri agar tidak tertawa. Dia mengikuti permainan sandiwara Lili itu, maka dia pun membungkuk. "Nona, engkau yang mengalahkannya, maka engkau pula yang berhak menentukan apa yang harus dilakukan terhadap orang berkedok ini."

Lili mengira bahwa Sin Wan tidak mengenalnya. Untung pemuda itu baru muncul, kalau sudah sejak tadi-tadi, tentu akan mengenal Pek-coa-kiam yang kini dia sembunyikan lagi di balik bajunya, pikirnya.

Tanpa menjawab Lili menggunakan tangan kiri merenggut lepas kedok biru yang menutupi muka orang itu. Lili mengerutkan alisnya.

"Hemmm, siapakah engkau dan apa maksudmu hendak menyelundupkan orang ke dalam rombongan kami? Siapa yang menyuruhmu?"

Orang itu tidak menjawab, hanya mengerutkan alisnya sambil mengatupkan bibirnya.

"Nona, dia adalah Bu-tek Kiam-mo, seorang di antara Bu-tek Cap-sha-kwi yang terkenal jahat," kata Sin Wan.

"Hemmm, ternyata penjahat kecil yang hanya besar namanya saja itu," kata Lili. Dia lalu memberi isyarat kepada seorang laki-laki pendek yang ikut di dalam rombongan penabuh gamelan. "Kau bawa dia pergi dan tahan dia, jangan sampai lari."

"Baik, nona," kata si pendek, lantas sekali menggerakkan tangan kiri, si pendek ini sudah mencengkeram punggung baju orang itu dan memanggul tubuh yang lemas sedemikian mudahnya, seakan tubuh yang tinggi kurus itu amat ringan baginya, kemudian dia berlari cepat sekali dan segera lenyap dari situ.

"Wah, kebetulan sekali. Sekarang rombongannya kurang satu orang, biar aku saja yang menggantikan si pendek tadi. Aku pun ingin menonton keramaian!" kata Sin Wan.

Lili diam saja, hanya memutar tubuh memandang kepada pria setengah tua yang menjadi pemimpin rombongan. Pria itu menghampiri Sin Wan, lalu dengan sikap hormat berkata,

"Maafkan kami, sicu (orang gagah). Kami tidak berani menerima sicu sebab kami sedang ditugaskan menghibur orang orang penting."

"Hemm, begitukah? Lalu mengapa di sini ada nona ini yang jelas bukan penari melainkan seorang yang menyusup dan menyamar sebagai anggota rombonganmu?" tanya Sin Wan sambil tersenyum mengejek. "Kalau aku melaporkan kepada kedua orang pangeran yang mengadakan pesta itu, bukankah engkau akan bersalah besar?"

Wajah pemimpin rombongan itu nampak ketakutan. Dia menoleh kepada Lili yang terlihat tenang dan acuh saja. "Akan tetapi, sicu. Nona ini membawa surat perintah dari Jenderal Besar Shu Ta untuk melindungi mereka!"

"Bagus, dan aku mendapat perintah dari Sribaginda Kaisar sendiri! Apakah engkau masih berani menolak?"

Pemimpin rombongan itu menjadi bingung, kemudian menoleh kembali kepada Lili. Gadis ini juga memandang kepadanya lalu mengangguk.

"Dia boleh menggantikan pembantuku yang tadi membawa pergi Bu-tek Kiam-mo."

Mendengar ini pemimpin rombongan nampak lega. Dengan demikian gadis perkasa itulah yang akan bertanggung jawab atas masuknya Sin Wan ke dalam rombongan itu.

Agar dirinya tidak dikenal, Sin Wan lalu minta kepada kepala rombongan agar mukanya dirias dan diubah sehingga pihak musuh takkan mengenalnya. Seorang di antara anggota rombongan yang memiliki keahlian merias segera menangani pekerjaan itu dan tidak lama kemudian, Sin Wan sudah menjadi seorang laki-laki setengah tua yang rambutnya penuh uban, berjenggot dan berkumis.....!
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar