Dengan tenang dan mudah saja Kui Siang melangkah mundur sehingga semua serangan itu pun luput. Akan tetapi enam orang itu melanjutkan serangan sambil menambah tenaga dan kecepatan sehingga enam batang tongkat itu berubah menjadi gulungan sinar merah yang menyambar dari semua jurusan. Serangan itu datangnya tidak berbareng, melainkan susul menyusul dan bertubi-tubi sehingga tidak memberi kesempatan sedikit pun kepada Kui Siang untuk membalas.
Gadis ini masih bersikap tenang saja. Dengan mempergunakan langkah-langkah Hui-niau Poan-soan (Langkah Ajaib Burung Terbang) yang cepat dan aneh dia mampu mengelak dari semua serangan. Bagi yang menonton pertandingan itu, seolah-olah gadis cantik itu nampak sedang menari-nari, mempergunakan enam helai selendang merah!
Tiba-tiba saja enam orang yang mengepung itu mengubah gerakan tongkat mereka. Kini mereka menyerang secara berbareng. Enam batang tongkat menyambar cepat dari enam penjuru, dari sekeliling tubuh gadis itu.
Kui Siang memutar tubuh kemudian menggerakkan pedangnya. Terdengar bunyi nyaring berdenting ketika enam batang tongkat itu bertemu pedang. Enam orang itu berseru kaget karena tongkat mereka segera patah ketika bertemu pedang tipis dan pada saat mereka mundur, Kui Siang sudah menggerakkan sepasang kakinya bertubi-tubi yang menyambar bagaikan kilat cepatnya, membuat orang-orang yang mengeroyoknya itu berpelantingan!
Mengerti bahwa mereka telah kalah, enam orang itu bangkit, memberi hormat kepada Kui Siang lantas mengundurkan diri. Terdengar tepuk tangan dari dalam dan ketika Kui Siang mengangkat muka memandang, yang bertepuk tangan itu adalah lima orang perwira tinggi yang tadi melanjutkan makan minum sebagai tamu sambil menonton pertandingan silat.
Akan tetapi tujuh orang pimpinan Ang-kin Kai-pang tidak bertepuk tangan, bahkan wajah mereka terlihat muram dan penasaran. Enam orang jagoan mereka telah tumbang secara demikian mudah di tangan seorang gadis muda!
"Hebat, kepandaian lihiap sungguh hebat, membuat kami merasa kagum!" kata seorang di antara lima perwira tinggi itu yang usianya lima puluh tahun lebih sambil mengangguk-angguk terhadap Kui Siang.
Akan tetapi dara ini tidak mempedulikan pujian itu melainkan memperhatikan gerakan dari sebelah dalam, karena kini sudah muncul sembilan orang lelaki anggota Ang-kin Kai-pang yang lainnya. Mereka tidak memegang tongkat merah seperti enam orang tadi, melainkan masing-masing membawa sebatang pedang! Agaknya sembilan orang ini adalah ahli-ahli pedang dari Ang-kin Kai-pang!
Salah seorang di antara mereka yang tubuhnya tinggi kurus mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada Kui Siang. "Terima kasih bahwa Lim-lihiap telah memperlihatkan kepandaian dan memberi petunjuk kepada enam orang sute (adik seperguruan) kami. Akan tetapi kami mohon sukalah lihiap mundur dan membiarkan pengemis tua yang tidak mau memperkenalkan nama itu untuk maju menghadapi kami."
Melihat sikap dan kata-kata itu cukup sopan, Kui Sian menjadi ragu-ragu. Pada saat itu, Sin Wan sudah menghampirinya. "Sumoi, mundurlah. Aku sudah mendapat perkenan dari su-siok (paman guru) untuk mewakilinya menghadapi barisan Sembilan Pedang Naga ini."
Kui Siang mengangguk lantas berjalan ke bawah pohon di mana kakek itu menyambutnya dengan senyum gembira. Sembilan orang jagoan Ang-kin Kai-pang itu bertukar pandang, kemudian si tinggi kurus menghadapi Sin Wan dan memberi hormat.
"Orang muda, bagaimana engkau bisa mengetahui bahwa kami adalah barisan Sembilan Pedang Naga?" tanyanya sambil memandang penuh perhatian. "Dan siapakah anda?"
"Namaku Sin Wan, suheng dari nona Lim Kui Siang tadi. Kalian adalah jagoan-jagoan terkenal, tentu saja aku mengenal Kiu-liong Kiam-tin (Barisan Sembilan Padang Naga)."
"Bagus, kalau begitu keluarkan senjatamu, Sin-sicu (orang gagah Sin), kami sudah siap untuk menguji kelihaianmu."
Sin Wan dapat menduga bahwa sembilan orang lawannya ini tentu lihai sekali karena tadi kakek Bu Lee Ki sudah memberi tahu bahwa mereka adalah pasukan pedang yang amat tangguh dari Ang-kin Kai-pang. Bahkan kakek itu juga membisikkan bahwa dia tidak boleh membiarkan dirinya terkepung dan berusaha untuk berada di luar kepungan. Maka, tanpa ragu lagi dia segera mengeluarkan pedangnya dari balik jubahnya, pedang yang biasanya tersembunyi.
Begitu Sin Wan mencabut sebatang pedang yang butut, buruk rupa, tidak tajam juga tidak runcing itu, sembilan orang itu menahan kegelian hati mereka. Agaknya pedang pemuda itu adalah senjata yang belum jadi! Bagaimana dengan pedang buruk semacam itu akan menghadapi pedang naga mereka? Pedang mereka yang terhias ukiran naga itu terbuat dari baja yang amat kuat dan ampuh, juga amat tajam dan runcing!
Sebagai tokoh-tokoh tingkat tinggi yang kedudukannya hanya di bawah dewan pimpinan yang menjadi pembantu-pembantu ketua, diam-diam mereka pun merasa ragu dan agak sungkan untuk mengeroyok seorang pemuda yang hanya bersenjata semacam itu. Akan tetapi namanya juga kiam-tin (barisan pedang), karena itu kurang satu saja sudah menjadi tidak lengkap dan kacau. Maka kini mereka merasa ragu dan bingung.
"Sin-sicu, engkau masih muda dan kami merasa sayang sekali kalau sampai sicu terluka di dalam pertandingan ini, karena pedang tidak mempunyai mata. Apakah tidak sebaiknya kalau sicu mundur saja dan membiarkan paman guru sicu yang maju?" kata pula si tinggi kurus.
Dari tempat dia menonton di bawah pohon, Kui Siang bangkit berdiri. Gadis ini tidak biasa memperlihatkan kemarahan dan dia pun bukan seorang gadis galak, akan tetapi sekarang dia tidak dapat menahan kemarahannya. "Heiii, kalian ini sungguh tidak tahu malu! Kalau sudah berani maju mengeroyok, kenapa pakai segala macam alasan lagi? Kalau memang tidak berani, lekas mundur saja tanpa perlu banyak cakap lagi!"
Sin Wan merasa tak enak mendengar ucapan sumoi-nya yang cukup pedas itu. Dia cepat menjura kepada sembilan orang itu. "Paman sekalian, aku telah siap, segera mulailah dan jangan khawatir, aku tidak akan menyesal dan tidak akan menyalahkan kalian kalau aku terluka atau mati di dalam pertandingan ini."
Sembilan orang itu langsung membuat gerakan mengepung Sin Wan. Mereka melangkah secara teratur mengelilingi pemuda itu yang berdiri di tengah dengan sikap tenang namun penuh kewaspadaan. Sin Wan selalu ingat akan pesan kakek Bu Lee Ki bahwa dia harus menghindarkan kepungan sembilan orang itu.
Kini sembilan orang itu mempercepat langkah mereka setengah berlari mengitarinya, dan Sin Wan sudah memperhitungkan bagaimana caranya untuk membobol kepungan atau keluar dari kepungan itu. Dia tahu bahwa begitu dia bergerak menyerang ke suatu arah, tentu dia akan disambut dengan serangan dari depan, kanan kiri dan belakang. Maka dia pun diam saja menanti sampai para pengeroyok membuat gerakan terlebih dulu sebelum dia mengambil keputusan apa yang akan dia lakukan.
Mendadak si tinggi kurus yang menjadi pemimpin dari barisan pedang itu mengeluarkan teriakan sebagai aba-aba serangan, lalu sembilan orang itu pun serentak menggerakkan senjata mereka dan menyerang ke tengah. Gerakan barisan pedang ini sungguh teratur sehingga biar pun sembilan orang menyerang bersama dalam waktu yang berbarengan, namun serangan itu tidak menjadi kacau.
Seluruh bagian tubuh Sin Wan dari kepala sampai ke kaki menghadapi serangan yang rata-rata sangat cepat datangnya serta mengandung tenaga dahsyat sehingga terdengar bunyi berdesing-desing dan nampak sinar pedang menyambar-nyambar.
Akan tetapi mereka melihat bayangan berkelebat dan pemuda yang tadi berada di tengah kepungan mereka tahu-tahu sudah lenyap melompat ke atas dan melampaui kepala dua orang pengeroyok, kemudian pemuda itu sudah berada di luar kepungan. Mereka semua langsung membalikkan tubuh dan melihat pemuda itu sudah berdiri dengan tenang seperti tadi, dengan pedang yang jelek itu di tangan, akan tetapi di luar kepungan.
Si tinggi kurus kembali mengeluarkan teriakan nyaring, dan dengan cepatnya barisan itu telah mengepung kembali, gerakan mereka cepat dan teratur, tidak memberi kesempatan kepada Sin Wan untuk menghindarkan diri dari kepungan. Sekarang sembilan orang itu kembali berlari-lari mengelilinginya dan terkejutlah Sin Wan melihat betapa kepungan itu bergerak secara aneh, ada yang berlari dari kiri ke kanan dan ada yang dari kanan ke kiri!
Barisan sembilan orang itu berlari saling berlawanan dan terbagi menjadi dua susun, akan tetapi jumlah mereka masih tetap sembilan. Tentu saja hal ini membuat Sin Wan bingung karena sulit baginya untuk menglkuti gerakan simpang siur itu dengan pandang matanya. Namun dia masih bersikap tenang saja, menanti sampai pihak lawan melakukan serangan lagi.
Dia tahu bahwa sekali ini tentu para pengeroyok tidak akan membiarkan dia melakukan loncatan seperti tadi untuk keluar dari kepungan. Sin Wan lalu memperhatikan barisan itu dan mendapat kenyataan bahwa lima orang berada di depan dan empat orang lainnya di belakang. Maka mengertilah dia bahwa lima orang itu yang akan menyerangnya, ada pun yang empat orang menjaga kalau dia melompat ke atas, tentu mereka akan menyambut dengan lompatan dari empat penjuru untuk menyerang selagi tubuhnya berada di udara. Hal itu akan dapat membahayakan dirinya!
Serangan ke dua itu datang dan seperti yang diduganya semula, lapisan pertama yang di depan menyerangnya. Lima orang menyerang dengan pedang mereka dari lima penjuru. Sin Wan terpaksa memutar pedangnya menangkis. Lima orang itu terkejut karena pedang mereka segera terpental begitu bertemu dengan pedang tumpul pemuda itu. Akan tetapi, begitu pedang mereka tertangkis dan terpental, mereka langsung melangkah mundur lalu dari belakang mereka, empat orang yang lainnya menyusulkan serangan kilat dari empat penjuru.
Kembali Sin Wan menggerakkan pedangnya menangkis. Akan tetapi lima orang pertama sudah menerjang lagi sehingga dia dihujani serangan yang dilakukan serentak oleh empat orang dan lima orang.
Sin Wan maklum bahwa dalam menghadapi pengeroyokan banyak orang, apa bila hanya melindungi diri saja tanpa balas menyerang, maka akhirnya dia akan terkena juga atau setidaknya dia akan terancam bahaya. Biar pun dia sudah menduga sebelumnya, namun ketika lima orang menyerangnya lagi, dia sengaja meloncat ke atas untuk menghindarkan diri dari kepungan.
Benar saja, empat orang yang mengepung di lapisan kedua sudah berlompatan pula dan menyambutnya dengan serangan pedang selagi tubuhnya masih berada di atas! Terpaksa Sin Wan turun kembali dan dia masih tetap berada di dalam kepungan! Ketika diserang di atas tadi, dia pun memutar pedang menangkis, maka tubuhnya turun kembali ke bawah dan begitu turun, lima orang sudah menyambutnya dengan gelombang serangan baru.
Dia harus membalas, demikian pikirnya. Itulah satu-catunya cara untuk membebaskan diri dari tekanan! Sin Wan lantas bergerak cepat, memainkan pedang tumpulnya dan bersilat dengan ilmu silatnya yang baru dipelajarinya dari Ciu-sian, yaitu Sam-sian Sin-ciang yang dimainkan dengan pedang tumpul secara aneh dan dahsyat bukan main. Apa lagi ilmu ini mempergunakan langkah-langkah ajaib Hui-niau Poan-soan sehingga gerakannya seperti seekor burung walet saja.
Menghadapi serangan balasan Sin Wan yang gerakannya sangat cepat ini, lima orang itu menjadi sibuk sekali dan gerakan mereka kacau. Si tinggi kurus mengeluarkan seruan dan barisan itu kembali menjadi satu lapis terdiri dari sembilan orang. Kepungan itu melonggar akan tetapi Sin Wan kembali menghadapi sembilan batang pedang yang bergerak dengan berbareng dan serentak.
Melihat perubahan ini, Sin Wan melompat lagi dan dia pun berhasil keluar dari kepungan seperti tadi, namun sekali ini dia tidak tinggal diam melainkan segera membalas dengan menyerang balik dari luar kepungan!
Barisan itu menjadi buyar dan dua orang pengeroyok terpelanting oleh dorongan tangan kiri Sin Wan. Si tinggi kurus kembali mengeluarkan aba-aba dan sekarang sembilan orang itu berbaris tiga-tiga! Dan ketika mereka menyerang, maka serangan itu seperti datangnya gelombang samudera, pertama tiga orang menyerang, kemudian disusul tiga orang lain, dan akhirnya tiga orang lagi.
Menghadapi gelombang serangan ini, Sin Wan kembali terdesak. Dia tahu bahwa kalau dia mengalah terus, maka dia akan selalu terdesak. Begitu gelombang ke tiga dapat dia hindarkan dengan loncatan ke samping, dia pun langsung membalik dan kini dialah yang menyerang sebelum sembilan orang itu menyusun kembali barisan mereka.
Tubuh Sin Wan bergerak cepat sekali, pedang tumpul mengeluarkan bunyi mengaung dan berubah menjadi gulungan sinar kehijauan yang besar dan dari situ kadang kala mencuat sinar hijau dari ujung pedang. Setiap kali sinar itu meluncur maka seorang pengeroyok roboh tertotok dan meski pun yang lain berusaha untuk menangkis dan mengelak, namun pedang tumpul itu selalu berhasil merobohkan sasaran, dibantu oleh tangan kiri Sin Wan yang mempergunakan ilmu Kiam-ciang (Tangan Pedang). Akan tetapi dia mengendalikan tenaganya sehingga dia hanya menotok roboh para pengeroyoknya, tanpa melukai sama sekali apa lagi membunuh.
Kembali kemenangan Sin Wan disambut tepuk tangan riuh oleh lima orang perwira yang menjadi tamu Ang-kin Kai-pang. Sin Wan memberi hormat kepada tujuh orang pimpinan perkumpulan itu.
"Maafkan saya," katanya, kemudian dia pun mundur mendekati sumoi dan kakek Bu Lee Ki yang mengangguk-angguk senang.
Tujuh orang pimpinan Ang-kin Kai-pang bangkit dari tempat duduk mereka, menghampiri sembilan orang pembantu mereka dan membebaskan mereka dari pengaruh totokan yang membuat mereka tak mampu bergerak.
Kemudian, dengan muka merah karena merasa penasaran melihat para pembantu utama mereka kembali mengalami kekalahan, mereka menghadap ke arah kakek Bu Lee Ki. Kini sikap mereka lunak, bahkan bersikap hormat kepada kakek itu. Si jenggot panjang yang kedudukannya sebagai wakil ketua dan menjadi pemimpin enam orang sute-nya segera memberi hormat.
"Kiranya dua orang murid keponakan locianpwe adalah orang-orang yang amat lihai. Kami yakin bahwa locianpwe sendiri adalah seorang yang berilmu tinggi, maka harap maafkan kalau anak-anak buah kami bersikap kurang hormat. Sebagai persyaratan terakhir, kalau locianpwe mampu melewati kami bertujuh, kami akan mempersilakan locianpwe dan dua orang muda gagah ini untuk masuk sebagai tamu-tamu kehormatan kami."
Kakek itu bangkit berdiri dengan sikap ogah-ogahan, menggeliat dan berjalan tertatih-tatih menghampiri tujuh orang pimpinan Ang-kin Kai-pang, akan tetapi mulutnya tersenyum dan dia mengomel. "Aihh, anak-anak ini sungguh rewel, main-main dengan orang tua seperti aku. Sudah bertahun-tahun aku tidak pernah cekcok dengan orang, bertengkar pun belum pernah, apa lagi sampai berkelahi. Sekarang begini saja. Apa bila kalian bertujuh mampu merampas capingku ini, biar aku mengaku kalah dan sebaliknya aku akan mencoba untuk mengambil sabuk merah kalian!”
Tantangan kakek itu membuat tujuh orang pimpinan Ang-kin Kai-pang menjadi tertegun. Si jenggot panjang yang bernama Ciok An dan merupakan wakil ketua Ang-kin Kai-pang, diam-diam amat terkejut. Kalau kakek itu berani menantang seperti itu, jelas bahwa tentu kepandaiannya hebat sekali. Tak akan mudah melindungi caping lebar yang tergantung di punggung dengan tali mengalungi leher itu dari sergapan tujuh orang, dan lebih sukar lagi merampas sabuk-sabuk merah mereka bertujuh yang mengikat pinggang.
Karena menduga bahwa kakek ini tentu sakti dan merupakan tokoh besar dunia persilatan yang belum dikenalnya, maka dia pun tidak ingin kalau sampai dia dan kawan-kawannya kesalahan tangan. Oleh karena itu dia pun menerima baik tantangan itu dengan hati lega karena kemungkinan kesalahan tangan melukai lawan akan lebih kecil dibandingkan kalau bertanding dengan senjata.
“Baik, kami mohon petunjuk locianpwe,” katanya merendah.
Kemudian dia memberi isyarat kepada enam orang sute-nya untuk mulai bergerak. Begitu mereka bergerak, mudah saja dapat diketahui bahwa tingkat kepandaian ketujuh orang ini jauh lebih lihai jika dibandingkan dengan sembilan orang yang tadi mengeroyok Sin Wan. Gerakan mereka selain cepat juga mengandung tenaga sinkang yang amat kuat.
Tujuh orang yang dipimpin Ciok An itu merupakan pimpinan Ang-kin Kai-pang, sedangkan Ciok An sendiri yang berjenggot panjang adalah wakil ketua. Tentu saja kepandaiannya dan enam orang sute-nya itu sudah mencapai tingkat tinggi. Begitu bergerak, mereka itu masing-masing melancarkan serangan dengan satu tangan sedangkan tangan yang lain berusaha merampas caping yang tergantung di punggung Bu Lee Ki.
Akan tetapi tubuh kakek yang bertubuh sedang dan kurus itu seolah-olah berubah menjadi bayangan saja. Dia menggunakan langkah-langkah aneh dari ilmu Langkah Angin Puyuh dan tubuhnya yang hanya kelihatan seperti bayangan itu menyelinap di antara sambaran tujuh pasang tangan itu. Ada kalanya ia menangkis dan setiap kali tangannya menangkis, orang yang tersentuh lengannya terhuyung ke belakang hampir roboh!
“He-heh-heh, kalian anak-anak nakal! Caping butut seperti ini untuk berebutan! Nah, awas pegangi itu celana agar jangan merosot ke bawah kalau sabuknya kuambil,” kata kakek itu terkekeh.
Mendengar ini, tujuh orang itu bersiap siaga supaya jangan sampai sabuk mereka dapat diambil kakek itu. Menurut pendapat mereka, sebetulnya hal ini tidak mungkin. Pertama, mereka cukup tangguh, apa lagi kalau hanya melindungi sabuk sutera, dan kedua, sabuk itu melilit pinggang mereka kuat-kuat. Bagaimana mungkin dapat dirampas?
Mendadak kakek itu membuat gerakan aneh. Tubuhnya yang tadi berputar-putar itu kini berputar semakin cepat dan tubuhnya bagaikan gasing saja, tidak tentu ke mana arahnya sehingga membingungkan para pengeroyoknya. Lantas tiba-tiba terdengar teriakan susul menyusul karena seorang demi seorang harus memegangi celana mereka supaya tidak merosot.
Entah bagaimana caranya, sabuk sutera merah yang melilit pinggang mereka itu tiba-tiba saja meninggalkan pinggang seperti berubah menjadi ular hidup saja dan sudah berada di tangan kakek Bu Lee Ki! Setelah semua sabuk terampas, tujuh orang itu berdiri dengan mata terbelalak, memegang celana sambil memandang ke arah kakek itu yang berdiri dan tertawa-tawa memegang tujuh helai sabuk merah dan diangkatnya tinggi-tinggi.
Kembali lima orang perwira tinggi itu bertepuk tangan memuji. Sekali ini mereka agaknya benar-benar kagum karena sekarang mereka berlima bangkit berdiri dari tempat duduk mereka. Pada saat itu pula beberapa orang anggota Ang-kin Kai-pang yang berada di luar berseru,
"Pangcu datang...!"
Suasana menjadi sangat menegangkan bagi semua orang ketika mendengar bahwa ketua mereka datang, dan giranglah hati Ciok An dan para sute-nya karena tentu ketua mereka yang lihai akan mampu menebus kekalahan mereka yang membuat mereka merasa malu dan penasaran.
Ternyata orang yang muncul dari luar ini justru lebih muda dibandingkan Ciok An dan para sute-nya. Usianya sekitar empat puluh tahun dan wajahnya bersih dan tampan, tanpa ada kumis dan jenggot. Tubuhnya tegap dan nampak gesit, pakaiannya juga amat sederhana, berwama biru muda dan seperti juga semua anggota Ang-kin Kai-pang, di pinggangnya terlilit sehelai sabuk sutera, hanya warna merahnya yang berbeda karena warna merah sabuknya lebih tua dari pada yang lain.
Sejak di luar tadi ketua ini telah mendengar dari anak buahnya bahwa ada seorang kakek pengemis asing dan dua orang murid keponakannya mengacau di situ dan mengalahkan semua pimpinan Ang-kin Kai-pang. Mendengar ini, dia cepat melangkah maju dan dengan suara berwibawa dia berseru nyaring.
"Siapa yang berani mengacau di Ang-kin Kai-pang?"
Dengan tangan kiri masih memegangi celana agar tak merosot, Ciok An cepat menjawab, “Pangcu, locianpwe ini memaksa hendak bertemu dengan pangcu dan kami semua telah dikalahkannya."
"Heh-heh-heh, jangan merengek! Nih, kukembalikan sabuk kalian!" Dan begitu kakek itu melemparkan sabuk-sabuk merah itu, nampak tujuh sinar merah melayang ke arah tujuh orang pimpinan itu dan mereka pun menyambut sabuk-sabuk mereka dengan tangan.
Akan tetapi mereka menyeringai karena ketika menangkap sabuk-sabuk yang melayang ke arah mereka itu, mereka merasa betapa telapak tangan mereka nyeri bagai dicambuk. Dengan menahan rasa nyeri, mereka cepat melilitkan kembali sabuk mereka di pinggang.
Sementara itu Thio Sam Ki, yaitu ketua Ang-kin Kai-pang, memandang ke arah kakek Bu Lee Ki lantas dia mengeluarkan seruan heran, kemudian bergegas menghampiri. Mereka kini berhadapan. Bu Lee Ki masih terkekeh sedangkan ketua Ang-kin Kai-pang terbelalak.
"Locianpwekah ini...? Benarkah... locianpwe Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki...?"
Kakek itu terkekeh. "Heh-heh-heh, kiranya engkau yang menjadi ketua Ang-kin Kai-pang ini, Thio Sam Ki! Bagus, pantas saja kai-pang ini demikian maju dan baik, kiranya engkau yang menjadi ketuanya, ha-ha-ha-ha!"
"Ahh, locianpwe, semuanya ini berkat petunjuk yang pernah saya terima dari locianpwe. Betapa bahagia rasa hati saya melihat locianpwe ternyata masih dalam keadaan sehat. Locianpwe, terimalah hormat saya!" Dan ketua Ang-kin Kai-pang itu segera menjatuhkan diri berlutut di hadapan kakek itu!
Ketika tadi mendengar disebutnya nama Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki oleh ketua Ang-kin Kai-pang, semua orang sudah terbelalak kaget. Sekarang melihat ketua mereka berlutut memberi hormat, tanpa diperintah lagi seluruh pimpinan serta anggota Ang-kin Kai-pang yang berada di situ menjatuhkan diri berlutut menghadap kakek itu!
Siapa yang tak kaget mendengar bahwa kakek itu adalah Thai-pangcu (Ketua Besar) dari seluruh kai-pang? Kakek itu adalah ‘datuk’ seluruh pengemis yang dikabarkan menghilang selama bertahun-tahun.
Bu Lee Ki mengangkat kedua tangannya ke atas. "Wah .. wah, bangkitlah kalian semua. Aku datang untuk melihat-lihat keadaan dan kini dapat kunyatakan bahwa engkau sudah berhasil, Thio Sam Ki. Nampaknya Ang-kin Kai-pang mampu mempertahankan namanya sebagai pejuang-pejuang yang gagah, tidak menyeleweng ke jalan sesat!"
Thio Sam Ki bangkit berdiri, diturut semua anggotanya dan wajahnya berseri. "Semua ini berkat bimbingan locianpwe, dan berkat bantuan dari yang mulia Raja Muda Yung Lo!" Lalu dia memandang kepada tujuh orang pembantunya sambil tersenyum. "Apakah kalian ini sudah buta, berani mencoba-coba kepandaian locianpwe Bu Lee Ki!"
Sementara itu, sesudah melihat dan mendengar semua ini, lima orang perwira itu saling pandang dan mereka tampak gembira sekali. Seorang di antara mereka yang berusia lima puluh tahun lebih, bertubuh-tinggi besar, segera maju memberi hormat kepada Bu Lee Ki.
"Kiranya locianpwe adalah Thai-pangcu yang terkenal itu. Kami merasa beruntung dapat bertemu locianpwe dan kami mengucapkan selamat atas berkumpulnya kembali seorang pemimpin besar dengan anak buahnya." Dia lalu memberi hormat kepada Thio Sam Ki dan berkata, "Kami mengucapkan selamat kepada Thio-pangcu yang telah dapat bertemu dengan pemimpin besarnya. Kami berlima mohon diri karena sudah cukup lama berada di sini dan terima kasih atas segala keramahan Ang-kin Kai-pang."
Lima orang perwira itu lalu keluar dari situ dan lima orang anggota Ang-kin Kai-pang telah mempersiapkan kuda tunggangan mereka.
Sesudah mereka pergi, Thio Sam Ki memandang kepada Sin Wan dan Kui Siang, lalu bertanya kepada Bu Lee Ki, "Saya mendengar bahwa kedua orang adik yang gagah ini adalah murid-murid keponakan locianpwe, harap suka memperkenalkan mereka kepada saya."
Bu Lee Ki tersenyum. "Mereka adalah murid-murid dari Sam-sian, boleh dibilang murid keponakanku sendiri. Pemuda ini bernama Sin Wan dan nona itu bernama Lim Kui Siang dari Nan-king. Sin Wan dan Kui Siang, ini adalah Thio Sam Ki ketua Ang-kin Kai-pang, tak kusangka bahwa dia yang menjadi ketua di sini."
Dua orang itu saling memberi hormat dengan Thio Sam Ki yang merasa kagum kepada mereka karena sudah mendengar betapa mereka ini sudah menang dengan mudahnya. Gadis cantik itu sudah mengalahkan barisan Enam Tongkat Merah, bahkan pemuda itu mengalahkan barisan Sembilan Pedang Naga. Hebat! Apa lagi sesudah tadi mendengar keterangan dari Bu Lee Ki bahwa mereka adalah murid-murid Sam-sian, kekagumannya semakin bertambah.
"Dahulu saya hanyalah anggota pengemis biasa di Ang-kin Kai-pang, akan tetapi berkat bimbingan locianpwe Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki maka akhirnya saya dapat menjadi ketua. Locianpwe, marilah kita bicara di dalam." Ketua itu lalu memerintahkan para pembantunya untuk mempersiapkan pesta penyambutan kepada pemimpin besar para kai-pang itu.
Dalam perjamuan meja panjang di mana duduk Bu Lee Ki, Sin Wan beserta Kui Siang sebagai tamu kehormatan, dan Thio Sam Ki bersama tujuh orang pembantunya sebagai tuan rumah, Bu Lee Ki dengan tenang dan sabar mendengarkan semua keterangan yang diberikan Thio Sam Ki tentang perkembangan dunia kai-pang semenjak penjajah Mongol diusir dan pemerintah Kerajaan Beng memegang kekuasaan.
Dahulunya Ang-kin Kai-pang juga terbawa menyeleweng oleh ketuanya yang lama yang bernama Boan Kin. Melihat keadaan yang kacau akibat perang, Boan Kin bersama para pendukungnya yang menjadi kaki tangannya dan berjumlah dua puluh orang lebih lantas membawa Ang-kin Kai-pang keluar dari jalan benar dan mulai melakukan pemerasan dan penindasan terhadap masyarakat di Peking dengan dalih bahwa Ang-kin Kai-pang sudah berjasa dalam perjuangan menumbangkan penjajah Mongol sehingga sudah sepantasnya kalau mendapatkan imbalan jasa. Boan Kin dan kaki tangannya merupakan gerombolan yang merajalela di Peking dan amat ditakuti oleh rakyat karena mereka tidak segan-segan mempergunakan kekerasan dan kepandaian untuk memaksakan kehendak mereka.
Thio Sam Ki yang menjadi anggota Ang-kin Kai-pang dan para pengemis lain yang berjiwa bersih, tentu saja tidak menyetujui langkah yang diambil ketua mereka. Biar pun Thio Sam Ki sendiri sudah memiliki ilmu silat yang tinggi dan kiranya tidak akan kalah oleh Boan Kin karena dia pernah dibimbing langsung oleh Pek-sim Lo-kai, akan tetapi dia tidak berdaya mengingat bahwa Boan Kin mempunyai dua puluh lebih kaki tangan yang tentu saja tidak mungkin dapat dia atasi.
Akhirnya, sesudah Raja Muda Yung Lo mulai melakukan penertiban dengan tangan besi, melakukan pembersihan terhadap para penjahat, Thio Sam Ki mendapat dukungan dari raja muda ini. Dengan bantuan pasukan, Thio Sam Ki berhasil membunuh Boan Kin dan kaki tangannya lalu dia pun diangkat sebagai ketua baru oleh semua sisa anggota Ang-kin Kai-pang dan didukung sepenuhnya oleh Raja Muda Yung Lo.....