Pendekar Kelana Jilid 34

Ketika mereka berempat bersama Leng Kun berunding tentang Bwe Hwa, mereka segera menyetujui untuk menundukkan gadis ini karena mereka membenci Bwe Hwa. Dari Leng Kun mereka mengetahui bahwa Bwe Hwa adalah puteri Pek Han Siong. Padahal Pek Han Siong adalah musuh besar mereka yang sudah membinasakan Lan Hwa Cu, paman guru mereka. Maka mereka lalu mempergunakan siasat memancing Bwe Hwa dalam keadaan terpengaruh sihir ke kamar Leng Kun.

Melihat empat orang pendeta itu berloncatan kemudian mengepungnya dengan pedang di tangan dan Leng Kun sendiri sudah mencabut senjata sulingnya, tahulah Bwe Hwa bahwa mereka memang mempunyai niat busuk terhadap dirinya.

Melihat empat orang pendeta Pek-lian-kauw itu sudah datang mengepung Bwe Hwa, Leng Kun berkata, “Su-wi totiang, tangkap dia hidup-hidup untukku!”

Bukan main marahnya Bwe Hwa. Dia segera melompat ke depan untuk menyerang Leng Kun dengan pedangnya. Akan tetapi Leng Kun cepat menghindar dan empat orang tosu itu sudah menyerangnya dari empat penjuru.

Bwe Hwa memutar pedangnya untuk menangkis dan dia terkejut. Ternyata empat orang tosu itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi pula. Dia dapat celaka kalau dia dikeroyok oleh mereka yang dibantu pula oleh Leng Kun,. Maka dia mengambil keputusan dengan cepat.

Dia menggunakan jurus terampuh dari Kwan-im Kiamsut sehingga empat orang tosu itu terpaksa mundur karena serangan itu hebat bukan main. Kesempatan ini digunakan oleh Bwe Hwa untuk melarikan diri, melompat keluar dari tempat itu.

“Kejar dia...!” terdengar suara Leng Kun dan lima orang itu cepat meloncat dan melakukan pengejaran.

Akan tetapi gerakan Bwe Hwa cepat sekali. Biar pun cuaca hanya remang-remang disinari bulan yang terlambat muncul, namun Bwe Hwa dapat keluar dari perkampungan itu tanpa ada halangan. Penjagaan pada waktu larut malam itu tidak ketat lagi, para penjaga lebih banyak yang tertidur dari pada yang terjaga. Sedikit penjaga itu pun tidak ada yang berani menghalangi larinya Bwe Hwa karena mereka mengenal Bwe Hwa sebagai tamu yang dihormati para ketua mereka.

Sesudah lolos dari pintu gerbang perkampungan itu, Bwe Hwa menyelinap dan memasuki hutan yang lebat sehingga jejaknya tidak dapat diikuti lagi oleh para pengejarnya. Karena merasa tidak mungkin dapat mengejar gadis yang sangat lihai itu, See-thian Su-hiap dan Leng Kun terpaksa kembali ke perkampungan Kui-jiauw-pang dengan wajah lesu karena tidak berhasil menangkap Bwe Hwa.

Bwe Hwa tidak berani berhenti, melainkan terus memasuki hutan itu. Dia maklum bahwa kalau dia dapat tersusul hingga terpaksa harus melayani serangan mereka maka dia akan kalah. Apa lagi kalau diingat bahwa di sana masih ada Bu-tek Ngo-sian, Toa Ok dan Ji Ok yang amat lihai itu.

Setelah fajar menyingsing barulah Bwe Hwa merasa lega dan dia tidak melihat ada orang yang memburunya. Dia mengaso di balik semak belukar dan menarik napas karena lega. Kemudian dia meraba pedang pusaka Pek-lui-kiam yang tergantung di pinggangnya.

Bagaimana pun juga tidak sia-sia dia menjadi tamu Kui-jiauw-pang karena kini dia sudah mendapatkan pedang pusaka itu. Akan tetapi dia merasa menyesal sekali atas perbuatan Leng Kun. Dia sama sekali tak menyangka bahwa pemuda yang gagah dan tampan, juga bersikap halus itu, ternyata hanya seekor serigala berkedok domba.

Kini dia akan bersembunyi dahulu dan kalau sudah yakin bahwa dia tidak dikejar, barulah dia akan menuruni puncak gunung lantas membawa pedang pusaka pulang ke Tung-ciu, menyerahkan pedang pusaka itu kepada ayah ibunya. Ahh, betapa mereka akan senang dan merasa bahagia! Pedang pusaka yang diperebutkan oleh seluruh tokoh kang-ouw itu terjatuh ke tangannya dengan mudah.

Setelah matahari menampakkan sinarnya dengan penuh, menerobos di antara celah-celah daun pohon, Bwe Hwa pun merasa lega. Tidak ada yang mengejarnya, atau mungkin para pengejarnya mengambil arah lain. Dia lalu keluar dari belakang semak-semak dan hendak melanjutkan perjalanan.

Akan tetapi alangkah kaget hatinya ketika beberapa orang berloncatan dari balik pohon-pohon dan mereka itu ternyata adalah Coa Leng Kun dan See-thian Su-hiap yang dikenal Bwe Hwa sebagai empat orang pendeta yang membantu Leng Kun dan mengeroyoknya semalam!

Tanpa banyak cakap lagi Bwe Hwa mencabut pedang Kwan-im-kiam, lantas memasang kuda-kuda untuk melakukan perlawanan mati-matian. Dia maklum akan ketangguhan para pengeroyok ini, akan tetapi tentu saja dia tidak akan menyerah.

“Hwa-moi, aku bermaksud baik denganmu, aku bahkan ingin memperisterimu, akan tetapi kenapa engkau melarikan diri? Menyerahlah, Hwa-moi dan kita hidup berbahagia sebagai suami isteri," Leng Kun mencoba untuk merayu dengan kata-kata halus.

Akan tetapi ucapan itu justru menambah kebencian hati Bwe Hwa. Seorang pemuda yang demikian lembut kata-katanya, ternyata menyembunyikan watak jahat seperti iblis!

"Coa Leng Kun, manusia jahat, sampai mati pun aku tidak akan menyerah!" Bwe Hwa lalu menerjang dengan pedang di tangan, menyerang Leng kun dengan tusukan ke arah dada.

"Tranggg...!"

Leng Kun menangkis dengan sulingnya dan dia pun terhuyung karena dalam serangannya tadi Bwe Hwa sudah mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi Bwe Hwa tidak dapat mendesak pemuda yang terhuyung itu karena See-thian Su-hiap telah menghadang dan mengeroyoknya.

Bwe Hwa memutar pedangnya dan mengamuk. Akan tetapi dia segera dikepung oleh lima orang itu dan betapa pun lihainya, dikeroyok lima orang yang tingkat kepandaiannya telah tinggi membuat Bwe Hwa kewalahan sehingga dia segera terdesak.

Dalam keadaan terdesak ini Bwe Hwa lalu teringat akan pedang pusaka Pek-lui-kiam. Dia teringat bahwa pedang Pek-lui-kiam merupakan pusaka yang ampuh sekali. Maka dia pun meraih dengan tangan kirinya ke belakang punggung dan di lain saat dia telah mencabut Pek-lui-kiam dari sarung pedang.

Nampak sinar berkilat ketika dia mencabutnya, akan tetapi lima orang pengeroyoknya tak menjadi gentar. Mereka mendesak terus dan Bwe Hwa segera memutar Pek-lui-kiam di tangan kiri dan Kwan-im-kiam di tangan kanan.

Dengan pengerahan tenaga dia menangkis hujan senjata dari lima orang pengeroyoknya itu, dengan harapan mudah-mudahan pedang pusaka itu akan dapat merusak senjata para pengeroyoknya.

"Tranggg...! Tranggg...! Tranggg..!" terdengar bunyi nyaring ketika kedua pedang gadis itu
bertemu dengan empat pedang dan sebuah suling para pengeroyoknya.

Akibat pertemuan antara senjata-senjata itu, Bwe Hwa meloncat mundur ke belakang dan wajahnya segera berubah setelah melihat bahwa pedang di tangan kirinya itu telah patah menjadi dua potong! Mengertilah gadis yang cerdik ini bahwa dia telah tertipu. Pedang itu tentu pedang Pek-lui-kiam yang palsu. Jika pedang asli tidak mungkin patah bila bertemu dengan senjata lawan. Apa bila selemah itu, tidak mungkin pedang itu dijadikan perebutan antara orang-orang kang-ouw.

Dia pun membuang dengan gemas sisa pedang yang tinggal sepotong itu dan kembali dia harus mengandalkan pedang Kwan-im-kiam untuk menghadapi pengeroyokan lima orang yang kini menyeringai seperti mengejek Bwe Hwa dengan pedang yang buntung tadi.

Tubuh Bwe Hwa telah basah oleh keringatnya sendiri. Dia terpaksa mengerahkan tenaga sepenuhnya secara terus menerus dan bergerak dengan cepatnya. Semua ini menguras tenaganya dan membuat dia lelah sekali. Akan tetapi gadis perkasa ini sudah mengambil keputusan untuk melawan sampai dia tidak kuat lagi. Ia memainkan Kwan-in-kiam-sut dan ilmu pedang inilah yang membuat dia belum juga dapat disentuh senjata para pengeroyok.

Memang ilmu pedang ini hebat sekali. Gerakannya lembut namun menyembunyikan daya serangan dan daya tahan yang amat kuat. Lima orang itu mencoba mendesaknya, tetapi mereka belum juga mampu melukai Bwe Hwa, hanya mampu mendesak saja sehingga Bwe Hwa sering kali mundur dan gadis ini kini hanya mampu bertahan saja, tidak sempat lagi menyerang. Dalam keadaan yang sangat gawat bagi keselamatan Bwe Hwa itu, tiba-tiba terdengar seruan nyaring dan merdu,

"Enci Bwe Hwa, jangan khawatir, aku datang membantumu menghadapi lima ekor anjing ini!"

Orang yang berseru itu ternyata adalah Tang Hui Lan. Gadis perkasa ini telah mencabut Hok-mo Siang-kiamnya dan memutar kedua pedang itu sehingga yang nampak hanya dua gulungan sinar hitam yang menyerbu ke arah lima orang pengeroyok itu.

Mereka terkejut sekali dan segera berlompatan ke belakang agar dapat melihat lebih jelas kepada gadis yang memainkan dua batang pedang hitam yang dahsyat itu.

Hui Lan kini juga dapat memandang mereka dan dia mengerutkan alisnya ketika melihat Leng Kun. Dia mengenal pemuda berpakaian putih yang pernah membantunya ketika dia diserang orang-orang jahat di kota Liok-bun. Dia bahkan sempat berkenalan dengan Coa Leng Kun, pemuda yang mendatangkan kesan sebagai seorang pemuda lihai yang sopan dan baik budi. Akan tetapi ternyata sekarang pemuda ini mengeroyok Bwe Hwa bersama empat orang tosu yang lihai!

"Nona Tang.., engkaukah ini?" Coa Leng Kun juga terkejut melihat Hui Lan menegur.

"Benar aku! Dan aku adalah saudara gadis yang kau keroyok ini!" jawab Hui Lan sambil memandang dengan mata mencorong. Untung dia dahulu menjauhkan diri dari Leng Kun sehingga tidak terjalin persahabatan yang lebih akrab.

"Adik Hui Lan, engkau mengenal bangsat ini? Jangan tertipu oleh gayanya yang yang baik dan lembut, sebenarnya dia adalah seekor serigala yang berbulu domba! Dia amat jahat sekali, berniat busuk terhadap diriku!"

"Coa-sicu, siapakah gadis ini?" tanya Kui Hwa Cu, orang pertama dari See-thian Su-hiap kepada Leng Kun.

“Su-wi To-tiang, ketahuilah bahwa gadis ini adalah puteri Tang Hay, ibunya adalah ketua Cin-ling-pai!"

"Ahhh! Kebetulan sekali, kalau begitu mari kita bunuh dua orang gadis puteri musuh kita ini!" bentak Kui Hwa Cu kemudian dengan marah dia menyerang Bwe Hwa lagi.

Akan tetapi Hui Lan yang langsung meloncat ke depan menyambut serangan Kui Hwa Cu. Dalam beberapa gebrakan saja Kui Hwa Cu terdesak, maka dua orang rekannya segera membantunya mengeroyok Hui Lan, sedangkan yang seorang lagi membantu Leng Kun menghadapi Bwe Hwa.

"Kong-ko, kenapa tidak lekas keluar membantu enci Bwe Hwa menghajar lima anjing ini?" Hui Lan berseru dan muncullah Si Kong yang tadi datang bersama Hui Lan tetapi hanya menonton saja di bawah pohon.

Melihat Si Kong, Bwe Hwa girang sekali. Sambil memutar pedangnya melindungi diri dari serangan dua orang lawannya, dia pun berseru,

"Kong-ko, bagus sekali engkau juga datang! Mari bantu kami bereskan lima orang jahat ini!"

"Hemm, kulihat kalian berdua akan mudah mengalahkan mereka!" kata Si Kong.

Leng Kun dan See-thian Su-hiap terkejut sekali. Munculnya Hui Lan saja sudah membuat mereka kewalahan karena sepak terjang gadis ini begitu hebat. Dua batang pedangnya itu seperti dua ekor naga saja menyambar-nyambar, membuat tiga orang di antara See-thian Su-hiap yang mengeroyoknya menjadi kewalahan. Apa lagi kalau ditambah lagi seorang lawan yang belum mereka ketahui kelihaiannya. Karena itu Kui Hwa Cu merasa lebih baik kalau mereka pergi dari situ untuk minta bala bantuan.

"Pergi..!" Kui Hwa Cu berteriak memberi komando kepada empat orang temannya sambil melemparkan suatu benda ke depan mereka.

"Awas! Menghindar!" teriak Si Kong. Dua gadis itu mentaati aba-aba ini, cepat meloncat ke belakang dan berlindung di belakang pohon besar.

"Darrrr...!"

Begitu menyentuh tanah benda itu segera meledak dan mengeluarkan asap hitam tebal. Si Kong keluar dari balik pohon dan menggunakan tenaga sinkang-nya, kedua tangannya mendorong ke depan. Asap hitam itu seperti tertiup angin, sebentar saja membubung ke atas sehingga tempat itu menjadi terang kembali. Akan tetapi ternyata lima orang itu telah lenyap, tentu melarikan diri dengan lindungan asap hitam tebal tadi.

Bwe Hwa memandang kepada Hui Lan dan Si Kong dengan heran. Diam-diam dia merasa iri mengapa Hui Lan dapat melakukan perjalanan bersama pemuda yang dia kagumi itu. Padahal dahulu, dalam pertemuannya dengan Si Kong ketika dia membantu ketua Hek I Kaipang melawan Si Kong kemudian berkenalan dengan murid mendiang Pendekar Sadis ini, Si Kong tidak memberi kesempatan kepadanya untuk berkenalan lebih lanjut karena pemuda itu segera berpamit dan pergi.

"Adik Hui Lan dan Kong-ko, bagaimana kalian dapat muncul di sini?"

"Kami memang sedang melakukan penyelidikan ke bukit Kui-liong-san ini, enci Bwe Hwa. Dan bagaimana engkau sampai berkelahi dengan pemuda bernama Coa Leng Kun itu dan dikeroyok oleh empat orang pendeta itu?"

"Panjang ceritanya, adik Hui Lan. Akan tetapi aku merasa beruntung dan berterima kasih sekali bahwa engkau telah menolong dan membantuku. Kalau engkau dan Kong-ko tidak keburu datang, mungkin aku akan tewas di tangan mereka."

"Aihh, di antara kita mana ada berterima kasih segala, enci Bwe Hwa? Kami bersyukur sekali bahwa engkau tidak terluka dalam pengeroyokan tadi. Aku pernah bertemu dengan pemuda bernama Coa Leng Kun tadi. Dia bersikap sopan dan baik, juga ilmu silatnya lihai sekali. Siapa kira ternyata dia adalah seorang yang berwatak jahat."

"Aku sendiri pun terjebak oleh sikapnya yang baik dan sopan, adik Hui Lan. Aku secara kebetulan saja bertemu dan berkenalan dengan dia ketika aku mendekati bukit ini. Karena sikapnya amat sopan dan baik, aku mau berkenalan dengan dia dan bersamanya naik ke puncak bukit ini. Dia sudah mengenal ketua Kui-jiauw-pang, maka dia lalu mengajak aku menemui para pimpinan Kui-liong-pang. Dan benar saja, para pemimpin Kui-liong-pang itu kemudian menerimaku dengan baik sebagai tamu yang terhormat. Bahkan mereka sudah menyerahkan pedang pusaka Pek-lui-kiam kepadaku!"

"Ahhh...!" Hui Lan berseru.

“Ternyata semua itu bohong belaka! Hanya tipuan saja! Tadi malam empat orang tosu itu membantu Leng Kun untuk menguasai aku dengan sihir mereka sehingga malam tadi aku terbangun dan ada kekuatan yang menarikku supaya berkunjung ke kamar Leng Kun. Aku menyadari akan pengaruh sihir itu maka dapat membebaskan diri dari pengaruhnya. Akan tetapi aku pura-pura masih tersihir kemudian diam-diam telah membawa pedangku Kwan-im-kiam dan juga pedang Pek-lui-kiam pemberian mereka. Aku lalu mengetuk daun pintu dan memanggil Leng Kun. Pintu terbuka dan ternyata Leng Kun berniat busuk terhadapku dan di kamarnya terdapat empat orang pendeta itu. Aku marah dan menyerang Leng Kun, akan tetapi empat orang pendeta itu lantas mengeroyokku dan ternyata mereka lihai juga. Maka aku terpaksa melarikan diri sampai di sini. Sesudah fajar aku mengira mereka tidak mengejarku, maka aku hendak melanjutkan perjalanan. Mereka berlima menyusul kemari dan kembali aku dikeroyok di sini sampai engkau muncul membantuku."

"Dan pedang pusaka Pek-lui-kiam itu?" tanya Si Kong yang juga tertarik oleh cerita Bwe Hwa.

"Itu hanya pedang Pek-lui-kiam palsu!" kata Bwe Hwa, kemudian memungut pedang yang telah patah menjadi dua potong itu. "Inilah pedang itu. Ketika terdesak tadi aku mencabut pedang ini untuk membela diri. Ternyata pedang ini patah ketika bertemu dengan senjata mereka!"

Si Kong memeriksa dua potong pedang itu.

"Memang palsu, besi biasa yang dilapisi perak sehingga mengeluarkan sinar. Jelas bahwa semua yang kau alami itu sudah mereka atur, Hwa-moi. Untung engkau masih dapat lolos dari siasat licik mereka. Tetapi ada baiknya juga karena pengalamanmu sebagai tamu di puncak sana amat berharga. Engkau tentu mengetahui keadaan dan kekuatan mereka."

"Yang menjadi ketua Kui-jiauw-pang ada tiga orang yang menyebut dirinya Toa-pangcu, Ji-pangcu dan Sam-pangcu. Toa-pangcu dan Ji-pangcu itu adalah Toa Ok dan Ji Ok, dan Sam-pangcu tentu Ang I Sianjin karena dia selalu mengenakan jubah merah. Di samping ketiga ketua ini, di sana masih ada Bu-tek Ngo-sian yang lihai, dan kini bahkan ditambah lagi dengan empat orang tosu tadi yang juga lihai. Anak buah Kui-jiauw-pang kurang lebih berjumlah seratus orang, dan aku pernah melihat segerombolan orang di hutan sebelah utara, mungkin anak buah empat orang tosu itu."

“Kalau begitu kedudukan mereka kuat sekali. Kong-ko. Ternyata mereka yang berkuasa di puncak dan menjadi pimpinan Kui-jiauw-pang adalah Toa Ok, Ji Ok, dan Bu-tek Ngo-sian yang pernah mengeroyok kakek buyut Ceng Thian Sin."

"Memang kedudukan mereka kuat sekali," kata Si Kong dengan tenang. "Dan kita belum tahu pasti apakah Pek-lui-kiam berada di tangan mereka."

"Sudah pasti, Kong-ko!" kata Bwe Hwa sambil menatap wajah pemuda itu dengan sinar mata yang tajam. "Lihat saja pedang palsu ini. Jika mereka tidak menguasai Pek-lui-kiam yang asli, bagaimana mereka bisa membuat yang palsu? Sekarang aku baru tahu kenapa semudah itu mereka menyerahkan Pek-lui-kiam kepadaku. Kiranya mereka hanya hendak mempermainkan aku. Semua ini tentu ulah jahanam Coa Leng Kun itu!” Bwe Hwa dengan gemas mengepal tangan kanannya.

"Siapakah Coa Leng Kun itu sesungguhnya? Mengapa dia memusuhimu, enci Bwe Hwa? Dan empat orang tosu itu, dari manakah mereka?"

"Aku sendiri tidak tahu, Lan-moi. Aku hanya mendengar darinya bahwa dia sudah yatim piatu dan bahwa gurunya bernama Bu Beng Lojin. Entah benar atau tidak keterangan itu. Dan mengenai empat orang tosu itu, sebelum ini aku tidak pernah bicara dengan mereka dan tidak tahu mereka berasal dari mana."

Si Kong yang sejak tadi mendengarkan penuh perhatian, lalu berkata, "Empat orang tosu itu menggunakan sihir untuk mempengaruhimu, Hwa-moi. Dan melihat ilmu silat mereka tadi, aku hampir yakin bahwa mereka adalah orang-orang Pek-lian-kauw."

"Pek-lian-kauw yang dipergunakan sebagai agama dan dipakai untuk menutupi kejahatan Pek-lian-pai yang selalu mengadakan pemberontakan itu?" tanya Hui Lan sambil menatap wajah Si Kong.

“Kalau begitu Kui-jiauw-pang bersekongkol dengan pemberontak Pek-lian-pai?” tanya Bwe Hwa.

“Kemungkinan itu dapat saja terjadi. Datuk-datuk besar semacam Toa Ok dan Ji Ok telah menguasai perkumpulan kecil seperti Kui-jiauw-pang. Untuk apa mereka melakukan itu kalau bukan mencari pengikut dan kini bergabung dengan Pek-lian-kauw?” kata Si Kong.

“Kalau begitu, apakah Coa Leng Kun itu anggota Pek-lian-kauw?” tanya Bwe Hwa.

“Bisa jadi,” kata Si Kong. “Kedudukan mereka kuat sekali. Jika sekarang kita bertiga naik ke puncak dan harus menghadapi mereka semua, tentu kita akan kalah kuat.”

“Lalu bagaimana baiknya, apakah kita harus berdiam diri saja dan membiarkan pedang Pek-lui-kiam di tangan orang-orang jahat seperti mereka?” tanya Bwe Hwa penasaran.

“Tentu saja tidak, Hwa-moi. Akan tetapi kita harus berhati-hati. Mereka sudah mengetahui kehadiran kita bertiga, tentu kini mereka telah melakukan penjagaan kuat. Sebaiknya kita menahan diri dulu, melihat perkembangan dan kita bersembunyi dulu di dalam goa yang kami temukan di bawah lereng ini.”

“Benar, enci Bwe Hwa. Goa itu cukup besar dan tersembunyi, baik untuk persembunyian kita untuk sementara ini. Aku mendengar bahwa banyak tokoh kang-ouw akan datang ke puncak Kui-liong-san untuk memperebutkan pedang Pek-lui-kiam. Biar mereka naik dulu dan bertanding dengan pimpinan Kui-jiauw-pang. Dalam keadaan ribut-ribut itu baru kita mendaki puncak sehingga kita tidak perlu harus menghadapi pengeroyokan orang-orang Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai,” kata Hui Lan yang menyetujui usul Si Kong.

Demikianlah, tiga orang muda itu menuruni lagi lereng itu dan mereka tiba di tempat yang dimaksudkan tanpa halangan. Seperti yang dikatakan Si Kong tadi, tempat itu merupakan tempat persembunyian yang baik sekali. Goa itu lebar dan dalam sehingga mereka akan terhindar dari hujan dan panas, dan tidak jauh dari sana, di sebelah kiri goa, terdapat air pancuran yang jernih sekali. Goa itu tertutup oleh semak belukar sehingga tidak nampak dari luar.

Si Kong dan Hui Lan menemukan goa itu tanpa sengaja. Mereka berdua tengah memburu kijang yang sudah terluka oleh sambitan batu Si Kong, dan kijang itulah yang membawa mereka menemukan goa itu.

Bwe Hwa juga amat senang melihat goa itu yang lantainya telah ditutup rumput dan daun kering. Pada malam hari mereka dapat membuat api unggun di dalam goa untuk mengusir nyamuk dan hawa dingin. Melihat pancuran air jernih itu, Bwe Hwa ingin sekali mandi dan bertukar pakaian.

“Kau mandilah dulu, enci Bwe Hwa. biar aku menyusul sesudah engkau selesai mandi,” kata Hui Lan.

Bwe Hwa lantas membawa pakaian bersih ke pancuran air yang tertutup semak sehingga tak terlihat dari goa, kemudian gadis ini mandi membersihkan dirinya. Perasaan bahagia menyelimuti perasaan hatinya sehingga tanpa terasa dia bersenandung!

Setelah Bwe Hwa pergi mandi, Hui Lan duduk berdua saja dengan Si Kong.

“Engkau sudah mengenal baik enci Bwe Hwa, bukan? Bagaimana pendapatmu tentang gadis itu?”

Si Kong mengangguk.

“Mengenal baik sih belum karena baru satu kali aku bertemu dengannya dan kami sempat bertanding karena kesalah pahaman antara kita. Aku salah duga bahwa Hek I Kaipang itu perkumpulan pengemis yang sesat, maka aku menyerbu ke sana. Sebaliknya Bwe Hwa menjadi tamu kehormatan Hek I Kaipang karena ketua perkumpulan itu kenalan ayahnya dan dia sedang mencari keterangan mengenai Pek-lui-kiam. Karena kesalah pahaman ini kami lalu bertanding akan tetapi dia segera mengenal ilmu silatku. Demikianlah, kami baru bertemu satu kali dan berkenalan.”

“Akan tetapi bagaimana pendapatmu tentang dia, Kong-ko?”

Si Kong memandang tajam. “Mengapa engkau tanyakan itu, Lan-moi?”

“Karena aku ingin tahu pendapatmu tentang dia, apakah cocok dengan pendapatku.”

Si Kong tersenyum. “Ahhh, mudah saja menilai Bwe Hwa. Dia seorang gadis yang cantik jelita dan gagah perkasa, memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan dia pemberani pula.”

Hui Lan mengangguk-angguk. “Tepat, memang dia cocok sekali dengan engkau Kong-ko.”

Si Kong tertegun. “Cocok? Apa maksudmu, Lan-moi?”

“Maksudku bahwa dia memang cocok dan pantas sekali untuk menjadi pasanganmu!”

Si Kong terbelalak dan dia melihat wajah Hui Lan berubah agak kemerahan.

“Ahh, engkau ini ada-ada saja, bicara yang tidak karuan!” dia menegur halus serius.

Akan tetapi Hui Lan masih berkata, “Seorang pemuda seperti engkau harus mendapatkan pasangan yang setimpal, Kong-ko. Kalau ada gadis yang pantas mendampingimu, maka enci Bwe Hwa itulah orangnya!”

“Aihhh, jangan begitu, Lan-moi. Engkau membuat aku menjadi salah tingkah dan merasa malu,” kata Si Kong sambil tersenyum lebar dan menganggap gadis ini hanya bergurau dan menggodanya saja. Akan tetapi percakapan itu terhenti karena terdengar suara Bwe Hwa memangggil.

“Adik Hui Lan, aku sudah selesai! Ke sinilah menggantikan aku mandi!”

Terdengar langkah kaki Bwe Hwa yang berlari ke arah goa. Hui Lan segera bangkit dan mengambil pakaian pengganti. Bwe Hwa muncul dengan wajah segar kemerah-merahan, rambutnya basah terurai dan tangannya membawa pakaian bekas pakai yang tadi telah dicucinya.

“Wah, airnya jernih dan sejuk sekali, Lan-moi!” katanya gembira. “Benar-benar beruntung sekali aku dapat bertemu dengan kalian.”

“Aku hendak mandi dan mencuci pakaian. Engkau temani Kong-ko di sini, enci Bwe Hwa!” kata Hui Lan yang cepat berlari menuju ke pancuran air.

“Ahh, rambutku masih basah dan awut-awutan!” Bwe Hwa berkata sambil tersenyum dan menggosok-gosok rambut kepalanya dengan sehelai kain. “Tentu jelek sekali seperti iblis betina. Benar tidak, Kong-ko?”

Ditanya begitu terpaksa Si Kong memandang gadis itu dan melihat rambut hitam panjang yang terurai itu. Dia pun terpaksa menjawab sejujurnya.

“Rambutmu indah sekali, Hwa-moi!”

“Aihh, benarkah itu?”

“Aku berkata dengan jujur, bukan pujian untuk menyenangkan hatimu saja.”

Bukan main girangnya hati Bwe Hwa mendengar ucapan itu. Pemuda itu bukan merayu, melainkan memuji sejujurnya. Wanita manakah yang tidak akan bangga dan girang kalau dirinya dipuji, bukan sekedar rayuan melainkan pujian yang sejujurnya?

Bwe Hwa lantas menggelung rambutnya setelah mengeringkannya dengan kain. Sungguh sedap dipandang bila mana wanita sedang menggelung rambutnya, dengan kedua tangan diangkat, dengan cekatan menata rambut itu. Apa lagi wanita secantik Bwe Hwa.

Sambil menyusut mukanya dengan kain Bwe Hwa memandang kepada Si Kong. Ternyata pemuda itu tidak memandangnya. Si Kong memang tidak berani memandang lama-lama karena takut terpesona oleh keindahan tubuh Bwe Hwa.

“Kong-ko, engkau dan Hui Lan tentu telah bergaul erat sekali, bukan? Engkau melakukan perjalanan ke sini bersama-sama dan tentu sudah mengalami banyak hal bersama pula. Sudah berapa lamakah engkau melakukan perjalanan dengan Hui Lan?”

“Kurang lebih setengah bulan,” jawab Si Kong sebenarnya.

“Ia seorang gadis yang amat lihai dan juga memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, bukan?”

“Memang dia lihai, mewarisi ilmu-ilmu ayah ibunya.” Kembali Si Kong menjawab dengan wajar, namun hatinya mulai heran mengapa Bwe Hwa bicara tentang Hui Lan dan tadi Hui Lan bicara tentang Bwe Hwa. Benar mirip sekali watak dua orang gadis ini.

Si Kong memandang wajah Bwe Hwa dan melihat dagu yang indah itu terhias tahi lalat yang membuat dia nampak semakin manis. Namun hanya sebentar Si Kong memandang, lalu menunduk lagi.

“Dan dia cantik jelita! Jarang sekali ada gadis secantik dia yang memiliki ilmu kepandaian setinggi itu. Betulkah, Kong-ko?”

Heran bin ajaib, pikir Si Kong. Kenapa sama benar arah percakapan Bwe Hwa ini dengan Hui Lan tadi? Seolah-olah mereka berdua telah bersepakat untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sama. Terpaksa kembali dia menjawab sejujurnya.

“Betul, memang dia cantik jelita dan lihai.”

“Ya, aku tahu. Memang dia paling cocok kalau mendampingimu, menjadi pasanganmu!”

Si Kong tertegun. Mengapa persis benar?

“Apa... apa maksudmu dengan ucapan itu, Hwa-moi?”

“Tanpa kau akui aku pun sudah dapat menerka, Kong-ko. Dahulu engkau begitu tergesa meninggalkan aku sehingga aku tak sempat bicara banyak. Engkau begitu angkuh! Akan tetapi sekarang engkau melakukan perjalanan bersama Hui Lan sampai setengah bulan. Itu hanya mempunyai satu arti saja, yaitu bahwa engkau dan Hui Lan saling mencinta. Benar bukan?” Bwe Hwa kini menatap wajah Si Kong dengan tajam penuh selidik.

“Ahh, tidak sampai demikian jauh, Hwa-moi. Kami melakukan perjalanan bersama karena kebetulan saja, yaitu kami berdua memiliki keinginan yang sama untuk memperebutkan Pek-lui-kiam. Harap jangan menyangka yang bukan-bukan!”

“Aihh, Kong-ko, aku dapat melihat pandangan mata Hui Lan begitu bersinar penuh cinta ketika memandangmu. Hui Lan mencintamu, itu sudah jelas.”

“Aku tidak tahu akan hal itu, Hwa-moi.”

“Jangan pura-pura, engkau sendiri juga mencintanya, bukan?”

“Ahh, aku tidak tahu, Hwa-moi. Aku belum pernah memikirkan tentang hal itu. Aku adalah murid mendiang Ceng Lojin, sedangkan Hui Lan adalah cucu buyutnya, maka aku merasa seperti melakukan perjalanan dengan saudara sendiri.”

Percakapan itu terhenti oleh panggilan Hui Lan.

“Kong-ko, aku sudah selesai, engkau mandilah!”

“Baik, engkau kembalilah ke sini, Lan-moi. Aku akan segera menggantikanmu.”

Si Kong menyambar buntalan pakaiannya, lalu cepat pergi dari situ ketika melihat Hui Lan datang memasuki goa itu. Dia merasa tidak enak kalau berada di dalam goa menghadapi dua orang gadis itu.

Hui Lan menduga bahwa dia tertarik kepada Bwe Hwa dan sebaliknya Bwe Hwa menduga bahwa dia mencinta Hui Lan. Dia merasa seperti seekor domba yang akan diperebutkan oleh dua ekor singa betina!

Dia memang kagum kepada Hui Lan, akan kecantikan dan kelihaiannya. Akan tetapi dia juga kagum kepada Bwe Hwa. Tidak terbayangkan olehnya tentang cinta! Orang seperti dia, hidup sebatang kara, tanpa sanak kadang, miskin tidak mempunyai apa-apa, seorang petualang miskin, bagaimana dapat memikirkan tentang cinta apa lagi perjodohan? Kalau pun ada perasaan cinta masuk ke dalam hati dan akal pikirannya, seketika akan diusirnya dengan penuh kesadaran bahwa perjodohan bukanlah milik seorang kelana miskin seperti dia.

Si Kong mandi sambil berpikir. Memang tadi dia sengaja membawa buntalan pakaiannya karena dia merasa tidak tahan lagi kalau menghadapi dua orang gadis yang seakan-akan saling cemburu itu. Akan tetapi hatinya masih meragu apakah sikapnya tidak terlalu kaku terhadap dua orang gadis itu kalau dia meninggalkan mereka.....!

********************
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar