Pendekar Kelana Jilid 33

“Jadi kalian inilah yang berjuluk Bu-tek Ngo-sian? Kalian yang dulu bersama Toa Ok dan Ji Ok menyerbu ke Pulau Teratai Merah dan mengeroyok kakek buyutku Ceng Thian Sin? Bagus, bersiaplah kalian untuk menebus dosa!”

Lima orang itu terkejut sekali mendengar bahwa gadis yang lihai ini adalah cucu buyut Ceng Thian Sin si Pendekar Sadis! Pantas dia begitu lihai, dan lima orang itu diam-diam merasa gentar juga. Mereka masih belum melupakan peristiwa di Pulau Teratai Merah di mana mereka mengeroyok Ceng Thian Sin bersama dua orang datuk besar Toa Ok dan Ji Ok. Mereka bertujuh mengeroyok pendekar perkasa itu, tetapi akhirnya mereka semua mendapat luka dalam yang amat hebat sehingga memerlukan waktu berbulan-bulan untuk mengobatinya.

Akan tetapi mereka masih tidak percaya kalau gadis ini mampu melawan mereka berlima. Bagaimana pun juga gadis itu masih muda sekali dan tentu saja belum berpengalaman.

“Serbu! Bunuh bocah sombong ini!” Bentak Ciok Khi.

Mendengar perintah in, Sia Leng Tek, orang ke dua yang tinggi kurus bermuka pucat, lalu Cong Boan, orang ke tiga yang bertubuh sedang dan mukanya penuh brewok, dan Bwa Koan Si, si orang ke empat yang pendek gendut, sudah mencabut pedang masing-masing dan kini lima orang itu dengan pedang di tangan mengepung Hui Lan. Dilihat keadaannya seakan-akan seekor domba muda yang dagingnya lunak dikepung oleh lima ekor serigala yang kelaparan dan haus!

Hui Lan tak menjadi gentar. Kembali dia mengerahkan kekuatan sihirnya lalu membentak, “Kalian berlima berlututlah!”

Mendengar bentakan ini, dua di antara mereka langsung menekuk lututnya, tetapi mereka segera dapat menolak kekuatan sihir itu dengan pengerahan sinkang mereka. Maklumlah Hui Lan bahwa sihirnya tidak akan dapat dipergunakan untuk mempengaruhi mereka yang memiliki sinkang yang kuat.

Di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan ayahnya kepadanya, ilmu sihir inilah yang paling lemah. Melihat kekuatan sihirnya tidak mempan lagi, maka dia pun sudah siap dengan sepasang pedang disilangkan di depan dada.

Melihat gadis itu dikepung lima orang, Si Kong lalu tertawa bergelak dan dia melepaskan caping yang tadi menutupi kepalanya. Dia pun berkata, “Ha-ha-ha-ha, kalian berjuluk Lima Dewa Tanpa Tanding akan tetapi kini maju berlima mengeroyok seorang gadis. Lebih baik kalian mengubah julukan menjadi Lima Orang Iblis Tak Tahu Malu!”

Sesudah berkata demikian dia memungut sebatang kayu ranting pohon, kemudian sekali melompat dia sudah berdiri di belakang Hui Lan. Kini Si Kong dan Hui Lan berdiri saling membelakangi dan menghadapi lima orang pengepung itu. Si Kong siap dengan tongkat rantingnya dan Hui Lan siap dengan sepasang pedangnya.

“Lan-moi, jangan kau pergunakan pedangmu untuk membunuh orang,” bisik Si Kong.

Hui Lan yang tadinya sudah marah sekali begitu mendengar bahwa lima orang itulah yang mengeroyok kakek buyutnya dan kemarahan membuat dia berkeinginan untuk membunuh mereka, sekarang mendengar bisikan Si Kong menjadi sadar. Dia pun mengangguk lantas berbisik kembali.

“Baiklah, Kong-ko.”

Lega rasa hati Si Kong mendengar jawaban ini. Lima orang yang sudah mengepung itu, sekarang tidak dapat menahan kemarahan mereka dan segera mereka menyerbu dengan ganas. Karena mereka memandang ringan kepada Si Kong yang belum mereka ketahui kelihaiannya, maka orang pertama, ke dua dan ke tiga menghadapi Hui Lan, sedangkan Si Kong dilawan oleh orang ke empat dan ke lima.

Belasan orang anggota Kui-jiauw-pang yang tadi mengeroyok Si Kong dan Hui Lan, tidak berani maju lagi dan hanya menonton saja. Mereka percaya bahwa Bu-tek Ngo-sian tentu akan dapat merobohkan dua orang muda itu.

Namun pengharapan mereka ini ternyata tidak terjadi. Bwa Koan Si yang gendut dan Bhe Song Ci yang katai, sebentar saja merasa betapa lihainya pemuda yang mereka keroyok. Meski pun mereka berdua menggerakkan pedang dengan ganas sehingga setiap gerakan pedang merupakan serangan maut yang dahsyat, akan tetapi pedang mereka tak pernah berhasil mengenai tubuh pemuda itu. Kalau tidak dielakkan tentu tertangkis oleh tongkat yang bergerak aneh sekali. Setiap kali pedang mereka bertemu tongkat, mereka langsung merasa telapak tangan yang memegang pedang tergetar hebat dan hampir saja mereka melepaskan senjata mereka.

Keadaan Hui Lan lain lagi. Biar pun sepasang pedangnya yang membentuk dua gulungan sinar hitam itu hebat dan kuat sekali, namun pengeroyokan tiga orang itu membuat dia dihujani serangan sehingga kedua pedangnya menjadi senjata untuk mempertahankan diri saja, tidak ada kesempatan untuk membalas. Akan tetapi tiga orang pengeroyok itu pun tidak pernah dapat menyentuh sehingga mereka menjadi penasaran dan mendesak terus.

Sambil melayani dua orang pengeroyoknya, Si Kong dapat membagi perhatiannya ke arah Hui Lan dan melihat Hui Lan terdesak oleh tiga orang pengeroyoknya, Si Kong langsung mempercepat gerakan tongkatnya. Ta-kaw Sin-tung (Tongkat Sakti Pemukul Anjing) yang dimainkan berubah menjadi desakan yang amat kuat kepada dua orang pengeroyoknya.

Dua orang itu terkejut sekali, akan tetapi mereka tidak mampu menghindar ketika tongkat itu menghantam lutut kiri si gendut Bwa Koan Si dan dalam detik lain memukul pundak kiri si katai Bhe Song Ci. Kedua orang itu berteriak kesakitan.

Sambil berloncat-loncatan Bwa Koan Si memegang sebelah kakinya yang terpukul, tidak mempedulikan lagi pedang yang terpaksa dilepaskannya karena tangan kanannya sibuk memegangi lututnya sambil mengaduh-aduh. Lutut yang terpukul itu bukan main nyerinya, mendenyut-denyut sampai terasa di jantungnya.

Sedangkan Bhe Song Ci juga terpaksa harus melepaskan pedangnya karena pundaknya yang terpukul itu membuat lengan kanannya menjadi lumpuh. Ia pun mengeluh kesakitan sambil mendekap pundak kanan yang terpukul tadi.

Si Kong tidak lagi mempedulikan dua orang itu, melainkan segera menyerbu ke arah tiga orang yang mengeroyok dan mendesak Hui Lan. Begitu dia menggerakkan tongkatnya, kepungan itu menjadi kacau balau.

Ciok Khi, orang pertama yang mukanya bopeng dapat melihat betapa dua orang rekannya sudah kalah dan tidak mampu melanjutkan perkelahian. Diam-diam dia terkejut sekali dan segera maklum bahwa pemuda yang mereka pandang remeh itu ternyata tidak kalah lihai dibandingkan dengan gadis cucu buyut Pendekar Sadis! Maka dia pun memberi aba-aba kepada dua orang rekannya untuk mengeroyok Si Kong, ada pun dia sendiri masih terus menyerang Hui Lan dengan ganasnya.

Akan tetapi dengan bantuan dua rekannya saja dia tidak mampu mengalahkan Hui Lan. Dan kini, ketika hanya seorang diri melawan gadis itu, dia segera terdesak hebat. Semua serangannya kandas oleh pedang di tangan kanan Hui Lan, sedangkan pedang di tangan kiri gadis itu membalas serangan dengan hebatnya.

Ciok Khi merupakan orang tertua dan yang terlihai di antara lima orang Bu-tek Ngo-sian. Ia merasa amat penasaran karena tak dapat mengalahkan seorang gadis. Dikerahkannya seluruh tenaganya dan dikeluarkannya semua ilmu silat yang dikuasainya.

Pertandingan antara Si Kong dan dua orang pengeroyok barunya tidak berlangsung lama. Si Kong segera memainkan Ta-kauw Sin-tung. Tongkatnya menyambar-nyambar, begitu cepat dan tidak disangka-sangka gerakannya. Baru belasan jurus saja Sia Leng Tek dan Cong Boan terpelanting dan pedang mereka terlepas dari tangan mereka.

Akan tetapi kini Si Kong tak mau membantu Hui Lan. Gadis itu bertanding melawan satu orang saja, maka dia tak mau mengeroyok. Apa lagi melihat Hui Lan mendesak lawannya dengan hebat. Dia tahu bahwa sebentar lagi Hui Lan pasti akan mampu mengalahkannya.

Dugaan Si Kong memang tepat sekali. Pada waktu Ciok Khi menyerang Hui Lan dengan sabetan pedangnya yang mengarah ke pinggang, Hui Lan menggerakkan pedang kirinya untuk menangkis sekaligus mengerahkan tenaga sinkang untuk menempel hingga pedang mereka saling melekat. Saat itu dipergunakan oleh Hui Lan untuk membabatkan pedang kanannya dari atas ke bawah sehingga mengenai pedang lawan yang sudah tertahan oleh pedang kirinya itu.

“Trakkk...!”

Pedang di tangan Ciok Khi patah menjadi dua potong! Sebelum hilang kagetnya, Ciok Khi menerima tendangan kaki kiri Hui Lan yang tepat mengenai perutnya sehingga tubuhnya terjengkang dan terbanting keras di atas tanah.

Empat orang saudaranya lalu menolongnya, memapahnya untuk bangkit dan tanpa kata-kata lagi mereka berlima segera pergi meninggalkan tempat itu. Belasan orang anggota Kui-jiauw-pang menjadi ketakutan, akan tetapi Si Kong berkata kepada mereka.

“Kalian jangan takut. Kami bukan orang yang membunuh rekan-rekanmu ini. Bahkan kami berniat untuk mengubur mereka. Bila kami menghendaki, sekarang juga kalian telah mati semua. Nah, sekarang sesudah ada kalian, tidak perlu lagi kami mengubur mayat-mayat ini. Kalian yang harus mengubur mereka.”

Belasan orang itu merasa sangat bersyukur bahwa pemuda dan gadis pendekar itu tidak membunuh mereka. Mereka hanya dapat merangkak dan memandang ketika kedua orang pendekar itu meninggalkan tempat itu dan melanjutkan perjalanan menuju puncak…..

********************

Di puncak Kui-liong-san yang menjadi sarang perkumpulan Kui-jiauw-pang, semua orang telah bersiap-siap menghadapi pertempuran karena mereka maklum bahwa banyak tokoh persilatan akan mendaki pegunungan itu untuk memperebutkan Pek-lui-kiam. Pada hari itu ketiga pangcu dari Kui-jiauw-pang mengadakan perundingan di ruangan dalam yang luas. Bwe Hwa dan Leng Kun pun ikut pula berbincang-bincang.

“Sebentar lagi keadaan di tempat ini akan menjadi ramai sekali,” demikian antara lain Toa Pangcu atau Toa Ok berkata. “Bukan saja banyak orang yang mendaki puncak ini untuk menyelidiki dan memperebutkan Pek-lui-kiam, akan tetapi kebetulan waktunya berbareng dengan janji tiga orang datuk besar yang sudah berjanji dengan kami akan mengadakan pertemuan dan menentukan siapa di antara kami yang paling lihai dan patut memperoleh julukan Datuk Terkuat Di Dunia. Yang akan muncul adalah Lam Tok, datuk dari selatan, Tung-giam-ong datuk dari timur, dan Pai-ong datuk dari utara. Yang mewakili barat adalah kami berdua, yaitu Toa Pangcu dan Ji Pangcu atau di dunia persilatan lebih dikenal Toa Ok dan Ji Ok.”

Mendengar ini, Bwe Hwa memandang penuh perhatian dan juga keheranan. Dia pernah mendengar nama besar Toa Ok dan Ji Ok, dua orang datuk besar dari barat, juga betapa mereka itu adalah dua orang yang sangat kejam, tidak pantang melakukan kejahatan apa pun, maka disebut Toa Ok dan Ji Ok (Si Jahat Pertama dan Si Jahat Kedua). Akan tetapi sungguh mengherankan. Kalau mereka sudah menguasai Pek-lui-kiam, mengapa dengan mudah begitu saja mereka menyerahkan pedang mereka itu kepadanya?

Sam Pangcu atau Ang I Sianjin melihat perubahan air muka gadis perkasa itu, maka dia pun cepat berkata, “Semua orang akan datang memusuhi aku karena hendak merampas Pek-lui-kiam. Tentu Pek-lihiap tidak keberatan untuk membantuku jika mereka terlampau mendesakku.”

Bwe Hwa hanya mengangguk, akan tetapi sulit untuk menjawab. Dia kini merasa bingung, tak dapat menentukan pihak tuan rumah ini sebagai kawan ataukah lawan. Kalau sebagai kawan, agaknya sungguh janggal kalau dia berkawan dengan orang-orang seperti Toa Ok dan Ji Ok yang dikenal sebagai manusia-manusia jahat. Akan tetapi kalau sebagai lawan, rasanya janggal pula karena mereka sudah menyerahkan Pek-lui-kiam kepadanya, juga memperlakukannya dengan hormat dan ramah. Terutama sekali Leng Kun juga menjadi sahabat baik mereka.

Sebab itu dia menyabarkan hatinya dan ingin melihat bagaimana perkembangannya nanti. Kalau pihak tuan rumah bertempur dengan musuh karena urusan pribadi, dia tidak akan mencampuri urusan mereka, tidak mau terlibat. Akan tetapi kalau tuan rumah bertempur karena pedang Pek-lui-kiam hendak dirampas, tentu saja dia akan membantu tuan rumah karena merebut pedang pusaka itu, sama saja dengan menyerang dia yang kini menjadi pemilik Pek-lui-kiam.

Agaknya ucapan Ang I Sianjin serta sikap Bwe Hwa itu sudah menarik perhatian Toa Ok. “Ha-ha-ha, tentu saja nona Pek akan membantu. Kalau para datuk itu muncul, maka itu adalah urusan kami berdua yang akan bertanding memperebutkan sebutan datuk terkuat di dunia. Akan tetapi jika yang datang itu untuk memperebutkan Pek-lui-kiam, tentu nona Pek tidak akan tinggal diam. Bukankah begitu, nona Pek?”

Bwe Hwa terpaksa menjawab. “Memang demikian. Aku tidak ingin melibatkan diri dengan urusan pribadi kalian. Akan tetapi dalam urusan memperebutkan Pek-lui-kiam, aku takkan tinggal diam.”

Baru mereka bercakap-cakap itu, muncullah Bu-tek Ngo-sian. Melihat wajah mereka yang pucat dan pakaian mereka yang kusut, tiga orang ketua itu terkejut sekali.

“Ngo-sian, apakah yang telah terjadi?!” bentak Toa Ok. Memang sudah lama Bu-tek Ngo-sian menjadi pembantu-pembantunya.

“Kami berlima menemui halangan, Toa-pangcu. Kami tadi melihat betapa beberapa orang anggota kami telah tewas dan ada pula yang terluka oleh seorang pemuda dan seorang gadis yang ilmu silatnya amat lihai. Masih untung kami berlima tidak terbunuh dan dapat meloloskan diri.”

“Hemm, jahanam! Siapakah nama pemuda dan gadis itu?” tanya Toa Ok dengan marah dan penasaran.

Lima orang pembantunya ini adalah tokoh-tokoh dunia persilatan yang telah memiliki ilmu silat yang tinggi. Apa lagi kalau mereka berlima maju bersama, mereka merupakan lawan yang tangguh sekali. Bagaimana mungkin kelima orang pembantunya ini dapat dikalahkan oleh seorang pemuda dan seorang gadis?

Lima orang Bu-tek Ngo-sian itu saling pandang. Ciok Khi yang paling tua di antara mereka kemudian menjawab dengan takut-takut, “Maaf, Toa Pangcu, kami tidak sempat bertanya kepada mereka. Akan tetapi kami yakin mereka masih berada di sana.”

Ji Ok bangkit berdiri dengan muka merah padam karena marah. “Keparat, kalian berlima kalah oleh dua orang muda? Sam Pangcu, mari kita berdua yang memberi hajaran kepada pemuda dan gadis itu! Hayo, Ngo-sian, kalian menjadi penunjuk jalan!”

Sam pangcu atau Ang I Sianjin segera bangkit berdiri, sementara itu Toa Ok mengangguk menyetujui. Ji Ok dan Ang I Sianjin segera berangkat bersama Bu-tek Ngo-sian menuruni puncak.

Akan tetapi baru saja mereka tiba pada lereng pertama, tiba-tiba mereka melihat seorang kakek tinggi besar dan berkepala botak, dengan sepasang golok besar yang menempel di punggungnya. Kakek ini berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang, bersilang tangan di depan dada dan memandang mereka yang turun dari bukit itu dengan senyum mengejek. Ketika dia melihat Ji-pangcu, dia tertawa bergelak lalu berkata,

“Ha-ha-ha-ha, kiranya Ji Ok sudah berada di sini pula! Di mana Toa Ok? Suruh dia maju bersamamu untuk melihat siapa di antara kita yang paling lihai!”

Ji Ok sendiri terkejut bukan kepalang melihat kakek ini. Tidak disangkanya kakek botak ini datang demikian cepatnya. Kakek ini adalah salah satu di antara empat datuk besar yang hendak mengadu ilmu untuk menentukan siapa datuk terkuat di dunia.

“Aha, kiranya Pai-ong Loa Thian Kun telah datang. Waktu untuk melakukan pertandingan merebut julukan datuk terkuat di dunia masih beberapa hari lagi. Kami akan menantimu di puncak Kui-liong-san seperti yang telah kita sepakati bersama. Sekarang kami masih ada urusan lain untuk dibereskan, harap engkau tidak menghalangi kami.”

“Ha-ha-ha, aku datang bukan hanya untuk pertandingan itu, melainkan juga untuk melihat Pek-lui-kiam yang kabarnya berada di puncak Kui-liong-san, di tangan ketua Kui-jiauw-pang. Siapakah ketua Kui-jiauw-pang?”

“Ketuanya adalah kami bertiga, yaitu Toa Ok, aku sendiri dan Sam Ok yang juga berada di sini,” jawab Ji Ok.

“Ha-ha-ha-ha, kalau begitu kebetulan sekali. Hayo, serahkan Pek-lui-kiam kepadaku, baru aku akan membiarkan kalian lewat!”

Ang I Sianjin atau yang kini memakai sebutan Sam Ok menjadi marah. Dia berada di situ bersama Ji Ok dan Bu-tek Ngo-sian. Bia pun yang berada di depan mereka itu adalah Pai-ong, namun dia tidak merasa takut. Mereka bertujuh tentu akan mampu menandingi dan mengalahkan Pai-ong. Dia melangkah maju dan membentak,

“Enak saja engkau meminta Pek-lui-kiam! Walau pun engkau berjuluk Pai-ong, kami tidak takut kepadamu!”

Pai-ong Loa Thian Kun tersenyum lebar memandang kepada kakek berjubah merah itu. “Hemm, kalau tak salah orang-orang mengabarkan bahwa Pek-lui-kiam berada di tangan Ang I Sianjin. Agaknya engkaulah orang itu. Kalau kalian tidak memberikan Pek-lui-kiam kepadaku sekarang juga, maka terpaksa aku akan menghajar kalian!”

“Manusia sombong, siapa takut kepadamu?” bentak Sam Ok dan dia segera menerjang maju dengan pukulan yang dahsyat ke arah kepala Pai-ong.

Orang yang diserang itu masih sempat tertawa. Akan tetapi ketika pukulan Sam Ok sudah menyambar dekat, dia pun segera melakukan gerakan mendorong dengan tangan kirinya untuk menyambut pukulan tangan kanan Sam Ok.

“Desss...!”

Tubuh Sam Ok terpental sampai lima langkah! Wajah ketua ketiga dari Kui-jiauw-pang ini terkejut sekali dan menjadi pucat karena dia merasa betapa pertemuan tangannya dengan tangan Pai-ong telah membuat jantungnya terguncang hebat. Cepat dia menghirup napas panjang dan menghimpun tenaga murni untuk menenangkan isi dadanya. Maklumlah dia bahwa datuk utara ini memiliki tenaga sinkang yang amat kuat.

Ji Ok yang sudah tahu akan kesaktian kakek datuk utara itu segera maju selangkah. “Pai-ong, aku yakin engkau bukanlah seorang datuk yang curang dan pengecut. Engkau sudah tahu bahwa lawanmu adalah kami berdua, Toa Ok dan Ji Ok. Kini belum tiba saatnya bagi kita untuk bertanding, karena Toa Ok tidak berada di sini. Kalau engkau memang gagah perkasa, datanglah esok lusa di puncak Kui-liong-san. Kalau ternyata engkau yang paling lihai di antara semua datuk, tentu saja engkau berhak mendapatkan Pek-lui-kiam!”

Pai-ong tertawa. “Ha-ha-ha, engkau cerdik Ji Ok. Karena di sini tidak ada Toa Ok, engkau merendahkan diri. Baiklah, esok lusa aku akan naik ke puncak dan kalau ternyata akulah yang paling kuat di antara semua datuk, pedang pusaka Pek-lui-kiam harus diserahkan kepadaku!” Setelah berkata demikian, dengan sekali berkelebat Pai-ong sudah lenyap dari situ dan hanya suara tawanya yang masih terdengar, bergema di seluruh lembah. Diam-diam Ang I Sianjin bergidik.

“Sam Pangcu, lain kali harap engkau tidak terlalu lancang untuk turun tangan. Pai-ong itu amat berbahaya, masih untung bahwa engkau tak terluka hebat ketika bertanding dengan dia. Pukulannya yang menangkis seranganmu tadi adalah Hwe-ciang (Tangan Api) yang amat dahsyat.”

Ang I Sianjin mengangguk. “Tak kusangka dia sedemikian tangguhnya.”

Mereka lalu melanjutkan perjalanan, akan tetapi ketika mereka tiba di tempat di mana Bu-tek Ngo-sian bertanding melawan Si Kong dan Hui Lan, pemuda dan gadis itu tidak ada lagi di situ. Yang ada di sana hanyalah orang-orang Kui-jiauw-pang yang baru saja selesai mengubur jenazah rekan-rekan mereka.

“Ke mana perginya pemuda dan gadis itu?” tanya Ciok Khi kepada mereka. Melihat para pimpinan itu marah-marah, para anggota Kui-jiauw-pang menjawab dengan takut-takut.

“Mereka telah pergi entah ke mana.”

“Apakah kalian tadi menanyakan namanya?” tanya Sam Pangcu.

“Tidak, Sam Pangcu. Kami tidak sempat bertanya.”

Ji Pangcu dan Sam Pangcu hanya dapat memaki dan mengomel, lantas mereka semua kembali ke puncak dengan wajah lesu…..

********************

Telah dua minggu lamanya Pek Bwe Hwa menjadi tamu kehormatan di puncak Kui-liong-san. Ia mulai tidak betah dan menyatakan kepada Leng Kun bahwa dia ingin segera pergi dari situ.

“Jangan tergesa-gesa dulu, Hwa-moi. Di sini kita diperlakukan dengan ramah dan hormat, kenapa engkau menjadi tidak betah?” kata Coa Leng Kun sambil mengamati wajah cantik itu dengan sepasang mata yang bersinar-sinar bagaikan mata seekor harimau kelaparan memandang seekor domba.

Bwe Hwa mengerutkan alisnya. Sudah beberapa kali dia melihat pandang mata seperti itu dan diam-diam dia merasa tidak senang. Selama ini dia menganggap Leng Kun seorang pendekar muda yang selain tampan juga bersikap sopan dan baik terhadap dirinya.

Pemuda berpakaian putih ini kelihatan seperti seorang pendekar muda yang budiman dan gagah perkasa. Hanya kalau Leng Kun memandang kepadanya seperti itu yang membuat dia menjadi ragu-ragu terhadap kebaikan Leng Kun. Selama ini dia melihat pandang mata seperti itu diperlihatkan para pria yang berniat cabul terhadap dirinya.

“Justru karena pimpinan Kui-jiauw-pang yang bersikap terlalu baik kepadaku, aku menjadi semakin tidak enak. Siapa tahu di balik semua sikap baik itu terkandung niat yang keji.”

“Aih, kengapa engkau menjadi curiga? Bukankah mereka telah berbuat baik sekali kepada kita, terutama sekali kepadamu? Bahkan mereka telah menyerahkan pedang Pek-lui-kiam kepadamu!”

“Hal itu justru membuat aku bertambah curiga, Kun-ko. Bayangkan saja, mereka bersiap-siap melawan semua orang yang datang ke sini untuk memperebutkan Pek-lui-kiam, akan tetapi mereka bahkan menyerahkan pedang pusaka itu kepadaku! Rasanya tidak mungkin sekali, kecuali kalau mereka tidak jujur dan menyerahkannya kepadaku agar aku tidak ikut berebutan pedang.”

“Hemmm, kalau begitu aku tidak dapat membantahmu, Hwa-moi. Tetapi jangan sekarang kita pergi, tunggulah beberapa hari lagi kalau mereka sedang bergembira.”

“Baiklah, aku akan menanti sampai tiga hari, baru aku akan pergi dari sini, Kun-ko. Kalau engkau merasa senang tinggal di sini, engkau tinggallah di sini dan aku akan turun puncak seorang diri.”

Percakapan itu membuat Leng Kun merasa amat gelisah. Maka dia lalu merundingkannya dengan ketiga ketua Kui-jiauw-pang. Pada saat mereka berunding, muncullah empat orang wakil Pek-lian-pai, yaitu Kui Hwa Cu, Lian Hwa Cu, Thian Hwa Cu dan Thiat Hwa Cu. Keempat orang pendeta Pek-lian-kauw ini menyebut diri sendiri sebagai See-thian Su-hiap (Empat Pendekar dari Barat), dan di Pek-lian-kauw mereka memperoleh kedudukan terhormat sebagai pembantu para pimpinan Pek-lian-pai.

Sebetulnya mereka adalah pendeta-pendeta Tibet yang tersesat, menyimpang dari ajaran Buddha yang berkembang di Tibet. Mereka dianggap sebagai pengkhianat dan sesudah menjadi buronan, empat orang ini lantas masuk menjadi anggota Pek-lian-kauw. Mereka mengenakan jubah kuning, rambut digelung ke atas dengan tali sutera putih.

Mula-mula Pek-lian-pai mengutus Coa Leng Kun yang menjadi anggota Pek-lian-pai juga, supaya pergi ke Kui-jiauw-pang dan membantu Kui-jiauw-pang mempertahankan pedang pusaka Pek-lui-kiam. Sesudah Leng Kun berada di Kui-jiauw-pang, pemuda ini mengirim utusan untuk melapor dan minta bantuan Pek-lian-pai. Maka para pimpinan perkumpulan pemberontak itu langsung mengirim See-thian Su-hiap untuk memperkuat Kui-jiauw-pang, sambil membawa sepasukan anak buah Pek-lian-pai.

See-thian Su-hiap lalu menghadap para pimpinan Kui-jiauw-pang, dan pasukan Pek-lian-pai juga mendaki puncak Kui-liong-san. Tentu saja mereka diterima dengan senang hati dan tangan terbuka.

Munculnya empat orang ini menyadarkan Leng Kun. “Ahh, kenapa aku hampir melupakan kehadiran empat orang totiang di sini? Kalian dapat membantu aku!”

See-thian Su-hiap dipersilakan duduk, dan setelah duduk Kui Hwa Cu tersenyum kepada Leng Kun. “Coa-sicu, bantuan apakah yang dapat kami lakukan untukmu?”

“Kami baru saja membicarakan mengenai nona Pek Bwe Hwa yang mulai curiga terhadap kita dan ingin segera meninggalkan puncak ini. Kalau saja su-wi totiang mau membantuku agar gadis itu tunduk kepadaku, tentu maksudku akan berhasil. Kita dapat menahan dan mengikat gadis itu agar mau membantu kita dan tidak pergi meninggalkan puncak.”

“Apa yang harus kami lakukan?”

“Sebaiknya kita merundingkan hal itu di ruangan lain, totiang. Pangcu, kami mohon pergi meninggalkan ruangan ini untuk mencari jalan yang baik mengatasi urusan ini.”

Toa Ok tertawa. “Ha-ha-ha, boleh saja. Aku sudah dapat menerka apa yang akan kalian bicarakan. Memang kuda betina itu harus ditundukkan supaya menjadi jinak dan penurut, ha-ha-ha!”

Leng Kun mengajak See-thian Su-hiap ke ruang lain dan di situ mereka bicara. Leng Kun minta kepada mereka yang pandai menggunakan sihir itu untuk menyihir Bwe Hwa agar gadis itu menurut akan segala kehendaknya. Sekali Bwe Hwa sudah menjadi miliknya, maka selanjutnya gadis itu tentu akan taat kepadanya…..

********************

Malam itu sungguh gelap dan sunyi. Tengah malam telah lewat dan hawa udara semakin dingin. Sunyi yang mengerikan, seolah ada hal-hal aneh yang akan terjadi.

Bwe Hwa sudah tidur nyenyak, akan tetapi tiba-tiba saja dia terbangun seperti ada yang menggugahnya. Tadi dia bermimpi. Di dalam mimpi itu dia pesiar dengan Leng Kun dan pemuda itu bersikap amat mesra kepadanya. Leng Kun merangkulnya dan memeluknya. Di dalam hatinya, Bwe Hwa tidak sudi diperlakukan seperti itu, akan tetapi sungguh aneh, dia tidak kuasa menolak, tidak dapat melawan. Akhirnya dia dapat meronta dan terjatuh. Dan pada saat itu dia tergugah dari tidurnya. 

Bwe Hwa merasa betapa tubuhnya panas. Dia bangkit duduk lantas menghapus keringat dengan ujung bajunya. Akan tetapi tiba-tiba saja timbul hasrat di hatinya untuk mencari Leng Kun! Entah mengapa dia merasa rindu kepada pemuda itu. Bagaikan orang yang bermimpi dia turun dari pembaringannya dan melangkah ke pintu kamar, membuka pintu itu dengan perlahan, lalu dia melangkah keluar.

“Kun-ko...” Dia berbisik.

Pada saat dia keluar dari kamar itu hawa dingin menyergapnya dan mendadak Bwe Hwa seperti orang tidur disiram air, gelagapan dan menjadi sadar kembali. Dia merasa heran kenapa dia berada di luar kamarnya dan ada dorongan kuat dalam hatinya untuk menuju ke kamar Leng Kun. Dan begitu hasrat ini tak tertahankan lagi, sadarlah Bwe Hwa bahwa hal ini tidaklah wajar! Ada kekuatan sihir yang hendak menguasai dirinya agar dia pergi ke kamar Leng Kun, ada hasrat tidak wajar yang memaksanya untuk merasa rindu kepada Leng Kun.

“Jahanam...!” bisiknya.

Dia pun cepat menyilangkan kedua lengannya di depan dada sambil mengerahkan tenaga batinnya untuk melawan kekuatan gelap itu. Sebentar saja dorongan kekuatan itu sudah berhentu dan dia sudah benar-benar sadar kembali. Mukanya menjadi merah ketika dia teringat betapa tadi dia merindukan kemesraan dari Leng Kun dan kemarahan memenuhi hatinya.

Timbul keinginan hatinya yang terdorong kemarahan untuk menggedor pintu kamar Leng Kun lantas memakinya, karena dia menduga bahwa tentu pemuda itu yang menggunakan sihir untuk menguasainya. Akan tetapi kesadarannya membuat dia mencegah perbuatan ini.

“Tidak,” katanya kepada diri sendiri. “Aku harus dapat membuktikan dulu kecurigaan ini.”

Maka dia lalu berpura-pura masih dalam keadaan dikuasai kekuatan sihir itu dan kakinya melangkah menghampiri pintu kamar Leng Kun. Setelah tiba di depan pintu dia mengetuk pintu dengan perlahan, lalu memanggil.

“Kun-ko, bukalah pintu, biarkan aku masuk.”

Daun pintu segera terbuka karena memang tidak dikunci, dan dari dalam muncullah Leng Kun. Akan tetapi di dalam kamar Bwe Hwa dapat melihat adanya empat tosu yang baru beberapa hari ini menjadi tamu pula di situ. Bwe Hwa segera menyadari bahwa empat orang pendeta itulah yang telah menggunakan sihir untuk menjebaknya.

Bwe Hwa merasa lega bahwa ketika keluar dari kamar tadi, walau pun dia berada dalam pengaruh sihir, kewaspadaannya membuat dia tanpa sengaja menyambar pedang Kwan-im-kiam dan Pek-lui-kiam. Dia sudah memasang pedang Pek-lui-kiam di pinggangnya dan memegang Kwan-im-kiam dengan tangan kanan.

“Coa Leng Kun, apa yang kau lakukan bersama empat orang pendeta itu?!” bentak Bwe Hwa dengan marah.

“A... apa... maksudmu?” tanya Leng Kun dengan gelagapan karena terkejut dan bingung.

Gadis itu sama sekali tidak berada dalam pengaruh sihir seperti yang disangkanya semula ketika Bwe Hwa memanggilnya dan mengetuk pintu. Tadi dia sudah siap untuk merangkul gadis itu dan menuntunnya ke dalam kamar, sama sekali dia tak mengira Bwe Hwa akan membentak seperti itu.

“Hemm, tidak perlu pura-pura! Engkau dan empat orang pendeta ini sudah menggunakan kekuatan sihir untuk mencelakakan aku!” Setelah berkata demikian, Bwe Hwa menghunus pedangnya. Tampak sinar berkilat ketika pedang Kwan-im-kiam tercabut dan terkena sinar lampu yang dipasang di tempat gelap itu.

Melihat ini Leng Kun menjadi gentar dan dia lupa untuk bermain sandiwara. “Su-wi totiang, tolonglah aku!”

Empat orang pendeta Pek-lian-kauw itu tadinya juga menyangka bahwa ilmu sihir mereka pasti akan membuat gadis itu tak berdaya. Mereka terkejut bukan main ketika mendengar suara gadis itu di luar pintu. Mereka cepat berloncatan keluar dari kamar sambil mencabut pedang masing-masing.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar