Pendekar Kelana Jilid 29

Ang I Sianjin menggerakkan tangan ke bawah jubahnya dan pada saat tangannya ditarik, maka keluarlah sebatang pedang yang berkilauan cahayanya. Ketika pedang digerakkan, nampak sinar laksana kilat menyambar dan membuat mata yang memandangnya menjadi silau!

Mudah mereka semua menduga pedang apakah itu. Tentu pedang yang dijadikan rebutan di antara orang-orang kangouw, yaitu pedang yang disebut Pek-lui-kiam (Pedang Kilat)!

Melihat pedang yang berada di tangan Ang I Sianjin itu, mata Toa Ok dan Ji Ok bersinar-sinar dan wajah mereka menjadi berseri-seri.

“Pek-lui-kiam,” kata mereka berbareng dan Ji Ok telah melangkah maju menghampiri Ang I Sianjin.

“Cepat berikan pedang itu kepada kami!” kata Ji Ok sambil menjulurkan tangan kanannya.

Namun Ang I Sianjin tidak mau menyerahkan pedang itu begitu saja. Dia menjura kepada dua orang datuk itu dan berkata dengan lantang. “Kami telah mendapat pelajaran dari ji-wi dan kami mengakui bahwa kami telah kalah. Akan tetapi pedang ini saya peroleh dengan susah payah. Karena itu, untuk mendapatkan pedang ini, siapa saja orangnya, harus bisa merampasnya dari tangan saya. Saya harap ji-wi tak mengabaikan aturan dunia kangouw ini!”

“Biarkan aku yang maju merampasnya, Ji Ok!” kata Toa Ok.

“Tidak perlu engkau yang turun tangan, Toa Ok,” jawab Ji Ok. “Cukup aku yang maju merampas Pek-lui-kiam dari tangan Ang I Sianjin!”

Ji Ok melangkah maju mendekati Ang I Sianjin. “Bersiaplah engkau, Ang I Sianjin. Aku hendak merampas Pek-lui-kiam dari tanganmu!”

“Silakan, saya sudah siap!” jawab Ang I Sianjin sambil melintangkan pedang pusaka itu di depan dadanya.

Dia maklum bahwa dalam ilmu silat, dia seimbang dengan tingkat kepandaian Ji Ok. Tadi dia sudah melihat gerakan datuk itu ketika dikeroyok banyak anak buahnya. Dengan Toa Ok pun dia hanya kalah sedikit, akan tetapi hanya sinkang yang amat kuat dari Toa Ok yang tidak dapat dia lawan.

Ji Ok juga maklum setelah memegang Pek-lui-kiam, Ang I Sianjin merupakan lawan yang sangat berbahaya dan tangguh. Senjata cambuknya tentu akan segera putus rusak ketika bertemu dengan pedang pusaka itu. Dia harus berhati-hati, karena sesudah Ang I Sianjin menggunakan pedang pusaka itu sebagai senjata, apa bila dia tidak berhati-hati, mungkin dia akan menjadi korban ketajaman Pek-lui-kiam.

“Awas serangan!” bentak Ji Ok dan cambuknya sudah menyambar dengan cepat ke arah pergelangan tangannya yang memegang pedang.

Ang I Sianjin menggerakan pergelangan tangannya dan pedang Pek-lui-kiam menyambar turun untuk menyambut pecut itu. Dia merasa yakin bahwa sekali sabet saja tentu pecut itu akan putus. Akan tetapi Ji Ok cepat menarik cambuknya dan kini cambuk menyambar ke arah kepala Ang I Sianjin. Ketua Kui-jiauw-pang ini cepat mengelak dengan miringkan kepala, lantas pedangnya menyambar dari bawah, mengarah lambung lawan.

Ji Ok terkejut. Tadinya dia mengira bahwa Ang I Sianjin akan menggunakan pedangnya hanya untuk melepaskan pedang dari bahaya terampas. Namun tidak tahunya pedang itu sekarang menyambar bagaikan tangan maut yang hendak menjangkaunya! Dia pun cepat meloncat ke belakang dan balas menyerang. Cambuknya meledak-ledak di angkasa dan berputar membentuk gulungan sinar.

Kedua orang itu segera terlibat dalam pertandingan yang seru dan mati-matian. Melihat betapa sukarnya dia merampas pedang, kini Ji Ok juga mempergunakan serangan bukan hanya untuk merampas pedang belaka, melainkan untuk melukai atau bahkan membunuh lawannya!

Terjadilah pertandingan yang sangat seru dan hebat. Gerakan mereka demikian cepatnya sehingga yang kelihatan hanyalah segulung sinar pedang yang berkilauan serta segulung sinar cambuk yang menghitam. Begitulah dalam penglihatan para anggota Kui-jiauw-pang.

Akan tetapi bagi Toa Ok, tentu saja dia dapat mengikuti jalannya perkelahian itu dengan jelas dan mulailah dia merasa khawatir. Bila tadi dia dapat mengalahkan Ang I Sianjin dan puluhan orang pembantunya karena dia menang tenaga sinkang, sekarang keadaannya lain lagi. Ang I Sianjin memegang sebatang pedang pusaka yang amat ampuh, sedangkan tingkat kepandaian silat ketua Kui-jiauw-pang itu tidak berselisih banyak jika dibandingkan tingkat Ji Ok. Karena itu dia khawatir sekali kalau-kalau Ji Ok tak akan mampu merampas pedang pusaka, bahkan dia mungkin akan menjadi korban pedang ampuh itu.

Pertandingan itu memang seru bukan kepalang. Ang I Sianjin menang senjata, akan tetapi Ji Ok menang tenaga sinkang dinginnya. Berulang kali Ji Ok menyerang dengan tangan kirinnya, menghantam dan pukulannya mendatangkan hawa dingin yang kadang membuat Ang I Sianjin gemetar.

Namun sambaran pedang Pek-lui-kiam juga membuat Ji Ok terdesak sehingga kadang-kadang dia terpaksa meloncat ke belakang dan mundur. Dengan demikian maka keadaan kedua orang tokoh ini menjadi berimbang sehingga sukar diduga siapa di antara mereka yang akan keluar sebagai pemenang.

Melihat hal ini Toa Ok menjadi khawatir. Oleh karena itu, pada saat pedang di tangan Ang I Sianjin terbelit oleh ujung cambuk di tangan Ji Ok, mendadak Toa Ok meloncat dengan tongkat ular di tangannya dan tongkat itu menyambar dengan cepat sekali ke depan.

Agaknya Ji Ok hendak merampas pedang itu dengan membelitkan cambuknya kemudian menarik cambuk supaya pedang itu terlepas dari pegangan Ang I Sianjin. Akan tetapi Ang I Sianjin menahan pedangnya, bahkan menggunakan gagang kipasnya untuk menotok ke arah dada Ji Ok.

Ketika Ji Ok mengerahkan tenaga sinkang-nya untuk menarik pedang sedangkan tangan kirinya menyambut kipas dengan cengkeraman, tepat pada saat itu pula tongkat di tangan Toa Ok datang menyambar.

Ang I Sianjin terhuyung ke belakang, dan Ji Ok juga terhuyung ke belakang. Akan tetapi pedang itu sudah terlepas dari tangan Ang I Sianjiin dan langsung disambar oleh Toa Ok dengan cepatnya. Ternyata Toa Ok telah menotok siku lengan kanan Ang I Sianjin sambil mendorong dengan tangan kirinya hingga Ang I Sianjin terpaksa melepaskan pedangnya dan tubuhnya terdorong ke belakang. Sebaliknya cambuk di tangan Ji Ok putus dan Ji Ok terdorong oleh tenaga tarikannya sendiri sehingga terhuyung ke belakang.

Kini Ang I Sianjin sudah dapat berdiri tegak kembali. Dia tidak terluka dan dia memandang kepada Toa Ok dengan pemasaran. Melihat pedang pusakanya berada di tangan datuk yang bertubuh gendut itu, dia berkata dengan penasaran.

“Kalian telah bertindak curang! Kalian mengeroyokku!”

Toa Ok tertawa dan sama sekali dia tidak merasa malu disebut curang. Segala perbuatan keji dan jahat sudah dia lakukan bersama Ji Ok, apa lagi bertindak curang.

“Ha-ha-ha, Ang I Sianjin, jangan berlaku bodoh dan pura-pura gagah! Ketika kami berdua melawanmu beserta puluhan orang anak buahmu, bukankah itu juga suatu pengeroyokan? Kalau engkau masih penasaran, engkau boleh mencoba untuk merampas pedang ini dari tanganku, akan tetapi aku tidak mau berjanji untuk tidak membunuhmu!”

Ditantang demikian, Ang I Sianjin diam saja. Dia tahu benar bahwa dia tidak akan menang melawan datuk gendut ini, apa lagi Toa Ok sudah memegang Pek-lui-kiam.

“Baiklah, Toa Ok. Aku mengaku kalah dan seperti yang sudah kujanjikan, aku bersama semua anggota Kui-jiauw-pang mengangkatmu sebagai pimpinan. Akan tetapi aku minta agar dapat menjadi saudara kalian dan disebut Sam Ok (Jahat Ketiga). Bagaimana?”

Toa Ok dan Ji Ok saling pandang lantas mereka berpikir. Mendapatkan pembantu seperti Ang I Sianjin sungguh menguntungkan, apa lagi beserta seratus orang lebih anggota Kui-jiauw-pang yang boleh diandalkan. Sebaliknya kalau mereka menolak, tentu pernyataan takluk dari Ang I Sianjin hanya pada lahirnya saja, namun kelak orang itu dapat menjadi musuh dalam selimut yang berbahaya.

“Baiklah, Sam Ok!” kata Toa Ok.

Ji Ok tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, bagus sekali! Kami senang sekali mempunyai saudara ke tiga, dan sekarang kita harus merayakan peristiwa ini, Sam Ok!”

Diam-diam Ang I Sianjin juga merasa girang. Dia tahu bahwa banyak orang yang memiliki kepandaian tinggi sedang berlomba-lomba untuk memperebutkan Pek-lui-kiam. Tadinya dia mengandalkan anak buahnya yang banyak. Akan tetapi ternyata anak buahnya yang banyak itu tak mampu melindunginya dari Toa Ok dan Ji Ok. Dengan bergabung menjadi satu kini mereka bertiga merupakan kekuatan yang dapat menentang siapa pun juga, apa lagi ditambah dengan anak-anak buahnya.

Bagaimana pun juga kekalahannya dan kehilangan pedang pusaka itu tidak membuatnya kehilangan muka, karena kini dia bahkan menjadi Sam Ok, sebuah kedudukan yang lebih besar dari pada ketua Kui-jiauw-pang. Dengan julukan Sam Ok berarti dia telah terangkat menjadi anggota dari persaudaraan yang dikenal sebagai datuk barat!

Ang I Sianjin atau Sam Ok berpaling memandang anak buahnya dan dia berkata dengan lantang. “Kalian semua tentu sudah melihat dan mendengar sendiri! Mulai saat ini kalian memanggil Toa Ok dengan Toa-pangcu (Ketua Pertama), Ji Ok dengan Ji-pangcu (Ketua Kedua) dan aku Sam Ok dengan Sam-pangcu (Ketua Ketiga). Mengertikah kalian semua? Kalian sekarang dipimpin oleh tiga orang ketua sehingga kedudukan kita semakin kuat!”

Para anak buah itu sudah melihat sendiri kehebatan ilmu kepandaian dua orang datuk itu, karena itu dengan serentak mereka menjawab dengan sorakan gembira. Sam Ok segera memerintahkan para anak buahnya untuk mengadakan pesta merayakan peristiwa itu dan mereka makan minum dengan penuh kegembiraan…..

********************

Gadis yang mendaki Kui-liong-san dari barat itu sangat cantik dan gagah. Mukanya bulat telur, hidungnya kecil mancung, bibirnya merah membasah, dan setitik tahi lalat menghias dagunya, menambah kemanisan wajahnya yang putih kemerahan walau pun tanpa dirias dengan bedak dan yanci. Tubuhnya ramping padat dan langkahnya gemulai namun tetap. Dara itu masih muda, paling banyak baru sembilan belas tahun usianya. Rambutnya yang hitam dan panjang lebat itu digelung ke atas, dihias dengan tusuk konde perak berbentuk teratai.

Setelah agak lama memandang ke arah puncak Kui-liong-san, tanpa ragu lagi mulailah dia mendaki bukit itu. Melihat ada seorang gadis muda melakukan perjalanan seorang diri di tempat sunyi dan berbahaya itu, mudah diduga dia tentulah seorang gadis kangouw yang mempunyai ilmu silat tinggi. Hal ini diperkuat lagi dengan adanya sebatang pedang yang tergantung di punggungnya.

Memang dia bukan gadis biasa yang lemah. Sama sekali bukan. Ia adalah seorang gadis yang mempunyai ilmu silat yang tangguh sekali. Dia adalah Pek Bwe Hwa yang telah kita kenal.

Dara perkasa ini pernah berjumpa bahkan bertanding melawan Si Kong ketika dia menjadi tamu ketua Hek I Kaipang. Sesudah bertanding mereka saling mengenal dan bersahabat. Akan tetapi Si Kong langsung pergi sehingga Bwe Hwa tidak sempat mengenalnya lebih baik. Gadis itu meninggalkan kota Ci-bun dan melanjutkan perjalanannya mencari dan ikut memperebutkan pedang pusaka Pek-lui-kiam seperti yang dipesan ayahnya.

Pek Bwe Hwa adalah puteri dan anak tunggal dari pendekar besar Pek Han Sing. Ibunya adalah Siangkoan Bi Lian yang pernah menggemparkan dunia persilatan pula. Ia mewarisi ilmu-ilmu dari ayah dan ibunya, bahkan tahi lalat di dagunya itu persis milik ibunya. Bwe Hwa memiliki kekerasan dan keberanian hati seperti ibunya, namun memiliki ketenangan seperti ayahnya.

Dalam usianya yang sembilan belas tahun itu dia telah mahir ilmu silat Pek-sim-pang yang dimainkan dengan tongkat, juga ilmu Kwan-im Kiam-sut dan Kwan Im Sin-kun, yaitu ilmu pedang dan ilmu silat tangan kosong yang lemah lembut namun menyembunyikan daya serang yang amat kuat, dan Kim-ke Sin-kun (Silat Sakti Ayam Emas). Selain semua ilmu silat yang tinggi-tinggi itu, dia masih mempelajari ilmu sihir dari ayahnya! Karena itu tidak mengherankan kalau ayah bundanya merelakan dia pergi merantau, ikut memperebutkan Pek-lui-kiam karena mereka yakin Bwe Hwa cukup kuat untuk menjaga diri sendiri.

Meski pun masih muda namun Bwe Hwa memiliki kebijaksanaan seperti ayahnya. Juga nama besar ayahnya sangat menolongnya ketika dia mencari keterangan tentang pedang pusaka Pek-lui-kiam. Akhirnya ia mendapat keterangan bahwa pedang pusaka itu berada di tangan Ang I Sianjin, ketua Kui-jiauw-pang yang amat terkenal.

Sebelum berangkat merantau Bwe Hwa mendapat pesan dari ayah ibunya bahwa kalau pedang pusaka itu terjatuh ke tangan penjahat, dia harus berusaha untuk merampasnya, akan tetapi jika terjatuh ke tangan seorang pendekar budiman, dia bahkan harus membela pendekar itu kalau diganggu orang jahat.

Kini dia mendengar betapa Kui-jiauw-pang merupakan sebuah perkumpulan orang-orang kejam dan jahat yang sudah sangat terkenal mempunyai pengaruh besar sekali terhadap dunia kangouw di sekitar daerah Kui-liong-san. Karena itulah maka pada pagi hari itu Bwe Hwa telah tiba di kaki gunung Kui-liong-san.

Matahari telah naik tinggi, tetapi sinarnya masih belum dapat menembus kegelapan hutan yang dimasuki Bwe Hwa itu. Di dalam hutan itu cuaca masih remang-remang karena sinar matahari hanya dapat menyusup masuk melalui celah-celah daun pepohonan. Akan tetapi pemandangan itu begitu indah. Sinar-sinar matahari itu membentuk garis-garis keputihan karena disambut hawa lembab yang keluar dari tanah yang selalu terlindung pohon-pohon itu.

Bwe Hwa melangkah terus. Pagi-pagi tadi dia telah berhenti di sebuah dusun dan sarapan di sebuah kedai bubur yang sederhana. Penjaga kedai itu terbelalak sesudah mendengar bahwa gadis itu hendak mendaki Kui-liong-san.

“Maaf, nona. Nona hendak mendaki Kui-liong-san, mempunyai keperluan apakah?” tanya kakek penjual bubur itu.

Bwe Hwa tersenyum. “Aku mendaki gunung untuk pesiar, paman.”

Orang itu memandang penuh kekhawatiran. “Ah, nona keliru memilih tempat untuk pesiar! Kui-liong-san bukan tempat untuk pesiar, nona. Di sana sudah menanti bahaya-bahaya maut bagi siapa saja yang berani memasuki hutan-hutan di bukit itu.”

“Ada bahaya apakah, paman?” tanya Bwe Hwa, pura-pura tidak tahu padahal dia sudah mendengar bahwa bukit itu merupakan sarang perkumpulan Kui-jiauw-pang yang tersohor jahat.

“Apakah nona belum mendengar? Gunung itu mempunyai hutan-hutan yang liar, penuh dengan binatang-binatang buas yang berbahaya sekali!”

Bwe Hwa tersenyum lagi. “Aku tidak takut terhadap binatang buas, paman. Aku memiliki pedang untuk mengusir kalau ada yang berani menggangguku.”

“Akan tetapi... ah, apakah nona belum mendengar?” Orang itu memandang ke kanan kiri, agaknya takut kalau-kalau ada yang mendengar ucapannya. “Gunung itu sudah menjadi sarang setan dan iblis! Siapa yang berani mendaki bukit itu, tentu tidak akan dapat turun kembali. Karena itu kunasehatkan, lebih baiik pilihlah tempat lain untuk pesiar, nona.”

Bwe Hwa melangkah maju dengan tenang. Sama sekali hatinya tidak menjadi jeri setelah mendengar keterangan pemilik kedai bubur itu. Dia dapat menduga bahwa setan dan iblis yang dimaksudkan oleh penjual bubur itu tentu anak-anak buah Kui-jiauw-pang.

Tiba-tiba dia mendengar suara berkeresekan dari arah kiri. Di situ terdapat semak-semak belukar yang lebat. Dia menjadi waspada karena hidungnya mencium bau yang mencolok hidung. Bau yang keras dan apek. Kemudian dia mendengar suara gerengan halus tetapi menggetarkan jantung.

Bwe Hwa berhenti melangkah dan menghadapi semak belukar itu. Ia merasa yakin bahwa di dalam semak-semak itu tentu bersembunyi seekor binatang buas. Dia sudah siap siaga menghadapi binatang buas apa pun.

Kemudian muncullah binatang itu. Mula-mula hanya kepalanya saja yang muncul keluar. Kepala seekor harimau yang besar! Mata harimau itu mencorong dan gerengannya makin lama semakin kuat, menggetarkan jantung. Akan tetapi Bwe Hwa menghadapi harimau itu dengan tenang dan siap.

Harimau itu keluar dari dalam semak-semak dan melihat perutnya yang kempis, Bwe Hwa bisa menduga bahwa binatang itu sedang kelaparan. Dan seekor harimau yang kelaparan merupakan binatang yang sangat buas dan berbahaya, berani menyerang apa saja yang kiranya dapat dijadikan mangsanya.

Perlahan-lahan harimau itu berjalan menghampiri Bwe Hwa. Setelah jarak antara harimau dan gadis itu tinggal empat meter lagi, harimau itu berhenti dan kembali mengaum dengan dahsyatnya, lalu dia mendekam. Nampak otot-ototnya yang menggeletar.

Kemudian dengan tiba-tiba sekali dia meloncat ke depan dan loncatan yang kedua kalinya dilakukan dengan kuat sehingga tubuhnya melambung ke atas dan menyerang Bwe Hwa dengan terkaman dua kaki depannya yang kuat.

Bwe Hwa yang sejak tadi bersikap tenang dan waspada, cepat mengelak dan menyusup di bawah perut harimau itu. Tubrukan itu luput dan harimau itu mengaum kembali sambil membalikkan tubuhnya dengan cepat. Agaknya kegagalannya dengan serangan tadi telah membuat dia marah sekali.

Bwe Hwa langsung mencabut pedangnya. Dia tidak boleh main-main dengan harimau itu karena binatang itu amat buas dan cepat kuat. Binatang itu mengaum lagi dan sekarang menyerang dengan terkaman rendah, kedua kaki depan mencengkeram dan moncongnya telah siap untuk menggigit bila korbannya dapat dicengkeram dengan dua kaki depannya. Bwe Hwa sudah siap pula. Ketika harimau itu menerkamnya, dia cepat menggeser kaki ke kiri lalu pedangnya membalik dan membacok ke arah kedua kaki itu.

“Crokkk…!”

Kedua kaki depan itu terbacok putus dan harimau itu terbanting ke atas tanah, kemudian menggereng-gereng dan berusaha bangkit akan tetapi selalu terpelanting roboh kembali. Darah bercucuran dari kedua kaki depan yang buntung itu.

Melihat harimau itu menggereng-gereng kesakitan dan tubuhnya bergulingan tidak mampu bangkit, timbullah perasaan iba di hati Bwe Hwa. Bagaimana pun juga harimau itu tidak jahat. Ia menyerang siapa saja yang bisa dijadikan mangsanya, untuk mencegahnya dari mati kelaparan. Tidak pantas kalau dia menyiksanya. Harimau itu takkan dapat bertahan hidup dengan kedua kaki depan buntung, tentu tidak dapat menangkap mangsa lagi dan akan mati kelaparan.

Sesudah sejenak mempertimbangkan, Bwe Hwa melompat ke depan, pedangnya terayun lantas harimau itu pun rebah dan tidak dapat bergerak lagi. Leher harimau yang kokoh itu terbabat pedang pusaka Kwan-im-kiam hingga hampir putus!

Mendadak terdengar orang bertepuk tangan memuji, disusul kata-katanya kagum, “Wah, hebat sekali!”

Bwe Hwa cepat membalikkan tubuhnya dan dia melihat seorang pemuda tampan berdiri tak jauh darinya. Pemuda itu berpakaian serba putih, rambutnya diikat dengan pita kuning dan pada ikat pinggangnya yang merah itu terselip sebatang suling perak.

Pemuda itu nampak tampan, dan terutama amat bersih sehingga sama sekali tak sesuai dengan keadaan sekelilingnya. Baju putih itu sama sekali tidak ternoda, seolah baru saja dia mengenakannya. Usia pemuda itu sekitar dua puluh lima tahun, gerak-geriknya lembut dan senyumnya memikat.

Bwe Hwa hanya memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Dia belum pernah melihat pemuda ini dan hatinya bertanya-tanya siapakah pemuda yang amat pesolek dan tampan ini dan apa pula maksudnya muncul di dalam hutan di kaki gunung Kui-liong-san ini.

Pemuda itu pun seolah-olah terpesona. Dia melihat seorang dara yang cantik jelita seperti dewi dari langit, akan tetapi selain cantik jelita juga gagah perkasa karena berani melawan seekor harimau besar yang kelaparan, bahkan telah membunuhnya. Akhirnya pemuda itu menyadari bahwa kemunculannya tentu mengejutkan dan mencurigakan gadis itu, maka dia pun tersenyum dan menjura memberi hormat.

“Maafkan aku, nona. Tadi ketika aku sedang berjalan di dalam hutan ini, tiba-tiba saja aku dikejutkan oleh auman suara harimau yang marah. Aku terkejut dan cepat menuju ke sini, dan aku masih sempat melihat nona memenggal leher harimau itu. Sungguh aku merasa kagum sekali kepadamu, nona. Akan tetapi yang mengherankan hatiku, harimau itu telah buntung kedua kaki depannya dan tak mungkin dapat menyerangmu lagi. Kenapa engkau membunuhnya, Nona?”

Bwe Hwa merasa tidak senang ditegur oleh lekaki yang sama sekali tidak dikenalnya ini, akan tetapi karena pemuda ini bersikap sopan dan ucapannya juga teratur dan sopan, dia merasa tidak enak kalau tidak menjawab.

“Justru karena kedua kaki depannya putus maka aku membunuhnya untuk menghentikan derita siksaan sampai dia mati kelaparan.”

Pemuda itu mengangkat dua tangannya ke depan dada dengan sikap hormat dan kagum. “Bukan main! Nona seorang pendekar wanita yang berilmu tinggi, juga sangat bijaksana. Apa yang nona lakukan itu memang tepat sekali, membuktikan akan kemuliaan hati nona. Nona, secara kebetulan sekali kita bertemu di sini, karena itu sudah sepatutnya kalau kita saling berkenalan, tentu saja kalau nona tidak merasa terlampau tinggi dan mulia untuk mengenalku, seorang yang bodoh dan tak berarti. Namaku adalah Coa Leng Kun, nona.”

Kita pernah berkenalan dengan pemuda ini. Dia adalah pemuda yang pernah beberapa kali membantu Tang Hui Lan bahkan sudah berkenalan dengan Tang Hui Lan. Pemuda itu adalah Coa Leng Kun. Pemuda ini sudah yatim piatu dan sudah mewarisi ilmu silat dari mendiang Hek Tok Siansu.

Pada saat Hek Tok Siansu tewas di tangan Hay Hay, dia telah menurunkan ilmu-ilmunya kepada seorang murid yang bernama Giam Tit. Giam Tit inilah yang mengajarkan semua ilmunya kepada Coa Leng Kun. Ketika Giam Tit yang menjadi seorang perampok tunggal terluka parah oleh keroyokan beberapa orang pendekar Bu-tong-pai, sebelum meninggal dunia dia berpesan kepada muridnya supaya membalaskan kematian kakek gurunya. Dia sendiri tidak dapat melakukan balas dendam itu, maka dia minta supaya Coa Leng Kun mewakili gurunya membalaskan dendam atas kematian Hek Tok Siansu kepada Hay Hay dan keluarganya.

Ketika bertemu dengan Tang Hui Lan, diam-diam Coa Leng Kun merasa gembira sekali. Hui Lan adalah puteri musuh besarnya. Dia ingin mendekati gadis itu dan kalau mungkin memperisterinya sehingga kelak dengan mudah dia dapat mengatur untuk membalaskan dendam gurunya dan menyeret keluarga musuh besarnya itu ke lembah kehancuran.

Akan tetapi Hui Lan meninggalkannya dan tidak mau dekat dengannya, karena itu dia pun berusaha untuk mengejar. Akan tetapi dia telah kehilangan jejak gadis perkasa itu. Maka ia pun melakukan perjalanan ke Kui-liong-san untuk menyelidiki tentang Pek-lui-kiam dan kalau mungkin merampasnya. Inilah sebabnya kenapa dia berada di hutan di kaki gunung Kui-liong-san dan secara kebetulan dapat bertemu dengan Bwe Hwa.

Bwe Hwa adalah seorang gadis yang keras hati. Kalau orang bersikap keras kepadanya tentu dia akan menjadi marah. Tapi kalau orang bersikap lembut dan hormat kepadanya, dia menjadi seorang gadis yang lembut pula. Mendengar pemuda itu memperkenalkan diri dan bersikap demikian sopan, dia merasa tidak enak kalau tidak menanggapinya. Dia pun membalas penghormatan orang dan memperkenalkan dirinya.

“Aku bernama Pek Bwe Hwa,” katanya singkat.

Coa Leng Kun mengerutkan alis dan menatap tajam. “She Pek? Aku pernah mendengar tentang keluarga Pek yang menjadi ketua dari perkumpulan Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati Putih) yang berada di kota Kong-goan di propinsi Secuan. Entah apa hubungan nona dengan mereka?”

Bwe Hwa tersenyum. Pemuda ini agaknya mengenal dunia kangouw karena perkumpulan Pek-sim-pang yang berada di tempat yang demikian jauhnya, dapat dia kenali.

“Ketua Pek-sim-pang adalah kakekku,” dia menerangkan dengan pendek.

“Ahh, kalau begitu aku sudah bersikap kurang hormat kepadamu, nona Pek!” Coa Leng Kun kembali menjura dan memberi hormat. “Tidak mengherankan kalau nona begini lihai dan budiman, kiranya nona adalah cucu ketua Pek-sim-pang!”

“Sudahlah, tidak perlu basa basi ini. Sebenarnya apa yang mendorongmu datang ke Kui-liong-san ini, saudara Coa Leng Kun? Tempat ini tidak layak untuk didatangi orang yang berpesiar.”

Coa Leng Kun tersenyum. “Tepat sekali pertanyaanmu ini, nona Pek. Di dalam hatiku juga ada pertanyaan seperti itu untukmu. Engkau adalah seorang gadis, lebih aneh lagi berada di tempat liar dan berbahaya seperti ini. Akan tetapi kalau melihat kelihaianmu agaknya aku mengerti jawabannya.”

“Hemm, coba terangkan kalau benar engkau mengerti mengapa aku datang ke tempat ini.”

“Menurut dugaanku, engkau tentu datang ke tempat ini sehubungan dengan Pek-lui-kiam! Kui-liong-san terkenal sebagai tempat yang gawat, berbahaya dan ditakuti semua orang. Akan tetapi tempat ini juga menarik karena ada desas-desus bahwa Pek-lui-kiam berada di tangan Ang I Sianjin, ketua Kui-jiauw-pang yang berpusat di puncak bukit ini. Maka, apa lagi yang menarik hatimu untuk berkunjung ke sini kalau tidak karena Pek-lui-kiam?”

Bwe Hwa tersenyum. Dia mulai tertarik kepada pemuda ini. Sikapnya halus dan sopan, akan tetapi ramah dan terbuka sehingga dara ini menilai bahwa Leng Kun tentu seorang pemuda yang jujur, terpelajar dan juga pandai ilmu silat.

“Kalau dugaanmu memang begitu, maka demikian pula dugaanku. Engkau tentu datang ke sini karena Pek-lui-kiam pula,” katanya.

Coa Leng Kun tertawa. “Engkau sangat cerdik dan menduga dengan tepat sekali, nona. Akan tetapi sedikit sekali harapan bagiku untuk dapat merebut pusaka itu jika mengingat bahwa orang-orang pandai seperti nona juga ikut memperebutkannya. Biarlah aku hanya meramaikan suasana dan ikut menonton saja.”

Pemuda ini sangat pandai merendahkan dirinya sendiri, sikap rendah hati yang baik, pikir Bwe Hwa. Timbul keinginannya untuk mengukur sampai di mana kehebatan ilmu silatnya.

“Engkau terlalu merendahkan diri, saudara Coa. Aku yakin bahwa engkau tentu memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Karena itu kuharap engkau tidak menolak untuk saling mengukur ilmu silat masing-masing.”

Leng Kun melangkah mundur dan mengangkat tangan kanannya ke atas. “Ahh, mana aku berani, nona? Jangan-jangan baru satu dua jurus saja aku bernasib seperti harimau ini!”

Bwe Hwa lalu tersenyum. “Engkau bukan harimau yang hendak menerkam aku. Lagi pula mengukur kepandaian tidak sama dengan bertanding karena bermusuhan. Tentu saja kita tak perlu saling melukai. Akan tetapi aku ingin sekali mencoba ilmu silatmu, saudara Coa. Bila kita sudah saling mengetahui kepandaian masing-masing, barulah kita dapat menjadi sahabat.”

“Ah, engkau bersahabat dengan aku yang tolol ini, nona? Terima kasih, dan kalau begitu pendapatmu, aku tidak berani menolak lagi. Akan tetapi harap engkau kasihani diriku dan tidak mendesak terlalu hebat.”

“Keluarkanlah senjatamu, saudara Coa!” kata Bwe Hwa yang segera mencabut Kwan-im-kiam dari punggungnya dan melintangkan pedang itu di depan dadanya.

Seperti yang diduga oleh Bwe Hwa, pemuda itu lalu mencabut suling perak yang terselip di ikat pinggangnya dan begitu suling itu digerakkan, terdengar suara melengking seolah suling itu ditiup dan dimainkan. Baru gerakan ini saja sudah membuat dia maklum bahwa pemuda itu memiliki tenaga sinkang yang kuat, maka dia menjadi semakin gembira dan kagum. Akan tetapi dia merasa khawatir kalau-kalau pedangnya akan merusak suling itu, maka dia pun berkata dengan suara lembut.

“Saudara Coa, ketahuilah bahwa pedangku ini adalah sebuah pedang pusaka yang ampuh dan tajam sekali. Aku khawatir sulingmu yang terbuat dari perak itu akan menjadi rusak kalau bertemu dengan pedangku.”

Leng Kun tersenyum lebar. “Jangan khawatir, nona. Sulingku ini juga merupakan pusaka yang ampuh dan terbuat dari pada baja biru yang kuat. Warna perak itu hanya merupakan selimut saja, agar nampak indah dan kalau dimainkan merdu suaranya. Jangan khawatir, sulingku ini tidak akan rusak.” Setelah berkata demikian, Leng Kun memasang kuda-kuda dengan suling diangkat di atas kepala dan menuding ke depan, tangan kiri miring di depan dada, kaki kiri diangkat menempel kaki kanan. Kuda-kudanya ini kokoh dan juga gagah sekali.

“Aku telah siap, nona. Mulailah!”

Bwe Hwa tidak banyak cakap lagi. Dia memang ingin sekali melihat kelihaian pemuda ini. Kalau kepandaiannya hanya rendah saja, untuk apa bersahabat dengannya?

“Lihat pedang!” bentaknya dan pedangnya sudah bergerak menusuk ke arah dada.

Leng Kun menurunkan dan menggeser kakinya mengelak, lalu sulingnya menyambar ke arah leher Bwe Hwa. Gadis ini cepat mengelak kemudian membalas dengan pedangnya, membabat kaki Leng Kun. Namun dengan ringan Leng Kun meloncat ke atas, sulingnya menyambar ke bawah untuk menangkis pedang.

“Cringgg…! Trangg...!” Dua kali suling bertemu pedang dan bunga api berpijar, akan tetapi benar seperti yang dikatakan Leng Kun, suling itu tidak menjadi rusak.

Mereka lalu saling serang dengan seru. Bwe Hwa sudah memainkan Kwan-im Kiam-sut. Tubuhnya berkelabatan ke sana-sini menjadi bayangan yang dilindungi oleh sinar pedang yang bergulung-gulung. Akan tetapi Leng Kun memainkan sulingnya dengan sangat hebat dan aneh pula. Nampak gulungan sinar putih berkeredapan dibarengi suara melengking-lengking.....!

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar