Jodoh Si Mata keranjang Jilid 28

Setelah merasa yakin bahwa tiga orang itu tidak mengejarnya lagi dan dia terlindung oleh kegelapan malam yang mulai tiba, terpaksa malam itu dia tinggal di pinggir sungai setelah melewati dua buah hutan. Di situ terdapat lapangan rumput yang terlindung oleh beberapa batang pohon besar. Karena lapangan itu cukup luas, maka dia dapat melihat kalau ada orang datang menuju ke tempat itu. Kini dia harus waspada sesudah mengetahui bahwa ada orang-orang lihai yang mencarinya.

Hay Hay merebahkan diri di atas rumput dan hingga jauh malam dia tidak tidur, melainkan hanya termenung. Setelah keadaan amat sunyi dan bulan sepotong telah mulai menyinari tempat itu, dia lalu membuat api unggun kecil agar mendapat penerangan karena dia ingin sekali melihat gulungan surat yang dititipkan kepadanya.

Tadinya sedikit pun tidak ada keinginan dalam hatinya untuk mengetahui apa isi gulungan surat itu. Ia hanya mengambil keputusan untuk pergi ke kota raja kemudian menyerahkan gulungan surat itu kepada Menteri Cang atau Menteri Yang. Apa pun isi gulungan surat itu tidak penting dia ketahui karena tak ada sangkut pautnya dengan dia. Lagi pula dia harus menghormati wasiat dari kakek bijaksana itu.

Akan tetapi kini persoalannya menjadi lain. Dari tiga orang itu dia mendengar bahwa surat itu amat penting karena dapat menimbulkan perang saudara! Hal inilah yang membuat dia ingin sekali tahu, bukan saja untuk melampiaskan rasa penasaran dan keinginan tahunya, melainkan juga untuk menjaga kalau-kalau surat itu akhirnya terampas orang. Apa bila dia sudah mengetahuinya, maka secara lisan dia masih bisa melaporkan isi surat itu kepada seorang di antara dua menteri itu, biar pun surat itu terampas oleh orang lain,.

Di bawah sinar bulan sepotong dan dengan bantuan sinar api unggun kecil, dia membuka gulungan surat itu. Tulisan tangan itu amat indah dan isinya singkat padat. Ternyata isinya merupakan sebuah laporan tentang keadaan di kota Cang-cow di Propinsi Hok-kian.

Dilaporkan bahwa orang-orang kulit putih bangsa Portugis yang banyak tinggal di kota itu sekarang telah membangun sebuah benteng. Orang-orang kulit putih itu juga mengadakan persekutuan dengan para bajak laut Jepang dan dengan Pek-lian-kauw. Persekutuan ini mulai mempengaruhi para pejabat tinggi di Cang-cow, bahkan kepala daerah juga sudah mereka tempel dan mereka pengaruhi. Ada tanda-tanda bahwa orang-orang kulit putih, bajak laut Jepang dan gerombolan Pek-lian-kauw itu siap untuk mendorong kepala daerah dan sekutunya agar melakukan pemberontakan.

Surat laporan itu dibuat oleh Yu Siucai. Putera Yu Siucai yang menjadi jaksa di Cang-cow telah dibunuh bersama seluruh keluarganya, sebab berani menentang persekutuan itu dan berusaha menyadarkan atasannya, yaitu kepala daerah Cang-cow. Hanya Yu Siucai yang berhasil lolos, lantas dia membuat surat laporan itu dan hendak menghadap Menteri Cang atau Menteri Yang di kota raja. Namun nasib membuat dia tewas oleh anak panah suami cebol pencemburu.

Sesudah membaca gulungan surat itu, Hay Hay cepat-cepat menyimpannya kembali dan kini mengertilah dia. Bukan perang saudara yang menjadi akibat dari surat itu apa bila dia sampaikan ke kota raja, melainkan pembersihan! Tentu seorang di antara kedua Menteri itu akan melapor kepada kaisar, kemudian pasukan besar akan dikerahkan ke Cang-cow untuk membasmi pemberontak.

Jelas bahwa tiga orang itu merupakan orang-orang dari persekutuan itu yang bermaksud menghalangi agar surat laporan itu tidak sampai ke tangan kedua menteri itu. Pantas saja si tinggi kurus itu pandai menggunakan pistol, kiranya merupakan anak buah persekutuan orang kulit putih!

Karena surat itu dianggapnya sangat penting, Hay Hay segera memadamkan api unggun dan tidak jadi bermalam di tepi sungai itu. Malam itu juga dia melanjutkan perjalanan. Dia harus cepat tiba di kota raja untuk menyerahkan surat laporan itu kepada yang berhak…..

********************

Sebenarnya apakah yang terjadi di kota Cang-ouw di Propinsi Hok-kian? Isi surat laporan itu memang benar, menceritakan keadaan yang sesungguhnya sedang bergejolak secara diam-diam dan rahasia di kota itu.

Sesuai sejarah, orang-orang bangsa Portugis merupakan orang kulit putih pertama yang menjelajah ke Asia. Ketika para pelaut Portugis itu pertama kali mendarat di Cina, mereka diterima dengan baik dan senang hati oleh pemerintah setempat dan rakyat, diperlakukan sama dengan orang-orang asing yang sudah jauh lebih dahulu berkunjung dan berdagang di Cina, seperti orang-orang Arab dan Melayu yang semenjak puluhan tahun yang lampau sudah berdatangan dan berdagang dengan tenteram dan saling menguntungkan dengan rakyat Cina.

Kapal pertama orang-orang Portugis yang mendarat adalah kepunyaan Perestrello. Anak kapal yang dipimpin oleh Perestrello ini diterima dengan ramah dan mereka diperbolehkan berdagang tukar-menukar barang di darat. Beberapa bulan kemudian datang empat buah kapal besar dipimpin oleh De Andrada yang ditugaskan mengantarkan seorang duta yang juga merupakan pejabat tinggi Portugis di Goa.

Rombongan empat kapal ini pun diterima dengan amat baik seperti bangsa-bangsa asing lainnya, bahkan rombongan duta Portugis diantar ke Peking untuk menghadap Kaisar dan seperti lajimnya pada waktu itu, para pedagang ini membawa semacam upeti atau hadiah yang akan dibalas dengan hadiah lain dari kaisar. Tali persahabatan pertama diikat.

Namun kemudian terdengar desas-desus yang tidak enak selagi rombongan duta Portugis masih berada di kota raja. Dikabarkan dan berita ini sampai ke istana bahwa orang-orang Portugis yang semula datang sebagai pedagang yang ramah itu mulai menunjukkan sifat asli mereka setelah memperoleh kesempatan tinggal di darat. Bagaikan harimau berkedok domba mereka mulai mengganas dan melakukan berbagai perbuatan kekerasan dengan mengandalkan senjata api, bahkan melawan pemerintah setempat, mendirikan kedaulatan dan kekuasaan mereka sendiri.

Juga terdengar berita bahwa orang-orang Portugis yang berada di Kanton, yang dipimpin oleh Kapten Simon De Andrada, sering kali melakukan pembajakan di sepanjang sungai Mutiara (Muara Kwang-tung). Selain merampoki perahu-perahu bahkan juga membunuh, menculik dan memperkosa wanita! Semakin lama gerombolan orang Portugis itu semakin liar dan jahat.

Mendengar ini pasukan keamanan daerah di Kanton segera mengambil tindakan. Mereka lantas menyerang orang-orang Portugis dan berhasil mengusir kapal-kapal Portugis keluar dari muara itu. Ternyata orang-orang Portugis itu adalah bajak-bajak laut yang menyamar sebagai pedagang.

Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1522, ketika armada kapal Portugis yang dipimpin oleh Alphonso de Mello muncul di perairan Kanton, mereka lantas diserang oleh armada kapal Cina. Setelah terjadi pertempuran di lautan, kapal-kapal Portugis itu berhasil diusir dan sebuah kapal dapat ditangkap. Para anak buah kapal itu lalu dihukum sebagai bajak-bajak laut. Sejak saat itu hingga puluhan tahun lamanya tidak terdengar lagi tentang orang-orang Portugis.

Pada tahun 1542, yaitu enam tujuh tahun yang lampau, akhirnya muncul lagi kapal-kapal Portugis di pantai Cina. Namun pengalaman dua puluh enam tahun yang silam membuat mereka tidak berani mendarat di kota Kanton. Sekarang mereka memilih kota Ning-po di Propinsi Cekiang, yaitu di bagian utara, dan di sini mereka diterima dengan baik oleh para pejabat di Ning-po.

Waktu yang sudah dua puluh tahun itu agaknya membuat rakyat lupa dengan peristiwa di Kanton. Rakyat dan para pejabat di kota Ning-po menerima orang-orang Portugis dengan ramah seperti mereka menerima bangsa-bangsa asing lain yang datang berkunjung untuk berdagang.

Mula-mula orang-orang Portugis bisa membawa diri dan mereka melakukan perdagangan yang makin lama semakin besar tapi menguntungkan kedua pihak. Lalu semakin banyak kapal Portugis datang ke Ning-po, dan semakin banyak pula orang-orang Portugis tinggal di Ning-po. Dalam waktu kurang lebih dua tahun saja sudah terdapat tidak kurang dari tiga ribu orang Portugis yang tinggal di pelabuhan ini.

Akan tetapi, sesudah orang-orang Portugis ini merasa diri kuat karena mereka berjumlah banyak, terlebih lagi mengandalkan senjata api mereka, maka mulailah tampak lagi watak mereka yang seperti bajak laut, apa lagi sesudah mereka dalam keadaan mabuk. Bahkan mereka lantas membangun sebuah tembok benteng yang kokoh untuk melindungi warga mereka, lengkap dengan meriam-meriam mereka.

Mereka mulai memperlihatkan kekuasaannya, memandang rendah kepada kaum pribumi. Dengan mudah mereka memukul bahkan membunuh orang, menculik serta memperkosa wanita. Akhirnya para pejabat mendapat peringatan dari kota raja yang sudah mendengar tentang keadaan di Ning-po. Pemerintah mengerahkan pasukan besar menyerbu benteng Portugis itu dan terjadilah pertempuran hebat. Akhirnya benteng itu pun bobol dan mereka yang tidak sempat melarikan diri ke kapal mereka, dibunuh.

Demikianlah, dua peristiwa permusuhan terhadap orang-orang Portugis terjadi di Kanton pada tahun 1522 dan di Ning-po pada tahun 1542. Tetapi seperti semut yang tertarik oleh gula, setelah beberapa tahun tidak memperlihatkan diri, beberapa orang Portugis kembali bermunculan di Cang-cow di Propinsi Hok-kian.

Sekitar tahun 1548 itu, kota Cang-cow merupakan sebuah kota yang sangat terkenal bagi orang-orang di luar Cina. Bahkan semenjak beberapa abad yang silam bangsa Arab dan Melayu sudah menjadi pedagang-pedagang yang berhubungan sangat baik dengan kaum pribumi, melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak. Bangsa Arab mengenal kota Cang-cow sebagai kota Jaitun seperti tercatat dalam sejarah mereka.

Di kota yang dengan tangan terbuka menerima hubungan dagang dengan semua bangsa asing ini, bangsa Portugis juga diterima tanpa banyak kecurigaan. Maka mulailah orang-orang Portugis berdatangan untuk berdagang dan di tempat inilah orang-orang Portugis itu menggunakan siasat lain.

Mereka sudah berpengalaman, maka kini mereka melakukan perdagangan dan bersiasat halus. Bukan saja mereka terorganisir, bahkan mereka dipimpin oleh seorang berpangkat kolonel bernama Simon De Andrada, putera dari mendiang Simon De Andrada yang juga pernah memimpin orang-orang Portugis yang kemudian melakukan pembajakan di sekitar sungai Mutiara dan muara Kwan-tung.

Kolonel Simon De Andrada yang telah mendapat pesan dari atasannya melakukan siasat yang halus, menekan anak buahnya secara keras agar mereka tak melakukan kejahatan. Bahkan Kolonel Simon De Andrada ini melakukan pendekatan dan berhasil menyuap dan berhubungan baik sekali dengan para pejabat tinggi di Cang-cow. Di samping itu dia pun melakukan hubungan dengan orang-orang dari Pek-lian-kauw, juga dengan para pimpinan bajak laut Jepang.

Dengan taktik seperti ini mulailah orang-orang Portugis menancapkan kuku-kuku mereka di Cang-cow dan karena para pejabat sudah menjadi sekutu mereka, maka laporan para pejabat ke kota raja selalu memuji-muji orang-orang Portugis. Mereka dikatakan sebagai pedagang-pedagang yang mendatangkan keuntungan bagi Tionggoan dan mendatangkan kemakmuran bagi rakyat di daerah Cang-cow!

Seperti yang sudah-sudah, bangsa Portugis kembali mendirikan sebuah benteng di dekat laut, benteng besar di mana semua bangsa Portugis tinggal untuk memudahkan mereka berlindung kalau terjadi sesuatu. Akan tetapi Kolonel Simon De Andrada memberi alasan bahwa benteng itu digunakan untuk memusatkan anak buahnya agar mereka lebih mudah dapat diawasi dan diatur.

Para pejabat yang sudah kenyang menerima sogok dan suap hanya mengangguk-angguk membenarkan saja. Padahal bangsa asing lainnya, seperti bangsa Arab dan Melayu, tak ada yang membuat benteng, tak ada pula yang membawa pasukan bersenjata, melainkan tinggal bersama rakyat di kampung-kampung, walau pun mereka itu tetap berkelompok.

Karena keadaan di Cang-cow dianggap aman dan menyenangkan, bangsa Portugis mulai mendatangkan sanak keluarga mereka, wanita dan anak-anak, bahkan mereka pun mulai mendirikan sekolah untuk keperluan anak-anak mereka, juga membangun tempat ibadah dan mendatangkan pendeta-pendeta.

Kolonel Simon De Andrada mempunyai dua orang pembantu yang sangat dipercaya dan diandalkan. Yang seorang adalah Kapten Armando yang kini berusia lima puluhan tahun. Kapten Armando hanya datang bersama puterinya yang bernama Sarah, sebab dia adalah seorang duda yang sudah bercerai dari isterinya. Sedangkan orang ke dua yang menjadi pembantu utama kolonel itu adalah Kapten Gonsalo yang berusia kurang lebih tiga puluh tahun dan masih membujang.

Kapten Armando adalah seorang pria setengah tua yang berwajah ganteng sekali, dengan rambut keemasan, matanya biru dan hidungnya yang mancung tidak terlampau besar dan panjang. Mulutnya membayangkan keberanian dan dagunya yang berlekuk membuat dia nampak jantan, apa lagi ditambah dengan kumisnya yang melintang dan jenggotnya yang tidak terlalu panjang. Wajah seorang laki-laki yang berwatak keras, namun sinar matanya yang biru laut itu nampak lembut.

Puterinya, Sarah Armando, adalah seorang gadis berusia tujuh betas tahun, cantik jelita dengan raut wajah mirip ayahnya. Rambutnya kuning keemasan, matanya juga biru dan amat jernihnya, tenang menghanyutkan seperti air laut. Biar pun usianya baru tujuh betas tahun, namun tubuhnya sudah dewasa dan matang, dengan lekuk-lengkung sempurna.

Bagaikan setangkai bunga, Sarah sedang mekar dan semerbak harum, karena itu tidaklah mengherankan apa bila para pria Portugis, bahkan juga bangsa lain, bagaikan kumbang-kumbang kehausan madu kalau melihatnya. Namun meski pun dara ini lincah jenaka dan berwatak gembira, dia sama sekali tidak genit dan tidak pernah mau memberi hati kepada pria mana pun juga sehingga tidak ada pria yang berani menggodanya.

Kehormatan seorang wanita memang terletak pada sikapnya apa bila berhadapan dengan pria. Kerlingnya, senyumnya, gerak-gerik dan suaranya, semua itu dapat menunjukkan apakah wanita itu dapat digoda ataukah tidak.

Seorang wanita yang menjaga kehormatan dan pandai menjaga diri akan bersikap tenang dan terbayang keagungan pada setiap gerak-geriknya, membuat pria merasa segan dan sungkan untuk bersikap kurang ajar, karena wanita semacam ini seolah-olah setiap saat dapat meledak marah kalau diganggu secara tidak layak dan tidak sopan.

Sebaliknya, setiap orang pria sudah pasti condong untuk menggoda wanita yang sikapnya genit, yang pembawaannya seakan merupakan tantangan, dengan kerling tajam memikat, senyum menantang. Dengan sikap seperti ini otomatis wanita itu telah membanting harga dirinya dan setiap orang pria akan senang sekali menggodanya!

Kapten Gonsalo, pembantu Kapten Armando dan merupakan orang ke dua yang menjadi pembantu dan kepercayaan Kolonel Simon De Andrada, adalah seorang di antara mereka yang tergila-gila kepada Sarah. Dia yang masih membujang dan sudah berusia tiga puluh tahun itu memang memiliki lebih banyak harapan untuk menang berlomba mendapatkan diri Sarah.

Dia seorang kapten, pembantu ayah gadis itu sehingga paling dekat hubungannya dengan Sarah. Juga Kapten Gonsalo adalah seorang lelaki yang bertubuh tinggi besar, ganteng dan jantan, dengan kumis tipis dan dagu dicukur bersih sehingga terlihat kebiruan karena jenggotnya memang tebal andai dibiarkan tumbuh.

Biar pun biasanya Kapten Gonsalo ini adalah seorang laki-laki yang amat kasar dan suka memamerkan kekuasaan dan kekuatannya, apa lagi karena dia seorang jago tinju dan ahli tembak, namun di depan Sarah dia dapat bersikap lunak dan jinak seperti seekor domba! Dengan segala daya dia berusaha untuk memikat hati gadis yang sudah membuat dirinya tergila-gila itu.

Selain kuat Kapten Gonsalo juga seorang yang mempunyai ambisi besar, dan amat cerdik pula. Oleh karena itu dia bisa menjadi orang kepercayaan Kolonel Simon De Andrada dan diperbantukan kepada Kapten Armando. Setengah tahun yang lalu Kapten Gonsalo malah pernah diutus oleh sang kolonel untuk pergi ke kota raja menghadap kaisar, namun tentu saja diantar oleh pejabat daerah.

Di hadapan kaisar, atas nama Kolonel Simon De Andrada serta seluruh bangsa Portugis, Kapten Gonsalo menghaturkan salam sambil tidak lupa menyerahkan hadiah yang berupa benda-benda berharga dari Portugis. Yang amat menyenangkan hati Kaisar Cia Ceng dari Kerajaan Beng adalah hadiah yang berupa sebuah senjata api pistol yang dilapisi emas! Karena itu ketika meninggalkan istana Kapten Gonsalo juga membawa hadiah yang cukup berharga dari kaisar untuk disampaikan kepada Kolonel Simon De Andrada.

Sejak diterimanya utusan itu oleh kaisar maka semakin dekat pula hubungan para pejabat daerah dengan orang Portugis, dan bangsa ini kemudian dianggap sebagai bangsa yang diterima baik oleh kaisar sendiri!

Demikian pandainya orang-orang Portugis di Cang-cow membawa diri sehingga tidak ada seorang pun pejabat tinggi di kota raja yang curiga terhadap mereka. Jangankan kaisar, sedangkan dua menteri tertinggi yang merupakan tulang punggung pemerintahan kaisar, yaitu Menteri Cang Ku Ceng dan Menteri Yang Ting Hoo, tidak mengetahui akan bahaya yang mengancam dari persekutuan gelap di Cang-cow itu.

Ketika beberapa bulan yang lampau seorang jaksa di Cang-cow, yaitu Jaksa Yu, melihat persekutuan itu, tentu saja dia terkejut dan cepat-cepat menemui atasannya, yaitu kepala daerah Cang-cow. Jaksa Yu hendak menyadarkannya betapa tidak benarnya persekutuan dengan orang-orang Portugis, bahkan dengan para bajak laut Jepang dan pemberontak Pek-lian-kauw.

Kepala daerah itu menjadi terkejut. Dia tahu bahwa Jaksa Yu seorang yang sangat setia dan jujur. Kalau kini dia sudah tahu akan rahasia itu, tentu dia akan melapor ke kota raja. Maka kepala daerah itu cepat mengambil tindakan tegas. Jaksa Yu sekeluarga ditangkap, dituduh hendak memberontak dan dijatuhi hukuman mati! Maka habislah seluruh keluarga Jaksa Yu dan berarti aman pula rahasia persekutuan itu.

Akan tetapi kemudian barulah kepala daerah mendengar bahwa ayah dari Jaksa Yu yang sudah tua, yaitu Yu Siucai yang ketika itu kebetulan sedang keluar kota, sudah lolos dari pembasmian sekeluarga itu. Karena khawatir bahwa kakek itu tahu pula mengenai rahasia persekutuan mereka, maka dengan bantuan dari para sekutunya, mereka lalu mengutus pembunuh-pembunuh untuk melakukan pengejaran dan membunuh Yu Siucai.

Mereka tidak tahu benar apakah rahasia itu terbawa oleh Kakek Yu, akan tetapi mereka tetap khawatir. Setelah melihat kakek itu tewas, para pembunuh itu lalu mengejar-ngejar seorang pemuda yang berada di dekat kakek itu sebelum Yu Siucai meninggal dunia. Dan pemuda itu bukan lain adalah Hay Hay seperti yang telah diceritakan di bagian depan.

Meski pun kakek Yu sudah tewas, tetap saja kepala daerah merasa khawatir dan mulailah ia melakukan pembersihan, menangkapi pejabat-pejabat yang dianggapnya dekat dengan Jaksa Yu. Banyak orang tak berdosa ikut ditangkap, bahkan mereka yang tidak tahu apa-apa juga tertangkap dan dihukum mati dengan tuduhan memberontak!

Pada suatu pagi di dalam benteng tempat tinggal orang-orang Portugis. Di sebuah gedung terbesar dalam perbentengan itu, semenjak pagi sekali Sarah sudah bangun dari tidurnya, lalu mandi sambil bernyanyi-nyanyi gembira menyaingi burung-burung yang riuh berkicau di pohon-pohon yang tumbuh di taman dalam benteng itu. Setelah bertukar pakaian dara ini lalu membantu pelayan membuatkan sarapan pagi untuk ayahnya dan dia sendiri.

Pagi itu dia merasa gembira bukan kepalang karena kemarin ayahnya sudah berjanji akan mengajaknya naik kuda ke perbukitan di luar kota Cang-cow. Memang sejak kecil gadis ini mempunyai kegemaran menunggang kuda dan bahkan ketika berusia dua belas tahun dia pernah menggondol kejuaraan menunggang kuda di negerinya.

Setelah mengikuti ayahnya ke Cina dan tinggal di dalam perbentengan kota Cang-cow, ia tidak pernah meninggalkan kegemaran ini. Akan tetapi dia merasa kurang leluasa karena berada di negeri asing dan hidup terkurung di dalam benteng. Ia hanya bisa menunggang kuda dan berputar-putar di dalam benteng atau kalau pun diperbolehkan ayahnya berkuda keluar benteng, dia tidak boleh seorang diri tetapi harus ada pengawal.

Tidak begitu menyenangkan berkuda di dalam kota, karena selain jalan-jalan terlalu ramai sehingga dia harus menunggang kuda yang dijalankan dengan perlahan, dia pun menjadi tontonan. Akan tetapi kalau sekali waktu ayahnya mengajaknya menunggang kuda keluar kota, ke bukit-bukit, ke padang rumput, sungguh dia baru dapat menikmati kegemarannya itu. Dia dapat melarikan kudanya dengan bebas tanpa gangguan! Dan kemarin ayahnya menjanjikan untuk mengajak puterinya pagi hari ini berkuda di perbukitan di luar kota!

Sesudah menghidangkan roti panggang dengan mentega, selai dan telur mata sapi yang menjadi kegemaran ayahnya, Sarah lalu menghampiri kamar ayahnya. Diketuknya pintu kamar itu. Hanya dia seoranglah yang berani mengetuk pintu kamar ayahnya sepagi itu! Apa bila orang lain yang mengganggunya sepagi itu, tentu Kapten Armando akan marah sekali.

Ketika pintu terketuk, terdengar dia sudah menyumpah-nyumpah, lantas terdengar sandal diseret dan daun pintu terbuka. Wajah yang masih kusut dan sudah siap untuk memaki itu tiba-tiba saja menjadi cerah dan mulut yang cemberut berubah menjadi senyuman ramah. Memang lelaki setengah tua ini sangat mencinta puterinya yang merupakan anak tunggal dan merupakan satu-satunya orang yang dekat dengan dia. Dia mengasihi Sarah melebihi dirinya sendiri.

"Selamat pagi, Ayah!" kata Sarah, tidak peduli melihat ayahnya yang tampak masih belum sadar benar dari tidurnya.

"Selamat pagi, Sarah. Dan sepagi ini engkau telah menggugah ayahmu?" teguran ini lebih merupakan salam dari pada kemarahan.

"Maafkan aku, Ayah. Agaknya Ayah lupa akan janjimu padaku. Bukankah kemarin Ayah berjanji akan mengajak aku berkuda diperbukitan? Semakin pagi kita berangkat, semakin indah menyenangkan, Ayah. Hayo, mandilah, sarapan pagi sudah kusediakan!"

Kapten Armando memandang kepada puterinya dengan mata dibelalakkan, kemudian dia menepuk kepala sendiri, "Ahh, semalam aku minum terlalu banyak anggur, terlalu banyak hal penting yang dibicarakan dengan para pejabat sehingga aku sampai lupa memberitahu kepadamu semalam. Aihh, sayangku, sungguh aku menyesal sekali, akan tetapi pagi hari ini ayahmu tidak mungkin dapat menemanimu..."

"Ayah...!" Sarah merajuk. Bibirnya yang merah basah itu cemberut, alisnya berkerut dan matanya yang lebar itu tiba-tiba saja menjadi basah.

Kapten Armando melangkah maju dan merangkul puterinya, diajaknya masuk ke kamar, lantas diajaknya duduk di atas kursi panjang yang lunak. "Anakku, jangan kecewa. Bukan ayahmu tidak suka menemanimu, akan tetapi pagi ini tak mungkin aku dapat pergi karena aku harus menghadiri pelaksanaan hukuman pemberontak."

Dengan punggung tangan Sarah menekan kedua matanya sehingga air mata yang sudah memenuhi pelupuk itu terjatuh menjadi dua tetes air mata. Dia memandang ayahnya.

"Sekali ini siapakah pemberontak yang akan dihukum mati, Ayah?"

Kapten Armando menghela napas panjang. "Tidak kita sangka sama sekali. Dia adalah Perwira Cung "

Sarah membelalakkan matanya yang sudah lebar. "Perwira Cung yang gagah dan sopan itu, yang pernah berkunjung ke mari beberapa kali?"

Kapten Armando mengangguk. "Benar, dia ditangkap karena ada bukti bahwa dia sudah bersekongkol dengan keluarga Jaksa Yu yang telah dihukum beberapa bulan yang lalu."

"Aihh, Ayah. Tidak perlu Ayah menyaksikan pelaksanaan hukuman terhadap orang yang tadinya menjadi sahabat baik Ayah. Lebih baik Ayah berkuda denganku. Kita ke luar kota untuk melupakan peristiwa yang mengerikan itu."

Namun ayah itu menggeleng kepalanya. "Tidak mungkin, sayang. Pelaksanaan hukuman terhadap seorang pemberontak harus dihadiri semua yang diundang karena dimaksudkan sebagai peringatan bagi mereka yang menyaksikan agar jangan ada yang mencoba-coba untuk melakukan pemberontakan lagi."

Sarah mencibir sehingga bibir bawahnya yang berjebi itu seperti menantang untuk dicium. "Huhh, siapa sih yang hendak memberontak? Yang pasti, Ayah tidak, bukan? Ayah, sejak pagi sekali aku sudah bangun dan hatiku gembira sekali karena membayangkan hendak berkuda dengan Ayah ke bukit-bukit. Siapa tahu akan berakhir mengecewakan begini...! Huhh, melihat orang dihukum mati!"

Kapten Armando mengusap rambut kepala puterinya dengan belaian penuh kasih sayang. "Jangan kecewa, Anakku. Pagi ini engkau tetap boleh berkuda di perbukitan, bahkan tadi malam sudah kuminta Gonsalo untuk menemanimu."

"Kenapa Gonsalo? Aihh, aku tidak suka, Ayah!” kata dara itu merajuk.

"Ehh? Jadi engkau tidak suka pergi pagi ini?"

"Aku tetap ingin pergi berkuda, tetapi tidak dengan Kapten Gonsalo! Lebih baik bersama prajurit pengawal biasa saja, Ayah."

Kapten Armando mengerutkan alisnya yang tebal, "Sarah sayang, kenapa engkau selalu nampak tidak suka pada Gonsalo? Dia adalah pembantu ayahmu, dan dia seorang kapten yang baik pula. Selain itu, bukankah dia seorang pemuda yang belum menikah, tampan dan gagah pula? Dia juara tinju, dia ahli tembak cepat, dia..."

"Sudahlah, Ayah! Tak ada gunanya memuji-muji dia seperti Ayah hendak menjual barang dagangan saja! Bagaimana pun juga, aku tidak tertarik, aku aku bahkan membencinya!"

"Ehh? Engkau sungguh aneh, Sarah. Kalau tanpa alasan, bagaimana mungkin membenci seseorang? Tentu ada sebabnya sehingga membuat engkau membencinya. Nah, katakan kepada ayahmu, apakah sebab itu?"

Sarah bersungut-sungut. Memang kapten muda itu tidak pernah melakukan sesuatu yang dapat dia laporkan kepada ayahnya. Kapten Gonsalo selalu bersikap sopan dan lembut kepadanya. Bagaimana pun juga dia tidak berbohong ketika mengatakan bahwa dia tidak suka kepada kapten itu. Dia tahu bahwa ayahnya adalah seorang yang berhati keras dan selalu menuntut kejujuran. Ayahnya pasti tidak mau menerima pendapatnya tanpa alasan, tak mau menerima pernyataannya membenci kapten Gonsalo tanpa dia bisa memberikan sebabnya.

"Dia... dia..., pandangan matanya itulah yang tidak kusukai, Ayah. Pandangan matanya membuat aku merasa benci..."

"Hemmm? Pandangan matanya kenapa, Sarah?"

"Entahlah, Ayah. Pandangan matanya seperti pandangan mata seekor anjing bila sedang marah. Aku tidak suka, Ayah. Aku ingin pergi berkuda dengan seorang prajurit saja, atau kalau Ayah tidak setuju, biarlah aku berkuda seorang diri saja."

"Ahhh...!"

"Jangan khawatir, Ayah. Aku dapat pergi membawa sebuah pistol untuk menjaga diri."

"Tidak, engkau tidak boleh pergi seorang diri! Juga tidak boleh dikawal prajurit biasa saja. Hanya Kapten Gonsalo seoranglah yang kupercaya sepenuhnya untuk mengawalmu. Apa bila dia yang mengawalmu maka sama saja dengan kalau aku sendiri yang mengawalmu dan hatiku akan tenang. Jika engkau pergi tanpa dia, aku akan selalu merasa gelisah dan khawatir. Sudahlah, jangan banyak membantah lagi, Sarah. Dia telah kuperintahkan untuk mengawalmu pagi ini. Nah, aku sudah mendengar derap kaki kudanya. Pergilah berkuda dengan dia. Kalau dia melakukan sesuatu yang tidak layak, katakan kepadaku. Aku yang akan menghukumnya."

Kapten Armando meninggalkan puterinya dan memasuki kamar mandi yang bersebelahan dengan kamar itu. Sarah bersungut-sungut, maklum bahwa keputusan ayahnya tak dapat ditawar-tawar lagi. Hanya ada dua pilihan baginya. Pergi berkuda dengan dikawal Gonsalo atau tidak pergi sama sekali.

Ia menghela napas panjang lalu keluar dari kamar ayahnya, menuju ke ruang makan dan menanti di atas kursi menghadapi meja makan yang besar itu dengan muka cemberut. Ia sudah siap dengan pakaian untuk berkuda. Kemeja dengan lengan panjang yang digulung sampai ke bawah siku dengan leher baju terbuka. Lehernya dikalungi sapu tangan sutera merah yang nampak kontras dengan kemejanya yang putih. Celana panjangnya abu-abu, dengan sepatu boot dari kulit menutupi kaki sampai ke bawah lutut, menutupi pula celana panjangnya bagian bawah. Pinggang yang ramping itu diikat sabuk kulit dan dia pun telah siap dengan sebatang cambuk kuda dari bulu halus.

Cantik jelita dan manis sekali gadis itu ketika mematut diri di depan cermin di dekat meja makan sambil memakai topinya yang berwarna hijau dan terhias bulu burung. Rambutnya yang kuning keemasan berombak menutupi tengkuk serta punggungnya, sampai ke atas pinggang dan di dekat tengkuk diikat pula dengan tali sutera merah.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar