Jodoh Si Mata keranjang Jilid 27

Ia pun tertawa bergelak, membuat si muka hitam dan teman-temannya terkejut dan heran. Tentu laki-laki asing ini telah menjadi gila, pikir mereka dan mereka pun khawatir. Jangan-jangan pemukulan bertubi-tubi tadi membuat dia menjadi gila!

"Ha-ha-ha-ha, kalian ini orang-orang tolol! Kalian tidak tahu siapa aku ini? Lihat baik-baik, aku adalah penjaga sungai ini, aku raksasa penjaga sungai ini, ha-ha-ha!"

Belasan orang itu terbelalak dan muka mereka berubah pucat sekali ketika mereka melihat betapa pemuda yang mereka pukuli tadi kini menjadi tinggi besar seperti raksasa, dua kali lebih tinggi dari pada manusia biasa!

"Hei, muka hitam! Beraninya engkau hendak memukuli isterimu! Wanita itu tak bersalah. Karena tadi dia bersama kawan-kawannya mandi di sini dan mengotori tempatku, maka aku sengaja menghukum dan menggodanya. Dia tidak bersalah sama sekali! Engkau tadi memaki aku dan hendak memukul isterimu, ya? Nah, sekarang kubikin engkau jungkir balik, kepala di bawah dan kaki di atas!"

Si muka hitam mengeluarkan teriakan ketakutan, sedangkan belasan orang kawannya juga memandang dengan mata terbelalak dan tubuh menggigil setelah mereka melihat si muka hitam itu tiba-tiba sudah jungkir balik, kakinya di atas dan kepala di bawah! Wanita itu pun menurunkan kedua tangan dari depan mukanya dan memandang. Dia tidak berada di dalam pengaruh sihir, karena itu dia pun melihat keadaan suaminya biasa saja, hanya anehnya, suaminya itu nampak seperti orang ketakutan, begitu pula belasan orang dusun.

"Ampun... ampunkan saya..." Si muka hitam memohon dengan suara gemetar.

Hay Hay tertawa lagi. "Bersumpahlah bahwa engkau takkan memukul isterimu lagi, tidak akan cemburu dan marah kepadanya, dan selama hidupmu akan bersikap manis dan baik kepadanya. Kalau sekali saja engkau melanggar, maka aku akan datang menghukummu, akan membuat engkau jungkir balik seperti ini sampai engkau mati!"

"Saya bersumpah... saya bersumpah...," kata si muka hitam dengan penuh kesungguhan.

Sekarang Hay Hay berkata kepada belasan orang kawan-kawan si muka hitam. "Kalian semua penghuni dusun menjadi saksi. Awas, kalau kalian kelak melihat si muka hitam ini memukuli isterinya atau bersikap kasar namun kalian tidak mencegahnya, maka aku akan datang menghukum kalian dan menyeret kalian semua ke dalam sungai kuberikan kepada setan-setan untuk dimakan hidup-hidup!"

Tentu saja belasan orang itu menjadi semakin ketakutan. Seperti dikomando saja mereka lalu bersama-sama menjatuhkan diri berlutut dan berlomba menjawab dengan cepat, "Kami berjanji akan mentaati perintah..."

"Bagus! Cing Ling seorang wanita yang baik sekali, tidak bersalah, dia harus diperlakukan dengan hormat dan manis budi. Sekarang aku akan kembali ke tempat asalku! Kau, muka hitam, sekali ini kuampuni. Nah, berlututlah seperti kawan-kawanmu!"

Dan tiba-tiba si muka hitam merasa dirinya normal kembali, maka dia cepat menjatuhkan diri seperti kawan-kawannya. Mereka semua melihat ‘raksasa’ itu berjalan ke tepi sungai, lalu melihat dia terjun ke sungai yang dangkal itu, yang dalamnya hanya sepinggang. Akan tetapi begitu raksasa itu terjun, dia pun langsung lenyap seperti ditelan sungai!

Sesudah mereka semua berani bangkit, si muka hitam segara menghampiri isterinya yang masih berlutut, menarik bangun isterinya, merangkulnya dan berkata dengan lembut, "Cing Ling, maafkan aku..."

Juga kawan-kawan suami Cing Ling yang kini menghadapi wanita itu memberi hormat dan berkata, "Kami juga mohon maaf..."

Cing Ling hanya bisa mengangguk. Dia masih tertegun dan terheran-heran melihat semua peristiwa tadi. Pemuda asing tadi amat menarik hatinya, bahkan dia akui bahwa dia terpikat dan terpesona. Kemudian pemuda itu dihajar habis-habisan tanpa melawan sampai babak belur. Akan tetapi pemuda itu lalu mengaku sebagai penjaga sungai, dan suaminya beserta belasan orang laki-laki yang tadi menghajarnya kemudian berlutut dan minta-minta ampun! Dan pemuda tampan itu lalu pergi begitu saja sesudah meninggalkan pesan dan ancaman agar semua orang menghormatinya, dan agar suaminya selalu bersikap baik kepadanya.

Sejak saat itu Cing Ling diperlakukan seperti dewi, bukan saja oleh suaminya, mertuanya dan seluruh keluarga mertuanya, bahkan seluruh penduduk dusun yang mendengar cerita belasan orang itu kemudian menganggap dia seperti seorang dewi yang dilindungi penjaga sungai! Sampai-sampai kepala dusun juga menghormatinya.

Dan suaminya bukan saja bersikap sangat hormat dan lembut, juga suaminya selalu merasa bangga mempunyai isteri yang dianggap dewi! Cing Ling dihormati, dimanja, dan hidupnya penuh kemuliaan. Tetapi pada waktu malam wanita ini sering kali termenung, teringat kepada Hay Hay, dan perasaan rindu menggerogoti hatinya…..!

********************

"Rasakan kau sekarang! Mata keranjang, Jai-hwa-cat! Kau cabul dan mesum, kau hamba nafsu! Rasakan sekarang!" Hay Hay memaki-maki diri sendiri sambil meringis kesakitan ketika dia mencuci mukanya dengan air sungai, jauh di sebelah hilir dari sungai yang tadi.

Senja sudah lewat dan malam mulai tiba, cuaca remang-remang dan dia berada jauh dari dusun. Sesudah mencuci mukanya yang berdarah, bengkak-bengkak dan babak belur, dia pun duduk di tepi sungai, mengeringkan mukanya dengan kain, lalu duduk termenung.

Dia paham benar apa yang terjadi di dalam dirinya. Makanan siang tadi, daging harimau hitam dan ubi merah, telah mengobarkan api nafsu birahinya, membuat dia bergairah dan lupa diri. Biar pun dia telah membiarkan dirinya dihajar orang banyak untuk menyiksa diri, untuk menebus dosa, namun dia tetap merasa dirinya kotor.

Dia merasa yakin bahwa ini tentulah karena darah ayah kandungnya, si penjahat pemetik bunga tersohor, Si Kumbang Merah! Dia memiliki darah seorang hamba nafsu birahi yang tidak ketulungan lagi seperti mendiang ayah kandungnya, Si Kumbang Merah! Apa bila dia membiarkan nafsu menguasai dirinya, maka dia akan menjadi jai-hwa-cat yang lebih jahat dari pada ayahnya.

Untung tadi orang-orang dusun itu keburu datang. Bila tidak, tentu akan terjadi hubungan mesum itu. Dia akan menyeret wanita yang suci bersih ke dalam lumpur kotor, dan sekali melangkah mungkin dia tidak akan dapat mundur kembali, bahkan akan menjadi semakin tersesat!

Ia memiliki banyak kelebihan yang menyeretnya ke arah kesesatan itu. Begitu mudahnya dia menundukkan wanita, baik dengan rayuan, dengan ketampanannya, dengan ilmu silat, atau dengan sihir! Kelebihan yang merupakan kekuasaan adalah berkah dari Tuhan, tentu saja sebagai perlengkapan hidup, sebagai alat untuk melakukan hal-hal yang baik selama hidup. Akan tetapi begitu nafsu berkuasa, maka semua kelebihan dan kekuasaan itu akan dipergunakan untuk pengejaran kesenangan diri pribadi, karena itu lalu membuta dan tidak pantang melakukan kejahatan apa saja demi tercapainya kesenangan yang selalu dikejar-kejar. Seperti mendiang ayahnya, Si Kumbang Merah yang tidak pantang memperkosa wanita, menggoda dan menyeret isteri orang dalam lembah perzinahan yang hina, bahkan tidak pantang membunuh atau menyiksa untuk memaksakan kehendak nafsunya.

Dengan bersenjatakan wewenang serta kekuasaannya untuk mendapatkan kesenangan, orang yang berkedudukan sering kali mabuk kekuasaan sebab nafsu menyeretnya untuk melakukan apa saja. Si hartawan juga mempergunakan kekayaannya untuk memperoleh kesenangan, yang pintar dan pandai menjadi curang, yang berkuasa menjadi sewenang-wenang, dan seterusnya. Semua itu adalah karena ulah si nafsu yang menguasai hati dan akal pikiran.

Nafsu membuat kita selalu mengejar kesenangan dan kenikmatan. Bukan yang baik dan yang bermanfaat lagi yang dikejar orang, melainkan yang enak, yang nikmat. Kita makan bukan lagi atas desakan kebutuhan perut, bukan demi kesehatan, tapi demi kelezatan, demi keenakan. Biar bermanfaat bagi kesehatan namun kita enggan memakannya kalau tidak enak. Sebaliknya, meski membahayakan kesehatan tetapi kalau enak maka akan kita makan dengan lahapnya.

Demikian pula dengan pakaian, bukan lagi untuk melindungi tubuh dari angin hujan dan panas, melainkan demi kesenangan yang timbul dari kebanggaan. Kita memilih pakaian bukan karena manfaatnya, melainkan karena kebagusannya, sebagai hiasan tubuh.

Dalam kehidupan ini segala perbuatan kita selalu menunjukkan atau mengarah kepada tercapainya kesenangan yang kita idamkan dan kita sebut kebutuhan atau kepentingan. Karena setiap pribadi, setiap kelompok atau golongan, mempunyai kepentingan sendiri-sendiri, maka tak dapat dicegah lagi, timbullah bentrokan-bentrokan antara kepentingan dan timbullah pertentangan-pertentangan demi mencapai kepentingan masing-masing.

Hay Hay mengamati dirinya sendiri. Dia sudah cukup dewasa sehingga gairah nafsu birahi yang bergejolak di dalam dirinya merupakan suatu hal yang wajar. Jalan keluarnya hanya satu, yaitu dia harus segera menikah! Akan tetapi dengan siapa? Banyak, bahkan hampir setiap orang wanita disukainya, akan tetapi jarang yang dicintanya.

Selama ini yang benar-benar menjatuhkan hatinya, yang benar-benar dicintanya, sampai saat ini hanyalah Cia Kui Hong seorang! Selain Cia Kui Hong memang banyak pula gadis yang pernah menarik hatinya, dan agaknya mereka itu akan dapat menjadi pengganti Kui Hong, seandainya saja dia tidak berjodoh dengan Kui Hong. Akan tetapi gadis-gadis yang dikaguminya itu sekarang telah menikah semua, telah menjadi isteri orang lain.

Hay Hay memejamkan mata sambil bersandar pada batang pohon di tepi sungai itu. Dan nampaklah bayangan gadis-gadis yang pernah dikaguminya itu! Pertama-tama tentu saja Kok Hui Lian yang biar pun lebih tua sepuluh tahun darinya, akan tetapi merupakan wanita pertama yang bercumbuan dengannya dan menjadi gurunya di dalam soal asmara karena Hui Lian telah dua kali menjanda ketika bertemu dengan dia. Sekarang Kok Hui Lian telah menjadi isteri pendekar Ciang Su Kiat.

Kemudian Bi Lian, Siangkoan Bi Lian yang kini menjadi isteri Pek Han Siong. Lalu Pek Eng, adik kandung Pek Han Siong yang kini telah menjadi isteri Song Bu Kok. Kemudian Cia Ling atau Ling Ling yang kini menjadi isteri Can Sun Hok. Bahkan Mayang pun pernah menjadi calon isterinya, akan tetapi ternyata kemudian bahwa Mayang adalah adik tirinya sendiri, tunggal ayah berlainan ibu.

Tinggal Cia Kui Hong, satu-satunya gadis yang sebenarnya dicintanya sampai sekarang, tetapi kedua orang tua gadis itu tidak menyetujui perjodohan mereka. Dia pun tidak terlalu menyalahkan ayah ibu gadis itu.

Cia Kui Hong adalah puteri sepasang pendekar yang sangat terkenal, tokoh-tokoh besar di dunia persilatan. Ayahnya adalah ketua Cin-ling-pai, dan ibunya adalah anak Pendekar Sadis dari Pulau Teratai Merah. Tentu saja suami isteri pendekar terkenal itu tidak dapat dipersalahkan bila mereka melarang puterinya menikah dengan keturunan penjahat cabul Si Kumbang Merah.

Dia sendiri yang menjauhkan diri dari Kui Hong pada waktu mengetahui bahwa sepasang pendekar itu tidak sudi mempunyai mantu seperti dia. Menjauhkan diri dengan hati terluka dan sejak itu dia merana walau pun dia tahu bahwa keadaan seperti itu tidaklah benar.

Hidup adalah perjuangan, berkali-kali dia meyakinkan diri sendiri. Perjuangan adalah tekad dan usaha menghadapi tantangan sebab hidup penuh dengan tantangan yang datang dari segenap penjuru, baik tantangan terhadap kesehatan, terhadap kesejahteraan, terhadap kehormatan, mau pun beribu macam lainnya. ltulah romantika hidup dan seni kehidupan terletak kepada penanggulangan semua tantangan itu! Menghadapi setiap tantangan dan mengatasinya, itulah seninya hidup! Justru ini yang membuat kehidupan menjadi berarti, beromantika, bervariasi.

Tantangan dapat merupakan keadaan yang bagaimana pahit pun. Itulah suatu kenyataan, suatu tantangan. Melarikan diri dari tantangan adalah sikap pengecut. Putus asa hanyalah permainan batin orang lemah. Hadapi setiap tantangan, setiap keadaan, setiap masalah, dengan keyakinan bahwa itu adalah suatu kewajaran, suatu bagian yang tidak terpisahkan dari hidup yang memang isinya baik buruk, senang susah itu.

Hadapi dan usahakan sekuat tenaga untuk mengatasinya. Itulah perjuangan dan seninya! Landasannya hanya satu, ialah penyerahan diri kepada Tuhan, lahir batin, dengan penuh keikhlasan dan ketawakalan. Ikhlas kalau perjuangan gagal, karena yakin bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, baru dapat terjadi setelah dikehendaki Tuhan. Kehendak Tuhan pun jadilah, setiap saat dan di mana saja! Hasil atau gagal usaha perjuangan kita bukan masalah, yang penting adalah pelaksanaan perjuangan itu.

Hay Hay tersenyum! Dia dapat menerima kenyataan saat itu. Muka serta seluruh bagian tubuhnya berdenyut-denyut bekas pukulan orang-orang tadi. Saat itu dia menerima rasa denyut-denyut itu tanpa menilainya dan tanpa memberinya nama sebagai nyeri atau sakit. Dan yang ada hanyalah rasa denyut-denyut itu. Kalau sudah begini, sukarlah menentukan apakah rasa berdenyut-denyut itu menyusahkan atau menyenangkan, nyeri atau nyaman, derita atau nikmat!

Hay Hay merasa heran sendiri dan teringat akan suasana yang aneh itu, dia merasa lucu dan dia pun tertawa bergelak. Kalau ada orang yang melihatnya, tentu akan menganggap dia orang yang miring otaknya, tertawa-tawa seorang diri seperti itu.

Namun tiga pasang mata yang mengamati gerak-geriknya tidak menganggapnya seperti orang gila. Sebaliknya mereka mengamati penuh kewaspadaan. Mereka melihat betapa pemuda yang mereka amati itu duduk bersandar di tepi sungai. Ketika dia tertawa-tawa, batang pohon yang disandarinya ikut bergoyang-goyang! Akan tetapi yang menjadi pusat perhatian tiga orang itu bukan hanya si pemuda, tetapi terutama sekali buntalan pakaian yang berada di atas tanah dekat pemuda itu.

Mereka itu tiga orang laki-laki yang berusia antara empat puluh sampai lima puluh tahun, berpakaian seperti orang-orang dari dunia persilatan. Yang seorang tinggi kurus, seorang lagi pendek gendut dan seorang yang terakhir brewok tinggi besar. Agaknya orang yang tinggi kurus merupakan pemimpin mereka . Dia berbisik,

"Kalian berdua harus menyerang dia secara mendadak dan nanti selagi dia membela diri, aku akan menyambar buntalan pakaiannya."

Namun Si brewok menyeringai, "Hemm, Toako," katanya dengan nada mengejek. "Perlu apa semua ini? Datangi saja dia, minta benda itu, kalau dia menolak, kita bunuh dia dan rampas bendanya, habis perkara. Cacing seperti dia itu bisa apakah? Paling-paling hanya menggoda perempuan saja. Tadi pun hampir mampus dipukuli orang-orang dusun."

"Siauwte, Jangan bantah toako," kata si gendut. "Kukira toako benar, biar pun pemuda itu tadi dipukuli oleh orang-orang dusun, akan tetapi kukira dia bukan orang sembarangan. Pertama, kalau orang sembarangan tidak mungkin menerima benda itu, dan tidakkah kau lihat ketika dia tertawa-tawa tadi? Pohon yang disandarinya itu bergoyang-goyang!"

"Sudahlah, kerjakan saja perintahku. Kalian mengambil jalan memutar, lantas menyerang dari samping kiri, sementara itu aku akan menyambar buntalannya dari sebelah sini. Nah, cepat laksanakan!" kata si tinggi kurus.

Dua orang itu segera menyelinap pergi. Gerakan mereka gesit dan ringan sekali, seperti gerakan harimau sedang mengintai korbannya. Hay Hay masih duduk bersandar pohon, akan tetapi dia tentu bukan Hay Hay apa bila tidak tahu bahwa dirinya diintai orang yang mencurigakan. Tawanya tadi pun bukan hanya mentertawakan keadaan diri sendiri, tetapi juga mentertawakan ketiga orang yang bersembunyi dan mengamatinya. Dia miskin tidak punya apa-apa, tetapi kenapa ada saja orang-orang yang mengamatinya seperti hendak merampoknya? Beberapa helai pakaian tua itukah yang akan mereka rampas?

Dengan pendengarannya yang terlatih dan amat tajam, sekarang Hay Hay yang mengikuti gerakan mereka. Dia tahu bahwa dua di antara tiga orang telah mengambil jalan memutar dan menghampirinya dari arah kiri, sedangkan yang seorang lagi menghampiri dari arah kanan. Dia pun kelihatan tenang walau pun tentu saja dia sudah siap siaga menghadapi segala kemungkinan.

Karena sikapnya itu, maka ketika dua orang, yaitu orang gendut dan orang tinggi besar menubruknya seperti dua ekor singa menubruk domba, mereka hanya menerkam tempat kosong karena yang mereka terkam sudah mengelak dengan lompatan ke depan. Pada saat itu pula si tinggi kurus langsung menyambar buntalan pakaian Hay Hay yang sudah berdiri memandang mereka dalam jarak lima meter.

"Hemmm, agaknya kalian bertiga hanyalah perampok kecil yang menginginkan buntalan pakaianku. Kalau saja kalian minta terus terang, tentu pakaian butut itu akan kuberikan tanpa kalian harus menggunakan kekerasan!" kata Hay Hay.

Ditegur demikian, tiga orang itu diam saja, tetapi mereka bertiga sedang asyik membuka buntalan kemudian memeriksa isinya. Hanya terdapat beberapa potong celana dan baju, sebungkus obat-obatan, dan sisa bumbu seperti bawang, garam dan juga seguci anggur. Tidak ada apa-apanya lagi yang berharga.

Si tinggi kurus lalu menyerahkan buntalan itu kepada si brewok yang bersama si gendut segera memeriksa kembali dengan teliti, sedangkan dia sendiri menghadapi Hay Hay dan memandang tajam, lalu berkata dengan suaranya yang berwibawa.

"Hei, orang muda. Kami bukan perampok dan kami tidak menginginkan pakaianmu. Nah, keluarkanlan benda itu dan serahkan kepada kami. Kami akan berterima kasih dan tidak akan mengganggumu lagi."

Hay Hay memandang heran, "Ehhh? Bukan perampok akan tetapi menyerang orang dan menyambar buntalan pakaian? Dan engkau minta benda apakah, Paman? Aku hanyalah seorang perantau miskin yang tidak punya uang." Hay Hay segera teringat akan mustika batu kemala yang tergantung di lehernya, di balik bajunya.

Tadi ketika dia dipukuli orang-orang dusun, dia masih ingat untuk melindungi batu mustika itu sehingga tidak terpukul atau terenggut lepas. Dia tidak akan merasa heran kalau ada orang kang-ouw menghendaki batu mustika itu, karena mereka tentu tidak segan-segan mempergunakan kekerasan untuk merampas mustika itu kalau para tokoh kang-ouw itu mengetahuinya. Batu kemala itukah yang dikehendaki tiga orang ini?

Dia menerima batu mustika itu sebagai hadiah dari Kwan Taijin, seorang jaksa tinggi yang bijaksana dari kota Siang-tan. Batu giok (kemala) itu memiliki khasiat yang sangat ampuh sebagai obat dan penolak segala macam racun. Warnanya hijau dengan belang-belang merah dan selalu tergantung di lehernya, tersembunyi di balik baju. Tentu benda mustika itulah yang dimaksudkan tiga orang ini.

"Orang muda, tidak perlu engkau berpura-pura lagi. Cepat serahkan gulungan surat yang kau terima dari Yu Siucai!"

Hay Hay terkejut. Ahh, ternyata itu yang dikehendaki tiga orang ini. Gulungan surat yang dia terima dari kakek bijaksana yang tewas oleh anak panah si pecemburu pendek cebol itu! Dia memang sudah menduga bahwa benda itu sangat penting, maka dia pun selalu menyimpan surat itu di dalam saku baju bagian dalam dan saat ini pun benda itu berada di balik bajunya.

Dia tidak tahu apa isi surat gulungan itu, tetapi mengingat bahwa surat itu diterimanya dari seorang kakek yang sangat bijaksana dan harus diserahkan kepada salah satu di antara dua menteri setia yang paling dia hormati, yaitu Menteri Cang Ku Ceng atau Menteri Yang Ting Hoo, maka dia merasa yakin bahwa benda itu sangat penting. Bagaimana tiga orang ini dapat mengetahui bahwa dia menerima benda itu dari kakek bijaksana yang ternyata oleh si tinggi kurus ini disebut Yu Siucai (Sasterawan Yu)?

"Ahh, kiranya surat itukah yang kalian cari? Benda itu adalah wasiat seorang yang sudah meninggal dunia yang ditinggalkan kepadaku. Tidak mungkin kuberikan kepada siapa pun juga kecuali mereka yang berhak menerima."

Kini buntalan itu sudah dirapikan kembali dan diletakkan di tempatnya semula. Perbuatan ini saja menunjukkan bahwa tiga orang itu bukan orang-orang kasar atau liar, melainkan mengenal sopan santun. Akan tetapi mendengar ucapan Hay Hay, mereka bertiga segera maju menghadapi Hay Hay dan si tinggi kurus berkata dengan suara membujuk.

"Orang muda, benda itu amat penting bagi kami, tapi sebaliknya tidak ada artinya bagimu. Serahkan saja kepada kami, maka kami akan memberi hadiah yang cukup banyak. Lihat, sekantong emas ini akan kuberikan kepadamu sebagai penukar gulungan surat itu. Cepat serahkan kepada kami!"

Hay Hay melihat kantong yang dikeluarkan si tinggi kurus. Dia menjadi semakin heran. Emas di dalam kantong itu ditaksirnya tidak kurang dari dua kati, merupakan harta yang cukup banyak. Juga sikap ini memperlihatkan bahwa dia tidak berhadapan dengan orang-orang kasar yang biasanya melakukan perampasan. Mereka ini menawarkan emas untuk membeli gulungan surat itu! Makin dihargai orang, semakin menarik pula sesuatu benda. Emas dan permata menjadi mahal harganya karena dihargai orang.

"Maaf, Paman. Tidak mungkin aku dapat menjual wasiat yang dititipkan orang yang sudah mati. Aku akan berdosa besar, Paman. Sudahlah, harap Paman bertiga tidak memaksaku menjadi orang yang mengkhianati pesan wasiat seorang tua terhormat. Aku yakin Paman bertiga bukan orang-orang sembarangan dan tahu akan budi pekerti yang baik."

Si brewok meloncat mendengar ucapan itu. "Heii, orang muda, jangan berlagak dan coba-coba untuk menguliahi kami! Sebaiknya kau serahkan benda itu atau terpaksa aku akan memaksamu!"

Si tinggi kurus memberi isyarat dengan tangan agar kawannya itu diam, lalu dia kembali menghadapi Hay Hay. "Orang muda, ketahuilah bahwa benda itu amat berbahaya. Tentu engkau tidak ingin melihat bangsamu sendiri saling bermusuhan kemudian terjadi perang saudara yang mengorbankan nyawa ribuan orang bangsa sendiri, bukan?"

Tentu saja Hay Hay terkejut mendengar ini. "Paman, apa maksudmu? Apa sih gulungan surat ini dan mengapa dapat mengakibatkan perang saudara?"

"Toako, perlukah berbicara panjang lebar dengan bocah ini? Kalau dia berkeras tidak mau menyerahkan, biar kurampas darinya!" kata si gendut kehilangan kesabaran.

Akan tetapi si tinggi kurus agaknya seorang yang berhati-hati dan berpandangan tajam. Tadi dia sempat melihat betapa mudahnya pemuda itu menghindarkan diri dari terkaman dua orang kawannya, maka dia dapat menduga bahwa pemuda itu, biar pun tadi dijadikan bulan-bulan pukulan para penduduk dusun, tentu mempunyai ilmu kepandaian yang cukup tangguh. Dia memberi isyarat kepada si gendut untuk diam.

"Orang muda, ketahuilah bahwa gulungan kertas yang ada padamu itu berisi surat fitnah yang dapat mengadu domba. Sama sekali tak ada hubungannya dengan dirimu. Surat itu harus dimusnahkan agar jangan menimbulkan kekacauan dan perang saudara. Nah, tentu engkau adalah orang yang cukup gagah dan tak ingin melihat timbulnya perang saudara, bukan?"

"Tentu saja aku tidak ingin timbul perang saudara, Paman. Akan tetapi aku pun tidak ingin menyerahkan wasiat itu kepada siapa pun juga kecuali kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan pesan mendiang kakek itu," kata Hay Hay dengan tegas.

"Siapa yang kau maksudkan dengan yang berhak itu?"

Hay Hay menatap wajah kakek tinggi kurus itu, menduga-duga siapakah mereka bertiga ini dan mengapa pula mereka ini berkeras hendak memiliki gulungan surat itu. Siapa yang berhak menerima wasiat itu adalah rahasianya sendiri, tidak perlu diberi tahukan kepada orang lain. Dia mengambil keputusan untuk merahasiakan pesan kakek bijaksana itu.

"Aku tidak dapat memberi tahu kepada siapa pun, Paman."

"Bocah sombong!" tiba-tiba si brewok berteriak, "Tidak perlu banyak cakap lagi, serahkan surat itu!"

“Hayo berikan kepada kami kalau tidak ingin kami hajar seperti ketika kau dihajar orang-orang dusun itu!" teriak pula si gendut.

Hay Hay tertegun. Kiranya mereka ini mengetahui ketika dia dikeroyok dan dipukuli orang-orang dusun. Kalau begitu agaknya mereka sudah lama membayanginya atau melakukan pengejaran terhadap dirinya. Mungkin mereka mengetahui bahwa dia menerima gulungan surat dari kakek itu jauh hari sebelumnya. Padahal yang mengetahui bahwa dia menerima gulungan surat itu hanyalah suami cebol pencemburu itu.

Tentu tiga orang ini mendengar dari si cebol itu! Dia merasa gemas sekali kepada si cebol yang membuka rahasia itu. Ataukah tiga orang ini masih mempunyai hubungan dengan si cebol yang juga dapat dibilang memiliki ilmu kepandaian yang lumayan itu?

Kini si tinggi kurus tidak melarang dua orang kawannya, bahkan dia pun berkata dengan suara bernada mengancam, "Orang muda, kami bertiga bukanlah orang-orang yang biasa memaksakan kehendak. Tetapi sekali ini, karena surat itu amat penting bagi keselamatan rakyat, maka terpaksa kami akan mempergunakan kekerasan apa bila engkau tidak mau menyerahkan dengan cara baik-baik."

"Maaf, aku tidak dapat menyerahkan." kata Hay Hay.

Dan dengan sikap tenang dia pun mengambil buntalan pakaiannya, mengikatkan buntalan itu di punggungnya dan bersiap meninggalkan mereka. Tiga orang itu saling pandang dan akhirnya si tinggi kurus mengangguk, memberi isyarat untuk turun tangan.

"Orang muda, engkau mencari penyakit sendiri!" teriak si brewok.

Dia pun sudah menerjang dengan serangan dahsyat ke arah Hay Hay. Agaknya si brewok ini merasa yakin bahwa dengan sekali hantaman yang sangat kuat itu, dia akan berhasil merobohkan Hay Hay untuk digeledah dan dirampas gulungan surat itu darinya.

Akan tetapi Hay Hay cepat mengelak sambil tetap melanjutkan kesibukan dua tangannya mengikatkan ujung kain buntalan di depan dada. Dengan enak saja dia mengelak, seolah serangan itu sama sekali tidak berbahaya dan nampak amat lambat baginya! Padahal si brewok itu menyerang dengan pengerahan tenaga dan cepat sekali sehingga terdengarlah suara angin bersiut ketika tangan yang besar itu menyambar.

Pukulan itu mengenai tempat kosong, dan pada saat itu si gendut sudah menggelundung seperti trenggiling menuju ke arah Hay Hay. Dengan sekali melompat dia sudah mengirim totokan tiga kali berturut-turut.

"Hemmm...!" Hay Hay kembali mengelak dengan loncatan jauh ke samping dan di sini dia segera disambut oleh sambaran tangan kakek tinggi kurus yang mencengkeram ke arah pundaknya, agaknya hendak menangkapnya seperti seekor rajawali menerkam kelinci.

"Plakkk!"

Hay Hay menangkis dan kakek tinggi kurus itu terkejut. Bukan saja tangannya terpental, akan tetapi dia juga merasa nyeri dan lengannya tergetar hebat oleh tangkisan itu.

Hay Hay tak mau membuang tenaga dan waktu untuk melayani tiga orang itu, karena itu begitu mendapat kesempatan dia lalu melompat pergi.

"Selamat tinggal, Paman-paman!" katanya.

Melihat pemuda itu melarikan diri, tiga orang itu cepat mengejar. Si brewok menggerakkan tangan kanannya.

"Singgg...!"

Sebatang pisau pendek yang runcing mengkilap menyambar ke arah punggung Hay Hay. Pemuda ini tiba-tiba membalik, lantas menangkap pisau itu dari samping dengan tangan kirinya.

"Wirrrrr...!"

Si gendut juga melepaskan senjata rahasia berupa piauw. Melihat menyambarnya senjata rahasia itu, Hay Hay melemparkan pisau pendek yang tadi ditangkapnya.

"Tranggg...!" Pisau dan piauw bertemu di udara dan keduanya runtuh.

Hay Hay berlari terus. Tiga orang itu mengejar, namun pemuda itu dapat bergerak dengan amat cepatnya, seperti terbang saja.

"Tarrr...! Siuuuutttt...!"

Hay Hay terkejut bukan main. Nyaris kepalanya termakan peluru panas yang lewat dekat telinganya. Begitu meledak peluru telah tiba di dekat telinganya. Betapa cepatnya senjata rahasia itu dan tahulah dia bahwa tentu kakek tinggi kurus itu mempergunakan senjata api, yaitu senjata rahasia yang dibawa orang-orang kulit putih dan terkenal sangat ampuh dan berbahaya.

Banyak sudah ahli-ahli silat yang tewas oleh senjata api seperti itu, senjata yang mampu memuntahkan peluru dengan kecepatan yang sukar untuk dapat dielakkan. Masih untung bidikan si tinggi kurus itu kurang sempurna sehingga peluru itu lewat di dekat telinganya, nyaris mengenai kepalanya. Beberapa sentimeter saja menyimpang maka peluru itu akan menembus kepalanya dan dia tentu sudah roboh tewas! Sungguh berbahaya!

Hay Hay melompat jauh ke depan, lalu berlari cepat seperti orang terhuyung ke kanan kiri sehingga sukarlah bagi si tinggi kurus untuk membidikkan lagi pistolnya. Sebentar saja Hay Hay sudah jauh meninggalkan mereka, kemudian lenyap di balik pohon-pohon di tepi sungai.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar