Si Kumbang Merah Jilid 59

Pandang matanya melihat pedang Kwan-im-kiam yang tadi dibuangnya karena pedang itu berubah menjadi ular. Sekarang pedang itu menggeletak di sana, tidak lagi berbentuk ular melainkan sebatang pedang biasa! Tahulah dia bahwa tadi dia berada di bawah pengaruh sihir! Kini, melihat Kwan-im-kiam menggeletak di sana, matanya berkilat dan tiba-tiba saja dia membuat gerakan ke kiri, menubruk ke arah pedang itu.

"Deessss....!"

Tubuhnya terpelanting akibat sebuah tendangan yang datang dari kiri dan tepat mengenai lambungnya. Tang Gun segera meloncat bangun lagi dan ternyata pedang Kwan-im-kiam telah berada di tangan Bi Lian. Gadis itu tersenyum mengejek.

"Pedang ini terlalu bersih untuk dijamah tanganmu yang kotor,” katanya dan menyimpan kembali pedang itu ke dalam sarung pedang yang sudah diambilnya dari atas meja, lantas memasang pedang itu di punggungnya. Dengan menyimpan pedang pusaka miliknya itu, berarti dia memandang rendah Tang Gun yang cukup dihadapinya dengan tangan kosong saja.

Tang Gun tidak melihat jalan lain kecuali membela diri. Cintanya terhadap Bi Lian lenyap seperti asap tipis tertiup angin, dan sekarang yang ada hanyalah kebencian dan keinginan untuk membunuh gadis itu atau setidaknya untuk dapat menghindarkan diri dari ancaman sumoi-nya ini.

Cinta nafsu memang tidak tahan uji. Cinta nafsu bukanlah cinta, melainkan rangsangan gairah nafsu belaka. Sekali nafsu itu terpuaskan, maka cintanya pun akan segera luntur, dan kalau nafsu itu tidak tercapai, maka cintanya berubah kebencian.

Dia menanamkan kepercayaan kepada diri sendiri bahwa dia telah mempelajari ilmu-ilmu yang dikuasai gadis itu. Setidaknya dia akan sanggup menandingi Siangkoan Bi Lian, apa lagi karena gadis itu pun tidak mempergunakan pedangnya.

Tang Gun menggerak-gerakkan kedua lengannya menghimpun tenaga dalam, kemudian sambil mengeluarkan bentakan nyaring dia segera menyerang dengan pukulan dahsyat. Melihat betapa suheng-nya atau lebih tepat bekas suheng itu memainkan ilmu silat Kim-ke Sin-kun, ilmu ciptaan ayah ibunya, hati Bi Lian menjadi makin penasaran dan marah. Dimainkannya ilmu ini mengingatkannya bahwa pemuda di depannya sudah menipu ayah ibunya sehingga mereka berkenan menerima Tang Gun sebagai murid dan mengajarkan ilmu itu kepadanya.

Maka Bi Lian juga memainkan ilmu silat itu dan mereka pun bertanding dengan seru dan mati-matian. Karena gerakan mereka sama, maka mereka nampak seperti sedang latihan saja. Akan tetapi sebenarnya mereka saling serang dengan dahsyat, dengan jurus-jurus maut. Biar pun Bi Lian menang matang latihannya, di samping tingkat kepandaian gadis ini memang lebih tinggi, namun Tang Gun masih dapat bertahan dengan kenekatannya.

Sementara itu Han Siong cepat meloncat keluar kamar itu sesudah mendengar ucapan Bi Lian tadi. Dia percaya sepenuhnya bahwa sumoi-nya itu pasti akan marnpu rnengalahkan lawannya. Sekarang dia harus lebih dahulu menolong Cia Kui Hong yang berada di kamar sebelah.

Seperti juga tadi, kini dia menendang roboh daun pintu kamar sebelah dan benar saja, di situ terjadi hal yang hampir sama. Tang Cun Sek sedang menggeluti Cia Kui Hong! Akan tetapi agaknya Tang Cun Sek tidak tergesa-gesa seperti Tang Gun. Dia mencoba untuk merayu dan menundukkan hati Kui Hong. Agaknya Cun Sek ingin gadis itu menyerahkan diri dengan suka rela, maka dia tidak tergesa-gesa hendak rnemperkosanya.

Berbeda dengan Bi Lian yang tadi sudah hampir diperkosa, kini keadaan Kui Hong masih mengenakan pakaian lengkap. Cun Sek hanya membelai dan merayunya, memeluk dan menciuminya tanpa Kui Hong dapat mengelak atau melawan. Gadis ini pun lemas tertotok sehingga tidak mampu menggerakkan kaki tangan, juga tidak mampu berteriak.

"Brakkkkk....!"

Sesudah daun pintu jebol, barulah Cun Sek terkejut. Agaknya pemuda ini tadi tidak begitu memperhatikan kegaduhan yang terjadi di kamar sebelah karena dibakar nafsu birahinya. Sesudah daun pintu kamar itu jebol baru dia terkejut dan cepat-cepat meloncat turun dari pembaringan, membalik sambil mencabut sepasang pedang Hok-mo Siang-kiam, pedang pasangan yang dirampasnya dari Cia Kui Hong.

"Keparat!" bentak Han Siong dan dia pun telah menerjang dengan pedang Gin-hwa-kiam. Sinar perak berkilat menyilaukan mata.

Cun Sek terkejut bukan main ketika mengenal siapa orangnya yang datang merobohkan daun pintu. Tentu saja dia mengenal Pek Han Siong, bahkan dia pernah dikalahkan oleh pemuda ini. Karena maklum betapa lihainya lawan ini, maka dia pun cepat menggerakkan sepasang pedang Hok-mo Siang-kiam, menangkis sambil mengerahkan tenaganya.

“Trangggg...!”

Sepasang pedang di tangan Cun Sek terpental hingga hampir terlepas dari pegangan. Dia terkejut bukan main karena dia sempat terhuyung ke belakang. Kesempatan itu langsung digunakan oleh Han Siong untuk melompat ke dekat pembaringan. Tangan kirinya cepat membuat totokan dua kali pada tubuh Kui Hong dan gadis ini pun terbebas dari totokan.

Cun Sek yang ketakutan meloncat ke pintu, akan tetapi Han Siong sudah mendahuluinya dan menghadang di pintu sambil membentak. "Engkau hendak lari ke mana?!”

Cun Sek terkejut dan semakin jeri, akan tetapi karena tidak melihat jalan keluar, dia pun menjadi nekat dan menyerang dengan sepasang pedangnya. Namun serangannya dapat ditangkis dengan mudah oleh Han Siong. Sementara itu Kui Hong menggerak-gerakkan kaki tangannya untuk mengusir kekakuan dan kepegalan, lalu dia meloncat ke depan.

"Saudara Pek Han Siong, serahkan jahanam ini kepadaku! Aku yang akan membereskan keparat ini!"

Pek Han Siong maklum akan perasaan Cia Kui Hong, karena itu setelah mendesak lawan sehingga Cun Sek meloncat ke belakang, dia lalu menyerahkan pedangnya kepada gadis itu.

"Nona Cia Kui Hong, pakailah pedang ini. Ini adalah pedang rampasan dari Sim Ki Liong, sekarang kuserahkan kepadamu untuk dikembalikan ke Pulau Teratai Merah!"

"Gin-hwa-kiam....!" Kui Hong berseru girang ketika menerima pedang itu dari tangan Han Siong.

Sesudah menyerahkan pedang Gin-hwa-kiam itu kepada Kui Hong yang dia percaya akan mampu mengalahkan Cun Sek, Han Siong lalu meloncat keluar untuk melihat keadaan Bi Lian. Bagaimana pun juga dia mengkhawatirkan keselamatan sumoi-nya atau gadis yang dicintainya itu…..

********************

"Trang...! Cring...! Tranggg…!"

Bunga api berpijar-pijar menyilaukan mata ketika berulang kali kedua senjata itu bertemu di udara. Hay Hay mengerahkan tenaga saktinya, namun lawannya, Si Kumbang Merah yang merupakan ayah kandungnya sendiri, ternyata memiliki tenaga yang dahsyat pula.

Pertandingan antara mereka merupakan pertandingan bisu, tidak ada yang menyaksikan, namun pertandingan itu merupakan pertarungan antara mati dan hidup bagi Ang-hong-cu Tang Bun An. Si Kumbang Merah ini maklum bahwa Hay Hay atau Tang Hay, puteranya yang amat dikagumi juga sangat disegani, tidak mungkin akan suka melepaskannya. Dan dia tidak mau ditangkap. Ditangkap berarti penghinaan besar sebelum kematian, mungkin dihukum buang atau dihukum seumur hidup, mungkin juga mati dikeroyok para pendekar yang sakit hati kepadanya.

Tidak, dia harus dapat membunuh Hay Hay kalau dia ingin bebas, maka pertandingan itu merupakan persoalan mati hidup baginya. Dia mengeluarkan seluruh ilmu simpanannya dan mengerahkan semua tenaganya. Hanya satu yang dia khawatirkan, yaitu bila pemuda itu mempergunakan sihirnya. Dia sendiri memiliki kekuatan untuk menolak pengaruh sihir, akan tetapi kalau kekuatan sihir pemuda itu terlalu kuat maka dia akan terpengaruh dan ini berarti dia akan celaka.

Namun sedikit pun tidak terpikir oleh Hay Hay untuk mempergunakan ilmu sihirnya. Tidak, dia harus menunjukkan kepada orang ini, ayah kandungnya, bahwa dia seorang pendekar gagah sejati. Dia akan menggunakan ilmu silat untuk menangkap orang tua itu.

Hal yang membuat Hay Hay mengalami kesulitan adalah karena dia tak mau membunuh lawannya, melainkan ingin menangkapnya hidup-hidup. Kalau saja dia berkelahi dengan tekad membunuh, kiranya tak akan demikian sukarnya seperti sekarang. Dia membatasi serangannya agar tidak sampai membunuh lawan bila sampai mengenai sasaran, dan hal ini tentu saja mengurangi daya serangnya, mengurangi kehebatan serangan itu.

"Trang…! Tranggg...!”

“Haiiiiittt....!”

Setelah dua kali pisau di ujung rantai itu bertemu pedang di tangan Hay Hay, tiba-tiba Si Kumbang Merah membuat gerakan berputar dan kini ujung lain dari rantai itu menyambar ganas. Ujung lain ini berupa kaitan runcing. Hay Hay kembali menggerakkan pedangnya menangkis karena sambaran itu amat cepat sampai mengeluarkan suara berdesing,.

"Cringgg...!"

Ujung rantai yang berbentuk kaitan itu sekarang melibat pedang dan kaitannya mengkait pedang. Pada saat Hay Hay menarik untuk melepaskan pedangnya dari libatan rantai itu, tiba-tiba pisau itu menyambar lagi ke arah lehernya!

Serangan susulan ini hanya mungkin terjadi karena Hay Hay tidak bermaksud membunuh lawannya. Kalau dia menghendaki, dapat saja dia mengerahkan tenaga mukjijat yang dia latih dari Song Lojin, tenaga sinkang yang diperkuat tenaga sihir sehingga rantai itu akan putus dan pedangnya dapat meluncur menusuk dada lawan. Akan tetapi karena dia tidak ingin membunuh lawannya ini, maka dia mengerahkan tenaga hanya untuk menarik lepas pedangnya dan hal ini membuat lawan memperoleh peluang untuk menyerangkan pisau di ujung rantai.

Dalam keadaan terdesak itu Hay Hay merendahkan tubuhnya mengelak. Gerakan ini pun kembali merupakan mengalah, hanya untuk menghindarkan diri. Apa bila dia mau, maka dengan kekuatan tangannya yang dahsyat dia dapat menyambar dan menangkap rantai di balik pisau itu, kemudian melontar balikkan pisau ke arah penyerangnya.

Keadaannya makin terdesak Karena sikap mengalah ini, dan selagi dia mengelak dengan merendahkan tubuhnya, Si Kumbang Merah yang banyak pengalaman, memiliki banyak tipu muslihat dalam ilmu silatnya, telah mengirim tendangan secara tiba-tiba.

"Dessss...!"

Tubuh Hay Hay terlempar. Dia cepat bergulingan untuk menghindarkan diri dari sambaran pisau dan kaitan berganti-ganti karena lawannya sudah mengejarnya dan menghujankan serangannya. Walau pun dia tidak terluka, namun dadanya yang tertendang terasa nyeri.

Dia berhasil menghindarkan desakan senjata lawan kemudian meloncat berdiri. Namun Si Kumbang Merah tidak memberinya kesempatan untuk mengatur kedudukannya dan terus melakukan serangan dengan gencar. Hanya dengan menggunakan langkah ajaib Jiauw-pouw Poan-san saja Hay Hay mampu menghindarkan diri dari semua sambaran senjata itu.


Pertandingan antara ayah dan anak ini sungguh hebat. Ang-hong-cu Tang Bun An sudah mengeluarkan seluruh simpanan kepandaiannya untuk bisa merobohkan puteranya, akan tetapi semua serangannya itu sia-sia belaka dan karena usianya, juga karena dia seorang yang semenjak muda sering menghamburkan tenaga melalui keroyalannya dengan kaum wanita, maka mulailah dia terengah-engah, tubuhnya penuh keringat dan tenaganya mulai berkurang.

“Tar-tarr-tarrr...!"

Tiba-tiba terdengar suara ledakan-ledakan kecil, dan sebatang cambuk dengan ganasnya menyambar-nyambar di atas kepala Si Kumbang Merah hingga membuat dia terkejut dan cepat memutar rantainya ke atas kepala sambil meloncat ke belakang.

"Mayang....!" kata Hay Hay yang juga langsung menghentikan serangannya. Dia merasa girang sekali melihat adiknya selamat, namun juga khawatir melihat gadis itu menyerang Ang-hong-cu. "Jangan mencampuri, biarkan aku sendiri menghadapinya! Ini adalah urusan antara aku dan dia!"

Mayang mengerutkan sepasang alisnya, bertolak pinggang dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya mengamangkan cambuknya ke arah Ang-hong-cu, matanya mencorong marah memandang kepada orang yang menjadi ayah kandungnya itu.

"Tidak, Koko. Ini juga urusanku! Aku harus membunuh iblis ini! Dia telah mempermainkan ibuku, menyia-nyiakan ibuku. Kemudian, walau pun dia tahu bahwa aku adalah anaknya, dia masih tega menjebakku, menawanku, bahkan dia menawan enci Kui Hong dan enci Bi Lian dengan niat yang amat jahat. Aku harus membunuhnya!"

Dia kembali menerjang dan cambuknya segera meledak-ledak menyerang Ang-hong-cu Tang Bun An yang cepat menggerakkan sepasang senjata pada kedua ujung rantai untuk membela diri sambil balas menyerang. Sim Ki Liong yang datang bersama Mayang telah menerjang maju pula untuk membantu Mayang.

"Sim Ki Liong, kau pengkhianat!" bentak Ang-hong-cu dengan marah. Akan tetapi Sim Ki Liong diam saja dan terus menyerang dengan pedangnya.

Melihat ini Hay Hay merasa tak enak sekali. “Ki Liong, mundurlah. Ini urusan antara ayah dan anak, orang luar tidak boleh mencampuri!” Dia meloncat ke dalam pertempuran dan mendengar ini, Sim Ki Liong meloncat keluar lapangan dan hanya menjadi penonton.

Dia masih merasa tidak enak terhadap Hay Hay karena bagaimana pun juga, tadinya dia adalah musuh pemuda itu. Baru sekarang dia benar-benar menyadari betapa dia sudah melakukan penyelewengan besar sejak dia melarikan diri dari Pulau Teratai Merah.

Hay Hay melompat ke depan, akan tetapi bukan untuk mengeroyok Si Kumbang Merah. Dia merasa malu untuk mengeroyok, karena itu dia membiarkan saja Mayang menyerang ayah mereka ini, sedangkan dia hanya bergerak untuk melindungi Mayang dari serangan Ang-hong-cu.

Tentu saja Ang-hong-cu menjadi repot bukan main. Bagaimana pun juga Mayang memiliki kepandaian yang sudah tinggi dan serangan dengan cambuknya itu dahsyat bukan main. Sedangkan semua serangan balasan dari Ang-hong-cu kalau tidak dapat dielakkan atau ditangkis gadis itu, tentu ditangkis oleh Hay Hay yang selalu melindungi Mayang!

"Tarrrrrr....!" Cambuk itu meledak keras ketika ujungnya menyambar ke arah kepala Ang-hong-cu.

Orang tua ini cepat mengelak dengan merendahkan tubuhnya ke samping kiri, dan sambil mengelak kaitan di ujung rantainya lantas menyambar dari bawah ke arah perut gadis itu. Mayang tidak mau mengandalkan bantuan kakaknya saja. Dia melompat ke kanan untuk menghindarkan serangan lawan sambil menggerakkan cambuknya lagi.

"Tarrr...!” Kini ujung cambuk menotok ke arah jalan darah di pundak lawan.

"Prattt!" Ang-hong-cu menangkis dengan rantainya, kemudian tiba-tiba dia bergulingan ke kiri.

Mayang agak bingung ketika melihat gerakan bergulingan ini. Akan tetapi karena lawan menjauh, disangkanya Ang-hong-cu hendak melarikan diri maka dia pun segera mengejar dengan loncatan.

"Singgg...!"

Kini pisau di ujung rantai menyambar dari bawah ke arah lutut Mayang. Gadis itu terkejut dan meloncat ke atas, akan tetapi kaitan baja itu mengejarnya, menyambar ke arah perut.

“Tranggg…!" Kaitan itu terpental oleh tangkisan Hay Hay yang melihat datangnya bahaya mengancam adiknya.

“Jahanam!" Mayang memaki, kemudian cambuknya menyambar dahsyat sampai tiga kali beruntun.

"Tar-tarr-tarrr....!”

Ang-hong-cu kembali bergulingan mengelak sambil menjauh, akan tetapi tetap saja ujung cambuk itu menyambar ke arah punggung.

"Bretttt....!" Robeklah punggung baju itu, bahkan kulit punggungnya sempat dipatuk ujung cambuk sehingga terluka dan berdarah!

Ang-hong-cu mengeluarkan teriakan nyaring dan sekarang rantainya menyambar-nyambar sedemikian dahsyatnya sehingga Mayang terpaksa harus berloncatan ke belakang untuk menghindarkan diri dan hanya karena ada gulungan sinar pedang Hong-cu-kiam sajalah maka gelombang serangan rantai itu bisa dibendung, bahkan kemudian serangan cambuk dari Mayang kembali membuat Ang-hong-cu kelabakan.

Keadaan Si Kumbang Merah ini makin payah karena serangan-serangan Mayang cukup berbahaya sedangkan dia tak mampu membalas karena gadis itu terus dilindungi pedang ditangan Hay Hay. Kini napasnya semakin memburu dan pakaiannya sudah basah oleh keringat sehingga bau cendana makin semerbak keluar dari tubuhnya.

Sementara itu, ketika Pek Han Siong meninggalkan Cia Kui Hong yang menghadapi Tang Cun Sek dan cepat pergi melihat keadaan Siangkoan Bi Lian, pertandingan antara Bi Lian dan Tang Gun telah berpindah keluar kamar. Tang Gun membela diri mati-matian, bahkan tidak lagi bertangan kosong karena ketika didesak, dia menyambar benda apa saja untuk dijadikan senjata. Kursi, bangku, pot bunga dan apa saja, tapi semua senjata sementara itu dapat dipukul atau ditendang hancur oleh Bi Lian yang sudah marah sekali.

Tang Gun berusaha lari dan meloncat ke luar kamar, akan tetapi dengan cepat sekali Bi Lian langsung mengejarnya dan kini Tang Gun mati-matian membela diri karena didesak terus oleh Bi Lian. Ketika Han Siong muncul, pemuda ini pun hanya berdiri di pinggir dan menjadi penonton. Dia tentu saja tidak mau mengeroyok, apa lagi melihat betapa Bi Lian sama sekali tidak membutuhkan bantuan.

Sepasang mata Tang Gun melotot karena marah dan juga merasa takut, mulutnya kering berbusa dan pipi kanannya bengkak membiru karena tadi terkena tamparan tangan kiri Bi Lian. Juga kini gerakan kakinya kurang tangkas karena paha kirinya juga pernah tercium ujung sepatu Bi Lian sehingga kain celana di paha berikut kulit serta dagingnya terobek dan berdarah.

"Hyaaaattt....!" Bi Lian menyerang kembali, serangan pancingan dengan sebuah jurus dari Kim-ke Sin-kun yang sudah dikenal baik oleh Tang Gun.

Melihat ini tahulah Tang Gun bagaimana dia harus menghadapi serangan yang dilakukan dengan tendangan terbang itu. Tubuh Bi Lian meluncur dari atas bagaikan seekor ayam yang menerjang lawan. Serangan ini hampir tidak mungkin untuk ditangkis. Menangkisnya berarti membahayakan diri sendiri, maka Tang Gun mengambil jalan yang paling aman. Dia tidak menyambut serangan, melainkan melempar tubuh ke belakang untuk mengelak, lalu berguling dan meloncat.

Dia tidak tahu bahwa gerakannya ini sudah diperhitungkan oleh Bi Lian dan gadis ini pun bergulingan di atas tanah mengejar. Begitu Tang Gun meloncat bangun, tiba-tiba gadis itu pun meloncat dan menyerang dari bawah sambil mengeluarkan suara melengking.

Tang Gun terkejut, tidak mengenal serangan ini dan karenanya dia menjadi bingung. Apa lagi ketika dara itu mengeluarkan suara gerengan melengking, tiba-tiba jantungnya terasa bagaikan diremas, kedua kakinya menggigil dan ketika kedua tangan gadis itu dari bawah memukul dengan jari tangan terbuka, mengenai perut dan dadanya, dia pun terjengkang dan roboh terlentang dalam keadaan tewas seketika!

Memang Bi Lian tidak lagi menggunakan ilmu dari orang tuanya, melainkan menggunakan ilmu pukulan yang dibarengi dengan ho-kang atau teriakan yang menggetarkan jantung lawan, yang pernah dipelajarinya dari seorang di antara dua gurunya yang menjadi datuk-datuk sesat, yaitu Tung Hek Kwi (Iblis Hitam Timur)!

Dia pun meloncat berdiri dan seperti patung memandang kepada tubuh Tang Gun yang sudah tak bernyawa lagi. Dia membayangkan betapa tadi Tang Gun telah menggelutinya, bahkan menelanjanginya, maka dia pun meludah ke arah mayat itu.

"Sumoi...!" Pek Han Siong memanggil.

Bi Lian memutar tubuhnya. Begitu melihat Han Siong, bayangannya lalu berlanjut. Betapa Han Siong melihat keadaannya yang telanjang bulat, betapa pendekar itu membebaskan totokannya, kemudian memenuhi permintaannya untuk tidak ikut menyerang Tang Gun.

"Suheng....!" Bi Lian pun menggigil teringat akan bahaya yang tadi mengancam dirinya.

"Kenapa, Sumoi... ?" Han Siong melompat dan berdiri mendekatmya. "Engkau kenapa?"

Bi Lian menggeleng kepalanya. "Tidak apa-apa, Suheng... hanya aku teringat tadi... kalau engkau tidak cepat datang menolongku.... ahhhh.... si keparat itu...”

"Sudahlah, Sumoi. Jangan dipikirkan lagi. Mari kita melihat keadaan nona Cia Kui Hong. Lihat, dia masih berkelahi melawan Tang Cun Sek. Bahkan kini mereka berkelahi di luar rumah."

Keduanya lantas berloncatan menuju ke pekarangan pondok itu di mana Kui Hong masih bertanding melawan Tang Cun Sek. Memang Tang Cun Sek jauh lebih lihai dibandingkan Tang Gun, maka dibandingkan Siangkoan Bi Lian, Cia Kui Hong menghadapi lawan yang lebih tangguh dan tidak begitu mudah ditundukkan.

Tang Cun Sek maklum bahwa nyawanya berada dalam ancaman maut. Ketika Pek Han Siong membebaskan totokan Kui Hong sehingga membuat gadis itu dapat bergerak lagi, kemudian Han Siong menyerahkan Gin-hwa-kiam kepada gadis itu, tentu saja dia merasa khawatir bukan main. Dia tahu betapa lihainya Pek Han Siong, juga Cia Kui Hong.

Menghadapi Pek Han Siong seorang diri saja dia pasti kalah, dan juga dia pernah kalah saat bertanding melawan Kui Hong dalam memperebutkan kedudukan ketua Cin-ling-pai. Kalau sekarang dua orang itu mengeroyoknya tentu dia akan roboh dalam waktu singkat. Akan tetapi kemudian Han Siong meninggalkan mereka dan hal ini membuat dia melihat harapan untuk dapat meloloskan diri. Dia lalu meloncat keluar dari dalam kamar.

"Jahanam busuk, engkau hendak lari ke mana?!" Kui Hong mengejar.

Ketika tiba di luar pondok, Cun Sek baru teringat akan keterangan Ang-hong-cu bahwa bukit itu tidak mempunyai jalan keluar kecuali melalui terowongan bawah tanah tadi! Dia menjadi bingung, namun pada saat itu pula Kui Hong sudah menyusulnya dan langsung menyerangnya. Sinar perak bergulung-gulung menyambar ke arahnya. Cun Sek terpaksa mencurahkan seluruh perhatiannya untuk melawan Kui Hong.

Seperti juga pertandingan antara Siangkoan Bi Lian melawan Tang Gun tadi, sekarang pertandingan antara Cun Sek dan Kui Hong juga merupakan pertandingan antar saudara seperguruan. Seperti yang kita ketahui, Cun Sek sudah mewarisi ilmu-ilmu simpanan dari Cin-ling-pai, sedangkan Kui Hong adalah puteri ketua Cin-ling-pai, bahkan kini dia adalah ketuanya!

Akan tetapi Kui Hong memiliki satu kelebihan dari Cun Sek. Selain ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai yang sudah dikuasainya lebih matang dari pada Cun Sek, juga dia sudah digembleng oleh kakek dan neneknya di Pulau Teratai Merah. Inilah kelebihan itu, yang membuat Kui Hong lebih unggul dibandingkan Cun Sek.

Dan Kui Hong benar-benar memanfaatkan kelebihannya ini. Walau pun Cun Sek mampu membela diri dengan baik dan rapat, akan tetapi lambat laun dia terdesak hebat oleh Kui Hong. Sekarang Gin-hwa-kiam telah berada di tangannya, maka dia pun memainkan ilmu pedang tunggal Gin-hwa Kiam-sut yang dipelajari dari kakeknya, sambil kadang-kadang mencari lowongan untuk memasukkan pukulan ampuh Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih) dengan tangan kirinya.

Ketika Pek Han Siong dan Siangkoan Bi Lian tiba di sana, Kui Hong sedang mendesak Cun Sek dengan hebatnya. Melihat ini Bi Lian dan Han Siong tidak mau membantu tetapi hanya menonton. Diam-diam mereka kagum karena gerakan Kui Hong amat dahsyatnya. Jelas bahwa gadis ini sudah memperoleh kemajuan pesat sekali dan semakin hebat saja kepandaiannya sehingga pantaslah kalau dia menjadi ketua Cin-ling-pai.

Kui Hong tahu akan kemunculan Han Siong dan Bi Lian, maka dia pun dapat menduga bahwa Bi Lian sudah berhasil ‘membereskan’ Tang Gun. Ia merasa penasaran karena dia sendiri belum dapat merobohkan Tang Cun Sek. Maka dia segera mengeluarkan seruan melengking nyaring dan memutar pedang Gin-bwa-kiam dengan cepat serta mengandung tenaga yang amat kuat untuk menempel dua batang pedang lawan.

Cun Sek terkejut sekali karena kedua pedangnya ikut terputar dan untuk menyelamatkan dirinya, dia cepat menarik sepasang pedang itu sambil meloncat mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kui Hong. Dia menancapkan pedangnya di atas tanah, lalu melompat ke depan dengan tubuh hampir bertiarap setengah berjongkok sambil kedua tangannya didorongkan ke depan dengan suara melengking.

"Hyaaaaattt...!"

Tenaga dahsyat menyambar keluar. Itulah sebuah di antara jurus ilmu silat Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Penakluk Naga) yang hanya delapan jurus namun yang sangat hebat dan dahsyat. Ilmu ini dipelajarinya dari kakeknya, dan merupakan ilmu ciptaan Bu-beng Hud-couw yang menjadi guru kakeknya, Pendekar Sadis.

"Desssss...!"

Walau pun dia berusaha untuk membabat dengan pedangnya, namun sepasang lengan dara itu menerobos sehingga hawa pukulannya membuat sepasang pedangnya terpental, lalu bagian bawah dada Cun Sek kena dihantam oleh pukulan sakti itu. Dia mengeluarkan suara parau lantas terjengkang, sepasang pedang Hok-mo Siang-kiam terlempar ke atas dan dia pun tewas seketika.

Kui Hong meloncat ke atas dan dengan dua tangannya dia menyambut sepasang pedang miliknya itu, kemudian mencabut pula Gin-hwa-kiam dari atas tanah. Dengan tenang dia lalu menghampiri Han Siong dan Bi Lian.

"Jahanam itu sudah kau bereskan?" tanyanya kepada Bi Lian dan gadis ini mengangguk. Kui Hong lalu memandang kepada Pek Han Siong.

"Saudara Pek Han Siong, aku berterima kasih sekali atas pertolonganmu tadi, dan ini aku kembalikan Gin-hwa-kiam yang kau pinjamkan kepadaku tadi."

Han Siong memberi hormat dan menolak dengan halus. "Ahh, nona Cia Kui Hong, kenapa berterima kasih. Di antara kita tidak ada pelepasan budi, yang ada hanyalah saling bantu. Tidak usah sungkan, dan tentang Gin-hwa-kiam ini, pusaka ini adalah milik Pulau Teratai Merah, maka sudah sepatutnya berada di tanganmu. Aku hanya meminjam dari saudara Tang Hay... ahh, di mana Hay Hay? Kenapa dia tidak nampak...?”

"Kau maksudkan, dia datang bersamamu?" tanya Kui Hong tertarik.

"Memang kami datang berdua, mengejar Ang-hong-cu. Ia mengambil jalan belakang, aku dari depan dan... ahhh, dengar. Itu suara cambuk! Seperti cambuk yang biasa digunakan Mayang. Mari!" Han Siong lalu berlari ke arah belakang pondok dan dari jauh saja sudah nampak adanya pertempuran di puncak belakang pondok itu.

Mereka bertiga berlari menghampiri. Ternyata Mayang sedang berkelahi dengan seorang pria setengah tua yang wajahnya mirip Han Lojin akan tetapi tanpa jenggot dan kumis.

"Hemm, agaknya inilah wajah yang asli dari Ang-hong-cu!" kata Han Siong.

Mereka melihat betapa Mayang terus mendesak dan menghujankan serangan cambuknya kepada Ang-hong-cu yang tidak dapat membalas lagi karena gadis itu dilindungi oleh Hay Hay. Pakaiannya sudah tercabik-cabik dan mukanya sudah penuh guratan merah akibat terkena ujung cambuk. Namun Ang-hon-cu masih melawan sekuat tenaga.

"Jahanam, kiranya engkau masih di sini?" tiba-tiba Kui Hong membentak, kemudian sekali loncat tubuhnya sudah berada di depan Sim Ki Liong.

Sim Ki Liong nampak tenang saja bahkan menundukkan mukanya, sama sekali tidak ada gerakan atau sikap melawan. Melihat ini Kui Hong menahan tangannya yang sudah gatal untuk menyerang pemuda yang dibencinya ini. Pemuda yang minggat melarikan diri dari Pulau Teratai Merah, melarikan Gin-hwa-kiam, bahkan bersekutu dengan orang jahat dan ikut pula menangkapnya.

"Sim Ki Liong, hayo cepat gunakan senjatamu. Di sini kita selesaikan semua perhitungan di antara kita. Aku mewakili kakek dan nenekku di Pulau Teratai Merah untuk menghukum engkau, juga aku bertindak atas diri sendiri untuk membasmi kejahatanmu."

"Nona, aku Sim Ki Liong memang telah melakukan dosa besar terhadap suhu dan subo di Pulau Teratai Merah. Juga aku telah tersesat dan menyeleweng sehingga bergaul dengan orang jahat. Kalau engkau hendak mewakili suhu dan subo menghukumku, silakan, Nona. Aku siap menerima hukuman mati sekali pun, aku tidak akan melawan dan aku menerima kesalahanku."

Kui Hong tertegun. Tidak percaya. Dia tahu bahwa Sim Ki Liong lihai dan belum tentu dia akan dapat mengalahkan bekas murid kakek dan neneknya ini secara mudah. Bagaimana kini pemuda itu menyerah begitu saja, rela dihukum mati sekali pun tanpa melawan?

"Sim Ki Liong!" bentaknya dengan gemas. "Cabut senjatamu! Aku tidak sudi menyerang orang yang tidak melawan. Jangan menjadi pengecut engkau!"

Mendadak Ki Liong menjatuhkan diri berlutut, tidak menghadap Kui Hong melainkan ke arah selatan, lalu terdengar suaranya penuh kedukaan dan penyesalan, "Suhu dan subo telah mendidik teecu, telah mencurahkan kasih sayang dan melimpahkan ilmu-ilmu, akan tetapi teecu telah membalasnya dengan pengkhianatan. Teecu merasa bersalah dan jika suhu dan subo mengutus nona Cia Kui Hong untuk menghukum teecu, maka teecu akan menerimanya dengan rela. Mohon suhu dan subo memberi ampun agar arwah teecu tidak terlalu tersiksa."

Mendengar ini Kui Hong mengerutkan alisnya. Dia masih menganggap bahwa Ki Liong berpura-pura atau bersandiwara agar dia merasa iba. Maka dia berkata lantang, "Bagus! Kalau begitu biarlah aku mewakili kakek dan nenek memberi hukuman mati, hitung-hitung aku melenyapkan seorang manusia iblis yang mengacaukan dunia!"

Ia melangkah maju dan Ki Liong menundukkan kepala, seolah menjulurkan lehernya dan siap untuk menerima pancungan pedang Kui Hong.

"Enci Kui Hong, jangan...!" Tiba-tiba Mayang meloncat meninggalkan Ang-hong-cu.

Teriakan ini mengejutkan Kui Hong sehingga dia menahan gerakan pedangnya. Mayang kini berdiri di depan Kui Hong, membelakangi Ki Liong yang masih berlutut.

"Enci Kui Hong, jangan bunuh dia!"

Kui Hong mengerutkan alisnya dan memandang dengan galak. “Mayang, dia ini seorang yang jahat sekali! Minggirlah, dia harus dilenyapkan dari permukaan bumi!”

“Tidak, enci Kui Hong! Biar pun dia pernah tersesat, namun dia sudah menyadarinya dan bertobat. Bahkan dia sudah menyelamatkan aku. Tidak, kalau engkau memaksa hendak membunuhnya, kau bunuh aku lebih dulu, enci Kui Hong!” Ucapan Mayang ini membuat Ki Liong terbelalak dan sinar kegembiraan memancar dari sepasang matanya.

“Adik Mayang, jangan engkau membelaku seperti itu. Aku tidak berharga..."

"Mayang, minggir kau!” Kui Hong membentak.

"Tidak, enci!" Suara Mayang tegas sekali sehingga Kui Hong tertegun.

"Aihh, Mayang. Ada apa dengan engkau? Mengapa engkau mendadak melindungi Sim Ki Liong?" tanyanya penasaran.

"Enci Kui Hong, karena dia mencintaku, dan aku... aku juga cinta padanya. Aku pernah mencinta Hay-koko, akan tetapi ternyata kami masih saudara seayah sehingga terpaksa aku harus berpisah darinya. Sekarang jangan engkau memaksa aku berpisah pula dari orang yang kucinta."

Semua orang terbelalak, kagum dengan keberanian serta ketulusan hati gadis peranakan Tibet itu, juga merasa terharu. Akan tetapi Kui Hong yang marah sekali kepada Ki Liong, mengerutkan alisnya.

"Mayang, jangan memaksa aku untuk merobohkanmu terlebih dahulu supaya aku dapat membunuh keparat itu."

"Aku bersedia mati bersama dia, enci Kui Hong!"

Pada saat yang menegangkan itu Hay Hay sudah bertanding kembali melawan Ang-hong-cu. Akan tetapi telinganya mendengar dan mengikuti perdebatan itu, dan hatinya menjadi gelisah bukan main.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar