Jodoh Si Mata keranjang Jilid 04

Seperti yang dialami oleh kakek Cia Kong Liang, Hui Song juga merasa terkejut dan heran ketika dia diajak Ciok Gun menuju ke sebuah pondok yang berada di hutan dekat puncak bukit itu. Seingatnya, tidak pernah ada pondok di situ!

"Pondok milik siapakah ini?" tanyanya ketika Ciok Gun berhenti. Akan tetapi Ciok Gun memberi isyarat dengan telunjuk di depan mulut.

"Ssttt... teecu melihat ayah dan putera Suhu di sebuah ruangan. Mari...!" bisiknya dan dia pun langsung menyelinap masuk ke dalam rumah itu melalui sebuah pintu samping kecil yang terbuka.

Hui Song juga menyelinap masuk dengan sikap hati-hati. Sebagai seorang pendekar yang berpengalaman, dia sudah dapat ‘merasakan’ adanya sesuatu yang tidak beres, maka dia pun siap siaga menghadapi segala kemungkinan yang mengancam dirinya.

Mereka tiba di ruangan belakang dan Ciok Gun memberi isyarat kepada Hui Song untuk mendekat. Hui Song lantas mengintai dari jendela. Kamar di dalam itu diberi penerangan lampu gantung sehingga cukup terang. Begitu mengintai ke dalam, dia terkejut akan tetapi sekaligus juga girang. Ayahnya dan puteranya berada dalam kamar itu. Akan tetapi yang mengejutkan hatinya adalah karena keduanya terbelenggu kaki tangannya.

"Ayah! Kui Bu...!” Dia berseru lantas sekali tubuhnya bergerak, terdengar suara keras dan daun jendela itu telah jebol dan tubuhnya melayang ke dalam ruangan yang luas itu.

Akan tetapi dari kanan kiri tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan kini di depannya telah berdiri empat orang. Tiga orang laki-laki berjubah pendeta yang usianya antara lima puluh sampai enam puluh tahun serta seorang wanita muda berusia dua puluh lima tahun yang cantik dan pesolek, bersikap genit dengan senyum dan pandang matanya.

Hui Song melihat betapa Ciok Gun juga sudah memasuki ruangan itu, bahkan mendekati ayahnya dan puteranya. Akan tetapi yang sangat mengejutkan hatinya, murid Cin-ling-pai itu sama sekali tidak bersikap melindungi atau ingin menolong mereka. Bahkan dia duduk di atas bangku di sudut ruangan dengan tenang dan dingin, seperti sebuah patung saja!

“Selamat datang, pendekar besar Cia Hui Song!" kata wamta itu sambil tersenyum manis dengan gaya yang memikat. "Kiranya tidak bohong berita yang kudengar bahwa pendekar Cia Hui Song adalah seorang pria yang gagah dan ganteng!"

Hui Song mengerutkan kedua alisnya. Tahulah dia bahwa dia tengah berhadapan dengan seorang wanita yang amat jahat dan cabul. Ketika dia melirik ke arah ayahnya, dia melihat betapa orang tua itu tak mampu bergerak, bahkan tidak mampu bersuara, hanya matanya saja yang menatap kepadanya dengan pandangan khawatir. Juga puteranya rebah miring dalam keadaan terbelenggu tanpa bersuara. Tentu saja dia merasa gelisah bukan main ketika melihat keadaan mereka.

"Siapakah kalian?” Suaranya terdengar tegas, juga mengandung getaran kuat karena dia sedang marah. “Apakah kalian yang menawan ayahku dan puteraku?”

Bi Hwa tersenyum. "Mereka menjadi tamu kami, seperti juga engkau, Cia Hui Song. Kami ingin bicara denganmu, maka kami mengutus Ciok Gun untuk mengundangmu ke sini.”

“Ciok Gun...? Dia... dia... hemm, bebaskan dulu ayahku dan puteraku!”

"Nanti setelah kita bicara, pendekar yang tampan!”

"Keparat! Mereka akan kubebaskan sendiri!" Hui Song langsung bergerak ke depan untuk menghampiri ayahnya dan puteranya. Melihat ini, Su Bi Hwa yang memang ingin menguji kepandaian orang yang paling terkenal di Cin-ling-pai itu, maju menghalang.

"Minggir kau, perempuan iblis!" bentak Hui Song dan dia pun mendorong ke arah Bi Hwa. Wanita itu sengaja menyambut dengan tangannya sambil mengerahkan tenaganya.

"Dukkk...!”

“Aihhhh...!" Bi Hwa terdorong dan terjengkang sampai terguling-guling.

Diam-diam Hui Song terkejut juga merasakan betapa kuatnya tenaga wanita itu. Ketika dia hendak maju terus, tiga orang tosu itu telah berdiri menghadang di depannya. Dia tahu bahwa dia harus menghadapi pengeroyokan mereka dulu sebelum dapat membebaskan ayahnya dan puteranya. Tempat itu cukup luas untuk berkelahi secara keroyokan. Yang membuat dia khawatir hanyalah keadaan ayahnya dan puteranya.

"Ciok Gun, bebaskan sukong-mu dan sute-mu!" bentaknya kepada Ciok Gun. Akan tetapi sekali ini Ciok Gun tetap duduk diam laksana patung, tidak bergerak sama sekali seolah tidak mendengar perintah itu.

“Hemm, kalian iblis-iblis jahat. Berani kalian mengacau Cin-ling-pai?!" bentaknya dan dia pun segera menyerang orang terdekat, yaitu Siok Hwa Cu yang bertubuh gendut pendek dan bermuka hitam. Dengan tenaga Thian-te Sin-ciang, tangan kanannya menampar ke arah kepala lawan yang pendek gendut itu. Siok Hwa Cu cepat mengerahkan tenaganya dan mengangkat kedua lengannya menangkis.

"Dukkk...!"

Hui Song merasa betapa tubuhnya tergetar oleh tangkisan itu. Akan tetapi Siok Hwa Cu terhuyung dan dia pun cepat menjatuhkan dirinya lantas bergulingan. Melihat ini Kim Hwa Cu sudah menyerang dari samping, menghantam ke arah lambung Hui Song. Pendekar ini mengelak dengan loncatan ke belakang, namun pada saat itu Lan Hwa Cu yang tinggi besar sudah mengirim pukulan pula ke arah kepalanya. Maka dia pun menangkis sambil mengerahkah tenaga sepenuhnya.

"Dukkk…!"

Kembali dia tergetar hebat walau pun lawannya juga terpental ke belakang. Secara diam-diam Hui Song terkejut. Ternyata empat orang lawan ini memiliki kepandaian yang tinggi dan dalam hal tenaga sinkang, tidak kalah jauh olehnya! Dia sama sekali tidak gentar dan pasti akan menang kalau melawan mereka satu per satu. Akan tetapi kalau mereka maju bersama, berat juga baginya. Padahal dia harus menyelamatkan ayahnya dan puteranya.

Yang lebih kaget adalah ketiga orang tosu Pek-lian-kauw itu. Sungguh pun mereka sudah menduga bahwa Cia Hui Song tentu lihai sekali, lebih lihai dari pada ayahnya yang sudah tua, namun tidak mereka sangka pria itu akan mampu membuat mereka terpental. Hal ini adalah karena mereka bertiga ini sudah terbiasa memandang diri sendiri terlalu tinggi.

“Hyaatttt...!” Hui Song mengeluarkan suara melengking nyaring kemudian tubuhnya telah menyambar-nyambar dengan kuatnya.

Tiga orang tosu itu mengepung ketat, namun mereka tidak berani mendesak terlalu dekat karena dua tangan pendekar itu mengeluarkan hawa pukulan yang amat kuat. Hui Song mengerahkan seluruh tenaganya karena maklum bahwa perkelahian itu akan menentukan tertolong atau tidaknya ayah dan puteranya.

Tiba-tiba terdengar suara wanita itu. "Tahan, hentikan perkelahian. Suhu semua mundur!"

Tiga orang tosu itu berlompatan mundur karena yakin akan kecerdikan Bi Hwa. Juga Hui Song segera menahan gerakannya karena khawatir terjebak. Dia melihat tiga orang tosu itu kini berdiri di dekat wanita itu, menghalangi dia menghampiri ayahnya dan puteranya. Sedangkan wanita itu telah menodongkan pedangnya pada leher Cia Kong Liang dan Cia Kui Bu yang rebah berdampingan!

"Cia Hui Song, lihatlah baik-baik. Jika engkau masih hendak mempergunakan kekerasan maka terpaksa aku akan menggorok leher ayahmu dan puteramu!"

Sebelumnya Bi Hwa yang cerdik itu telah memulihkan totokan di leher kedua orang kakek dan cucu itu sehingga kini keduanya dapat mengeluarkan suara.

"Ayah...! Ayah...!” Kui Bu memanggil sambil menangis sesenggukan. Anak itu betul-betul menderita, tubuhnya sakit-sakit karena dicambuki dan juga ketakutan.

Akan tetapi ayahnya membentak nyaring. "Hui Song, serang mereka! Bunuh mereka yang amat jahat itu! Cin-ling-pai berada dalam bahaya. Bunuh mereka, jangan pedulikan aku!"

"Ayah..., Kui Bu juga dalam bahaya..." Hui Song menjadi lemas karena dia tahu bahwa ancaman seorang yang berwatak kejam seperti wanita itu bukan hanya gertakan kosong belaka. Wanita itu tentu akan tega menggorok leher Kui Bu dan ayahnya seperti yang tadi diancamkannya.

"Lawan mereka! Kalau engkau menyerah pun hanya percuma saja, akhirnya mereka akan membunuhmu, membunuh aku dan Kui Bu juga. Lawan dan bunuh mereka, Hui Song!" kembali Cia Kong Liang berteriak-teriak.

"Tukkk!"

Kim Hwa Cu menotok hingga kakek itu pun terkulai pingsan. Melihat ini Hui Song marah bukan main, akan tetapi dia tidak berani bergerak karena leher puteranya masih ditodong pedang wanita itu.

"Bagairnana, Cia Hui Song, engkau mau berdamai dan menyerah ataukah kubunuh dulu ayahmu dan puteramu, kemudian baru kami keroyok engkau?" Bi Hwa bertanya dan nada suaranya penuh kemenangan.

Lemas seluruh tubuh Hui Song. Mungkin hatinya masih dapat tega melihat ayahnya yang sudah tua terbunuh, karena ayahnya akan tewas sebagai orang gagah. Tetapi bagaimana mungkin dia tega kalau melihat puteranya yang baru berusia lima tahun itu disembelih di hadapannya?

"Katakan lebih dulu, apa kehendakmu jika aku tidak melawan?" katanya, suaranya masih berwibawa, namun sudah tidak lantang dan tegas lagi seperti tadi.

"Kami hanya akan menjadikan engkau sebagai tawanan kami... eh, maksudku tamu kami seperti ayahmu dan puteramu. Kami tidak akan membunuh kalian asal engkau mentaati permintaan-permintaan kami."

"Hemmm, harus dilihat dulu apa permintaan itu. Dan sebetulnya siapakah kalian dan apa maksud kalian melakukan semua ini?"

"Cia Hui Song, engkau tawanan kami, tak perlu banyak menuntut. Kami tidak membunuh ayahmu dan anakmu, dan engkau menjadi tawanan kami. Nah, engkau berjanji tidak akan melawan? Kami pun berjanji tidak akan membunuh kalian bertiga."

Hui Song memandang ayahnya yang masih pingsan, lantas kepada anaknya yang masih menangis lirih, dan akhirnya kepada tiga orang pendeta itu.

"Aku mau berjanji, akan tetapi kalian berempat juga harus mengucapkan janji kalian untuk tidak mengganggu ayahku dan puteraku. Apa bila hanya engkau saja yang berjanji, Nona, terus terang aku tidak percaya."

"Baik, kami berjanji. Suhu, berjanjilah kalian!" kata Bi Hwa.

Dengan heran Hui Song melihat betapa tiga orang tosu yang disebut suhu oleh gadis itu begitu taat. Mereka mengangguk kemudian serentak mereka berkata sambil memandang kepadanya.

"Cia Hui Song, kami berjanji tidak akan membunuh ayahmu dan puteramu kalau engkau menyerah dan tidak melawan."

Hui Song tak habis mengerti bagaimana tiga orang guru demikian taat kepada muridnya, padahal murid itu seorang wanita muda. Melihat kekuatan mereka, dia tahu bahwa murid itu tidak lebih kuat dari pada mereka bertiga! Akan tetapi dia tidak peduli.

Dia tidak tahu bahwa karena kecerdikannya, Tok-Ciang Bi Moli Su Bi Hwa sudah diangkat oleh pimpinan Pek-lian-kauw menjadi pemimpin rombongan pelaksana tugas itu sehingga di dalam tugas itu, tiga orang gurunya menjadi orang-orang bawahannya atau pembantu-pembantunya. Di samping itu, memang biasanya mereka itu kalah pengaruh oleh Bi Hwa, apa lagi Kim Hwa Cu dan Siok Hwa Cu yang juga menganggap gadis itu sebagai kekasih mereka.

"Aku pun berjanji tidak akan melawan lagi dan akan memenuhi permintaan kalian, asalkan permintaan itu tidak berlawanan dengan hatiku dan tidak melakukan kejahatan!”

“Tentu saja!” kata Bi Hwa. "Ciok Gun, kau bawa kakek dan cucunya itu ke kamar tahanan hijau!"

"Baik, Su-siocia!" kata Ciok Gun dan bagaikan patung yang baru saja dapat bergerak, dia pun bangkit dan berjalan menghampiri kakek Cia Kong Liang. Dipanggulnya tubuh kakek itu, kemudian mengempit tubuh Kui Bu yang masih menangis itu dibawa keluar dari situ.

"Ayah...!”

"Kui Bu, diamlah dan jangan cengeng! Kau jaga kongkong-mu baik-baik," kata Hui Song sambil menabahkan hatinya yang rasanya seperti diremas-remas.

"Awas kalian berempat. Bila sampai ayahku atau anakku diganggu, aku bersumpah akan membunuh kalian!" katanya setelah Ciok Gun membawa kedua orang itu pergi.

"Hi-hik-hik, kami tidak akan begitu bodoh Cia-taihiap (pendekar besar Cia)!" kata Bi Hwa sambil tersenyum manis.

Kini ia menyebut taihiap kepada Hui Song, sebutan yang amat menyakitkan hati pendekar itu karena pada saat itu dia sama sekali tidak merasa sebagai seorang pendekar, apa lagi pendekar yang besar. Dia merasa dirinya seperti seorang pengecut yang sudi menyerah begitu saja kepada orang-orang jahat! Akan tetapi, apa daya? Puteranya dalam bahaya. Kalau dia tidak menyerah, tentu iblis-iblis itu akan membunuh anaknya dan ayahnya.

"Kami tidak bermaksud membunuh siapa-siapa, bahkan kami juga tidak ingin memusuhi Cin-ling-pai. Sekarang engkau menjadi tamu kami, dan marilah kami antarkan engkau ke kamarmu,” kata pula wanita itu dengan sikap genit sekali.

Tanpa berbicara apa-apa lagi Hui Song mengikuti Bi Hwa yang berjalan di depannya, ada pun tiga orang tosu itu berjalan di belakangnya. Kalau dia mau, dengan sekali serang saja dia tentu akan dapat membunuh wanita yang berada di depannya itu, kemudian dia pun akan mampu melawan mati-matian kalau dikeroyok tiga orang tosu di belakangnya. Akan tetapi, andai kata tindakannya itu dapat membunuh mereka berempat, tetap saja anaknya dan ayahnya terancam bahaya maut. Dia tidak tahu berapa banyak anak buah mereka, dan di sini ada pula Ciok Gun yang agaknya telah berada dalam cengkeraman kekuasaan mereka.

Maka dia cepat menahan gejolak hatinya dan mengikuti dengan patuh ketika dia dibawa memasuki sebuah pintu rahasia yang membuka sebuah lorong bawah tanah! Orang-orang ini ternyata sudah membuat persiapan, pikirnya. Mereka bahkan sudah membuat lorong rahasia di bawah pondok itu.

Lorong itu cukup panjang, lebih dari seratus meter panjangnya. Dia lalu disuruh masuk ke dalam sebuah kamar bawah tanah. Dari kamar yang mempunyai jendela beruji besi yang kokoh kuat itu dia dapat melihat betapa kurang lebih lima puluh meter dari situ, anaknya dan ayahnya rebah di atas pembaringan, di sebuah kamar lain.

"Nah, ini kamarnya, Cia-taihiap, lengkap dengan tempat mandi dan kakus. Dan yang lebih baik lagi, lihat di sana itu. Engkau dapat melihat keadaan ayahmu dan anakmu, karena itu tenangkan hatimu dan jangan sekali-kali mencoba untuk memberontak kalau engkau tidak ingin ayah dan anakmu tewas." Sesudah berkata demikian, wanita itu bersama tiga orang tosu meninggalkan kamar tahanan dan menutupkan pintunya yang juga terbuat dari besi.

“Nanti dulu!" Mendadak Hui Song berkata melalui jeruji besi di atas daun pintu. “Siapakah kalian sesungguhnya dan apa yang kalian kehendaki dari Cin-ling-pai?"

Wanita muda itu tersenyum. "Namaku Tok-ciang Bi Mo-li Su Bi Hwa, dan mereka bertiga adalah guru-guruku bernama Kim Hwa Cu, Siok Hwa Cu, dan Lan Hwa Cu ....”

Hui Song memandang terbelalak. Tosu-tosu yang memakai nama bunga itu mengingatkan dia akan tokoh-tokoh Pek-lian-kauw. "Kiranya kalian bertiga adalah Pek-lian Sam-kwi?”

Tiga orang tosu itu diam saja, akan tetapi Bi Hwa yang tertawa. "Hi-hi-hik, engkau cerdik, Taihiap. Engkau gagah, ganteng dan cerdik. Dugaanmu memang benar. Aihh, kalau saja engkau tidak begitu berbahaya, tentu aku akan suka sekali menemanimu dalam kamarmu ini, hi-hik!"

Hui Song tidak menjawab dan tak mau bicara lagi, bahkan lantas membalikkan tubuhnya dari pintu. Dia mendengar mereka pergi sambil tertawa-tawa, dan tak lama kemudian dia melihat belasan orang di luar pintu kamar-kamar tahanan bawah tanah itu. Hemm, kiranya mereka mempunyai belasan orang anak buah, pikirnya. Dan mungkin ada lebih banyak lagi yang masih berada di luar.

Dugaan Hui Song ini memang benar. Ada tiga puluh orang anak buah Pek-lian-kauw yang dipersiapkan empat orang itu. Mereka telah merencanakan semuanya dengan baik sekali. Mereka melarang semua anggota Pek-lian-kauw untuk bergerak atau memperlihatkan diri dan mereka sendiri yang turun tangan menjebak para pimpinan Cin-ling-pai, melalui Ciok Gun yang sudah berada dalam cengkeraman mereka.

Ciok Gun telah dibius dan disihir sehingga dia kehilangan semangat, kehilangan kemauan sendiri dan patuh sekali kepada Bi Hwa, seperti mayat hidup saja. Perintah apa pun yang diberikan Bi Hwa akan dia lakukan dengan patuh dan dengan taruhan nyawa. Biar pun dia masih mengenal tokoh-tokoh Cin-ling-pai, namun pengenalannya itu seperti hafalan saja, ditekankan oleh Bi Hwa. Segala sikapnya diatur oleh Bi Hwa karena sebetulnya Ciok Gun sudah tidak ingat apa-apa lagi kecuali taat kepada wanita muda yang dianggapnya sangat baik, sangat menyenangkan dan sangat mencintanya itu!

Akan tetapi belasan orang penjaga di luar itu hanya bersikap acuh dan seolah-olah tidak mempedulikan dia atau ayah dan anaknya yang berada di kamar seberang. Bahkan yang berada di depan kamar tahanan mereka hanya lima orang saja, namun yang menjaga di depan kamar tahanannya lebih banyak.

Kamar tahanan itu kokoh kuat, dindingnya tak mungkin ditembus karena berada di bawah tanah, jendela dan pintunya juga kokoh dan kuat terbuat dari pada besi. Dan andai kata dia mampu menjebol pintu atau jendela dan membunuh para penjaga, tidak berarti bahwa dia sudah bebas. Di masih berada di lorong bawah tanah yang jalan satu-satunya hanya melalui pintu rahasia dalam pondok itu. Dan di atas masih ada empat orang musuh yang lihai itu. Tidak, dia tidak akan menggunakan kekerasan sebelum merasa yakin akan dapat membebaskan ayahnya dan puteranya.

"Hui Song...!”

Pendekar itu menengok. Ayahnya sudah siuman, bahkan sudah berdiri di depan jendela beruji menghadap ke arah kamarnya. Ayahnya tidak terbelenggu lagi dan agaknya dalam keadaan sehat saja.

"Ayah...!" Kui Bu juga telah berdiri di atas bangku sehingga dapat menjenguk keluar jeruji jendela dan memandang kepadanya. Anaknya sudah tidak menangis lagi dan nampaknya sehat saja, maka hatinya merasa lega.

"Ayah dan Kui Bu, kalian baik-baik saja, bukan?" tanyanya dengan suara lega.

"Hui Song, lihat apa akibatnya. Engkau menyerah dan kini ditawan! Sekarang siapa yang akan membasmi mereka?"

"Ayah, yang penting kita masih hidup dan sehat. Kalau sudah mati tak akan dapat berbuat sesuatu," jawab Hui Song.

Jawaban ini agaknya menyadarkan kakek itu bahwa puteranya terpaksa menyerah untuk menyelamatkan dia dan cucunya dari maut. Meski pun hatinya merasa penasaran namun dia dapat memaklumi sikap puteranya ketika teringat akan cucunya yang masih kecil.

"Engkau benar. Kita harus menjaga kesehatan dan kekuatan, tidak boleh putus asa." Dan dia pun merangkul cucunya. "Jangan khawatir, Kui Bu berada di sini bersamaku."

"Ayah, aku akan menjaga kakek!" kata Kui Bu, kini suaranya mengandung ketabahan.

Agaknya semangat anak itu timbul karena melihat ayahnya berada di situ dan tadi ditegur agar tidak cengeng dan agar dia menjaga kakeknya, dan memang pada dasarnya Kui Bu bukan seorang anak yang lemah atau cengeng.

Demikianlah, dengan sabar dan tenang Hui Song, ayahnya, dan anaknya tidak membuat ulah di dalam kamar tahanan mereka, tapi diam-diam tentu saja mereka mempersiapkan diri dan menunggu terbukanya kesempatan untuk membebaskan diri. Ketika ada penjaga menyodorkan hidangan dan minuman melalui jeruji besi di atas pintu, mereka langsung menerimanya dan makan tanpa banyak ribut lagi…..

********************

"Ayah...!” Suara itu melengking nyaring menembus kesunyian malam.

"Kui Buuuu...!” Kembali suara yang sama melengking nyaring menuruni bukit, seolah-olah suara itu datang dari bulan tiga perempat yang memberi penerangan yang cukup. Namun, seperti juga tadi, tidak ada suara jawaban terdengar.

"Song-ko (kanda Song)...!" kembali suara itu melengking dengan sia-sia, karena tidak ada jawaban. Suara jengkerik serta belalang malam yang tadinya meramaikan malam bahkan segera terhenti sejenak karena kaget oleh suara melengking itu. Beberapa saat kemudian barulah kerik jengkerik dan belalang terdengar lagi.

Ceng Sui Cin menuruni bukit itu. Hatinya cemas bukan main. Di Cin-ling-pai terjadi hal-hal yang aneh sejak mereka pulang ke situ dari pulau Teratai Merah kemarin. Mula-mula Ciok Gun, Teng Sin dari Koo Ham, tiga murid Cin-ling-pai yang pergi berburu tetapi sampai dua hari satu malam belum pulang. Kemudian, sejak pagi tadi Kui Bu bersama kakeknya pergi berjalan-jalan juga sampai malam ini belum pulang. Dan yang terakhir, sore tadi suaminya pergi mencari mereka namun sampai sekarang, menjelang tengah malam, suaminya pun belum kembali pula!

Maka, sesudah memesan agar Gouw Kian Sun, sute dari suaminya menyuruh anak buah membuat penjagaan yang lebih ketat, dia sendiri lalu keluar dari perkampungan Cin-ling-pai untuk mencari mereka.

Sudah sejak tadi dia mencari-cari, secara bergantian memanggil-manggil ayah mertuanya, suaminya dan anaknya, tetapi tidak ada yang menjawab. Padahal dia telah mengerahkan khikang ketika berteriak memanggil sehingga suaranya tentu akan terdengar sampai jauh. Setidaknya suaminya tentu mendengarnya. Namun kalau begitu mengapa suaminya tidak menjawab?

Hati wanita perkasa ini mulai merasa gelisah. Untung bulan cukup terang dan di angkasa tidak ada mendung sehingga dia dapat mempergunakan ilmunya berlari cepat yang amat hebat untuk berlari-lari mencari.

Ilmu ginkang (meringankan tubuh) nyonya ini memang hebat. Ia mempunyai ilmu Bu-eng Hui-teng (Lari Terbang Tanpa Bayangan) yang membuat dia mampu bergerak sedemikian cepatnya sehingga bayangannya saja berkelebat dan sukar ditangkap pandangan mata!

Hatinya menjadi makin gelisah setelah tiga bukit didaki dan dituruni namun belum juga dia berhasil menemukan orang-orang yang dicarinya. Ketika dia mendaki sebuah bukit, tiba di luar hutan, tiba-tiba dari dalam hutan itu muncul empat orang yang menghadang di tengah jalan. Tiga orang tosu dan seorang wanita muda yang cantik.

"Selamat malam, Ceng Sui Cin Lihiap!" Gadis itu menyalaminya dengan senyum simpul.

Sui Cin terkejut dan merasa heran. Dia memandang penuh perhatian akan tetapi merasa tidak pernah mengenal mereka. Namun mereka sudah mengetahui namanya! Jantungnya berdebar tegang karena ada firasat yang tidak enak terasa di hatinya. Seperti ada bisikan bahwa kemunculan empat orang asing ini tentunya ada hubungannya dengan lenyapnya mertuanya, anaknya, suaminya dan tiga orang murid Cin-ling-pai itu.

"Siapakah kalian?" tanyanya.

"Lihiap (pendekar wanita), kami adalah tuan dan nyonya rumah, dan engkau adalah tamu kami. Mari silakan ikut dengan kami!" kata Bi Hwa.

Sui Cin mengerutkan alisnya. "Apa maksudmu? Aku tidak mengenal kalian dan tidak akan menjadi tamu kalian." Kecurigaannya semakin menebal.

"Aihhh, Nyonya Cia Hui Song, bukankah engkau sedang mencari suamimu, anakmu dan ayah mertuamu?"

Sui Cin terkejut. Apa yang dikhawatirkannya tadi ternyata benar. Mereka ini tahu tentang keluarganya yang hilang!

"Di mana mereka? Siapa kalian?!" bentaknya.

Bi Hwa tersenyum lagi. "Siapa adanya kami tidaklah terlalu penting bagimu, Lihiap. Yang penting kami mengundangmu untuk menjadi tamu kami, dan kami berjanji bahwa engkau pasti akan dapat berjumpa dengan Kakek Cia, suamimu, serta puteramu dalam keadaan selamat."

Seketika wajah Sui Cin berubah menjadi merah saking marahnya. "Aku tidak sudi menjadi tamu kalian! Jadi kalian telah menawan keluargaku? Katakan, benarkah itu?"

Kembali Bi Hwa tersenyum, merasa menang. “Bukan menawan. Mereka sedang menjadi tamu-tamu kami, tamu terhormat."

"Hayo bebaskan mereka sekarang juga!" bentak Sui Cin sambil mengepal sepasang tinju tangannya.

"Hemmm, engkau galak benar, Lihiap. Bagaimana kalau kami tidak mau membebaskan mereka?"

"Keparat, berarti kalian sudah bosan hidup! Akan kusiksa kalian, akan kubunuh kalian jika tidak segera membebaskan Kakek Cia, suamiku, dan puteraku!"

“Ho-ho-ha-ha, alangkah sombongnya perempuan ini!" Siok Hwa Cu sudah melangkah ke depan dan memandang Sui Cin dengan sikap mengejek, akan tetapi dengan diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya dan tiba-tiba saja suaranya yang menggetar penuh kekuatan sihir itu membentak, matanya menatap tajam wajah Sui Cin.

"Ceng Sui Cin, engkau berhadapan dengan orang yang kedudukannya jauh lebih tinggi. Hayo engkau cepat berlutut dan memberi hormat kepada kami!" Diam-diam Kim Hwa Cu dan Lan Hwa Cu juga mengerahkan kekuatan sihir mereka melalui pandang mata untuk membantu usaha Siok Hwa Cu menundukkan nyonya lihai itu dengan sihir.

Tiba-tiba saja Ceng Sui Cin merasa betapa tubuhnya tergetar, jantungnya terguncang dan semangatnya melayang. Hampir saja kedua kakinya berlutut. Akan tetapi dia segera tahu bahwa lawan mempergunakan kekuatan sihir. Tidak percuma dia menjadi puteri Pendekar Sadis, dan ibunya Toan Kim Hong pernah menjadi seorang datuk besar berjuluk Lam Sin. Maka selain ilmu silat, tentu saja dari ayah ibunya dia telah dibekali kekuatan batin untuk menghadapi serangan sihir.

Dia mengerahkan tenaga itu untuk menolak dan getaran pada tubuhnya menghilang, juga dorongan untuk bertekuk lutut menjadi lenyap. Sebaliknya dengan marah sekali dia lantas menyerang tosu muka hitam yang gendut pendek itu. Karena sudah marah sekali, maka begitu menyerang, Ceng Sui Cin langsung menggunakan sebuah jurus dari Hek-liong Sin-ciang!

Ilmu silat sakti ini hanya terdiri dari delapan jurus saja, namun karena ilmu yang menjadi andalan ayahnya ini adalah ciptaan dari Bu-beng Hud-couw, maka hebatnya bukan main. Dahsyat sekali! Setelah merendahkan tubuhnya, wanita cantik ini menerjang ke depan dan kedua tangannya melakukan gerakan mendorong.

Siok Hwa Cu adalah seorang tokoh Pek-lian-kauw yang telah memiliki tingkat kepandaian tinggi, maka dia agak memandang rendah kepada wanita ini. Sebenarnya dia juga sudah mendengar akan kelihaian pendekar wanita Ceng Sui Cin, tetapi sudah menjadi ciri orang yang menjadi budak nafsu, yang selalu mengejar kesenangan melalui cara kekerasan, dia memandang diri sendiri terlalu tinggi sehingga memandang rendah orang lain.

Melihat wanita itu tidak terpengaruh oleh ilmu sihirnya saja, sebetulnya sudah merupakan peringatan yang cukup baginya. Akan tetapi dia menganggap gerakan serangan Ceng Sui Cin itu sebagai gerakan serangan yang tidak ada artinya, maka dengan sombongnya dia menghadapi dengan dua tangan menyambar, maksudnya untuk menangkap pergelangan kedua tangan lawannya itu

"Desssssss...!”

Pertemuan antara kedua pasang lengan itu hebat sekali. Kim Hwa Cu dan Lan Hwa Cu hendak memperingatkan saudara mereka, akan tetapi sudah terlambat. Tubuh Siok Hwa Cu terjengkang dan terbanting keras. Ketika dia dibantu kedua orang saudaranya bangkit dia muntah darah!

Namun Sui Cin tidak berhenti sampai di situ saja. Sekarang dia sudah mengetahui bahwa tentu keluarganya ditawan oleh orang-orang jahat ini, maka sesudah tosu gendut pendek itu roboh, dia pun kembali menyerang lagi, dan kini dia menyerang wanita cantik yang tadi menjadi juru bicara.

Kembali Sui Cin mempergunakan jurus dari Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Penakluk Naga), dan kini kedua tangannya tidak mendorong seperti tadi, melainkan menyerang dari atas dan bawah, tangan kiri mencengkeram ke arah kepala, tangan kanan mencengkeram ke arah perut. Bukan hanya cengkeraman itu yang berbahaya, akan tetapi terutama sekali tenaga yang terkandung dalam serangan inilah yang amat kuat sehingga tadi ketika Siok Hwa Cu menangkis, seketika dia terjengkang dan muntah darah!

Meski pun ilmu kepandaian Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa tidak lebih tinggi dari kepandaian Siok Hwa Cu atau dua orang gurunya yang lain, tetapi kecerdikannya jauh lebih menang. Wanita ini maklum betapa dahsyatnya serangan Ceng Sui Cin, maka dia tidak sebodoh gurunya ke dua tadi.

Dia tidak berani menghadapi serangan itu secara langsung, akan tetapi cepat melompat jauh ke belakang dan begitu tangan kirinya bergerak, nampak sinar lembut menyambar ke arah penyerangnya. Namun jarum-jarum itu runtuh tertiup hawa pukulan yang keluar dari kedua tangan Sui Cin.

"Jahanam! Kubunuh kalian semua kalau tidak segera membebaskan semua keluargaku!" Sui Cin membentak dan biar pun dia masih tetap nampak cantik, namun kini empat orang lawannya menjadi gentar juga. Pendekar wanita itu bagai seekor naga betina yang tengah marah.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar