Jodoh Si Mata keranjang Jilid 02

Ciok Gun membuka matanya. Sejenak dia nanar dan merasa tubuhnya panas. Pada saat nanarnya hilang dan dia menyadari bahwa dia berada di atas sebuah pembaringan dalam sebuah kamar, dia merasa terkejut dan segera teringat akan peristiwa di dalam hutan itu. Mimpikah dia? Mimpi buruk tentang kedua orang sute-nya yang tewas? Di mana dia?

Dia bangkit duduk dan makin kaget mendapatkan dirinya dalam keadaan telanjang bulat, akan tetapi sebelum bangkit tadi tubuhnya tertutup selimut. Tiba-tiba dia merasa ada yang bergerak di sebelahnya, maka dia menoleh dan Ciok Gun berseru kaget.

Wanita cantik itu berada di dekatnya, juga tanpa pakaian. Wanita yang dilihatnya dalam ‘mimpi’ sudah membunuh dua orang sute-nya. Bukan mimpi kalau begitu! Teringatlah dia betapa dia melawan tosu yang amat lihai dan tahulah dia bahwa kini dia telah tertawan!

“Keparat...!” serunya. Dia hendak meloncat turun, tetapi tiba-tiba wanita itu merangkulnya sehingga dia pun tidak mampu meronta.

“Ciok Gun, hendak ke mana engkau? Ingat, engkau adalah pembantuku, pembantu kami. Aihh, engkau memang gagah sekali...” Wanita itu mendekap dan mencium.

Ciok Gun hendak meronta tetapi tidak dapat dan dia pun seperti tenggelam dalam lautan yang amat panas. Dia tidak lagi menyadari apa yang dia lakukan dengan wanita itu. Ada dorongan dalam tubuhnya yang membuat dia seperti mabuk, seperti dalam mimpi, namun nalurinya membisikkan bahwa dia sudah melakukan hal yang sungguh tidak pantas, yang berlawanan dengan suara hatinya.

Setelah semua berlalu, Ciok Gun terengah-engah dan setelah dorongan hasrat yang tidak wajar itu terpuaskan, dia pun teringat kembali. Dia menyadari bahwa dirinya terpengaruh bius dan obat racun perangsang yang membuat dia lupa segala.

Dia meronta karena teringat bahwa wanita cantik di sampingnya yang kini rebah telentang dengan mata terpejam dan mulut tersenyum itu adalah orang yang telah membunuh Teng Sin dan Koo Ham. Wanita ini adalah iblis betina yang amat jahat. Membunuh dua orang sute-nya, menawan dia, bahkan kini menggunakan cara yang sangat keji untuk memaksa dia melakukan perbuatan yang amat menjijikkan bagi kesadarannya.

“Jahanam kau!” Dan dia pun mengerahkan tenaganya memukul kepala wanita yang rebah tersenyum dan memejamkan mata itu.

“Wokkk…!”

Bukan kepala wanita itu yang terkena hantamannya melainkan bantal yang tadi ditidurinya dan sebelum Ciok Gun dapat menyerang lagi, sebuah totokan jari tangan wanita itu sudah membuat dia roboh lemas di atas pembaringan.

“Hi-hi-hik, Ciok Gun, engkau masih saja liar dan ganas!” kata wanita itu sambil merangkul kembali dan menciumi Ciok Gun yang terpaksa hanya mampu memejamkan mata karena tidak mampu bergerak untuk menghindar.

Sisa hawa panas yang membuat dia dibakar hasrat itu bahkan masih ada sehingga diam-diam dengan hati ngeri dia merasakan kenyataan betapa belaian wanita itu mendatangkan kenikmatan dan kesenangan bagi tubuhnya! Dia hendak meronta, hendak menolak, tetapi tubuhnya seolah bukan miliknya lagi dan tidak dapat dikuasainya.

Karena tubuhnya kini tertotok hingga tidak dapat digerakkan, maka di dalam dirinya terjadi perang perasaan antara melayani rayuan dan belaian wanita itu atau menolaknya. Ketika wanita itu mendengar rintih dan desahnya, mendadak totokan pada tubuhnya dibebaskan dan dia pun sekali lagi tenggelam ke dalam gairah nafsu yang berkobar dan tidak mampu mempertahankan dirinya lagi.

Setelah peristiwa ulangan itu selesai, Ciok Gun merasa begitu tidak berdaya sehingga dia menangis di atas pembaringan yang dianggapnya mendatangkan peristiwa jahanam yang menghancurkan segala martabatnya itu. Wanita itu segera merangkul dan membelainya untuk menghiburnya.

“Ciok Gun, sudahlah, tenangkan hatimu. Engkau sudah menjadi kekasihku, bukan? Nah, mulai sekarang engkau menjadi pembantuku dan kita akan selalu hidup senang...”

“Tidak...! Tidak sudi...!” Ciok Gun meronta dan melompat turun dari atas pembaringan.

Dia maklum bahwa dia tidak berdaya menghadapi wanita ini, dan jika dia menyerang pun dia takkan menang. Dia sudah ternoda, bagaimana mungkin dia dapat menghadapi para pemimpin Cin-ling-pai dan menceritakan semua ini? Dia cepat melompat ke arah dinding dan bermaksud untuk membenturkan kepalanya ke dinding itu supaya kepalanya pecah. Mati masih jauh lebih baik dari pada apa yang dia alami waktu itu!

“Plakkk!”

Kepalanya tidak membentur dinding melainkan ditahan oleh tangan lembut wanita itu dan pada lain saat dia pun sudah roboh kembali karena ditotok secara aneh oleh wanita yang bukan main lihainya itu.

“Hemmm, keras kepala!” Kini wanita itu tidak lagi bersikap lembut. Dia mengangkat tubuh Ciok Gun yang sudah tak mampu bergerak, lantas melemparkannya ke atas pembaringan kembali. Dia mengenakan pakaiannya dan keluar dari dalam kamar, kemudian menutup kembali daun pintu kamar itu dari luar.

Dengan rambut masih awut-awutan, bedak luntur serta pemerah bibir dan pipi yang juga ‘berserakan’, wanita itu memasuki sebuah ruangan yang luas di mana nampak duduk tiga orang pria yang berpakaian pendeta. Seorang di antara mereka adalah pendeta yang tadi bersamanya menghadang perjalanan tiga orang murid Cin-ling-pai itu.

Melihat kemunculan wanita itu dengan wajah dan rambut kusut, tosu yang tadi mengaku bernama Kim Hwa Cu tertawa akan tetapi pandang matanya membayangkan perasaan iri dan tak suka hati. “Bagus! Kami menunggu di sini dan engkau lupa diri bersenang-senang sepuasnya dengan tawananmu, ya?”

Wanita itu cemberut, kemudian dengan sikap kasar duduk di atas kursi menghadapi meja dan menuangkan arak ke dalam cawan lalu meminumnya hingga tiga kali. Sikapnya sama sekali tidak menghormat kepada tiga orang pendeta itu!

Siapakah mereka? Seperti pengakuan tosu pertama itu kepada Ciok Gun tadi, mereka itu adalah Kim Hwa Cu yang bertubuh tinggi kurus bermuka kuning yang usianya sekitar lima puluh tahun. Dua orang tosu lainnya adalah dua orang suheng-nya (kakak seperguruan).

Yang berperut gendut pendek, mukanya hitam serta bermata lebar adalah Siok Hwa Cu, berusia lima puluh enam tahun. Tosu ketiga yang paling tua, usianya sekitar enam puluh tahun dan bernama Lan Hwa Cu. Tubuhnya tinggi besar dan wajahnya kasar, akan tetapi sikapnya lembut seperti wanita.

Boleh jadi ketiga orang ini tidak begitu dikenal di dunia kang-ouw, apa lagi di daerah Cin-ling-san. Akan tetapi di dunia barat dan utara, mereka ini dikenal dengan sebutan Pek-lian Sam-kwi (Tiga Iblis Pek-lian-kauw). Mereka adalah tokoh-tokoh besar dari Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih), sebuah perkumpulan golongan sesat berkedok agama yang suka memberontak terhadap pemerintah. Pek-lian-kauw memiliki banyak sekali orang pandai, dan tiga orang ini adalah tiga di antara para tokoh besarnya yang telah memiliki kesaktian yang sukar dicari tandingannya!

Ada pun wanita itu adalah murid mereka bertiga, ya murid ya kekasih! Keadaan seperti ini tidaklah aneh di dalam dunia golongan sesat, di mana aturan dan kesusilaan ditentukan oleh mereka yang berkuasa dan yang lebih kuat.

Su Bi Hwa, gadis berusia dua puluh lima tahun itu, semenjak kecil menjadi murid Pek-lian Sam-kwi. Semua ilmu tiga orang sakti itu telah dipelajarinya. Dalam urusan kejahatan dan kekejian, gadis ini sungguh tidak memalukan tiga orang gurunya sehingga dia mendapat julukan Tok-ciang Bi Moli (Iblis Betina Cantik Tangan Beracun)!

Dia seorang wanita yang selain lihai, juga berwatak kejam dan cabul. Bukan saja secara terang-terangan dia membiarkan dirinya menjadi kekasih dari tiga orang gurunya, terutama sekali Kim Hwa Cu yang terkenal paling cabul di antara mereka bertiga, juga dia begitu mudah menyerahkan diri kepada pria mana pun yang disukainya.

Tiga orang gurunya tidak dapat melarang, juga tidak mau melarangnya. Inilah ‘kebebasan’ yang dianut oleh orang-orang golongan sesat, di mana tidak ada lagi peraturan, tidak ada lagi kesusilaan, tidak ada lagi hukum dan kesopanan. Tapi justru inilah yang menimbulkan kerukunan dan persatuan di antara mereka!

Tiga orang tokoh Pek-lian-kauw dan murid mereka ini datang jauh dari barat dan mereka sedang membawa tugas yang diperintahkan pimpinan pusat Pek-lian-kauw. Gerakan Pek-lian-kauw selalu gagal di mana-mana, bukan saja karena kekuatan pemerintah, melainkan terutama sekali karena adanya para pendekar yang selalu menentangnya. Maka tahulah para pimpinan pusat Pek-lian-kauw bahwa selama mereka belum dapat menguasai para pendekar dan tidak dapat merajai dunia kang-ouw, maka akan sukarlah bagi mereka untuk mengalahkan pemerintah.

Kini Pek-lian Sam-kwi mendapat tugas yang amat berat dan sulit, yaitu berusaha dengan cara apa pun untuk dapat menguasai dunia persilatan, menundukkan para pendekar dan para tokoh kang-ouw, baik golongan putih mau pun golongan hitam. Para pucuk pimpinan Pek-lian-kauw merasa yakin akan kesanggupan serta kemampuan Pek-lian Sam-kwi yang merupakan tokoh-tokoh kelas satu dari Pek-lian-kauw. Selain lihai ilmu silatnya serta kuat ilmu sihirnya, juga mereka memiliki seorang murid yang terkenal kecerdikannya, yaitu Su Bi Hwa yang berjuluk Tok-ciang Bi Moli, yang dalam hal ilmu silat hanya sedikit di bawah tingkat guru-gurunya, dan biar pun ilmu sihirnya tidak sekuat Pek-lian Sam-kwi, namun dia memiliki kecerdikan yang mengalahkan semua gurunya.

Su Bi Hwa yang mengatur siasat agar menguasai dan ‘meminjam’ nama Cin-ling-pai untuk mengacau dunia para pendekar dan menguasai mereka! Dan untuk melaksanakan siasat yang amat berbahaya itu, diam-diam mereka memilih bukit itu yang tidak berapa jauh dari perkampungan Cin-ling-pai sebagai tempat persembunyian mereka. Di tempat itu mereka membangun sebuah rumah yang tersembunyi dalam hutan, sebuah rumah yang lengkap dengan segala peralatan, bahkan yang mereka pasangi alat-alat rahasia.

Mereka telah mulai dengan rencana mereka, yaitu dengan menyelidiki semua keadaan di Cin-ling-pai, para pemimpin mereka, kekuatan dan kelemahan mereka dan pada hari itu mereka sudah mulai turun tangan, membunuh dua orang murid Cin-ling-pai yang mereka kubur secara rahasia, juga menawan Ciok Gun. Mereka hendak menundukkan Ciok Gun dan menjadikan pembantu wakil ketua Cin-ling-pai itu sebagai boneka mereka!

Begitulah keadaan empat orang yang penuh rahasia itu. Tentu saja Bi Hwa merasa amat mendongkol, kecewa dan marah ketika melihat betapa bujuk rayunya terhadap Ciok Gun telah gagal! Biar pun dengan penggunaan obat bius dan obat perangsang dia telah dapat memaksa Ciok Gun jatuh ke dalam pelukannya, tetapi bukan ini yang menjadi tujuannya. Dia ingin agar tokoh Cin-ling-pai itu benar-benar jatuh cinta dan taat kepadanya.

Kiranya pria gagah itu sama sekali tidak mau tunduk, malah hampir saja mau membunuh diri! Maka dengan hati mendongkol dia lalu menotok Ciok Gun dan sesudah melemparnya ke atas pembaringan, dia lalu menghampiri ruangan di mana tiga orang gurunya berada.

Dan begitu masuk dia segera disambut dengan teguran Kim Hwa Cu yang sedikit banyak membayangkan perasaan cemburu! Hal ini membuat hati Bi Hwa semakin mengkal lagi. Dia duduk di atas kursi, menghadapi tiga orang gurunya dan menjawab teguran Kim Hwa Cu yang mengatakan bahwa dia hanya bersenang-senang dengan tawanan.

“Sam-suhu (guru ke tiga) menganggap aku bersenang-senang, ya? Huh, kalau tidak ingat akan tugas, sudah kuhancurkan kepala Ciok Gun itu!”

“Ehhh? Mengapa begitu? Apa yang terjadi?” tanya Lan Hwa Cu, guru pertama, suaranya tinggi seperti suara wanita, dan kalau bicara matanya melirik genit.

Di antara Pek-lian Sam-kwi, orang pertama yang paling tua ini yang menganggap Bi Hwa sebagai murid dan seperti anak sendiri karena dia tidak pernah bersikap mesra terhadap Bi Hwa dan terhadap wanita mana pun juga. Lan Hwa Cu ini mempunyai kelainan dan dia lebih suka mendekati seorang pemuda tampan ketimbang seorang gadis cantik.

“Dia keras kepala. Sampai bagaimana pun tidak mau tunduk walau pun pengaruh obat itu telah membuat dia meniduriku. Akan tetapi perasaan hatinya tidak pernah tunduk, bahkan tadi hampir saja dia membunuh diri.”

“Huh-huh! Kalau begitu bunuh saja dia. Dia tidak ada gunanya!” kata Siok Hwa Cu yang berwatak kasar, keras dan kejam.

Kim Hwa Cu juga mengagguk-angguk. “Benar, kalau tidak di bunuh, untuk apa?”

Bi Hwa makin cemberut. “Ji-suhu (guru kedua) dan Sam-suhu (guru ke tiga) hanya mau mudahnya saja, tanpa mempergunakan kecerdikan sehingga aku khawatir tugas kita akan gagal kalau menuruti kata-kata kalian.”

Kim Hwa Cu dan Siok Hwa Cu saling pandang dan menggerakkan pundak. Mereka harus mengakui bahwa mereka tidak berdaya menghadapi murid ini, karena mereka tidak dapat menduga akal apa yang akan dipergunakan oleh murid yang cantik dan amat cerdik itu.

“Sudahlah, Bi Hwa. Engkau tidak perlu marah terus. Hayo ceritakan, setelah Ciok Gun tak berhasil kau bujuk untuk membantu kita, lantas apa yang selanjutnya hendak kau lakukan terhadap dia?”

“Twa-suhu (guru tertua), tidak ada lain jalan. Kita harus mengubah rencana. Ciok Gun kita jadikan mayat hidup, kemudian melalui dia, kita melumpuhkan para pimpinan Cin-ling-pai. Dapat di atur begini...”

Gadis itu kemudian bicara berbisik-bisik walau pun mereka merasa yakin bahwa di sana tak mungkin ada yang ikut mendengarkan. Tiga orang kakek itu mengangguk-angguk dan pandangan mata mereka ditujukan kepada mulut gadis yang berbicara itu dengan penuh kagum…..

********************

Pagi hari yang cerah. Matahari belum nampak, baru sinarnya saja yang sudah membakar langit timur. Akan tetapi cahaya kemerahan itu sudah bisa mengusir sisa kegelapan yang ditinggalkan sang malam. Cahaya itu pula yang mendatangkan suasana gembira.

Setiap batang rumput, setiap helai daun, tenggelam di dalam suasana gembira itu, berseri basah oleh embun bermandikan cahaya keemasan laksana puteri-puteri jelita baru keluar dari dalam danau. Burung-burung juga berdendang riang, berkicau saling sahut-menyahut sambil menari berloncatan dari ranting ke ranting, siap untuk memenuhi tugas kehidupan mereka, yaitu mencari makan setiap hari.

Di lereng yang sangat sunyi dan segar indah berseri itu nampak dua orang manusia yang berjalan-jalan dengan wajah yang ceria pula. Dua orang itu merupakan dua keadaan yang amat berlawanan, akan tetapi merupakan perpaduan yang membuktikan kekuasaan alam. Seorang kakek berusia tujuh puluh dua tahun bersama seorang anak laki-laki berusia lima tahun! Seorang manusia yang sudah sampai di ambang akhir perjalanan hidup, bersama seorang manusia lain yang baru saja muncul dari ambang pertama dan sedang tumbuh, menggambarkan awal dan akhir perjalanan hidup manusia yang hanya dibatasi oleh usia, oleh sang waktu yang melesat cepat tanpa terasa. Akhirnya kakek itu akan mati, ada pun anak itu akhirnya akan menjadi seperti kakek itu, siap untuk mati pula, mungkin kelak dia juga akan menggandeng tangan seorang cucunya seperti dia sekarang yang digandeng oleh kakeknya.

Biar pun usianya sudah tujuh puluh dua tahun namun kakek itu masih nampak gagah dan tubuhnya masih tegap. Wajahnya anggun dan mudah dilihat bahwa pada masa muda dia tentu seorang pria yang amat ganteng. Langkahnya juga masih gagah dan perutnya tidak menggendut seperti perut kebanyakan laki-laki yang sudah berusia lanjut, juga tidak kurus kering melainkan tubuh itu masih padat.

Dia adalah Cia Kong Liang, kakek yang dahulu pernah menjadi ketua Cin-ling-pai, kakek dari ketua yang sekarang, yaitu nona Cia Kui Hong. Sudah belasan tahun kakek ini lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam kamar untuk bersemedhi, atau berjalan-jalan di puncak-puncak bukit sunyi, merasa lebih akrab dengan alam dari pada dengan manusia lain. Dan pada pagi hari itu dia berjalan-jalan bersama cucunya, anak laki-laki berusia lima tahun yang bernama Cia Kui Bu itu.

Cia Kui Bu adalah anak kedua dari Cia Hui Song, pendekar Cin-ling-pai yang pernah pula menjadi ketua. Isterinya bernama Ceng Sui Cin, seorang pendekar wanita yang memiliki kepandaian silat tinggi, tak banyak selisihnya dengan tingkat kepandaian suaminya sebab wanita ini adalah puteri tunggal dari Pendekar Sadis Ceng Thian Sin majikan Pulau Teratai Merah dan isterinya Toan Kim Hong yang pernah berjuluk Lam Sin (Malaikat Selatan), kini seorang nenek berusia tujuh puluh tahun yang mempunyai kepandaian setingkat dengan suaminya!

Akan tetapi Ceng Sui Cin merupakan ibu tiri dari Cia Kui Bu. Anak tunggal Ceng Sui Cin adalah Cia Kui Hong yang kini menjadi ketua Cin-ling-pai. Sedangkan Cia Kui Bu adalah putera Cia Hui Song dari seorang isteri muda bernama Bi Nio yang kini sudah meninggal, akan tetapi anak ini sejak kecil dirawat Ceng Sui Cin seperti anaknya sendiri sehingga dia pun menganggap bahwa ibunya adalah Ceng Sui Cin.

Kemarin baru saja Cia Hui Song bersama Ceng Sui Cin dan anak mereka itu pulang dari perjalanan mereka ke Pulau Teratai Merah, berkunjung ke tempat kediaman orang tua Sui Cin. Sampai berbulan-bulan lamanya mereka beristirahat di tempat itu dan baru kemarin mereka kembali ke Cin-ling-pai. Namun puteri mereka yang menjadi ketua, Cia Kui Hong, belum pulang dari perantauannya.

Tentu saja kedatangan mereka lantas disambut gembira oleh semua anggota Cin-ling-pai. Terutama sekali kakek Cia Kong Liang merasa girang bukan main melihat cucunya, Cia Kui Bu. Dan pada pagi hari ini kakek itu mengajak Cia Kui Bu berjalan-jalan seperti yang semalam telah dijanjikannya kepada cucunya. Cuaca masih gelap pada saat mereka tadi meninggalkan perkampungan Cin-ling-pai.

Sesudah berbulan-bulan tinggal di Pulau Teratai Merah dan setiap hari hanya menikmati keindahan pemandangan alam pulau yang dikepung air laut itu, tentu saja kini keindahan alam pegunungan merupakan keindahan yang lain sama sekali sehingga mendatangkan kegembiraan di hati anak itu. Dia berlari-larian mengejar kelinci, meneriaki burung-burung sehingga kakeknya terbawa oleh kegembiraan cucunya.

Kesenangan lewat panca indera dikemudikan oleh nafsu, oleh karena itu selalu berakhir dengan kebosanan dan dengan pengejaran akan kesenangan yang lain. Inilah sebabnya mengapa orang-orang kota merasa gembira kalau pergi ke dusun, dan sebaliknya orang dusun amat senang bila pergi ke kota.

Karena sudah terbiasa, penduduk pantai tidak dapat menikmati keindahan pemandangan di tepi laut lagi dan merindukan keindahan suasana di pegunungan, sebaliknya penghuni gunung telah bosan akan pemandangan di pegunungan dan akan mengagumi keindahan pemandangan di tepi laut.

“Kongkong (kakek), di sana ada kijang. Mari kita tangkap!” Tiba-tiba Cia Kui Bu berlari cepat mendaki lereng sebuah bukit.

“Heii, hati-hati, Kui Bu, jangan berlari sembarangan!” Kakek itu berseru dan mengejar.

Dia dapat menyusul dan menggandeng tangan cucunya, lalu mereka berlarian mengejar seekor kijang muda yang seperti hewan lainnya kalau masih muda senang bermain-main. Kijang itu seolah mengajak mereka bermain, berlari-lari sambil berloncatan kecil. Apa bila jarak antara mereka terlampau jauh maka dia berhenti dan seperti menanti, namun kalau sudah dekat dia berlari lagi.

Cia Kong Liang membiarkan saja cucunya bergembira dan mengejar kijang itu. Dia hanya menjaga agar cucunya itu jangan sampai terjatuh ke dalam jurang. Tanpa terasa mereka telah tiba di tepi hutan lebat yang berada di lereng bukit itu.

Kijang itu melompat ke dalam hutan lantas lenyap di balik semak belukar. Ketika Cia Kui Bu yang digandeng kakeknya hendak mengejar, dari dalam hutan itu tiba-tiba saja muncul seorang laki-laki yang berdiri seperti patung dan memandang kepada mereka.

Cia Kong Liang berhenti kemudian memandang. “Haii, Ciok Gun! Mengapa engkau belum pulang? Semua orang di sana menantimu. Sejak kemarin pagi engkau pergi berburu dan sampai sekarang belum pulang. Di mana Teng Sin dan Koo Ham?”

Ciok Gun terlihat ragu-ragu sejenak, lalu memberi hormat kepada kakek itu. “Sukong, sute Teng Sin dan Koo Ham baik-baik saja. Nanti teecu (murid) akan pulang.”

Cia Kong Liang memandang dengan heran. Memang Ciok Gun tidak pandai bicara, malu-malu walau pun dia amat setia kepada Cin-ling-pai. Akan tetapi kenapa pagi ini sikapnya kelihatan demikian dingin dan bahkan kaku? Sebelum dia bertanya, Kui Bu sudah berlari ke arah Ciok Gun.

“Suheng...!” serunya gembira.

Karena sudah berbulan-bulan meninggalkan Cin-ling-pai, setelah pulang Kui Bu bersikap ramah kepada semua orang sebagai pelepasan rindunya. Apa lagi kepada Ciok Gun dan Gouw Kian Sun, dua orang yang dekat dengan keluarga Cin-ling-pai. Maka ketika melihat Ciok Gun yang masih terhitung suheng (kakak seperguruan), kakaknya, atau juga murid keponakan orang tuanya, dia lalu lari menghampiri dengan gembira.

“Ciok-suheng, mana hasil buruanmu?” tanyanya setelah dia sampai di hadapan Ciok Gun. Tiba-tiba Ciok Gun menyambar tubuh Kui Bu dan memondongnya, terus mengajaknya lari ke dalam hutan.

“Heiiii, Ciok-suheng, kita ke mana….?” Kui Bu berseru heran akan tetapi gembira karena mengira bahwa tentu Ciok Gun akan mengajaknya bermain-main. Namun kakek Cia Kong Liang merasa heran dan curiga. Ada sesuatu di dalam sikap Ciok Gun yang dianggapnya aneh sekali.

“Ciok Gun, berhenti...!” bentaknya, lalu dia pun melompat dan mengejar.

Akan tetapi Ciok Gun tidak mau berhenti dan berlari terus, dikejar oleh Cia Kong Liang. Akhirnya Ciok Gun yang memondong Kui Bu tiba di depan sebuah pondok yang dari luar nampak sederhana saja. Kakek itu memandang heran.

Bukit ini sunyi dan biar pun sudah bertahun-tahun dia tidak pernah mendaki bukit ini, akan tetapi seingatnya tidak pernah ada orang tinggal di sini karena bukit ini jauh dari dusun-dusun lain, juga masih liar dan berbahaya.

Ketika dia hendak mengejar masuk pondok melalui pintunya yang terbuka lebar, tiba-tiba muncul tiga orang pria berpakaian pendeta dan seorang wanita muda yang cantik. Wanita itu berada paling depan dan agaknya sengaja menyambut sambil tersenyum-senyum.

“Selamat datang di pondok kami, locianpwe Cia Kong Liang!” Su Bi Hwa berkata sambil tersenyum manis sekali.

Kakek itu mengerutkan sepasang alisnya. Dia tak mengenal empat orang ini, akan tetapi karena wanita muda itu menyambutnya dengan sikap hormat, dia pun segera membalas penghormatannya sambil berkata. “Siapakah Nona, dan harap Nona menyuruh Ciok Gun keluar mengajak cucuku.”

“Cia-locianpwe, sekarang locianpwe sudah menjadi tamu kami, seperti juga anak Cia Kui Bu itu. Mari, locianpwe, silakan masuk dan kita bicara di dalam.”

Biar pun sudah amat tua namun kakek Cia Kong Liang masih waspada. Pengalamannya yang banyak membuat dia maklum bahwa dia sedang berhadapan dengan orang-orang yang tidak boleh dipercaya begitu saja.

“Harap suruh Ciok Gun keluar membawa cucuku dulu, baru nanti kita bicara!” Kemudian dia mengerahkan khikang, suaranya menggetar ketika berteriak ke arah pondok itu. “Ciok Gun, aku sukong-mu yang bicara ini. Kuperintahkan engkau keluar mengajak Kui Bu!”

Suara itu hebatnya bukan kepalang, melengking dan seperti menggetarkan jantung semua orang. Dengan diam-diam empat orang itu terkejut sekali dan harus mereka akui bahwa kakek yang sudah tua ini tidak boleh di pandang ringan. Su Bi Hwa lalu berteriak pula ke arah pintu pondok.

“Ciok Gun, engkau tinggal saja di dalam sana dan jaga baik-baik Cia Kui Bu. Engkau tidak boleh keluar sebelum kuperintahkan! Ini aku Su-siocia (Nona Su) yang bicara!”

Dari dalam pondok terdengar suara Ciok Gun, “Baik, Su-siocia!”

Kakek itu terbelalak. Tidak mungkin cucu muridnya itu begitu saja mentaati wanita ini dan berani membangkang terhadap perintahnya. Tentu ada sesuatu yang tidak wajar!

“Nona, apa artinya ini? Apa yang kau lakukan kepada Ciok Gun?”

Kini gadis itu tertawa dan begitu tertawa kakek itu pun mengerti bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita yang kejam dan amat jahat. “Ha-ha-hi-hi-hik! Cia-locianpwe, tidak perlu engkau mencoba untuk memerintah Ciok Gun. Dia sekarang telah menjadi hambaku yang setia.”

“Kalau begitu cucuku akan kuambil sendiri!” Cia Kong Liang meloncat ke arah pintu. Akan tetapi nampak bayangan berkelebat dan wanita itu telah menghadang di depan pintu.

“Nona, engkau minggirlah! Aku tak ingin bermusuhan dengan siapa pun juga. Aku hanya ingin mengambil kembali cucuku!” bentak Cia Kong Liang, sekarang sikapnya angkuh dan tegas, penuh wibawa.

“Locianpwe, ini adalah rumah kami. Tanpa seijin kami, engkau atau siapa pun tidak boleh memasukinya!” kata gadis itu sambil tetap tersenyum.

Wajah Cia Kong Liang berubah merah. Dia sudah marah bukan main. “Nona, apakah kau hendak mengatakan bahwa engkau sudah menculik cucuku dan kini hendak menahannya di dalam poncokmu ini?”

“Boleh saja kau anggap demikian, Cia Kong Liang,” kata Bi Hwa dan sekarang dia sudah menanggalkan kedoknya, tidak lagi bersikap hormat.

“Hemmm, tidak semestinya aku seorang tua harus berkelahi melawan seorang muda, apa lagi seorang gadis! Sekali lagi kuminta engkau membebaskan cucuku dan aku tidak akan menggunakan kekerasan!”

Bi Hwa tertawa. “Ha-ha-heh-heh, justru kami ingin melihat engkau mengeluarkan semua kepandaianmu untuk melawanku, Cia Kong Liang!”

“Keparat!” Kakek itu sudah lama sekali tidak pernah berkelahi, akan tetapi untuk menjaga kesehatan hampir setiap hari dia masih berlatih. Dia sudah berhasil menjadi seorang yang penyabar sekali. Andai kata tidak untuk membebaskan cucunya, tentu dia akan mengalah dan akan pergi menelan semua penghinaan orang. Akan tetapi sekali ini tak mungkin dia tinggal diam. Cucunya disekap di dalam pondok itu! Dia pun menggerakkan kaki hendak memasuki pintu pondok.

Su Bi Hwa cepat menghalang dan kakek itu menggerakkan tangan mendorong wanita itu ke samping. Karena dia menduga bahwa wanita itu tentu lihai, dia mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang ketika mendorong.

“Plakkk!”

Gadis itu menangkis sambil mengerahkan tenaga pula dan akibatnya keduanya terdorong ke belakang masing-masing tiga langkah. Gadis itu tersenyum, sama sekali tidak terkejut karena dia sudah tahu sebelumnya bahwa kakek ini memiliki ilmu-ilmu Cin-ling-pai, maka tentu saja amat tangguh.

Sebaliknya Cia Kong Liang terkejut bukan main. Gadis yang usianya paling banyak baru dua puluh lima tahun itu mampu menangkis dorongannya, bahkan membuat dia terdorong mundur tiga langkah!

“Bagus, kiranya engkau penjahat yang mengandalkan kepandaianmu! Nah, terpaksa aku akan menyerangmu untuk menolong cucuku!” Sesudah berkata demikian Cia Kong Liang mulai menyerang dan memainkan ilmu silat Im-yang Sin-kun sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya. Tangannya yang kiri menyambar dengan tamparan ke arah pelipis kepala, tangan kanan memukul ke arah perut.

“Haiiiiitttt...!”

Bi Hwa cepat meloncat ke kiri sambil menangkis pukulan itu, lantas membalas dengan tendangan kilat yang dapat pula ditangkis oleh Cia Kong Liang. Kakek itu kini melihat jelas betapa lihainya lawannya walau pun dia seorang wanita yang masih muda. Maka dia lalu memainkan Im-yang Sin-kun dengan sebaiknya untuk mendesak Bi Hwa.

Sampai lima jurus Bi Hwa terdesak oleh ilmu yang tangguh itu. Dia terus mengandalkan kegesitan gerakan tubuhnya untuk menghindar dengan loncatan-loncatan.

“Lihatlah, Suhu. Bukankah ini yang dinamakan Im-yang Sin-kun?” Bi Hwa berseru sambil meloncat untuk menghindarkan tonjokan ke arah dada,.

“Benar, Bi Hwa, itulah Im-yang Sin-kun, dimainkan cukup baik, sayang sudah kekurangan tenaga,” kata Kim Hwa Cu.

Mendengar ini Cia Kong Liang terkejut. Kalau gadis ini hanya murid, maka guru-gurunya itu tentu lebih lihai lagi. Dan agaknya mereka sudah mengenal Im-yang Sin-kun! Orang-orang macam apakah mereka ini? Dia cepat mengubah gerakan kaki tangannya dan dia memainkan Thian-te Sin-ciang yang telah dikuasainya dengan baik.

“Wah, Thian-te Sin-ciang agaknya!” Kembali Bi Hwa berseru sambil mengelak terus.

Dia bukannya mengalah, melainkan benar-benar terdesak oleh ilmu silat Cin-ling-pai yang memang amat hebat itu. Andai kata Cia Kong Liang tidak setua itu, masih memiliki tenaga kuat dan gerakan cepat, tentu Bi Hwa takkan mampu menandinginya. Kini tenaga kakek itu sudah banyak berkurang dan gerakannya pun tidak secepat dulu lagi, maka biar pun Bi Hwa terdesak, namun tetap saja wanita itu mampu menghindarkan diri dengan gerakan cepat dan lincah.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar