Pendekar Mata Keranjang Jilid 84

Oleh karena itu Han Siong hendak menakut-nakuti Hay Hay dengan ilmu sihirnya, hendak menaklukkan pemuda itu tanpa harus menggunakan kekerasan. Maka diam-diam dia pun mengerahkan kekuatan batinnya, kemudian sekali mencabut pedangnya, tampaklah sinar berkilauan dari pedang Kwan-im-kiam yang ditodongkan ke arah muka Hay Hay, sambil terdengar suaranya yang menggeledek.

"Tang Hay, lihat baik-baik! Aku adalah seorang yang jauh lebih sakti darimu, aku seorang raksasa setinggi pohon, dan engkau hanya seorang manusia kecil, tidak akan ada artinya melawan aku!"

Pada waktu dia menggerakkan pedangnya, nampak kilatan pedangnya dan tiba-tiba saja semua orang yang mengelilingi tempat itu menjadi terbelalak dan terkejut bukan kepalang ketika melihat betapa tiba-tiba saja keadaan tubuh Pek Han Siong berubah. Kini pemuda itu menjadi tinggi besar, setinggi pohon besar, seorang raksasa yang sangat mengerikan dan menakutkan karena Hay Hay kini hanya setinggi lututnya saja!

Akan tetapi Hay Hay tetap bersikap tenang walau pun dia juga terkejut, tidak menyangka bahwa pemuda yang pernah menggemparkan dunia persilatan dengan julukan Sin-tong dan yang menjadi rebutan itu memiliki ilmu sihir yang cukup kuat! Timbul kegembiraannya dan dia pun tidak mau kalah. Dia lalu mengerahkan kesaktiannya dan suaranya terdengar penuh wibawa yang menggetarkan jantung para penonton pertandingan itu.

"Bagus sekali, Pek Han Siong! Sekarang engkau menjadi raksasa, akan tetapi aku juga sanggup mengembarimu! Lihatlah baik-baik!"

Hay Hay mengibaskan tangan yang memegang suling, terdengar suara melengking tinggi dan tubuhnya pun tumbuh menjadi besar, sebesar Han Siong! Mereka berdiri berhadapan dalam keadaan yang menyeramkan semua orang.

Kini Han Siong yang terkejut. Tak pernah disangkanya bahwa kepandaian Hay Hay akan sehebat ini! Karena sudah terlanjur mengeluarkan ilmu sihirnya, ketika melihat lawan telah mengembarinya menjadi besar pula, Han Siong lalu menggerakkan pedangnya dan mulai menyerang.

Hay Hay menggerakkan sulingnya menangkis, kemudian balas menyerang. Dan terjadilah pertempuran yang hebat dan dahsyat bukan main, mengguncangkan tanah di sekitarnya. Pohon-pohon bergoyang seperti tertiup angin taufan, bahkan banyak dahan pohon yang patah, batu-batu beterbangan tertendang kaki mereka dan debu mengebul tinggi. Kembali keduanya terkejut dan kagum.

Walau pun Kwan-im Kiam-sut yang dimainkan Han Siong merupakan ilmu pedang yang jarang tandingannya, namun Hay Hay mampu menandinginya dengan sulingnya. Bahkan setelah lewat belasan jurus Han Siong sudah dapat menilai bahwa akan sulitlah baginya mengalahkan pemuda itu dengan pedangnya, apa lagi setelah keduanya menjadi sebesar raksasa itu. Dan bila perkelahian itu dilanjutkan maka dapat membahayakan orang-orang yang menonton di sekeliling tempat itu.

"Tang Hay, tidak perlu menakut-nakuti orang lain. Aku akan menjadi kecil sampai engkau tidak akan dapat melihatku lagi!"

Kembali ‘raksasa’ Han Siong menggerakkan pedangnya dan mendadak tubuhnya lenyap sebab dari keadaan tinggi besar seperti raksasa tiba-tiba saja tubuh itu menyusut menjadi kecil, hanya sebesar jari tangan manusia biasa! Kehilangan lawannya, sejenak Hay Hay merasa bingung namun dia pun segera tahu apa yang telah dilakukan lawannya.

"Pek Han Siong, sudah kukatakan, aku akan mengembari ilmumu. Lihat, aku pun menjadi kecil sebesar kamu!"

Dan tubuh Hay Hay kini lenyap dari pandangan orang-orang yang berada di situ, menjadi kecil seperti tubuh Han Siong, lalu keduanya melanjutkan perkelahian dengan suling dan pedang dalam keadaan tubuh sebesar jari tangan manusia biasa. Mereka yang menonton perkelahian aneh itu akhirnya dapat melihat mereka berdua dan terdengar seruan-seruan kaget, heran dan kagum!

Kalau tadi mereka menyaksikan perkelahian dua orang raksasa yang tingginya empat kali ukuran manusia biasa hingga mengguncangkan tanah di sekeliling tempat itu, kini mereka melihat perkelahian dua orang yang sangat kecil, hanya sebesar jari tangan mereka. Tadi mereka merasa seram dan takut, kini merasa ngeri dan juga lucu bercampur tegang.

Han Siong dan Hay Hay kembali saling serang. Meski pun keduanya sudah mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan kepandaian simpanan mereka, namun masing-masing selalu menjaga agar jangan sampai saling membunuh. Han Siong sama sekali tidak ingin membunuh Hay Hay yang dicinta oleh Pek Eng, akan tetapi ingin menaklukkannya. Dan sebaliknya, tentu saja Hay Hay tidak ingin membunuh Han Siong yang membela adiknya, hanya ingin memperlihatkan kepandaian agar jangan sampai dipandang rendah sebagai putera seorang jai-hwa-cat.

Apa bila dibuat ukuran, sebetulnya Hay Hay telah menerima gemblengan yang lebih kuat dari pada Han Siong. Dalam hal ilmu silat mereka berdua menerima pelajaran peninggalan dari orang-orang yang menjadi anggota Delapan Dewa, akan tetapi Hay Hay memperoleh gemblengan secara langsung. Juga dalam hal ilmu sihir, Hay Hay telah digembleng oleh dua orang, apa lagi gemblengan terakhir dari Song Lojin sudah membuat kedua macam ilmu kepandaiannya itu menjadi matang betul.

Akan tetapi karena dia selalu mengalah dan tidak ada niat di hatinya untuk mengalahkan Han Siong, apa lagi sampai melukai atau membunuh, maka pertandingan antara mereka itu menjadi seimbang dan seru bukan main.

Sementara itu, kini pertempuran antara kedua pasukan sudah mulai terhenti di sana-sini. Setelah sebagian pemimpin mereka tewas atau melarikan diri, makin gentarlah hati para pasukan pemberontak. Mereka kalah banyak dan terhimpit dari depan belakang. Apa lagi di pihak pemerintah terdapat para pendekar yang amat lihai.

Orang-orang yang mereka andalkan kini sudah habis. Lam-hai Giam-lo sudah tewas, juga Kulana yang sangat mereka harapkan itu. Para pembantu Lam-hai Giam-lo juga sudah roboh satu demi satu.

Suami isteri Siangkoan Leng dan Ma Kim Li yang terkenal dengan julukan Sepasang Iblis Laut Selatan itu telah tewas di tangan Pek Han Siong. Suami isteri Kwee Siong dan Tong Ci Ki yang terkenal dengan julukan suami isteri Goa Iblls Pantai Selatan tewas di tangan Bi Lian. Lam-hai Giam-lo sendiri tewas di tangan suami isteri Cang Su Kiat dan Kok Hui Lian, musuh besarnya.

Ji Sun Bi yang juga merupakan seorang tangan kanan Lam-hai Giam-lo, terjatuh ke dalam jurang yang curam pada saat berkelahi melawan Cia Kui Hong. Gurunya, Min-san Mo-ko, tewas di tangan Kok Hui Lian pula. Ketua Kui-kok-pang, yaitu Kim San, tewas di tangan Can Sun Hok dan anak buahnya hampir habis terbasmi oleh Sun Hok dan Ling Ling.

Begitu pula dengan Hek-hiat Mo-ko yang ditewaskan oleh Sun Hok dan Ling Ling. Kulana sendiri tewas sampyuh bersama Mulana. Masih banyak lagi tokoh-tokoh sesat yang turut membantu pemberontakan itu dan menjadi korban dalam pertempuran itu, termasuk para pendeta Pek-lian-kauw.

Meski pun pada pihak pemerintah banyak pula pendekar, perwira dan prajurit yang tewas, namun jelas bahwa pihak pemberontak mengalami kekalahan dan kini sisanya yang tidak mampu lagi melarikan diri cepat-cepat berlutut dan menyerah! Pertempuran lalu berhenti, akan tetapi masih ada pertempuran yang amat hebat terjadi antara Hay Hay dan Pek Han Siong sehingga menarik perhatian para pendekar dan para perwira untuk datang dan ikut menonton.

Banyak orang menjadi saksi betapa tadi baik Hay Hay mau pun Han Siong sudah berjasa karena turut mengamuk untuk membantu pemerintah, maka kini semua orang yang tidak tahu urusannya merasa heran melihat mereka saling gempur sendiri, tetapi tak ada yang berani melerai. Apa lagi melihat betapa kedua orang itu mempergunakan ilmu-ilmu yang aneh.

Para pendekar yang keluar sebagai pemenang dalam pertempuran itu, kini satu demi satu menghampiri tempat perkelahian yang amat seru itu untuk ikut menonton. Mereka semua takjub menyaksikan perkelahian yang luar biasa itu. Su Kiat dan Hui Lian melihat dengan penuh kagum, juga Kui Hong, Ling Ling dan Sun Hok, demikian pula Pek Eng yang tidak melihat bahwa di antara para pendekar yang mengelilingi tempat pertempuran itu terdapat pula ayahnya, Pek Kong dan juga Song Un Tek bekas calon ayah mertuanya.

Pek Kong yang amat tertarik melihat puteranya, Pek Han Siong, bertanding melawan Hay Hay, suatu hal yang amat mengherankan hatinya, juga belum melihat kehadiran Pek Eng di seberang. Pek Kong sangat terkejut dan heran melihat perkelahian itu, akan tetapi dia tak mau lancang melerai dan membiarkan saja perkelahian itu sambil bersiap-siap untuk membantu puteranya kalau perlu.

Pertempuran itu memang berjalan dengan sangat serunya. Sesudah mendapat kenyataan bahwa dengan merubah diri menjadi kecil yang diturut pula oleh Hay Hay namun dia tidak mampu mendesak pemuda yang menjadi lawannya, Han Siong merubah dirinya menjadi seekor harimau besar yang mengaum-ngaum sambil mencakar-cakar. Dan hebatnya, Hay Hay juga mengubah diri menjadi seekor harimau yang sama besarnya. Kedua binatang itu lantas bertarung dengan hebatnya, menggetarkan jantung para penonton yang memenuhi tempat itu.

Berulang kali Han Siong mengubah diri menjadi naga, menjadi rajawali, bahkan menjadi beruang, namun selalu Hay Hay dapat mengembari dan menyainginya, dan akhirnya Han Siong terpaksa mengubah dirinya menjadi normal kembali. Hal ini segera diikuti oleh Hay Hay, kemudian kedua orang muda yang sama gagah dan sama perkasanya itu bertempur kembali! Suling dan pedang sudah ratusan kali beradu sambil memercikkan bara api yang menyilaukan mata.

"Aih, kalau dilanjutkan tentu salah seorang di antara mereka akan celaka...," bisik Hui Lian di dekat telinga suaminya, Su Kiat.

"Kurasa tidak," bisik Su Kiat kembali. "Lihat, mereka itu seperti orang yang berlatih saja. Tampaknya keduanya sangat berhati-hati agar jangan sampai mencelakai lawan. Hemm, benar-benar membuat hatiku kagum bukan main. Mereka adalah dua orang pemuda yang sukar dicari bandingnya di dunia persilatan."

Kui Hong yang berdiri seorang diri menonton dengan jantung berdebar. Melihat Hay Hay, teringatlah dara ini tentang pengalamannya yang mesra dengan pemuda itu. Kini, melihat Hay Hay berkelahi menemukan lawan yang demikian tangguhnya, diam-diam dia merasa khawatir. Memang ada kalanya dia merasa benci sekali terhadap Hay Hay yang dianggap sudah mempermainkan dirinya, telah menolak cintanya. Akan tetapi harus diakuinya pula bahwa dia masih mencinta pemuda itu!

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Engkau harus mati...!"

Nampak Ling Ling meloncat ke medan pertempuran itu, menggunakan sebatang pedang menerjang dengan nekat, lalu menyerang Hay Hay! Tentu saja Hay Hay merasa terkejut sekali dan cepat dia mengelak. Pek Han Siong juga terkejut. Dia tidak menghendaki ada orang lain mencampuri perkelahiannya dengan Hay Hay, akan tetapi dia pun tidak dapat mencegah gadis ini.

"Engkau harus mati...!" Kembali Ling Ling berseru sambil menyerang dengan dahsyatnya.

Hay Hay merasa betapa perasaan hatinya sangat tertusuk. Dia tahu mengapa Ling Ling menyerangnya. Gadis itu masih menganggap bahwa dialah yang telah memperkosa gadis itu! Perasaan tertusuk ini membuat dia menjadi lengah, apa lagi karena sulingnya masih terus dipergunakan melindungi dirinya dari desakan Han Siong. Karena itu serangan Ling Ling agak terlambat dielakkan dan bahu kirinya tergurat pedang sehingga bajunya robek berikut kulitnya dan darah membasahi bajunya.

Pek Han Siong sudah mengenal Ling Ling dan tidak tahu mengapa gadis itu menyerang Hay Hay. Akan tetapi karena dia sendiri merasa cukup kewalahan menghadapi Hay Hay, maka dia segera mendesak dengan tusukan pedangnya ketika melihat pemuda lawannya yang amat tangguh itu terluka.

"Tranggg...!"

Hay Hay menangkis, lantas melompat menjauhi Ling Ling yang marah itu. Kembali terjadi pertarungan sengit antara Hay Hay melawan Han Siong. Ling Ling juga sudah siap untuk menyerang lagi dan mengeroyok Hay Hay.

"Ling Ling, jangan...!" Tiba-tiba Kui Hong melompat ke depan, lalu dia memegang lengan kiri Ling Ling dan menariknya mundur dari medan pertempuran.

Ling Ling membalikkan tubuhnya dan dia pun langsung menangis sesudah melihat bahwa yang menariknya adalah Kui Hong. Kui Hong terkejut dan merangkul Ling Ling.

"Ehhh, Ling Ling, engkau kenapakah...?" bisiknya, semakin heran melihat keadaan gadis itu.

"Bibi Kui Hong...!" Ling Ling mengeluh dan tangisnya semakin sesenggukan.

Semenjak mala petaka yang menimpa dirinya itu, Ling Ling telah menderita tekanan batin yang hebat namun dia selalu menahan dan menyembunyikannya, tak mau menceritakan kepada siapa pun juga. Sekarang, ketika bertemu Kui Hong yang masih terhitung bibinya sendiri dan dengan siapa dia telah menjalin persahabatan yang akrab ketika dia berada di Cin-ling-pai, kesedihannya mengalir bersama air mata seperti lepas dari bendungannya.

"Ling Ling, kenapa engkau ingin membunuh dia?" bisik Kui Hong.

Ling Ling dapat menguasai dirinya setelah mengalirkan banyak air mata, dan ketika masih di dalam rangkulan Kui Hong, dia pun berbisik dengan hati hancur, "Bibi Hong, dia... dia adalah jai-hwa-cat yang jahat... dia harus mati di tanganku... dia... telah memperkosa aku, menotok aku selagi tidur kemudian memperkosaku..."

Kui Hong mendorong tubuh Ling Ling saking kagetnya, wajahnya pucat dan dua matanya terbelalak. Kemudian dia menoleh ke arah perkelahian yang masih berlangsung seru itu, mukanya perlahan-lahan berubah merah sekali dan sepasang matanya yang amat jeli itu mengeluarkan sinar berapi. Kemudian, tiba-tiba saja dia berkata kepada Ling Ling. "Kalau begitu akulah yang akan membunuhnya!"

Kui Hong segera mencabut Hok-mo Siang-kiam, sepasang pedang yang berwarna hitam itu, lalu menerjang ke medan perkelahian, menyerang Hay Hay dengan dahsyat sekali.

Hay Hay terkejut sekali dan cepat meloncat ke belakang. "Kui Hong, kau... kau...!"

Akan tetapi gadis itu sudah menyerang lagi sehingga Hay Hay kembali mengelak dengan loncatan ke samping.

"Engkau manusia busuk dan jahat, engkau harus mati di tanganku!" bentak Kui Hong.

Terpaksa Hay Hay cepat memutar sulingnya untuk melindungi diri sebab Han Siong yang tadinya merasa bingung dan ragu ketika melihat munculnya seorang gadis lain yang lebih lihai menyerang Hay Hay, kini sudah maju lagi menggerakkan pedang pusakanya.

Melihat Kui Hong menyerang Hay Hay, Ling Ling lalu meloncat maju dan dia pun cepat menyerang. Sekarang Hay Hay dikeroyok oleh tiga orang dan karena dia sama sekali tak ingin merobohkan atau melukai seorang pun di antara mereka bertiga, maka dia hanya mencurahkan semua tenaga serta kepandaiannya untuk menjaga dan melindungi dirinya. Hal ini membuat dia makin terdesak hebat sehingga kembali dia terluka oleh serempetan pedang hitam di tangan kiri Kui Hong yang mengenai paha kanannya sehingga celananya robek berdarah.

"Heiii! Jangan main keroyokan...!" Hui Lian berteriak dan meloncat ke depan, hatinya tidak tega melihat betapa Hay Hay dikeroyok oleh ketiga orang itu, dan dia pun merasa sangat heran mengapa gadis-gadis she Cia itu kini ikut pula menyerang Hay Hay.

Akan tetapi suaminya segera memegang lengannya dan berbisik, "Sebaiknya kalau kita tidak mencampuri karena kita tidak tahu perkaranya." Hui Lian menghentikan gerakannya, akan tetapi matanya masih memandang ke arah perkelahian itu dengan cemas.

"Bunuh jai-hwa-cat itu!" Terdengar teriakan-teriakan dan nampaklah Tiong Gi Cinjin diikuti oleh Bu-tong Liok-eng berlompatan maju, lantas mengepung perkelahian dan mengeroyok Hay Hay.

Tentu saja hal ini membuat Hay Hay menjadi semakin repot. Betapa pun lihainya, yang mengeroyoknya adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian hebat, maka kembali dia menerima tusukan dan bacokan yang biar pun telah dilawan dengan kekebalan, tetap saja melukai kulitnya dan membuat luka-luka kecil yang mengeluarkan darah.

Sementara itu pertempuran antara pasukan pemerintah dan pasukan pemberontak sudah selesai. Sisa para pemberontak menyerah dan menjadi tawanan. Ada pun para pendekar dan perwira kini telah menjadi penonton perkelahian antara Hay Hay yang dikeroyok oleh puluhan orang lihai itu.

Untung bagi Hay Hay bahwa kini Han Siong tidak mendesaknya lagi. Pemuda itu merasa rikuh harus mengeroyok seperti itu, akan tetapi dia semakin penasaran karena dari sikap para pengeroyok, jelaslah bahwa Hay Hay adalah seorang pemuda jai-hwa-cat yang amat jahat.

Selagi Hay Hay terdesak hebat sekali, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari seorang perwira, "Atas nama Cang-taijin, harap perkelahian segera dihentikan!"

Memang tugas perwira ini adalah menjadi juru bicara sehingga telah biasa mengeluarkan bentakan nyaring. Sesudah para pengeroyok melihat bahwa yang muncul adalah Menteri Cang, dengan sikapnya yang halus ramah namun penuh wibawa, mereka merasa tidak enak hati dan segera berlompatan mundur walau pun masih dalam keadaan mengepung Hay Hay.

Hay Hay sendiri kini berdiri lemas dengan tubuh penuh luka-luka yang walau pun tidak berbahaya namun membuat pakaiannya berlepotan darah. Dia menundukkan wajahnya dan diam-diam bersyukur bahwa Menteri Cang datang melerai, karena kalau tidak, entah sampai kapan dia mampu bertahan sebelum akhirnya pasti akan roboh binasa di bawah senjata para pengeroyoknya.

Sesudah memandang kepada mereka yang berkelahi itu satu demi satu, dan diam-diam terkejut melihat bahwa yang terlibat di dalam perkelahian itu adalah pendekar-pendekar pilihan, Menteri Cang lalu berkata.

"Cu-wi Enghiong (Para Orang Gagah Sekalian), sesudah kita semua berhasil menumpas para pemberontak, mengapa di antara Cu-wi malah terjadi perkelahian sendiri? Bukankah kemenangan kita seharusnya mendatangkan kegembiraan dan bukan perkelahian antara teman sendiri? Apakah yang telah terjadi?"

Hay Hay adalah seorang pemuda yang berpandangan luas lagi pula bijaksana. Otaknya bekerja dengan cepatnya. Dia tahu bahwa perkelahian itu menyangkut soal kehormatan dua orang gadis yang tentu saja tidak mungkin diumumkan. Bila dia menceritakan sebab perkelahian itu, berarti akan melempar aib kepada Ling Ling dan Pek Eng, mencemarkan nama baik dua orang gadis yang tertimpa mala petaka itu. Tidak, dia harus mencegah hal itu terjadi.

Karena itu, ketika mendengar pertanyaan Menteri Cang dan sebelum ada orang lain yang mendahuluinya, dia sudah cepat maju memberi hormat kepada menteri itu. Menteri Cang memandang kepadanya penuh selidik. Dari para penyelidiknya, pembesar ini mendengar bahwa Hay Hay merupakan salah seorang di antara para pendekar yang tadi mengamuk mati-matian membantu pasukan pemerintah, bahkan pemuda ini yang sudah menempur Sim Ki Liong, tangan kanan Lam-hai Giam-lo yang amat lihai itu.

"Harap Taijin sudi memaafkan kami. Sebenarnya perkelahian ini hanyalah urusan pribadi. Mereka semuanya menuduh bahwa hamba adalah seorang penjahat, seorang jai-hwa-cat yang jahat dan keji. Karena hal itu tidak benar, maka hamba menyangkal dan mereka lalu menyerang hamba sehingga terjadilah perkelahian itu."

Lega rasa hati Ling Ling dan Pek Eng yang tadinya sudah pucat dan cemas kalau-kalau aib yang menimpa diri mereka akan dibicarakan di tempat umum seperti itu.

"Bohong, Taijin! Dia memang benar jai-hwa-cat yang berjuluk Ang-hong-cu! Kami melihat buktinya, dan anak murid kami yang sudah menjadi korbannya!" terdengar Tiong Gi Cinjin dari Bu-tong-pai berseru marah. "Sebab itu pinto harus membunuhnya!" Saking marahnya kakek ini sudah menggerakkan tongkatnya dan menghantam dengan sepenuh tenaga ke arah kepala Hay Hay. Pemuda itu mengangkat kedua lengannya.

"Dukkk!"

Tongkat itu tertangkis, kemudian sekali memutar kedua tangannya Hay Hay telah berhasil merenggut tongkat itu hingga terlepas dari kedua tangan lawan. Demikian cepat dan kuat gerakannya sehingga Tiong Gi Cinjin tak mampu mempertahankan tongkatnya lagi. Akan tetapi Hay Hay menyodorkan kembali tongkatnya itu dan berkata dengan tenang.

"Harap Totiang suka bersikap jantan dan tenang, dan tidak membuat ribut di depan Cang Taijin."

Tosu itu menerima kembali tongkatnya dan mukanya berubah merah karena merasa rikuh terhadap Menteri Cang.

"Sudahlah," kata pembesar itu, "Urusan Cu-wi merupakan urusan pribadi, sebab itu harus diselesaikan secara pribadi pula. Cu-wi adalah pendekar-pendekar yang sudah berjasa kepada negara, akan tetapi kalau di sini membuat ribut, berarti melanggar peraturan dan larangan perintah. Kalau Cu-wi masih berkeras membuat ribut di sini, maka terpaksa kami akan menggunakan kekuatan kami untuk menangkap Cu-wi dan untuk diajukan di depan pengadilan untuk menemukan siapa yang salah. Kami tidak menghendaki hal itu terjadi, maka biarlah kami menjadi saksi dan Cu-wi selesaikan urusan ini dengan jalan damai di depan kami."

"Taijin, mohon Paduka suka mempertimbangkan dengan adil," kata pula Tiong Gi Cinjin. "Seorang anak murid Bu-tong-pai, yakni gadis yang masih muda, sudah menjadi korban kejahatan Ang-hong-cu, penjahat jai-hwa-cat yang terkenal di dunia kang-ouw. Anak murid Bu-tong-pai kami sebar untuk mencari penjahat itu dan pada suatu hari, murid-murid kami menemukan pemuda ini sedang bermain-main dengan perhiasan berbentuk tawon merah, persis seperti yang ditinggalkan pada mayat murid perempuan kami yang telah dihina dan dibunuhnya. Jelas bahwa dia ini Ang-hong-cu pemerkosa dan pembunuh murid perempuan kami, oleh karena itu, bukankah sudah adil dan sepatutnya jika kami hendak membunuh dia? Bukan sekedar membalas kematian murid kami, juga sekalian melenyapkan seorang penjahat besar yang mengancam keamanan dunia, terutama kaum wanitanya!"

Menteri Cang mengangguk-angguk kemudian menoleh kepada Hay Hay, di dalam hatinya kurang percaya bahwa pemuda gagah ini adalah seorang jai-hwa-cat yang memperkosa dan membunuh wanita dengan kejam.

"Bagaimana pembelaanmu terhadap tuduhan ini, orang muda?" tanyanya.

"Taijin, dengan tegas hamba menyatakan bahwa hamba bukan jai-hwa-cat Ang-hong-cu. Tetapi kalau satu pihak menuduh dan lain pihak menyangkal maka takkan ada habisnya. Hamba berjanji kepada Bu-tong-pai bahwa hamba akan mencari jai-hwa-cat Ang-hong-cu yang sesungguhnya dan kalau perlu menyeretnya ke Bu-tong-pai untuk mengakui semua kejahatannya itu. Jika hamba tidak berhasil boleh saja Bu-tong-pai minta pertanggungan jawab hamba. Ang-hong-cu adalah seorang jai-hwa-cat yang sudah mengganas di dunia kang-ouw semenjak hamba belum lahir, jadi tak mungkin hamba yang menjadi jai-hwa-cat Ang-hong-cu."

"Enak saja kau berjanji!" kata seorang di antara Bu-tong Liok-eng. "Apakah engkau sudah mengenal Ang-hong-cu yang sebenarnya?"

"Aku tahu siapa adanya dia walau pun aku belum sempat berjumpa dengan Ang-hong-cu yang memang sedang kucari," jawab Hay Hay.

"Ang-hong-cu adalah ayah kandungnya!" tiba-tiba terdengar Pek Eng berseru.

Semua orang amat terkejut dan terheran-heran mendengar ini, bahkan Hui Lian langsung menutup mulutnya menahan teriakan kaget. Kui Hong dan Ling Ling memandang dengan mata terbelalak pula. Kini semua orang memandang kepada Hay Hay.

Wajah Hay Hay nampak pucat sekali ketika sejenak dia mengangkat muka memandang kepada Pek Eng, lalu cepat menundukkan mukanya yang ternyata berubah merah sekali. Rahasianya telah dibuka gadis yang merasa penasaran itu. Biarlah, biarlah semua orang tahu bahwa dia adalah anak jai-hwa-cat. Biarlah dunia tahu bahwa dia adalah anak haram dari Ang-hong-cu, penjahat cabul yang amat jahat itu. Kenyataan ini tak perlu ditutupi lagi, tak perlu dirahasiakan lagi karena hal itu bukanlah kesalahannya.

Dengan perlahan kini Hay Hay mengangkat mukanya yang telah normal kembali, bahkan mulutnya tersenyum duka, dan dia pun memandang orang sekelilingnya, lalu memandang kepada Menteri Cang dan mengangguk.

"Ucapan tadi memang benar. Aku adalah anak dari seorang wanita yang menjadi korban kejahatan Ang-hong-cu. Karena itu harap para Enghiong dan Locianpwe dari Bu-tong-pai menyadari. Dia adalah ayah kandungku, maka aku akan mencarinya sampai dapat untuk memaksa dia mempertanggung jawabkan perbuatannya, baik terhadap murid Bu-tong-pai, terhadap mendiang ibuku, atau terhadap semua wanita yang pernah menjadi korbannya!"

"Siancai...!" Tiong Gi Cinjin berseru. "Sekarang pinto mengerti dan maafkanlah kekhilafan kami. Kalau saja semenjak dulu engkau mengatakan hal ini. Ahh, kalau begitu, perhiasan tawon merah yang berada di tanganmu itu..."

"Itu adalah perhiasan yang ditinggalkan oleh ibuku untukku, sebagai tanda bahwa beliau menjadi korban Si Tawon Merah."

"Sekarang kami merasa puas dan baiklah, kami menerima kesanggupanmu, orang muda yang gagah. Bu-tong-pai tak akan bertindak apa-apa lagi, hanya akan menunggu sampai engkau berhasil menangkap Ang-hong-cu." Lalu Tiong Gi Cinjin menoleh kepada Menteri Cang. "Taijin, kami dari Bu-tong-pai sudah tidak ada urusan lagi dengan orang muda ini, harap Taijin sudi memaafkan keributan yang kami lakukan tadi."

Menteri Cang tersenyum girang, diam-diam dia merasa terharu atas pengakuan Hay Hay tadi. Seorang pemuda yang gagah perkasa, mengaku sebagai putera kandung yang tidak sah dari seorang jai-hwa-cat yang dicari-cari para pendekar untuk dibunuh!

"Bagus, segala urusan bisa diselesaikan dengan musyawarah, asal dilakukan dengan hati jernih dan kepala dingin. Bagaimana, apakah masih ada orang lain yang memiliki urusan pribadi dengan Saudara Tang Hay?" tanyanya sambil memandang pada Han Siong, Ling Ling dan Kui Hong yang tadi mengeroyok Hay Hay.

"Taijin, perkenankanlah hamba bicara empat mata dengan Saudara Tang Hay," kata Han Siong yang mulai merasa sangsi dengan keterangan adiknya.

Harus diakuinya bahwa Hay Hay adalah seorang pemuda yang amat luar biasa, memiliki ilmu sihir dan silat yang amat tinggi sehingga dia sendiri kewalahan menghadapinya. Biar pun keturunan jai-hwa-cat, namun sikap Hay Hay tidak menunjukkan bahwa dia seorang pengecut yang jahat, maka dia hendak membicarakan urusan itu dengan Hay Hay, tentu saja tanpa didengar orang lain kecuali dia dan Pek Eng.

"Baik sekali, silakan. Pek-enghiong." kata pembesar itu.

Han Siong lalu mengajak Hay Hay untuk menyingkir dari situ dan memilih tempat sunyi di antara pohon-pohon, cukup jauh dari situ. Dia pun memberi isyarat kepada adiknya untuk ikut dan kini mereka bertiga berdiri saling berhadapan di bawah pohon, dapat terlihat oleh Menteri Cang akan tetapi semua yang mereka bicarakan tidak dapat terdengar.

"Saudara Tang Hay, sekarang aku minta pengakuanmu tentang..."

"Aku sudah tahu, Saudara Pek Han Siong," Hay Hay memotong. "Adik Eng sendiri sudah pernah menyerangku mati-matian."

"Apakah engkau tetap akan bersikap demikian pengecut untuk menyangkal perbuatanmu terhadap adikku?"

Hay Hay tersenyum pahit dan menarik napas panjang. "Entah mengapa, agaknya Tuhan telah menakdirkan bahwa semenjak lahir hingga sekarang hidupku selalu menjadi korban keadaan. Aku dilahirkan oleh seorang ibu yang menjadi korban perkosaan kemudian mati membunuh diri, lalu dijadikan penggantimu, seorang Sin-tong sehingga aku diperebutkan seperti sebuah benda pusaka! Kemudian setelah dewasa, aku dijadikan korban fitnah dari sana-sini. Sungguh mati, Saudara Pek Han Siong, bukan aku yang sudah menodai Adik Eng..."

"Hay-ko, begitu kejamkah hatimu untuk tetap menyangkal? Jangan kira bahwa aku begitu kejam dan tak tahu malu untuk menjatuhkan fitnah kepadamu, Hay-ko. Karena engkaulah orangnya yang melakukan, maka tentu saja aku minta pertanggungan jawabmu, sebagai seorang jantan, sebagai seorang pendekar gagah! Hay-ko, begitu kejamkah hatimu untuk menghancurkan perasaan dan kehormatanku?" Pek Eng menangis.

Hay Hay menarik napas panjang dan memandang kepada Han Siong. "Saudara Pek Han Siong, bolehkah aku menggunakan kekuatan batin untuk memaksa adikmu mengucapkan pengakuan yang sebenarnya akan apa yang sudah menimpa dirinya? Agar dia menjawab semua pertanyaanku dengan sepenuh hati dan sejujurnya? Ataukah engkau yang hendak mempergunakan kekuatan batin itu atas dirinya?"

Han Siong mengerti apa yang dimaksudkan Hay Hay dan dia pun mengangguk. Dia mulai meragukan apakah benar Hay Hay telah melakukan perbuatan itu lalu menyangkal secara pengecut. Melihat sikapnya, agaknya Hay Hay bukan seorang pengecut.

"Baik, lakukanlah," katanya lirih.

Han Siong segera memasang perhatian sepenuhnya untuk mengamati supaya Hay Hay tidak menyalah gunakan ilmu sihirnya untuk mempengaruhi jawaban Pek Eng. Sementara itu Hay Hay lalu berkata, suaranya berpengaruh dan menggetar.

"Eng-moi, kau pandanglah mataku kemudian jawablah sejujurnya apa yang kutanyakan kepadamu!"

Pek Eng mengangkat muka memandang. Dia terkejut bertemu pandang dengan sepasang mata yang mengeluarkan sinar mencorong itu akan tetapi sia-sia belaka untuk membuang pandang mata atau mengelak karena dia tak mampu lagi melepaskan pandang matanya yang sudah bertaut dan melekat dengan pandang mata Hay Hay.

"Eng-moi, katakanlah sejujurnya, siapakah yang malam itu memasuki pondok taman dan menggaulimu?"

Sambil memandang wajah Hay Hay dengan mata yang tidak pernah berkedip, Pek Eng lalu menjawab, suaranya datar, "Dia adalah Hay-ko."

Jawaban ini sudah diduga oleh Hay Hay, maka dia tidak merasa terpukul. Dia tahu bahwa Pek Eng tidak melakukan fitnah, melainkan benar-benar merasa yakin bahwa orang yang menggaulinya itu adalah dia. Dia harus dapat mengorek rahasia ini, tanda-tanda pada pria itu yang akan dapat memberikan jejak kepadanya.

"Eng-moi, pada waktu laki-laki itu memasuki pondok, bagaimana cuaca di dalam pondok itu? Gelap ataukah terang?"

"Gelap…"

"Apakah engkau dapat melihat wajah laki-laki itu?"

"Tidak…"

"Lalu bagaimana engkau dapat yakin bahwa dia adalah Hay-ko?" tanya Hay Hay.

"Sudah pasti dia. Hay-ko tadinya meninggalkan aku, lalu dia kembali dan aku mengenal bentuk tubuhnya, juga wajahnya ketika tanganku merabanya."

"Apakah dia mengeluarkan suara?"

"Tidak…"

Hay Hay menjadi bingung, lalu berpikir keras. "Apakah tidak ada sesuatu yang khas pada orang itu, suaranya, tanda sesuatu pada tubuhnya, atau... mungkin bau badannya?"

Sampai beberapa detik lamanya Pek Eng tidak menjawab, tetapi kemudian dia berseru, "Bau badannya... ahh, aku teringat bau badannya, bau harum cendana..."

Hay Hay menyudahi pengaruh sihirnya dan Pek Eng merasa seperti orang baru sadar dari tidur. Hay Hay memandang kepada Pek Han Siong, lantas berkata. "Memang keterangan Eng-moi tak begitu jelas akan tetapi engkau pasti tahu bahwa aku tidak berbau cendana, Saudara Pek Han Siong."

Han Siong mengerutkan alisnya. "Lalu, siapa kiranya orang itu kalau bukan engkau?"

Hay Hay menggeleng kepala. "Aku belum tahu, aku belum dapat menduga, akan tetapi... rasanya bau cendana itu tak asing bagiku. Harap engkau dan Eng-moi menanti sebentar, biar aku mengambil keputusan apa yang dapat kujanjikan kepadamu, Saudara Pek. Tapi kalau engkau dan Eng-moi kukuh berkeyakinan bahwa akulah yang berdosa, nah, silakan kalau hendak membunuhku. Aku tidak akan melawan, namun kuperingatkan kalian bahwa kalian akan menanggung dosa yang amat besar karena aku sungguh tidak bersalah!"

Pek Han Siong adalah seorang pemuda yang cukup bijaksana, dahulu pernah menerima gemblengan dari para hwesio yang hidup bersih di kuil Siauw-lim-si. Oleh karena itu dia dapat menangkap kebenaran kata-kata Hay Hay tadi. Maka dia pun menggandeng tangan adiknya, diajak pergi, kembali ke tempat di mana Menteri Cang dan para pendekar lainnya masih menunggu, setelah berkata kepada Hay Hay,

"Baik, kami percaya kepadamu dan kami akan menunggu!"

"Tapi, Koko...," Pek Eng membantah.

"Sudahlah, kau percaya saja kepadaku, adikku." kata Han Siong.

Hay Hay menarik napas lega. Andai kata kakak beradik itu tadi tidak percaya kepadanya dan menyerangnya, maka dia akan memejamkan mata saja dan menerima kematiannya! Kini tinggal Ling Ling! Maka dia meloncat ke tempat pertempuran tadi dan berkata kepada Ling Ling yang masih digandeng Kui Hong.

"Ling-moi, mari kita bereskan urusan antara kita di sana," ajaknya.

Sejak tadi Ling Ling sudah dibujuk Kui Hong supaya menyerahkan urusan itu kepadanya, maka kini dia menoleh dan memandang kepada Kui Hong.

"Baik, dia akan pergi bersamaku untuk bicara denganmu!" kata Kui Hong dengan suara ketus.

Gadis ini juga maklum bahwa tidak mungkin mereka membicarakan urusan Ling Ling di hadapan banyak orang. Dua orang wanita itu lalu mengikuti Hay Hay yang juga mengajak mereka menjauhi semua orang untuk dapat bicara tanpa terdengar orang lain.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar