Pendekar Mata Keranjang Jilid 83

Dia mulai mencari jalan keluar untuk melarikan diri, akan tetapi ketika membalik, di sana telah ada Bi Lian yang siap menerjangnya! Celaka, pikirnya, menghadapi Bi Lian seorang saja dia masih belum mampu mengalahkannya, apa lagi dengan munculnya suami isteri yang ditakutinya itu.

Pasukannya menghadapi kehancuran, ada pun pembantu-pembantunya tidak tampak ada yang muncul, bahkan dia tidak melihat adanya Kulana dan Sim Ki Liong yang diandalkan, yang entah berada di mana. Karena tidak metihat jalan keluar, Lam-hai Giam-lo menjadi nekat.

"Baik, aku akan mengadu nyawa dengan kalian!" bentaknya dengan suaranya yang parau seperti ringkik kuda.

Tubuhnya lalu berputar-putar dan dia mulai memainkan ilmu silat yang dia andalkan, yaitu ilmu silat dengan tubuh berputaran. Di dalam putaran tubuhnya ini terkandung kekuatan seperti angin puyuh yang berpusing, bahkan nampak daun kering dan debu ikut berpusing di sekeliling tubuhnya disertai angin menyambar-nyambar di sekitarnya!

Hebat bukan main ilmu dari Lam-hai Giam-lo ini sehingga beberapa orang pendekar dan banyak anak buah pasukan pemerintah tidak ada yang berani mendekat, membiarkan tiga orang perkasa itu menghadapi pemimpin pemberontak yang amat sakti itu.

Su Kiat dan Hui Lian tidak mengenal Bi Lian, akan tetapi mereka berdua merasa kagum sekali. Dara yang cantik jelita itu, yang usianya belum menginjak dua puluh tahun, berani menghadapi Lam-hai Giam-lo seorang diri saja tanpa senjata, bahkan mampu menandingi iblis itu sehingga terjadi perkelahian yang seru. Padahal Lam-hai Giam-lo adalah seorang datuk sesat yang amat berbahaya!

Sementara itu Bi Lian juga memperhatikan dengan heran saat melihat munculnya seorang laki-laki berlengan kiri buntung bersama seorang wanita yang cantik dan mereka berdua itu langsung menyerang Lam-hai Giam-lo dengan dahsyatnya, bahkan membuat Lam-hai Giam-lo kelihatan seperti orang ketakutan.

Akan tetapi gadis ini maklum bahwa mereka berdua itu adalah kawan-kawan, setidaknya juga membantu pasukan pemerintah, maka tanpa banyak cakap lagi dia pun siap bekerja sama dengan mereka untuk membasmi manusia jahat macam Lam-hai Giam-lo. Tanpa mengucapkan sepatah pun kata, ketiga orang ini sudah membentuk Sha-kak-tin (Barisan Segitiga) mengepung Lam-hai Giam-lo yang berputaran seperti gasing itu!

Bi Lian sudah mengerahkan tenaga sinkang, disalurkan melalui kedua lengannya dan dia memainkan ilmu silat gabungan dari Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, ilmu silat yang aneh gerak-geriknya. Kedua telapak tangannya mengeluarkan uap putih, lengannya bisa mulur dan memendek seperti karet, tubuhnya dengan ringan dan cekatan dapat berlompatan ke sana-sini dan kadang-kadang tangannya mencuat ke depan seakan hendak menembus tubuh yang berpusing itu.

Dengan lengan kiri buntung yang kini digantikan oleh ujung lengan baju yang dapat dibuat lemas dan kadang kala keras seperti besi, Ciang Su Kiat memainkan Ilmu Silat Sian-eng Sin-kun yang cepatnya bukan main. Ilmu silat tangan kosong Sian-eng Sin-kun (Pukulan Sakti Bayangan Dewa) ini merupakan peninggalan dari Sian-eng-cu The Kok, seorang di antara delapan orang sakti yang dikenal dengan julukan Delapan Dewa.

Dengan ilmu silat ini tubuhnya seperti dapat terbang saja, atau bahkan saking cepatnya gerakannya, bagi pandang mata biasa yang nampak hanyalah bayangan saja dan setiap kali menyerang, baik dengan ujung lengan bajunya yang kiri atau pun tangan kanannya, maka serangan itu merupakan serangan maut yang amat berbahaya bagi lawan.

Kok Hui Lian juga mengerahkan seluruh tenaga serta kepandaiannya untuk menghadapi Lam-hai Giam-lo yang lihai. Dia langsung memainkan In-liong Kiam-sut dengan pedang Kiok-hwa-kiam. In-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Awan) adalah ciptaan mendiang In Liong Nio-nio, juga salah seorang di antara Delapan Dewa.

Gerakannya sangat tangkas dan gagah, tepat seperti nama ilmu itu sendiri, seakan-akan seekor naga sedang melayang-layang di angkasa. Gulungan sinar pedang itu membentuk lingkaran lebar dan dari dalamnya menyambar-nyambar sinar pedang yang dahsyat.

Menghadapi tiga orang yang memiliki ilmu silat tinggi itu, Lam-hai Giam-lo menjadi repot bukan main. Lawan lain tentu akan menjadi gentar menghadapi ilmunya itu, akan tetapi tiga orang ini mempunyai tingkat yang mampu menandinginya, maka tentu saja dia tidak mendapatkan banyak kesempatan untuk menyerang mereka. Dalam keadaan berpusing itu dia hanya mampu mempertahankan diri untuk menangkis atau bersembunyi di dalam pusingan tubuhnya yang sukar dijadikan sasaran serangan itu.

"Singgg…! Singgg...!"

Gulungan sinar pedang Kiok-hwa-kiam mengeluarkan cahaya mencuat dua kali, pertama menyarnbar ke arah leher, kemudian seperti meluncur turun dan menyambar ke arah kaki dari tubuh Lam-hai Giam-lo yang berpusing. Lam-hai Giam-lo mampu menghindarkan diri dengan dua kali elakan, akan tetapi pada saat itu pula tangan Bi Lian yang mulur sudah mencengkeram ke arah lehernya.

"Dukkk!"

Dia menangkis dan benturan kedua lengan membuat tubuhnya tergetar walau pun Bi Lian juga terhuyung. Getaran tubuh ini menghentikan pusingan tubuh Lam-hai Giam-lo. Pada saat itu pula ujung lengan baju yang menjadi lemas seperti cambuk telah melecut ke arah matanya, dan ketika Lam-hai Giam-lo menarik tubuhnya ke belakang, ujung lengan baju itu sudah berubah kaku dan kini menotok ke arah pinggang. Totokan maut ini nyaris saja mengenai pinggangnya. Lam-hai Giam-lo cepat membuang dirinya ke samping kemudian bergulingan.

Sinar pedang menyambar-nyambar mengejar tubuh yang bergulingan itu. Dalam keadaan terhimpit itu Lam-hai Giam-lo mencengkeram tanah, kemudian sekali menggerakkan dua tangannya, ada pasir dan tanah menyambar ke arah mata ketiga orang pengeroyoknya!

Kakek ini memang hebat! Akan tetapi yang dihadapinya juga merupakan tiga orang lawan yang amat tangguh, yang tidak mudah digertak dengan senjata rahasia seperti itu. Hanya dengan memiringkan kepala, tiga orang itu dapat menghindarkan diri dari sambaran pasir dan tanah itu tanpa harus menghentikan pengejaran mereka terhadap tubuh yang masih bergulingan itu.

"Singggg...!"

Sinar pedang Kiok-hwa-kiam menyambar ke arah leher Lam-hai Giam-lo yang sudah tidak memiliki kesempatan untuk mengelak lagi. Terpaksa dia menangkis dengan lengan kirinya ke arah sinar pedang berkilauan itu.

"Crokkk!" Pedang tertahan dan tidak mengenai leher, akan tetapi lengan Lam-hai Giam-lo terbabat buntung sebatas siku.

Lam-hai Giam-lo sama sekali tidak mengeluarkan teriakan walau pun lengan kirinya telah buntung. Dengan tangan kanan dia cepat menotok jalan darah pada pangkal lengannya untuk menghentikan darah yang bercucuran keluar, kemudian tubuhnya membalik ke arah Hui Lian dan dengan marah disertai kenekatan, Lam-hai Giam-lo lalu menubruk dengan serangan tangan kanan yang ampuh. Orang ini memang memiliki daya tahan yang kuat sekali sehingga dalam keadaan terluka parah itu serangannya bahkan lebih dahsyat dari pada tadi.

Hui Lian terkejut, cepat mengelebatkan pedangnya namun pedang itu dapat ditampar dari samping oleh tangan kanan Lam-hai Giam-lo sehingga hampir terlepas, dan seperti cakar setan tangan itu sudah menyambar ke arah dada Hui Lian! Keadaan wanita itu sungguh kritis dan berbahaya sekali. Akan tetapi suaminya, Ciang Su Kiat, sudah siap siaga dan melihat bahaya mengancam isterinya, dia pun menubruk ke depan lalu menghantamkan tangan kanannya ke arah kepala Lam-hai Giam-lo.

"Plakkk!"

Tubuh Lam-hai Giam-lo terpelanting keras dan roboh tak mampu bergerak lagi. Tewaslah Lam-hai Giam-lo, datuk sesat yang mempunyai ambisi besar itu. Setelah Lam-hai Giam-lo tewas, Hui Lian, Su Kiat dan Bi Lian saling berpencaran lagi, masing-masing melanjutkan amukan mereka untuk membantu pasukan pemerintah yang kini mulai berhasil mendesak pasukan pemberontak yang sudah kehilangan banyak pemimpin itu.

Sementara itu, Can Sun Hok yang berkelahi melawan Kim San Ketua Kui-kok-pang juga sudah berhasil merobohkan lawan itu dengan sulingnya yang lihai, kemudian membantu Ling Ling yang masih mengamuk dikeroyok oleh belasan orang anak buah Kui-kok-pang. Mereka berdua mengamuk dan biar pun anak buah Kui-kok-pang berdatangan membantu teman-teman mereka, tetapi satu demi satu mereka roboh dan tewas di tangan sepasang orang muda perkasa ini.

Kui Hong yang bersama belasan anak buahnya menjaga di atas tebing sebelah kiri telah melihat betapa tebing di seberang sudah dikuasai pula oleh pihak pasukan pemerintah, bahkan kini ditinggalkan sesudah tadi dia melihat betapa pendekar lengan buntung Ciang Su Kiat menarik putus sumbu panjang itu. Melihat ini, Kui Hong juga meniru perbuatan Su Kiat. Dia kemudian menarik sumbu panjang yang menjulur ke bawah dari puncak tebing itu dan mempergunakan tenaga menyentak sehingga sumbu itu putus pula dekat tempat pemasangan bahan peledak.

"Kalian berjaga di sini saja, aku mau turun membantu pertempuran di bawah," pesannya kepada para prajurit, dan dia pun berlari turun dengan cepatnya.

Selagi dia berloncatan menuruni tebing itu, dia melihat seorang wanita cantik berpakaian merah bergegas hendak melarikan diri, tersaruk-saruk di tebing. Kui Hong belum pernah melihat wanita ini, akan tetapi dia pernah mendengar dari Hay Hay mengenai datuk-datuk sesat yang membantu pemberontakan, di antaranya terdapat orang-orang lihai seperti Ji Sun Bi, Min-san Mo-ko dan orang-orang Pek-lian-kauw.

Sesudah melihat keadaan wanita itu, dia segera menduga bahwa agaknya wanita itulah yang berjuluk Tok-sim Mo-li (Iblis Betina Berhati Racun) dan bernama Ji Sun Bi itu. Maka cepat dia menghadang. Setelah wanita itu tiba di depannya, dia lalu menudingkan telunjuk kanannya dan membentak.

"Heii! Bukankah engkau ini Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi?!"

Pertanyaan ini dikeluarkan secara tiba-tiba dengan bentakan sehingga wanita itu terkejut dan marah, tak sempat berpikir panjang lagi lalu balas membentak. "Kalau benar, kenapa engkau tidak lekas berlutut agar aku tidak membunuhmu?!"

Wanita itu memang Ji Sun Bi. Melihat betapa Min-san Mo-ko yang menjadi gurunya dan juga kekasihnya itu tewas, demikian pula banyak kawan yang membantu Lam-hai Giam-lo roboh dan tewas, Ji Sun Bi pun merasa kecil hati dan ketakutan. Seperti juga para datuk sesat, orang seperti dia memang tak memiliki kesetiaan. Segala sepak terjangnya dalam hidup hanya mempunyai satu dasar, yaitu ingin menyenangkan dan menguntungkan diri sendiri belaka. Seperti yang lain, apa bila dia membantu Lam-hai Giam-lo adalah karena mereka itu melihat kemungkinan untuk memperoleh kemuliaan kalau gerakan itu menang.

Kini, melihat betapa gerakan pemberontakan itu terancam kehancuran di kandang sendiri sebelum sempat bergerak keluar, Ji Sun Bi cepat mengumpulkan barang-barang berharga lantas diam-diam dia meninggalkan medan pertempuran. Tidak ada jalan lari melalui jalan terusan, juga tidak mungkin ke belakang lembah karena di sana pun sudah penuh dengan pasukan pemerintah. Maka jalan satu-satunya hanyalah mencoba untuk menyelamatkan diri lewat tebing di kanan kiri jalan terusan.

Dia memilih tebing kiri, tidak menyangka bahwa dia akan bertemu dengan seorang gadis cantik yang mengenalinya dan bertanya tanpa sopan santun sama sekali. Maka dia pun menjadi marah, apa lagi gadis itu hanya seorang diri dan tentu saja Ji Sun Bi memandang rendah gadis itu. Hal ini tidaklah aneh mengingat bahwa Ji Sun Bi adalah seorang datuk sesat wanita yang berilmu tinggi dan jarang menemukan tanding.

Kui Hong adalah seorang gadis yang galak dan berandalan, gagah dan tidak kenal takut, bahkan masih dapat tersenyum manis dalam keadaan mendongkol melihat keangkuhan Ji Sun Bi. Pada dasarnya, Kui Hong memiliki watak jenaka, hanya kadang-kadang watak itu tertutup oleh kegalakan dan keberandalannya.

"Wah, kalau engkau berjuluk Iblis Betina Berhati Racun, maka sebentar lagi engkau harus mengubah julukanmu itu menjadi Mayat Iblis Tak Berjantung karena engkau akan mati di tanganku. Aku adalah Cia Kui Hong dan julukanku adalah Hok-mo Sian-li (Dewi Penakluk Iblis)!" Tentu saja julukan ini hanya buatan Kui Hong saja untuk menggoda orang. Wanita itu berjuluk Iblis maka dia sengaja memakai julukan Penakluk Iblis!

"Srattttt...!"

Nampak dua sinar berkelebat saat Ji Sun Bi mencabut keluar senjatanya, yaitu sepasang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Dengan pedang kiri diangkat di atas kepala dan pedang kanan menodong ke arah Kui Hong, Ji Sun Bi mengeluarkan bentakan nyaring.

"Bocah lancang, akan kupotong lidahmu!"

Akan tetapi terdengar suara berdesing dan kini tahu-tahu di kedua tangan Kui Hong telah terlihat masing-masing sebatang pedang. Kiranya dara itu telah mencabut keluar Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) yang berwarna hitam, pedang pemberian neneknya, yaitu Toan Kim Hong di Pulau Teratai Merah.

Melihat sepasang pedang berwarna hitam yang mengeluarkan sinar menyeramkan itu, Ji Sun Bi terkejut sekali. Akan tetapi dia tidak mengenal pedang itu dan masih memandang ringan.

"Keparat, makanlah pedangku!" bentak Ji Sun Bi saat melihat Kui Hong sambil tersenyum mengejek melintangkan pedangnya di depan muka. Dia membacok dengan pedang kanan sedangkan pedang kirinya meluncur ke arah perut Kui Hong.

"Heiiittt... ihhhh...!" Kui Hong berseru lantas dua batang pedangnya berubah menjadi dua gulungan sinar hitam.

"Cringgg...! Tranggg...!"

Kini terkejutlah Ji Sun Bi sebab dia merasa betapa kedua tangannya tergetar keras ketika sepasang pedangnya ditangkis dengan cepat oleh lawannya. Ji Sun Bi boleh jadi memiliki watak yang angkuh dan sombong, akan tetapi dia cukup cerdik dan benturan dua pasang senjata itu memberi tahu kepadanya bahwa biar pun masih muda, ternyata lawannya ini mempunyai ilmu kepandaian tinggi dan tenaga kuat sehingga tak boleh dipandang ringan sama sekali.

Maka tanpa banyak cakap lagi dia telah menyerang dengan ganas, mengeluarkan semua ilmunya yang paling diandalkan. Sepasang pedangnya menyambar-nyambar laksana dua ekor naga mencari mangsa.

Namun yang dihadapinya adalah Cia Kui Hong yang ilmu pedangnya amat hebat, apa lagi sesudah dia menerima gemblengan dari kakek dan neneknya, yaitu Pendekar Sadis dan isterinya di Pulau Teratai Merah. Dengan lincahnya Kui Hong memainkan Ilmu Pedang Hok-mo Siang-kiam yang telah disempurnakan oleh gemblengan neneknya.

Di samping menerima gemblengan ilmu-ilmu silat yang telah dikuasainya dari latihan yang diberikan oleh ayah ibunya, juga ilmu ginkang Kui Hong sudah diperdalam oleh kakek dan neneknya sehingga kini dia dapat bergerak sangat lincah dan ringannya. Bagaikan seekor burung walet saja tubuhnya berkelebatan di seputar lawannya, membuat Ji Sun Bi makin kaget dan khawatir.

Tingkat kepandaian Kui Hong agaknya akan seimbang dengan tingkat kepandaian Ji Sun Bi sebelum dia digembleng oleh kakek dan neneknya. Akan tetapi kini dia menang jauh, terutama sekali dalam hal sinkang dan ginkang. Tenaga saktinya lebih kuat dan dia pun memiliki gerakan yang lebih ringan, lincah dan cepat sehingga lewat tiga puluh jurus saja, Ji Sun Bi mulai terdesak dan kewalahan.

"Hyaaaattttt...!" Tiba-tiba Ji Sun Bi mengeluarkan lengking panjang dan kedua pedangnya diputar sedemikian rupa hingga tubuhnya tergulung oleh sinar pedangnya sendiri, lalu dari gulungan sinar pedang itu mencuat dua sinar yang menyambar ke arah leher serta dada Kui Hong.

Namun dara itu dengan tenang saja meloncat ke belakang dan ketika lawannya mengejar, tiba-tiba dia mengelebatkan kedua pedangnya. Dua sinar hitam menyambar dari atas dan bawah. Ji Sun Bi tidak sempat mengelak karena dia sedang meloncat ke depan, terpaksa dia menangkis dengan kedua pedangnya.

"Singgg...! Singgg...!"

Mendadak Kui Hong menarik kembali sepasang pedangnya sehingga tangkisan itu hanya meluncur ke tempat kosong dan pada saat itu sepasang pedang hitam sudah menyerang lagi dari kanan kiri. Ji Sun Bi semakin kaget, terpaksa memutar pergelangan tangannya dan menggunakan pedang untuk menangkis.

“Tranggg…! Tranggg…!”

Terdengar dua kali suara nyaring, lantas pedang kiri Ji Sun Bi terlepas dan terlempar, sedangkan tangan kanannya hampir saja melepaskan pedang karena telapak tangannya terasa panas dan perih. Tanpa banyak cakap lagi dia langsung meloncat ke belakang dan melarikan diri! Ji Sun Bi maklum bahwa kalau dia melanjutkan perkelahian itu, tentu dia akan kalah dan akhirnya tewas di tangan lawannya yang amat tangguh itu.

"Heiii, iblis betina pengecut, hendak lari ke mana engkau?!" Kui Hong memaki dan cepat mengejar. Karena dia memang mempunyai ginkang yang amat hebat, maka sebentar saja dia hampir dapat menyusul Ji Sun Bi yang menjadi semakin gelisah.

Ketika melihat bahwa dia telah mengambil jalan yang salah, yaitu yang menuju ke jurang yang curam, Ji Sun Bi menjadi semakin bingung. Ada pun Kui Hong justru tertawa girang melihat lawannya terjebak dan berada di jalan buntu.

"Heh-heh, Tok-sim Mo-li, engkau hendak lari ke mana lagi sekarang?" Kui Hong mengejek dan dengan gerakan cepat sekali dia mengejar lawan yang sudah ketakutan itu.

Ji Sun Bi menoleh dan melihat Kui Hong mengejarnya. Dia maklum bahwa sekali ini dia tidak akan mampu menyelamatkan diri lagi. Dalam ketakutannya ini dia lalu menjadi nekat dan meloncat ke depan! Tubuhnya meluncur ke bawah.

"Ehhh...!" Kui Hong berseru dan cepat meloncat ke tepi jurang, lalu menjenguk ke bawah.

Dia masih sempat melihat tubuh wanita itu terbanting dan terpental, lantas menggelinding terus ke bawah sampai tidak nampak lagi. Kui Hong menghela napas panjang, kemudian menyarungkan sepasang pedangnya. Wanita iblis itu tidak mungkin dapat meloloskan diri lagi. Terjatuh dari tempat setinggi itu pasti akan mati. Dia pun tidak dapat mengejar sebab tak mungkin menuruni jurang itu. Maka Kui Hong lalu melanjutkan larinya menuruni tebing untuk membantu pertempuran pasukan pemerintah melawan pasukan pemberontak.

Sementara itu Hay Hay terus mencari Ki Liong sambil merobohkan prajurit pemberontak yang menghadang di jalan. Akhirnya dia melihat pemuda itu sedang mengamuk dengan hebat di luar jalan terusan.

Memang benar apa yang dikatakan Kui Hong kepadanya. Pemuda yang menjadi murid Pendekar Sadis dan isterinya itu sungguh lihai bukan main. Sudah belasan orang menjadi korban pedang pusaka Gin-hwa-kiam, pedang pusaka Pulau Teratai Merah yang menurut cerita Kui Hong telah dicuri Ki Liong berikut beberapa benda pusaka dari pulau itu.

Gerakan pedang pemuda itu demikian matang dan mantap sehingga para prajurit kerajaan merasa gentar juga menghadapi pemuda ini sesudah ada beberapa orang perwira roboh dan tewas. Mereka mengepung dari jarak jauh dengan mempergunakan tombak panjang. Melihat keadaan ini, Hay Hay lalu meloncat dekat dan Ki Liong segera melihatnya.

"Saudara Tang Hay...!" kata Ki Liong. "Bantulah aku keluar dari tempat ini dan nanti akan kubagikan pusaka-pusaka indah kepadamu!"

Akan tetapi Hay Hay melangkah maju sambil berseru kepada para prajurit. "Harap kalian mundur dan biarkan aku menghadapinya!"

Para prajurit cepat-cepat mundur dan mengepung tempat itu dari jarak jauh. Kini Hay Hay berhadapan dengan Ki Liong yang mengamatinya dengan sinar mata tajam penuh selidik karena dia masih belum yakin benar di pihak mana Hay Hay berdiri.

"Sim Ki Liong, apa yang sudah kau lakukan terhadap Pek Eng?" Hay Hay bertanya lirih karena tak ingin hal itu didengar lain orang, akan tetapi di dalam pertanyaan yang lirih itu terkandung ancaman serta kemarahan besar. Ki Liong melebarkan matanya memandang Hay Hay dengan heran.

"Apa yang sudah kulakukan? Tidak apa-apa, Saudara Tang Hay. Gadis itu pergi dan tak seorang pun tahu ke mana. Aku tidak pernah mengganggunya..."

"Bohong! Malam itu, di dalam pondok taman! Apa yang sudah kau lakukan? Jangan kau menyangkal, hayo ikut bersamaku dan membuat pengakuan di depan Pek Eng, atau aku akan memaksamu!"

"Tang Hay manusia sombong! Aku tidak punya urusan dengan Pek Eng atau denganmu! Kalau engkau tidak suka membantu aku keluar dari tempat ini, sudahlah, aku tidak punya waktu untuk melayani obrolanmu yang tidak karuan ujung pangkalnya!"

"Ki Liong! Kalau engkau menyangkal, terpaksa aku harus memaksamu untuk menyerah!" bentak Hay Hay sambil melompat menghadang pada saat melihat Ki Liong hendak pergi meninggalkannya.

Marahlah Ki Liong, "Keparat! Engkau seorang jai-hwa-cat hina berani mengancam aku?" Dia mengacungkan pedang Gin-hwa-kiam.

Hay Hay juga marah sekali. Dia tidak mau mempergunakan ilmu sihirnya untuk melawan Ki Liong karena dia hendak mencoba sampai di mana kelihaian murid dari Pulau Teratai Merah ini.

"Mulutmu busuk seperti hatimu!" Hay Hay balas memaki sesudah mendengar dia dimaki sebagai jai-hwa-cat.

Akan tetapi pada saat itu Ki Liong sudah menggerakkan Gin-hwa-kiam menyerangnya. Serangannya hebat bukan main, dahsyat sekali, cepat dan mengandung tenaga sinkang yang amat kuat. Ilmu pedang yang dimainkannya adalah Hok-mo Kiam-sut, ada pun jurus yang dipergunakan untuk penyerangan pertama itu adalah jurus Sin-liong Hok-mo (Naga Sakti Menaklukkan Iblis).

Pedang itu meluncur ke arah dada lawan untuk dilanjutkan dengan putaran pergelangan tangan sehingga pedang dapat dilanjutkan dengan bacokan memutar yang mengancam semua bagian tubuh depan lawan! Jurus ini hebat bukan kepalang dan karena dia sudah menerima gemblengan dari suami isteri pendekar yang sakti, maka gerakannya itu sangat mantap sekaligus juga ganas.

Menghadapi sebatang pedang pusaka, Hay Hay tidak berani bertangan kosong saja. Dia mengenal pusaka ampuh, maka dia pun cepat mencabut sulingnya dari ikat pinggang dan sambil meloncat ke belakang untuk mengelak, dia langsung memutar sulingnya sehingga terdengarlah suara melengking tinggi rendah. Pedang itu telah dilanjutkan dengan putaran yang menyerang leher, dan Hay Hay kini menangkis dari samping dengan sulingnya.

"Tranggg...!"

Suling dan pedang bertemu lalu keduanya melangkah mundur dua tindak, masing-masing mengakui akan kehebatan tenaga sinkang lawan. Namun Ki Liong sudah menerjang lagi ke depan. Dia ingin cepat-cepat pergi dari tempat berbahaya itu dan untuk itu dia harus cepat pula menyelesaikan perkelahian ini.

Pedangnya lenyap berubah menjadi gulungan cahaya perak yang menyelimuti tubuhnya. Bagaikan roda perak yang berputar cepat, gulungan sinar itu bergerak maju ke arah Hay Hay, dengan suara mendesing-desing memekakkan telinga dan angin sambaran pedang terasa sampai beberapa meter jauhnya.

Hay Hay bersikap hati-hati. Maklum dengan kelihaian lawan yang memiliki ilmu silat tinggi dan pilihan itu, dia pun cepat mengerahkan tenaga dan menggunakan Ilmu Langkah Ajaib Jiauw-paow-poan-soan. Tubuhnya berputar-putar dan dengan langkah ajaib itu dia mampu menghindarkan diri dari tekanan dan sambaran sinar pedang lawan, bahkan membalas pula dengan totokan ke arah jalan darah dengan ujung sulingnya.

Terjadilah perkelahian yang sangat hebat sehingga membuat daun-daun kering dan pasir berhamburan serta debu mengepul di sekitar tempat itu. Suara mengaung dan berdesing memekakkan telinga disertai sambaran angin berputar-putar membuat para penonton baik dari pihak pasukan pemerintah mau pun pemberontak terpaksa mundur beberapa langkah lagi.

Setelah lewat dua puluh jurus lebih, tiba-tiba saja Hay Hay melakukan serangan dengan sulingnya, menotok ke arah muka lawan antara kedua matanya. Serangan ini hanya untuk memancing perhatian lawan, karena tangan kirinya telah siap untuk melakukan serangan inti, pada saat lawan terpaksa mencurahkan perhatian kepada serangan pertama.

Akan tetapi Ki Liong cukup lihai untuk menduga siasat lawan ini. Pedang Gin-hwa-kiam dikelebatkan dari samping menangkis suling, sambil sekaligus dia mengerahkan tenaga sinkang yang mempunyai daya tempel yang kuat.

Pemuda ini memang belum diberi pelajaran Thi-ki-i-beng, yaitu ilmu sinkang yang dapat membetot dan menghisap tenaga sakti lawan, merupakan ilmu mukjijat dan simpanan dari Pendekar Sadis Ceng Thian Sin, akan tetapi dia sudah mempelajari sinkang yang dilatih dengan jungkir balik dan dapat menggunakan tenaga sakti ini untuk mendorong, menarik, membetot, bahkan menempel.

Begitu pedangnya bertemu suling yang ditangkisnya, maka pedang itu melekat dan hal ini terasa oleh Hay Hay yang menjadi terkejut juga karena sulingnya melekat pada pedang itu bagaikan besi melekat pada besi semberani! Dan kekagetannya itu membuat dia agak lambat menggunakan tangan kiri yang sudah dipersiapkan. Serangan suling yang tadinya dilakukan untuk mengejutkan lawan itu kini bahkan membuat dia sendiri menjadi terkejut ketika sulingnya melekat pada pedang lawan.

Dan pada saat itu pula tangan kiri Ki Liong sudah menghantam ke arah dadanya dengan tangan terbuka! Kiranya Ki Liong mempunyai siasat yang sama, yaitu menggunakan daya lekat sinkang-nya untuk mengejutkan lawan sehingga lawan dalam keadaan lengah ketika tangan kirinya menghantam dengan pukulan maut. Pukulan itu adalah pukulan Thian-te Sin-ciang yang amat dahsyat. Thian-te Sin-ciang (Tangan Sakti Bumi Langit) merupakan satu di antara ilmu-ilmu yang hebat dari Pendekar Sadis!

Dalam keadaan kritis itu Hay Hay tak kehilangan akal. Tangan kirinya memang sejak tadi sudah dia persiapkan untuk menyerang akan tetapi dia kedahuluan lawan, maka kini dia pun mendorong dengan tangan kirinya itu, dengan jari tangan terbuka. Itulah sebuah jurus ampuh dari Ciu-sian Cak-pek-ciang (Delapan Belas Jurus Silat Dewa Arak) yang pernah dipelajarinya dari Ciu-sian Lokai, seorang di antara Delapan Dewa.

"Plakkk!"

Dua buah tangan itu saling bertemu dan saling menempel! Kini kedua orang muda itu tak dapat melepaskan diri lagi. Pedang dan suling saling melekat dan kedua tangan kiri saling menempel sehingga satu-satunya hal yang dapat mereka lakukan hanyalah mengerahkan sinkang, mengadu tenaga sakti untuk merobohkan lawan. Dan di dalam pertandingan ini keduanya harus mengerahkan seluruh tenaga karena siapa kalah dalam adu sinkang ini tentu akan putus nyawanya!

Perlahan-lahan Ki Liong merasa betapa tenaga lawannya menjadi semakin kuat saja dan mulailah dia gemetar. Keringat membasahi muka serta lehernya, dan uap putih mengepul dari kepalanya.

"Mati aku sekali ini..." pikir Ki Liong. Tapi bagaimana pun juga dia harus mempertahankan diri. Dia tidak dapat melepaskan diri dari himpitan ini, karena itu tak ada jalan lain kecuali mempertahankan sampai saat terakhir!

Di saat yang amat berbahaya bagi Ki Liong karena dia memang kalah tenaga itu, tiba-tiba saja nampak bayangan orang berkelebat dan dua buah tangan mendorong dari samping. Dua buah tangan ini mengandung tenaga sinkang yang kuat pula, dan karena dorongan itu, Ki Liong dan Hay Hay menjadi miring sehingga benturan atau adu tenaga dari mereka berdua menyeleweng lantas terlepaslah telapak tangan mereka.

Hay Hay meloncat ke belakang sementara Ki Liong terguling! Dia terus bergulingan, lalu meloncat bangun dengan muka pucat. Dia nyaris tewas di dalam adu tenaga tadi dan kini dia melihat bahwa orang yang melerai tadi adalah seorang pemuda yang usianya sebaya dengan dia mau pun Hay Hay, bermuka putih bulat dan bersikap tenang.

Akan tetapi pemuda yang tidak dikenalnya itu tidak memperhatikannya, bahkan sekarang menghadapi Hay Hay yang juga menatap dengan penuh perhatian. Melihat kesempatan yang amat baik ini, diam-diam Ki Liong lalu melarikan diri dan melompat jauh.

"Heiii! Mau lari ke mana kau?!" Hay Hay membentak dan hendak mengejar, akan tetapi pemuda muka putih yang bukan lain adalah Pek Han Siong itu menghadang di depannya.

"Tahan dulu...!"

Hay Hay yang tak ingin melihat Ki Liong melarikan diri hendak mengejar terus, dan karena Han Siong menghadang di jalan, Hay Hay mengibaskan lengannya untuk mendorongnya minggir.

"Dukkk!" Kedua lengan mereka bertemu dan akibatnya, keduanya terdorong mundur.

Maka terkejutlah Hay Hay. Orang ini ternyata lihai sekali! Karena Ki Liong sudah lenyap di antara para prajurit yang masih bertempur, dan karena pemuda di depannya itu agaknya bersungguh-sungguh hendak menghadangnya, maka terpaksa dia membiarkan Ki Liong pergi dan sekarang menghadapi Han Siong dengan sinar mata tajam penuh selidik. Dia belum pernah bertemu dengan orang ini dan tidak tahu apakah orang ini memihak kepada pemberontak ataukah pemerintah.

"Saudara yang gagah, siapakah engkau dan kenapa engkau menghadangku?" tanya Hay Hay, diam-diam terkejut melihat betapa sinar mata pemuda ini mencorong dan wajahnya penuh wibawa, menunjukkan bahwa pemuda ini mempunyai kekuatan tersembunyi yang sangat dahsyat.

"Betulkah engkau yang bernama Tang Hay?" Han Siong berbalik mengajukan pertanyaan sambil memandang tajam.

Hay Hay mengerutkan alisnya, lantas mengangguk, "Benar, namaku Tang Hay. Siapakah engkau dan ada urusan apakah..."

Han Siong memotong. "Namaku Pek Han Siong dan..."

"Ahh! Kiranya engkau yang dijuluki Sin-tong...!"

"Benar sekali, akan tetapi aku datang bukan untuk meributkan persoalan itu. Aku datang untuk meminta pertanggungan jawabmu, Tang Hay. Bersikaplah sebagai seorang jantan yang berani mempertanggungjawabkan perbuatannya!"

"Apa maksudmu?" tanya Hay Hay, akan tetapi dia segera mengerti sebelum pemuda itu menjawab karena pada saat itu dia melihat munculnya Pek Eng!

"Jangan engkau menyangkal tentang perbuatanmu terhadap adik kandungku, Eng-moi!"

Hay Hay cepat menggelengkan kepala dan matanya tetap memandang ke arah Pek Eng seakan-akan jawaban itu dia ajukan kepada Pek Eng. "Tidak... tidak...! Aku tidak pernah melakukan kekejian itu! Aku sama sekali tidak melakukannya!"

Han Siong memandang dengan muka merah. Benar kata adiknya. Pemuda ini sungguh pengecut walau pun berilmu tinggi, berani berbuat tetapi tidak berani bertanggung jawab. Teringat dia bahwa menurut keterangan orang tuanya, pemuda ini adalah putera seorang jai-hwa-cat, seorang penjahat cabul pemerkosa wanita dan amarahnya makin memuncak.

Adik kandungnya telah menjadi korban kecabulan laki-laki ini dan sekarang dia tidak mau bertanggung jawab, bahkan menyangkal! Padahal buktinya sudah jelas, adiknya menjadi saksi utama. Tidak mungkin adik kandungnya melakukan fitnah, menuduh orang yang tak berdosa sebagai pelakunya.

"Tang Hay, apakah engkau hendak mengikuti jejak ayah kandungmu? Jika engkau secara pengecut menyangkal perbuatanmu sendiri, maka terpaksa aku akan menghajarmu!"

Wajah Hay Hay berubah merah. Dia tahu bahwa orang ini marah karena percaya bahwa dia telah merenggut kegadisan Pek Eng dan meminta dia bertanggung jawab. Akan tetapi karena dia benar-benar merasa tidak melakukan hal itu, dan kini dia diingatkan tentang ayahnya yang jahat, hal yang amat menyakitkan hatinya, maka dia pun menjadi marah.

"Sampai mati pun tak mungkin aku dapat mengakui perbuatan yang tidak kulakukan. Nah, terserah apa yang hendak kau lakukan kepadaku, aku tidak takut!" jawabnya.

Bagi Han Siong, jawaban ini dianggap sebagai ucapan seorang yang keras hati dan yang nekat hendak menyangkal perbuatannya, maka dia pun semakin penasaran. Akan tetapi niatnya bertemu dengan Hay Hay bukan hendak menyerangnya, apa lagi membunuhnya.

Dia hanya hendak membujuk pemuda itu bertanggung jawab, apa lagi karena menurut pengakuan Pek Eng, adiknya itu mencinta Hay Hay. Kalau tidak dapat dibujuk, dia hendak menggunakan akal agar Hay Hay suka menyerah dan sadar lalu mau menerima Pek Eng sebagai jodohnya.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar