Rasanya aneh sekali melihat seorang laki-laki yang usianya sudah hampir separuh baya, lebih dari empat puluh tahun itu, menangis dengan air mata bercucuran sambil berlutut. Apa lagi kalau orang mengenal siapa dia. Dia seorang laki-laki gagah perkasa, bukan saja seorang pendekar sakti yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi, bahkan lebih dari itu, dia seorang ketua perkumpulan orang gagah yang sangat terkenal!
Dia adalah Cia Hui Song, ketua Cin-ling-pai, seorang pendekar besar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi pada waktu itu dia seperti seorang anak kecil, menangis mengguguk bercucuran air mata di depan kakek dan nenek itu.
Manusia memang lemah, karena itu sikap orang gagah ini sama sekali tidak aneh. Ilmu kepandaian tinggi tak akan membebaskan manusia dari kelemahannya itu, perasaan iba diri yang sangat besar, keakuan yang menebal. Hanya kesadaran serta pengertian saja menjadi langkah pertama ke arah kebebasan.
Ada orang yang berusaha menyembunyikan kelemahan ini melalui kekejaman, melalui kekerasan, namun tetap saja hal itu membuktikan akan kelemahannya. Duka menjadi makanan setiap manusia bila mana dia belum mampu membebaskan diri dari belenggu keakuannya.
Ada orang yang berusaha menyembunyikan kelemahan ini melalui kekejaman, melalui kekerasan, namun tetap saja hal itu membuktikan akan kelemahannya. Duka menjadi makanan setiap manusia bila mana dia belum mampu membebaskan diri dari belenggu keakuannya.
Kakek dan nenek itu menghela napas panjang ketika melihat menantu mereka berlutut di hadapan mereka sambil menangis dan minta ampun itu. Mereka hanya mengamati dan mendengarkan dengan sikap tenang.
Kakek itu adalah Ceng Thian Sin Si Pendekar Sadis, majikan Pulau Teratai Merah. Kakek yang kini berusia enam puluh lima tahun ini masih nampak gagah perkasa dan sikapnya tenang dan matang. Ada pun nenek itu bernama Toan Kim Hong, usianya sama dengan suaminya, dan dulu ketika masih gadis pernah menjadi seorang datuk sesat yang berjuluk Lam Sin (Malaikat Selatan). Juga nenek ini masih nampak muda dan jelas masih terlihat bekas kecantikannya, sikapnya tenang seperti suaminya.
"Harap Ayah dan Ibu mertua sudi memaafkan saya yang sudah berani lancang datang menghadap. Sebenarnya sudah sangat lama saya menahan hati yang ingin sekali datang berkunjung, akan tetapi terus terang saja saya tidak berani datang karena saya merasa sudah melakukan kesalahan terhadap puteri Ayah dan Ibu. Setelah anak Kui Hong datang berkunjung ke Cin-ling-pai, baru saya memaksakan diri untuk menghadap dan mengakui semua kesalahan yang telah saya lakukan terhadap isteri saya, Ceng Sui Cin."
Suami isteri yang usianya sudah enam puluh tahun lebih itu tidak menjawab, melainkan bertukar pandang, lalu mereka menoleh kepada puteri mereka. Sui Cin, wanita yang kini berusia hampir empat puluh tahun itu duduk sambil menundukkan mukanya yang menjadi merah dan ketika dia mengangkat mukanya memandang ke arah suaminya yang berlutut, kedua matanya menjadi basah, akan tetapi dia diam saja dan masih nampak kemarahan membayang pada sinar matanya.
"Hui Song, kami orang tua tak ingin mencampuri urusan kalian suami isteri, sungguh pun kami merasa ikut berduka dan prihatin sekali ketika anak kami pulang. Sekarang engkau telah datang setelah isterimu pulang selama tiga tahun lebih. Nah, sebaiknya kalau kalian berdua membicarakan sendiri urusan itu dan kami sebagai orang tua hanya ingin melihat kalian dapat akur kembali sebagai suami isteri. Sui Cin, ini suamimu telah datang, sudah sepatutnya jika engkau menyambutnya dan segala urusan dapat kalian bicarakan dengan sebaiknya. Ajaklah suamimu masuk dan kalian bicaralah di dalam sana," kata Ceng Thian Sin dengan suara halus.
"Ayahmu benar, Sui Cin," kata nenek itu. "Tidak ada persoalan yang tidak dapat diatasi dengan cara musyawarah, dan tidak ada kesalahan yang tidak dapat dimaafkan. Ajaklah suamimu ini berunding, kemudian atur sebaiknya bagaimana untuk menyelesaikan urusan di antara kalian itu."
"Ayah dan Ibu, aku ingin bicara dengan dia di sini saja, agar dapat disaksikan oleh Ayah dan Ibu!" kata Sui Cin dan nada suaranya keras, membayangkan keadaan hati yang sakit. Kemudian dia menghadapi Hui Song, memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik dan terdengar dia berkata. "Selama tiga tahun aku sudah menjauhkan diri, dan sekarang tiba-tiba engkau datang menyusulku ke sini dengan maksud apakah?"
Perih rasa hati Hui Song melihat dan mendengar sikap serta ucapan isterinya itu. Namun dia tidak menjadi marah. Tidak, dia tidak dapat marah terhadap isterinya yang dicintanya itu, melainkan merasa kasihan. Dia merasa bahwa dia sudah berdosa kepada isterinya, walau pun perbuatannya itu dilakukannya dengan terpaksa sekali.
Dan kini, setelah dia melihat sendiri penyesalan ayahnya karena keputusan ayahnya yang mengakibatkan terpisahnya dia dan isterinya, sejak kedatangan Kui Hong ke Cin-ling-pai, ia sengaja datang untuk meminta maaf dan ingin mengajak isterinya kembali. Akan tetapi sikap isterinya membuat dia merasa gelisah dan ragu. Jangan-jangan isterinya tak dapat memaafkannya sehingga ajakannya untuk rujuk kembali bahkan akan membuat isterinya menjadi semakin marah. Betapa pun juga, dia harus mencobanya!
Setelah menghela napas panjang seperti hendak mengumpulkan kekuatan, Hui Song lalu berkata, "Cin-moi, seperti telah kukatakan kepada Ayah dan Ibu mertua tadi, aku merasa bersalah kepadamu, dan karena perasaan bersalah itulah maka selama ini aku tak berani datang berkunjung ke sini. Baru setelah anak kita datang ke Cin-ling-pai dan menegur aku beserta ayahku, aku memberanikan diri untuk datang ke sini. Maksudku tiada lain hanya hendak meminta maaf kepadamu, dan mohon kepadamu supaya engkau suka kembali ke Cin-ling-san..."
"Dan hidup serumah dengan isterimu yang baru, yang jauh lebih muda dan cantik dariku, lantas setiap hari makan hati melihat engkau bermesraan dengan isteri barumu itu? Tidak! Tidak sudi aku!"
"Cin-moi, tentu engkau pun dapat merasakan bahwa aku selamanya cinta kepadamu, dan kalau aku sampai menikah lagi, hal itu kulakukan karena terpaksa untuk berbakti kepada ayahku yang menginginkan seorang cucu laki-laki untuk penyambung keturunan keluarga Cia. Aku menikah lagi bukan untuk mengumbar nafsuku, Cin-moi, engkau tentu tahu akan hal ini, namun bagaimana pun juga aku telah merasa bersalah kepadamu, telah menyakiti hatimu, harap engkau suka bersikap bijaksana dan suka memaafkan aku."
Kerut di antara sepasang alis Sui Cin tidak lenyap, bahkan kini pandang matanya kepada suaminya menjadi makin tajam penuh selidik. "Hemm, engkau hanya mau enaknya saja. Apakah kalau sudah minta maaf begini lalu keadaannya menjadi baik kembali? Sekarang, apa kehendakmu selanjutnya?"
Hui Song maklum akan kemarahan di hati isterinya dan dia tidak menyalahkan isterinya. Tidak, isterinya sama sekali tidak bersalah. Sudah wajarlah kalau isterinya merasa panas hatinya dan marah, sakit hati karena dia menikah lagi, memperisteri seorang wanita muda sehingga tentu saja isterinya merasa dibanding-bandingkan, merasa diremehkan dan tak dibutuhkan lagi! Dia dapat memaklumi betapa nyerinya perasaan ini bagi seorang wanita. Oleh karena itu dia pun tidak merasa tersinggung walau pun isterinya bersikap keras dan menggunakan kata-kata ketus.
"Selanjutnya terserah padamu, Cin-moi. Sudah kukatakan bahwa aku telah berbuat salah kepadamu, bagaikan seorang pesakitan aku sudah mengakui kesalahanku, dan aku siap menerima hukumannya. Aku hanya mohon supaya engkau suka mengampuniku dan suka kembali ke rumah kita di Cin-ling-san."
"Aku tak sudi selama wanita itu masih berada di sana! Dengarlah, aku mau kembali hidup di sampingmu, sebagai ibu anak kita dan sebagai isterimu yang setia, hanya dengan satu syarat!"
"Apakah syarat itu, Cin-moi?"
"Syaratnya, wanita itu harus kau bunuh!"
Seketika wajah Hui Song menjadi pucat dan matanya terbelalak, maka melihat ini hati Sui Cin menjadi semakin panas. "Huhh! Engkau terlampau cinta kepadanya, tentu tidak akan mau kehilangan wanita itu! Kalau begitu engkau lebih berat kepadanya, engkau lebih cinta kepadanya dari pada kepadaku!" Dan kini sepasang mata Sui Cin menjadi basah, namun dengan sikap gagah dia menahan tangisnya.
"Bukan begitu, Cin-moi. Engkau tentu tahu bahwa engkaulah yang kucinta, sejak dahulu, sekarang dan sampai hayat meninggalkan badan. Akan tetapi... untuk membunuh Siok Bi Nio..., bagaimana hal itu mungkin? Bagaimana pun juga dia adalah Ibu kandung puteraku, Cia Kui Bu"
"Terserah! Tinggal kau pilih saja," kata Sui Cin, suaranya serak oleh tangis yang ditahan-tahannya, "Dia atau aku! Kalau engkau memilih dia, jangan engkau harap aku akan sudi hidup bersamamu sebagai isterimu dan jangan engkau berani mencariku lagi karena bila hal itu kau lakukan maka aku akan menganggap itu sebagai penghinaan! Sebaiknya, jika engkau memilih aku, engkau harus membunuhnya, membunuh wanita pelacur itu!"
"Sui Cin, jangan engkau memaki orang tanpa alasan!" Tiba-tiba saja Toan Kim Hong atau Nyonya Ceng Thian Sin menegur puterinya. Semenjak tadi dia bersama suaminya hanya mendengarkan saja, tidak mencampuri urusan puteri mereka, hanya menjadi saksi saja. Akan tetapi dia merasa tidak setuju dan langsung menegur puterinya setelah mendengar puterinya memaki isteri muda Hui Song sebagai pelacur.
"Tentu saja ada alasannya, Ibu!" bantah Sui Cin. "Semua wanita yang merebut suamiku adalah pelacur!" Lalu dia menoleh kepada suaminya lagi. "Nah, sekarang engkau boleh pilih dan mengambil keputusan sekarang juga!"
Secara diam-diam Pendekar Sadis Ceng Thian Sin juga ikut menyesalkan sikap puterinya yang dianggapnya terlampau keras itu, akan tetapi dia diam saja dan hanya memandang kepada Hui Song.
Ketua Cin-ling-pai ini merasa terpukul sekali. Tak diduganya sama sekali bahwa isterinya akan bersikap sekaku dan sekeras itu. Dia menarik napas panjang. Bagaimana pun juga dia sudah mengenal baik watak isterinya ini.
Memang sikap Sui Cin keras, sesuai dengan wataknya yang keras, akan tetapi di balik kekerasan itu isterinya memillki hati yang amat baik dan bijaksana. Bila sekarang terlihat kejam adalah karena hatinya sedang dikeruhkan oleh perasaan cemburu dan panas. Dia tak percaya bahwa isterinya akan memaksanya membunuh Bi Nio, karena hal ini sungguh berlawanan dengan watak pendekar dari isterinya.
"Cin-moi, terus terang saja, aku tidak tega membunuh ibu dari puteraku sendiri. Apa bila engkau yang akan melakukannya, terserah. Namun betapa pun juga aku jelas lebih berat kepadamu karena engkau adalah isteri yang kupilih sendiri, sedangkan Bi Nio menjadi isteriku karena keadaan. Marilah ikut pulang bersamaku dan di sana terserah kepadamu kalau engkau hendak menyingkirkan dan membunuh Siok Bi Nio."
Pendekar Sadis diam-diam memuji mantunya itu. Dia dapat mengerti akan sikap Hui song dan dia sendiri pun tak percaya kalau puterinya akan demikian kejamnya membunuh isteri muda Hui Song yang sama sekali tidak berdosa itu.
"Memang sebaiknya kalau engkau ikut pulang bersama suamimu, Sui Cin, dan urusan itu dapat kalian selesaikan di Cin-ling-san," katanya.
Isteri pendekar sakti itu langsung mengangguk, karena dia pun dapat mengerti apa yang dimaksudkan suaminya. Dia tahu bahwa puterinya mencinta Hui Song dan pada saat ini hati puterinya sedang terbakar oleh cemburu dan dia merasa yakin bahwa kalau cemburu itu sudah hilang, maka puterinya tidak akan bersikap seperti itu.
"Ayahmu benar, Sui Cin. Memang sebaiknya kalau kalian pulang ke Cin-ling-san, dan di sana urusan keluarga ini dapat dibicarakan dengan semua yang bersangkutan."
Tidak dapat disangkal oleh Sui Cin sendiri bahwa jauh di dasar hatinya dia amat mencinta Hui Song. Hampir dia tidak kuat bertahan akibat selama tiga tahun ini harus berpisah dari orang yang dicintanya. Hanya keangkuhan dan kekerasan hatinya sajalah yang membuat dia mampu bertahan dan menekan rasa rindunya yang amat sangat.
Namun kekerasan hatinya juga yang membuat dia enggan mengalah, sehingga bersikap keras dan menuntut agar suaminya membunuh isteri mudanya yang dianggapnya sebagai saingannya itu, sebagai orang yang menjadi penyebab kehancuran kebahagiaannya. Dia tak mau mempedulikan alasan lain. Dianggapnya bahwa isteri muda suaminya itulah yang bersalah!
"Baik," katanya sesudah mendengar ucapan ayah dan ibunya. "Aku akan ikut bersamamu ke Cin-ling-pai, akan tetapi jika sampai di sana engkau tidak mau membunuh perempuan pelacur itu, akulah yang akan turun tangan membunuhnya sendiri!"
Hui Song mengangguk. "Baiklah, aku dapat menerima syaratmu itu, Cin-moi."
Ceng Thian Sin lalu mengeluarkan suara ketawa. "Aha, akhirnya dapat juga dicapai kata sepakat. Gembira sekali hati kami suami isteri mendengar ini, Anakku, dan kami sungguh mengharap agar kalian dapat menemukan jalan keluar dari persoalan keluarga ini. Akan tetapi cukuplah bicara bersitegang dan kini ajaklah suamimu untuk makan minum dahulu, Sui Cin "
Hui Song tinggal di Pulau Teratai Merah selama tiga hari, barulah Pendekar Sadis beserta isterinya memperkenankan dia dan Sui Cin meninggalkan pulau. Walau pun Sui Cin tidak lagi memperlihatkan sikap bermusuhan terhadap suaminya, akan tetapi dia masih selalu menjauhkan diri. Hui Song diperlakukan sebagai seorang tamu saja!
Bahkan ketika mereka meninggalkan pulau itu menuju ke Cin-ling-pai, ketika di sepanjang perjalanan mereka harus bermalam di sebuah rumah penginapan, Sui Cin menghendaki agar mereka menyewa dua buah kamar karena dia belum mau tinggal atau tidur sekamar dengan suaminya itu sebelum urusan di antara mereka dapat diselesaikan.
Pada waktu mereka tiba di Cin-ling-san, para anggota Cin-ling-pai merasa gembira sekali melihat munculnya isteri ketua mereka. Mereka memberi hormat yang diterima dengan dingin saja oleh Sui Cin. Ketika mereka tiba di beranda, Sui Cin menolak untuk masuk terus.
"Biarlah aku menunggu di sini saja sampai kulihat engkau membunuhnya atau aku sendiri yang akan membunuhnya. Setelah itu baru aku mau masuk ke dalam rumah ini."
Hui Song tidak menjawab dan sampai beberapa lamanya dia memandang pada isterinya, hatinya sedih bukan main. Tak ada anggota Cin-ling-pai yang berani mengganggu mereka sehingga di beranda rumah itu sunyi sekali.
Ayahnya tentu sedang bersemedhi di dalam kamarnya sendiri, pikirnya. Dan isterinya, Bi Nio, bersama puteranya tentu berada di dalam kamar atau di bagian belakang. Mereka semua belum tahu akan kedatangannya, dan tentu sama sekali tidak menyangka bahwa pulangnya bersama Sui Cin, isteri pertamanya.
"Baiklah, aku akan menemui Bi Nio," katanya lantas dia meninggalkan Sui Cin masuk ke dalam rumah untuk mencari isteri mudanya. Dia menemukan mereka berada di ruangan belakang. Bi Nio terkejut dan girang melihat suaminya pulang.
"Ah, engkau pulang begini tiba-tiba sehingga kami tidak bisa melakukan penyambutan..." katanya sambil tersenyum manis, akan tetapi senyumnya langsung menghilang ketika dia melihat wajah suaminya yang nampak keruh dan berkerut penuh kegelisahan.
"Apakah yang telah terjadi...?" tanya isteri itu khawatir.
Hui Song belum menjawab, melainkan meraih puteranya, Cia Kui Bu yang baru berusia sekitar dua tahun, kemudian memangku serta mencium kepalanya. Anak yang mengenal ayahnya itu tertawa-tawa dan kembali Bi Nio mendesak.
"Apakah yang telah terjadi maka engkau kelihatan begini susah...?" tanyanya lagi sambil menyentuh lengan suaminya.
Meski pun wanita ini menjadi isteri Hui Song atas kehendak orang tuanya, namun selama ini dia menemukan seorang suami yang amat baik dan bijaksana, dan Bi Nio sudah jatuh cinta kepada suaminya sendiri yang jauh lebih tua darinya itu, setua ayahnya.
"Bi Nio..." Hui Song berkata, akan tetapi tidak mampu melanjutkan.
Walau pun tadinya dia merasa yakin bahwa Sui Cin tidak mungkin akan melaksanakan tuntutan atau ancamannya, tetapi setelah berhadapan dengan Bi Nio dan membayangkan betapa nasib amat buruk menanti wanita ini, hatinya penuh rasa iba. Bi Nio tidak bersalah apa pun, dan Cia Kui Bu juga tak bersalah apa-apa. Mana mungkin dia harus membunuh Bi Nio dan memisahkan Kui Bu dari ibunya? Dosanya akan menjadi semakin besar kalau dia melakukan hal itu!
"Bi Nio, ketahuilah bahwa isteriku yang pertama kini ikut pulang bersamaku..."
"Ah, sungguh berita yang menggembirakan sekali. Saya harus segera keluar menyambut! Di mana dia...?" Bi Nio menggendong puteranya dan nampak gembira.
Melihat ini, Hui Song menghela napas panjang. "Nanti dulu, Bi Nio. Justru karena inilah maka aku menjadi bingung. Ceng Sui Cin, isteri yang pertama itu, dia... dia menuntut agar aku memilih salah satu. Memilih engkau atau memilih dia! Dia tidak mau dimadu, tidak mau kalau aku memiliki dua orang isteri."
Sepasang mata itu terbelalak dan wajahnya menjadi sepucat kertas ketika dia menatap muka suaminya. Beberapa saat lamanya dia bagaikan kehilangan akal saking kagetnya mendengar ucapan suaminya itu. Kemudian dengan suara lirih dia bertanya,
"Kalau... kalau memilih aku...?"
"Kalau aku memilih engkau maka dia tidak sudi kembali ke sini, tidak mau lagi hidup di sampingku sebagai isteriku."
"Ahh, tidak mungkin kau lakukan hal itu!" Bi Nio berseru kaget.
"Tentu saja tidak mungkin. Engkau tahu bahwa dia adalah isteriku, dan pernah kukatakan kepadamu bahwa dia adalah isteriku yang kucinta, dan kami sudah mempunyai seorang anak perempuan yang sangat kucinta pula. Engkau sudah melihat Kui Hong ketika dahulu dia datang berkunjung..."
"Seorang gadis yang amat hebat. Dan kalau engkau memilih isterimu yang pertama?" Bi Nio mendesak.
Hui Song hanya menarik napas panjang, tidak mampu menjawab, tidak sampai hati untuk menceritakan bahwa Sui Cin menghendaki agar dia membunuh Bi Nio! Melihat keraguan suaminya, Bi Nio mendekap anaknya dan berkata sambil menangis,
"Aku tahu! Akulah yang harus pergi dari sini! Ahh, memang sudah sepatutnya begitu. Aku hanya isteri ke dua, sudah tentu engkau lebih berat kepada isterimu pertama. Baiklah, aku akan pergi, akan kubawa Kui Bu pergi..."
"Tidak mungkin!" Mendadak Hui Song berseru keras sehingga mengejutkan Bi Nio yang selama menjadi isteri Ketua Cin-ling-pai itu belum pernah mendengar suaminya berkata keras apa lagi membentak kepadanya, "Engkau tidak boleh membawa pergi Kui Bu! Dia adalah putera tunggalku, satu-satunya penyambung keturunan keluarga Cia. Engkau tak boleh membawanya!"
Sepasang mata Bi Nio kini terbelalak lebar penuh kegelisahan. Dia mendekap puteranya di dadanya, dekapannya kuat sekali sehingga anak yang baru berusia dua tahun lebih itu menangis. Agaknya dia dapat merasakan kegelisahan hati ibunya.
"Kau... kau hendak memisahkah aku dari anakku? Ahh tidak... jangan...! Biar kubawa dia pergi, aku tidak minta apa-apa darimu dan tidak menuntut apa pun. Aku akan pergi tanpa membawa apa pun... tapi... jangan minta aku pergi meninggalkannya di sini ! Ah, jangan... lebih baik kau bunuh saja aku..." Wanita itu kemudian menangis sesenggukan sambil mendekap dan menciumi puteranya yang juga ikut menangis.
Melihat keadaan ibu dan anak itu, Hui Song cepat berlari keluar. Inilah saatnya yang tepat untuk mempertemukan Sui Cin dengan mereka, pikirnya. Dia melihat Sui Cin masih duduk di serambi depan.
"Cin-moi, marilah. Siok Bi Nio dan anaknya sudah menunggumu di dalam. Mari kita temui mereka!"
Sui Cin mengerutkan alisnya, akan tetapi dia menurut dan mengikuti suaminya memasuki rumah itu, rumah di mana kurang lebih enam belas tahun menjadi tempat tinggalnya, di mana selama enam belas tahun dia hidup berbahagia bersama suaminya.
Mereka mendapatkan Bi Nio masih menciumi puteranya sambil menangis di ruang dalam. Sui Cin memandang penuh perhatian. Hemmm, seorang perempuan yang masih sangat muda, paling banyak berusia dua puluh satu atau dua tahun, sepantasnya menjadi kakak Kui Hong. Pantas menjadi anaknya, atau keponakannya! Dan anak laki-laki yang juga ikut menangis bersama ibunya itu, demikian mirip dengan Hui Song! Berkerut alis Sui Cin.
"Cin-moi, inilah Siok Bi Nio dan anak kami, Cia Kui Bu. Aku sudah memberi tahu padanya akan keputusanmu bahwa aku harus memilih antara engkau dan dia. Dan telah kukatakan kepadanya bahwa tentu saja aku berat kepadamu yang semenjak muda menjadi isteriku. Sekarang terserah kepadamu, ini dia dan anaknya, boleh kau putuskan sendiri," kata Hui Song, wajahnya agak pucat dan hatinya terasa tegang sekali.
Sementara itu, pada waktu mendengar kedatangan dua orang itu, Bi Nio mencoba untuk menghentikan tangisnya kemudian mengangkat muka memandang kepada wanita cantik yang berdiri di depannya. Seorang wanita yang cantik dan berwibawa, nampak galak dan membuat dia merasa kecil sekali, kecil dan lemah.
"Engkau yang bernama Siok Bi Nio?" Sui Cin bertanya, suaranya ketus.
"Benar, aku bernama Siok Bi Nio," jawab yang ditanya, suaranya lirih dan dia mendekap puteranya yang masih menangis, menggoyang-goyang anaknya untuk membujuknya agar diam.
"Engkau sudah mendengar akan keputusanku. Suamiku minta agar aku suka kembali dan tinggal di sini. Aku baru mau kembali dengan syarat bahwa dia harus membunuhmu. Dan mengenai anakmu ini, karena dia anak suamiku, biarlah aku yang akan memeliharanya," sambil berkata demikian Sui Cin menatap wajah Bi Nio dengan pandangan tajam penuh selidik, agaknya hendak melihat reaksi wanita itu setelah mendengar ucapannya.
Bi Nio terbelalak, kembali mendekap anaknya erat-erat, lantas dia memandang suaminya. "Ahh, jadi begitukah? Suamiku, jika memang kalian berkeras untuk memisahkan aku dari anakku, lebih baik cepat kau turun tangan dan bunuh aku. Lebih baik aku mati dari pada harus berpisah dengan anakku, dan bunuh pula anakku ini. Aku hendak membawa dia ke mana saja, hidup atau mati harus bersama dia! Bunuhlah kami supaya kalian dapat hidup berbahagia!" Bi Nio berkata sambil menangis dan tidak pernah melepaskan rangkulannya dari anaknya.
"Cin-moi, tak mungkin aku dapat membunuhnya. Tak mungkin aku akan sekejam itu. Bila engkau masih menghendaki untuk membunuhnya, nah, terserah padamu. Lakukanlah jika engkau memang ingin demikian!"
Hui Song berada dalam keadaan tegang sekali. Dia tahu bahwa kalau sampai isterinya itu benar-benar turun tangan hendak membunuh Bi Nio, maka dia tentu akan menentang dan mencegahnya, dan mungkin sekali dia akan memutuskan hubungan batinnya dengan Sui Cin, betapa besar pun cintanya terhadap Sui Cin. Dia akan menganggap perbuatan Sui Cin yang hendak membunuhi Bi Nio sebagai perbuatan terkutuk dan kejam sekali.
Hui Song sama sekali tidak tahu atau menduga bahwa ketika Sui Cin mengatakan bahwa dia harus membunuh Bi Nio, hal itu hanya merupakan sebuah ujian saja. Sui Cin hendak melihat apakah suaminya kini telah menjadi sedemikian palsunya, mudah mengorbankan seorang wanita demi tercapainya keinginannya.
Dahulu suaminya mengorbankan dirinya, membiarkan dia pergi bersama Kui Hong karena suaminya hendak menikah lagi. Dan sekarang karena suaminya menghendaki ia kembali, dia ingin melihat apakah suaminya mau mengorbankan Bi Nio, bahkan mau membunuh wanita itu! Betapa pun rasa cemburu dan panas hati menyesak dadanya saat berhadapan dengan madunya, sebagai seorang pendekar tentu saja dia tidak akan sudi menyerang, melukai apa lagi membunuh seorang wanita lemah seperti Bi Nio.
"Bi Nio, karena suamiku memilih aku untuk kembali ke sini, maka aku minta agar engkau suka pergi dengan baik-baik dari rumah ini. Puteramu harus ditinggal di sini dan dia akan kupelihara, juga kami akan memberimu uang secukupnya agar engkau dapat berdagang, membuka toko atau menikah lagi dengan seorang laki-laki yang masih muda dan sebaya denganmu," kata Sui Cin, suaranya tidak ketus lagi, bahkan agak lembut.
Ucapan Sui Cin itu membuat Bi Nio terbelalak, wajahnya berubah pucat lalu merah sekali, tubuhnya menggigil dan dia pun mendekap anaknya, kemudian bangkit berdiri. "Tidak...! Tidaaaakk...! Siapa pun tak boleh mengambil anakku! Biarkan aku pergi bersama anakku. Aku tidak butuh uang, tidak butuh harta, dan tidak butuh suami muda..., aku ingin hidup bersama anakku, biar miskin sekali pun. Biarkan aku pergi...!"
Wanita itu lalu keluar dengan tubuh terhuyung-huyung, sambil memondong puteranya dan menangis tersedu-sedu. Namun baru saja dia tiba di pintu, nampak berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu seorang kakek telah berdiri di depannya, menghadangnya dan sekali kakek itu menggerakkan tangan, Kui Bu, anak berusia dua tahun itu sudah terampas dari pondongan ibunya dan berada dalam pondongan lengan kanan kakek itu.
"Cia Kui Bu adalah satu-satunya keturunan keluarga Cia, maka dia harus berada di sini, mewarisi seluruh peninggalan keluarga Cia dan menjadi calon ketua Cin-ling-pai, tak ada seorang pun yang boleh membawanya pergi dari sini," katanya, suaranya kereng sekali. Melihat ayah mertuanya, Bi Nio menjerit dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan ayah mertuanya.
"Ayaaaahhh...!" Dia merangkul kaki ayah mertuanya dan menangis sesenggukan.
Kakek itu adalah Cia Kong Liang yang terbangun dari semedhinya, dan ketika mendengar keributan di ruangan belakang dia cepat-cepat menghampiri lalu turun tangan merampas cucunya yang hendak dibawa pergi oleh mantunya itu. Kini, dengan cucunya yang masih menangis dalam pondongannya, dia berkata kepada mantunya yang pertama, suaranya halus namun tegas.
"Sui Cin, aku mengerti bahwa pernikahan Hui Song dengan Bi Nio telah menghancurkan hatimu dan kini engkau datang hendak menuntut hakmu. Akan tetapi aku harap engkau dapat bertindak adil, dapat melihat siapa yang bersalah dan siapa tidak! Di dalam hal ini Bi Nio tidak dapat disalahkan, karena dia hanya seorang wanita yang menurut kemauan orang tuanya yang menyerahkannya kepada kami untuk menjadi isteri kedua Hui Song. Jadi kesalahannya kini terletak di atas pundak Hui Song. Namun engkau pun tentu sudah mengetahui bahwa pernikahan ke dua ini sama sekali bukan keinginan hati Hui Song. Dia hanya ingin memenuhi perintahku, atau tidak berani menolak perintahku sebagai seorang putera berbakti. Dengan demikian, kesalahan dari pundaknya kini berada pada pundakku! Nah, akulah yang bersalah, akulah yang berdosa, karena itu tidak sepatutnya kalau untuk kesalahan yang kulakukan, Bi Nio yang harus menanggung hukumannya! Aku sudah tua dan aku siap menerima hukumannya, Sui Cin. Apa bila engkau merasa sakit hati, nah, balaslah kepadaku, aku tak akan melawan untuk menebus kesalahanku kepadamu, akan tetapi jangan ganggu Bi Nio. Dia seorang isteri yang baik, dia sudah memberi seorang keturunan laki-laki kepada keluarga Cia, dan dia juga mencinta suaminya..."
"Ayah...!" Sambil terisak dan merangkul kaki ayah mertuanya, Bi Nio berkata, "Ayah tidak bersalah, Ayah tidak berdosa! Kalau Ayah menginginkan putera Ayah menikah lagi, hal itu Ayah lakukan bukan karena Ayah membenci menantu pertama, melainkan karena Ayah ingin sekali mempunyai seorang cucu laki-laki! Bagaimana pun juga sayalah yang menjadi biang keladi semua pertentangan dan keributan ini. Ayahnya Kui Bu ingin kembali dengan isterinya yang pertama, dan isterinya yang pertama mau kembali kepadanya akan tetapi tak mau dimadu, dan Ayah tidak ingin melihat Kui Bu keluar dari sini, tidak ada orang lain yang dapat memberi penerangan di dalam kegelapan ini kecuali saya. Satu-satunya jalan, saya harus pergi dari sini, tanpa... tanpa anakku..., biarlah saya menderita, merana, demi kebahagiaan suami saya, isterinya, dan Ayah, juga Kui Bu sendiri..." Sekarang wanita itu bangkit dan lari keluar, terhuyung dan menangis sedih.
Sejenak tiga orang itu tidak ada yang bergerak, akan tetapi tiba-tiba Sui Cin meloncat dan tubuhnya meluncur cepat melewati Bi Nio. Ketika turun, dia telah menghadang di depan Bi Nio.
"Tidak... engkau... tidak boleh pergi..." kata Sui Cin, suaranya terdengar agak gemetar, "Bi Nio..., apakah kau... kau mencinta Hui Song?"
Bi Nio yang berdiri agak membungkuk sambil menangis itu, mendadak saja mengeluarkan suara seperti orang tertawa, agaknya pertanyaan itu terasa amat lucu olehnya.
"Aku...? Mencinta dia...? Aku... aku bersedia mati untuk kebahagiaannya... Mungkin aku tidak mampu melarikan diri dari kalian, akan tetapi aku dapat pergi dengan cara lain..." Tiba-tiba saja dia terkulai dan Sui Cin melihat darah membasahi baju pada bagian dada wanita itu.
"Bi Nio...!" Sui Cin berteriak dan bergerak ke depan, merampas sebuah pisau sepanjang dua jari, pisau berlumuran darah yang tadi digunakan oleh Bi Nio untuk menusuk dadanya sendiri!
"Bi Nio...!" Hui Song berteriak dan sekali meloncat dia telah menubruk Bi Nio yang terkulai roboh. Dipangkunya tubuh isterinya itu dan diperiksanya.
"Bi Nio...!" Cia Kong Liang juga berteriak dan lompat mendekat, lalu berjongkok dan ikut memeriksa. Sementara itu, Kui Bu menangis keras, seakan-akan anak kecil yang belum tahu apa-apa ini merasakan adanya suatu mala petaka yang menimpa diri ibunya.
"Bi Nio..., ahh, Bi Nio...!" Hui Song menangis dan ayahnya hanya menggelengkan kepala sesudah keduanya mendapat kenyataan bahwa tidak mungkin lagi menyelamatkan Bi Nio karena pisau yang ditusukkan ke dadanya itu langsung mengenai jantungnya! Kini Bi Nio membuka matanya dan berbisik-bisik,
"Anakku..., anakku..., mana..."
Cia Kong Liang menangkap cucunya, kemudian didekatkan kepada Bi Nio yang langsung mendekap anaknya. Tentu saja muka dan pakaian anak itu berlumuran darah segar.
"Aku... aku akan pergi... tolonglah... tolong semua saja, rawat baik-baik anakku Kui Bu... kalian... kalian maafkan aku yang berdosa ini..." Bi Nio melepaskan anaknya dan terkulai lemas. Dia mati dengan bibir tersenyum seolah-olah dia telah rela meninggalkan dunia ini, meninggalkan anaknya karena merasa yakin bahwa anaknya akan dirawat orang dengan baik.
"Bi Nio...! Ahh, Bi Nio, aku sudah membunuhmu...!" Hui Song merintih dan terisak.
"Aku sudah membunuhmu, Bi Nio...," kata Sui Cin lirih, menunduk dan merasa menyesal. Dia memondong Kui Bu, mendekap anak yang wajah dan pakaiannya berlepotan darah itu. "aku... aku akan merawat dan mendidik anakmu ini, Bi Nio, jangan kau khawatir..."
"Aku yang telah membunuh Bi Nio...," Kakek Cia Kong Liang juga berkata dengan wajah sedih.
Hui Song bangkit berdiri sambil memondong tubuh Bi Nio yang masih berlumuran darah. "Aku seorang suami yang tidak baik, suami yang celaka dan tak mampu membahagiakan isteriku, baik terhadap Sui Cin mau pun bagi Bi Nio. Aku... aku yang telah menyebabkan kematiannya, aku akan menguburnya di puncak bukit itu dan menemaninya di sana, untuk selamanya..."
Hui Song lalu membawa lari mayat Bi Nio, diikuti pandang mata Cia Kong Liang yang tak mampu membendung aliran air matanya, dan Sui Cin yang masih mendekap Kui Bu.
Lahir dan mati merupakan awal dan akhir dari kehidupan seperti yang kita kenal ini. Kita hanya tahu akan kehidupan ini, tanpa mengetahui keadaan sebelum terlahir dan sesudah mati. Yang jelas, seorang bayi, bangsa apa pun juga, kaya atau miskin, mulia mau pun papa, dari keluarga yang bagaimana pun juga, seorang bayi begitu terlahir di dalam dunia ini, dia langsung menangis!
Tangis merupakan luapan rasa duka, dalam bahasa dari bangsa mana pun juga. Begitu memasuki alam dunia, manusia menangis. Awal kehidupan disambut tangis, seolah-olah bayi calon manusia itu merasa menyesal, merasa berduka bahwa dia telah dilahirkan di dalam suatu kehidupan yang penuh duka!
Dan di dalam kenyataannya hidup ini memang lebih banyak mengandung duka dari pada suka. Kemudian, sesudah manusia mati, hampir dapat dipastikan bahwa di wajah si mati terdapat suatu kedamaian, wajah itu membayangkan kelegaan, kebebasan, bahkan juga kebahagiaan, seolah-olah si mati merasa lega karena telah terlepas dari pada kehidupan yang banyak duka ini!
Manusia menyambut kelahiran bayi yang menangis sedih dengan gembira. Apakah ini menjadi tanda bahwa manusia merasa gembira melihat datangnya seorang rekan baru dalam kehidupan penuh derita ini, seperti sekumpulan orang dalam penjara menyambut datangnya seorang narapidana yang baru?
Dan manusia mengantar kematian seseorang dengan tangisan sedih walau pun wajah si mati nampak demikian penuh ketenangan dan kedamaian. Apakah ini pun menjadi tanda bahwa manusia merasa berduka melihat seseorang terbebas sedangkan mereka sendiri masih berada di dalam kehidupan yang penuh derita, seperti sekumpulan orang di dalam penjara yang melihat ada seorang rekannya dibebaskan sedangkan mereka masih harus mendekam di dalam penjara.
Hidup ini penuh dengan duka yang timbul dari segala perasaan ketakutan, kekerasan, iri hati, kecewa, dengki, dan iba diri. Kesenangan muncul bagaikan kilat di antara mendung gelap, hanya sekali-kali saja. Setiap jengkal kesenangan akan selalu diikuti oleh sedepa kesusahan.
Akan tetapi, tanpa ada pikiran yang menimbang-nimbang, membayang-bayangkan, serta mengingat-ingat, tanpa ada sang aku yang menilai, membandingkan, merasakan, apakah duka atau suka itu? Dalam keadaan tidur atau pingsan, selagi pikiran tidak bekerja, kita memasuki suatu alam yang tak mengenal suka duka! Mimpi mengandung suka itu ada?
Dalam keadaaan tidur atau pingsan, pada saat pikiran tak bekerja, kita memasuki suatu alam ke dalam alam tanpa suka tanpa duka. Ini membuktikan bahwa suka duka hanya permainan pikiran belaka, permainan si aku yang selalu mengada-ada…..!
Tangis merupakan luapan rasa duka, dalam bahasa dari bangsa mana pun juga. Begitu memasuki alam dunia, manusia menangis. Awal kehidupan disambut tangis, seolah-olah bayi calon manusia itu merasa menyesal, merasa berduka bahwa dia telah dilahirkan di dalam suatu kehidupan yang penuh duka!
Dan di dalam kenyataannya hidup ini memang lebih banyak mengandung duka dari pada suka. Kemudian, sesudah manusia mati, hampir dapat dipastikan bahwa di wajah si mati terdapat suatu kedamaian, wajah itu membayangkan kelegaan, kebebasan, bahkan juga kebahagiaan, seolah-olah si mati merasa lega karena telah terlepas dari pada kehidupan yang banyak duka ini!
Manusia menyambut kelahiran bayi yang menangis sedih dengan gembira. Apakah ini menjadi tanda bahwa manusia merasa gembira melihat datangnya seorang rekan baru dalam kehidupan penuh derita ini, seperti sekumpulan orang dalam penjara menyambut datangnya seorang narapidana yang baru?
Dan manusia mengantar kematian seseorang dengan tangisan sedih walau pun wajah si mati nampak demikian penuh ketenangan dan kedamaian. Apakah ini pun menjadi tanda bahwa manusia merasa berduka melihat seseorang terbebas sedangkan mereka sendiri masih berada di dalam kehidupan yang penuh derita, seperti sekumpulan orang di dalam penjara yang melihat ada seorang rekannya dibebaskan sedangkan mereka masih harus mendekam di dalam penjara.
Hidup ini penuh dengan duka yang timbul dari segala perasaan ketakutan, kekerasan, iri hati, kecewa, dengki, dan iba diri. Kesenangan muncul bagaikan kilat di antara mendung gelap, hanya sekali-kali saja. Setiap jengkal kesenangan akan selalu diikuti oleh sedepa kesusahan.
Akan tetapi, tanpa ada pikiran yang menimbang-nimbang, membayang-bayangkan, serta mengingat-ingat, tanpa ada sang aku yang menilai, membandingkan, merasakan, apakah duka atau suka itu? Dalam keadaan tidur atau pingsan, selagi pikiran tidak bekerja, kita memasuki suatu alam yang tak mengenal suka duka! Mimpi mengandung suka itu ada?
Dalam keadaaan tidur atau pingsan, pada saat pikiran tak bekerja, kita memasuki suatu alam ke dalam alam tanpa suka tanpa duka. Ini membuktikan bahwa suka duka hanya permainan pikiran belaka, permainan si aku yang selalu mengada-ada…..!
********************