Pendekar Mata Keranjang Jilid 66

Nenek yang mengamati gerakan Hay Hay dari seberang, kini tertawa, nadanya mengejek. "Orang muda, agaknya engkau tak percaya kepadaku, maka engkau menyeberang sambil bergantungan. Hemm, jika aku bermaksud buruk, biar pun engkau bergantungan, apa kau sangka aku tidak mampu membuat engkau melepaskan tali dan terjatuh ke bawah? Ingat, jika sekarang aku menghujankan batu kerikil kepadamu, bagaimana engkau akan mampu melindungi dirimu?"

"Aku akan menghindarkan seranganmu dengan cara begini, nenek yang baik!"

Tiba-tiba saja tubuh Hay Hay yang bergantungan itu membuat gerakan berputaran seperti seorang pemain akrobat tali atau bermain sulap. Akan tetapi gerakan Hay Hay lebih cepat lagi sehingga lenyaplah bentuk tubuhnya dan berubah menjadi bayangan yang berputaran mengitari tali itu dengan sangat cepatnya sehingga diam-diam nenek itu menjadi terkejut dan kagum.

Memang akan sukarlah menyerang Hay Hay karena gerakan pemuda itu amat cepatnya. Sambil tubuhnya berputaran, kedua tangan Hay Hay terus ‘melangkah’ sehingga akhirnya dia tiba di mulut goa dan melompat masuk, berdiri di depan nenek itu.

Dan Hay Hay terkejut bukan main ketika melihat bahwa nenek itu tidak berdiri, melainkan duduk dan melihat keadaan dua kakinya yang terkulai lemas dalam celana hitam itu, dia pun dapat menduga bahwa kedua kaki nenek itu lumpuh! Dia menahan perasaannya dan tidak memperlihatkannya pada wajahnya, melainkan tersenyum ramah.

"Aku percaya bahwa engkau tidak akan mencelakakan aku, Nek, karena sesungguhnya engkau juga membutuhkan bantuanku," katanya sambil tersenyum.

"Hi-hi-hik, engkau benar, aku butuh bantuanmu sebab engkau memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi aku tak membutuhkan bantuan gadis itu, sebab itu lebih baik dia dienyahkan saja agar tidak menjadi gangguan!" Berkata demikian, cepat bukan main, tahu-tahu nenek itu sudah memegang sebatang pedang.

Karena tali penyeberang itu berada di dekatnya, Hay Hay merasa tidak sempat lagi untuk mencegah dengan perbuatan. Maka dia pun mengerahkan ilmu sihirnya dan membentak dengan suara nyaring, karena dia melihat betapa Kui Hong sudah bergantungan pada tali penyeberang itu seperti yang dilakukannya tadi!

"Heiii, Nek, untuk apakah engkau memegang ular di tangan kananmu?"

Pedang itu sudah diangkat, akan tetapi gerakannya segera terhenti di tengah jalan ketika mendengar bentakan itu. Pedang tidak turun menyambar ke arah tali, melainkan tertahan di atas dan nenek itu nampak terkejut dan bingung.

"Ular...?" Dan dia pun cepat mengangkat mukanya memandang ke arah pedang di tangan kanannya kemudian dia pun menjerit.

"Ihhhh...!" Dan pedang itu pun terlepas jatuh berkerontangan di atas lantai goa.

Saat itu pula Hay Hay telah meloncat dekat tali dengan sikap melindungi dan dia sudah menarik kembali ilmu sihirnya, membiarkan nenek itu memungut pedang lalu mengamati pedang itu dengan sikap terheran-heran. Sementara itu, karena jarak antara pohon dan goa itu hanya tiga puluh meter, dengan ‘langkah’ sebanyak lima puluh kali saja dengan ke dua tangannya, Kui Hong sudah tiba di mulut goa kemudian melompat ke dalam dengan selamat.

Nenek itu telah memungut kembali pedangnya dan kini dia berdiri, atau lebih tepatnya lagi duduk karena dia tidak mempergunakan kedua kakinya, di depan Hay Hay dan Kui Hong. Gadis ini pun terkejut karena seperti juga Hay Hay, dia sama sekali tidak pernah mengira bahwa nenek itu adalah seorang yang lumpuh kedua kakinya!

Melihat betapa dua orang muda itu memandang ke arah dua kakinya, nenek itu berkata, "Kalian tidak menduga bahwa kedua buah kakiku lumpuh? Ya, aku memang lumpuh, aku tak berdaya, aku... aku wanita yang menderita hebat penuh kesengsaraan! Dan semua ini gara-gara dia!"

Tiba-tiba nenek itu terlihat beringas, wajahnya yang cantik itu berubah menjadi kejam dan sepasang matanya seperti mengeluarkan api. Kemudian pedang di tangannya dimainkan, menyambar-nyambar ganas.

"Karena itu, aku harus menghajarnya, akan kuserang dia mati-matian!"

Pedang itu kembali menyambar-nyambar dan kedua orang muda itu amat terkejut karena mereka mengenal gerakan ilmu pedang yang dahsyat sekali. Pedang itu berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung dan mengeluarkan suara berdesing dan mengiang, lalu sinar itu mencuat ke arah sebongkah batu.

"Crakkk!" tampak bunga api berpijar dan batu itu pun terbelah menjadi dua! Beberapa kali pedang itu menyambar ke arah batu.

"Seperti inilah dia akan kucincang...!" Nenek itu berteriak-teriak dan batu besar itu sudah menjadi puluhan potong!

Seperti permulaannya tadi, tiba-tiba ia menghentikan permainan pedangnya, memandang ke arah batu itu, kemudian ke arah pedangnya dan dia pun menangis kembali, agaknya merasa menyesal bahwa yang dipotong-potong itu bukan tubuh musuhnya, namun hanya sepotong batu besar!

"Uhu-huu-huuuu... aku memang wanita malang, menderita dan sengsara..." Dan tiba-tiba pedang itu ditekuknya dengan kedua tangannya kemudian dia sudah memaki marah lagi. "Keparat, akan kupatahkan tulang lehernya seperti ini!"

"Krekkk…!" Pedang yang ditekuknya itu patah menjadi dua potong.

"Dan kucampakkan tubuhnya ke jurang seperti ini!" Dilemparkan dua potongan pedang itu keluar goa, dan dua batang benda itu meluncur ke dalam jurang yang amat curam itu.

Dua orang muda itu saling pandang, terkejut dan sekaligus kagum karena mereka melihat betapa pedang itu dengan mudah dapat membelah batu, tanda bahwa pedang itu terbuat dari baja yang baik sekali, akan tetapi dengan sangat mudah pula nenek itu mematahkan pedang tadi dengan kedua tangannya! Ini sudah membuktikan betapa kuat jari-jari tangan nenek itu.

"Nenek yang baik, siapakah orang jahat yang membuatmu hidup sengsara itu? Kami pasti akan suka membantumu, asal saja engkau bisa menunjukkan jalan keluar dari sini," kata Kui Hong yang menjadi terharu sesudah melihat keadaan nenek itu. Jelas seorang nenek yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi karena kedua kakinya lumpuh, tentu saja dia menjadi tak berdaya menghadapi musuhnya. "Apakah dia yang membuat kakimu menjadi lumpuh? Apakah dia yang membuat engkau hidup merana seorang diri di dalam goa ini?"

Ditanya demikian, kembali nenek itu menangis sesenggukan dan air matanya bercucuran. Kui Hong dan Hay Hay mendiamkannya saja, hanya memandang dengan hati iba, namun tidak berani terlalu dekat dengan nenek yang aneh itu.

Sesudah menangis beberapa lamanya nenek itu menghentikan tangisnya, lantas berkata, seperti menjawab semua pertanyaan Kui Hong tadi. "Satu-satunya jalan keluar dari jurang ini adalah melalui goa ini, akan tetapi jalan itu merupakan rahasia, yang mengetahuinya hanya aku dan dia saja! Tanpa petunjukku, walau kalian sudah berada di dalam goa ini, sampai mati pun kalian takkan dapat menemukan jalan rahasia itu! Memang setan itulah yang telah melumpuhkan kakiku, dan dia mencampakkan aku ke dalam tempat ini. Sudah dua puluh lima tahun lamanya! Dengar, sudah dua puluh lima tahun lamanya aku hidup di tempat ini, dalam keadaan lumpuh, seorang diri pula. Aihhh... betapa malang nasibku... dan baru hari ini aku bertemu dengan manusia lain, yaitu kalian inilah..."

"Tetapi, Locianpwe (sebutan orang tua yang gagah perkasa)," kata Hay Hay. "Aku melihat bahwa engkau sangat lihai, mempunyai ilmu kepandaian tinggi, kalau memang mengenal jalan rahasia itu, kenapa selama ini engkau tidak keluar?"

"Ah, dasar nasibku yang buruk. Apakah engkau lupa bahwa setan itu lebih dulu membuat kedua kakiku lumpuh sebelum mencampakkan aku ke dalam tempat ini? Dalam keadaan lumpuh seperti ini, betapa pun tinggi ilmu silatku, mana mungkin aku dapat keluar melalui jalan rahasia itu? Jalan itu menanjak, licin dan amat sukar. Orang yang tidak cacat sekali pun jangan harap dapat keluar kalau dia tidak mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Sudah berkali-kali kucoba, akan tetapi aku terjatuh lagi ke sini."

"Akan tetapi, Nek, siapakah orang itu, dan siapa namanya?" tanya Kui Hong penasaran. Dia tak mau menyebut locianpwe seperti yang dilakukan Hay Hay, mengingat bahwa tadi nenek ini hendak membunuh mereka berdua ketika masih berada di atas pohon.

"Setan itu bernama Lauw Kin, berjuluk Hek-hiat-kwi (Setan Berdarah Hitam) dan dia masih suamiku sendiri."

"Ahhhh !" Hampir berbareng Hay Hay dan Kui Hong berseru kaget dan heran. "Suamimu sendiri? Akan tetapi, kenapa seorang suami berbuat seperti ini terhadap isterinya?" tanya Kui Hong semakin penasaran, dan sebagai seorang wanita tentu saja dia segera merasa terpanggil untuk berpihak kepada nenek itu dan menentang suami nenek itu yang begitu kejam dan jahatnya.

Nenek itu mengerling ke arah Hay Hay, lantas menarik napas panjang dan dengan sikap sedih dia menundukkan mukanya. "Di dunia ini mana ada laki-laki yang dapat dipercaya? Sebelum mendapatkan wanita yang disukanya, dia merayu dengan kata-kata manis, yang semanis madu. Akan tetapi, sesudah wanita itu berhasil dipikatnya dan menjadi isterinya, dia akan merasa bosan lalu mencari wanita lain! Sebagai isterinya tentu saja aku merasa sakit hati dan cemburu, lalu aku hendak membunuh wanita itu, akan tetapi dia membela wanita itu. Dan dia sangat lihai! Aku kalah, kedua kakiku dilumpuhkan dan dia melempar aku ke tempat ini!"

"Jahanam keparat laki-laki itu!" Kui Hong berseru sambil mengepal tinju dan hatinya telah merasa panas sekali. Akan tetapi Hay Hay tetap tenang-tenang saja dan dia bertanya.

"Locianpwe, tadi engkau mengatakan bahwa sudah dua puluh lima tahun Locianpwe hidup di tempat ini. Tetapi, dalam keadaan lumpuh pula... bagaimana Locianpwe dapat bertahan untuk hidup?"

"Goa ini luas sekali dan memiliki banyak terowongan, bahkan beberapa di antaranya ada yang menembus ke dinding tebing, menjadi goa kecil lainnya. Di salah satu goa-goa kecil itu terdapat banyak sekali burung-burung walet dan sarang mereka. Aku bisa makan telur dan daging burung walet, juga liur mereka yang mereka tinggalkan di sarang merupakan makanan lezat dan penguat tubuh. Kadang-kadang ada pula ular memasuki goa-goa kecil itu dan daging ular lezat sekali. Di dalam terowongan juga terdapat banyak akar pohon yang dapat dimakan, bahkan di depan goa kecil ada tanaman yang menghasilkan buah yang manis. Ada pula air jernih mengucur di tepi terowongan. Aku dapat makan minum setiap hari, tidak khawatir kelaparan. Hanya pakaian aku tidak punya, kecuali beberapa stel yang dahulu oleh iblis itu dilempar pula ke sini. Akan tetapi kini sudah habis, tinggal yang kupakai ini."

"Dan Locianpwe masih memiliki waktu untuk memintal tali itu, juga berlatih menggunakan batu kerikil untuk senjata rahasia dengan meniupnya?"

"Heh-heh, engkau memang cerdik, orang muda. Memang, selama ini banyak waktu luang sehingga aku dapat menambah ilmuku untuk melengkapi kekuranganku karena lumpuh, dengan setiap hari belajar melempar atau meniup kerikil yang kupecahkan dari batu-batu besar. Juga beberapa pukulan. Dan mengenai tali itu, memang kupilin dari sejenis rumput yang tumbuh di terowongan. Tadinya aku bermaksud mempergunakan tali itu untuk keluar dari sini, akan tetapi selalu gagal."

"Nenek yang malang." kata Kui Hong. "Sudah dua puluh lima tahun hidup seorang diri di tempat sunyi ini, akan tetapi engkau masih lancar bicara." Gadis ini juga amat cerdik dan perkataannya itu untuk memancing dan menyembunyikan kecurigaannya karena memang sungguh aneh jika melihat seseorang yang hidup menyendiri selama dua puluh lima tahun tetapi masih mampu bicara sedemikian lancarnya.

Nenek itu tersenyum menyeringai dan kini, ketika melihat mulut tanpa gigi itu dari dekat, timbullah kesan yang aneh, seolah-olah melihat seorang bayi yang sudah besar sekali.

"He-he-heh, itu tidak aneh sama sekali, Nona manis, karena aku selalu mengajak semua benda, baik yang hidup seperti burung atau ular, mau pun yang mati seperti batu, jamur dan pohon..."

"Jamur dan pohon itu hidup, Nek, bahkan batu pun mungkin hidup, siapa tahu?" Hay Hay berkelakar. Setelah terbebas dari ancaman maut di pohon itu, sekarang pemuda ini telah memperoleh kejenakaannya kembali.

"Hemm, maksudku yang tak bergerak, orang muda. Aku selalu mengajak mereka semua itu berbicara, setiap hari sehingga aku tidak lupa akan bahasa kita ini. Nah, sekarang aku hendak menagih janji. Kalian sudah kuselamatkan ke tempat ini, bahkan hanya aku yang akan mampu mengantar kalian keluar dari sini. Sekarang aku minta kepada kalian untuk membantuku menghadapi laki-laki jahanam yang telah menyiksaku lahir batin seperti ini."

"Aku siap, Nek! Katakan di mana laki-laki jahanam itu dan aku akan menghajarnya!" kata Kui Hong lantang.

"Akan tetapi yang terpenting bagiku adalah janji pemuda ini. Suamiku itu lihai bukan main dan karena aku tadi sudah menyaksikan kemampuan pemuda ini, agaknya hanya dialah yang akan mampu menghadapi dan mengatasinya."

"Hay Hay, tentunya engkau juga sanggup membantu Nenek ini, bukan?" Kui Hong segera bertanya kepada Hay Hay. Pemuda itu tersenyum, sejenak memandang kepada gadis itu, kemudian menoleh kepada nenek yang bermata tajam dan biar pun lumpuh, tapi agaknya amat cerdik dan juga lihai ini.

Karena dia sendiri maklum bahwa sekali berjanji maka janji itu harus ditepatinya, Hay Hay lalu mengambil cara lain. Diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya sambil menatap nenek itu di antara kedua matanya, kemudian berkata sambil tersenyum namun suaranya berbeda dari biasanya, mengandung getaran yang amat berwibawa.

"Lociapwe percaya penuh kepadaku. Bawalah kami keluar dari sini dan ke tempat tinggal laki-laki itu sekarang juga."

Nenek itu mengangguk-angguk, mulutnya berkata lirih, "Baik... aku percaya padamu dan kalian akan kuantar keluar, menemui laki-laki itu...!" Kemudian dia menundukkan muka dan terlihat bingung. Melihat ini Kui Hong mengerutkan sepasang alisnya, menatap tajam wajah Hay Hay.

"Hay Hay, permainan apa yang sedang kau lakukan ini?" Dia merasa tidak senang sebab dia dapat menduga bahwa pemuda itu agaknya telah mempengaruhi nenek yang malang itu dengan sihirnya!

Hay Hay tersenyum. "Kui Hong, aku tidak main-main." Lalu dia menoleh kepada nenek itu dan berkata. "Engkau tahu aku tidak main-main, Locianpwe, dan marilah kita berangkat keluar dari sini sekarang juga."

Nenek itu mengangkat mukanya perlahan lalu menjawab. "Aku tahu bahwa engkau tidak main-main dan mari kita berangkat sekarang juga keluar dari sini." Kini dia seperti seekor burung kakatua yang pandai bicara dan menirukan semua kata-kata yang diucapkan Hay Hay.

Kui Hong sungguh tidak mengerti permainan apa yang sedang dilakukan Hay Hay dengan menyihir nenek yang telah menolong mereka itu. Tetapi dia pun girang mendengar bahwa mereka akan keluar dari tempat itu.

"Marilah kita berangkat!" katanya gembira dan menggandeng tangan nenek itu.

"Aku... kakiku... tidak dapat berjalan...," kata nenek itu.

Agaknya Hay Hay dan Kui Hong baru sadar akan keadaan nenek itu. Mereka merasa diri mereka bodoh sekali. Kalau nenek itu mampu berjalan seperti orang biasa, pasti dia tidak akan sampai dua puluh lima tahun tinggal di dalam goa itu! Kui Hong tersenyum.

"Aihh, betapa bodohku, sampai lupa akan keadaanmu, Nek!" katanya.

Hay Hay juga tersenyum dan Kui Hong melanjutkan kata-katanya, "Hay Hay, sebaiknya kalau engkau menggendongnya. Nenek yang baik, biarlah dia menggendongmu!"

Karena pengaruh sihir itu datangnya dari Hay Hay, maka tentu saja nenek itu hanya mau mentaati kata-kata Hay Hay. Mendengar ucapan Kui Hong, dia mengerutkan alisnya dan berkata dengan ketus.

"Ihhh! Kau kira aku ini wanita macam apa yang mau begitu saja digendong seorang pria? Tidak, sampai mati pun aku tidak sudi! Engkaulah yang harus menggendongku keluar dari tempat ini, Nona."

Kui Hong merasa geli mendengar ini. Sudah nenek-nenek tua renta masih banyak lagak, malu-malu seperti wanita muda saja. Tetapi dia mengerutkan alisnya. Nenek itu demikian kotor, dan kedua kakinya nampaknya lemas seperti tidak bertulang saja. Dia merasa jijik. Lalu timbul gagasan yang dianggapnya amat baik.

"Hay Hay, pergunakan pengaruhmu untuk memaksa dia agar suka kau gendong!"

Akan tetapi Hay Hay tersenyum dan menggelengkan kepala. "Tidak bisa, Kui Hong. Yang bicara itu adalah naluri kewanitaannya dan itu amat kuat. Tak mungkin dia dapat dipaksa. Gendonglah agar kita cepat dapat keluar dari sini."

Biar dia tahu rasa sedikit, pikir Hay Hay. Betapa pun juga dia mendongkol mendengar Kui Hong hendak memaksanya untuk menggendong wanita itu. Lagi pula di lubuk hatinya dia masih belum percaya kepada wanita ini.

Jika dia yang menggendong, lalu wanita itu menyerangnya, maka akan berbahaya sekali bagi mereka berdua. Sebaliknya, jika Kui Hong yang menggendong, dia dapat melindungi gadis itu dari mara bahaya. Seorang nenek yang demikian kejamnya, yang tadi berusaha membunuh dia dan Kui Hong tanpa sebab, tentunya tidak boleh dipercaya begitu saja.

Kui Hong bersungut-sungut dan matanya yang jeli indah dan tajam itu menyambar seperti hendak menyerang pemuda itu. Akan tetapi dia mengalah dan terpaksa lalu berjongkok di depan nenek itu, membelakanginya. "Baiklah, baiklah, memang aku yang sedang sial hari ini!"

Hay Hay ingin tertawa terbahak, namun hanya ditahannya karena dia tidak mau membuat gadis itu menjadi semakin marah. Nenek itu meletakkan kedua tangannya dan merangkul pundak Kui Hong, lalu mengangkat tubuh bawah yang tidak berdaya itu ke atas punggung dan pinggul Kui Hong.

Gadis ini merasa geli sekali ketika merasa betapa dua batang kaki yang lumpuh itu kini bergantungan pada kedua sisinya. Terpaksa dia menahan pantat nenek itu dengan tangan kirinya dan membentak Hay Hay. "Mari kita berangkat!"

Akan tetapi Hay Hay menggelengkan kepalanya. "Aku tak mengenal jalan itu, bagaimana mungkin dapat menjadi penunjuk jalan? Engkaulah yang berjalan di depan, Kui Hong, dan Locianpwe ini yang menjadi penunjuk jalan, aku akan mengikuti dari belakang. Bukankah begitu, Locianpwe yang baik?"

Nenek itu mengangguk. "Benar, engkaulah yang berjalan di depan, Nona, sedangkan aku menjadi penunjuk jalan dan pemuda ini mengikuti dari belakang kita."

Kui Hong merasa semakin dongkol. Dia mengerling ke arah Hay Hay, kemudian sambil bersungut-sungut dia berkata, "Seenak perutnya sendiri saja!"

Dan kembali Hay Hay menahan tawanya lalu mengikuti di belakang Kui Hong. Nenek itu memberi petunjuk ketika mereka berjalan melalui lorong yang berbelak-belok, akan tetapi lorong terakhir berhenti pada jalan buntu. Di depan mereka terhalang oleh dinding karang. Lorong itu mati sampai di situ.

"Wah, ternyata jalan ini buntu, Nek!" teriak Kui Hong penasaran. "Apakah engkau hendak mempermainkan kami?"

Nenek itu tertawa dan kembali Kui Hong mengkirik. Karena mulut nenek itu berada dekat dengan telinganya, maka suara ketawa itu terdengar amat mengerikan.

"Inilah rahasia jalan tembusan itu, hanya aku dan dialah yang mengetahuinya. Bawa aku ke ujung kiri sana itu!"

Kui Hong melangkah ke sudut kiri dan nenek itu lalu menggerayangi dinding batu karang itu dengan kedua tangannya. Tiba-tiba terdengar suara berdetak, lalu diikuti suara berderit yang nyaring dan terbukalah sebuah lubang di dinding itu, lebarnya hanya satu meter dan tingginya dua meter, tepat untuk masuk satu orang.

Jantung Kui Hong terasa berdebar saking girangnya. Nenek ini tidak berbohong. Memang ada jalan keluar dan sebentar lagi dia akan bebas di sana! Kegembiraan ini membuat dia melangkah lebar dan cepat memasuki lorong samping itu.

"Hati-hatilah, Nona. Selain sempit dan gelap, jalan ini juga menanjak dan amat licin. Nanti akan kuberi tahukan bagian yang paling berbahaya, dan di sana engkau harus merangkak atau meloncati lubang. Karena itu jangan melangkah terlalu cepat, satu-satu saja." Sambil berkata demikian nenek itu mengulurkan tangan ke kanan dan meraba dinding, agaknya inilah caranya mengenal jalan itu.

Hay Hay telah melepaskan pengaruh sihirnya sebab dia berada di belakang nenek itu dan setiap saat dia dapat melindugi Kui Hong, dan kini dia dapat berkata dengan nada biasa. "Tadi Locianpwe telah memperkenalkan nama suami Locianpwe, yaitu Hek-hiat-kwi Lauw Kin, akan tetapi belum memperkenalkan diri kepada kami."

Nenek itu mendengus dan menoleh ke belakang, sikapnya tidak lagi lunak dan menyerah seperti tadi, juga suaranya terdengar ketus. "Hemm, orang muda. Sepatutnya kalian yang lebih dulu memperkenalkan nama kalian walau pun aku sudah tahu dari cara kalian saling memanggil nama."

Hay Hay tertawa. "Kalau sudah tahu untuk apa bertanya lagi, Locianpwe? Namaku Hay Hay dan dia bernama Kui Hong."

"Namaku... Ma Kim Siu," kata nenek itu singkat.

Hay Hay juga tidak mendesak dengan pertanyaan lainnya karena nama itu asing baginya. Tidak mengherankan, pikirnya. Nenek ini sudah berada di dalam jurang yang bergoa itu selama dua puluh lima tahun, sebelum dia terlahir di dunia!

Jalan mulai menanjak dan sudah lima kali nenek itu memberi peringatan agar Kui Hong merangkak. Gadis itu menurut karena dia tahu bahwa kalau tidak mentaati perintah nenek itu maka akan berbahaya sekali. Ketika dia merangkak, terasa betapa licinnya lantai yang menanjak. Tiga kali dia harus meloncati lubang yang lebarnya sekitar dua meter. Dia telah merasa lelah dan hal ini menambah kedongkolan hatinya terhadap Hay Hay.

Akhirnya, setelah melakukan pendakian yang sulit selama kurang lebih setengah jam, di tempat yang gelap pekat lagi, tiba-tiba Kui Hong melihat betapa di depan sudah nampak terang. Jantungnya berdebar tegang dan gembira.

"Di depan terang!" teriaknya, dan dia pun melangkah lebar.

"Tenanglah, Kui Hong," kata nenek itu. "Dan jangan lari. Ada lubang yang cukup lebar di depan, sebelum kita tiba di bagian yang terang itu!"

Benar saja. Kini Kui Hong berhadapan dengan lubang menganga yang lebarnya lebih dari empat meter. Akan tetapi dia yang memiliki ginkang yang cukup tinggi tingkatnya. Sambil menggendong tubuh yang ringan itu dia dapat melompatinya dengan mudah, disusul oleh Hay Hay.

"Nah, kini kita sudah hampir sampai di permukaan bumi!" kata nenek itu, suaranya agak gemetar, tanda bahwa dia pun merasa terharu dan gembira karena akhirnya, setelah dua puluh lima tahun hidup seperti dalam neraka di bawah tanah, dia berhasil pula tertolong dan keluar dari tempat itu!

Kini jalan menanjak seperti orang memanjat anak tangga saja, dan sinar matahari masuk menimpa mereka. Nenek itu memejamkan matanya dan berseru. "Aih, sinar itu terlampau menyilaukan!"

Selama berada di dalam goa dia hanya melihat matahari setelah senja mendatang karena goa itu menghadap ke barat sehingga dia tidak pernah tertimpa sinar matahari siang.

Ternyata jalan lorong itu menembus ke sebuah lubang seperti sumur, dan mereka berada di lereng sebuah bukit yang lain dari pada bukit di mana Hay Hay dan Kui Hong jatuh ke dalam jurang!

Sesudah mereka tiba di atas tanah di udara terbuka, hampir Kui Hong menangis saking gembiranya. Dia cepat mengusap kedua matanya dan bibirnya tersenyum, dengan penuh perasaan terima kasih dia memandang ke sekeliling.

Demikian indahnya permukaan bumi ini, pikirnya dengan sinar mata berseri. Akan tetapi dia merasa sangat lelah, melakukan perjalanan seperti itu sambil menggendong tubuh Si Nenek Lumpuh yang bernama Ma Kim Siu itu.

"Kau turunlah dulu, Nek, aku ingin beristirahat," katanya kepada nenek itu.

Akan tetapi tiba-tiba saja nenek itu mengubah sikapnya yang lunak dan dengan hati kaget Kui Hong merasa betapa nenek itu telah mencengkeram tengkuknya, di bagian yang amat berbahaya. Sekali saja nenek itu mengerahkan tenaganya, dia akan roboh dan tewas!

"Tidak! Awas, jangan membuat ulah macam-macam atau sekali cengkeram engkau akan mampus!" bentak nenek itu.

"Hayo, Hay Hay, sekarang engkau berjalan di depan, kita menuju ke tempat pertapaan Hek-hiat-kwi Lauw Kin!"

Hay Hay tersenyum, kemudian secara diam-diam ia mengerahkan kekuatan ilmu sihirnya sambil menatap wajah nenek itu. "Locianpwe Ma Kim Siu, tenanglah. Engkau sendiri pun merasa lelah. Memang kita perlu beristirahat, maka turunlah dari punggung Kui Hong." Ia mengerahkan kekuatan sihir untuk menaklukkan sikap perlawanan nenek itu.

Akan tetapi kali ini dia dikejutkan oleh sikap nenek itu dalam menghadapi permintaannya yang diucapkan dengan suara menggetar penuh wibawa tadi. Nenek itu terkekeh-kekeh!

"Simpanlah permainanmu itu untuk menakut-nakuti anak-anak, Hay Hay! Hi-hi-hik, jangan harap engkau akan dapat mempengaruhi aku dengan sihirmu. Nah, sekarang cepat kau berjalan di depan, atau akan kucengkeram tengkuk gadis yang kau cinta ini!"

Hay Hay terkejut, bukan hanya oleh kenyataan bahwa nenek itu tidak terpengaruh dengan sihirnya, akan tetapi terutama sekali nenek itu demikian lancang dan lantang mengatakan bahwa Kui Hong adalah gadis yang dia cinta!

"Kalau begitu... tadi, ketika di dalam lorong... engkau hanya pura-pura saja terpengaruh?" tanyanya melongo.

"Tentu saja, setelah kalian berdua berjanji akan membantuku. Akan tetapi mana mungkin aku percaya dengan omongan cucu Pendekar Sadis dan sute dari keluarga Cin-ling-pai? Huh, Pendekar Sadis dan keluarga Cin-ling-pai adalah orang-orang sombong! Ketahuilah kalian, namaku memang Ma Kim Siu, dan julukanku adalah Kiu-bwe Tok-li, nama ini tentu dikenal baik oleh Pendekar Sadis dan keluarga Cin-ling-pai, heh-heh-heh!"

"Kiu-bwe Tok-li (Wanita Beracun Berekor Sembilan)?" Kui Hong berseru heran. "Pernah aku mendengar julukan Kiu-bwe Coa-li (Wanita Ular Berekor Sembilan...")

"Nah, mendiang Kiu-bwe Coa-li adalah Enci-ku."

"Dia... adalah salah seorang di antara Cap-sha-kui (Tiga Belas Setan)!" kembali Kui Hong berseru, karena dia pernah mendengar penuturan ibunya tentang tokoh-tokoh sesat itu.

"Memang, dan aku ini adiknya."

"Tapi, bagaimana engkau bisa tahu...?"

"Kui Hong, pada waktu kita bicara di pohon itu, tentu dia sudah lama mengintai dan turut mendengarkan. Pantas saja begitu muncul dia menyerang kita dengan kerikil-kerikilnya. Kemudian, karena kita mampu menghindarkan diri, dia menganggap kita cukup lihai untuk dipaksa membantunya menghadapi suaminya!" kata Hay Hay.

"Hik-hik-hik! Engkau memang cerdik sekali, orang muda. Cerdik dan lihai! Karena itulah sejak dari dalam goa aku memilih digendong oleh Nona ini, padahal tentu saja aku akan merasa lebih hangat dan senang digendong seorang pemuda tampan dan muda macam engkau. Sekarang, apa bila engkau berani memperlihatkan perlawanan sedikit saja, sekali menggerakkan tangan maka gadis kekasihmu ini akan mampus!"

"Nenek lancang mulut! Aku bukan kekasihnya!" Kui Hong menjerit marah. Dia tidak takut sedikit pun juga biar pun dia merasa betapa jari-jari tangan di tengkuknya itu mempererat cengkeramannya.

"Hi-hi-hik, kalian tidak dapat mengelabui mataku. Aku ahli dalam soal cinta, heh-heh-heh! Hay Hay mencintamu dan engkau pun mencintanya, Kui Hong. Dan engkau benar-benar akan kubunuh kalau engkau banyak tingkah!"

"Sudahlah, Kui Hong. Biarkan saja ia mengoceh dan jangan membunuh diri hanya urusan sekecil ocehannya. Nenek, julukanmu memang tepat. Engkau benar-benar Tok-li (Wanita Beracun), akan tetapi yang beracun adalah hatimu. Nah, katakan, di mana tempat bertapa laki-laki yang kau cari itu?"

"Heh-heh-heh, begitu lebih baik, Hay Hay. Maju saja menuju ke lereng yang sana. Tidak terlalu jauh lagi dari sini. Mudah-mudahan laki-laki jahanam itu masih berada di sana dan belum mampus!"

Hay Hay melangkah ke depan, menuruti petunjuk nenek itu. Dengan diam-diam dia pun mengharapkan seperti yang diharapkan nenek itu, bahwa lelaki itu masih berada di sana dan masih hidup. Karena jika tidak, tentu nyawa Kui Hong benar-benar terancam bahaya maut.

Dia masih heran bagaimana nenek itu tidak terpengaruh oleh kekuatan sihirnya, padahal biasanya sangat ampuh. Dia tidak tahu bahwa seseorang yang telah mempunyai sinkang sedemikian kuatnya seperti nenek itu, apa lagi setelah selama puluhan tahun digembleng dan dilatihnya di dalam goa, tentu tak akan mudah terpengaruh kekuatan sihir, tapi dapat dilawannya dengan sinkang-nya.

Memang pertama kalinya nenek itu terpengaruh karena dia belum tahu akan kepandaian Hay Hay. Akan tetapi dia segera dapat merasakan lantas menolak dengan tenaga sakti di dalam tubuhnya. Bahkan dia kemudian pura-pura terpengaruh agar dapat melaksanakan sandiwaranya sehingga kini dia bisa menguasai mereka berdua dengan menjadikan gadis itu sebagai sandera.

Memang tempat yang dimaksud oleh Kiu-bwe Tok-li itu tidak terlalu jauh. Untung bagi Kui Hong yang sudah merasa semakin lelah. Mereka tiba di depan sebuah goa dan nenek itu memberi isyarat agar Hay Hay berhenti, akan tetapi dia tetap menyuruh Kui Hong berada di belakang pemuda itu. Kemudian, dengan suara melengking nyaring Kiu-bwe Tok-li lalu berteriak ke arah goa yang jaraknya hanya tinggal lima belas meter.

"Hek-hiat-kwi, lelaki berhati binatang, kejam dan tak berperi kemanusiaan, keluarlah! Aku datang untuk membalas dendam!"

Suara melengking itu bergema sampai jauh dan sesudah gaungnya tidak terdengar lagi, muncullah seorang kakek dari dalam goa itu. Usianya tentu telah enam puluh tahun lebih, bertubuh sedang dan masih tegak. Wajahnya pun bersih dan menunjukkan bekas-bekas ketampanan, kini dia membiarkan jenggot dan kumisnya yang sudah berwarna kelabu itu tumbuh subur.

Pakaiannya kuning dan longgar seperti pakaian pertapa, dan sinar matanya lembut akan tetapi kini mata itu terbelalak memandang ke arah nenek di atas punggung seorang gadis cantik, seolah-olah dia tidak percaya dengan pandangan matanya sendiri.

"Kim Siu...! Benar engkaukah ini? Masih... masih hidup...?"

"Lauw Kin, buka matamu baik-baik. Ini benar aku, Kiu-bwe Tok-li Ma Kim Siu. Meski pun kedua kakiku sudah lumpuh, namun kini aku datang untuk membalas dendam atas segala perbuatanmu yang membuat aku sengsara sampai dua puluh lima tahun!"

Sepasang mata itu bersinar-sinar dan wajah itu berseri-seri. "Ahh, sungguh Tuhan masih melindungimu, Kim Siu! Akan tetapi, mengapa engkau pulang dengan dendam kebencian dalam hatimu? Mengapa engkau mengatakan bahwa perbuatanku yang membuat engkau sengsara sampai dua puluh lima tahun?"

Seluruh tubuh nenek itu gemetar, terasa benar oleh Kui Hong dan dia tahu bahwa nenek itu marah sekali. Akan tetapi cengkeraman di tengkuknya tidak pernah mengendur sedikit pun sehingga dia sama sekali tak melihat kesempatan untuk dapat membebaskan diri dari penguasaan nenek yang lihai itu.

"Huhh, engkau masih belum juga merasa betapa kejam perbuatanmu kepadaku, kepada kami! Engkau melukainya dengan hebat, dan dia tersiksa sampai berbulan-bulan, hampir setahun sebelum akhirnya ia meninggal dunia! Semua gara-gara engkau! Hay Hay, cepat kau maju dan serang dia, bunuh dia... ahh, tidak, lukai dan robohkan saja agar aku sendiri yang akan membunuhnya!" Nenek itu melotot kepada Hay Hay, pelototan matanya yang mengandung arti bahwa kalau pemuda itu menolak, tentu nenek itu akan membunuh Kui Hong!

Akan tetapi sambil tersenyum Hay Hay bersikap tenang saja. Dia adalah seorang pemuda yang amat cerdik, tidak mudah digertak sembarangan saja. Dia mengerti bahwa nenek itu hendak memaksa dia dan Kui Hong untuk membantunya menghadapi kakek yang tenang ini. Nenek itu membutuhkan bantuan, tidak mungkin berani membunuh Kui Hong, karena kalau dia membunuh gadis itu, berarti nenek itu akan menghadapi pengeroyokan kakek itu dan dia!

"Nanti dulu, Kiu-bwe Tok-li!" Kini dia tidak mau lagi menyebut locianpwe. "Aku bukanlah seorang pembunuh bayaran yang begitu saja menyerang orang tanpa tahu perkaranya. Oleh karena itu, ceritakanlah dahulu apa yang telah terjadi antara engkau dan kakek ini, baru aku mau bergerak."

"Tapi kau sudah berjanji!"

"Berjanji membantumu, memang. Tetapi setelah aku mendengar apa yang sesungguhnya sudah terjadi sehingga engkau mendendam kepada kakek ini. Melihat sikapnya, dia sama sekali tidak memusuhimu!"

"Tak peduli! Kalau engkau mau tahu, tanya saja kepadanya!"

Hay Hay kini menghadapi kakek itu, lantas berkata. "Locianpwe, sebetulnya apakah yang telah terjadi maka Kiu-bwe Tok-li sangat mendendam kepadamu dan hari ini datang untuk membalas dendamnya? Locianpwe tahu bahwa kami berdua terpaksa membantunya, tapi aku hanya mau turun tangan setelah mendengar permasalahannya."

Laki-laki tua itu adalah Hek-hiat-kwi Lauw Kin, suami dari Kiu-bwe Tok-Ii Ma Kim Siu. Dia mengerutkan alisnya memandang kepada Hay Hay, kemudian kepada nenek yang dahulu pernah menjadi isterinya itu.

"Kim Siu, haruskah urusan pribadi kita diketahui orang lain?" .

"Ceritakanlah! Ceritakanlah selagi kau masih mampu dan belum mampus di tanganku!" sambut nenek itu dengan ketus sekali.

Kakek itu menarik napas panjang dan mengangguk-angguk. "Baiklah kalau begitu. Orang muda, siapa pun adanya engkau, dengarlah baik-baik apa yang telah terjadi antara kami suami isteri yang malang ini. Dua puluh lima tahun yang lalu, kami masih menjadi suami isteri yang hidup rukun. Karena aku menyadari betapa tidak menguntungkan lahir batin jika hidup di dalam dunia hitam, aku lalu mengajak isteriku bertapa di sini, menjauhi jalan sesat untuk menebus dosa." Dia berhenti sebentar untuk menghela napas panjang. "Akan tetapi keputusan yang kuambil itu agaknya membuat dia tidak senang sehingga dia mulai selalu merajuk dan bersikap marah kepadaku semenjak aku mengajaknya meninggalkan dunia hitam."

"Huh, Lauw Kin, bukan hanya marah, melainkan benci!" Tiba-tiba nenek itu membentak, jari telunjuknya menuding ke arah suaminya itu seperti orang yang menyalahkan. "Engkau telah berubah menjadi orang yang lemah, pengecut dan memalukan! Dahulu aku bangga menjadi isterimu. Engkau murid Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo, keturunan Hek-hiat Mo-li yang terkenal sebagai datuk-datuk sesat, dan aku adalah adik Kiu-bwe Coa-li, salah seorang di antara Tiga Belas Setan. Kita cocok menjadi suami isteri dan ditakuti semua orang. Huh, kemudian engkau pura-pura alim dan mengajak aku menjadi pertapa!" Nenek itu mengumpat dan kelihatan menyesal bukan main.

Kakek itu tersenyum sedih.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar