Pendekar Mata Keranjang Jilid 62

Dengan gerakan yang lincah dan cekatan gadis itu lalu memukul-mukulkan batu sehingga tanah liat yang telah mengering itu menjadi pecah dan tampaklah daging ikan yang putih kemerahan karena semua sisik ikan itu melekat pada tanah liat. Dan terciumlah bau yang sedap dan membuat Sun Hok tiba-tiba merasa lapar! Dia menggunakan dua batang kayu sebagai sumpit, mengambil daging ikan dan memakannya. Bukan main enaknya! Begitu gurih, sedap dan benar saja, sedikit pun tidak ada bau asap atau gosong!

"Wah, lezat sekali!" Dia memuji dan gadis itu tersenyum girang.

"Sayang bumbunya kurang lengkap, kalau lengkap lebih enak lagi. Biarlah lain kali kalau ada kesempatan, kalau ada bumbu-bumbu lengkap, akan kubuatkan engkau masakan-masakan yang lebih enak lagi, Kongcu.” Tiba-tiba dia menghentikan kata-katanya, seperti teringat akan sesuatu, matanya terbelalak dan dia pun berseru. "Ah, apa yang kukatakan tadi? Aku sudah lupa diri, lupa akan keadaanku dan lupa bahwa baru saja engkau sudah menyelamatkan aku, dan... dan aku belum tahu siapa Kongcu, engkau pun belum tahu siapa aku..."

Sun Hok tersenyum melihat kegugupan gadis itu. Dia tidak merasa seperti itu. Dia merasa seolah-olah dia telah mengenal gadis ini selama bertahun-tahun, dan seolah-olah mereka adalah sepasang sahabat yang akrab dan tidak asing.

"Tenanglah, Nona. Ikan sudah dipanggang matang. Mari kita makan dulu, baru kita bicara tentang hal lain. Belum terlambat, bukan?"

Melihat sikap pemuda itu, gadis tadi bisa menguasai dirinya kembali. Dia tersenyum, lalu mengangguk dan mulai pula menyumpit daging ikan. Mereka berdua makan tanpa bicara, hanya kadang-kadang saling pandang melalui sinar api unggun yang selalu ditambah kayu bakarnya oleh Sun Hok.

Bagi dua orang itu, belum pernah mereka merasakan suasana yang begitu santai, damai dan juga makan demikian enaknya, walau pun tidak ada nasi dan hanya makan daging ikan saja. Tanpa malu-malu keduanya makan sampai dua ekor ikan itu tinggal tulangnya saja. Barulah Sun Hok mengeluarkan seguci anggur dari dalam buntalannya.

"Aku... aku tidak suka minum arak, takut mabok...!" kata gadis itu.

Sun Hok menggeleng kepalanya. "Bukan arak yang keras, Nona, melainkan anggur yang halus dan enak. Engkau tidak akan mabok meski habis sepuluh cawan sekali pun. Hanya sayang, aku tak biasa membawa cawan. Maklum, biasanya aku minum sendirian, cukup meneguk dari guci. Nah, silakan, Nona. Engkau perlu minum setelah makan daging ikan." Sun Hok lalu memberikan guci anggurnya kepada nona itu setelah mencabut sumbatnya. Tercium bau yang harum dan sama sekali tidak keras seperti bau arak.

Kedua pipi gadis itu menjadi merah sekali. Meski pun sinar api unggun itu telah membuat wajahnya nampak merah, akan tetapi kini menjadi semakin merah sehingga mudah dilihat oleh Sun Hok. Dengan kedua tangannya nona itu menolak dan berkata,

"Aih, Kongcu. Bagaimana aku berani? Engkau sendiri belum minum, lalu bagaimana aku berani minum lebih dulu dan mengotori mulut guci?"

Sun Hok pun tertawa. "Ha-ha-ha, engkau lucu, Nona. Bagaimana mulut guci ini bisa kotor kalau engkau menenggak isinya? Mungkin terbalik, mulut guci inilah yang akan mengotori bibirmu, Nona. Akan tetapi jangan khawatir, guci ini selalu kucuci sampai bersih sebelum diisi anggur. Nah, minumlah, Nona."

Akan tetapi gadis itu tetap saja menolak. "Tidak, Kongcu. Aku tak berani. Sepantasnya... engkau yang minum lebih dulu, baru... baru aku akan mencobanya."

"Ehh, kenapa begitu?"

"Pertama, karena engkau adalah pemilik guci itu, dan ke dua, karena engkau adalah tuan rumahnya, dan ke tiga karena... engkau pria dan aku wanita."

Sun Hok melebarkan matanya dan tersenyum kembali. Heran, belum pernah dia merasa segembira itu, belum pernah dia tertawa dan tersenyum sebanyak itu dalam waktu yang demikian singkat!

"Baiklah, aku akan minum terlebih dahulu, baru engkau!" Dan dia pun meneguk beberapa teguk anggur dari dalam guci. Enak bukan main, lebih enak dari pada yang sudah-sudah. Setelah merasa cukup, dia kemudian menyerahkan guci itu kepada gadis yang sejak tadi menatapnya penuh kagum.

Kali ini gadis itu tak menolak. Dengan hati-hati ditempelkannya bibir guci ke bibirnya yang merah basah itu lantas dia pun meneguk anggur dari dalam guci. Apa yang dikhawatirkan tidak terjadi. Dia tidak tersedak dan ternyata isi guci itu memang sama sekali tidak keras. Anggur yang manis, ada asamnya sedikit, sedap dan harum. Enak sekali!

"Wah, terima kasih, Kongcu. Anggur ini memang enak sekali dan amat segar!" katanya memuji.

Sekarang mereka duduk berhadapan, terhalang oleh api unggun. "Sekarang bagaimana, Nona. Apakah aku harus mengantarmu pulang?"

"Pulang...?" Dan tiba-tiba gadis itu kelihatan gelisah dan ketakutan. "Pulang ke mana? Ahh, Kongcu, aku... aku tidak mempunyai tempat tinggal lagi... "

"Ehhh?" Sun Hok terkejut dan heran bukan main. "Engkau, seorang gadis seperti engkau ini tidak mempunyai tempat tinggal? Habis bagaimana dengan keluargamu? Orang tuamu atau... suamimu barang kali?"

Gadis itu menggeleng kepalanya. "Aku tidak punya siapa-siapa lagi, aku tidak memiliki orang tua, aku tidak mempunyai suami atau saudara..."

"Tapi... tapi bagaimana mungkin itu? Dan engkau tadi tertangkap oleh lima orang jahat. Apakah yang telah terjadi. Nona?"

Gadis itu menarik napas panjang, "Cerita tentang diriku amat panjang, Kongcu. Sesudah aku berhutang budi dan nyawa, aku tidak ingin membikin susah Kongcu lebih lanjut lagi. Biarlah aku pergi, Kongcu, membawa nasib diriku yang malang ini. Dan sekali lagi terima kasih, semoga Thian yang membalas semua budi kebaikan Kongcu kepadaku," Gadis itu lalu bangkit dan melangkah hendak pergi meninggalkan Sun Hok.

Pemuda itu terkejut dan sekali melompat dia telah menghadang di depan gadis itu. "Nona! Tadi kau mengatakan tidak memiliki tempat tinggal, akan tetapi engkau akan pergi begitu saja? Lalu ke mana engkau hendak pergi?"

"Ke mana saja. Mungkin masih ada bekas kenalan yang sudi menampung diriku yang tak berharga ini."

"Ahh, Nona. Bukankah kita sudah berkenalan, bahkan... ehh, kita sudah makan bersama seperti sahabat? Kalau begitu, marilah menjadi tamu di rumahku, Nona. Jangan khawatir, aku menjamin bahwa Nona akan aman berada di dalam rumahku."

"Aku hanya mengganggu dan menyusahkanmu saja, Kongcu."

"Tidak sama sekali! Marilah, Nona. Aku mengundangmu menjadi tamuku yang terhormat dan di rumah nanti kita baru bicara."

Gadis itu hanya dapat mengangguk, lantas pergilah mereka meninggalkan tepi sungai itu setelah Sun Hok memadamkan api unggun. Untung bahwa langit penuh bintang sehingga perjalanan menuju ke kota Siang-tan itu tidaklah begitu gelap.

Sun Hok terpaksa berjalan seenaknya, santai dan tidak menggunakan ilmu berlari cepat seperti biasanya karena dia harus mengiringi seorang gadis yang demikian lemah lembut. Ketika mereka sampai di istana kuno itu, Si Gadis terbelalak dan menahan langkahnya di depan pintu gerbang.

"Aih, kiranya engkau seorang bangsawan besar, mendiami sebuah istana, Kongcu! Mana aku... berani... mengganggumu?"

"Ahh, jangan berlebihan, Nona. Di sini aku tinggal hanya seorang diri. Memang istana ini peninggalan mendiang orang tuaku. Aku pun sebatang kara, yatim piatu dan tinggal di sini hanya dengan tiga orang pelayan tua. Mari, masuklah dan jangan khawatir."

Seorang kakek tukang kebun, seorang kakek dan nenek penjaga rumah yang merangkap tukang masak, menyambut kedatangan kongcu mereka. Meski pun mereka merasa heran melihat majikan mereka pulang bersama seorang gadis muda yang cantik, namun mereka tak berani bertanya sesuatu. Sun Hok lalu berkata kepada nenek yang menjadi pengurus rumah tangga di rumahnya.

"Nek, harap antarkan Nona ini ke dalam kamar tamu dan layani dia baik-baik. Kemudian persiapkan makan malam untuk kami berdua di ruangan makan." Kepada gadis itu Sun Hok berkata, "Nona, silakan Nona mengikuti nenek ini ke kamar Nona, agar Nona dapat mandi dan beristirahat sebelum kita makan malam."

Gadis itu berkata, "Aku akan membantu Nenek memasak."

Pada waktu makan malam sudah dihidangkan di ruangan makan, Sun Hok melihat gadis itu sama sekali bukan sebagai tamu, melainkan sebagai pelayan karena nona inilah yang membantu nenek memasak dan menghidangkan semua masakan di atas meja. Nenek itu pun dengan gembira berkata,

"Kongcu, Nona inilah yang memasak semuanya. Dia pandai sekali memasak! Dan dialah yang memaksa diri untuk membantu mempersiapkan makanan ini."

Sun Hok memandang dengan perasaan senang sekali. Agaknya nona itu sudah mandi, akan tetapi pakaiannya amat lucu, mengenakan pakaian bersih yang biasa dipakai nenek itu sehingga nampaknya terlalu besar dan sederhana sekali, pakaian pelayan!

"Dia memaksa meminjam pakaian saya, Kongcu," kata Si Nenek, takut kalau disalahkan.

"Untuk sementara saja, Nek," kata gadis itu. "Pakaianku terbawa orang jahat, biar besok aku akan membeli beberapa potong karena aku masih memiliki sedikit simpanan uang."

Kini mereka duduk makan nasi dan masakan, berdua saja karena para pelayan dengan penuh pengertian sudah meninggalkan mereka. Para pelayan itu sudah tua, dan biar pun mereka tidak tahu hubungan apa yang terdapat di antara dua orang muda itu, akan tetapi mereka tidak suka menjadi pengganggu.

Setelah selesai makan malam mereka duduk berdua di serambi depan, dan baru mereka memperoleh kesempatan untuk berkenalan! Mereka pun bercakap-cakap di bawah sinar lampu yang cukup terang,.

"Nona, agaknya sekarang sudah tepat kalau aku mengetahui siapa dirimu dan apa yang sudah terjadi denganmu sehingga engkau tertawan oleh lima orang jahat itu. Ketahuilah, aku bernama Can Sun Hok, yatim piatu dan tinggal di sini bersama ketiga orang pelayan tadi. Tidak ada apa-apa yang aneh tentang diriku untuk diceritakan dan kuharap engkau mau menceritakan segala peristiwa yang telah terjadi denganmu, tentu saja kalau engkau percaya kepadaku."

Gadis itu menghela napas panjang, dan wajahnya yang lembut dan cantik manis itu kini seperti tertutup awan tipis, nampak agak muram. Akan tetapi dia tidak menangis, bahkan mencoba untuk tersenyum, walau pun merupakan senyum pahit.

Sun Hok dapat menduga bahwa gadis ini tentu telah mengalami banyak penderitaan batin yang tersembunyi di balik wajahnya yang begitu cantik menarik. Dara yang halus lembut, penuh sifat-sifat kewanitaan, bukan seperti Cia Kui Hong dan ibunya, Ceng Sui Cin, yang merupakan wanita-wanita perkasa. Gadis seperti ini membutuhkan perlindungan, dan dia akan merasa senang apa bila dapat menjadi pelindungnya.

"Namaku Bhe Siauw Cin, Can-kongcu…" dia berhenti seperti hendak melihat tanggapan pemuda itu, apakah pernah mendengar nama itu ataukah belum.

"Nama yang bagus," kata Sun Hok yang melihat gadis itu menghentikan pembicaraannya.

Kembali gadis itu, Siauw Cin, menarik napas panjang. "Engkau belum pernah mendengar namaku, hal ini saja menunjukkan bahwa engkau seorang pemuda bangsawan yang lain dari pada semua pemuda di Siang-tan ini, Kongcu. Semua pemuda lain, meski pun belum pernah melihatku setidaknya tentu pernah mendengar namaku."

"Begitu terkenalkah engkau, Nona Bhe?"

"Betapa janggalnya. Engkau, seorang pemuda bangsawan tinggi yang kaya raya, namun menyebut aku Nona Bhe. Padahal orang lain menyebut namaku Siauw Cin seperti nama boneka saja. Ya, orang lain menganggap aku tidak lain hanya sebagai boneka. Memang aku dikenal di kota ini, Kongcu, terutama oleh para pria yang suka mengejar kesenangan. Aku seorang gadis penyanyi, gadis penghibur."

"Ahhh... !" Sun Hok benar-benar terkejut karena tidak menyangka sama sekali.

Dia sendiri belum pernah keluyuran ke rumah-rumah hiburan, juga belum pernah bergaul dengan gadis penyanyi, gadis penghibur atau pelacur, akan tetapi dia tahu sampai betapa rendah dan hinanya martabat seorang gadis penghibur itu. Hampir dia tak dapat percaya bahwa gadis seperti ini adalah seorang gadis penghibur yang boleh menghibur setiap pria yang mampu dan suka membayarnya!

Siauw Cin menundukkan mukanya untuk menyembunyikan kepahitan yang terbayang di wajahnya. "Engkau... engkau mulai merasa kecewa dan menyesal telah mengundangku ke rumah ini, Kongcu?" tanyanya sambil menundukkan muka, suaranya lirih sekali.

"Sama sekali tidak! Aku tadi berseru hanya karena terkejut dan tidak percaya sama sekali! Engkau seorang gadis penyanyi, gadis penghibur? Aku tidak percaya, Nona Bhe!"

Siauw Cin mengangkat mukanya dan tersenyum manis sekali. "Ya Tuhan, baru sekarang inilah ada ucapan yang demikian menggirangkan hatiku, akan tetapi juga mendatangkan rasa duka dan penyesalan. Baiklah, aku akan menuturkan riwayatku kepadamu, Kongcu. Belum pernah aku menceritakan riwayat hidupku kepada siapa pun juga dan engkaulah orang pertama dan satu-satunya yang akan mendengar riwayatku."

Siauw Cin lalu bercerita. Sejak kecil dia telah dijual oleh orang tuanya yang tidak mampu kepada keluarga bangsawan di kota raja. Karena sejak kecil dia tampak mungil dan cantik maka oleh keluarga itu dia pun dididik sehingga pandai baca tulis, juga pandai melakukan pekerjaan kerajinan, masak dan lain-lain bahkan dilatih pula untuk memainkan alat musik, menari dan menyanyi. Pendeknya, dia dilatih untuk menjadi seorang dayang yang baik.

Ketika dia berusia enam belas tahun, majikannya sendiri, seorang bangsawan tua di kota raja, tergila-gila kepadanya dan menggaulinya. Karena sebagai dayang dia tiada bedanya dengan seekor anjing atau kucing peliharaan, atau sebuah benda mahal di rumah itu yang sepenuhnya dikuasai majikannya, Siauw Cin hanya dapat menangis ketika menyerahkan diri.

Hal ini lalu diketahui oleh isteri majikannya dan dia pun dijual! Dia dijual ke sebuah rumah hiburan yang besar di kota raja, dengan harga cukup tinggi mengingat dia masih muda, belum banyak terjamah pria, pandai bermain musik, menari dan menyanyi.

Sebentar saja nama Siauw Cin terkenal di kalangan para hartawan dan bangsawan yang suka keluyuran di rumah-rumah hiburan. Ia menjadi kembang baru yang mahal harganya. Dengan kedudukannya yang amat menguntungkan pemilik rumah hiburan, Siauw Cin pun bisa menjual mahal. Dia tidak sudi melayani segala macam orang, tak mau menyerahkan diri secara sembarangan saja, melainkan dia pun berhak memilih.

Demikianlah, dia kemudian menjelma sebagai gadis penghibur yang menjadi rebutan. Dia tampak hidup bergelimang kemewahan dan kesenangan, akan tetapi sebenarnya, bila dia rebah seorang diri di dalam kamarnya, sering kali dia menangis menyesali nasib dirinya dan masa depannya yang suram. Betapa pedih hatinya ketika secara terpaksa dia harus menyerahkan dirinya dipermainkan sesuka hati oleh seorang pria yang sama sekali tidak dicintanya!

Tidak mungkin dia menolak mereka semua, karena hal itu tentu akan membuat pemilik rumah hiburan menjadi marah, dan dia bisa disiksa jika terus-menerus menolak. Biar pun jarang, sekali waktu dia harus mau menerima langganan yang royal. Betapa memuakkan membiarkan diri digeluti seorang laki-laki tua botak yang perutnya gendut dan napasnya terengah-engah. Ingin rasanya mati saja!

"Kemudian, entah mengapa aku sendiri tidak tahu, Kongcu. Pagi tadi aku dijual kepada lima orang yang datang itu. Aku dipaksa ikut dengan mereka naik perahu itu dan katanya aku telah dibeli oleh bengcu mereka yang berjuluk Lam-hai Giam-lo. Dapat kubayangkan betapa rasa takutku, karena baru mendengar namanya saja aku sudah merasa ngeri. Apa lagi lima orang itu bersikap kasar kepadaku. Kemudian, muncullah engkau, Kongcu."

Sejak tadi Sun Hok mendengarkan dengan bermacam perasaan mengaduk batinnya. Tak disangkanya bahwa gadis ini adalah seorang gadis penghibur, bukan seorang dara yang bersih tanpa noda, melainkan seorang wanita yang meski pun masih sangat muda, tetapi sudah berulang kali terjatuh ke tangan bermacam-macam pria! Sungguh sulit untuk dapat dipercaya! Gadis yang begini halus, sopan dan lembut!

"Karena itu, pada waktu engkau bertanya tentang tempat tinggalku, aku menjadi bingung, Kongcu. Aku telah dijual, berarti telah bebas dari rumah hiburan itu dan sampai mati pun aku tidak sudi kembali ke sana! Lebih baik aku mati saja!"

Dan baru sekarang Siauw Cin tidak sanggup menahan lagi air matanya yang bercucuran membasahi kedua pipinya. Cepat dia mengusap air matanya dengan sapu tangan sambil menundukkan mukanya. Sungguh tangis yang wajar, bukan tangis buatan, dan Sun Hok dapat merasakan kebingungan hati wanita ini.

"Sungguh engkau seorang gadis yang bernasib malang sekali, Nona. Lalu, jika sekarang engkau tidak sudi kembali kepada induk semangmu itu, apa rencanamu selanjutnya untuk melanjutkan perjalanan hidupmu yang penuh liku-liku itu?"

Cepat saja Siauw Cin dapat menghentikan tangisnya. Sudah terlalu banyak dia menangis, sudah pandai dia menekan perasaan duka di hatinya. Ia menghapus sisa air matanya dan dengan sepasang mata kemerahan dia memandang kepada pemuda itu.

"Kongcu, sudah terlampau lama saya hidup dengan batin tersiksa, bahkan ketika bertemu denganmu, Kongcu, semakin kelihatan jelas sekali betapa kotor kehidupanku yang sudah lampau. Ketika kita sama-sama makan ikan di tepi sungai itu, Kongcu, aku berjanji dalam hatiku bahwa aku akan meninggalkan kehidupan lamaku. Lebih baik mati dari pada harus kembali menjadi gadis penghibur! Aku akan mencari pekerjaan, menjadi pelayan, menjadi tukang masak, apa saja, bahkan kalau perlu mengemis, dari pada kembali menjadi wanita penghibur. Itulah tekadku, Kongcu. Besok pagi-pagi aku akan pergi untuk mulai mencari pekerjaan, dari rumah ke rumah. Mustahil tak akan ada yang suka menerima aku sebagai tukang cuci atau tukang masak atau pengasuh anak kecil..."

"Kalau begitu, engkau tak perlu pergi, Nona. Biarlah engkau kuterima bekerja di sini saja, menjadi tukang masak," cepat Sun Hok berkata sambil menatap wajah yang cantik halus kemerahan itu.

Siauw Cin mengangkat mukanya dan kembali dua sinar mata bertaut sampai lama. Akan tetapi sekali ini Siauw Cin menundukkan mukanya, lantas dengan suara lirih dia berkata, "Can-kongcu, aku... aku tidak tega untuk menodai namamu yang bersih..."

"Ehh, apa maksudmu?"

"Semua orang tahu siapa diriku, dan kalau nanti mereka mendengar bahwa aku sekarang tinggal di sini, tentu nama Kongcu akan terseret dan ternoda..."

"Peduli amat dengan pendapat orang lain! Bukankah di sini engkau kuterima sebagai juru masak?"

"Tidak akan ada orang yang mau percaya, Kongcu. Engkau seorang Kongcu yang hidup membujang, belum berkeluarga, tentu mereka akan menduga yang bukan-bukan, apa lagi kalau mendengar bahwa Kongcu yang telah merampasku dari tangan lima orang penjahat itu."

"Nona..."

"Kongcu ingin menerimaku sebagai seorang tukang masak, seorang pelayan, akan tetapi masih menyebutku Nona. Bukankah ini saja sudah janggal sekali?"

"Baiklah, Siauw Cin, aku bermaksud menolongmu. Aku kasihan padamu dan aku girang sekali engkau hendak meninggalkan cara hidupmu yang lama. Engkau tinggallah saja di sini, memasak untukku dan tidak akan ada orang yang berani mengganggu selembar pun rambutmu."

Kembali mereka saling pandang dan perlahan-lahan, tanpa dia ketahui, kedua mata gadis itu kembali menjadi basah. Pandang mata pria ini! Selamanya belum pernah dia berjumpa dengan pandang mata seperti itu!

Biasanya, dia sudah terbiasa oleh pandang mata pria jika ditujukan kepadanya. Pandang mata pria itu tentu akan menjelajahi seluruh tubuhnya, dari rambut turun sampai ke kaki, seperti pandang mata seorang pedagang sapi yang sedang menaksir seekor sapi yang akan dibelinya, atau seperti pandang mata seorang yang sedang memilih sebuah benda indah yang hendak dibelinya. Pandang mata pria itu lalu penuh dengan kekaguman tetapi juga dipenuhi nafsu birahi.

Akan tetapi pandang mata Can-kongcu ini sama sekali tidak seperti itu! Memang ada rasa kagum di dalam sinar mata yang kadang-kadang mencorong menakutkan itu, akan tetapi rasa kagum yang membayangkan iba yang mendalam!

"Bagaimana, Siauw Cin? Maukah engkau menjadi tukang masakku di rumah ini? Kalau engkau tidak mau, tentu saja aku tidak akan memaksamu."

"Aku? Tidak mau? Aih, Can-kongcu, bagaimana mungkin aku tak mau menerima dengan tangan dan hati terbuka? Bahkan inilah sebuah kesempatan bagiku untuk membalas budi Kongcu, biar pun hanya merupakan setetes air di samudera. Kalau tadi saya meragukan, hanya karena saya hendak menjaga nama baik Kongcu sendiri. Tentu saja saya mau dan mau sekali, Kongcu!"

Sun Hok tersenyum, lega hatinya. Akan tetapi, Siauw Cin lalu bangkit berdiri dan mundur.

"Ehh, apa lagi ini? Engkau belum selesai bicara denganku."

Siauw Cin membungkuk. "Kongcu, lupakah Kongcu bahwa mulai saat ini saya menjadi pelayan Kongcu, khususnya tukang masak? Sungguh tidak pantas kalau seorang pelayan bercakap-cakap dengan majikannya. Sekarang saya bukan tamu lagi, harap Kongcu ingat baik-baik hal ini, kalau Kongcu tidak menginginkan orang lain mencemooh Kongcu. Dan saya akan menjaga supaya Kongcu tidak dicemooh orang. Selamat malam, Kongcu, saya harus memberi tahukan kepada kedua kakek dan nenek. Atau, barang kali Kongcu masih hendak memerintah sesuatu kepada saya?"

Sun Hok tersenyum, meragu, lalu menggeleng kepala. "Baiklah, selamat tidur, Siauw Cin. Aku... aku sungguh girang sekali engkau menerima permintaanku, tinggal di rumah ini."

Sun Hok mengikuti langkah gadis itu dengan pandang matanya sampai bayangan gadis itu menghilang di balik pintu yang menuju ke ruangan belakang…..

********************

Demikianlah keadaan Can Sun Hok yang namanya disinggung oleh Jaksa Kwan kepada Hay Hay, bahkan Jaksa Kwan minta kepada Hay Hay agar suka berkenalan dengan Sun Hok dan membujuknya agar suka pula turun tangan bersama para pendekar menentang gerakan yang dipimpin oleh datuk sesat Lam-hai Giam-lo.

Gadis bernama Siauw Cin itulah gadis penghibur yang digunakan oleh Jaksa Kwan untuk memancing keluar Sun Hok. Dialah yang menyuruh orang-orangnya menyamar sebagai utusan Lam-hai Giam-lo lalu membeli gadis itu dan memaksanya pergi naik perahu, tepat pada saat Sun Hok mengail ikan di sore hari itu.

Memang pancingannya berhasil, membuat Sun Hok turun tangan menyelamatkan gadis itu. Akan tetapi agaknya tidak sampai menggerakkan hati pemuda itu untuk menentang orang yang disebut oleh gadis itu sebagai bengcu yang menyuruh orangnya memaksa dia pergi, yaitu Lam-hai Giam-lo. Menurut penyelidikan yang dilakukan Jaksa Kwan, Sun Hok kini bahkan mengambil gadis itu menjadi pelayan!

Setelah satu bulan tinggal di dalam rumah Can Sun Hok, memasak dan membantu nenek pengurus rumah tangga, setiap hari bertemu dengan pemuda itu, Siauw Cin mengalami dan menghadapi sesuatu yang membuat dia kadang-kadang merasa menjadi orang yang paling berbahagia di dunia ini, akan tetapi kadang kala juga membuat dia gelisah bukan main, khawatir, bingung dan tidak tahu harus berbuat apa!

Dia melihat dengan jelas betapa pemuda itu bukan hanya kasihan kepadanya, melainkan jatuh cinta! Ya, dia tahu betul akan hal itu. Pemuda yang menjadi majikannya itu, pemuda bangsawan kaya raya yang alim, tampan, gagah dan mempunyai ilmu kepandaian tinggi seperti seorang pendekar perkasa, ternyata telah jatuh cinta padanya!

Belum pernah Sun Hok menyatakan cintanya dengan kata-kata, namun pernyataan cinta kasih itu jelas nampak oleh Siauw Cin melalui sinar matanya, melalui getaran suaranya. Belum pernah ada pria, apa lagi seperti Sun Hok, yang mencintanya seperti itu. Para pria yang pernah menguasai serta menggaulinya hanya mencinta tubuhnya saja, cinta nafsu yang akan musnah setelah terpuaskan, seperti mendung tebal yang lenyap sehabis hujan lebat.

Tentu saja dia merasa berbahagia bukan main. Akan tetapi, di dalam kebahagiaannya ini timbul rasa cemas dan gelisah karena dia pun mendapat kenyataan yang meyakinkan bahwa dia sendiri juga jatuh cinta kepada Can Sun Hok! Hal ini pun selama hidupnya belum pernah dia rasakan! Dan justru cintanya inilah yang membuat dia merasa gelisah bahwa pemuda itu jatuh cinta padanya.

Can Sun Hok, seorang pemuda bangsawan kaya raya, selama hidupnya belum pernah bergaul dengan wanita, hal ini dia yakin benar, seorang pendekar gagah perkasa, pendek kata, seorang pemuda pilihan. Dan dia? Seorang bekas wanita penghibur! Gadis namun bukan perawan lagi yang sudah digauli banyak pria! Seorang bekas pelacur tingkat tinggi atau mahal!

Betapa mungkin dia membiarkan pria yang dicintanya, dipuja dan dikaguminya itu sampai terikat dengan seorang perempuan seperti dirinya. Kasihan Can Sun Hok! Tidak, dia tidak boleh membiarkan hal itu terjadi! Inilah yang membuat dia sering kali menangis di tengah malam dan di dalam batinnya terjadi perang hebat.

Sun Hok memang tak pernah menyatakan cintanya lewat kata-kata. Akan tetapi sikapnya terhadap Siauw Cin bukan sikap seorang majikan terhadap pelayannya. Begitu sering dia mengajak Siauw Cin memancing ikan di tepi sungai lantas memasak ikan itu di situ juga untuk dimakan bersama.

Juga, segera sesudah dia tahu bahwa Siauw Cin pandai bermain musik, bernyanyi dan menari, dia pun sering bermain suling dan yang-kim bersama gadis itu. Kadang-kadang dia bermain yang-kim dan Siauw Cin meniup suling atau sebaliknya, kadang dia bermain yang-kim mengiringi Siauw Cin menyanyi atau menari. Kalau dilihat orang lain, hubungan mereka itu bagaikan hubungan antara sahabat atau saudara saja, bukan seperti majikan dengan pelayannya.

Tiga orang pelayan tua itu pun bukan orang yang tidak berpengalaman. Mereka juga tahu bahwa majikan mereka sudah jatuh cinta kepada pelayan baru itu. Dan mereka bertiga pun sayang kepada Siauw Cin yang memiliki watak yang halus dan rendah hati. Bahkan Siauw Cin juga telah mengaku siapa dirinya kepada mereka, mengaku bahwa dahulunya dia adalah seorang wanita penghibur tapi kini sudah bersumpah meninggalkan cara hidup yang dahulu.

Tiga orang pelayan tua itu maklum pula bahwa kedudukan majikan mereka terlalu tinggi, dan bahwa Siauw Cin bukan pasangan yang cocok untuk menjadi calon isteri. Akan tetapi apa salahnya bila menjadi seorang selirnya? Tentu saja mereka tidak berani mencampuri dan mereka hanya ikut bergembira melihat betapa terjadi perubahan di dalam kehidupan Sun Hok.

Kini, baru sebulan setelah Siauw Cin berada di situ, Sun Hok menjadi periang, wajahnya selalu berseri, makannya banyak, suka bermain musik dan pakaiannya juga menjadi rapi, tubuhnya menjadi agak gemuk! Bahkan lenyap sudah kebiasaan suka termenung sejak kematian Wa Wa Lobo.

Pada suatu malam bulan purnama, malam belum larut dan bulan purnama baru muncul, menerangi permukaan bumi. Permulaan malam yang indah sekali. Udaranya sejuk, angin hanya bersilir lembut, di musim semi taman penuh bunga semerbak mengharum.

Sun Hok mengajak Siauw Cin untuk bermain suling dan yang-kim di dalam taman mereka di samping gedung. Bahkan tiga orang pelayan tua itu diajak pula menikmati malam bulan purnama indah di situ. Mereka hanya duduk di atas tikar yang dibentangkan di atas petak rumput yang tebal dan lunak, dekat kolam ikan. Anggur dan kue-kue dihidangkan.

Melihat bulan purnama, Siauw Cin menarik napas panjang. Hal ini nampak oleh Sun Hok. "Ehhh, bulan purnama demikian indah, mengapa engkau malah menghela napas panjang, Siauw Cin?" tanyanya.

"Apakah Kongcu tadi melihat seekor burung kecil terbang melayang di sana?" Siauw Cin menunjuk ke arah bulan. Sun Hok menggeleng kepala, akan tetapi nenek pelayan bilang bahwa dia tadi ada melihatnya, seekor burung kecil.

"Saya pernah melihat burung kecil terbang melayang di bawah sinar bulan purnama dan saya mempunyai sebuah lagu untuk itu, Kongcu."

"Bagus! Nyanyikan lagu itu untuk kami, Siauw Cin!" kata Sun Hok dengan gembira.

"Ahh, nyanyian itu tidak menggembirakan, tentang kisah burung murai yang malang."

"Tidak mengapa, kalau engkau yang menyanyikan tentu indah."

Melihat Siauw Cin meragu, tiga orang pelayan yang terbawa oleh kegembiraan suasana ikut pula membujuk. Akhirnya gadis itu pun menurut.

"Biar kumainkan lagunya beberapa kali dengan suling supaya Kongcu bisa mengenalnya dan kalau sudah bisa, nanti Kongcu dapat mengiringi saya bernyanyi dengan memainkan yang-kim." katanya.

Sun Hok mengangguk gembira, lantas gadis itu pun mulai meniup suling. Suara sulingnya mengalun demikian lirih, indah sekali dan ternyata lagunya sederhana saja sehingga baru dimainkan tiga empat kali saja, Sun Hok yang memang sangat berbakat itu sudah dapat menghafalnya.

"Sekarang coba dengarkan aku memainkan lagu itu dengan yang-kim. Jika sudah benar, baru engkau bernyanyi dan aku mengiringimu dengan yang-kim."

Sun Hok lalu memainkan yang-kimnya dan ternyata memang dia sudah hafal dengan lagu itu sehingga permainannya indah, dipuji oleh Siauw Cin dan tiga orang pelayannya.

"Nah, sekarang nyanyikanlah lagu itu, tentang murai itu, dan aku akan mengiringi dengan yang-kim," kata Sun Hok gembira.

Kemudian, di antara suara berkencringnya yang-kim yang bening, terdengar suara merdu dari mulut Siauw Cin, dengan kata-kata yang indah pula, didengarkan penuh perhatian oleh Sun Hok dan tiga orang pelayannya.

"Burung murai terbang melayang
ingin mencapai bulan di awang-awang
murai betina bodoh janganlah mimpi
sang bulan bagimu terlalu tinggi!
Murai melihat bulan terbang di air telaga
dia meluncur mengejar dan tenggelam binasa
habislah kisah murai dan bulan purnama!
"

Tiga orang pelayan itu bertepuk tangan memuji. Memang indah sekali suara Siauw Cin, dan menjadi lagu yang amat indah ketika diiringi yang-kim yang dipetik dengan mahirnya oleh jari-jari tangan Sun Hok. Tetapi Sun Hok tidak ikut bertepuk tangan dan memandang kepada Siauw Cin yang menundukkan mukanya. Gadis itu nampak berduka.

Tiba-tiba terdengar suara orang. "Hebat, sungguh nyanyian yang amat merdu dan indah, diiringi yang-kim yang hebat pula. Sungguh mengagumkan sekali!"

Sun Hok segera mengangkat muka memandang dan ternyata di pintu gerbang taman itu sudah berdiri seorang pemuda, yaitu seorang pemuda yang usianya sebaya dengannya, wajahnya tampan dan amat menarik sebab wajah itu selalu dihias senyum ramah, dengan sepasang mata yang bersinar sehingga wajah itu selalu nampak berseri-seri. Kepalanya tertutup sebuah caping lebar.

"Murai betina jelita
kembalilah ke dunia
banyak murai jantan perkasa
menantimu dengan hati cinta!
"

Pemuda bercaping lebar itu bernyanyi, lagunya mirip dengan yang dinyanyikan Siauw Cin tadi, dan memang dia pandai sekali bernyanyi untuk mengimbangi lagu tadi, suaranya pun merdu sehingga tiga orang pelayan tua yang sedang bergembira itu pun bertepuk tangan.

Diam-diam Siauw Cin juga memuji pemuda itu karena sebagai seorang ahli, dia langsung tahu bahwa pemuda yang baru datang ini memiliki bakat yang amat baik untuk membuat sajak dan bernyanyi seketika untuk mengimbangi nyanyiannya tadi. Bahkan isi nyanyian itu merupakan hiburan bagi Si Murai betina supaya jangan mengharapkan terlampau jauh, melainkan kembali kepada kenyataan bahwa jodoh murai betina itu adalah murai jantan, bukan bulan purnama!

Akan tetapi Sun Hok mengerutkan alisnya. Dia tidak mengenal orang ini, tetapi tahu-tahu orang ini berada di pintu gerbang taman rumahnya, tanpa ijin, masuk begitu saja, bahkan lancang mulut ikut pula bernyanyi! Dia pun cepat bangkit berdiri dan dengan perlahan dia lalu melangkah maju.

Kini mereka berdiri berhadapan, dalam jarak tiga meter, saling pandang bagaikan sedang saling menyelidiki. Pemuda bercaping lebar itu masih tersenyum dan wajahnya berseri, mengajak bersahabat. Akan tetapi Sun Hok mengerutkan alisnya, penuh kecurigaan.

"Siapakah engkau dan mau apa engkau datang mengganggu kami di sini?" tanya Sun Hok sambil memandang tajam.

Pemuda bercaping lebar itu bukan lain adalah Hay Hay. Setelah menerima anjuran Jaksa Kwan untuk berkenalan dengan pemuda yang menurut jaksa itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, pada malam hari itu dia pun datang berkunjung.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar