Pendekar Mata Keranjang Jilid 52

Teringat akan semua ini, penyesalan besar muncul di dalam hati Kakek Cia Kong Liang. Setelah menghela napas panjang Cia Kong Liang memandang wajah gadis itu, kemudian terdengar dia berkata dengan suara halus.

"Nona, tidak kusangkal bahwa kami pernah bersikap terlalu keras terhadap Ciang Su Kiat sehingga dia membuntungi lengannya sendiri. Namun percayalah bahwa selama ini aku sudah merasa tersiksa oleh penyesalan. Akan tetapi hal itu sudah terjadi dan disesalkan bagaimana pun juga, tidak ada artinya lagi. Kalau Nona merasa penasaran dan datang ke sini untuk memberi hukuman sebagai pembalasan atas kesengsaraan yang diderita oleh Ciang Su Kiat, nah, silakan!"

"Nanti dulu!" Tiba-tiba terdengar Cia Kui Hong membentak marah dan dia pun langsung meloncat ke depan kakeknya, melindungi kakeknya dari Hui Lian lantas dia memandang kepada Hui Lian dengan kedua alis berkerut dan mata berkilat. "Enak saja datang-datang engkau menjual lagak dan hendak menghina kakekku! Engkau tadi bilang bahwa engkau datang untuk membela suheng-mu, nah, sekarang aku juga berada di sini untuk membela kongkong-ku! Engkau yang datang tanpa diundang, seperti pencuri yang hendak mencari keributan, sambutlah seranganku ini!" Kui Hong sudah mencabut pedangnya dan segera menyerang dengan dahsyatnya!

Hui Lian terkejut melihat serangan ini dan dia pun cepat melompat ke belakang sambil mencabut pedang dari punggungnya. Sinar berkilat ketika pedang Kiok-hwa-kiam tercabut dan tertimpa sinar lampu dan lentera yang tergantung di ruangan itu.

Kui Hong telah menerjang kembali dan menyerang dengan pedangnya, gerakannya cepat dan mengandung tenaga yang cukup kuat. Hui Lian maklum akan kelihaian lawan maka dia pun menangkis. Terdengar suara berdencing nyaring saat sepasang pedang bertemu dan nampak api berpijar. Dengan kaget sekali Kui Hong merasa betapa lengan kanannya langsung tergetar hebat dan kesemutan, maka tahulah dia bahwa lawan ini memang lihai bukan main.

Cia Kong Liang dan Cia Hui Song terkejut melihat betapa Kui Hong menyerang gadis itu, akan tetapi secara diam-diam mereka pun ingin sekali melihat sampai di mana kelihaian gadis yang mengaku sumoi dari Ciang Su Kiat itu, maka mereka mendiamkannya saja. Dan mereka pun terkejut.

Terjadilah perkelahian pedang yang amat hebat dan biar pun kini Kui Hong telah memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi, namun gadis itu ternyata mempunyai gerakan yang aneh dan hebat bukan main. Hui Song yang diam-diam memperhatikannya, merasa heran sekali karena dia yang sudah banyak pengalaman tetap tidak pernah melihat ilmu pedang seperti yang dimainkan oleh Hui Lian. Hal ini tidaklah aneh karena ilmu pedang itu adalah In-liong Kiam-sut, ilmu pedang peninggalan dari In Liong Nio Nio, salah seorang di antara Delapan Dewa!

Yang membuat Kui Hong mulai terdesak dan kewalahan adalah kehebatan ginkang dari Hui Lian. Gadis ini dapat bergerak demikian ringan dan cepatnya, laksana seekor burung saja sehingga Kui Hong merasa kalah cepat, padahal dalam hal ilmu meringankan tubuh ini dia sudah menerima gemblengan dari neneknya, yaitu Toan Kim Hong!

Tiba-tiba terdengar seruan keras. "Enci Hong, aku membantumu!" Dan kini Ling Ling juga sudah meloncat ke dalam kalangan pertempuran. Dengan pedang di tangan gadis ini pun membantu Kui Hong menghadapi Hui Lian.

Makin hebatlah perkelahian itu sehingga diam-diam Hui Song dan ayahnya merasa kagum bukan main karena biar pun dikeroyok dua, ternyata gadis itu sama sekali tidak terdesak dan bahkan beberapa kali sinar pedangnya mengancam Ling Ling dan Kui Hong.

Kakek Cia Kong Liang mengerutkan alisnya. Perkelahian itu demikian seru dan hebatnya, tentu seorang di antara mereka akan terluka parah bila dilanjutkan. Kalau sampai terjadi Ling Ling atau Kui Hong terluka, bahkan tewas, dia akan menyesal karena hal itu terjadi gara-gara dia! Membayangkan hal ini Cia Kong Liang segera meloncat ke depan sambil berseru nyaring.

"Cukup, hentikan perkelahian ini! Kui Hong, Ling Ling, mundurlah kalian!"

Dua orang gadis itu terpaksa berloncatan ke belakang, maka kini Cia Kong Liang sudah behadapan dengan Hui Lian yang masih memegang pedangnya. Secara diam-diam gadis ini merasa kagum. Dua orang gadis muda itu benar-benar lihai dan meski pun dia mampu menandingi mereka, akan tetapi agaknya tak terlalu mudah baginya untuk menundukkan mereka. Belum lagi kalau pendekar Cia Hui Song ikut maju! Jika keluarga itu maju, maka dia bisa celaka!

"Nona," kata kakek itu kepada Hui Lian. "Urusan antara aku dengan Ciang Su Kiat yang sekarang kau wakili adalah urusan pribadi, aku tidak ingin keluargaku tersangkut. Karena itu, apa bila engkau masih penasaran dan hendak menyelesaikan perkara ini dengan cara kekerasan maka akulah yang harus kau serang, bukan cucu-cucuku. Nah, majulah dan lawanlah aku, Nona!"

Nada suara Cia Kong Liang halus, akan tetapi menantang karena dia memang sengaja menantang supaya gadis itu menyerang dia saja, walau pun dia maklum bahwa dia tidak akan menang dan tentu dia akan tewas di tangan gadis yang lihai ini. Dia rela menebus dengan nyawanya sebagai pembayar hutang.

Hui Lian memang sudah marah sekali. Dendamnya karena penderitaan suheng-nya amat besar. Ia ingin melakukan sesuatu untuk suheng-nya itu, maka dia memegang pedangnya lebih erat lagi.

"Kakek Cia, keluarkan senjatamu!" bentaknya.

Cia Kong Liang tersenyum dan menggelengkan kepala. "Nona, sudah lama aku mencuci batinku dari kekerasan, oleh karena itu sudah pantang bagiku untuk membiarkan tangan ini memegang pedang. Kalau engkau hendak menyerangku, pergunakan saja pedangmu dan aku akan menghadapimu dengan tangan kosong saja."

Hati yang tengah dikeruhkan oleh amarah membuat orang tidak waspada sehingga selalu salah terima akan maksud orang lain. Demikian pula dengan Hui Lian. Mendengar ucapan itu dia menjadi salah paham, menganggap bahwa kakek itu memandang rendah padanya sehingga menantangnya dengan tangan kosong! Maka mukanya menjadi semakin merah.

"Bagus! Kakek sombong, jangan kau salahkan pedangku ini!" Dia pun menerjang sambil menusukkan pedangnya.

Bukan main kagetnya hati Hui Lian ketika melihat betapa orang yang ditusuknya itu sama sekali tidak mengelak, menerima saja tusukan pedangnya yang meluncur ke arah dada! Cepat dia hendak menarik tangannya, namun terlambat karena pedang itu telah meluncur terlalu cepat.

Pada saat itu pula tampak bayangan orang berkelebat cepat sekali, lalu lengan kanan Hui Lian ditangkis orang sehingga tusukannya itu meleset dan tidak mengenai sasaran. Ketika Hui Lian meloncat ke belakang kemudian memandang, dia kaget bukan kepalang melihat suheng-nya, Ciang Su Kiat telah berdiri di situ dan ternyata suheng-nya yang tadi sudah menangkis dan menggagalkan serangannya.

"Sumoi, sarungkan kembali pedangmu!" kata Su Kiat dengan halus.

Melihat sinar mata suheng-nya yang mengandung penyesalan besar, Hui Lian cepat-cepat menyarungkan pedangnya kembali. Su Kiat kemudian memegang tangan sumoi-nya, dan ditariknya sumoi-nya itu untuk diajaknya berlutut di depan kaki Cia Kong Liang!

"Locianpwe, sayalah yang memohonkan maaf bagi kelancangan Sumoi Kok Hui Lian. Bila Locianpwe hendak menghukumnya, hukumlah saya sebagai penggantinya..."

Melihat bekas muridnya ini, hati kakek itu diliputi keharuan. Ternyata muridnya ini sudah berubah sama sekali. Kini sudah berusia lima puluh tahun lebih dan sikapnya demikian matang, demikian berwibawa tapi suaranya halus dan tenang. Dia lalu membungkuk dan memegang kedua pundak Ciang Su Kiat sambil berkata,

"Su Kiat, bangkitlah, dan engkau juga, Nona. Su Kiat, sudahlah, kalian jangan membuat aku merasa semakin sedih dan menyesal. Sungguh, aku sudah merasa menyesal sekali karena sikap dan perbuatanku di masa lalu. Bahkan tadi aku rela mati di ujung pedang Sumoi-mu yang lihai ini untuk menebus kesalahanku itu."

"Locianpwe, sama sekali tidak ada penyesalan. Yang sudah terjadi adalah peristiwa yang lampau dan memang dihendaki Thian. Bahkan saya telah merasakan berkah dan hikmat dari peristiwa itu. Sumoi terburu nafsu dan karena itu saya mohon maaf. Kini kami mohon diri. Sumoi, mari kita pergi." Sambil memegang tangan sumoi-nya, Su Kiat mengajaknya pergi dan sekali meloncat tubuh mereka berkelebat kemudian lenyap di tengah kegelapan malam! Semua orang tertegun dan kagum bukan main.

"Bukan main!" kakek Cia Kong Liang memuji. "Kini Su Kiat sudah menjadi seorang yang luar biasa lihainya..."

Hui Song lalu menepuk pahanya sendiri. "Aihh... sekarang aku teringat! Gadis itu tentulah puteri Kok Taijin!"

Kui Hong yang juga merasa kagum pada wanita muda yang lihai bukan main itu segera bertanya. "Ayah, siapakah itu Kok Taijin?"

"Dia adalah bekas gubernur San-hai-koan, seorang pembesar yang sangat setia kepada pemerintah dan menjadi korban pemberontakan."

Hui Song kemudian menceritakan peristiwa yang terjadi dua puluh tahun yang lalu. Ketika itu terjadi pemberontakan dari persekutuan datuk-datuk golongan sesat dan San-hai-koan diserbu pemberontak. Rumah Gubernur Kok diserbu penjahat sehingga anggota keluarga itu tewas semua, kecuali seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun yang berhasil di selamatkan Hui Song.

Akan tetapi, ketika dia melarikan anak perempuan itu, di tengah perjalanan dia dihadang oleh tokoh-tokoh sesat yang membantu pemberontakan, dan karena dikeroyok tiga orang sakti, terpaksa Hui Song melepaskan anak perempuan itu. Pada saat anak perempuan itu terancam bahaya karena ditangkap seorang di antara para datuk sesat, muncullah Ciang Su Kiat yang menyelamatkan dan membawa lari anak perempuan puteri Gubernur Kok itu.

"Nah, demikianlah. Tadi aku merasa seperti pernah mengenal gadis itu, akan tetapi lupa lagi. Ternyata dia adalah anak perempuan dahulu itu yang sekarang telah menjadi Sumoi dari Suheng Ciang Su Kiat! Bukan main, mereka berdua telah memiliki kepandaian yang amat hebat!"

Kakek Cia Kong Liang kembali ke dalam kamarnya untuk bersemedhi dengan perasaan prihatin. Peristiwa tadi menggugah semua kenangan dan mendatangkan penyesalan yang lebih menekan hatinya.

Sementara itu Hui Song segera mengajak puterinya dan Ling Ling untuk bercakap-cakap, terutama sekali Kui Hong diminta untuk menuturkan semua pengalamannya dan keadaan ibunya yang berada di Pulau Teratai Merah. Juga antara Kui Hong dan Ling Ling segera terjalin hubungan yang akrab dan cocok.

Dalam percakapan ini Hui Song menyatakan bahwa dia akan segera mengunjungi tempat mertuanya di Pulau Teratai Merah, dan minta maaf kepada kedua orang mertuanya, juga kepada isterinya, dengan harapan mudah-mudahan setelah lewat tiga tahun lebih, kini hati isterinya itu sudah dingin, mau memaafkannya dan mau kembali ke Cin-ling-san…..

********************

Sementara itu, di malam yang hanya diterangi bintang-bintang di langit itu, Ciang Su Kiat berjalan bersama Kok Hui Lian, menuruni Pegunungan Cin-ling-san. Mereka tidak bicara sejak meninggalkan perkampungan Cin-ling-pai, dan sesudah tiba di kaki gunung, barulah Su Kiat mengajak sumoi-nya memasuki sebuah kuil tua yang sudah tidak digunakan lagi. Malam tadi pun dia bermalam di kuil itu.

Mereka membuat api unggun dan baru sekarang mereka memperoleh kesempatan untuk saling pandang di bawah sinar penerangan api unggun. Sejenak mereka saling pandang hingga akhirnya Su Kiat menarik napas panjang. Hatinya yang penuh kerinduan terhadap sumoi-nya itu terobati setelah melihat sumoi-nya dalam keadaan sehat selamat.

"Sumoi, aku gembira sekali melihat engkau dalam keadaan sehat dan selamat," katanya sederhana.

"Suheng, engkau pun terlihat sehat. Sungguh tak kuduga akan dapat bertemu denganmu di tempat ini, Suheng."

"Sumoi, kenapa engkau menyerbu Cin-ling-pai...?"

Wanita itu menatap wajah suheng-nya dengan pandang mata penuh selidik, akan tetapi tidak nampak kemarahan pada wajah suheng-nya itu.

"Suheng, harap maafkan aku..."

"Tak ada yang perlu dimaafkan, Sumoi, akan tetapi aku sungguh ingin sekali mengetahui kenapa engkau pergi ke Cin-ling-pai lalu dengan nekat melakukan penyerangan terhadap bekas Guruku?"

Sejenak mereka saling tatap di bawah cahaya api unggun, kemudian Hui Lian menunduk. "Suheng, salahkah aku? Sudah sejak dulu hatiku terasa bagaikan ditusuk setiap kali aku memandang lengan kirimu, lalu timbul perasaan dendam yang semakin menebal terhadap orang yang menyebabkan lenganmu buntung. Karena itu sejak dahulu aku memang telah mempunyai niat untuk pada suatu hari mencari ketua Cin-ling-pai kemudian membalaskan dendam atas penderitaanmu."

Su Kiat tersenyum sabar. "Sumoi, kita harus dapat menerima segala peristiwa dengan hati terbuka karena di dalam setiap peristiwa terdapat hikmahnya yang amat besar. Kalau saja tidak terjadi peristiwa di Cin-ling-pai itu, kalau saja lenganku tidak buntung, sekarang aku tentu masih menjadi seorang murid Cin-ling-pai. Aku tidak akan mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi, dan yang lebih dari segalanya, aku tentu tidak akan bertemu dengan engkau, Sumoi."

"Dan aku mungkin mati di tangan penjahat itu ketika pendekar Cia Hui Song dikeroyok," sambung Hui Lian.

"Nah, karena itu tidak ada gunanya kita mendendam, apa lagi bekas guruku nampaknya sudah begitu menyesal dan menderita batin. Akan tetapi, yang membuat aku penasaran, mengapa engkau... engkau demikian nekat dan bersusah payah menempuh bahaya pula, hendak membelaku, Sumoi?"

Kembali mereka saling pandang dengan sinar mata tajam penuh selidik, kemudian Hui Lian menarik napas panjang. "Karena... aku merasa berhutang budi kepadamu, Suheng, aku... aku tak mampu membalasnya dan aku ingin melakukan sesuatu yang besar untuk sekedar membalas budimu yang bertumpuk."

"Hemm, aku tidak pernah merasa melepas budi, Sumoi. Tak perlu engkau berbuat seperti itu, aku… sudah girang sekali melihat engkau selamat, dan aku... aku selalu ingin melihat engkau dalam keadaan sehat dan berbahagia, Sumoi."

Mereka lantas terdiam, kehabisan bahan percakapan. Entah mengapa, sebelum bertemu mereka saling merasa rindu sekali, akan tetapi begitu bertemu mereka merasa canggung dan salah tingkah. Karena keduanya diam, suasana menjadi hening sekali dan keduanya merenung sambil memandangi api unggun yang menari-nari.

Kemudian Hui Lian melirik dan memperhatikan wajah suheng-nya dari samping. Nampak olehnya betapa kurusnya wajah itu, penuh dengan garis-garis muka yang membayangkan penderitaan batin. Dia merasa kasihan sekali.

"Suheng, engkau... engkau kenapakah?"

Su Kiat menoleh dan mereka berpandangan. "Mengapa? Tidak apa-apa, Sumoi."

"Tidak sakitkah, sehat sajakah engkau Suheng?"

"Tidak, aku tidak sakit dan sehat-sehat saja."

"Akan tetapi engkau begini kurus, Suheng. Sungguh baru tampak olehku sekarang betapa kurusnya engkau, dan pandang matamu begitu sayu seperti orang bersedih."

Su Kiat memandang wajah sumoi-nya dengan kedua alis berkerut, terjadi perang di dalam batinnya antara mengaku atau tidak. Akhirnya dia menggigit bibirnya dan memberanikan hatinya karena dia tahu bahwa soalnya adalah mengaku sekarang atau selamanya tidak akan ada kesempatan lagi!

"Terus terang saja memang ada kesedihan di dalam hatiku, Sumoi. Aku merasa kesepian sekali sejak engkau pergi... bukan, bahkan sejak engkau menikah untuk pertama kalinya itu. Aku merasa kesepian dan kehilangan, namun semua itu masih dapat kuhibur dengan membayangkan engkau hidup bahagia bersama suamimu. Akan tetapi sungguh celaka, kenyataannya tidak demikian. Pernikahanmu gagal, engkau hidup menderita, bahkan dua kali pernikahanmu berakhir dengan kegagalan. Melihat engkau tidak berbahagia, melihat engkau menderita, aku merasa betapa hancur hatiku, Sumoi. Aku berduka, aku bersedih, mungkin lebih sedih dari pada perasaanmu sendiri. Aku ingin melihat engkau berbahagia selalu, Sumoi, aku... aku..."

Sejak tadi Hui Lian memandang dengan mata terbelalak, kemudian perlahan-lahan ada air menetes turun dari matanya namun dibiarkannya saja, wajahnya menjadi pucat.

"Tapi... tapi mengapa, Suheng...? Mengapa engkau begitu memprihatinkan keadaanku...? Mengapa...?" tanyanya, suaranya menggetar dalam bisikan bercampur isak tertahan.

"Karena... karena... demi Tuhan, biar aku berterus terang! Karena aku cinta kepadamu, Sumoi, sejak dahulu, sejak kita berada di dalam jurang..."

"Suheng...!" Hui Lian menjerit dan menubruk kaki suheng-nya, lalu menangis mengguguk seperti anak kecil sambil merangkul kaki suheng-nya.

Su Kiat terkejut sekali. Dirangkulnya Hui Lian, ditariknya agar jangan berlutut merangkul kakinya, dan gadis itu lalu menubruknya dan menangis di atas dadanya! Tiada kata-kata yang keluar karena setiap kali membuka mulut yang keluar hanyalah panggilan lirih,

"Suheng..." disertai isak tangis.

"Sumoi... maafkan aku. Ahh, aku telah lancang mulut, tidak sepatutnya aku menyinggung perasaan hatimu, Sumoi..."

"Suheng, diam...!" Tiba-tiba wanita muda itu membentak hingga mengejutkan suheng-nya. Hui Lian sudah berhasil menekan perasaannya dan sekarang dia pun mengangkat muka, memandang kepada suheng-nya dari balik genangan air mata. "Mengapa Suheng begitu rendah hati? Aihh, Suheng... Suheng... kenapa tidak dari dulu engkau katakan itu? Sudah sejak dahulu aku menanti-nanti keluarnya ucapan itu dari mulutmu!"

"Sumoi...?" Su Kiat berseru, kaget dan heran.

"Suheng, kaulah satu-satunya orang yang kumiliki di dunia ini. Engkau menjadi pengganti orang tuaku, guruku, saudaraku, sahabatku, engkaulah segala-galanya bagiku. Tentu saja aku tak berani mengharapkan yang lebih dari pada semua budi yang telah kau limpahkan kepadaku. Kemudian engkau minta aku menikah. Aku mencoba untuk membantah, akan tetapi engkau mendesakku sehingga aku tidak berani lagi menolak. Aku mengira engkau tidak cinta kepadaku, Suheng. Dan aku... ahhh, aku bodoh... baru-baru ini saja aku tahu benar bahwa di dunia ini tidak mungkin ada orang lain yang akan kucinta lebih dari pada perasaan cintaku kepadamu..."

"Sumoi...!" Mereka berangkulan dan kembali Hui Lian menangis pada dada suheng-nya. "Sumoi, mana aku berani? Aku jauh lebih tua darimu, dan aku seorang lelaki yang cacat, lenganku buntung. Aku merasa rendah diri, dan baru sekarang... setelah engkau menjadi janda dua kali, sesudah aku melihat pembelaanmu di Cin-ling-pai, aku memberanikan diri mengaku cintaku..."

"Suheng... ahhh, peluklah aku, Suheng, peluklah aku yang kuat, dan jangan kau lepaskan aku lagi... tanpa engkau, aku tidak berani hidup di dunia yang kejam ini..."

"Tidak, Sumoi, demi Tuhan, mulai sekarang aku tidak akan melepaskanmu lagi. Engkau adalah milikku dan aku pun milikmu, aku akan mempertahankan engkau dengan taruhan nyawaku. Engkau calon isteriku..."

"Dan engkau suamiku... sampai aku mati, Suheng..."

Sungguh mesra dan mengharukan pertemuan antara dua hati yang sesungguhnya sudah saling mencinta sejak dahulu. Kini segalanya terbuka bagi mereka, dan mereka merasa seakan-akan baru bangkit dari kematian untuk menyongsong cahaya matahari pagi yang cerah dan penuh kebahagiaan.

Mereka bercakap-cakap dengan mesra, seperti sepasang pengantin baru, membicarakan masa depan mereka dan rencana mereka. Mereka akan mencari pendeta dalam kuil yang mau menikahkan mereka, lalu mereka akan hidup sebagai suami isteri dengan lembaran baru, di tempat yang jauh dari segala pertikaian dunia, membentuk rumah tangga, kalau mungkin melahirkan anak-anak. Alangkah indahnya semua itu!

Rumah tangga atau keluarga yang dibentuk oleh seorang pria dan seorang wanita yang menjadi suami isteri bukanlah hal yang remeh, bahkan sangat rumit. Laki-laki dan wanita condong untuk saling tertarik atau yang diistilahkan sebagai ‘jatuh cinta’ karena tertarik oleh keindahan wajah dan tubuh. Modal wajah tampan dan cantik, tubuh yang menarik sama sekali tidak dapat menjamin keutuhan dan keakraban antara suami isteri.

Ketampanan dan kecantikan hanyalah merupakan warna bagian luar saja, dan akhirnya dapat membosankan. Sebaliknya, antara seorang wanita dan seorang pria, untuk dapat hidup bersama selama puluhan tahun, bahkan sampai mati, modal yang utama adalah kecocokan dan keserasian watak. Dengan kecocokan watak ini maka perasaan yang dinamakan cinta itu makin terpupuk dan tersiram, tumbuh dengan sehat dan segarnya. Akan tetapi kalau watak dan selera bertentangan, akan tak tampak lagi ketampanan dan kecantikan, dan yang nampak hanyalah bagian-bagian yang buruk saja.

Pernikahan Hui Lian dengan suaminya yang pertama, yaitu Tee Sun, terjadi atas anjuran Ciang Su Kiat dan Hui Lian mau menjadi isteri Tee Sun hanya untuk mentaati permintaan suheng-nya. Ternyata kemudian terdapat ketidak cocokan antara suami isteri ini, karena Tee Sun berwatak sangat pencemburu dan memang tidak ada rasa cinta dalam hati Hui Lian terhadap suami pertama itu. Kemudian terjadilah perceraian.

Dan pernikahannya yang ke dua, dengan Su Ta Touw, terjadi karena Hui Lian silau oleh bujuk rayu dari suami ke dua itu yang ternyata merupakan seorang perayu dan penakluk wanita. Pernikahan kedua yang hanya terdorong oleh nafsu ini tak bertahan lama, karena setelah Su Ta Touw merasa bosan, nampaklah belangnya dan kembali terjadi perceraian. Kemudian Hui Lian merana dan barulah terasa benar olehnya betapa sesungguhnya dia memuja dan mencinta Su Kiat, suheng-nya sendiri!

Mereka berdua ini, yang sudah hidup bersama mengalami segala macam kesengsaraan berdua, mengalami suka duka berdua bahkan menghadapi maut yang amat mengerikan, memliki cinta yang didasari persamaan selera dan watak. Karena itu, ketika dua hati itu bertemu, lengkaplah sudah pertemuan cinta di antara mereka dan dengan penuh bahagia mereka menyongsong hari depan yang nampak cerah….!

********************

Sudah terlampau lama kita meninggalkan Pek Han Siong, yang ketika kecilnya dianggap sebagai Sin-tong (Anak Ajaib) dan dijadikan perebutan karena oleh para Pendeta Lama di Tibet dia dicalonkan menjadi seorang Dalai Lama!

Seperti kita ketahui, Pek Han Siong yang telah meninggalkan perguruan berhasil bertemu dengan keluarga Pek di Kong-goan. Ia lalu mendengar bahwa adik kandungnya, Pek Eng, pergi meninggalkan rumah karena hendak mencari dia, juga sebagai pernyataan tak suka karena orang tuanya menerima pinangan keluarga Song dari Kang-jiu-pang.

Setelah melakukan penyelidikan dan mencari-cari, akhirnya Han Siong dapat menemukan jejak adiknya itu yang menuju ke selatan. Dari keluarganya dia sudah minta keterangan yang selengkapnya tentang adiknya itu dan sudah mempunyai gambaran bahwa adiknya itu seorang gadis berusia kurang lebih tujuh belas tahun, bertubuh tinggi ramping dengan kaki panjang.

Wajahnya hitam manis, matanya agak sipit dan ujung hidungnya yang kecil mancung itu agak berjungkat, bibirnya merah dan ada lesung pipit pada sebelah kiri mulutnya. Adiknya itu lincah jenaka, manja, pandai bicara, hatinya lembut dan senang mengenakan pakaian suku bangsa Yi, yaitu pakaian adat dan memakai topi sorban yang dihias bulu burung. Dari ciri-ciri inilah dia mendapatkan jejak adiknya yang menuju ke selatan.

Pada suatu hari sampailah dia di kota Kui-yang di Propinsi Kui-couw. Dia mengharapkan untuk dapat memperoleh berita mengenai adiknya di kota ini. Hari sudah siang ketika dia memasuki kota itu dan karena semenjak kemarin malam dia belum makan apa-apa dan perutnya terasa lapar, dia lalu masuk ke sebuah rumah makan ketika kebetulan lewat di depannya.

Tidak ada pelayan yang menyambutnya, akan tetapi Han Siong tidak peduli dan dia pun masuk ke sebuah rumah makan yang setengah ruangannya sudah diisi tamu. Tak kurang dari tiga meja penuh tamu, setiap meja diisi delapan orang dan sikap mereka itu kasar. Mereka makan minum sambil bercanda, bicara keras dan tertawa bergelak.

Han Siong memillih meja kosong di sudut dan sesudah duduk, barulah seorang pelayan menghampirinya. Pelayan ini sudah tua, dengan tubuh kurus dan muka membayangkan ketakutan. Dengan kain lap pada pundaknya dia terbongkok-bongkok menghampiri Han Siong dan berkata dengan suara setengah berbisik,

"Kongcu, rumah makan kami sedang dipakai pesta. Apa bila Kongcu ingin makan, saya sarankan sebaiknya Kongcu pergi ke rumah makan lain di ujung jalan ini."

Sambil mengerutkan alisnya Han Siong memandang pelayan itu. Baginya tidak menjadi persoalan kalau restoran ini tidak menerima tamu, akan tetapi dia melihat betapa wajah itu membayangkan ketakutan dan mata pelayan itu melirik-lirik ke arah tiga buah meja penuh tamu itu. Dia dapat menduga bahwa tentu pelayan ini tidak berani menerima tamu baru karena takut kepada orang-orang kasar yang sedang berpesta pora itu.

"Akan tetapi, Paman, kalau engkau menerima mereka itu sebagai tamu, kenapa hendak menolak kehadiranku?"

"Sama sekali tidak menolak, Kongcu, tapi hanya saran... ahhh, sudahlah, Kongcu hendak memesan apakah?"

"Nasi, tiga macam masakan sayur, tidak pakai daging atau kalau pakai juga, sedikit saja. Aku lebih suka makan sayur dari pada daging. Dan air teh."

"Arak?" tanya pelayan itu yang memandang heran.

Han Siong menggelengkan kepala. Dia lama hidup di dalam kuil, oleh karena itu dia tidak doyan arak dan tidak begitu suka makan daging. Pelayan itu segera meninggalkan Han Siong sambil menggelengkan kepala dan mengomel perlahan.

Sementara itu, munculnya Han Siong di situ telah menarik perhatian beberapa orang yang berpesta pora. Mereka adalah jagoan-jagoan dan tukang-tukang pukul kota Kui-yang dan sekitarnya. Pada siang hari itu, seorang kepala jagoan she Ciok yang bertempat tinggal di kota Kui-yang dan amat terkenal sebagai seorang jagoan yang lihai, sedang mengadakan pesta untuk merayakan ulang tahunnya yang ke empat puluh. Pesta diadakan di rumah makan itu dan dia mengundang teman-temannya, dari dalam dan luar kota sehingga dua puluh orang lebih tukang pukul dan jagoan berkumpul di situ dan berpesta pora.

Melihat mereka, tidak ada seorang pun berani memasuki rumah makan itu. Begitu melihat mereka, para tamu yang datang segera keluar lagi dan tidak berani makan di situ. Hal ini diketahui oleh mereka dan mereka pun menjadi bangga.

Akan tetapi, kemudian muncul seorang pemuda sederhana yang berani masuk ke rumah makan itu bahkan tidak menghiraukan anjuran pelayan agar pergi makan ke restoran lain saja. Keberanian pemuda ini membuat beberapa orang tamu itu merasa tidak senang dan menganggap bahwa pemuda itu tidak memandang mata kepada mereka. Apa lagi ketika mereka mendengar betapa pemuda itu hanya memesan nasi, sayur tanpa daging dan air teh, membuat mereka memandang rendah dan menganggap pemuda ini tentu seorang pendatang dari luar kota yang miskin dan tidak mengenal mereka.

Di antara mereka yang merasa tidak senang dengan kehadiran Han Siong, terdapat dua orang kakak beradik yang bertubuh tinggi besar dan melihat otot yang melingkar-lingkar pada lengan dan leher mereka, dapat diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang amat kuat. Mereka ini bernama Giam Hok dan Giam Kui, pembantu-pembantu yang bisa diandalkan dari kepala jagoan Ciok.

Sesudah kakak beradik ini saling berbisik sambil tersenyum-senyum, mereka lalu berjalan menghampiri meja Han Siong. Begitu melihat mereka berdua datang mendekat, pelayan yang datang menghidangkan masakan dan air teh yang dipesan Han Siong cepat-cepat pergi meninggalkan meja Han Siong dengan muka pucat.

Tentu saja Han Siong tahu akan sikap kedua orang yang kini melangkah menghampirinya dengan lagak sombong itu. Dia pun sudah bersiap siaga dan mengerahkan tenaga untuk membela diri, akan tetapi pada lahirnya dia bersikap biasa saja, bahkan pura-pura tidak melihat mereka dan mulai makan nasi dengan sayurnya.

Kini kakak beradik itu sudah sampai di meja Han Siong dan dengan sikap congkak sekali mereka mengangkat kaki kanan lalu meletakkan kaki itu di atas kursi di dekat meja Han Siong. Mereka tertawa-tawa dan sekarang semua tamu yang sedang berpesta pora itu memandang sambil tertawa, mengharapkan pertunjukan yang lucu dan menggembirakan.

Bagi orang-orang macam ini, perlakuan kasar dan sewenang-wenang terhadap orang lain merupakan makanan sehari-hari dan melihat orang lain menderita oleh perlakuan mereka merupakan suatu kegembiraan. Melihat ulah kedua orang pembantunya, kepala jagoan Ciok hanya tersenyum saja sambil minum arak lagi yang sudah terlalu banyak memasuki perutnya yang gendut.

"Heii, lihat anak dusun ini! Makanannya seperti makanan kambing! Hanya sayur-sayuran melulu!" kata Giam Hok yang hidungnya pesek.

"Ha-ha-ha-ha, lihat minumnya juga air teh. Ehh, kambing, engkau tentu suka sekali kalau disiram air dingin seperti kambing kehujanan, ha-ha-ha!" kata pula Giam Kui yang pergi ke sudut di mana terdapat seember besar terisi air. Air ini disediakan di situ untuk mencuci tangan para tamu dan kini Giam Kui mengangkat ember itu.

Melihat ulah adiknya, Giam Hok yang tahu apa maksud adiknya, sambil tertawa-tawa lalu membantu adiknya mengangkat ember besar berisi air kotor itu. Han Siong masih makan, akan tetapi sekarang dia memandang kepada dua orang kakak beradik yang menggotong ember kayu berisi air itu, sikapnya tetap tenang akan tetapi matanya mengeluarkan sinar aneh yang amat berpengaruh dan kuat sekali.

Sambil tertawa-tawa Giam Hok dan Giam Kui mengangkat ember besar itu, melangkah maju kemudian dengan pengerahan tenaga, mereka menggerakkan ember itu dan semua isinya mengguyur ke meja... kepala jagoan Ciok! Tentu saja semua orang yang tadinya menonton sambil tertawa-tawa, seketika menjadi geger dan menyumpah-nyumpah.

Air kotor dari bak itu bukan hanya menyiram semua hidangan yang berada di atas meja pertama itu, akan tetapi juga mengguyur muka dan pakaian sebagian dari mereka! Semua orang segera berloncatan dibarengi makian-makian dan Ciok sendiri lalu meloncat bangkit dengan pakaian agak basah dan dia pun memaki.

"Apakah kalian sudah menjadi gila?" bentak Ciok dengan marah sekali.

Para jagoan lain menjadi marah pula, akan tetapi juga terheran-heran bagaimana kedua orang kakak beradik itu berani melakukan kekurang ajaran seperti itu terhadap mereka. Dan dua orang itu pun kini terbelalak dengan muka pucat ketika melihat kenyataan yang tidak masuk akal itu.

Ternyata mereka sudah menyiram isi air bak itu ke meja pimpinan mereka, padahal tadi amat jelas bahwa mereka mengguyurkan air itu kepada bocah dusun yang sedang makan minum seorang diri di meja sudut itu. Mereka kini memutar tubuh memandang kepada pemuda itu yang masih enak-enak makan, seolah-olah tidak pernah tahu akan terjadinya peristiwa di meja lain itu!

"Tapi... tapi... Ciok-toako, tadi kami mengguyur air itu ke meja bocah dusun itu!" Giam Hok berkata sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah Han Siong.

Giam Kui merasa heran sekali dan juga ngeri membayangkan akibat perbuatan dia dan kakaknya. Dengan geram dia lalu melangkah menghampiri Han Siong dan melihat ini, Giam Hok juga cepat melangkah lebar menghampiri Han Siong.

"Bocah dusun ini yang membikin gara-gara, kita harus menghajarnya sampai mampus!" kata Giam Kui.

"Betul, dia harus mempertanggung jawabkan apa yang telah terjadi!" kata pula Giam Hok.

Orang she Ciok yang tadinya marah-marah kini memandang dengan heran. Dia pun tidak percaya bahwa dua orang kakak beradik yang menjadi pembantu-pembantunya itu telah sedemikian nekatnya untuk melakukan penghinaan kepadanya dan kepada teman-teman lain, menyiramkan seember air kotor kepada mereka seperti itu. Tentu ada apa-apa yang aneh dalam hal ini, pikirnya.

Maka, seperti yang lain, dia pun kini memandang ke arah dua orang kakak beradik yang menghampiri pemuda itu dengan sikap mengancam dan pandang mata beringas sekali. Tentu pemuda dusun itu akan mereka hajar sampai mati, pikir mereka.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar