Pendekar Mata Keranjang Jilid 38

Setelah lebih dari tiga puluh jurus semua serangannya gagal karena agaknya lawan telah mengenal ilmu silatnya, Hay Hay merubah gerakannya dan kini dia memainkan Ciu-sian Cap-pek-ciang yang amat dahsyat, yang diciptakan Ciu-sian Sin-kai khusus untuk dirinya. Begitu dia memainkan ilmu silat yang membuat daun-daun pohon di sekeliling tempat itu banyak yang rontok oleh sambaran angin pukulannya, berkali-kali kakek itu harus kembali berseru kaget sambil terus mengelak dan kadang-kadang menangkis.

"Wah-wah, engkau Si Jembel Ciu-sian Sin-kai kalau begini! Bocah ini sungguh beruntung, mewarisi pula ilmu-ilmu milik Si Jembel dari Delapan Dewa itu!" Akan tetapi, seperti tadi, dia dapat menghindarkan semua serangan Hay Hay.

Diam-diam pemuda ini semakin kagum dan terpaksa dia mencabut sulingnya, sebatang suling dari kayu seperti milik Ciu-sian Sin-kai. Suling ini panjangnya hanya tiga kaki, bisa dipakai sebagai alat musik dan dapat pula dimainkan seperti pedang. Dengan senjata ini kembali dia menyerang sambil mengerahkan seluruh kepandaiannya.

Sambil terus memuji-muji kakek itu kembali menghadapi semua serangan Hay Hay hanya dengan elakan-elakan dan tangkisan, dan tiba-tiba dia membentak, "Cukup!"

Tiba-tiba tubuh Hay Hay terpental seperti terbawa angin badai yang sangat kuat dan biar pun dia telah mengerahkan tenaga untuk mempertahankan diri, tidak urung dia terhuyung meski pun tidak sampai jatuh.

"Bagus, engkau kuat pula menahan bentakan kilat itu!" kakek itu memuji.

Sekarang sikapnya tidak seperti tadi, bukan sikap orang yang gendeng melainkan penuh wibawa. Akan tetapi sikap seperti itu hanya berlangsung sebentar saja karena begitu Hay Hay menjatuhkan diri dan berlutut di depannya, dia sudah tertawa-tawa lagi dengan suara ketawa menyeramkan yang tidak normal!

"Heh-heh-ha-ha-ha, engkau orang muda kejam telah mempelajari banyak ilmu hebat, tapi masih mentah! Dan orang mentah seperti engkau ini berani memamerkan kepandaian di depan Song Lojin (Kakek Song)? Ha-ha-ha!"

Hay Hay mengingat-ingat, akan tetapi belum pernah dia mendengar tentang nama Song Lojin di antara tokoh-tokoh persilatan, bahkan tiga orang gurunya belum pernah ada yang bercerita tentang seorang tokoh tua yang bernama Kakek Song. Dia merasa yakin bahwa tingkat kakek ini tidak di sebelah bawah tingkat kedua orang gurunya yang merupakan dua orang tokoh Delapan Dewa, maka dia pun cepat memberi hormat sambil berlutut dan berkata, "Locianpwe, saya yang bodoh bernama Hay Hay mohon petunjuk dari Locianpwe yang mulia."

"Siapa yang mulia? Ha-ha-ha, perangkap kehormatan dan rayuan tidak akan menjebakku karena aku tidak pernah membutuhkannya." Dia terkekeh. "Akan tetapi aku suka melihat bakatmu, engkau berbakat dan semuda ini sudah memiliki ilmu silat dan sihir yang jarang dimiliki orang lain. Ehh, namamu Hay Hay, tetapi siapa she-mu?"

"Maaf, Locianpwe, saya sangat membenci ayah saya yang amat jahat, maka saya tidak mau mempergunakan nama keturunannya. Nama saya Hay Hay titik, tanpa she."

"Wah-wah... ha-ha-ha, engkau pun tidak mau terikat, akan tetapi itu timbul karena benci. Nah, Hay Hay, bagaimana kalau engkau mematangkan ilmu-ilmu yang kau miliki?"

Tentu saja Hay Hay merasa girang bukan main dan kembali dia memberi hormat sampai dahinya menyentuh tanah. "Kalau Suhu berkenan menurunkan ilmu, teecu akan berterima kasih dan selamanya tak akan melupakan budi Suhu."

"Wah-wah-wah! Aku tidak butuh diingat, juga tidak mau menghutangkan budi. Akan tetapi engkau harus mentaati semua perintahku. Berani?"

"Teecu berani."

"Selama berada di dekatku, engkau tidak boleh makan bangkai!"

"Teecu selamanya tidak pernah makan bangkai!" kata Hay Hay memprotes.

"Huh, siapa bilang? Kalau engkau makan daging bukankah bangkai yang kau makan itu? Daging binatang yang sudah mati, apakah itu bukan bangkai?"

Hay Hay tertegun dan tidak mau membantah. "Baik, teecu akan mentaati semua perintah itu."

"Latihan-latihannya sangat berat, kalau tidak kuat engkau dapat menjadi gila atau bahkan mati. Engkau harus mentaati perintahku, menjalankan latihan apa saja tanpa membantah. Sekali engkau membangkang, maka terpaksa aku harus membunuhmu karena engkau akan menjadi makhluk yang amat berbahaya. Sanggup?"

Hay Hay merasa ngeri. Jangan-jangan kakek ini sudah menjadi gila karena latihan-latihan yang entah bagaimana. Akan tetapi dia adalah seorang laki-laki yang jantan dan gagah, tidak sudi menjilat ludah yang sudah dikeluarkan dari mulut.

"Teecu sanggup!"

"Engkau tidak boleh meninggalkan latihanmu sebelum aku menyuruhmu, tetapi kalau aku sudah menyuruh engkau pergi, engkau tidak boleh membantah, di mana saja dan kapan saja. Sanggup?"

"Sanggup, Suhu."

"Nah, sekarang engkau harus melakukan latihan yang pertama. Ingat baik-baik kalimat ini lantas hafalkan: Ada datang dari Tiada, maka segala yang Ada akan kembali ke Tiada. Nah, coba hafalkan!" 

Hay Hay menahan ketawanya. Tentu saja amat mudah baginya untuk menghafal kalimat itu, apa lagi karena dari See-thian Lama dia sudah banyak diajar tentang Agama Buddha, sedangkan dari Ciu-sian Sin-kai dia banyak mendengar tentang filsafat Agama To.

"Baik, Suhu. Ada datang dari Tiada, maka segala yang Ada akan kembali ke Tiada."

"Bagus, engkau pintar sekali," kata kakek itu memuji karena memang Hay Hay membaca kalimat itu dengan suara indah setengah dinyanyikan. Sudah banyak dia membaca sajak maka pandai berdeklamasi. "Sekarang berikan bungkusanmu kepadaku, juga tanggalkan semua pakaianmu dan mari ikut bersamaku."

Hay Hay tertegun, memandang kepada gurunya dengan bengong. Dia disuruh telanjang dan pakaiannya dibawa oleh kakek ini? Akan tetapi teringat akan janjinya, dan mengingat bahwa di tempat itu sunyi dan tidak ada orang lain kecuali mereka berdua, Hay Hay tidak membantah. Dia menanggalkan semua pakaiannya, lantas pakaian itu dimasukkan dalam buntalan pakaiannya, diserahkan kepada kakek itu yang memandang sambil menyeringai.

"Kau tidak khawatir kalu aku melarikan diri membawa semua pakaianmu?"

Hay Hay menggelengkan kepala. "Tidak mungkin, karena Suhu tidak suka berpakaian."

"Nah, mari ikuti aku!"

Kakek itu berlari cepat. Hay Hay mengikutinya dan pemuda ini harus mengerahkan Ilmu Yang-cu Coan-in (Burung Walet Membungkus Awan) untuk bisa mengimbangi kecepatan langkah kedua kaki kakek itu. Ternyata kakek ini membawanya kembali ke hutan pertama di mana dia untuk pertama kalinya bertemu kakek yang mengaku bernama Kakek Song ini. Setibanya di pinggir sebuah anak sungai, di antara pohon-pohon yang besar, kakek itu baru berhenti.

"Nah, sekarang engkau masuklah ke dalam air dan berendam hingga setinggi leher sambil duduk bersila. Apa pun yang terjadi, jangan pernah engkau tinggalkan tempat ini sampai aku datang menyuruhmu keluar."

Hay Hay langsung bergidik ngeri. Berendam di dalam air anak sungai itu? Sampai kapan? Sementara perutnya lapar bukan main dan hawa amat dingin. Akan tetapi dia tidak berani membantah, hanya bertanya.

"Bagaimana kalau perut saya lapar sekali, Suhu?" Hay Hay mulai memancing, "Bolehkah saya menangkap ikan yang berenang dekat lantas memakannya kalau perut saya sudah lapar sekali?"

Pancingannya berhasil. Kakek itu mencak-mencak dan matanya melotot, bahkan menjadi kemerahan. "Apa kau bilang? Mau menangkap ikan yang tak berdosa dan makan bangkai ikan? Akan kubenamkan kepalamu ke dalam air sampai putus napasmu kalau begitu!"

Habis, bagaimana kalau saya lapar?"

"Apakah engkau akan mampus kelaparan kalau tidak makan bangkai? Lihat di sekitarmu, begitu banyak makanan lezat dan segar, lihatlah ke atasmu. Akan tetapi awas, sebelum engkau kusuruh keluar, engkau tidak boleh meninggalkan tempat latihan itu, dan seluruh perhatianmu harus kau curahkan kepada kalimat yang kau hafalkan tadi. Mengerti?"

"Mengerti, Suhu."

"Kalau begitu, lekas kau lakukan!"

Hay Hay tidak mengerti apa manfaat latihan gila ini, akan tetapi karena sudah berjanji dan karena dia yakin akan kesaktian kakek itu, ia pun menurut saja, memasuki air yang amat dingin, lalu memilih tempat di tengah, di mana dia dapat duduk di atas batu yang bundar dan rata. Ketika dia duduk bersila, ternyata air sampai di atas dadanya dekat leher.

"Bagus, dan ingat, jangan mengira setelah aku pergi engkau dapat meninggalkan tempat bertapa itu tanpa kuketahui. Kalau engkau melanggar, berarti pelajaran gagal dan engkau boleh pergi sebelum aku datang membunuhmu!" Setelah berkata demikian, kakek itu lalu berkelebat dan lenyap bersama buntalan pakaian Hay Hay.

Pemuda itu celingukan memandang ke kanan kiri, tiba-tiba merasa seperti sudah menjadi seekor kura-kura di tengah sungai, kesepian dan ditinggalkan, merasa laksana menjadi bulan-bulanan permainan dan olok-olok. Mengapa dia menurut saja? Apa yang dilakukan dengan bertelanjang bulat di tengah sungai seperti ini? Tidak boleh meninggalkan tempat itu padahal perutnya amat lapar?

Dia lalu memandang ke atas dan mengertilah dia akan maksud gurunya yang baru itu. Ternyata tempat itu penuh dengan pohon-pohon yang mengandung buah-buah yang lezat dan segar. Bahkan di kanan kiri anak sungai itu nampak bergantungan buah apel merah yang besar-besar! Akan tetapi bagaimana dia dapat mengambil buah itu? Dia tidak boleh meninggalkan tempat duduknya itu!

Perut yang lapar membuat dia memutar otak mencari akal. Dia lalu mengambil batu-batu kecil dari dasar sungai. Disambitnya apel yang bergantung di hadapannya. Dua buah butir apel runtuh ke atas air lalu terbawa arus sungai itu menghampirinya sebab dia diharuskan duduk melawan atau menghadapi arus air.

Dengan gembira dimakannya buah itu dan ternyata rasanya manis dan segar bukan main. Setelah menghabiskan tujuh butir apel besar perutnya menjadi kenyang dan mulailah dia memperhatikan latihan yang diberikan oleh gurunya yang aneh itu.

Dia duduk dengan tenang dan karena dia sambil bersemedhi, maka mudah saja baginya untuk mengheningkan cipta sehingga yang teringat hanya kalimat itu saja yang dibacanya berulang-ulang di dalam hatinya. Kadang kala bibirnya ikut bergerak-gerak karena seluruh perhatiannya dicurahkan kepada kalimat itu.

Kesadarannya bekerja bersama pengamatannya karena dia mulai mengamati isi atau arti dari kalimat itu. Agama To mengajarkan bahwa sebelum ada sesuatu, yang ada hanyalah Kosong, dan Kosong sama dengan Tiada. Disebut Tiada atau Kosong karena keadaan itu tak bisa diselami oleh pikiran manusia yang berisi, isi yang terbentuk dari ingatan-ingatan tentang pengalaman masa lampau, yang hanya dapat dicatat oleh pikiran berupa ingatan. Akan tetapi, jauh sebelum itu, otak tak mampu mencatatnya.

Segala sesuatu yang ada, segala sesuatu yang terjadi, sudah pasti mempunyai sebab. Segala sesuatu hanya merupakan akibat belaka dari sebab-sebab tertentu. Dan selama ingatan masih mampu mencatat, selama pikiran masih mampu meraba, orang pasti bisa melihat sebab-sebabnya.

Akan tetapi sebab dan akibat itu berkait-kaitan, tiada putusnya dan ingatan tak mungkin dapat menelusuri sampai pada bagian yang tanpa batas. Dan kalau sudah begini, maka manusia tidak tahu lagi dan tidak dapat melihat sebab-sebab yang tidak dilihatnya, tidak dimengertinya.

Oleh karena itulah otak yang kehilangan akal dan kehilangan ukuran lalu melahirkan kata ‘Nasib’, menyerahkan Kehendak Tuhan, atau bahkan tak mau tahu karena tidak melihat sebabnya, hanya mementingkan akibatnya sambil mencari kesalahan kepada siapa saja secara membabi-buta!

Begitu malam tiba, hawanya dingin bukan main, rasanya sampai menusuk tulang. Maka terpaksa Hay Hay harus mengerahkan tenaga sinkang-nya untuk melawan hawa dingin ini. Semalam suntuk dia berjuang seperti melawan musuh yang tak nampak, musuh yang berupa hawa dingin dan yang lebih dari pada itu, perasaan ngeri.

Gerakan air yang menggoyang tubuhnya, suara air, penglihatan remang-remang, semua ini mendatangkan bayang-bayangan yang mengerikan dan menyeramkan, mengingatkan dia akan segala macam dongeng tentang setan dan iblis. Juga dia harus berjuang keras melawan rasa kantuk. Tidak mungkin membiarkan dirinya terseret hanyut oleh tidur dalam keadaan bersila di dalam air yang tingginya hanya di bawah dagu itu!

Semalam suntuk Hay Hay merasa tersiksa, namun dengan gagah dia melawan semua itu sampai matahari pagi menimbulkan kabut di permukaan air anak sungai itu, dan burung-burung berkicau menyambut sinar pertama matahari pagi. Akan tetapi, sampai matahari naik tinggi, kakek itu belum juga muncul! Padahal Hay Hay mengharapkan pagi ini kakek itu akan menghentikan siksaan atas dirinya.

Makin siang makin kecewa hatinya dan ketika diam-diam dia merenung kembali kalimat yang harus selalu diingatnya itu, dia mendapat kenyataan baru dalam hidup, sehubungan dengan kesibukan pikirannya. Dia mendapat kenyataan bahwa kekecewaan timbul karena adanya harapan. Mengharapkan untuk memperoleh sesuatu menjadi biang kekecewaan, yaitu kalau harapan itu tidak terpenuhi seperti yang dilakukannya sejak semalam.

Ia mengharapkan kakek itu akan mengakhiri penderitaannya pada keesokan harinya, dan kini dia merasa kecewa bukan main karena kenyataannya kakek itu tidak muncul! Andai kata dia tidak mengharapkan, agaknya tidak akan muncul rasa kecewa itu.

Ketika perasaan kecewa itu hampir membuat dia tidak kuat menahan lagi, mendorongnya untuk meloncat ke darat, ia cepat memejamkan kedua matanya dan seluruh perhatiannya dicurahkan kepada kalimat itu, bahkan bibirnya ikut bergerak seperti membaca mantera.

"Ada datang dari Tiada, maka segala yang Ada akan kembali ke dalam Tiada," demikian berkali-kali dia mengulang membaca kalimat itu. Memang segalanya pasti akan kembali ke tiada, termasuk juga dirinya.

Sesudah matahari condong ke langit barat, perut kosongnya mulai menagih lagi. Kembali dia meruntuhkan buah-buahan yang berada di hadapannya, dan buah-buahan itu terbawa hanyut oleh air menghampirinya. Dia makan buah-buahan itu sampai kenyang, lalu duduk terpekur pula.

Hatinya terasa tenang sesudah dia mengulang kalimat itu dan sesudah perutnya kenyang sehingga dia tak lagi memikirkan hal yang bukan-bukan, tak lagi ada rasa kecewa setelah semuanya hening dan kosong. Dia kini mulai tenggelam ke dalam keheningan dan terus memasuki keheningan itu dalam keadaan sadar sepenuhnya, akan tetapi tak merasakan apa-apa lagi, tidak mendengar apa-apa lagi, tidak melihat apa-apa lagi. Yang hidup hanya kesadarannya yang masuk ke dalam dirinya sendiri, tak terpengaruh oleh keadaan di luar dirinya.

Dan rasanya seperti melayang-layang ke dalam dunia yang amat luas, dengan beraneka macam warna, beraneka macam suara dan penglihatan yang tembus pandang namun tak dapat diingat lagi bagaimana bentuk yang sesungguhnya. Sudah matikah dia? Tidak, dia masih hidup, hal ini diketahuinya benar melalui kesadarannya. Namun dia merasa seperti berada di dunia lain!

Tiba-tiba terdengar suara menggelegar yang sangat keras dibarengi dengan cahaya yang menyilaukan mata, yang menyeret Hay Hay kembali ke alam kenyataan. Ia pun membuka mata, segera terbelalak heran karena ternyata sudah turun hujan dan suara menggelegar dibarengi cahaya tadi adalah suara kilat menyambar.

Kiranya hujan sudah turun agak lama apa bila melihat dari rambut kepalanya yang sudah basah kuyup. Dan cuaca telah remang-remang, agaknya sudah senja atau karena cahaya matahari terhalang oleh mendung dan hujan. Seingatnya hari amat cerah sebelum dia tadi tenggelam ke dalam alam semedhi, maka tak disangkanya sekarang turun hujan.

Ia lalu merenungkan kembali kalimat yang harus selalu diingatnya, matanya memandang permukaan air sungai yang selama ini tidak pernah berhenti bergerak, dan kini ditambah pula rintik air hujan yang menetes-netes tiada hentinya, membuat permukaan air bagaikan tertimpa ribuan batu-batu kecil.

Hidup seperti air sungai mengalir, renungnya. Setiap gerakan air, setiap tetes air bergerak karena ada sebabnya, ada pendorong di belakangnya. Juga air hujan yang berjatuhan dari angkasa itu pun ada penyebabnya. Juga guntur dan kilat itu. Hidup bagaikan air sungai mengalir, tak pernah berhenti dan tak pernah sama, selalu berubah. Biar pun nampaknya sama, namun setiap detik ada perubahan pada permukaan air sungai, tidak pernah sama keadaannya karena bukan benda mati.

Karena itu, mempelajari hidup harus membiarkan diri hanyut oleh hidup itu sendiri, detik demi detik. Tak mungkin mempelajari hidup sambil tiduran karena kehidupan akan lewat dan jauh meninggalkan si pelajar.

Malam pun tiba dan malam itu gelap sekali. Hujan sudah berhenti, dan air naik tinggi. Hay Hay mengambil sebuah batu lagi untuk mengganjal pantatnya sehingga dia dapat duduk lebih tinggi dan tidak sampai tenggelam.

Timbul kekhawatiran di dalam hatinya. Bagaimana kalau muncul ular air, atau buaya atau binatang lain? Akan tetapi dia segera melenyapkan rasa takut itu. Dia sudah pasrah dan bertekad untuk terus melakukan tapa itu sampai Kakek Song datang menyuruhnya keluar. Apa pun yang akan terjadi akan dihadapinya dengan tabah.

Hay Hay pernah mempelajari tentang perbintangan dan setelah menjelang tengah malam, angkasa penuh dengan sejuta bintang. Indah bukan main. Kalimat yang harus diingatnya itu membuatnya sadar bahwa segala bintang di angkasa itu pun terjadi dan tercipta bukan tanpa sebab.

Alangkah banyaknya rahasia di alam mayapada ini, dan alangkah besar kekuasaan Sang Pencipta. Penuh rahasia gaib yang tidak mungkin dapat dibuka oleh pikiran manusia yang sesungguhnya amatlah dangkal, rapuh, dan penuh sesak sehingga membuatnya menjadi kotor.

Ketika dia melihat jutaan bintang itu, nampak olehnya keindahan yang selama ini belum pernah dilihatnya, juga merasakan kebahagiaan yang belum pernah menyentuh batinnya. Betapa indahnya malam ini, dan betapa bahagianya manusia dapat melihat, mendengar, mencium, meraba dan merasakan semua keindahan yang seolah-olah dilimpahkan untuk manusia. Keindahan yang begitu mudah dinikmati, tinggal membuka mata memandang, tinggal membuka hidung mencium untuk menikmati keharuman, tinggal membuka telinga mendengar untuk menikmati kemerduan.

Betapa bahagianya hidup ini. Hidup adalah kebahagiaan itu sendiri karena hidup adalah anugerah, hidup adalah cinta kasih. Tapi mengapa kita tidak dapat melihatnya? Mengapa kita tak mau menikmatinya? Mengapa pikiran kita sibuk terus dan demikian ruwet, penuh sesak dan tak henti-hentinya dikuasai keinginan mengejar kesenangan-kesenangan yang sebetulnya hanya merupakan gelembung-gelembung kosong yang mudah pecah belaka?

Jutaan bintang mendatangkan cahaya remang-remang, tapi cukup terang bagi mata Hay Hay yang terlatih. Tiba-tiba dia terkejut. Ada benda hitam besar bergerak-gerak di depan, hanya kurang lebih sepuluh meter di depan sana. Dan benda hitam panjang itu bergerak menuju ke arahnya. Berenang menghampiri dirinya, meluncur dengan berat dan perlahan-lahan, lambat namun tentu menuju ke arah dirinya.

Buaya! Apa lagi kalau bukan buaya? Dan sekarang memang nampak garis bentuk tubuh buaya itu, mulai dari moncong yang panjang sampai ekor yang kokoh kuat bergigi-gigi itu. Celaka, pikirnya.

Apa bila dia berada di darat, dia tidak perlu takut menghadapi buaya, di samping mudah menghindar, juga dia dapat menyerang dan mungkin membunuh binatang air yang buas itu. Akan tetapi dia berada di tengah sungai! Dan dia tidak sehebat kalau berada di atas tanah, walau pun selama berada di Pulau Hiu, ikut gurunya yang kedua, Ciu-sian Sin-kai, dia sudah biasa dengan air laut dan pandai pula berenang. Akan tetapi berkelahi melawan buaya di air? Wah, dia tidak berani!

Dengan jantung berdebar saking tegang dan takutnya, Hay Hay memandang benda hitam yang bergerak mendekatinya itu. Teringatlah dia bahwa apa pun yang terjadi, dia harus tenang dan sama sekali tidak boleh meninggalkan tempat itu.

Kini ada dua pilihan. Mampus dimakan buaya akan tetapi mentaati perintah kakek gila itu, atau meloncat ke darat lantas menyelamatkan diri akan tetapi melanggar janjinya dan dia harus melarikan diri dalam keadaan telanjang bulat kalau tidak mau dibunuh kakek itu!

Dan dia memilih yang pertama. Apa bila buaya itu memang akan menyerangku, sampai bagaimana pun juga akan kulawan, akan tetapi aku tidak akan melanggar janji, tidak akan meninggalkan tempat ini, demikianlah tekadnya dan kembali dia membaca kalimat yang harus selalu diingatnya.

"Ada datang dari Tiada, maka segala yang Ada akan kembali ke dalam Tiada. Ada datang dari Tiada!" Dia mengulangnya terus sambil memandang kepada benda hitam itu penuh kewaspadaan. “Ada datang dari Tiada…!”

Dan... sesudah benda itu berada dekat, hanya dalam jarak satu meter sehingga dia dapat memandang lebih jelas, hampir saja dia tertawa bergelak mentertawakan dirinya sendiri. Jantungnya masih berdebar dan keringat masih membasahi keningnya, padahal hawanya amat dingin. Benda yang berbentuk buaya dan berenang menghampirinya itu kini ternyata hanya sepotong kayu hitam panjang! Potongan batang pohon yang hanyut di sungai itu!

Malam itu bukan hanya ‘buaya’ itu yang nampak oleh Hay Hay. Berturut-turut muncullah ular-ular, ikan-ikan aneh serta lintah-lintah besar yang merubung dan mengancam dirinya, akan tetapi semua itu ternyata hanyalah daun-daun dan ranting-ranting.

Tahulah dia bahwa semua itu timbul dari khayalannya sendiri yang dihantui rasa khawatir dan takut. Senja tadi dia membayangkan semua binatang itu sehingga kini bermunculan menggodanya!

Menjelang pagi tiba-tiba saja tampak bayangan orang dan tahu-tahu seorang kakek telah berdiri di atas batu yang tak jauh dari tempat dia berendam diri. Batu itu menonjol ke atas permukaan air dan kakek itu telah berada di situ, mengulurkan tangan kepadanya, seperti hendak menolongnya keluar dari sungai itu.

Hay Hay menggeleng kepalanya dengan keras dan ketika dia berkedip, bayangan kakek itu pun lenyap. Anehnya, kini dia tidak merasa dingin lagi. Agaknya tubuhnya sudah dapat menyesuaikan diri dengan hawa dingin di dalam air itu, bahkan dia merasa betapa hawa yang hangat menjalari seluruh tubuh.

Dia pun menampung hawa ini di pusarnya dan setelah berkumpul, dia membiarkan hawa panas itu berputar-putaran di seluruh tubuhnya, mendatangkan rasa yang sangat nyaman sehingga hampir saja membuat dia tertidur pulas! Untung dia masih sadar dan kesadaran ini, disertai kewaspadaan mencurahkan perhatian pada kalimat yang harus dihafalkannya, membuat kantuk itu lenyap.

Pada keesokan harinya barulah kakek Song muncul. "Bagus, engkau bisa menyelesaikan dengan baik. Sekarang meningkat pada latihan selanjutnya. Keluarlah dulu dari situ dan kenakan pakaianmu."

Bukan main leganya rasa hati Hay Hay. Selama berguru kepada tiga orang sakti, yaitu See-thian Lama, Ciu-sian Sin-kai dan Pek Mau San-jin, belum pernah dia mendapatkan latihan seaneh ini. Namun latihan pertama yang berlangsung selama dua malam itu telah mendatangkan pengalaman yang tak akan terlupakan olehnya. Mengerikan, menakutkan sekaligus juga sangat menegangkan, di mana orang harus berjuang melawan perasaan, khayal serta penderitaan yang dibuat oleh pikirannya sendiri, juga siksaan karena adanya kemungkinan ancaman bahaya-bahaya.

"Terima kasih, Suhu!" katanya.

Dan ketika dia menggerakkan tubuhnya meloncat, diam-diam dia merasa heran mengapa tubuhnya tidak merasa kaku setelah selama dua malam bersila di atas batu dalam air itu, bahkan terasa segar dan ringan sekali walau pun perutnya kembali terasa lapar. Dengan cepat Hay Hay segera mengenakan pakaian dari buntalan yang telah dibawa ke situ oleh Kakek Song.

"Nah, sekarang engkau boleh makan sampai kenyang, akan tetapi ingat, jangan makan bangkai! Mulai sore nanti engkau harus melakukan latihan kedua yang lebih berat. Datang saja ke goa di mana aku tinggal, di tengah hutan ini, tidak jauh dari rawa yang kemarin dulu itu. Nah, sampai sore nanti!" Kembali kakek itu berkelebat dan lenyap.

Hay Hay tidak mau mengejar walau pun dia ingin sekali bertanya-tanya. Dia maklum akan keanehan watak kakek itu dan mengejar pun percuma saja. Maka dia pun lantas memilih buah-buah yang paling enak, makan sampai kenyang, lalu beristirahat dan tertidur di atas pohon besar. Dia tidak berani tidur di bawah, karena tahu bahwa dalam keadaan kurang tidur, dia akan nyenyak sekali dan ada bahaya diserang binatang buas. Sebelum tidur dia menanam dalam ingatannya bahwa sebelum matahari terbenam, dia harus sudah bangun

Hay Hay tidur pulas sekali. Sekarang terbayarlah sudah semua hutang kepada matanya. Dan menjelang senja, dia pun terbangun. Cepat digendongnya buntalan pakaiannya yang tadi dipakai sebagai bantal, dan dia meloncat turun lalu mencari goa itu, di dinding bukit tak jauh dari rawa di mana kemarin dulu dia bertemu suhu-nya.

Kakek itu nampak duduk bersila di mulut goa. Goa itu sendiri bermulut kecil, hanya satu meter, akan tetapi di dalamnya cukup luas.

"Engkau sudah siap? Tinggalkan buntalan pakaianmu di dalam goa dan seperti kemarin dulu, tanggalkan semua pakaianmu dan ikuti aku!"

Hay Hay mengerutkan alis. Celaka, kiranya kakek gila ini memang suka mempermainkan orang. Kalau kemarin dulu dia disuruh bertapa di dalam air, maka bertelanjang pun tidak mengherankan. Akan tetapi sekarang? Apakah dia disuruh berendam di dalam air lagi?

Dia tidak berani membantah dan sambil menarik napas panjang, dia lalu menanggalkan semua pakaiannya dan dalam keadaan telanjang bulat dia mengikuti kakek itu yang juga hampir telanjang karena pakaiannya hanyalah sebuah cawat kecil! Karena ini Hay Hay tak merasa canggung. Kakek ini membawanya ke sebuah lereng bukit yang gundul penuh dengan pasir dan batu-batu. Bagian itu tandus sekali, tidak ditumbuhi pohon sama sekali.

"Nah, sekarang engkau harus menghafalkan kalimat yang lain lagi. Dengarkan baik-baik: Yang merasa dirinya pintar adalah tolol, dan yang merasa dirinya bodoh adalah waspada. Tirukan!"

Kembali Hay Hay merasakan keanehan pada kalimat ini. Mudah dimengerti dan sangat sederhana, apa lagi kalimat yang sependek itu, tentu saja sekali dengar dia sudah hafal, kenapa harus diuji dulu? Akan tetapi dia tidak membantah dan mengulang dengan suara lantang, "Yang merasa dirinya pintar adalah tolol, dan yang merasa dirinya bodoh adalah waspada!"

"Bagus, sekarang kau galilah lubang di dalam pasir kemudian duduk bersila dalam lubang itu dan kubur tubuhmu dengan pasir sampai sebatas leher. Ingat, yang nampak hanyalah kepalanya saja, dan sekali ini engkau tidak boleh makan minum, bertapa dan berpuasa sampai aku datang menyuruhmu keluar!" Tanpa memberi kesempatan pemuda itu bicara, kakek itu sudah berkelebat dan lenyap pula.

Hay Hay berdiri tertegun, memandang ke sekeliling yang gundul dan sunyi, lalu menarik napas panjang. Mengapa dia harus mentaati saja semua perintah gila dan aneh ini? Apa manfaatnya mengubur diri dalam pasir? Apakah dia sudah menjadi gila?

Walau pun pikirannya sangat kacau, tetap saja dia menggali lubang menggunakan jari-jari tangannya, kemudian masuk ke dalam lubang, bersila lantas menguruk tubuhnya dengan pasir sampai tubuhnya yang bersila itu terpendam pasir sebatas leher.

Mula-mula terasa hangat dan nyaman sehingga dia bisa memusatkan pikiran mengulang kalimat itu sambil mengheningkan cipta dengan tenang dan anteng. Akan tetapi, tak lama kemudian dia mulai merasa gatal-gatal ketika pasir bergerak, bahkan menjadi geli seperti digelitik. Dia mengerahkan sinkang mengusir perasaan tidak enak itu dan berhasil. Makin lama, setelah mengulang kalimat itu ratusan kali, timbul pendalaman mengenai kalimat itu dan dia pun mulai menyelidiki dengan mengamati diri sendiri.

"Yang merasa dirinya pintar adalah tolol…!"

Tentu saja! Perasaan demikian itu sesungguhnya hanya merupakan suatu kecongkakan saja, merajalelanya si aku yang ingin mengangkat diri sampai setinggi-tingginya, sebesar-besarnya, yang paling besar, yang tak bisa lenyap, yang abadi dan banyak macam ‘yang ter’ lagi. Perasaan ini hanya timbul dari pikiran yang bukan lain adalah si aku sendiri.

Orang yang merasa dirinya pintar adalah orang-orang bodoh yang mudah bersikap tinggi hati, sombong, congkak, merasa benar sendiri, menang sendiri, meremehkan orang lain. Tentu saja orang macam itu adalah tolol sekali.

Kemudian kalimat lanjutannya yang merupakan kebalikannya,

"yang merasa dirinya bodoh adalah waspada…!"

Bukan pintar, melainkan waspada. Memang sesungguhnya, apa bila orang mengamati diri sendiri lantas merasa betapa dirinya, seperti semua manusia lain, sebenarnya hanyalah makhluk-makhluk yang banyak sekali kekurangan serta kelemahannya, maka dia adalah orang yang waspada. Kewaspadaan itu sendiri yang akan mengadakan perubahan pada dirinya, menghilangkan segala macam kebodohan dalam bentuk keangkuhan, ketinggian hati dan sebagainya dan kewaspadaan ini yang akan melenyapkan kebodohannya. Bukan berarti lalu menjadi pintar, karena kalau dia merasa pintar, berarti dia terjeblos ke dalam kebodohan yang akan membuatnya tolol!

‘Merasa’ di dalam hal ini berbeda dengan ‘mengaku’. Hanya mengaku diri bodoh saja tak ada artinya. Pengakuan itu malah menjadi selubung untuk menyembunyikan pamrih yang sebenarnya, yaitu agar dianggap orang yang ‘waspada’, agar dianggap orang yang tahu akan kebodohannya dan karena itu waspada dan berisi. Bukan pengakuan yang ditujukan kepada orang lain, melainkan perasaan yang merupakan pengakuan terhadap diri sendiri, bukan sekedar mengaku, melainkan yakin karena melihat sendiri kebodohannya.

Itu adalah batiniahnya, sedangkan secara lahiriah, orang yang merasa pintar tentu akan mengabaikan segala macam pendapat dan pengertian orang lain, sehingga orang seperti ini tidak akan mampu menambah pengertiannya sehingga seperti katak dalam tempurung dan tenggelam ke dalam kebodohannya.

Sebaliknya, orang yang merasa dirinya bodoh, tentu akan selalu haus dengan pelajaran, selalu ingin tahu dan ingin menambah pengetahuannya, mendengar pendapat dan buah pikiran orang lain sehingga muncul kewaspadaannya dan tentu dia tidak bodoh bila mana sudah mau belajar setiap saat!

Hay Hay tenggelam di dalam hening ketika menyelami isi kalimat itu dan tahu-tahu malam telah larut. Tiba-tiba saja dia mendengar sesuatu, gerakan yang ringan dan halus. Karena telinganya berada dekat dengan permukaan pasir, maka dia menjadi lebih peka lagi.

Dicobanya untuk menembus kegelapan dengan pandang matanya, namun tidak berhasil. Gelap pekat malam itu. Bintang-bintang tertutup mendung. Kemudian, suara itu semakin jelas dan tiba-tiba dia melihat ada tiga ekor tikus besar berada di dekat kepalanya!

Celaka! Kedua tangannya berada di bawah pasir. Hanya kepalanya saja yang tersembul keluar dan bagaimana jika nanti tikus-tikus ini menggigitnya? Kalau hidungnya atau daun telinganya digigit, tentu dia tidak akan mampu melindungi anggota badan itu!

Tikus-tikus itu mendekat dan mulai mencium-cium mukanya. Terasa geli sekali dan bau apek menyerang hidungnya. Kumis-kumis panjang tiga ekor tikus itu menyapu-nyapu, geli dan jijik rasanya

“Phuhhhhh...!" Hay Hay menggunakan sinkang-nya dan meniup ke arah tiga ekor tikus itu. Tiupannya kuat sekali, pasir-pasir berhamburan menyerang tiga ekor tikus itu yang segera lari mencicit ketakutan.

"Amaaaann...!" Hay Hay bernapas lega.

Tidak ada lagi tikus yang datang, akan tetapi mendadak dia merasa ada benda bergerak yang menyentuh-nyentuh tubuhnya yang telanjang. Celaka! Tikus-tikus itu, atau binatang-binatang kecil lain, mungkin cacing atau serangga bawah tanah yang sekarang juga mulai ikut mengganggunya dari bawah! Dan dia tak mampu bergerak untuk mengusir binatang-binatang itu. Bagaimana kalau anggota tubuhnya yang terpendam digerogoti?

Ihhh…, dia merasa ngeri bukan main dan bila menurutkan perasaan takut dan ngeri, mau rasanya sekali meloncat keluar dari pendaman pasir itu. Akan tetapi tidak, dia harus dapat mempertahankan diri.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar