Pendekar Mata Keranjang Jilid 34

Kui Hong terkejut sekali, lalu teringat bahwa memang pemuda itu adalah murid neneknya dan menurut ibunya, neneknya mempunyai ilmu mukjijat yang disebut Bian-kun (Tangan Kapas). Agaknya itulah Bian-kun! Dia merasa kalah karena pemuda itu menguasai ilmu yang tak dikuasainya karena memang belum pernah dipelajarinya. Bahkan ibunya sendiri pun belum mempelajari ilmu itu yang menurut ibunya amat sulit dipelajari.

Memang sesungguhnya bahwa Ceng Sui Cin tidak mewarisi seluruh ilmu silat milik ayah ibunya. Bahkan ilmu-ilmu dari ayahnya, walau pun sudah hampir semua dipelajari, namun tidak dikuasainya secara sempurna benar. Hal ini dapat terjadi karena ketika muda Ceng Sui Cin menjadi murid mendiang Wu Yi Lojin, seorang di antara Delapan Dewa.

Berbeda dengan Ki Liong yang begitu terjun ke dalam dunia persilatan, dia digembleng oleh kakek dan nenek itu sehingga dia dapat mencurahkan seluruh perhatiannya untuk mematangkan ilmu-ilmu itu. Dia yang memiliki bakat amat baiknya itu secara diam-diam telah melatih diri dengan tekun, menggembleng diri siang malam untuk suatu tujuan yang dicita-citakan semenjak dia dibawa ke Pulau Teratai Merah!

Tadi pun ketika berlatih Pat-hong Hong-i dia lebih banyak berpura-pura kepada Kui Hong sehingga dipandang rendah oleh gadis ini. Padahal, dalam latihan-latihan ilmu silat, walau pun yang dikuasainya tidak sebanyak yang dikuasai Kui Hong, namun jelas lebih matang! Hebatnya, pemuda ini dapat selalu merahasiakan kepandaiannya, dan dia pandai memilih jurus-jurus yang terampuh untuk dilatih sebaik mungkin sampai matang betul mendekati sempurna!

Kui Hong menjadi sangat penasaran. Dia tidak mampu mengalahkan pemuda itu dengan Thai-kek Sin-kun yang dibantu oleh tenaga Thian-te Sin-ciang, maka dia cepat mengubah gerakan silatnya, sekarang memainkan San-in Kun-hoat yang amat lihai. Namun ternyata pemuda itu telah menguasai pula ilmu silat ini dengan baik dan dapat mengimbanginya.

Kui Hong lalu menggantinya lagi dengan Pek-in-ciang. Pukulan tangannya mengeluarkan semacam uap putih, akan tetapi pada waktu pemuda itu menangkisnya dengan ilmu yang sama, Kui Hong segera terkejut melihat betapa uap putih yang keluar dari telapak tangan pemuda itu lebih tebal yang menjadi bukti bahwa sinkang-nya masih kalah pula dalam hal mengerahkan tenaga pukulan ini!

Pada saat itu muncullah Ceng Thian Sin, Toan Kim Hong, dan Ceng Sui Cin dari dalam rumah. "Eh, apa yang kau lakukan itu, Kui Hong? Berhenti!" teriak Sui Cin melihat betapa puterinya menyerang Ki Liong kalang kabut, dan pemuda itu dengan tenangnya mengelak dan menangkis dengan baiknya.

Melihat munculnya mereka bertiga, Ki Liong langsung meloncat ke belakang dan menjura dengan hormat. "Nona Hong, ilmu kepandaianmu betul-betul hebat, membuat aku kagum sekali."

"Ibu, aku hanya mengajak susiok untuk latihan bersama!" kata Kui Hong kepada ibunya.

Namun Ceng Sui Cin mengerti akan watak puterinya yang senang ber-pibu, dan tadi dia melihat betapa anaknya itu menyerang dengan sungguh-sungguh. Diam-diam dia sendiri merasa penasaran melihat betapa puterinya agaknya masih belum sanggup menandingi pemuda itu, padahal menurut keterangan ayah ibunya tadi, pemuda itu baru enam tahun belajar di situ. Kalau demikian, memang pemuda itu memiliki bakat yang baik sekali.

Sesudah memberi hormat, Ki Liong kemudian mengundurkan diri dengan alasan hendak membantu pekerjaan di ladang. Setelah pemuda itu pergi, nenek Toan Kim Hong berkata kepada puterinya.

"Dia seorang anak yang baik dan rajin sekali. Selama enam tahun berada di sini dia tidak pernah mengecewakan kami, baik mengenai ketekunannya dalam berlatih silat mau pun kerajinannya dalam membantu pekerjaan di ladang atau mencari ikan."

"Benar, memang dia adalah seorang murid yang baik dan tidak pernah mengecewakan," kata pula Pendekar Sadis. "Bagaimana, Kui Hong, ketika engkau latihan bersama dia?"

Kui Hong mengerutkan alisnya. "Ada yang aneh, Kongkong (Kakek)."

"Aneh? Apanya yang aneh?" kakek itu bertanya.

"Pada saat berlatih Pat-hong Hong-i, dia amat kaku sehingga aku harus memberi contoh gerakan itu yang benar sebab nampaknya dia belum begitu mahir. Akan tetapi ketika kami latihan bersama, tahu-tahu dia mampu mengimbangi semua seranganku dan ternyata dia pandai sekali, juga tenaga sinkang-nya pun amat kuat, bahkan dia mampu menggunakan Bian-ciang."

"Tentu saja dia sangat hebat karena dia langsung digembleng oleh kakek dan nenekmu," kata Sui Cin, tidak terbebas sama sekali dari perasaan iri.

Ayahnya tertawa. "Ha-ha, kemajuan seseorang dalam ilmu silat tergantung sepenuhnya kepada orang itu sendiri. Kalau dia berbakat dan rajin berlatih, tentu dia akan memperoleh kemajuan pesat."

Sementara itu, Ki Liong yang pergi ke ladang ternyata tidak mencangkul atau bekerja lain, melainkan duduk melamun di bawah pohon. Kadang-kadang dia tersenyum dan matanya mengeluarkan sinar mencorong aneh. Dia membayangkan semua yang sudah dialaminya tadi, di lian-bu-thia.

Masih terbayang wajah yang cantik manis itu, dengan sepasang mata yang jeli dan bibir yang manis, masih tercium olehnya keharuman yang khas, bau kewanitaan yang keluar dari tubuh Kui Hong ketika mereka berlatih silat, masih terdengar suara merdunya ketika gadis itu berkata-kata, dan masih terasa pada tangan dan lengannya kehangatan lengan tangan gadis itu ketika lengan dan tangan mereka bersentuhan.

Ahhh, semua itu membangkitkan birahinya dan kalau saja gadis itu bukan puteri suci-nya, kalau saja gadis itu tidak berada di pulau ini, di mana tentu saja dia harus berhati-hati dan tidak boleh sembarangan menuruti hasrat hatinya, tentu akan diusahakan sekuat tenaga untuk mendapatkan gadis itu. Kini dia tahu bahwa dia telah jatuh cinta kepada Kui Hong, perasaan yang belum pernah selama ini dirasakan.

Dia hanya mendengar saja dari percakapan para penghuni pulau tentang cinta antara pria dan wanita, namun belum pernah dia merasakannya sendiri. Belum pernah dia jatuh hati, dan jika ada kalanya dia tertarik oleh kecantikan seorang gadis pulau itu, maka perasaan ini cepat ditahan dan ditekannya, karena dia harus memperlihatkan sikap yang paling baik di situ.

Akan tetapi sekarang, setelah bertemu dengan Kui Hong, dia sama sekali tak mampu lagi menahan perasaan hatinya itu, dan dia maklum bahwa bahaya telah mengancam dirinya. Dia hampir tidak kuat bertahan, dan kalau sampai dia menjadi mata gelap, mendekati Kui Hong kemudian gadis itu menolak, lalu ketahuan oleh suhu dan subo-nya, tentu dia akan mengalami celaka.

Sejak lama dia sudah melakukan persiapan untuk melarikan diri dari pulau itu! Selama ini suhu dan subo-nya tidak mengenal siapa dia, siapa dirinya yang sebenarnya. Siasat yang dijalankannya enam tahun yang lalu sudah berhasil baik. dia telah berhasil menjadi murid Pendekar Sadis dan isterinya yang sakti, bahkan sudah menggembleng diri selama enam tahun sehingga dia telah mewarisi ilmu kepandaian suami isteri yang sakti itu!

Ada beberapa macam ilmu yang sudah dihafalnya benar dan hanya tinggal mematangkan dalam latihan saja. Bahkan dia telah tahu akan rahasia Ilmu Thi-ki-i-beng, yaitu semacam ilmu rahasia dari Cin-ling-pai yang sangat dahsyat karena ilmu ini merupakan penyedotan sinkang (tenaga sakti) dari tubuh lawan! Dia hanya tahu akan teorinya saja, akan tetapi belum sempat melatihnya karena untuk dapat menguasai ilmu ini dibutuhkan latihan yang cukup lama dan berat.

Secara diam-diam dia telah mengumpulkan benda-benda berharga yang terdapat di dalam gudang pusaka suhu dan subo-nya. Benda-benda itu telah dikumpulkan dan dipisahkan di dalam gudang itu, setiap saat bisa diambilnya!

Sungguh pandai sekali pemuda ini, dan sama sekali tidak disangka oleh Pendekar Sadis dan isterinya. Padahal sepasang suami isteri ini adalah orang-orang yang amat lihai dan cerdik. Kelemahan mereka, yaitu haus akan anak atau murid laki-laki itulah agaknya yang membuat mereka terkecoh dan menerima Ki Liong sebagai seorang murid yang amat baik dan yang mereka sayang seperti anak sendiri,

Siapakah Ki Liong ini sesungguhnya? Kepada Pendekar Sadis dan isterinya dia mengaku she Ciang, namun sebenarnya tidaklah demikian. Namanya memang Ki Liong, akan tetapi sesungguhnya dia she Sim. Ibunya yang she Ciang dan ibunya bernama Ciang Si.

Ketika masih gadis ibunya tergila-gila kepada seorang pemuda yang tampan dan gagah pesolek. Karena rayuan maut pemuda itu, akhirnya Ciang Si pun menyerahkan diri kepada pemuda itu. Pemuda itu bukanlah orang sembarangan karena dia adalah Sim Thian Bu, murid dari Si Iblis Buta, masih terhitung saudara seperguruan Siangkoan Ci Kang, putera Si Iblis Buta.

Sim Thian Bu merupakan murid yang pandai dan lihai sekali, di samping kecerdikannya yang membuat dia sempat mengangkat namanya menjadi terkenal di kalangan kang-ouw. Seperti dapat diikuti di dalam cerita Asmara Berdarah, pemuda ini bahkan sudah diterima menjadi orang kepercayaan Raja dan Ratu Iblis, bekerja sama dan juga menjadi kekasih dari Siang-tok Sian-li Gui Siang Hwa.

Dulu pernah terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis, yang bekerja sama dan juga menjadi tokoh di antara para pembantu mereka. Dalam bentrokan yang terjadi antara para pemberontak yang terdiri dari golongan sesat melawan para pendekar yang membantu pasukan pemerintah, akhirnya Sim Thian Bu dirobohkan oleh Siangkoan Ci Kang, suheng-nya sendiri, kemudian tewas di bawah hujan senjata para prajurit. Dia tewas seperti juga Siang-tok Sian-li yang tewas setelah roboh oleh Ceng Sui Cin.

Hubungan kasih antara Sim Thian Bu dan Ciang Si tak berlangsung lama. Setelah Ciang Si mengandung tua, Sim Thian Bu meninggalkannya begitu saja. Ciang Si tetap mencinta Sim Thian Bu, biar pun pria itu sudah meninggalkannya, bahkan mencarinya ke sana-sini sambil membawa anak laki-laki yang dilahirkannya. Anak itu dia beri nama Sim Ki Liong, dan sambil merana dalam pencariannya terhadap pria yang dicintanya, Ciang Si mendidik anaknya itu.

Akhirnya dari anggota pemberontak yang dijumpainya dia mendengar akan kematian Sim Thian Bu. Dia mendengar bagaimana Sim Thian Bu tewas dalam pertempuran melawan para pendekar, bahkan bagaimana dia roboh oleh Siangkoan Ci Kang kemudian tubuhnya hancur lebur oleh hujan senjata para prajurit.

Tentu saja berita itu membuat Ciang Si berduka sekali, namun di samping kedukaannya wanita ini pun menaruh dendam yang amat mendalam terhadap para pendekar, terutama Siangkoan Ci Kang yang menjadi penyebab kematian pria yang dicintanya. Cita-citanya hanya satu, yaitu membalas dendam dan hal ini diharapkannya kelak akan bisa dilakukan oleh Ki Liong kalau anak itu sudah dewasa.

Maka mulailah dia memanggil guru-guru silat untuk melatih anaknya. Akan tetapi, setelah mengenal ilmu silat, Ki Liong merasa tak puas dengan latihan-latihan yang diberikan oleh guru-guru silat bayaran itu, apa lagi ketika dari para guru silat itu dia mendengar tentang pendekar-pendekar dan tokoh-tokoh dunia persilatan yang sakti.

Di antara nama-nama itu, yang amat menarik hatinya adalah nama Pendekar Sadis, yaitu majikan Pulau Teratai Merah yang disohorkan oleh para guru silat itu sebagai pendekar silat yang paling lihai di dunia! Maka mulailah Ki Liong bercita-cita untuk menjadi murid Pendekar Sadis!

Ki Liong sudah mendengar dari ibunya tentang kematian ayah kandungnya, tentang para pendekar yang memusuhi ayahnya, dan dia tahu pula betapa ibunya mendendam atas kematian ayahnya. Oleh karena itu, ketika dia berusia empat belas tahun, dia berunding dengan ibunya untuk dapat berguru kepada Pendekar Sadis di Pulau Teratai Merah.

"Aku sudah mendengar akan nama itu, Anakku, akan tetapi bagaimana mungkin engkau akan dapat diterima menjadi muridnya? Apa lagi kalau keluarga itu tahu bahwa ayahmu adalah Sim Thian Bu, seorang tokoh yang pernah memberontak dan menjadi musuh para pendekar..."

"Aku tidak akan mengaku sebagai putera Sim Thian Bu, Ibu. Kalau ada yang menanyakan ayahku, maka aku akan mencari nama lain dan aku akan menggunakan nama keturunan Ibu, yaitu she Ciang."

"Hal itu memang bisa diatur, akan tetapi Pendekar Sadis adalah seorang pendekar besar, bagaimana dapat mudah saja mengambil engkau yang tidak dikenalnya sebagai murid?"

"Percayalah, Ibu, aku akan berusaha sekuat tenaga agar dapat menjadi muridnya. Kelak, kalau sudah berhasil, barulah aku akan pulang dan aku akan dapat membalaskan sakit hati Ibu kepada Siangkoan Ci Kang."

Ibunya merangkulnya, dan dengan air mata bertitik ibu ini akhirnya melepaskan anaknya untuk pergi berguru kepada Pendekar Sadis di Pulau Teratai Merah. Demikianlah, dengan mempertaruhkan nyawanya dalam serangan badai yang amat dahsyat, akhirnya Ki Liong yang cerdik itu berhasil mengambil hati Pendekar Sadis dan isterinya, kemudian berhasil diambil murid terkasih dan mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi.

Sebelum membiarkan dirinya terserang badai sehingga nyaris tewas, tentu saja dia sudah menyelidiki dari kaum nelayan tentang keanehan Pendekar Sadis dan tahu bahwa kalau dia terang-terangan datang minta dijadikan murid, pasti tidak akan berhasil.

Pertemuan Ki Liong dengan Kui Hong telah menggerakkan nafsu birahinya, bahkan telah menggugah semua nafsu yang selama ini terus ditekan dan dipendamnya baik-baik untuk mengelabui suhu dan subo-nya. Sekarang dia merasa tak dapat bertahan lebih lama lagi hidup sebagai orang kurungan di pulau itu.

Selama enam tahun ini segala keinginan yang timbul dari lubuk hatinya selalu ditekan dan dirahasiakannya. Dengan usaha sekuat tenaga melawan gairahnya sendiri, dia kemudian dapat memaksa dirinya bersikap lemah lembut, peramah, sopan santun dan tidak pernah melakukan pelanggaran, di samping selalu tekun dan rajin berlatih dan bekerja. Sungguh merupakan suatu keuletan yang luar biasa sekali dan tidaklah aneh kalau seseorang yang memiliki ketabahan serta keuletan seperti itu akhirnya dapat berhasil memiliki kepandaian yang tinggi.

Akan tetapi bendungan itu kini jebol! Begitu bertemu dengan Kui Hong, bercakap-cakap, bahkan beradu tangan dan lengan dengan gadis itu, pertahanannya untuk mengekang diri dari semua nafsu yang bergejolak di dalam batinnya langsung retak-retak.

Malam itu Ki Liong gelisah tak dapat tidur. Akhirnya, setelah memutar otak dan membuat perhitungan-perhitungan dan pertimbangan, dia lalu bangkit dari tempat tidurnya. Dia lalu duduk bersila dan menegakkan tubuh, memejamkan mata, akan tetapi sekali ini dia bukan berlatih semedhi seperti biasa.

Gurunya Ceng Thian Sin pernah mengajarkan kepadanya cara bersemedhi jungkir balik untuk melatih sinkang dalam Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang dan Hok-te Sin-kun. Dengan bersemedhi cara jungkir balik ini gurunya mengenal tenaga-tenaga dalam yang mukjijat, juga gurunya memberi tahu bahwa tenaga-tenaga yang tak nampak itu menjadi dasar dari segala macam ilmu di dunia ini. Bahkan ilmu sihir dan sebagainya juga berpangkal pada tenaga tersembunyi ini.

Sebagai seorang pemuda yang cerdik sekali, Ki Liong juga pernah melakukan percobaan-percobaan dengan tenaga yang terasa bergerak-gerak di dalam pusarnya itu. Pernah dia mencoba memusatkan perhatiannya, mempergunakan tenaga sakti itu untuk memperkuat perasaan hatinya, lantas dengan dorongan tenaga ini dia menghendaki agar orang-orang tertentu dari pulau itu, yang berada cukup jauh di depannya, menengok padanya, berjalan berjongkok dan melakukan hal-hal yang dikehendakinya pada saat itu.

Beberapa kali perintahnya tanpa kata-kata ini, hanya dengan kekuatan dalam mendorong kemauan dalam hatinya, ternyata berhasil! Beberapa orang itu melakukan apa saja yang diperintahnya secara diam-diam, dan dia pun merasa girang. Akan tetapi dia tidak berbuat lebih jauh lagi, karena maksudnya bukan untuk berpamer atau menghendaki sesuatu. Dia hanya ingin menguji kekuatan batinnya sendiri.

Kini, baru pertama kali dalam hidupnya dia melakukan semedhi mengumpulkan kekuatan itu dengan suatu pamrih. Dicurahkan seluruh perhatiannya pada keinginan hatinya, yaitu agar Kui Hong keluar dari dalam kamarnya dan memasuki taman bunga! Dia tahu bahwa kalau gadis itu melakukan hal ini maka tak ada lain jalan kecuali melalui depan kamarnya yang terletak di dekat taman bunga.

Sementara itu, Kui Hong yang berada di dalam kamarnya sendiri merasa gelisah dan tak dapat tidur. Dia mendapat sebuah kamar yang berdampingan dengan kamar ibunya, ada pun kamar kakek dan neneknya, kamar terbesar, berada di seberang kamarnya.

Dia tidak dapat tidur dan teringat kepada Ki Liong, pemuda yang menjadi susiok-nya itu! Seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa, juga memiliki ilmu silat tinggi. Akan tetapi ada sesuatu yang aneh pada diri pemuda itu, entah apa dia tidak tahu. Ada sesuatu yang membuat dia mengerutkan alisnya dan semacam perasaan tak enak menyelinap di dalam hatinya.

Dia sendiri merasa heran mengapa timbul perasaan tidak enak dan tidak suka ini, padahal susiok-nya itu selalu bersikap ramah, rendah hati, sopan dan menyenangkan. Apakah dia merasa iri karena pemuda itu dapat menandinginya dalam ilmu silat? Ahh, kenapa harus iri? Bukankah bagaimana pun juga pemuda itu adalah paman gurunya? Seharusnya dia berbangga hati melihat paman gurunya demikian lihai!

Wajah pemuda itu terbayang dan Kui Hong menjadi semakin gelisah. Timbul keinginan di dalam hatinya untuk keluar dari dalam kamar yang dirasakan pengap itu, untuk mencari hawa segar dan sejuk di taman bunga. Ya, taman bunga milik kakeknya itu sangat indah, dan di situ terdapat segala macam bunga. Tadi pun, ketika memasuki kamarnya, tercium keharuman bunya mawar yang datang dari taman.

Kui Hong membuka pintu kamarnya, perlahan-lahan agar tidak mengganggu ibunya dan kakek neneknya yang telah masuk ke kamar masing-masing. Dia lalu melangkah menuju ke taman, melewati beberapa kamar. Tidak nampak seorang pun pelayan yang berada di luar. Agaknya hawa malam yang dingin itu membuat semua orang lebih senang berada di dalam kamarnya yang hangat.

Memang hawa di dalam taman itu sejuk dan segar sekali. Bulan sepotong sudah keluar dan biar pun sinarnya masih redup, tetapi cukup menerangi taman, mendatangkan cuaca yang remang-remang romantis, merah kehijauan menambah kesejukan taman itu.

Kui Hong kemudian duduk di atas bangku, setelah berjalan-jalan mengelilingi taman itu, di antara bunga-bunga mawar yang sedang mekar dan bunga-bunga lain. Musim semi baru saja mulai dan kembang-kembang itu sudah mekar demikian indahnya. Memang berbeda hawa di selatan ini dengan hawa di Cin-ling-san. Di sana kembang-kembang mekar agak terlambat, menunggu hingga musim semi benar-benar sudah masuk dan sisa musim salju telah pergi jauh. Di selatan ini matahari bersinar lebih cerah dan tumbuh-tumbuhan terlihat lebih segar.

"Nona, engkau berada di sini juga?" tiba-tiba terdengar suara orang.

Kui Hong yang sedang melamun itu terkejut dan menengok. Susiok-nya sudah berada di situ. Ihh, pemuda ini munculnya seperti setan saja, tanpa mengeluarkan bunyi, tahu-tahu telah berada di situ.

"Susiok, mau apa malam-malam begini engkau meninggalkan kamarmu?" tanya Kui Hong sambil memandang tajam melalui keremangan cuaca malam.

Pemuda itu tersenyum dan sejenak nampak gigi putih berkilat. "Ahh, agaknya tak banyak bedanya dengan alasanmu meninggalkan kamarmu dan berada di sini, Nona Hong. Aku merasa pengap dan panas di dalam kamar, dan ingin mencari udara segar di sini. Hal ini sudah biasa kulakukan di waktu malam sunyi. Tak kuduga malam ini aku akan berjumpa denganmu di sini, hal yang amat menggembirakan."

Kui Hong adalah seorang gadis yang biasa bergaul bebas, tanpa dilarang ibunya. Ketika masih tinggal di Cin-ling-san, baginya biasa saja bercakap-cakap dengan siapa pun, baik dengan wanita mau pun dengan pria. Maka, kini berduaan saja dengan seorang pemuda malam-malam di taman itu, tidak membuatnya merasa canggung.

"Duduklah, Susiok. Aku menikmati keindahan taman ini, demikian segar dan sejuk, dan bunga-bunganya demikian harum."

Bukan main girang rasa hati Ki Liong. Ternyata usahanya ‘memanggil’ Kui Hong melalui semedhinya tadi sudah berhasil. Tadi dia mendengar langkah kaki halus gadis itu ketika menuju ke taman bunga, maka dia pun langsung turun dari pembaringan untuk mengintai melalui jendela. Jantungnya berdebar penuh rasa girang dan juga tegang pada waktu dia melihat Kui Hong melangkah menuju ke taman, tepat seperti yang diinginkannya!

Dan kini, setelah berhadapan dengan gadis itu, dia merasa lebih girang lagi karena gadis itu tidak pergi, bahkan mempersilakan dia duduk di atas bangku itu, duduk berdampingan! Hal ini hanya menunjukkan bahwa gadis itu agaknya juga suka padanya. Dia tahu bahwa setiap orang gadis, dalam keadaan seperti itu, malam-malam berdua saja di dalam taman bersama seorang laki-laki, tentu akan segera pergi karena merasa malu dan tidak patut. Akan tetapi gadis ini menyambutnya dengan baik bahkan mempersilakan dia duduk.

"Memang taman ini sangat indah. Banyak bunga di sini yang kutanam sendiri, akan tetapi malam ini nampak jauh lebih indah dari pada biasanya karena engkau berada disini, Nona Hong."

Walau pun ucapan itu dilakukan dengan suara halus dan penuh kesopanan, namun isinya membuat Kui Hong segera mengangkat muka dan memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik.

"Susiok, kenapa sikap dan kata-katamu seperti itu? Sungguh aneh kedengarannya. Tadi engkau mengatakan bahwa pertemuan yang tak kau sangka ini sangat menggembirakan, dan kini kau katakan bahwa kehadiranku membuat taman ini nampak jauh lebih indah dari pada biasanya!"

Dia memancing-mancing, bisik otak Ki Liong. Dia sudah tahu dan dia senang bukan main dengan pujianku, akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan memancing-mancing! Tak perlu lagi kusembunyikan, dia pasti akan menerima pernyataan cintaku! Sesudah berbincang-bincang sendiri dengan otaknya secara cepat, Ki Liong lalu berkata dengan suara halus,

"Aih, Hong-siocia, apakah engkau masih belum tahu betapa aku telah tergila-gila padamu, bahwa aku telah jatuh cinta mati-matian kepadamu? Sejak pertemuan kita tadi, aku sudah jatuh cinta dan aku rindu sekali padamu. Engkau terlampau cantik dan menarik, engkau melebihi segala keindahan bunga di sini..." Tiba-tiba dia menggeser duduknya, mendekat sampai mepet dengan gadis itu.

"Susiok...!" Tiba-tiba Kui Hong bangkit berdiri, setengah meloncat seolah-olah dipatuk ular setelah tadi untuk beberapa detik lamanya dia bagai terpukau di tempat duduknya, terlalu heran mendengar ucapan susiok-nya itu. Kini mukanya menjadi merah sekali, sepasang matanya bersinar penuh kemarahan. Hal ini oleh Ki Liong yang belum berpengalaman itu diterima dengan keliru pula.

"Nona Hong, dewi pujaanku, tidak perlu engkau malu-malu lagi. Di taman ini tiada orang lain kecuali kita berdua..." Dan dia pun mengulur tangan hendak menangkap lengan gadis itu, untuk ditarik ke atas pangkuannya dan didekapnya, diciuminya pipi yang kemerahan dan hangat itu, dikecupnya bibir yang demikian manis itu, seperti yang dibayangkannya di dalam kamarnya tadi.

"Plakkk!"

Baru Ki Liong terkejut sekali ketika lengannya ditangkis dengan tamparan keras oleh Kui Hong. Wajah Ki Liong berubah menjadi pucat sekali lantas diam-diam dia memaki dirinya sendiri. Bodoh, tolol, mudah sekali ditipu oleh harapan dan khayalan sendiri. Kini baru dia tahu bahwa gadis itu sama sekali tidak menyambut uluran tangannya untuk bermain cinta!

"Susiok, apakah engkau sudah menjadi gila? Berani benar engkau kurang ajar kepadaku? Mentang-mentang engkau menjadi murid kakek dan nenekku, ya? Keparat kau!" Kui Hong sudah menyerang pemuda itu dengan kemarahan meluap-luap.

Ki Liong cepat mengelak dengan loncatan ke belakang. "Ehhh, ahhh, maaf, Nona... aku... aku tidak bermaksud buruk...," katanya dengan muka pucat.

Akan tetapi Kui Hong tidak berkata apa-apa melainkan terus menyerang dengan dahsyat. Kini berbeda dengan ketika berlatih di lian-bu-thia tadi, dia menyerang dengan sungguh-sungguh, seperti sedang menyerang seorang musuh yang harus dia robohkan, terdorong oleh perasaan marahnya.

Sebetulnya tadinya Kui Hong sama sekali tidak mempunyai rasa benci terhadap Ki Liong. Bahkan dia harus mengakui bahwa dia tertarik dan kagum kepada susiok-nya yang masih muda, tampan gagah serta memiliki kepandaian tinggi itu. Pernyataan cinta dari seorang pemuda seperti Ki Liong bukanlah merupakan suatu hal yang dapat mendatangkan rasa marah atau terhina. Akan tetapi, karena pernyataan pemuda itu tidak wajar dan demikian tiba-tiba maka Kui Hong merasa terhina dan menjadi marah sekali.

Pertama, hari itu Ki Liong baru saja diperkenalkan sebagai paman gurunya. Ke dua, baru beberapa jam mereka saling berkenalan. Dan ke tiga, pernyataan Ki Liong demikian terus terang dan tiba-tiba, tentu saja mengejutkan sekali sehingga menimbulkan rasa malu.

Memang harus diakui bahwa Ki Liong sama sekali buta tentang urusan cinta. Sama sekali belum mempunyai pengalaman sehingga dia bertindak sesuai dengan dorongan nafsunya saja, nafsu yang bertahun-tahun ditekannya selama dia belajar di pulau itu. Kini begitu dia bertemu dengan Kui Hong nafsunya langsung bergolak dan pertahanannya bobol, maka dia pun bertindak tanpa berpikir lagi, hanya menurutkan nafsu. Dan sekarang barulah dia sadar alangkah gegabah dan ceroboh tindakannya itu, memancing keributan yang hanya akan merugikan dirinya sendiri saja.

"Maafkan, aku minta maaf. Aku telah menjadi gila karena cintaku..." Demikian dia berkata sambil mengelak dan menangkis.

Akan tetapi ucapannya ini bahkan membuat Kui Hong menjadi semakin marah. Serangan-serangannya menjadi makin ganas saja sehingga ketika mengelak dengan tergesa-gesa, Ki Liong tersandung batu dan dia terhuyung lalu roboh terguling. Kui Hong mengejar dan mengirim tendangan. 

"Plakkk!"

Tendangannya itu ditangkis orang dan ternyata yang menangkisnya adalah ibunya sendiri. Dan selain ibunya, di situ hadir pula Pendekar Sadis dan isterinya! Ketika melihat betapa tendangannya ditangkis ibunya, Kui Hong menjadi penasaran sekali. Akan tetapi Ki Liong yang melihat kehadiran suhu dan subo-nya, menjadi gelisah bukan kepalang dan dia pun sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kaki suhu-nya.

"Suhu, teecu telah membuat dosa besar! Teecu siap menerima hukuman mati sekali pun dari Suhu dan Subo!"

Tentu saja Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong menjadi terkejut bukan main mendengar ucapan murid mereka itu. Tadi, seperti juga Sui Cin, mereka mendengar suara ribut-ribut dan angin pukulan yang datang dari arah taman, maka mereka cepat keluar dan bertemu dengan puteri mereka yang juga sedang berlari keluar menuju ke taman. Ketika melihat Ki Liong terguling dan Kui Hong mengejar dan mengirim tendangan, Sui Cin yang sudah tiba di dekat puterinya cepat menangkis.

“Kui Hong, apa lagi yang terjadi? Apakah kalian berlatih silat lagi?" tanya Sui Cin dengan suara penuh teguran karena dianggapnya bahwa puterinya itu sudah keterlaluan terhadap susiok-nya yang sepatutnya dihormati.

"Ibu, dia itu... kurang ajar sekali! Aku harus memukulnya, dia kurang ajar dan menghina aku!" bentak Kui Hong marah.

Mendengar ucapan ini, Sui Cin dan ibunya menjadi terkejut bukan main, terutama sekali Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong. Mereka mengenal murid mereka itu sebagai seorang pemuda yang sopan dan tidak pernah kurang ajar, bahkan sopan dan ramah, juga rendah hati. Bagaimana kini secara tiba-tiba saja, belum juga satu malam sesudah Kui Hong dan ibunya datang, Kui Hong menuduhnya kurang ajar dan menghinanya?

Sui Cin juga merasa heran. Puterinya itu tak pernah berbohong dan jika puterinya sudah marah seperti itu, sudah pasti ada sebabnya. Akan tetapi dia juga meragukan kata-kata Kui Hong karena rasanya tidak mungkin sute-nya yang demikian sopan itu tiba-tiba berani kurang ajar terhadap Kui Hong.

"Apakah yang telah terjadi? Apa maksudmu dengan kurang ajar dan menghinamu itu Kui Hong?"

Wajah Kui Hong menjadi merah sekali dan dia pun baru menyadari alangkah memalukan keadaan itu. Kalau bukan kepada ibunya, kakek dan neneknya, tentu dia akan malu untuk menjawab. Akan tetapi keadaan sudah menjadi seperti itu, terpaksa dia harus mengaku apa yang sesungguhnya telah terjadi.

"Ibu, dia itu... dia berani memuji-muji kecantikanku, bahkan dia pun berani merayuku!"

Sui Cin terbelalak, juga kakek dan nenek itu memandang kepada murid mereka dengan alis berkerut dan perasaan aneh. "Ki Liong, apakah yang telah kau lakukan sehingga cucu kami marah kepadamu?" tanya Ceng Thian Sin suaranya tenang sekali.

"Suhu dan Subo, teecu sudah berbuat dosa besar sekali terhadap Nona Hong. Sungguh teecu tidak tahu diri karena tadi teecu sudah mengaku cinta kepada Nona Hong sehingga dia menjadi marah dan menyerang teecu."

Hampir saja Ceng Thian Sin tertawa. Kiranya hanya mengaku cinta! Bagaimana dia dapat menyalahkan pemuda muridnya itu apa bila melihat betapa cantik manisnya cucunya itu? Mengaku cinta terhadap seorang gadis remaja seperti Kui Hong yang bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar semerbak mengharum bukanlah perbuatan aneh, apa lagi bagi Ki Liong yang belum memiliki pengalaman sehingga desakan hati mencinta itu langsung saja diutarakan, tanpa disimpan-simpannya lagi.

Akan tetapi, demi menjaga perasaan puterinya dan cucunya, Ceng Thian Sin mengambil sikap marah. "Hemmm, Ki Liong, bagaimana kau berani menyatakan cinta kepada murid keponakanmu sendiri? Perbuatanmu itu sungguh lancang sekali. Apa yang mendorongmu mengaku cinta seperti itu?"

"Ampun, Suhu. Teecu... teecu... sudah jatuh hati begitu melihat Nona Hong..., dan teecu berterus terang kepadanya... kebetulan kami berdua malam ini disini, tanpa disengaja dan keadaan yang indah ini, malam yang permai dengan hawa udara yang sejuk segar sudah membuat teecu lupa diri... dan... dan... teecu mengaku salah dan telah siap menghadapi hukuman apa pun dari Suhu dan Subo."

"Kui Hong," sekarang nenek itu berkata kepada cucunya. "Selain pengakuan cintanya dan memuji-muji kecantikanmu, apa lagi yang dilakukan oleh Ki Liong kepadamu?"

Ditanya demikian oleh neneknya, Kui Hong menjadi bingung. Apa lagi yang dilakukan Ki Liong kepadanya? Pemuda itu bahkan tidak pernah melakukan apa-apa, hanya memuji-mujinya dan mengaku tergila-gila kepadanya.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar