Pendekar Mata Keranjang Jilid 25

Melihat hal ini, Pek Kong tak dapat menahan kesabarannya lagi, demikian pula Pek Ki Bu. "Kalian sungguh tak tahu diri!" kata Pek Ki Bu sambil menerjang ke depan.

"Tamu-tamu tak tahu aturan!" Pek Kong juga menerjang maju.

Pek Kong segera disambut oleh pendeta muka bopeng, ada pun Pek Ki Bu disambut oleh pendeta tinggi besar muka hitam yang agaknya merupakan pendeta tertua dan terlihai di antara mereka.

“Dessss...!" Pukulan tangan Pek Ki Bu ditangkis dan disambut oleh pendeta muka hitam, menyebabkan Pek Ki Bu terdorong ke belakang tiga langkah, sedangkan lawannya hanya mundur selangkah.

"Dukkk!" Pukulan tangan Pek Kong juga tertangkis oleh Si Muka Bopeng dan tangkisan ini membuat tubuh Pek Kong terhuyung.

Dalam pertemuan segebrakan ini saja dapat dilihat bahwa baik Pek Kong mau pun Pek Ki Bu bukanlah lawan para pendeta yang amat lihai dan kokoh kuat itu. Akan tetapi kini anak buah Pek-sim-pang sudah keluar semua, jumlah mereka ada berpuluh-puluh dan mereka sudah memegang senjata semua, siap untuk mengepung dan mengeroyok.

Pada saat itu pula, Hay Hay yang sejak tadi hanya menjadi penonton merasa sudah perlu untuk turun tangan. Bagaimana pun juga, dirinya terlibat secara langsung di dalam urusan Sin-tong ini, maka dia pun melangkah lebar ke depan tiga orang pendeta itu dan dengan suara lantang dia berkata,

"Sam-wi Losuhu jauh-jauh datang dari Tibet, apakah untuk menjemput Sin-tong? Nah, kini sesudah Sin-tong berada di hadapan kalian, mengapa kalian tidak lekas menyambut dan memberi hormat?" Sambil berkata demikian, dia berdiri tegak dengan dada terangkat dan sikapnya angkuh dan agung sekali.

Semua orang terkejut. Pek Eng juga terkejut akan tetapi dara ini pun mendongkol bukan main, langsung membisiki ayahnya yang berdiri di dekatnya, "Ayah, dia itu pemuda mata keranjang yang kurang ajar."

Akan tetapi Pek Kong dan Pek Ki Bu lantas memandang tajam penuh perhatian, bahkan Pek Kong cepat mengangkat tangan memberi isyarat kepada anak buah atau murid-murid Pek-sim-pang agar tidak bergerak dan tidak menyerang sebelum ada aba-aba darinya.

Kini semua orang memandang kepada Hay Hay dan tiga orang pendeta itu dengan hati tegang, lebih lagi mereka tadi juga mendengar pengakuan pemuda itu bahwa dia adalah Sin-tong, putera ketua mereka yang kedatangannya selalu ditunggu-tunggu. Juga ketiga orang pendeta Lama itu terbelalak, mengamati Hay Hay dengan penuh perhatian, penuh selidik memandang pemuda itu dari kepala sampai ke kaki.

Sementara itu, Pek Kong dan isterinya, Souw Bwee, terbelalak menatap wajah Hay Hay, mengingat-ingat apakah benar pemuda tampan yang kini berdiri dengan mulut tersenyum itu adalah Pek Han Siong, putera mereka. Demikian pula Pek Ki Bu memandang dengan penuh keheranan, sekaligus juga penuh harapan karena dia pun tidak dapat menentukan apakah benar pemuda ini adalah cucunya atau bukan.

Hanya Pek Eng yang amat mendongkol. Ingin dara ini memaki pemuda itu karena dialah yang tahu bahwa pemuda itu bukan Pek Han Siong, bukan kakaknya, melainkan seorang pemuda mata keranjang. Tapi karena kemunculan pemuda ini agaknya hendak membantu dan berpihak pada keluarganya, maka dia pun diam saja dan hanya memandang dengan heran mengapa pemuda itu berani menentang tiga orang pendeta Lama yang demikian lihainya. Bahkan mulai timbul keraguan. Siapa tahu pemuda itu memang benar kakaknya, Pek Han Siong, dan tadi tak mau mengaku kepadanya hanya untuk mempermainkannya saja. Siapa tahu!

Tiga orang pendeta Lama itu kini berdiri bingung, kadang-kadang mereka saling pandang dan di wajah mereka terbayang ketegangan, harapan, akan tetapi juga keraguan. Selama ini Sin-tong dilarikan keluarganya, disembunyikan dari para pendeta Lama. Mungkinkah kini Sin-tong muncul dan memperkenalkan diri begitu saja?

Mereka merupakan tokoh-tokoh Tibet, termasuk pimpinan para pendeta Lama tingkat tiga. Selain mempunyai ilmu kepandaian tinggi, tentu saja tiga orang Pendeta Lama ini adalah orang-orang yang cerdik, tidak akan mudah menipu mereka.

"Orang muda, jangan engkau main-main dengan kami! Jika engkau hendak menipu kami, maka dosamu sangat besar sehingga kematian pun belum dapat membebaskan engkau dari pada hukuman!" kata pendeta yang kurus pucat.

"Omitohud...!" Hay Hay berseru, menirukan lagak seorang pendeta. "Menipu adalah suatu perbuatan yang tidak benar, aku sebagai Sin-tong mana mau melakukannya? Semenjak terlahir aku disebut Sin-tong, diperebutkan sebagai Sin-tong, setelah kini menjadi dewasa dan mengaku bahwa aku adalah Sin-tong, Sam-wi Losuhu dari Tibet malah tidak percaya kepadaku! Sam-wi mengingkari Sin-tong, bukankah itu merupakan dosa yang amat besar pula?"

Ketiga orang pendeta Lama itu saling pandang dan sekarang sikap mereka menjadi agak berbeda, pandang mata mereka mulai menghormat biar pun masih terlihat ada keraguan. Nampaknya mereka mulai percaya bahwa pemuda di hadapan mereka itu mungkin sekali Sin-tong yang mereka cari-cari.

"Dia bukan Sin-tong! Dia bukan putera kami!" tiba-tiba Souw Bwee berseru. Tentu saja seruan ini mengejutkan serta mengherankan hati Pek Kong dan Pek Ki Bu. Bagaimana wanita itu dapat memastikan bahwa pemuda itu bukan Pek Han Siong?

"Memang Ibu benar! Dia bukan Kakak Pek Han Siong, dia hanya seorang pemuda mata keranjang yang tidak tahu malu, berani memalsukan kakakku!" teriak pula Pek Eng yang mengira ibunya mengenal betul bahwa pemuda itu bukan Pek Han Siong.

Padahal teriakan Souw Bwee tadi sama sekali bukan karena dia tahu bahwa pemuda itu bukan puteranya. Dia sendiri ragu-ragu dan tentu saja tidak tahu benar, sebab puteranya itu dipisahkan dari sampingnya semenjak masih bayi. Kalau dia tadi berteriak menyangkal justru terdorong oleh rasa khawatirnya.

Apa bila benar pemuda ini adalah puteranya dan hal ini diketahui oleh tiga orang pendeta Lama yang lihai itu, tentu puteranya itu akan mereka bawa! Dan dia tidak mau kehilangan lagi puteranya yang baru saja pulang. Inilah sebabnya dia berteriak menyangkal agar tiga orang pendeta Lama itu percaya kepadanya dan tidak akan membawa pergi puteranya. Dan Pek Eng yang salah mengerti, sekarang malah membantunya dengan sangkalannya bahwa pemuda itu bukan kakaknya yang dicari-cari.

Pek Kong dan Pek Ki Bu memandang dengan perasaan bingung, namun begitu bertemu pandang dengan isterinya, Pek Kong melihat betapa sinar mata isterinya itu mengandung kegelisahan dan ketakutan, maka tahulah dia bahwa penyangkalan isterinya tadi hanya merupakan usaha untuk menyelamatkan pemuda itu! Karena itu dia sendiri pun merasa bingung dan tidak berkata apa-apa, hanya dapat menunggu untuk melihat perkembangan selanjutnya.

Sementara itu, Hay Hay juga terkejut mendengar teriakan nyonya dan puterinya itu. Tak disangkanya mereka berteriak menyangkalnya. Dia berpura-pura menjadi Sin-tong untuk mengalihkan perhatian tiga orang pendeta yang lihai agar tidak lagi mendesak keluarga Pek, akan tetapi ternyata nyonya rumah bahkan menyangkalnya!

Apakah mereka itu tidak tahu bahwa dia memang sengaja hendak membantu mereka? Ataukah keluarga Pek itu begitu tinggi hati sehingga tidak sudi menerima pertolongannya, walau pun jelas bahwa mereka terancam bahaya? Ataukah nyonya itu tidak ingin orang lain celaka karena keluarga mereka? Banyak sekali kemungkinan untuk menjawab serta mencari sebab ulah ibu dan anak itu, akan tetapi dia harus dapat meyakinkan tiga orang pendeta Lama itu bahwa dia benar-benar Sin-tong! 

"Hemmm, Sam-wi Losuhu merupakan tokoh-tokoh pandai dari Tibet, mana mungkin dapat dibohongi? Mereka menyangkal diriku, karena tentu saja mereka tidak ingin melihat aku kalian bawa pergi dari sini!" Ucapan Hay Hay ini memang tepat sekali sehingga Nyonya Souw Bwee menahan jeritnya, mukanya menjadi pucat dan matanya terbelalak menatap kepada pemuda itu.

Tiga orang pendeta Lama yang tadinya sudah merasa ragu karena mendengar teriakan Nyonya Souw Bwee dan Pek Eng yang menyangkal pemuda itu sebagai Sin-tong, kini saling pandang dan harapan baru memancar kembali dari wajah mereka ketika mereka memandang Hay Hay.

Memang tepat sekali ucapan pemuda itu, pikir mereka. Kalau benar pemuda ini Sin-tong, tentu ibunya bersama adiknya akan berusaha menyelamatkannya dan satu-satunya cara adalah menyangkalnya!

"Omitohud...!" Pendeta Lama bermuka bopeng berseru lalu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, kami bukanlah orang-orang bodoh yang demikian mudah dipermainkan dan ditipu. Orang muda, kau tanggalkanlah bajumu!"

Keluarga Pek menjadi pucat. Mereka tahu bahwa Pek Han Siong yang dianggap Sin-tong oleh para pendeta Lama itu memang mempunyai tanda tahi lalat merah di punggungnya sehingga kalau pemuda ini tidak mempunyai tanda itu, biar mengaku bagaimana pun juga maka akan nampak bohongnya. Akan tetapi di samping kekhawatirannya ini, juga mereka merasa tegang karena mereka pun ingin melihat siapa sebenarnya pemuda ini, Pek Han Siong ataukah bukan.

Hay Hay tersenyum. Sebelum tuntutan ini diajukan, dia memang sudah menduga hal ini. Sambil tersenyum dia lalu berkata kepada Pek Eng. "Adik yang baik, jangan menuduhku kurang ajar kalau aku melepas bajuku di depanmu, karena aku dipaksa oleh ketiga orang Locianpwe ini." Berkata demikian, Hay Hay segera menanggalkan bajunya, membiarkan tubuhnya bagian atas telanjang.

Nampak dadanya yang bidang dan tubuh bagian atas yang tegap, dengan otot-otot yang menonjol kuat serta kulit yang putih halus, dada seorang pemuda yang sedang mekar dan kokoh kuat. Dia kemudian membalikkan tubuhnya, membiarkan punggungnya terlihat oleh mereka.

Keluarga Pek dan tiga orang pendeta Lama ini memandang ke arah punggung Hay Hay dan dengan mudah menemukan tahi lalat merah yang cukup besar di punggung itu!

"Anakku...!" terlak Souw Bwee.

"Koko...!" Pek Eng juga berseru.

Akan tetapi saat mereka hendak maju, keduanya dicegah oleh Pek Kong dan Pek Ki Bu. Keluarga itu lalu menonton saja, ingin tahu dengan hati tegang apa yang selanjutnya akan terjadi. Kiranya pemuda itu benar Pek Han Siong, piikir mereka dengan jantung berdebar.

Tentu saja dugaan mereka itu keliru. Pemuda itu adalah Hay Hay, bukan Pek Han Siong. Tanda merah pada punggungnya itu hanyalah hasil muslihat Hay Hay saja. Sebelum tadi turun tangan, pemuda ini sudah berpikir panjang dan teringat bahwa satu-satunya tanda dari Sin-tong yang semenjak bayi tidak pernah muncul, hanyalah tahi lalat tanda merah di punggungnya, maka tadi sebelum turun gelanggang secara diam-diam dia telah lebih dulu menutul kulit punggungnya dengan tinta merah.

Dengan kecerdikannya, mempergunakan kesempatan selagi orang ribut-ribut mengepung tiga orang pendeta Lama, Hay Hay cepat menyelinap masuk ke dalam rumah dan berhasil mendapatkan tinta merah yang dicarinya. Karena itu, ketika dia terjun ke dalam lapangan itu, di balik bajunya, di atas kulit punggungnya, sudah terdapat tanda merah yang sengaja dibuatnya itu!

"Sin-tong...!" Tiga orang pendeta Lama itu terkecoh. Mereka bertiga cepat merangkapkan kedua tangan di depan dada dan memberi hormat kepada ‘Anak Ajaib’ itu!

"Pinceng bertiga mendapat kehormatan untuk menjemput Paduka dan mengiringi Paduka menuju ke istana Paduka di Tibet," pendeta Lama bermuka bopeng berkata dengan sikap hormat sekali, seperti sikap seorang menteri terhadap rajanya.

Hampir saja Hay Hay tertawa karena gelinya. Sikap ketiga pendeta Lama itu menggelitik hatinya. Demikian lucu seolah-olah dia sedang bermain sandiwara di atas panggung saja. Biarlah, dia akan bermain sandiwara sepuasnya, pikirnya. Bagaimana pun juga, dia sudah berhasil memindahkan perhatian tiga orang pendeta Lama yang lihai itu dari keluarga Pek kepada dirinya. Tentu sekarang yang terpenting bagi mereka hanyalah dirinya yang sudah dipercaya dan diterima sebagai Sin-tong!

"Hemm, begini sajakah penerimaan para pendeta Lama terhadap diriku? Tahukah kalian siapa yang sudah menjelma menjadi diriku sekarang ini?" tanyanya dengan sikap agung berwibawa.

"Pinceng tahu. Paduka adalah calon Dalai Lama, penjelmaan Sang Buddha, omitohud...!" kata pendeta Lama bermuka bopeng.

"Nah, kalau kau sudah tahu, kenapa yang menyambutku hanya tiga orang pendeta Lama tingkat rendahan saja?"

"Kami bertiga yang rendah adalah anggota pimpinan tingkat tiga...," kata pendeta Lama kurus pucat untuk memberi tahu bahwa tingkat mereka sudah terhitung tinggi.

"Hemm, seharusnya Dalai Lama sendiri, atau setidaknya harus utusan yang memiliki ilmu tinggi. Akan tetapi karena kalian bertiga telah sampai di sini, baiklah. Aku akan ikut kalian kalau saja kuanggap ilmu kepandalan kalian cukup tinggi sehingga aku pun merasa cukup terhormat. Nah, kalian majulah. Hendak kulihat sampai di mana kelihaian kalian, apakah patut untuk menjadi orang-orang yang ditugaskan menjemput diriku."

Tiga orang pendeta Lama itu saling pandang dan mereka nampak terkejut sekaligus juga terheran-heran, lantas menjadi bingung sendiri. Selama mereka menjadi pendeta Lama, baru sekali inilah ada Sin-tong yang pada saat dijemput hendak menguji dulu kepandaian para penjemputnya!

Biasanya, yang sudah-sudah, seorang Sin-tong hanya pandai menghafalkan isi kitab-kitab suci, merupakan seorang setengah dewa yang lemah-lembut dan sama sekali tak pernah menggunakan kekerasan. Akan tetapi Sin-tong yang ini bahkan menantang mereka untuk menguji kepandaian silat! Padahal tingkat mereka dalam hal ilmu silat sudah tinggi sekali. Keluarga Pek yang merupakan orang-orang gagah terkenal dari Pek-sim-pang saja bukan tandingan mereka, apa lagi pemuda ini yang kelihatan begitu lemah!

"Hayo mulai, kenapa kalian diam saja?" Hay Hay mendesak.

Keluarga Pek dan juga para anggota Pek-sim-pang memandang dengan muka pucat dan jantung berdebar. Alangkah beraninya pemuda itu, menantang tiga orang pendeta Lama yang demikian lihainya sehingga ketua Pek-sim-pang dan ayahnya saja bukan tandingan mereka!

"Kami... mana kami berani?" Akhirnya pendeta bermuka bopeng menjawab mewakili dua orang temannya.

Hay Hay mengerutkan sepasang alisnya, pura-pura marah. "Kalau kalian tidak memenuhi permintaanku, berarti kalian memandang rendah kepadaku dan selain aku tidak akan sudi ikut ke Tibet, juga kelak aku akan melapor kepada Dalai Lama bahwa kalian bertiga telah menghina diriku!"

Terkejutlah tiga orang pendeta Lama itu. Mereka saling pandang, lalu berbisik-bisik dan mengadakan perundingan di antara mereka sendiri dalam bahasa Tibet. Dan akhirnya, Si Pendeta Kurus Pucat yang melangkah maju lantas menjura dengan hormat kepada Hay Hay.

"Biarlah pinceng mewakili teman-teman untuk menerima perintah Sin-tong dan siap untuk diuji kepandaian pinceng," katanya dengan sikap hormat.

Melihat ini, diam-diam Hay Hay tersenyum. Tiga orang pendeta Lama ini ternyata amat memandang rendah padanya. Dari gerakan-gerakan mereka tadi ketika dalam beberapa gebrakan berkelahi melawan orang-orang Pek-sim-pang, dia sudah dapat menilai bahwa di antara mereka bertiga, Si Kurus Pucat ini yang paling rendah ilmunya, sedangkan yang tinggi besar muka hitam itu yang paling lihai.

"Baik, majulah. Akan tetapi kalau engkau kalah, dua orang yang lainnya harus kuuji pula kepandaiannya. Bila mana aku tidak sanggup mengalahkanmu, berarti tingkat kepandaian kalian bertiga sudah cukup tinggi," kata Hay Hay dan dengan sikap sembarangan saja dia lalu membuat kuda-kuda.

Melihat betapa pemuda itu membuat kuda-kuda dengan kedua kaki berdiri tegak, lututnya bengkak-bengkok seperti orang yang tidak bertenaga, pinggangnya juga menggeliat-geliat ke sana-sini seperti orang habis bangun tidur, matanya melirik-lirik ke sana-sini, terutama ke arah Pek Eng, kedua tangannya juga tergantung agak ke belakang, sungguh sikap ini sama sekali tidak meyakinkan! Bukan sikap atau kuda-kuda dari seorang ahli silat yang tangguh.

Diam-diam keluarga Pek merasa kecewa dan gelisah, sedangkan pendeta kurus pucat itu bersama kawan-kawannya merasa amat geli. Sin-tong yang ini tidak becus ilmu silat akan tetapi ingin menyombongkan diri, pikir mereka. Akan tetapi karena pemuda itu Sin-tong, tentu saja mereka tidak berani mentertawakan.

Juga Si Kurus Pucat tidak akan berani menjatuhkan tangan besi melukai, apa lagi sampai membunuh Sin-tong! Hanya saja, melihat gaya Sin-tong yang lemah ini, hatinya merasa lega. Dari Dalai Lama dia mendengar bahwa Sin-tong kini telah menjadi seorang pemuda dewasa yang mempunyai ilmu tinggi, akan tetapi melihat sikap tidak meyakinkan itu, dia tahu bahwa dengan mudah dIa akan mampu mengalahkan pemuda ini.

Dia hanya akan mengelak dan menangkis saja, membuat pemuda itu kehabisan tenaga dan napas agar menyerah dengan sendirinya, tanpa membalas serangan dan juga tanpa memukul atau menendang!

"Hayo seranglah!" kata Hay Hay.

"Pinceng tidak berani, harap Paduka Yang Mulia menyerang," jawab kakek pendeta kurus pucat itu.

"Rewel benar kau! Kalau engkau tidak mau menyerang, mana aku tahu sampai di mana kelihaianmu?"

Pek Eng memandang dengan alis berkerut. Betulkah pemuda tolol ini kakak kandungnya? Mengapa begitu bodoh? Apakah tidak melihat bahwa pendeta kurus pucat itu lihai bukan main? Sungguh mencari penyakit saja, pikirnya tak puas. Hatinya amat kecewa, dia tidak puas memiliki seorang kakak kandung seperti itu, sombong dan brengsek!

"Baiklah, pinceng akan menyerang, harap disambut!" kata pendeta kurus pucat lantas dia pun menyerang.

Akan tetapi gerakan itu sama sekali tidak bisa dinamakan serangan, sebab tangan kirinya bergerak perlahan, seakan hendak mengusap pundak kanan Hay Hay saja. Gerakannya juga lambat dan tidak mengandung tenaga.

Dengan gerakan kaku Hay Hay melangkah mundur untuk mengelak, mulutnya mengomel panjang pendek. "Wah, kalau pukulanmu hanya seperti itu, untuk memukul tahu pun tidak akan pecah. Mana bisa dibilang lihai?"

Pendeta Lama itu maklum bahwa gerakannya terlalu lambat dan lemah, maka agar tidak kentara bahwa dia mengalah, dia kembali maju dan menyerang lagi, kini agak lebih cepat dan lebih kuat, maksudnya pun hanya hendak mengelus ke arah pundak kiri pemuda itu sambil menanti pemuda itu membalas serangannya.

Akan tetapi kembali dengan gerakan kaku Hay Hay mengelak, kini mengelak ke samping dan masih mengomel. "Hanya sebegini? Tidak ada mutunya sama sekali. Ilmu silat apa sih ini?" Dia mengejek dan mencela.

Muka yang pucat itu kini berubah agak kemerahan, apa lagi ketika pendeta itu mendengar suara ketawa di sana-sini, suara ketawa para anggota Pek-sim-pang yang merasa betapa lucunya pertunjukan itu.

"Pinceng akan menyerang lagi lebih cepat, harap siap siaga!" Dia membentak kemudian menubruk, kali ini dengan lebih cepat dan bertenaga. Maksudnya untuk menangkap dan memeluk Sin-tong agar tidak dapat bergerak meronta lagi dan langsung membawanya lari ke Tibet.

"Wuuuttt...! Brukkk...!"

Hampir saja pendeta itu berteriak kaget karena yang ditubruknya hanyalah angin belaka! Tubrukannya luput! Betapa mungkin ini? Tadi dia mempergunakan kecepatan dan tenaga sinkang, akan tetapi tanpa diketahui bagaimana caranya, tahu-tahu tubrukannya ini hanya mengenai tempat kosong dan pemuda itu entah pergi ke mana.

"Heii, muka pucat. Engkau sedang apa-apaan di situ? Jangan main-main, tadi aku minta engkau menggunakan ilmu silat mengalahkan aku, bukan untuk main-main seperti orang mencari kodok saja. Apakah engkau biasa menangkap dan makan daging kodok?"

Kini lebih banyak lagi terdengar suara ketawa, bahkan keluarga Pek memandang dengan terheran-heran. Tadinya mereka merasa kecewa dan tidak puas melihat sikap ketololan dari pemuda yang mereka sangka Pek Han Siong itu. Mereka tahu bahwa pendeta kurus pucat itu mengalah dan tak berani menggunakan kekerasan. Pemuda itulah yang mereka anggap tidak tahu diri.

Tetapi tubrukan tadi cukup cepat, dan mereka melihat betapa pemuda itu hanya memutar kakinya seperti gasing dan tahu-tahu sudah berada di luar tubrukan sehingga tubrukan itu pun hanya mengenai tempat kosong saja, ada pun pemuda itu dengan terhuyung-huyung tahu-tahu telah berada di belakang Si Pendeta, kemudian menegurnya dengan kata-kata mengejek. Seperti juga pendeta kurus pucat itu, para keluarga Pek juga mengira bahwa keberhasilan pemuda itu menghindarkan diri dari tubrukan hanyalah kebetulan saja.

"Hayo pukullah aku, seranglah dan jangan main-main. Apakah engkau ingin aku menjadi marah kemudian memukulimu sampai babak belur?” Ucapan keras pemuda ini kembali memancing suara tawa geli di sana-sini. Pemuda yang agaknya sama sekali tidak pandai ilmu silat itu kini malah mengancam hendak memukul si pendeta lihai hingga babak belur!

"Baik, dan Paduka sambutlah!" kata Si Pendeta Kurus Pucat.

Sekarang dia harus berhasil, pikirnya. Dia mengerahkan sinkang dan dengan cepat sekali pukulan tangannya yang dikepal sudah meluncur ke arah perut Hay Hay. Semua orang sangat terkejut. Pukulan itu cepat dan dahsyat, kalau mengenai perut pemuda yang tidak pandai silat itu tentu akan mengakibatkan seluruh isi perutnya berantakan dan Sin-tong pasti tewas!

Wajah Pek Kong, Souw Bwee, Pek Ki Bu dan Pek Eng sudah menjadi pucat bukan main, bahkan Souw Bwee memejamkan mata, tidak tega melihat puteranya terpukul mati. Dan semua orang melihat betapa pemuda yang tidak pandai silat itu agaknya tidak tahu akan datangnya pukulan, buktinya dia masih menyeringai dan sama sekali tidak bergerak untuk mengelak atau menangkis!

Pendeta kurus pucat itu memang sudah menduga bahwa Sin-tong pasti tak akan mampu mengelak, tapi dengan kepandaiannya yang tinggi dia sudah bisa menguasai gerakannya sepenuhnya. Sebab itu, begitu kepalan tangannya telah mendekati perut lawan, dia cepat menahan dan mengeremnya sehingga kepalan itu hanya menyentuh kulit perut perlahan saja, tanpa ada angin pukulan tenaga sinkang.

"Plekk…!" kepalan itu hanya menempel lirih saja, lembut dan tidak mendatangkan rasa nyeri sama sekali. Hay Hay tersenyum mengejek.

"Ha-ha, begitu saja pukulanmu! Wah, lebih lunak dari pada tahu! Mana bisa dibilang lihai kalau pukulannya hanya seperti ini?"

"Sin-tong, pinceng tidak berani memukul sungguh-sungguh. Paduka tentu tidak akan kuat menerima pukulan pinceng!" kata Si Kurus Pucat yang menjadi mendongkol juga karena semua orang tersenyum, ada pula yang tertawa mendengar ejekan Hay Hay tadi.

Mereka semuanya tidak suka kepada para Lama yang menyebabkan Pek-sim-pang harus pergi mengungsi, apa lagi kini ada tiga orang Lama datang untuk membawa pergi putera ketua mereka. Maka, melihat betapa pendeta Lama yang kurus pucat itu dipermainkan, mereka merasa gembira juga.

"Apa...? Aku tidak tahan menerima pukulanmu? Ha-ha-ha, jangan bergurau! Pukulanmu tak akan menghancurkan sepotong tahu, apa lagi perutku!" Hay Hay tidak menyombong. Tadi pun dia sudah melindungi perutnya dengan sinkang yang terkuat untuk menjaga diri. Andai kata tadi Si Pendeta Lama memukulnya dengan sungguh-sungguh, tetap saja dia tidak akan terluka!

"Sebaiknya kalau Paduka saja yang memukul pinceng dan pinceng yang akan menjaga diri. Kalau sampai pinceng dapat terpukul roboh satu kali saja, biarlah pinceng mengaku kalah," kata pula hwesio kurus pucat dengan sikap serba salah.

Diam-diam dia mendongkol bukan main karena ucapan-ucapan yang mengejek itu, yang membuat dia menjadi bahan tertawaan orang banyak. Memukul sungguh-sungguh, tentu saja dia tidak berani melukai Sin-tong, tidak sungguh-sungguh, dia dijadikan bahan ejekan dan tertawaan.

"Benarkah? Saudara-saudara semua mendengar sendiri bahwa jika aku mampu memukul dia roboh satu kali saja, dia akan mengaku kalah. Harap Saudara sekalian menjadi saksi!" kata Hay Hay sambil memutar tubuh ke empat penjuru. Kini para anggota Pek-sim-pang sudah menjadi semakin gembira. 

"Kami menjadi saksi!" terdengar teriakan di sana-sini.

"Nah, puluhan orang menjadi saksi supaya engkau nanti tidak melanggar janjimu sendiri. Bersiaplah, aku akan segera menyerang!" kata Hay Hay.

Kini pendeta itu bersiap siaga, memasang kuda-kuda yang kokoh kuat, sedangkan para keluarga Pek menonton dengan hati tegang dan penuh perhatian. Sekarang mereka ingin melihat bagaimana sebenarnya kepandaian pemuda itu karena semenjak tadi pemuda itu belum pernah memperlihatkan satu kali pun gerakan ilmu silat. Kini, karena dia hendak menyerang, tentu dia akan mempergunakan jurus-jurus silat dan mereka ingin mengenal aliran silat apa yang dimiliki pemuda itu.

"Pinceng sudah siap!" kata hwesio Lama yang kurus pucat itu.

"Awas, aku menyerang, sambutlah!" Hay Hay membentak, suaranya nyaring dan semua orang menduga akan terjadi serangan yang dahsyat. Akan tetapi mereka semua kecewa.

Pemuda itu menyerang dengan gerakan liar dan sembarangan saja, bukan seperti orang bersilat, melainkan seperti anak kecil berkelahi di pinggir jalan, asal memukul saja tanpa memilih sasaran. Kepalan sepasang tangannya diayun dan dipukulkan bergantian ke arah tubuh pendeta Lama itu. Melihat datangnya pukulan yang amat lamban dan tanpa tenaga sinkang ini, pendeta Lama itu tersenyum dan dengan mudahnya mengelak ke belakang.

"Mau lari ke mana kau?" Hay Hay berseru, lagaknya mirip seperti orang yang mendesak lawannya, mengejar dengan pukulan-pukulan serta tendangan-tendangan ngawur. Setiap kali pukulan atau tendangan sudah dielakkan oleh pendeta lama itu, maka tubuh pemuda itu langsung terhuyung, bahkan hampir saja jatuh tertelungkup ke depan. Semua orang kecewa, terutama sekali Pek Eng.

"Si Tolol yang tak tahu malu!" gadis itu membentak, cukup keras karena hatinya kecewa, bahkan marah bukan main melihat pemuda yang mengaku sebagai Sin-tong ini. Sungguh memalukan sekali mempunyai seorang kakak kandung seperti itu, pikirnya gemas.

Hay Hay dapat mendengar celaan ini. Tiba-tiba dia menghentikan serangannya, menoleh pada Pek Eng sambil menyeringai. "Adik yang manis, memang dia ini tolol sekali, bukan? Engkau benar sekali, dia memang seorang pendeta Lama yang sangat tolol, dan karena ketololannya, dia akan kubikin roboh sekarang!"

Jika saja tidak teringat bahwa kemungkinan besar pemuda itu adalah kakak kandungnya, dan karena di sana terdapat banyak orang, tentu Pek Eng akan terang-terangan memaki dan mencela pemuda itu. Dia mendongkol bukan kepalang, dan terpaksa menelan semua kegemasan hatinya ketika pemuda itu sudah membalik kembali dan menghadapi pendeta Lama yang kurus itu.

"Nah, sekarang robohlah kau!" Hay Hay membentak.

Bentakannya yang penuh keyakinan ini memancing suara ketawa dari banyak orang. Kini Hay Hay yang menjadi bahan tertawaan karena pemuda itu nampak demikian tolol. Jelas bahwa pemuda itu tidak becus apa-apa, bersilat satu jurus pun tidak becus, akan tetapi lagaknya demikian hebat, memastikan bahwa pendeta Lama yang lihai itu roboh!

Diiringi suara tawa riuh rendah, sekarang Hay Hay meloncat. Gerakannya bukan gerakan silat, melainkan gerakan katak melompat ke depan, ke arah lawannya, dengan kedua kaki dan tangan bergerak-gerak di udara ketika meloncat, seperti seorang anak kecil mencoba untuk melompati sebuah got. Kedua tangannya dengan jari-jari terbuka menusuk ke arah muka pendeta itu, dan kedua kakinya bergerak ke depan dengan liar dan ngawur. Semua orang semakin geli melihat loncatan katak itu dan suara ketawa makin riuh.

Tiba-tiba saja suara ketawa itu terhenti dan tubuh pendeta Lama itu jatuh berlutut! Seperti seekor jangkerik mengerik kini terpijak, suara ketawa itu seperti dicekik dan semua orang memandang dengan mata terbelalak, tidak percaya akan apa yang disaksikannya.

Lebih terkejut dan terheran lagi adalah pendeta lama kurus pucat itu. Tadi ketika pemuda itu membuat loncatan katak, tentu saja dia menjadi geli dan memandang rendah. Ketika kedua tangan pemuda itu menusuk dengan jari-jarinya ke arah kedua matanya, barulah dia agak terkejut dan cepat dia miringkan kepala untuk menghindarkan diri dari tusukan jari-jari tangan yang meluncur dengan cepat sekali itu. Saking cepatnya tusukan jari-jari itu ke arah matanya, pendeta Lama ini terkejut dan hanya memperhatikan serangan ke arah matanya itu.

Tiba-tiba saja kedua lututnya dicium ujung sepatu kedua kaki Hay Hay dan karena yang tertotok ujung sepatu itu adalah sambungan lutut, maka seketika tubuh pendeta itu tidak dapat bertahan untuk berdiri lagi. Kedua lututnya seketika lemas dan lumpuh, lalu dia pun jatuh berlutut!

"Nah, engkau sudah roboh, berarti engkau sudah kalah!" kata Hay Hay sambil tersenyum-senyum memandang ke empat penjuru.

Sekarang barulah suara sorak sorai dan tepuk tangan meledak. Semua orang bergembira melihat betapa tanpa disangka-sangka, pemuda itu sudah berhasil mengalahkan seorang di antara tiga pendeta Lama yang lihai itu. Biar pun mereka sendiri tidak tahu bagaimana mungkin pendeta itu roboh berlutut, dan walau pun sebagian besar di antara mereka, juga termasuk keluarga Pek, menyangka bahwa kejadian itu hanyalah kebetulan saja, namun mereka semua gembira bahwa seorang di antara para Lama itu telah roboh dan kalah!

Kalau saja yang sedang dihadapinya bukan Sin-tong, pendeta Lama itu tentu akan marah dan mengamuk, menyerang pemuda itu. Akan tetapi yang dihadapinya adalah Sin-tong, dan kalau diingat, peristiwa tadi membuat bulu tengkuknya meremang.

Tentu para dewa melindungi Sin-tong, pikirnya. Jika tidak begitu, bagaimana mungkin dia sendiri roboh hanya oleh tendangan-tendangan yang tidak berarti, yang secara kebetulan sekali mengenai sambungan kedua lututnya? Agaknya para dewa yang sudah menuntun gerakan-gerakan kacau dan ngawur itu. Kalau menghadapi kekuasaan para dewa, tentu saja dia kalah! Maka dia pun bangkit berdiri, merangkap kedua tangan di depan dada dan berkata dengan suara merendah,

"Pinceng mengaku kalah dan terima kasih atas petunjuk Sin-tong."

"Ha-ha, bagus, engkau tahu diri juga. Nah, siapa orang kedua yang akan mencoba ilmu silatnya!" kata Hay Hay sengaja berlagak dan senyumnya melebar ketika dia mengerling dan melihat betapa Pek Eng merengut dan mengerutkan alisnya.

Kemenangannya tadi agaknya membuat gadis itu tak merasa puas dan hal ini menambah kegembiraan di hati Hay Hay. Memang dia hendak mempermainkan tiga orang pendeta Lama ini, juga ingin menggoda semua orang, terutama gadis manis berlesung pipit yang amat menarik hatinya itu.

Dua orang pendeta Lama lainnya mengerutkan alis dan secara diam-diam menyesal atas kesembronoan teman mereka. Mereka berdua merasa yakin bahwa tidak mungkin teman mereka itu kalah dan dirobohkankan oleh Sin-tong, melihat betapa Sin-tong tidak pandai ilmu silat. Meski pun tendangan yang mengenai kedua lutut itu luar biasa dan aneh sekali, akan tetapi mereka yakin bahwa hal itu tentu terjadi hanya karena suatu kebetulan yang sial belaka. Kini pendeta bermuka bopeng yang melangkah maju lantas menjura kepada Hay Hay.

"Biarlah pinceng yang kini mohon petunjuk Sin-tong. Pinceng akan mengeluarkan semua kebodohan pinceng untuk menyerang Paduka dan mencoba untuk merobohkan Paduka seperti yang Paduka lakukan terhadap teman pinceng tadi."

Secara diam-diam Hay Hay memandang tajam penuh perhatian. Pendeta bermuka buruk ini terlihat cerdik sekali, dan dia tahu bahwa tentu kata-katanya bukan sekedar basa-basi, melainkan merupakan ancaman yang akan dipenuhi.....

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar