Pendekar Mata Keranjang Jilid 20

Ketika datang bersama kakek buyutnya, dia hanya seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun yang belum tahu apa-apa, hanya memiliki dasar-dasar ilmu silat yang diajarkan oleh kakek buyutnya. Sekarang dia sudah menjadi seorang pemuda dewasa. Bukan saja luas pengetahuannya karena dia tekun sekali mempelajari sastera dari kitab-kitab yang banyak terdapat di kuil itu, akan tetapi juga dia sudah digembleng secara tekun selama delapan tahun ini oleh suami isteri sakti Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu.

Selain telah melatih diri dengan tiga belas jurus Pek-sim-kun yang merupakan inti sari dari ilmu silat perkumpulan Pek-sim-pang, juga dia sudah digembleng oleh Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu yang memiliki bermacam-macam ilmu silat. Ilmu yang baru didapatkan oleh dua orang itu, yaitu ilmu Kwan-im Kiam-sut dan Kwan-im Sin-kun sudah dipelajarinya dengan baik sekali.

Selain semua ilmu silat itu, dari subo-nya Toan Hui Cu, Han Siong juga telah mempelajari ilmu Hoat-sut atau sihir yang mempergunakan kekuatan hitam untuk menundukkan lawan! Hal ini sama sekali tidak aneh karena Toan Hui Cu adalah puteri dari Raja dan Ratu Iblis yang selain tinggi sekali ilmu silatnya, juga merupakan datuk-datuk sesat.

Han Siong melakukan perjalanan cepat, menuju ke Secuan karena lebih dahulu dia akan mencari keluarganya sambil mendengarkan kalau-kalau ada petunjuk jejak Bi Lian. Musim salju telah tiba dan di mana-mana hawanya dingin bukan main. Pohon-pohon yang sudah kehilangan daun-daunnya pada musim rontok, kini terhias salju seperti kapas putih bersih, membuat pohon-pohon itu nampak seperti hiasan-hiasan yang indah.

Han Siong sedang berjalan seorang diri melalui jalan yang tertutup salju. Hujan salju baru saja berhenti dan biar pun cuaca nampak sudah terang, tetapi dinginnya bukan kepalang. Han Siong mengenakan jubah yang cukup tebal, tapi ini pun masih harus dibantu dengan pengerahan sinkang yang membuat tubuhnya terasa hangat. Uap putih agak tebal terlihat keluar dari hidung dan mulutnya setiap kali dia menghembuskan napas.

Sekarang pemuda ini sudah menjadi seorang lelaki dewasa yang tampan. Wajahnya yang berbentuk bulat itu memiliki kulit muka yang putih dan sepasang pipinya membayangkan warna kemerahan yang sehat. Demikian pula bibirnya nampak merah tanda sehat.

Alisnya lebat dan hitam, sepasang matanya yang agak sipit itu bersinar terang dan tajam lembut. Tubuhnya sedang dan tegap, kaki tangannya juga padat dan nampak kuat karena semenjak kecil Han Siong melakukan segala macam pekerjaan yang kasar di dalam kuil, seperti menebang pohon, membelah kayu dan memikul air. Gerak-geriknya halus, dengan wajah yang anggun dan pandang mata bersinar.

Han Siong adalah seorang pemuda yang amat sederhana. Pakaian yang menempel pada tubuhnya adalah pakaian yang diterimanya dari pemberian Ceng Hok Hwesio, terbuat dari kain kasar berwarna putih dan kuning. Jubah tebal itu terbuat dari kapas, akan tetapi juga kasar, seperti yang dipakai oleh para hwesio kuil itu di musim salju. Buntalan pakaiannya hanya terisi beberapa potong pakaian dan juga pedang Kwan-im-kiam pemberian gurunya, dan sedikit uang perak yang berada di dalam buntalannya adalah pemberian Toan Hui Cu.

Hari sudah menjelang senja ketika dia tiba di puncak bukit itu. Sebuah bukit gundul yang hanya ditumbuhi pohon-pohon yang kini sudah menjadi hiasan putih dari salju. Tempat itu nampak lengang dan dinginnya bukan kepalang. Han Siong lalu memandang ke bawah, ke arah timur.

Di lereng itu terdapat sebuah dusun, pikirnya girang. Pada musim salju begini dia harus mendapatkan rumah penduduk atau paling tidak goa atau tempat yang cukup terlindung untuk melewatkan malam. Tidak seperti di musim lain, di mana dia bisa saja melewatkan malam di bawah pohon sambil membuat api unggun. Sangat berbahaya kalau tersesat di tempat yang tidak terlindung dalam musim dingin seperti ini. Orang bisa mati kedinginan.

Ketika Han Siong hendak menuruni bukit itu dengan cepat agar tidak sampai kemalaman tiba di dusun di lereng itu, tiba-tiba dia mendengar suara orang tertawa-tawa. Suara tawa itu parau dan aneh, juga menyeramkan. Di tempat sunyi seperti itu, di mana hawa dingin membuat orang menggigil, bagaimana tiba-tiba saja terdengar suara orang tertawa-tawa?

Han Siong merasa tertarik dan cepat dia menghampiri tempat dari mana datangnya suara itu, yaitu dari balik sebuah batu gunung. Ketika dia tiba di balik batu besar itu, Han Siong berdiri tertegun, bahkan matanya terbelalak memandang ke depan. Penglihatan di depan memang sungguh luar biasa sekali.

Seorang kakek yang sukar ditaksir berapa usianya, berkepala gundul dan berperut gendut sekali sehingga tubuhnya nampak serba bulat, sedang membuat sebuah boneka salju di sana! Hebatnya, kakek yang tertawa-tawa itu bertelanjang dada, hanya memakai celana panjang saja, disambung sepatu rumput.

Dalam hawa yang sedingin itu, bertelanjang badan atas sungguh merupakan hal yang luar biasa sekali. Apa lagi kakek itu masih dapat tertawa-tawa dan bermain-main seorang diri sambil membuat boneka salju, tertawa dan membentuk boneka besar itu, sebesar dirinya, bahkan boneka itu pun menyerupai dirinya, seorang kakek gundul yang perutnya gendut bukan main!

Biar pun Han Siong belum memiliki banyak pengalaman di dunia persilatan, namun ketika melihat keadaan kakek gendut itu, dia dapat menduga bahwa tentu dia bertemu dengan seorang kakek yang amat sakti. Baru keadaannya yang setengah telanjang di antara salju itu saja sudah membuktikan akan kesaktiannya.

Tanpa mempunyai sinkang yang luar biasa kuatnya, tidak mungkin orang dapat bertahan bermain-main dengan salju dalam keadaan tubuh bagian atas telanjang. Dan masih dapat tertawa-tawa pula!

Maka dia pun bermaksud untuk meninggalkan kakek itu, tidak ingin perjalanannya menuju ke dusun di bawah itu terganggu hingga terlambat. Dia sudah memutar tubuh untuk pergi ketika terdengar suara dari belakangnya, suara yang parau dan nyaring.

"Heiiiii! Enak saja kau. Berhenti!"

Tentu saja Han Siong terkejut sekali mendengar teguran yang tidak ramah, bahkan agak kasar ini. Dia tidak mau mencari urusan, maka dia pun langsung membalik, memandang dengan wajah ramah penuh hormat.

"Maaf, saya tak ingin mengganggu keasyikan Locianpwe," Han Siong berkata, menyebut Locianpwe (Orang Tua Perkasa) dan bersikap hormat karena dia yakin bahwa kakek itu adalah seorang yang sakti.

Sejenak kakek itu memandang penuh perhatian dan Han Siong melihat betapa sinar mata yang mencorong itu seakan-akan mendatangkan rasa hangat ketika menyoroti tubuhnya. Diam-diam dia bergidik.

"Orang muda, tanpa diundang engkau datang melihat pekerjaanku, maka kini engkau tak boleh pergi begitu saja tanpa perkenanku!"

Han Siong terkejut sekali, akan tetapi dia menahan sabar. Dia melihat kakek itu kini sudah melanjutkan pekerjaannya membuat boneka besar dari salju itu, agaknya sudah lupa lagi kepadanya karena tidak mempedulikannya sama sekali. Han Siong berdiri saja menonton, tidak tahu harus berbuat apa, akan tetapi merasa lebih aman jika sementara ini dia tutup mulut saja.

Jelas bahwa kakek ini berwatak kasar dan aneh, sehingga siapa tahu dia akan mendapat kesulitan bila dia memaksa diri pergi meninggalkan kakek itu. Maka dia berdiri menonton, merasa betapa kedua kakinya hampir beku karena hawa dingin dari tanah berlapis salju itu seperti menembus sepatunya kemudian meresap masuk ke dalam kedua kaki melalui telapak kakinya. Terpaksa dia mengerahkan sinkang-nya ke arah dua kakinya, memaksa hawa dingin itu supaya turun kembali dan karena pengerahan sinkang ini, maka uap putih mengepul tebal dari kepalanya.

Ada setengah jam Han Siong berdiri menonton. Dia pikir kalau kakek itu sudah selesai membuat boneka salju, tentu dia diperbolehkan pergi. Akan tetapi kakek itu masih terus memperbaiki boneka yang sudah selesai itu, sementara dia merasa betapa cuaca mulai agak gelap. Dia khawatir tidak akan dapat masuk ke dusun itu dalam waktu yang tepat, yaitu sebelum malam tiba.

"Locianpwe, maafkan saya. Saya harus pergi sekarang, khawatir jika sampai kemalaman sebelum tiba di dusun bawah itu."

"Kemalaman atau tidak bukan urusanku. Engkau telah datang dan melihat, sekarang kau katakan bagaimana dengan hasil seni ciptaanku ini, miripkah dengan aku, baguskah?"

Han Siong merasa mendongkol juga. Kakek ini selain kasar, juga mau enaknya sendiri saja, tak mau menghormati dan menghargai keperluan orang lain. Dia mengamati boneka salju yang runtuh karena saljunya merekah atau terlepas, untuk menyatakan kedongkolan hatinya, dia lalu menjawab,

"Boneka salju itu tidak dapat dibilang bagus."

Mendengar jawaban ini, kakek gendut itu melotot memandang kepada Han Siong, terlihat marah sekali. "Apa...?!" Dia berteriak. "Engkau tidak dapat menghargai hasil karya seniku yang hebat ini? Sungguh goblok, sungguh tolol, sungguh tidak memiliki selera tinggi! Hasil karya seni yang begini hebat, timbul dari inspirasi murni, kau katakan tidak bagus, hah?"

Melihat orang itu marah-marah, Han Siong terkejut. Dia tidak ingin membuat orang marah, apa lagi kalau sampai terjadi pertengkaran, maka cepat dia berkata.

"Locianpwe, bagaimana pun juga, harus kuakui bahwa boneka salju buatan Locianpwe ini sangat mirip dengan Locianpwe." Dan pujian ini memang bukan kosong belaka. Memang boneka itu mirip sekali penciptanya, baik bentuk badannya, mukanya dan kepalanya.

Akan tetapi betapa kaget hati Han Siong saat dia melihat kakek itu kini menjadi semakin marah, membanting-banting kakinya sambil menudingkan telunjuknya ke arah hidung Han Siong. "Bocah kemarin sore, kau berani menghina kakek-kakek macam aku ya? Dua kali engkau menghinaku. Pertama, engkau tidak menghargai karya seniku yang agung, dan ke dua, engkau samakan aku dengan sebuah boneka salju yang tak bernyawa! Sungguh kurang ajar engkau, ya?"

Hampir saja Han Siong tertawa. Kakek ini memang aneh dan mau enaknya sendiri, akan tetapi kemarahannya itu disebabkan oleh hal-hal yang aneh dan tidak masuk akal, seperti anak kecil saja. Maka timbullah kegembiraannya dalam usahanya hendak menyenangkan hati kakek itu.

Sudah dua kali dia salah omong, walau pun maksudnya baik untuk memuji. Pertama kali dia bicara sejujurnya tetapi diterima salah, kemudian untuk kedua kalinya dia bicara untuk menyenangkan hati dan memuji namun diterima salah pula. Dia lalu mengerahkan tenaga batinnya seperti yang sudah diajarkan oleh subo-nya, menunjuk ke arah boneka salju dan dengan suara yang halus tetapi mengandung wibawa untuk menguasai pikiran orang, dia berkata,

"Locianpwe, siapa bilang boneka salju itu tidak bernyawa? Lihat, dia pandai berjalan!"

Kakek itu segera menengok memandang dan benar saja, dia melihat betapa boneka salju buatannya tadi kini berjalan-jalan, dengan langkah satu-satu, lucu sekali! Han Siong telah menggunakan kekuatan sihirnya seperti yang telah dipelajarinya dari subo-nya, membuat boneka salju itu berjalan-jalan dalam pandang mata kakek yang kasar dan galak itu.

Kakek itu terbelalak, lalu sengaja dia berjalan di belakang boneka itu sambil tertawa-tawa ha-ha he-he sehingga nampak pemandangan yang lucu sekali. Sepasang kakek kembar, yang satu dari salju, yang satu manusia tulen, berbaris ke kanan-kiri hilir-mudik. Lucunya, kakek gendut bahkan kini memberi aba-aba.

"Satu, dua, tu-wa, tu-wa...!"

Melihat ini Han Siong merasa geli sekaligus juga kasihan, maka dia tersenyum lebar dan menghentikan ilmu sihirnya. Akan tetapi kini dia terbelalak dan mukanya berubah karena dia terkejut bukan main dan merasa terheran-heran sekali. Boneka salju itu tidak berhenti melangkah, melainkan masih terus melangkah dan kakek gendut itu masih mengikuti di belakangnya sambil berseru,

"Tu-wa, tu-wa, tu-wa…!" sambil tertawa-tawa!

Tentu saja Han Siong merasa amat terkejut dan heran. Boneka salju itu tadi bisa berjalan karena pengaruh sihirnya. Akan tetapi mengapa boneka salju itu masih berjalan terus biar pun dia telah menghentikan pengerahan tenaga sihirnya? Dia terbelalak memandang!

Akan tetapi kakek gendut itu tetap tertawa bergelak, bahkan kini mengeluarkan kata-kata parau. "Ha-ha-ha-ha! Boneka salju ini dapat berjalan, bukan hanya berjalan bahkan dapat pula menyerang dan bermain-main dengan orang muda yang lancang, ha-ha-ha!"

Kini dengan langkah-langkah lebar boneka salju itu berjalan menghampiri Han Siong, lalu menyerang Han Siong dengan gerakan yang cepat dan kuat sekali! Hal ini tentu saja amat mengejutkan pemuda itu, maka cepat dia mengelak dengan sebuah loncatan ke samping lalu kakinya melayang, menendang ke arah perut boneka salju itu dengan cepat.

"Prokkk...!" Boneka salju itu hancur berhamburan.

Han Siong melompat ke belakang, masih terheran-heran mengapa boneka salju yang tadi disihirnya sehingga dapat berjalan itu, tahu-tahu dapat mengamuk sesudah pengaruh sihir itu dia lenyapkan. Akan tetapi Han Siong seorang pemuda yang amat cerdik.

Dia sudah dapat menduga bahwa tentu kakek gendut itulah yang main-main dengan dia. Tentu kakek itulah yang telah mempergunakan kekuatan sihir yang lebih ampuh dari pada kekuatannya sendiri untuk melanjutkan permainan itu, sekaligus untuk mengejek dirinya. Pantas kakek itu tadi mengatakan bahwa dia lancang!

Kakek gendut itu sekarang terbelalak, marah melihat betapa boneka kesayangannya yang dinamakannya sendiri sebagai hasil karya seni agung itu dirusak orang. Sambil bertolak pinggang dan menggembungkan perutnya yang sudah gendut, dia berteriak.

"Orang muda yang jahat! Engkau berani merusak boneka saljuku?!"

"Maaf, Locianpwe..."

"Apa maaf?! Tidak ada maaf bagimu! Engkau tadi telah menyamakan aku dengan boneka salju, malah engkau telah mencela pula dan mengatakan buatanku, hasil karya seni yang agung itu tidak bagus. Engkau harus dihajar!"

"Maaf, saya tidak sengaja untuk membikin Locianpwe marah."

"Sengaja atau tidak, aku sudah terlanjur marah sekarang. Nah, kau lihat seranganku. Aku harus membalas dendam atas kehancuran boneka salju." Berkata demikian, tiba-tiba saja tubuh yang gendut itu menerjang ke depan, seperti sebuah bola besar menggelinding dan tahu-tahu dua buah lengan yang besar pendek sudah menyerang dari atas bawah, kanan kiri. Serangan kedua tangan itu mendatangkan angin pukulan berdesir yang mengandung hawa panas!

Dengan gerakan yang halus akan tetapi cepat, Han Siong sudah cepat mengelak dengan menggeser kakinya lantas meloncat ke kiri. Pukulan kedua tangan itu meluncur lewat dan ketika hawa pukulan yang ganas itu menyambar dan mengenai salju yang menempel di batang pohon, salju itu pun mencair dan nampaklah kulit batang yang kehitaman!

Secara diam-diam Han Siong terkejut bukan main. Itulah pukulan yang amat ampuh, yang mengandung tenaga sinkang yang luar biasa. Maka dia pun cepat mainkan Pek-sim-kun yang dipelajarinya dari catatan kakek buyutnya. Tiga belas jurus Pek-sim-kun ini adalah hasil perasan dari Ilmu Silat Pek-sim-kun, merupakan intinya, karena itu hebatnya bukan kepalang.

Begitu melihat gerakan Han Siong yang dilakukan secara mantap, cepat dan mengandung sinkang yang kuat, kakek gendut itu mengimbanginya dengan elakan dan tangkisan yang kuat pula, bahkan segera membalas dengan pukulan-pukulan yang gayanya mirip dengan Pek-sim-kun. Tahulah Han Siong bahwa kakek ini pandai pula dengan ilmu silat Siauw-lim-pai, maka dia kemudian bersilat dengan hati-hati dan berganti-ganti memainkan jurus Pek-sim-kun yang jumlahnya tiga belas itu.

"Wuuuuutttt...!"

Angin pukulan yang sangat keras menyambar ketika Han Siong mencondongkan tubuh ke depan, lengan kanannya menyambar dari samping dengan dahsyatnya, meninju ke arah pelipis lawan sedangkan tangan kirinya membuat gerakan berputar di depan dada, lantas meluncur ke bawah sebagai serangan susulan dan menghantam dengan telapak tangan terbuka ke arah pusar.

Hebat sekali jurus tangan terbuka dari Pek-sim-kun ini. Kakek gendut menyambut jurus ini dengan sebuah tangkisan sambil mengeluarkan seruan kagum.

"Dukkk! Desss...!"

Benturan dua tenaga dahsyat membuat bumi di bawah mereka seolah-olah tergetar dan akibatnya, kakek gendut ini melangkah mundur tiga tindak, sedangkan Han Siong sedikit terhuyung saking hebatnya tenaga lawan yang menangkisnya.

"Ha-ha-ha, ilmu silatmu hebat, berdasarkan ilmu Siauw-lim-pai. Sungguh engkau seorang pemuda yang amat mengagumkan, akan tetapi juga menjengkelkan karena engkau telah mengganggu aku!"

Kini Han Siong sudah merasa yakin bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek sakti, maka kesempatan bicara ini dia gunakan untuk berkata. "Harap Locianpwe memaafkan kelancangan saya tadi..."

"Enak saja, tidak ada maaf-maafan! Hayo sambutlah seranganku ini!" kata kakek itu yang agaknya timbul kegembiraannya karena mendapatkan seorang lawan tangguh. Sekarang tubuhnya telah ‘menggelinding’ lagi ke depan, mengirim serangan yang lebih dahsyat dari pada tadi.

Melihat hal ini, Han Siong mengerutkan alisnya. Agaknya kakek itu bersungguh-sungguh hendak membunuh atau melukainya, sebab itu dia pun terpaksa harus membela diri. Dan karena lawannya bukan orang sembarangan, serangannya sangat berbahaya, maka dia pun cepat mengerahkan semua tenaga dan kini dia mainkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari suhu serta subo-nya selama delapan tahun ini di kuil Siauw-lim-pai, di dalam kamar Penebus Dosa.

Harus diketahui bahwa selain ilmu-ilmu yang cukup bersih yang dahulu diperolehnya dari gurunya, yaitu Ciu-sian Lo-kai, Siangkoan Ci Kang juga memiliki ilmu-ilmu dari ayahnya, seorang datuk sesat yang berjuluk Iblis Buta. Ilmu-ilmu dari ayahnya ini sebagian besar bersifat kotor dan kejam.

Semua ilmu ini oleh Siangkoan Ci Kang diajarkan kepada Han Siong sehingga pemuda ini di samping menerima ilmu yang bersih, juga menerima ilmu silat yang sifatnya kotor dan curang, seperti biasa sifat ilmu-ilmu berkelahi dari golongan sesat. Apa lagi dari subo-nya, dia juga memperoleh ilmu-ilmu kesaktian yang ganas sekali mengingat bahwa subo-nya adalah anak tunggal dari mendiang Raja dan Ratu Iblis.

Maka ketika sekarang dia mengeluarkan ilmu-ilmunya ini, kakek gendut itu beberapa kali mengeluarkan seruan kaget dan heran.

"Ihh, ganas, keji...! Ilmu setan! Ilmu iblis!" Berkali-kali kakek itu berseru penasaran sambil mengelak atau menangkis.

Mendengar seruan-seruan ini, akhirnya Han Siong merasa malu juga. Dia sudah pernah mendapat penjelasan dari suhu dan subo-nya mengenai sifat ilmu-ilmu yang dipelajarinya. Bahkan suhu-nya berkata antara lain demikian,

"Baik buruk atau baik jahatnya suatu ilmu tergantung dari pada penggunaannya, muridku, tergantung dari pada manusianya yang menggunakan ilmu itu. Akan tetapi harus diketahui bahwa dalam ilmu silat, memang terdapat ilmu-ilmu yang sifatnya memang jahat, kejam, curang dan licik. Ilmu-ilmu silat semacam itu digunakan oleh kaum atau golongan sesat. Karena kami berdua memiliki lebih banyak ilmu silat kaum sesat itu, maka kami ajarkan keduanya kepadamu dengan harapan supaya engkau paham benar bahwa yang penting adalah penggunaannya. Gunakanlah ilmu-ilmu yang baik untuk membela kebenaran dan keadilan, sedangkan ilmu silat yang sesat itu bisa kau gunakan untuk menghadapi lawan dari golongan sesat atau untuk memperoleh kemenangan dalam suatu perkelahian. Akan tetapi jangan sekali-kali dipergunakan untuk kejahatan, sebab betapa pun bersihnya suatu ilmu, kalau dipergunakan untuk kejahatan, ilmu itu pun menjadi ilmu kotor."

Kini, sesudah teringat akan pesan gurunya, Han Siong merasa malu. Kakek yang menjadi lawannya ini memang orang aneh yang memaksanya bertanding, akan tetapi dia belum mengenalnya, belum tahu kakek ini dari golongan mana. Maka amat memalukan jika dia harus mengeluarkan ilmu-ilmu yang bersifat curang dan kejam itu.

Dia pun langsung merubah gerakannya dan kini Han Siong bersilat dengan gerakan yang lemah lembut, halus laksana orang menari, akan tetapi di balik kehalusan itu tersembunyi kekuatan yang dahsyat. Itulah Ilmu Silat Kwan-im-kun!

Kakek gendut itu mengeluarkan seruan terkejut dan heran ketika Han Siong pertama kali memainkan jurus Ilmu Silat Kwan-im-kun. Dia selalu mengelak dengan loncatan-loncatan ke kanan kiri dan sesudah dia yakin benar akan ilmu silat pemuda itu, tiba-tiba tubuhnya meloncat jauh ke belakang.

"Heiii, tadi engkau mainkan ilmu silat dari Kwan Im Nio-nio! Dia itu apamukah?" tanyanya dengan mata terbelalak.

Mendengar nama ini, Han Siong menjawab terus terang, "Saya tidak mengenal Kwan Im Nio-nio, Locianpwe."

"Mustahil! Jangan bohong kau! Engkau memainkan ilmu silatnya dan engkau mengatakan tidak mengenal pemiliknya? Kalau begitu, tentu engkau mencuri ilmunya itu!"

"Saya mempelajarinya dari Suhu dan Subo."

"Siapa nama Suhu dan Subo-mu? Apakah mereka itu murid Kwan Im Nio-nio? Rasanya tidak mungkin. Perempuan angkuh itu tidak pernah mau mempunyai murid, katanya ingin membawa mati semua ilmunya."

"Bukan, Locianpwe. Suhu bernama Siangkoan Ci Kang dan Subo bernama Toan Hui Cu, dan mereka secara kebetulan saja menemukan kitab-kitab ilmu yang saya mainkan tadi."

"Di mana kitab itu ditemukan? Dan apakah Kwan Im Nio-nio masih hidup? Hayo ceritakan semua, orang muda." Kini kakek itu bersikap ramah. Dia lantas duduk begitu saja di atas tanah yang tertutup salju, wajahnya seperti seorang anak kecil yang siap mendengarkan dongeng yang menarik.

Melihat ini, legalah hati Han Siong. Agaknya kakek aneh ini sudah tidak memusuhinya lagi, karena itu dia pun lalu duduk di atas sebuah batu karena dia tidak ingin membiarkan celananya basah seperti kakek itu. Dia kemudian menceritakan tentang pengalaman suhu dan subo-nya menemukan kitab-kitab serta pedang seperti yang diceritakan oleh mereka kepadanya.

Secara kebetulan dan tidak disengaja, pada waktu Siangkoan Ci Kang memeriksa kamar di mana dia harus menjalani hukuman, dia menemukan kitab-kitab yang ada gambarnya Kwan Im Pouwsat. Bersama Toan Hui Cu dia lalu mempelajari dua buah kitab itu yang kemudian mereka namakan Kwan-im-kun dan Kwan-im Kiam-sut sesuai dengan gambar-gambar Kwan Im Pouwsat yang menghias sampul-sampul dua buah kitab itu.

Beberapa tahun kemudian giliran Toan Hui Cu yang menemukan lubang rahasia di kamar dia menjalani hukumannya. Ketika dia membongkarnya, lubang di lantai itu menembus ke sebuah kamar di bawah tanah dan di sana dia menemukan rangka manusia yang masih mengenakan pakaian seperti pakaian Kwan Im Pouwsat, dan di atas pangkuan kerangka manusia itu dia menemukan sebatang pedang tipis pendek.

Itulah pedang yang mereka namakan pedang Kwan-im-kiam. Kemudian mereka berikan pedang itu kepada Han Siong sebagai tanda ikatan jodoh antara murid mereka itu dengan puteri mereka yang hilang diculik orang.

"Demikianlah, Locianpwe. Saya mewarisi kedua ilmu itu berikut pedangnya dari Suhu dan Subo yang menemukan semua itu di dalam kamar-kamar mereka di kuil Siauw-lim-si." Han Siong mengakhiri ceritanya, tentu saja tanpa menyebut tentang ikatan jodoh itu.

Kakek gendut itu tiba-tiba menangis! Tentu saja Han Siong menjadi bengong. Dia segera mengamati dengan penuh perhatian, mengira bahwa kakek sakti ini tentu seorang yang sudah miring otaknya, atau memiliki watak yang demikian anehnya sehingga mendekati gila.

Kakek yang duduk di atas tanah bersalju itu menangis dengan kedua punggung tangan menghapus air mata, pundaknya bergoyang-goyang, perutnya yang gendut itu bergerak-gerak, persis seperti seorang anak kecil, dari mulutnya keluar suara tangisan yang parau. Diam-diam keadaan ini menimbulkan keharuan di dalam hati Han Siong. Kakek itu patut dikasihani, pikirnya.

"Aihhh, perempuan memang aneh sekali...!" Kakek itu kini berhenti menangis dan seperti bicara kepada diri sendiri. "Kwan Im Nio-nio, nenek tua bangka, kenapa engkau menyiksa dirimu sampai begitu rupa? Hemm, aku mengerti, agaknya engkau hendak menghabiskan sisa umurmu untuk menebus dosa di dalam kuil, membawa ilmumu bersama pedangmu mengubur diri di dalam kuil. Namun ternyata ada orang-orang yang berjodoh denganmu sehingga mewarisi pedang dan ilmu-ilmumu."

Kembali dia terisak. Han Siong membiarkan saja kakek itu menangis sampai akhirnya dia berhenti menangis, memandang kepadanya dengan mata merah.

"Orang muda, siapakah namamu?"

"Nama saya Pek Han Siong, Locianpwe."

Kakek itu terbelalak dan memandang tajam. "Engkau she Pek? Kalau begitu limu silatmu yang pertama tadi adalah ilmu silat dari Pek-sim-pang? Apakah engkau masih memiliki hubungan dengan para ketua-ketua Pek-sim-pang?"

"Saya adalah keturunan Ketua Pek-sim-pang."

'Ehhh...?" Tiba-tiba kakek itu menggerakkan kedua tangannya ke depan dada, membuat gerakan-gerakan aneh dengan kedua tangannya sehingga Han Siong mengikuti gerakan-gerakan itu dengan heran. "Jangan bergerak!" kakek itu membentak dan tubuhnya sudah menerjang ke depan.

Han Siong terkejut sekali ketika hendak mengelak, karena tiba-tiba tubuhnya tidak dapat digerakkan! Dia segera sadar bahwa kakek itu sudah menggunakan kekuatan sihir ketika berteriak melarang dia bergerak tadi. Dia langsung mengerahkan kekuatan batinnya untuk melawan, akan tetapi ketika akhirnya dia mampu bergerak, baju di punggungnya sudah dirobek oleh kakek itu.

"Aihh, benar...!" Kakek itu berteriak kaget. "Ada tanda merah di punggungmu dan engkau keturunan ketua Pek-sim-pang." Tiba-tiba saja kakek gendut itu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Han Siong!

Tentu saja Han Siong terkejut bukan main. "Locianpwe... harap... harap jangan melakukan ini...!" serunya.

"Paduka adalah Sin-tong yang telah lama menggegerkan seluruh daerah barat, karena itu sudah sepatutnya kalau saya menghormati paduka dan sudah sepatutnya pula jika saya menyerahkan seluruh kepandaian yang ada kepada paduka..."

Celaka, pikir Han Siong. Kakek ini benar-benar sinting!

"Locianpwe, bangkitlah dan mari kita bicara dengan baik-baik..."

"Tidak, sampai mati pun saya tidak akan bangkit lagi sebelum paduka menyatakan mau menerima ilmu-ilmu yang akan saya ajarkan kepada paduka."

Gila, pikir Han Siong. Ini namanya dunia dan aturannya sudah terbalik semua. Biasanya seorang calon murid yang memohon sambil berlutut supaya diterima menjadi murid. Akan tetapi sekarang kakek yang sinting ini bahkan berlutut dan memohon kepadanya supaya suka menerima ilmu-ilmu yang akan diajarkan oleh kakek itu kepadanya! Akan tetapi apa salahnya? Kakek ini sakti, dan agaknya mengenal baik pemilik kitab-kitab Kwan-im-kun yang namanya Kwan Im Nio-nio itu.

"Baik, Locianpwe, saya suka mempelajari ilmu-ilmu dari Locianpwe, tapi ada syaratnya."

"Silakan sebutkan apa syarat itu. Berbahagialah saya apa bila dapat memberi bimbingan kepada Sin-tong!" kakek itu bicara dengan suara yang gembira bukan main!

"Syaratnya ada dua. Pertama, saya hanya akan belajar selama satu tahun saja kepada Locianpwe karena banyak urusan yang harus saya selesaikan. Ke dua, Locianpwe harap bersikap biasa saja seperti layaknya seorang guru terhadap muridnya, jangan menyebut Sin-tong kepada saya, melainkan menyebut nama saya saja, dan saya akan menyebut Suhu kepada Locianpwe. Bagaimana?"

Kakek itu menarik napas panjang. "Sebenarnya syarat ke dua itu amat berat, akan tetapi baiklah, Han Siong." Kakek itu bangkit berdiri dan kini Han Siong yang cepat berlutut dan memberi hormat sambil menyebut, "Suhu…!".

"Mari kita duduk dan bicara. Aku ingin sekali mendengar tentang dirimu, Han Siong. Ahh, betapa banyak sudah aku mendengar tentang dirimu yang dijadikan rebutan oleh semua orang gagah di dunia barat. Selama ini, di mana saja engkau bersembunyi?"

Karena dia sudah mengangkat kakek itu menjadi gurunya, maka Han Siong pun tak mau merahasiakan keadaan dirinya lagi. Dia lalu menceritakan betapa sejak bayi dia dirawat oleh kakek buyutnya yang bernama Pek Khun, yang mengajaknya bertapa di Pegunungan Kun-lun-san, kemudian betapa oleh kakek buyutnya dia lalu dikirim ke kuil Siauw-lim-pai di Pegunungan Heng-tuan-san dan menjadi kacung di kuil sana.

"Di kuil itulah teecu (murid) bertemu dengan Suhu Siangkoan Ci Kang dan Subo Toan Hui Cu, menerima pelajaran ilmu-ilmu silat di samping teecu juga tekun mempelajari ilmu-ilmu kebudayaan dari kitab-kitab yang terdapat di dalam kuil, di bawah bimbingan para hwesio di sana. Setelah tamat belajar, barulah Suhu dan Subo menyuruh teecu untuk keluar dari kuil dan mencari keluarga teecu, yaitu keluarga Pek di Kong-goan."

Kakek itu mengangguk-angguk. "Agaknya Subo serta Suhu-mu itu orang-orang yang baik dan juga cerdas sekali. Akan tetapi bagaimana engkau bisa mempelajari ilmu sihir seperti yang kau pergunakan untuk menghidupkan boneka saljuku tadi?"

"Teecu mempelajarinya sedikit dari Subo. Ketika Subo menjalani hukuman di kuil Siauw-lim-si, dia juga banyak membaca kitab-kitab dan dia menemukan kitab yang mengatakan bahwa di dalam diri setiap orang terdapat kekuatan gaib yang tersembunyi. Subo sendiri adalah keturunan orang-orang sakti yang diam-diam mempunyai kekuatan gaib yang kuat sekali. Mulailah Subo melatih diri membangkitkan kekuatan gaibnya, lantas dia pun mulai mempelajari ilmu sihir di dalam Kamar Penebusan Dosa itu dan dari Subo teecu belajar sedikit ilmu sihir yang tidak ada artinya dibandingkan dengan ilmu sihir dari Suhu sendiri."

"Hemm, Subo-mu itu she Toan, ya? Sepertinya aku pernah mendengar akan kehebatan orang-orang dari keluarga Toan, kalau tak salah keluarga pangeran..."

"Tidak salah, Suhu. Subo Toan Hui Cu adalah puteri mendiang Pangeran Toan Jit Ong yang berjuluk Raja Iblis..."

"Ya Tuhan...! Benar, Raja dan Ratu Iblis...!" Kakek itu terbelalak dan mengangkat kedua tangan ke atas saking kagetnya. "Pantas saja ilmu silatmu bermacam ragam dan banyak pula yang merupakan ilmu yang sesat! Untung Suhu dan Subo-mu itu menemukan ilmu peninggalan Kwan Im Nio-nio dan diajarkan kepadamu, dan untung pula engkau bertemu dengan aku. Ketahuilah, Han Siong. Kwan Im Nio-nio dan aku adalah dua orang di antara orang-orang yang dijuluki Delapan Dewa."

Han Siong memandang kagum, akan tetapi terus terang menjawab, "Di dalam kuil Suhu dan Subo banyak bercerita kepada teecu mengenai tokoh-tokoh di dunia persilatan, akan tetapi terus terang saja, teecu belum pernah mendengar akan nama Delapan Dewa."

Kakek itu menarik napas panjang. "Salah kami sendiri. Puluhan tahun yang lampau kami pernah memperoleh nama besar dan disegani oleh seluruh golongan di dunia persilatan. Akan tetapi pada suatu hari kami bertemu dan bentrok dengan Raja dan Ratu Iblis. Kami mengadu ilmu melawan mereka dengan perjanjian bahwa siapa yang kalah harus pergi bertapa dan tidak boleh lagi muncul di dunia persilatan. Dan kami kalah! Kami memegang janji. Masing-masing pergi bertapa dan memperdalam ilmu silat. Setelah kami mendapat ilmu-ilmu yang tinggi, ternyata Raja dan Ratu Iblis sudah tewas di tangan para pendekar muda. Demikianlah, kami telah terlanjur suka bertapa sehingga tidak muncul lagi di dunia persilatan."

Han Siong mendengarkan dengan kagum. Mereka tentulah orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan sehingga mereka setia terhadap janji sendiri sampai rela menderita dan mengasingkan diri.

"Siapakah tokoh lain dari Delapan Dewa kecuali Suhu dan Locianpwe Kwan Im Nio-nio?" tanyanya.

Kakek gendut itu menarik napas panjang. "Nama Delapan Dewa yang tadinya gemilang itu telah menjadi muram, bahkan tenggelam dan lenyap sesudah kami ditaklukkan oleh Raja dan Ratu Iblis. Kami cerai berai, pergi bertapa dan tidak saling berhubungan lagi sampai puluhan tahun. Di antara kami yang delapan orang, hanya terdapat dua orang wanitanya, yaitu Kwan Im Nio-nio dan In Liong Nio. Yang enam orang sisanya adalah pria semua, susunannya seperti ini. Aku sendiri disebut orang Ban Hok Lojin atau juga diejek dengan sebutan Ji-lai-hud, kemudian Ciu-sian Lo-kai atau Ciu-sian Sin-kai, Go-bi San-jin yang kabarnya sekarang sudah masuk menjadi pendeta Lama berjuluk See-thian Lama, lalu Wu-yi Lo-jin, Siang-kiang Lo-jin, dan Sian-eng-cu The Kok. Nah, itulah nama-nama Delapan Dewa yang sudah lama meninggalkan dunia ramai. Akan tetapi selama ini aku tidak pernah bertemu atau berhubungan dengan mereka, hanya kabarnya empat di antara kami, yaitu Go-bi San-jin, Ciu-sian Sin-kai, Wu-yi Lo-jin, dan Siang-kiang Lo-jin, ikut pula membantu pada saat para pendekar muda yang menjadi murid-murid mereka membasmi Raja dan Ratu Iblis bersama gerombolannya. Sekarang aku tidak tahu di mana mereka, masih hidup ataukah sudah mati semua seperti Kwan Im Nio-nio." Kembali kakek gendut itu menarik napas panjang, akan tetapi kini wajahnya sudah cerah kembali dan senyum menghias mulutnya.

Kini Han Siong menjadi semakin kagum Ternyata kakek yang menjadi gurunya ini adalah seorang sakti dan dia pun girang bukan main. "Semoga dalam waktu setahun teecu akan menerima petunjuk-petunjuk yang berharga dari Suhu."

"Ilmu silatmu sudah tinggi tingkatnya, Han Siong. Bila mana engkau sudah menguasainya dengan sempurna, agaknya aku sendiri pun tidak akan menang darimu. Sayang engkau terlampau banyak mempelajari ilmu-ilmu sesat, untuk itu aku akan mengajarkan ilmu silat Pek-hong Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih) kepadamu. Juga ilmu sihirmu itu jangan kau pergunakan. Aku akan mengajarmu untuk mempergunakan tenaga batin yang bersih untuk menghadapi segala macam kekuatan ilmu hitam."

"Suhu, apakah perbedaan antara sihir putih dan sihir hitam? Antara kekuatan bersih dan kekuatan kotor?" Han Siong merasa penasaran dan bertanya.

"Sudah kukatakan tadi bahwa bersih dan kotornya suatu ilmu tergantung dari pada watak orang yang mempergunakannya. Akan tetapi yang dinamakan ilmu silat kotor adalah ilmu silat di mana digunakan segala kecurangan, alat-alat rahasia, racun-racun, cara-cara yang penuh tipu muslihat licik. Sebaliknya, ilmu silat bersih adalah ilmu silat yang berdasarkan kekuatan yang terlatih, gerakan-gerakan yang kuat dan cepat, kewaspadaan yang dapat membuat gerakan menjadi tepat, tanpa memakai cara-cara curang untuk mengalahkan lawan. Sedangkan sihir putih adalah penggunaan kekuatan batin yang terhimpun di dalam tubuh, menggunakan kekuasaan dan kekuatan alam dengan dasar iman dan kepercayaan kepada Tuhan dan para dewa. Sebaliknya sihir hitam adalah penggunaan kekuatan yang datang dari setan-setan, roh jahat, dan segala macam kekuatan gaib yang mendorong pemakainya ke arah perbuatan jahat."

Mulai hari itu, kembali Han Siong menerima gemblengan, sekali ini dari seorang di antara Delapan Dewa yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi sekali. Dia belajar dengan sangat tekun, di dalam sebuah goa di puncak bukit yang sunyi…..

********************
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar