Terjadi hal lucu pada gadis pengintai ini ketika Hay Hay tadi memuji para gadis itu satu per satu. Kalau Hay Hay memuji rambut seorang di antara mereka, tak terasa lagi dia pun meraba rambutnya. Jika Hay Hay memuji hidung seorang gadis, dia pun otomatis meraba hidungnya sendiri dan seterusnya. Pada waktu Hay Hay dirubung oleh para gadis itu dan mereka semua tertawa-tawa dengan girang, gadis pengintai itu mengerutkan alisnya dan mengamati mereka dengan pandang mata tajam.
"Hemmm, Si Mata Keranjang!" berkali-kali mulutnya mengeluarkan bisikan mendesis dan pandang matanya terhadap Hay Hay menjadi keras dan semakin tajam.
Para gadis itu sampai lupa waktu ketika mereka bersenda gurau dengan Hay Hay. Semua bekal roti dan dendeng pemuda itu sudah habis mereka makan, dan sekarang Hay Hay menanyakan nama mereka. Seperti sekelompok burung, dengan suara merdu dan gaya masing-masing, mereka lalu memperkenalkan nama mereka.
Pada saat itu pula datanglah belasan orang laki-laki tua muda. Mereka datang dari dusun karena mereka adalah penghuni dusun itu, ada yang menjadi ayah atau kakak dari para gadis yang sedang bersenda gurau dengan Hay Hay. Tadi ada seorang anak kecil melihat betapa gadis-gadis itu merubung seorang pemuda asing dan tertawa-tawa, maka dia pun segera berlari ke dusun dan melaporkan kepada para penduduk. Berkumpullah belasan orang dan mereka kini menuju ke tepi sungai kecil.
"Apa yang kalian lakukan?!" bentak seorang kakek kepada mereka.
Pada waktu itu Hay Hay dan ketujuh orang gadis itu sedang bercakap-cakap dan mereka tertawa-tawa mendengarkan sebuah dongeng yang diceritakan Hay Hay kepada mereka, sebuah dongeng lucu.
Mendengar bentakan itu, terkejutlah tujuh orang gadis itu lantas mereka semua menoleh. Kiranya kepala dusun sendiri yang menegur mereka dan tentu saja mereka menjadi amat ketakutan, cepat mengumpulkan cucian mereka dan mundur menjauhi Hay Hay.
"Tidak-apa-apa, kami hanya bercakap-cakap...," gadis tertua mewakili kawan-kawannya menjawab, memandang dengan lugu karena memang tidak merasa bersalah, akan tetapi takut karena sikap kepala dusun itu seperti orang marah.
"Siapa dia?" Kepala dusun itu menuding ke arah Hay Hay yang telah turun dari batu besar yang didudukinya tadi.
"Dia... Hay-ko dan baru saja kami berkenalan dan..."
"Tidak pantas anak perawan bercengkerama dengan pria yang asing, bersenda gurau tak mengenal sopan santun. Hayo lekas kalian pulang sana!" bentak Kepala Dusun dengan nada marah.
Tujuh orang gadis itu semakin ketakutan. Merekar melempar pandang ke arah Hay Hay dengan tatapan khawatir sekali, takut kalau-kalau pemuda yang menyenangkan itu akan dipukuli orang-orang dusun yang kelihatannya amat marah itu.
"Dia tidak melakukan apa pun yang tidak pantas! Dia tidak bersalah apa-apa...!" teriak gadis bertahi lalat yang masih terhitung keponakan dari kepala dusun.
"Diam kau! Cepat pulanglah kalian, anak-anak tidak tahu malu!" bentak Kepala Dusun dan sekarang tujuh orang gadis itu tak berani membantah lagi, segera berjalan perlahan-lahan meninggalkan tempat itu, akan tetapi mereka menengok dan menengok lagi.
Sementara itu, kini Kepala Dusun bersama belasan orang penduduk dusun menghampiri Hay Hay yang sudah turun dan pemuda itu tersenyum, bahkan lalu menjura dengan sikap hormat.
"Lopek yang baik, harap jangan memarahi adik-adik itu. Mereka tidak melakukan sesuatu yang salah. Kami hanya bercakap-cakap saja sesudah saling berkenalan. Saya bernama Hay Hay dan kebetulan lewat di sini. Melihat mereka selesai mencuci pakaian, saya lalu menawarkan roti dan daging kering. Kami pun makan bersama, bercakap-cakap dan tidak terjadi sesuatu yang tidak baik, Lopek. Kalau memang hal itu dianggap salah, biarlah saya yang bersalah, akan tetapi adik-adik yang baik itu sama sekali tidak bersalah."
Kepala dusun itu bersama yang lain-lain, tertegun melihat sikap pemuda yang hormat dan kata-kata yang halus itu. Mereka saling pandang dan tahulah mereka kini bahwa mereka sedang berhadapan dengan seorang pemuda yang selain tampan dan berpakaian seperti seorang pelajar yang beruang, juga kata-katanya halus dan sopan seperti juga sikapnya. Kepala dusun itu merasa tidak enak kalau harus memperlihatkan sikap keras. Siapa tahu pemuda ini masih berdarah bangsawan atau setidaknya putera seorang berpangkat tinggi di kota!
"Kami tidak menyalahkan siapa-siapa, hanya merasa tidak pantas sekali jika gadis-gadis bercengkerama dengan seorang laki-laki asing di tempat sunyi begini," katanya. "Kongcu siapakah, datang dari mana dan ada keperluan apakah mengunjungi dusun kami ini? Aku adalah kepala dusun di sini, maka berhak untuk mengenal setiap orang tamu asing yang berada di wilayah kami."
Hay Hay tersenyum dan menjura lagi, kini kepada kakek itu. "Ahh, ternyata saya sedang berhadapan dengan Chung-cu (Kepala Kampung). Maafkan jika saya mengganggu, akan tetapi sesungguhnya seperti yang saya katakan tadi, saya hanya kebetulan saja lewat di sini dan saat melihat keindahan pemandangan sekitar tempat ini, saya bermaksud untuk bermalam di dusun. Kebetulan saya berjumpa dan berkenalan dengan gadis-gadis tadi, harap Chung-cu tidak menyangka yang tidak baik. Nama saya Hay Hay dan saya seorang perantau yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap."
Berubah lagi pandangan mereka sesudah mendengar bahwa pemuda itu seorang yang tidak memiliki tempat tinggal tetap. Seorang pemuda dusun itu yang bertubuh tinggi besar dan berwajah galak segera melangkah maju lantas menudingkan telunjuknya. "Tentu saja kami menyangka buruk melihat betapa engkau berani merayu gadis-gadis kami. Sungguh kurang sopan bagi seorang laki-laki yang baru saja datang untuk bersenda gurau dengan gadis-gadis kami!"
Pemuda ini menaruh hati terhadap gadis yang bertahi lalat di dagunya dan sejak tadi dia sudah merasa cemburu dan iri hati sekali terhadap pemuda tampan ini, apa lagi melihat betapa gadis yang dicintanya itu nampak membela Si Pemuda Asing.
Kembali Hay Hay hanya tersenyum menghadapi hardikan ini. "Maaf, sungguh aku tidak mengerti mengapa hanya berbicara dan bersenda gurau secara baik-baik saja dianggap tidak sopan? Kalau aku berbuat tidak sopan, tentu gadis-gadis itu sudah menjadi marah atau melarikan diri. Sebaliknya, mereka suka bersahabat dan makan bersama-sama aku di sini!"
"Karena engkau adalah orang kota yang pandai merayu! Tentu engkau hendak memikat gadis-gadis dusun dengan rayuanmu itu, ya? Lebih baik engkau segera minggat dari sini sebelum aku kehilangan kesabaran dan menghajarmu sampai babak belur!" pemuda itu mengancam dengan hati panas dan dengan kedua tangan terkepal.
Hay Hay tidak menjadi marah. Ia malah tersenyum lebar sambil memandang pemuda itu. "Engkau sungguh mengagumkan, sobat. Karena cintamu kepada salah seorang di antara adik-adik itu, maka engkau menjadi panas hati dan hendak menghajarku."
Pemuda itu terbelalak, mukanya menjadi merah, sementara itu beberapa orang temannya tertawa mendengar ini karena mereka memang sudah tahu bahwa temannya ini jatuh hati kepada gadis bertahi lalat yang nama panggilannya Siauw Lan itu.
"Sudah, tak perlu banyak cakap lagi. Pergilah sekarang juga!" pemuda itu menghardik dan maju semakin dekat, siap untuk memukul.
Hay Hay tetap tenang dan kini dia memandang kepada kepala dusun yang semenjak tadi hanya diam saja menjadi penonton. "Lo-chung-cu, sudah benarkah saya diusir dari dusun ini tanpa dosa? Bagaimana kalau saya pergi kemudian aku mengabarkan perlakuan dan sikap kalian terhadap para tamu yang datang ke dusun ini?"
Kepala Dusun menjadi bimbang. Siapa tahu pemuda tampan itu benar-benar putera atau setidaknya sahabat dari pejabat-pejabat tinggi di kota! Dia pun menengahi lantas menarik lengan pemuda itu agar mundur.
"Sudahlah, selama tidak ada keluhan dan laporan dari anak-anak gadis kami, maka kami habiskan saja perkara ini. Akan tetapi, untuk menjaga supaya tidak terjadi keributan, kami harap agar Kongcu suka pergi dari sini."
"Saya bukan tuan muda, dan harap jangan sebut saya dengan kongcu. Dan saya sudah memutuskan untuk bermalam di tempat ini. Apakah seorang yang melakukan perjalanan dilarang untuk berhenti di sini barang satu dua malam?"
Kepala dusun itu menarik napas panjang. Pemuda ini terlalu tenang dan sikapnya amat ramah dan baik, tak pernah memperlihatkan sikap sombong atau marah. Tidak baik kalau terus bersikap kaku.
"Terserah kepadamu, orang muda. Akan tetapi ketahuilah bahwa di dusun kami tidak ada penginapan dan para penduduk tentu tak akan ada yang suka menerima engkau sebagai tamu. Jika engkau suka bermalam di tempat terbuka seperti di sini, terserah kepadamu."
Sesudah berkata demikian, kepala dusun itu lalu mengajak orang-orangnya untuk pulang ke dusun sebab mereka harus melakukan pekerjaan masing-masing. Pemuda tinggi besar itu masih memandang dengan mata tajam kepada Hay Hay, kemudian, sebelum dia pergi bersama yang lain, dia masih sempat dia mengancam.
"Awas, kalau kau berani mendekati gadis-gadis kami lagi, aku benar-benar akan mencari dan menghajarmu!"
Hay Hay hanya tersenyum dan menggerakkan pundaknya sambil menduga-duga, gadis yang mana dari ketujuh gadis tadi yang dicinta pemuda ini. Kasihan gadis itu, tentu kelak akan menjadi bulan-bulan kemarahan pemuda ini kalau sudah menjadi suaminya karena pemuda ini pencemburu benar.
Karena tidak diperbolehkan bermalam di dalam rumah penduduk di dalam dusun itu, Hay Hay lalu mulai mencari tempat untuk melewatkan malam. Memang daerah sekitar dusun itu indah sekali, tanahnya subur dan dusun itu dikelilingi bukit-bukit yang penuh dengan hutan-hutan yang lebat.
Akhirnya dia menemukan sebuah kuil tua yang sudah rusak dan tidak terpakai lagi, yang letaknya di tepi hutan pada sebuah lereng bukit, hanya beberapa li jauhnya dari dusun itu. Ketika dia berdiri di depan kuil tua itu, nampaklah dusun itu, kelihatan genteng-genteng rumahnya dan teringatlah dia akan ketujuh orang gadis manis tadi dan dia pun tersenyum gembira.
Sebuah dusun yang subur dengan pemandangannya yang indah, dengan gadis-gadisnya yang segar dan manis. Sayang para penghuninya salah paham dan mengira dia hendak berbuat kurang ajar. Kurang ajarkah dia? Tidak sopankah dia? Dia tak mampu menjawab, hanya menggaruk-garuk belakang kepalanya kemudian dia pun mencari tempat yang baik untuk melewatkan malam di dalam kuil itu.
Dia menemukan ruangan dalam yang sangat bersih. Untung, pikirnya, agaknya baru saja ada pelancong yang juga kebetulan lewat dan bermalam di situ, karena ruangan itu bersih dan kelihatan bekas-bekas bahwa ada orang yang membersihkannya, bahkan membuat api unggun di situ. Dengan perasaan lega dia melepaskan buntalan yang dipanggulnya di punggungnya, lalu duduk bersila melepaskan lelah di lantai yang sudah dibersihkan orang lain untuknya itu.
Dia tidak tahu bahwa orang lain yang membersihkan lantai itu untuknya, sekarang sedang mengintai dari jauh sambil mengomel panjang pendek. "Sial dangkalan! Susah-susah aku membersihkan ruangan itu, yang memakai orang lain dan pemuda yang mata keranjang itu lagi!"
Ternyata yang mengomel panjang pendek ini adalah seorang gadis bermata tajam, bukan lain adalah gadis yang tadi melakukan pengintaian pada waktu Hay Hay bersenda gurau dengan tujuh orang gadis dusun.
Dengan perasaan gemas gadis itu lantas berloncatan. Gerakannya demikian ringan dan cepatnya sehingga kalau ada orang yang melihatnya tentu akan tercengang keheranan. Dengan muka merah saking marahnya, gadis itu telah memasuki kuil tanpa mengeluarkan suara dan tahu-tahu dia sudah berada di dalam ruangan di mana Hay Hay masih duduk bersila. Senja telah datang, namun matahari belum kehilangan semua sinarnya sehingga di dalam ruangan kuil rusak itu masih cukup terang.
"Heiii...!" Gadis itu menghardik dengan suara nyaring.
Hay Hay terkejut sekali, membuka kedua matanya dan begitu dia melihat wajah gadis itu, dia pun meloncat bangun dan dengan mata terbelalak dia pun berseru.
"Heiii...!" seruan yang mengejutkan hati gadis itu pula.
"Ada apa kau berteriak seperti orang gila?!" bentaknya.
"Waaah, itu... wajahmu itu..." Gadis itu otomatis membawa kedua tangan ke wajahnya. Apakah pipinya coreng-moreng?
"Rambutmu itu...!" Hay Hay melanjutkan dan kembali Si Gadis meraba kepalanya, takut kalau-kalau rabutnya awut-awutan.
"Matamu...! Hidungmu...! Mulutmu...! Tahi lalat di dagumu! Kulitmu dan bentuk tubuhmu!"
"Heiii! Apakah engkau sudah gila?" teriak gadis itu, merasa dipermainkan.
"Tidak, tidak, siapa yang mempermainkan? Tetapi, engkau tentu bidadari dari kahyangan! Atau siluman! Mengapa begitu cepat engkau mengambil alih setiap keindahan dari tujuh orang gadis dusun tadi? Lihat, wajahmu berbentuk bulat telur, sepasang matamu seperti mata bintang, hidungmu mancung, mulut kecil merah membasah, rambutmu hitam gemuk panjang, kulitmu putih halus, bentuk tubuhmu ramping dan indah. Masih ditambah pula dengan tahi lalat di dagumu! Lengkaplah sudah!"
Bukan main marahnya gadis itu. Dia memang merasa jantungnya berdebar girang akibat pujian-pujian itu, akan tetapi dia dimaki siluman!
"Engkau bilang aku siluman? Engkaukah yang monyet, munyuk, cacing, kecoa, anjing, babi dan tikus!"
Mendengar makian-makian itu nyerocos keluar dari mulut yang manis itu, mata Hay Hay terbelalak dan mengangkat kedua tangan ke atas. "Ampun ya para dewi! Kenapa engkau marah-marah dan memaki-maki aku seperti itu?"
"Huh, apakah kau kira aku akan bersikap seperti perawan-perawan dusun yang menjadi lemah dan takluk menghadapi semua rayuan gombalmu itu? Jangan harap, ya!" Gadis itu mengeluarkan suara dari hidung dengan sikap mengejek dan memandang rendah, tangan kirinya dikibaskan seperti orang mengusir lalat.
Hay Hay terpesona. Selama perjalanannya, sesudah dia menjadi dewasa dan berkenalan dengan banyak wanita, rasanya belum pernah dia berjumpa dengan seorang gadis yang demikian hebat dan kuat daya tariknya! Dan dia tadi tidak sekedar memuji atau merayu.
Gadis itu bertubuh ramping, kulit tubuhnya putih mulus, rambutnya hitam panjang dikuncir dan digelung, dihias dengan perhiasan rambut yang indah. Mukanya bulat telur, hidungnya kecil mancung, matanya tajam seperti bintang, mulutnya kecil berbibir merah membasah, dan di dagunya ada setitik tahi lalat hitam. Semua keistimewaan tujuh orang gadis dusun itu ditemui dalam diri gadis ini!
Dan semua kehebatan ini dimiliki seorang gadis yang luar biasa galaknya! Galak laksana setan, datang-datang memaki-maki dirinya dan dalam pandang mata yang bersinar tajam itu nampak jelas keganasan serta kekerasan hatinya. Melihat pakaiannya yang indah dan caranya bicara, dia dapat menduga bahwa gadis ini bukan seorang gadis dusun.
"Ya ampun...! Apakah kesalahan hamba terhadap paduka maka paduka puteri yang agung menjatuhkan kemarahan yang demikian besarnya terhadap diri hamba?" Hay Hay masih berusaha untuk meredakan kemarahan gadis itu dengan sikapnya yang terlampau hormat dan lucu.
Akan tetapi gadis itu agaknya sama sekali tidak tertarik dengan sikap Hay Hay dan tidak mau melayani kelakarnya. "Laki-Iaki mata keranjang! Akulah yang membersihkan ruangan ini, dan engkau yang baru datang mau enak-enak saja memakainya? Hayo segera pergi tinggalkan tempat istirahatku ini!"
"Ampun, Dewi...! Kiranya begitu?" Hay Hay benar-benar tertegun mendengar ini, bukan hanya karena dia telah memakai tempat yang telah lebih dulu ditemukan dan dibersihkan orang lain, juga amat terheran-heran mendengar bahwa gadis secantik itu memilih tempat ini untuk istirahat.
Kalau bukan orang yang tabah sekali tentu akan merasa ngeri bermalam di tempat yang menyeramkan ini. Biasanya kuil-kuil tua seperti ini, apa lagi di pinggir hutan yang sunyi, akan dikabarkan sebagai tempat yang dihuni oleh setan-setan dan iblis-iblis, atau paling tidak oleh makhluk halus dan siluman.
Akan tetapi, betapa kagetnya ketika tiba-tiba saja tubuh itu berkelebat dan tahu-tahu jari tangan yang mungil itu sudah menyentuh jalan darah di ubun-ubun kepalanya. Diam-diam dia kaget bukan main. Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, dia maklum bahwa sekali saja wanita itu menggerakkan jari tangannya menyerang, maka dia akan tewas!
"Engkau mengenalku?"
Hay Hay terbelalak dan menggelengkan kepala. "Tidak... tidak... Dewi..."
"Kalau begitu, siapa yang memberi tahu bahwa aku berjuluk Sian-li (Dewi)?" Jari tangan itu masih juga belum meninggalkan ubun-ubun kepalanya.
"Maaf, tak ada orang yang memberi tahu, dan juga aku tidak tahu bahwa engkau berjuluk Sian-li. Aku menyebut Dewi karena engkau demikian cantik dan agung bagaikan seorang dewi... maafkan aku..." Hay Hay merasa tegang bukan main karena nyawanya berada di ujung jari wanita itu, akan tetapi dia pura-pura tidak tahu.
Agaknya hal inilah yang menyelamatkannya. Dara itu melangkah mundur dan mengomel, "Perayu...!"
Diam-diam Hay Hay bernapas lega. Baru saja dia lolos dari maut yang amat mengerikan dan kini tahulah dia bahwa dia sedang berhadapan dengan seorang gadis kang-ouw yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi, sebab kalau tidak tentu tak akan mampu mengancam ubun-ubun seperti itu. Sekali ini dia harus bersikap waspada.
"Maafkan aku, Nona. Sesungguhnya bukan maksudku untuk merayu apa lagi kurang ajar terhadapmu. Akan tetapi aku sama sekali tidak pernah mimpi bahwa ruangan dalam kuil ini sudah ada yang menempatinya lebih dahulu. Kalau begitu, maafkan, aku akan pindah saja ke ruangan lain, di belakang atau di depan." Berkata demikian Hay Hay mengambil buntalan pakaian dan bekalnya, lalu menggendongnya.
Sejenak gadis itu memandangnya penuh perhatian, lalu berkata, suaranya ketus.
"Engkau harus meninggalkan kuil ini, tak boleh tinggal di belakang atau di depan, bahkan di pekarangan pun tidak boleh. Engkau harus pergi meninggalkan tempat ini sampai tidak nampak dari sini, dan jangan mencoba-coba untuk mengganggu aku!"
Aduh galaknya, pikir Hay Hay. Sayang gadis secantik jelita seperti ini memiliki watak yang demikian galak.
"Tapi, Nona. Aku tidak akan mengganggumu, dan kiranya engkau pun hanya orang lewat saja yang kemalaman dan singgah di kuil ini. Kuil tua ini tidak ada yang punya, bukan? Siapa saja boleh beristirahat di sini..."
"Cukup! Tahukah engkau bahwa baru saja nyawamu tadi nyaris melayang? Aku tak biasa mengampuni orang untuk kedua kalinya, maka pergilah dan jangan banyak membantah lagi! Thiat-sim Sian-li hanya berbicara satu kali, tidak akan dua kali! Yang kedua kalinya, tanganku yang bicara dan nyawamu pasti melayang! Pergi!"
Hay Hay mengerutkan kedua alisnya. Hatinya merasa kecewa sekali. Gadis ini demikian cantik jelita dan manis, namun juga demikian galak, ganas dan keras! Ingin dia mencoba kepandaian gadis ini, akan tetapi dia tahu bahwa kalau dia melakukan hal itu, tentu akan menimbulkan kemarahan dan kebencian di hati gadis yang ganas ini.
Apa bila dia menang, tentu gadis ini akan membencinya, dan kalau sebaliknya dia kalah, besar kemungkinan dia akan mati terbunuh. Dia tidak mau mati, juga tidak ingin dibenci seorang gadis yang secantik ini, tanpa sebab penting. Hanya memperebutkan tempat di kuil kuno dan kotor ini, tidak cukup berharga untuk dijadikan bahan pertentangan. Dia pun tersenyum dan menjura.
"Baiklah, Nona, aku pergi dan mudah-mudahan malam ini Nona akan dapat tidur nyenyak di tempat yang seram dan banyak setannya ini. Selamat tinggal." Dan dia pun melangkah pergi, diikuti pandang mata gadis itu yang mengerutkan alisnya.
Tak sedap rasa hatinya mendengar ucapan Hay Hay itu. Tentu saja dia tidak takut setan, akan tetapi bayangan-bayangan yang menyeramkan bisa saja mengganggu tidurnya nanti malam.
"Sialan," gerutunya, "bertemu dengan pemuda berandalan mata keranjang!"
Siapakah gadis berjuluk Thiat-sim sian-li (Dewi Berhati Besi) yang galak dan ganas itu? Ia adalah puteri tunggal Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu yang sekarang masih menjadi orang hukuman di kuil Siauw-lim-si di pinggir sungai Cin-sha itu! Namanya adalah Bi Lian, Siangkoan Bi Lian. Akan tetapi dia sendiri mengenal dirinya sebagai Cu Bi Lian, puteri Cu Pak Sun petani di dusun tidak jauh dari kuil itu.
Hal ini disengaja oleh Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Mereka menghendaki agar untuk sementara puteri mereka itu tidak tahu bahwa orang-orang yang dipanggil suhu dan subo sebenarnya adalah ayah dan ibu kandungnya sendiri. Hal ini mereka lakukan untuk menjaga agar keadaan puteri mereka tetap rahasia dan tersembunyi tidak diketahui oleh para hwesio, dan ke dua, agar puterinya itu tidak menjadi prihatin jika mendengar bahwa ayah ibu kandungnya menjadi orang-orang hukuman di kuil Siauw-lim-si.
Sebab itu semenjak kecil Bi Lian menganggap dirinya adalah puteri keluarga Cu sehingga dia pun memakai nama Cu Bi Lian. Sering kali di waktu malam suhu dan subo-nya datang berkunjung, dan memang sejak kecil dia dilatih dan digembleng oleh mereka.
Akan tetapi pada suatu hari, ketika Bi Lian berusia kurang lebih sepuluh tahun, terjadilah peristiwa yang amat hebat di dusunnya yang kecil itu. Kejadian yang tak pernah diimpikan oleh para penduduk dusun, mala petaka hebat yang menimpa dusun itu sehingga hampir menghancurkan dan membinasakan semua penduduknya.
Memang penduduk dusun itu sedang mengalami nasib sial karena pada suatu malam, muncullah dua orang manusia iblis di dusun itu. Mereka ini bukan lain adalah Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, dua orang di antara Empat Setan yang terkenal jahat dan kejam, juga mempunyai kesaktian yang luar biasa itu. Dua orang ini memang sudah berjanji hendak saling bertemu di Pegunungan Heng-tuan-san di tepi Sungai Cin-sha dan kebetulan sekali mereka saling bertemu di dusun itu!
Mula-mula, pada sore hari itu, seorang kakek yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, mukanya brewok, kulitnya hitam, matanya lebar dan sikapnya menakutkan sekali, dengan sikap acuh memasuki dusun. Karena kakek ini merupakan orang asing, dan pakaiannya penuh debu, sepatunya compang-camping, para penduduk menyangka bahwa dia adalah seorang dusun yang biasanya bersikap polos dan ramah.
Mereka mencoba untuk menyapanya. Akan tetapi kakek itu sama sekali tidak menjawab, malah menengok pun tidak, hanya berjalan saja dengan kepala tunduk, mulutnya kemak-kemik. Kakek ini kemudian berkeliaran di dalam dusun itu tanpa tujuan, sedikit pun tidak pernah tersenyum, nampak galak dan kedua mata yang lebar itu mencorong menakutkan.
Para penduduk dusun menjadi ketakutan dan menyangka dia seorang yang terlantar dan gila. Mereka tidak tahu bahwa kakek raksasa yang mereka sangka gila ini adalah seorang manusia iblis yang amat lihai dan berjuluk Tung-hek-kwi, seorang di antara Empat Setan yang membuat semua tokoh kang-ouw gemetar kalau melihatnya!
Akhirnya kakek itu duduk di tepi jalan, di bawah sebatang pohon besar. Agaknya bukan hanya para penduduk dusun itu saja yang menaruh curiga terhadap kakek ini, juga dua ekor anjing dusun datang menyerbu, menggonggong dan menyalak di sekeliling kakek itu, nampak marah akan tetapi juga takut-takut. Beberapa orang penduduk hanya menonton saja dari jauh, tidak mencoba untuk memanggil anjing-anjing itu karena mereka hendak melihat apa yang akan dilakukan kakek raksasa yang mereka sangka gila itu.
Pada mulanya Tung-hek-kwi yang merasa terganggu oleh sikap dua ekor anjing itu hanya mendengus untuk mengusir mereka. Akan tetapi, setelah melihat bahwa seekor di antara kedua anjing itu berbulu hitam mulus dan gemuk sekali, matanya lalu terbelalak. Tiba-tiba saja kedua tangannya bergerak dan tahu-tahu dua ekor anjing itu sudah ditangkap pada lehernya! Dua ekor anjing itu menguik-nguik dan Tung-hek-kwi membanting anjing belang yang ditangkap dengan tangan kirinya.
"Ngekkk...!" Pecah kepala anjing itu dan tak mampu bergerak lagi.
Kemudian, anjing hitam gemuk yang masih dicengkeram tangan kanannya dengan jari-jari panjang besar, yang masih menguik-nguik dan meronta-ronta ketakutan itu, dipegangnya dengan kedua tangannya dan sekali dia menggerakkan tangan itu menarik, terdengarlah suara robek dan pekik maut anjing itu yang tubuhnya telah terobek menjadi dua potong!
Darah muncrat dan seperti orang kehausan, kakek itu cepat menjilat dan mencucup darah anjing hitam yang terus bercucuran itu! Melihat ini, semua orang yang menonton dari jauh segera terbelalak penuh kengerian, dan anak-anak sudah berlari-larian menyembunyikan diri dengan muka pucat.
"Wah, kau lahap dan rakus, Tung-hek-kwi!" Tiba-tiba saja muncul seorang kakek gendut yang bukan lain adalah Pak-kwi-ong. Dia menghampiri rekannya yang masih menikmati darah anjing hitam itu. "Uwahhh...! Anjing hitam! Hebat, obat kuat, jangan dihabiskan, aku pun perlu darahnya!"
"Huh, siapa yang rakus?" bentak Tung-hek-kwi kemudian dia pun melemparkan potongan anjing hitam di tangan kanannya.
Pak-kwi-ong cepat menerimanya dan terus menjilat dan menghisap darah anjing itu pula. Sungguh mengerikan melihat dua orang kakek tua renta ini duduk di bawah pohon sambil menjilati darah anjing hitam, kemudian mereka mulai mengganyang daging anjing dengan menggerogotinya begitu saja!
"Ha-ha-ha-ha, engkau memang sahabat yang baik, Setan Hitam. Menyambut aku dengan suguhan yang segar dan menyehatkan!" kata Pak-kwi-ong sambil tertawa-tawa, ada pun Tung-hek-kwi tetap makan tanpa senyum, hanya kedua matanya yang lebar itu jelalatan ke sana-sini.
Pada waktu itu berita mengenai peristiwa yang mengerikan itu sudah tersiar luas dan para penghuni dusun yang tak seberapa banyak jumlahnya, hanya sekitar lima puluh keluarga itu, bersama kepala dusunnya telah berkumpul dan nonton dari jarak jauh. Hanya laki-laki dewasa saja yang berani nonton, anak-anak dan para wanita tak ada yang berani keluar!
Biar pun mereka berjumlah banyak dan marah bukan kepalang melihat betapa dua orang kakek itu membunuh dua ekor anjing dan kini minum darah anjing dan makan dagingnya mentah-mentah, Kepala Dusun dan para anak buahnya tidak berani turun tangan. Mereka melihat sendiri betapa dengan sekali bergerak saja kakek tinggi besar itu telah membunuh dua ekor anjing, bahkan merobek tubuh anjing gemuk itu hanya dengan sepasang tangan saja seolah-olah hal itu merupakan pekerjaan yang sangat ringan. Ini sudah membuktikan bahwa kakek tinggi besar itu kuat sekali sehingga mereka merasa jeri.
"Bagaimana hasilnya, Pak-kwi-ong?" akhirnya Tung-hek-kwi bertanya.
"Engkau dulu bagaimana?" Pak-kwi-ong berbalik bertanya.
"Anak itu ikut dengan See-thian Lama ke Himalaya, dan agaknya memang dia tidak akan diserahkan kepada Dalai Lama. Sudah jelas bukan Sin-tong," jawab Tung-hek-kwi singkat mengenai tugasnya menyelidik anak yang disangka Sin-tong dan dirampas oleh See-thian Lama dan Ciu-sian Sin-kai dari tangan mereka itu. "Dan bagaimana dengan engkau?"
"Aku sudah bertemu dengan keluarga Pek. Mereka berterus terang bahwa anak mereka memang diculik oleh Lam-hai Siang-mo yang kemudian meninggalkan bayi mati sebagai penggantinya. Jadi anak itu memang anak keluarga Pek," jawab Pak-kwi-ong.
"Hemm, anak keluarga Pek akan tetapi bukan Sin-tong...," kata Tung-hek-kwi.
"Berita tentang Sin-tong itu yang bohong, atau memang kita sudah dipermainkan orang," kata Pak-kwi-ong.
Tiba-tiba dia bangkit, juga Tung-hek-kwi ikut bangkit, ada pun potongan anjing itu masih digerogoti. Ternyata pendengaran mereka tajam bukan main walau pun usia mereka telah mendekati delapan puluh tahun. Ternyata mereka bangkit karena mendengar suara kaki orang.
Dan kini, dalam keremangan senja muncullah sedikitnya dua puluh orang yang rata-rata tampak gagah perkasa, semua memegang senjata, dipimpin oleh dua pasang suami isteri yang bukan lain adalah Lam-hai Siang-mo yang terdiri dari Siangkoan Leng dan Ma Kim Li, serta suami isteri Goa Iblis Pantai Selatan, yaitu Kwee Siong dan Tong Ci Ki.
Seperti yang sudah kita ketahui, dua pasang suami isteri yang namanya amat terkenal di kalangan dunia sesat ini pernah saling bermusuhan untuk memperebutkan Hay Hay, akan tetapi mereka terpaksa melarikan diri ketika muncul dua orang dari Empat Setan dan dua orang lagi dari Delapan Dewa. Mereka lalu membagi tugas.
Yang dua orang pergi ke Tibet, melapor kepada para pendeta Lama bahwa Sin-tong telah dirampas oleh empat orang tokoh besar itu dan akibatnya, para pendeta Lama mencoba untuk merampas Hay Hay dari tangan See-thian Lama. Yang dua orang lainnya melapor kepada keluarga Pek yang agaknya menerima berita itu dengan sikap dingin saja, bahkan keluarga itu mengatakan bahwa Sin-tong, keturunan mereka, telah tewas beberapa tahun yang lalu akibat dibunuh orang jahat!
Bagaimana pun juga, dua pasang suami isteri ini masih merasa penasaran dan terutama sekali merasa sakit hati terhadap Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, dua orang datuk sesat yang mereka anggap sudah menggagalkan rencana mereka untuk menguasai anak yang mereka yakin adalah Sin-tong itu.
Mereka juga tidak tahu bahwa anak itu telah dibawa pergi oleh See-thian Lama, mengira bahwa kedua orang kakek iblis dari Empat Setan itulah yang menguasai Sin-tong. Maka, ketika mereka melihat Pak-kwi-ong, mereka berempat cepat mengumpulkan teman-teman dari dunia hitam untuk membayangi kakek gendut itu yang ternyata hendak mengadakan pertemuan dengan Tung-hek-kwi di dusun itu.
Melihat betapa dua orang itu makan daging anjing mentah, dua pasang suami isteri ini segera mengepung bersama teman-teman mereka. Jumlah mereka tidak kurang dari dua puluh empat orang, terdiri dari jagoan-jagoan kalangan hitam yang menjadi teman-teman akrab dua pasang suami isteri itu.
Dapat dibayangkan betapa kuatnya kedudukan mereka. Dua pasang suami isteri itu saja sudah merupakan datuk-datuk sesat yang sangat lihai, apa lagi ditambah dua puluh orang teman yang rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi dan berwatak garang dan kejam.
Akan tetapi dua pasang suami isteri itu juga sudah mengenal kesaktian Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, maka mereka pun tak mau bertindak secara sembrono dan setelah mereka semua mengepung dua orang kakek itu, Siangkoan Leng berseru dengan suara lantang.
"Ji-wi Locianpwe telah terkepung dan lihat, kedudukan kami kuat sekali. Akan tetapi kami tidak akan mengeroyok Ji-wi kalau Sin-tong dikembalikan kepada kami!"
Tentu saja kedua orang kakek itu mendongkol bukan kepalang mendengar tuntutan ini. Mereka berdua dikalahkan oleh See-thian Lama dan Ciu-sian Sin-kai, dua orang di antara Delapan Dewa dan sekarang tikus-tikus itu datang untuk merampas Sin-tong dari tangan mereka.
Akan tetapi mereka berdua adalah raja-raja datuk sesat, tentu saja merasa malu untuk mengakui kekalahan mereka terhadap dua orang dari Delapan Dewa. Kini mereka bahkan duduk lagi lantas melanjutkan makan daging anjing mentah seolah-olah tidak memandang mata kepada dua puluh empat orang yang mengepung mereka dengan senjata-senjata di tangan.
"Wahh, Tung-hek-kwi! Engkau Setan Hitam membikin gara-gara. Engkau membunuh dua ekor anjing dan lihat akibatnya! Sekarang ada dua puluh empat ekor anjing yang lainnya datang menggonggong dan hendak menggigit kita, ha-ha-ha!" Pak-kwi-ong berkata sambil tertawa bergelak, lalu menggerogoti sedikit daging yang masih menempel di tulang paha anjing itu.
"Apa kau masih haus? Kita minum darah anjing-anjing ini!" teriak Tung-hek-kwi.
"Ha-ha-ha, engkau benar. Biar pun sudah agak tua tentu dua ekor anjing betina itu lebih lunak dagingnya dan lebih hangat darahnya!" kata Pak-kwi-ong dan tiba-tiba saja, kedua tangannya mematahkan tulang kaki anjing dan melemparkan dua potongan tulang itu ke arah Ma Kim Li dan Tong Ci Ki, isteri-isteri dua orang pemimpin gerombolan itu.
Bukan main kuatnya lemparan ini. Dua batang tulang itu dengan kecepatan kilat segera menyambar ke arah dua orang wanita, tepat mengarah muka mereka. Apa bila mengenai sasaran, biar pun dua orang wanita itu memiliki kekebalan, tentu akan menderita cidera.
Akan tetapi, dua orang wanita yang diserang itu bukan wanita-wanita lemah. Melihat sinar menyambar, mereka cepat mengelak dan dua batang tulang itu pun lewat dan tentu akan mengenai orang-orang di belakang mereka kalau saja anak buah mereka yang rata-rata juga lihai itu tidak cepat mengelak pula.
Sebagai dua orang wanita iblis yang mahir menggunakan jarum-jarum beracun, terutama sekali Tong Ci Ki yang memang berjuluk Si Jarum Sakti, dua orang itu lalu melemparkan jarum-jarum beracun mereka ke arah Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi.....