Pendekar Mata Keranjang Jilid 09

Jurus ke tiga itu adalah jurus Kwan-im Khai-bun (Dewi Kwan Im Membuka Pintu), ada pun jurus ke sebelas yang dimainkan Hui Cu adalah jurus Kwan Im Mencari Teratai. Kelihatan kedua gerakan itu sederhana sekali, gerakannya amat lembut dan perlahan, seperti tidak mengandung tenaga.

Akan tetapi dengan hati kaget Lam-hai Giam-lo merasa betapa angin dingin menyambar-nyambar dari empat buah lengan itu, juga terdengar suara mendesis seperti benda tajam mengiris udara. Dia masih mengandalkan kecepatan tubuhnya yang berputar itu, ada pun kedua lengannya yang panjang membalas serangan sambil memutar tubuh lebih cepat.

Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika melihat betapa tangan dua orang pengeroyoknya itu mampu menembus gulungan sinar atau bayangannya lantas tangan Ci Kang tahu-tahu sudah mengancam lambungnya dan tangan Hui Cu meluncur dari atas ke bawah, mengancam pelipis kepalanya!

“Aihhhh...!" Dia berteriak dan cepat melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan di atas lantai.

Akan tetapi dengan langkah-langkah aneh kedua orang pengeroyok itu telah mengejarnya lantas empat buah lengan bertubi-tubi melakukan tamparan ke bawah. Yang mengerikan adalah hawa dingin dari serangan mereka.

Tapi kakek bermuka kuda itu memang lihai bukan main. Biar pun dia sedang bergulingan dan dihujani tamparan, sambil bergulingan itu dia masih mampu menggerakkan sepasang tangannya, bahkan juga kedua kakinya, untuk menangkis. Ia merasa betapa hawa dingin menyergap ke dada melalui kedua tangannya yang menangkis, juga menyergap ke dalam perutnya melalui kaki yang menangkis.

Betapa pun juga, tamparan-tamparan itu demikian aneh dan hebat sehingga masih ada sebuah tamparan dari Ci kang yang sempat mengenai pundaknya.

"Plakk...!"

Lam-hai Giam-lo mengeluarkan suara parau yang panjang dan dari mulutnya keluar darah segar. Suara teriakannya yang parau itu mengandung daya serangan yang ampuh karena dikeluarkan dengan pengerahan khikang. Hui Cu dan Ci Kang terkejut bukan main, cepat melompat mundur sambil melindungi dada dan telinga dengan pengerahan sinkang.

Akan tetapi kesempatan itu segera digunakan oleh Lam-hai Giam-lo untuk melarikan diri. Dengan satu lompatan panjang dia menghilang ke luar dan ketika kedua orang lawannya mengejar, ia telah lenyap ditelan kegelapan malam. Hui Cu tidak melanjutkan pengejaran, melainkan kembali ke ruangan itu, disambut oleh Ceng Hok Hwesio serta para penghuni kuil dengan pandang mata kagum. 

"Wah, Lam-hai Giam-lo sungguh berbahaya sekali...," kata Ci Kang sambil menggeleng kepala dan menarik napas panjang.

Semenjak dia dulu ikut mengeroyok Raja Iblis, baru sekarang dia bertemu dengan orang yang luar biasa lihainya. Andai kata dia dan Hui Cu tidak memiliki ilmu baru yang sedang mereka latih berdua, meski pun melakukan pengeroyokan, agaknya dia dan Hui Cu tidak akan dapat menandingi kakek muka kuda itu!

Ceng Hok Hwesio merangkapkan kedua tangan di depan dada. Hwesio ini masih belum pulih dari keadaan terheran-heran dan terkejut mendapat kenyataan bahwa kedua orang hukuman itu ternyata memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat!

"Omitohud, kalian sudah menolong kami, semoga amal perbuatan kalian itu diterima oleh Sang Buddha dan dapat meringankan dosa kalian. Sekarang harap kalian suka kembali ke dalam Kamar Renungan Dosa diiringi ucapan terima kasih kami."

Ci Kang dan Hui Cu saling pandang, maklum bahwa ketua kuil itu masih tetap keras hati terhadap kesalahan mereka dan Ci Kang lalu menarik napas panjang, merangkap kedua tangan di depan dada dan berkata,

"Baiklah, Suhu, kami akan kembali ke kamar masing-masing."

Akan tetapi Hui Cu menghadap Ceng Hok Hwesio dan setelah memberi hormat wanita ini berkata, "Suhu, kami hendak mengulang permintaan kami beberapa hari yang lalu, yaitu agar kami diperbolehkan mengambil Han Siong menjadi murid kami."

Mendengar ini, Han Siong terkejut sekali dan juga merasa girang bukan main. Wajahnya berseri-seri, dan dia segera memandang kepada dua orang itu dengan sinar mata penuh kegirangan. Akan tetapi, seri wajahnya melayu dan lenyap ketika dia mendengar ucapan Ceng Hok Hwesio yang kereng dan penuh wibawa.

"Sayang, hal itu tidak mungkin dapat dilakukan. Kalian adalah orang-orang hukuman yang tidak dapat menjadi hwesio dan nikouw lagi, sedangkan Han Siong adalah seorang calon pendeta, seorang hwesio yang hidupnya bersih. Karena itu, mana mungkin dapat menjadi murid kalian? Dia hanya boleh mempelajari ilmu silat Siauw-Iim-pai dari para hwesio yang suci."

Selama hampir lima tahun Han Siong mempelajari kitab-kitab suci agama dan filsafat, dan karena dia memang mempunyai kecerdikan yang lebih dari pada kecerdikan anak-anak seusianya, maka ucapan suhu-nya itu membuat dia mengerutkan alisnya.

Dari sikap dan kata-kata ketua kuil itu, jelaslah bahwa ketua kuil itu sangat merendahkan dua orang hukuman itu, menekankan bahwa mereka berdua adalah orang-orang berdosa yang kotor, dan sebaliknya para hwesio adalah orang-orang yang bersih dan suci! Hal ini sama sekali tidak cocok dengan isi pelajaran agama dan filsafat.

Bukankah anggapan bahwa diri sendiri bersih merupakan suatu anggapan yang kotor? Di sana tersembunyi suatu kesombongan dan ketinggian hati yang sama sekali berlawanan dengan pelajaran agama!

Memang begitulah kenyataannya dalam diri kita manusia di dunia ini. Kita yang beragama selalu kejangkitan penyakit yang sama, yaitu menganggap diri sendiri bersih dan baik, menganggap diri sendiri sebagai kekasih-kekasih Tuhan akan tetapi memandang orang atau golongan lain seperti melihat orang-orang yang kotor penuh dosa dan dikutuk atau dimusuhi Tuhan! Betapa kotornya pandangan seperti ini dan jelas bukan pandangan yang bersih.

Kekuasaan Tuhan yang nampak di dunia ini sama sekali tidak pernah membeda-bedakan antara manusia, baik dari bangsa atau golongan atau agama apa pun juga! Kasih Tuhan nampak di mana-mana, merata dan sudah tersedia bagi manusia yang sebetulnya tinggal menikmatinya saja asal kita mau menyadari akan hal itu.

Lihatlah sinar matahari yang hangat, menghidupkan, terasa nyaman dan menjadi sumber kehidupan segala sesuatu yang tampak di permukaan bumi. Bukankah sinar matahari itu salah satu di antara kekuasaan dan kasih sayang Tuhan? Dan apakah sinar matahari itu, seperti anugerah-anugerah yang lain, membeda-bedakan?

Sama sekali tidak. Baik seseorang itu pendeta yang katanya suci, mau pun dia seorang yang dianggap paling jahat, akan menerima sinar matahari yang sama. Hanya bedanya, orang yang mau membuka matanya dan sadar akan semua yang berada di luar dirinya, akan bisa menikmati seutuhnya bila matahari pagi yang hangat dan sehat memancarkan cahayanya, dan akan berteduh dengan penuh pengertian dan kesadaran ketika matahari menyengat terlampau keras. Sebaliknya, orang yang pikirannya selalu keruh dan sibuk, akan lengah sehingga tidak mampu menikmati keindahan serta kegunaan matahari pagi, kemudian akan mengeluh dan mengomel kalau matahari terlalu terik.

Jelaslah, bagi kekuasaan Tuhan, bagi alam, tidak ada bedanya di antara manusia karena di sana tidak terdapat penilaian. Hanya penilaian yang menimbulkan pembedaan, karena penilaian ini selalu didasari oleh aku yang merasakan diuntungkan atau dirugikan. Kalau diuntungkan, maka penilaian tentu saja condong ke arah baik sedangkan jika dirugikan, maka akan dinilai buruk. Jelas bahwa penilaian bersumber kepada keakuan yang selalu mengejar kesenangan.

"Suhu! Paman dan Bibi ini dengan gagah berani sudah mengusir kakek jahat itu. Tanpa adanya bantuan mereka berdua, mungkin kita semua akan habis binasa dibunuh Lam-hai Giam-lo dan kuil kita dibakar! Tidak sepatutnya kalau mereka dihukum!"

Mendengar ucapan lantang dari Han Siong ini, Ceng Hok Hwesio mengerutkan alisnya. Apa lagi ketika dia melihat betapa para hwesio lain nampaknya setuju dengan pendapat Han Siong karena banyak di antara mereka yang mengangguk-angguk.

"Hemm, Han Siong. Engkau anak kecil tahu apa? Mereka sudah melakukan dosa besar, dan setiap pelanggaran dan dosa harus dihukum menurut peraturan kuil," demikian ketua kuil itu berkata dengan suara dan sikap kereng.

"Akan tetapi, Suhu, teecu ingin sekali menjadi murid mereka!" kembali Han Siong berseru dengan suara lantang. "Dan teecu kira Suhu tidak berhak untuk melarang teecu menjadi murid mereka."

"Omitohud, bicaramu lancang sekali, Han Siong. Pada waktu kakek buyutmu, Susiok Pek Khun, menyerahkan engkau kepada pinceng, dia menghendaki agar engkau bisa menjadi murid di sini. Kini sesudah engkau menjadi seorang calon hwesio, berarti engkau menjadi murid Siauw-lim-pai dan pinceng tentu saja berhak melarang semua murid Siauw-lim-pai untuk berguru kepada orang lain!"

"Teecu ingin sekali menjadi murid mereka, dan biarlah teecu tidak dianggap sebagai murid Siauw-lim-pai asal teecu diperbolehkan menjadi murid mereka!"

Ucapan Han Siong ini mengejutkan semua orang. Betapa beraninya anak itu! Akan tetapi Ceng Hok Hwesio mengerutkan kedua alisnya dan memandang kepada Han Siong penuh perhatian, kemudian memandang kepada dua orang hukuman yang masih belum pergi meninggalkan ruangan itu.

"Pinceng tak akan merubah aturan. Kalau engkau menjadi hwesio di kuil kami, tentu saja engkau tak boleh berguru kepada siapa pun juga kecuali kepada pinceng. Akan tetapi jika engkau mau menanggalkan jubah hwesio, memelihara rambut dan tidak menjadi murid Siauw-lim-pai lagi, tentu saja engkau boleh berguru kepada mereka."

"Kalau begitu teecu ingin menjadi orang biasa saja!" Han Siong berteriak. "Biarlah teecu di sini hanya bekerja sebagai kacung saja, membersihkan kebun dan melakukan pekerjaan sehari-hari, juga mengurus keperluan kedua orang Paman dan Bibi, tetapi teecu menjadi murid mereka!"

Sebelum Ceng Hok Hwesio menjawab, Ci Kang telah berkata. "Kami kira permintaan Han Siong itu sangat patut dan sudah sepantasnya kalau dipenuhi. Suhu tentu melihat betapa kami selalu patuh dan selama sepuluh tahun ini merenungkan dosa di kamar. Permintaan kami untuk mengambil murid kami kira tidak berlebihan, dan kebetulan anak ini pun suka menjadi murid kami. Sekali lagi kami mengharapkan kemurahan dan kebijaksanaan Suhu untuk meluluskan permintaan Han Siong agar menjadi murid kami."

Didesak oleh Han Siong dan dua orang hukuman itu, Ceng Hok Hwesio merasa sangat kewalahan dan tidak enak hati kalau terus menerus menolak. "Baiklah, akan tetapi kalau kelak keluarga anak ini minta pertanggungan jawab, kalian yang harus memikulnya."

"Biarlah teecu yang akan bertanggung jawab!" Han Siong berseru dengan tegas.

"Omitohud... pinceng hanya melaksanakan sesuai dengan peraturan kuil. Mulai saat ini, engkau kembali menjadi orang biasa dan bekerja di sini hanya sebagai seorang kacung atau pembantu suka rela, tiada bedanya dengan mereka yang dibayar kuil atau bekerja suka rela di kuil ini. Tentang hubunganmu dengan kedua orang hukuman, kami tidak tahu menahu asalkan tidak mengganggu ketenteraman kuil." Sesudah berkata demikian, Ceng Hok Hwesio lalu membalikkan tubuhnya, kembali ke kamarnya. Jelas bahwa dia merasa tidak senang hati dan menekan kemarahan hatinya.

Han Siong merasa girang sekali dan dia pun menjatuhkan dirinya berlutut di depan kedua orang itu.

"Suhu...! Subo…!" katanya sambil memberi hormat kepada kedua orang gurunya.

"Han Siong, bangkitlah dan mari engkau ikut bersamaku ke dalam kamarku," kata Ci Kang dan Han Siong menurut.

Mereka bertiga meninggalkan tempat itu. Hui Cu kembali ke kamarnya di sebelah timur, ada pun Ci Kang mengajak Han Siong kembali ke kamarnya yang berada di ujung barat.

Ketika Han Siong turut memasuki kamar itu, dia merasa sangat terharu. Sebuah kamar kosong, sama sekali tak ada perabot kamarnya. Dengan demikian, selama sepuluh tahun orang gagah yang buntung lengan kirinya ini tinggal di lantai kamar itu tanpa beralaskan sesuatu! Kamar itu berdinding putih dan nampak bersih sekali.

Dia diajak duduk bersila di atas lantai. Hawa dalam kamar itu cukup sejuk karena terdapat banyak lubang angin di atas jendela dan pintu. Sebuah lampu gantung terdapat di sudut kamar, tergantung di langit-langit. Setiap beberapa hari sekali hwesio pengantar makanan selalu membawa sebotol minyak ke kamar ini, tentu untuk lampu itu, pikir Han Siong.

"Han Siong, setelah engkau menjadi muridku, engkau harus menceritakan semua tentang keadaanmu dan keluargamu. Tadi Suhu Ceng Hok Hwesio mengatakan bahwa kakekmu bernama Pek Khun, siapakah dia?"

"Dia adalah kakek buyut teecu yang bernama Pek Khun. Kakek buyut teecu itu bertapa di Pegunungan Kun-lun-san dan sejak kecil teecu ikut di Kun-lun-san."

Sepasang mata Ci Kang memandang penuh selidik. "Mengapa begitu? Di manakah ayah ibumu dan siapakah mereka?"

"Teecu tidak pernah mengenal ayah mau pun ibu. Menurut cerita kakek buyut teecu, ayah adalah cucunya dan ayah bernama Pek Kong. Karena dulu teecu hendak dirampas oleh orang-orang jahat, demikian kata kakek buyut teecu, maka sejak bayi teecu dibawa pergi oleh kakek Pek Khun ke Kun-lun-pai, kemudian dititipkan di sini untuk mempelajari ilmu. Menurut kakek Pek Khun, kakek dan juga ayah teecu secara berturut-turut menjadi ketua perkumpulan Hati Putih yang didirikan oleh kakek buyut Pek Khun."

"Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati Putih)? Hemmm, aku belum pernah mendengar nama itu. Ceritamu menarik dan aku yakin engkau adalah keturunan orang-orang gagah."

"Teecu tidak banyak tahu tentang keluarga teecu sendiri, dan kini teecu ingin sekali tahu kenapa Suhu dan Subo sampai menjalani hukuman di sini. Kalau boleh teecu mengetahui maukah Suhu menjelaskan hal yang teecu ingin sekali tahu supaya teecu tidak menjadi penasaran lagi?"

Mendengar pertanyaan anak itu, Ci Kang lalu termenung. Semua peristiwa yang pernah terjadi pada dirinya dan Hui Cu sekarang terbayang semua olehnya. Ketika dia berjumpa dengan Hui Cu di kebun, keduanya merana dan berduka karena orang-orang yang dicinta telah menikah dengan orang lain, keduanya saling tertarik, merasa senasib sependeritaan dan merasa saling kasihan. Lalu keduanya pergi bersama, tanpa kata apa pun di mulut, keduanya seperti telah bersepakat untuk menghadapi sisa hidup ini bersama-sama.

Mereka berdua kemudian pergi naik turun gunung, keluar masuk hutan besar dengan hati nelangsa dan prihatin. Sesudah lewat beberapa pekan, barulah masing-masing mendapat kenyataan betapa mereka dapat bergaul dengan akrab, bahkan ada suatu ikatan istimewa di dalam batin mereka, mungkin didorong oleh rasa iba dan senasib.

Kemudian, pada suatu malam yang diterangi bulan purnama, di dalam sebuah hutan yang amat sunyi dengan hawa yang sejuk, terjadilah hal itu di antara mereka! Dorongan birahi membuat mereka lupa akan segala dan terjadilah hubungan yang amat mesra itu dengan suka rela.

Pada keesokan harinya, Hui Cu menangis dan Ci Kang termenung. Keduanya menyesali apa yang sudah mereka lakukan. Teringat pula mereka akan nasib mereka yang buruk. Teringat betapa mereka berdua adalah keturunan orang-orang sesat dan timbul keraguan di dalam hati mereka apakah mereka juga tidak menuruni kesesatan orang tua mereka.

Dalam keadaan putus asa dan semakin berduka disertai penyesalan, mereka lalu pergi ke kuil Siauw-lim-si di pinggir Sungai Cin-sha di Pegunungan Heng-tuang-san yang sunyi itu. Dan mereka segera pergi menghadap ketua kuil, Ceng Hok Hwesio, mohon untuk dapat diterima menjadi hwesio dan nikouw untuk mempelajari ilmu keagamaan serta kebatinan untuk menebus dosa-dosa mereka yang lalu.

Ceng Hok Hwesio sangat tertarik melihat pemuda buntung lengan kirinya yang kelihatan gagah dan tampan bertubuh tinggi tegap itu, apa lagi melihat Hui Cu yang cantik jelita. Hatinya terharu dan merasa kasihan melihat dua orang muda yang ingin menebus dosa dan masuk menjadi hwesio dan nikouw itu. Diterimanya mereka dengan hati rela sehingga mulai saat itu, dua orang muda yang gagah perkasa ini pun menjadi hwesio dan nikouw, menggunduli rambut kepala dan mengenakan pakaian calon pendeta, siang malam selalu mempelajari ilmu keagamaan di dalam kuil, dipimpin sendiri oleh Ceng Hok Hwesio.

Karena itu, Ceng Hok Hwesio merupakan guru mereka dan mereka pun menyebut suhu, biar pun mereka tidak pernah minta diajari ilmu silat dari ketua kuil itu. Melihat ketekunan mereka, Ceng Hok Hwesio merasa semakin suka dan mengajarkan keagamaan dengan tekun.

Yang sering kita namakan bisikan iblis yang suka membujuk manusia untuk melakukan perbuatan yang tidak sepatutnya, sesungguhnya adalah bisikan dari pikiran kita sendiri. Pikiran yang menyimpan kenang-kenangan senang dan susah, membentuk Si Aku yang selalu ingin mengejar kesenangan dan menjauhi ketidak senangan.

Selain pandai menyimpan kenangan masa lalu, juga Si Aku suka membayang-bayangkan kesenangan yang khayal. Dua hal inilah yang mendorong orang melakukan sesuatu yang tidak patut!

Keinginan untuk mencapai dan mendapat hal-hal menyenangkan yang dibayangkan itulah yang menjerumuskan kita ke dalam perbuatan-perbuatan sesat. Keinginan memperoleh kesenangan ini besar sekali kemungkinannya bisa melahirkan cara-cara pengejaran yang jahat.

Pengejaran kesenangan yang berupa uang dapat mendorong orang melakukan korupsi, penipuan, pencurian, pemerasan dan sebagainya. Pengejaran kesenangan yang berupa kedudukan dapat mendorong orang untuk saling jegal, saling hantam dan mungkin saling bunuh bahkan dapat pula menimbulkan perang. Pengejaran kesenangan yang berupa sex dapat mendorong orang untuk melacur, berjinah, memperkosa dan sebagainya lagi.

Sejak pertama kali melihat Hui Cu, Ceng Hok Hwesio yang pada waktu itu berusia kurang lebih lima puluh tahun, telah merasa tertarik dan kagum sekali. Semenjak kecil hwesio ini sudah hidup di dalam kuil dan belum pernah bergaul dekat dengan wanita. Kini, sebagai muridnya Hui Cu sering berada dalam satu ruangan dengan dia, untuk belajar membaca kitab agama dan mendengarkan penjelasan Ceng Hok Hwesio tentang artinya. Di dalam pergaulan ini, terjadi sesuatu di dalam batin Ceng Hok Hwesio. Dia merasa semakin suka, bahkan ada gairah cinta mengusiknya.

Hui Cu, biar pun ketika itu baru berusia sembilan belas tahun, namun dia adalah seorang gadis yang sudah malang-melintang di antara orang-orang sesat, tentu saja dapat melihat sikap dan pandang mata Ceng Hok Hwesio kepadanya. Hal ini amat mengejutkan hatinya, juga mendatangkan perasaan tidak senang dan penolakannya ini dia perlihatkan dengan jelas dalam sikap dan pandang matanya terhadap guru agama itu.

Ceng Hok Hwesio juga dapat menangkap isyarat-isyarat penolakan ini. Hatinya menjadi pahit dan kemarahan mulai timbul. Dia masih dapat mengekang nafsu birahi, hanya ingin berdekatan, ingin bermesraan dengan gadis itu yang telah dinyatakan dengan pandangan matanya. Namun gadis itu menolaknya, bahkan pada pandang mata gadis itu terkandung pula ejekan dan pandangan merendahkan!

Kemudian terjadilah sesuatu yang amat menghebohkan. Setelah berada di kuil itu selama sembilan bulan, pada suatu malam Hui Cu melahirkan seorang anak perempuan! Selama ini dia masih dapat menyembunyikan kandungannya di balik jubah nikouw yang longgar, akan tetapi setelah melahirkan, tentu saja dia tidak mampu menyembunyikannya lagi.

Bagaikan seekor harimau kelaparan Ceng Hok Hwesio lalu menyerbu kamar muridnya itu. Mukanya merah, matanya terbelalak dan kedua tangannya dikepal. "Omitohud... engkau perempuan tidak tahu malu!" Dia memaki.

Pada saat itu pula Ci Kang cepat maju berlutut. "Harap Suhu bersikap tenang dan tidak menyalahkan Hui Cu. Sebenarnya teecu yang bersalah. Akan tetapi semua ini terjadi di luar pengetahuan kami. Selama kami berdua berada di sini, kami tidak pernah melakukan hal itu, dan ternyata kandungan itu terbawa tanpa diketahui Hui Cu."

"Keparat! Jadi engkaukah bapaknya?!" bentak Ceng Hok Hwesio dan diam-diam Ci Kang terkejut dan heran mendengar ucapan kasar itu keluar dari mulut suhu-nya yang biasanya bersikap tenang, sabar dan lembut itu.

"Benar, Suhu. Sebelum kami berdua datang ke kuil ini, kami sudah... sudah... akan tetapi kami tidak tahu bahwa Hui Cu telah mengandung."

"Hemm, apakah kalian ini suami isteri? Sudah menikah?"

Ci Kang menggeleng kepalanya. "Kami tidak berbohong kepada Suhu ketika kami datang dan mengatakan bahwa kami hanyalah sahabat baik yang senasib sependeritaan. Kami bukan suami isteri..."

"Omitohud... semoga kuil ini diampuni dari dosa-dosa yang sangat besar ini. Bukan suami isteri namun kini terlahir seorang anak! Dan kalian adalah seorang hwesio dan seorang nikouw. Memalukan! Memalukan pinceng, memalukan kuil, memalukan Siauw-lim-si...!"

"Ampun, Suhu, kami tak sengaja. Andai kata kami tahu bahwa Hui Cu telah mengandung tentu kami tidak akan berani menjadi murid Suhu."

"Andai kata... andai kata... lebih baik melihat kenyataan yang ada sekarang! Kalian telah melakukan dosa besar, mencemarkan nama serta kehormatan, juga kesucian kuil kami. Untuk itu sepatutnya kalian dihukum mati. Akan tetapi, pinceng adalah seorang suci yang tak mau mengotorkan tangan dengan pembunuhan. Maka, sebagai gantinya kalian harus dihukum di dalam Ruangan Renungan Dosa agar kalian merenungkan dosa kalian yang besar itu dan bertobat. Sanggupkah kalian menerima hukuman merenungkan dosa itu?"

Ci Kang dan Hui Cu yang juga berlutut, mendengarkan dengan hati pilu. Apa lagi pada saat itu bayi mereka menangis dengan suara nyaring sekali.

"Bagaimana pun juga, kalian harus menerima hukuman yang telah pinceng jatuhkan tadi, karena kalau kalian menolak, berarti terpaksa pinceng harus menjatuhkan hukuman mati!" kembali terdengar suara Ceng Hok Hwesio.

"Teecu... sanggup...," kata Hui Cu.

Ci Kang terkejut sekali. Hukuman itu belum dijatuhkan namun Hui Cu sudah menyatakan kesanggupannya! Melihat betapa Hui Cu sudah menyanggupi, maka tidak ada pilihan lain baginya kecuali menyatakan kesanggupannya juga.

"Teecu sanggup."

"Omitohud, semoga Sang Buddha mengampuni dosa kalian berdua. Pinceng menjatuhkan hukuman bertapa di dalam dua kamar Renungan Dosa selama masing-masing dua puluh tahun!"

Semua hwesio yang berada di sana terkejut bukan main. Juga Ci Kang terbelalak, akan tetapi ketika dia melihat pandangan mata Ceng Hok Hwesio yang dingin dan tegas, dia hanya bisa menarik napas panjang. Tadi mereka berdua telah menyatakan kesanggupan, maka mau tidak mau harus menjalani hukuman yang luar biasa beratnya itu.

Semua peristiwa yang terjadi pada sepuluh tahun yang lalu itu terbayang di dalam benak Ci Kang ketika muridnya, Han Siong, bertanya kepadanya mengenai sebab hukuman itu. Tentu saja dia tidak dapat menceritakan semua hal sejelasnya karena Han Siong masih terlampau kecil untuk mengetahui semua hal itu. Usianya baru dua belas tahun, belum dewasa.

"Han Siong, dulu Suhu dan Subo-mu ini telah melakukan pelanggaran di dalam kuil. Kami berdua sudah menjadi suami isteri kemudian Subo-mu melahirkan seorang anak, karena itu kami harus menjalani hukuman selama dua puluh tahun di Kamar Renungan Dosa..."

"Tapi itu tidak adil! Apa salahnya menjadi suami isteri dan mempunyai anak?"

"Di kuil ini dianggap dosa besar, muridku. Apa lagi ketika itu kami telah menjadi pendeta. Kami sama sekali tidak tahu bahwa pada waktu kami masuk menjadi murid kuil, Subo-mu sudah mengandung. Andai kata kami tahu, tentu kami tidak menjadi hwesio dan nikouw sehingga tidak melakukan pelanggaran dan dosa."

"Tapi, dua puluh tahun untuk itu? Terlalu berat dan tidak adil, Suhu!" kembali Han Siong berseru.

Ci Kang tersenyum. "Ssttt, sudahlah, jangan ribut-ribut. Kami berdua sudah menerimanya dengan rela. Kami anggap sebagai penebusan dosa-dosa kami dan nenek moyang kami, dan juga sebagai tempat bertapa. Kamar-kamar kami amat baik, juga kami perlu tempat yang rahasia untuk melakukan latihan-latihan."

Han Siong mengangguk-angguk. "Ya, memang benar, Suhu. Setiap saat, kalau Suhu dan Subo kehendaki, tentu Suhu dan Subo dapat saja keluar dari kamar ini, apa lagi kalau malam tiba..."

"Ehh, kau tahu akan hal itu?" gurunya bertanya heran.

"Pernah teecu melihat ada dua bayangan berkelebat masuk lantas dikejar oleh bayangan Lam-hai Gim-lo. Bukankah dengan demikian berarti bahwa Suhu dan Subo sering keluar dari kamar secara rahasia?"

Kembali gurunya mengangguk-angguk. "Engkau benar, memang ada kalanya kami perlu keluar. Anak kami itu, seorang anak perempuan, tentu saja tidak boleh ikut tinggal di sini sehingga kami menyerahkannya kepada suami isteri petani she Cu di kaki gunung untuk dirawat. Mereka tidak mempunyai anak, maka mereka menerimanya dengan senang hati. Nah, kadang-kadang kami pergi untuk menjenguk anak kami itu, atau ada urusan-urusan lain yang penting yang memaksa kami kadang-kadang meninggalkan kamar. Akan tetapi kami akan tetap memenuhi masa hukuman kami, karena sebagai orang-orang gagah kami harus memenuhi janji. Namun hal inilah yang merisaukan kami, Han Siong, yaitu bahwa sejak setahun ini, anak perempuan kami itu telah lenyap."

"Lenyap...?" Han Siong terbelalak memandang kepada wajah suhu-nya. "Bagaimana bisa lenyap, Suhu? Apa yang telah terjadi?"

Ci Kang menarik napas panjang, kemudian melanjutkan ceritanya. Setelah dia dan Hui Cu menjalani hukuman, pada waktu malam keduanya sering kali keluar dari tempat tahanan itu secara diam-diam untuk pergi mengunjungi dan menengok puteri mereka yang mereka beri nama Siangkoan Bi Lian, di rumah keluarga petani Cu Pak Sun di kaki pegunungan, di sebuah desa yang amat kecil sederhana.

Sejak mereka tahu bahwa Hui Cu mengandung, tentu saja mereka melanjutkan hubungan mereka sebagai suami isteri tanpa penyesalan lagi, apa lagi setelah mereka tidak menjadi hwesio dan nikouw, melainkan orang-orang biasa yang sedang melaksanakan hukuman di Kamar Renungan Dosa. Sejak dihukum, ketua kuil tidak menganggap mereka sebagai anggota Siauw-lim-pai lagi.

Mereka berdua bukan hanya menengok anak mereka secara teratur, sedikitnya sepekan sekali, akan tetapi mereka juga mulai mengajarkan dasar-dasar ilmu silat kepada Bi Lian, semenjak anak itu berusia enam tahun. Dan secara kebetulan sekali, ketika Siangkoan Ci Kang sedang memeriksa keadaan kamar di mana dia ditahan, dia menemukan sebuah peti hitam yang berisi dua buah kitab pelajaran ilmu silat di bawah lantai. Yang sebuah adalah ilmu silat pedang dan yang lain adalah ilmu silat tangan kosong. Tidak ada nama pada kulit kitab-kitab itu, hanya peti hitamnya terukir gambar Dewi Kwan Im.

Setelah mendapat kenyataan bahwa ilmu-ilmu silat di dalam dua buah kitab itu ternyata merupakan ilmu-ilmu yang aneh dan hebat, Ci Kang girang sekali dan bersama-sama Hui Cu dia lalu mempelajari isi kitab. Ternyata ilmu-ilmu silat itu sangat aneh dan sukar untuk dipelajari. Akan tetapi, setelah mereka mempelajari selama sepuluh tahun, mereka sudah mulai dapat menguasainya.

Dapat dibayangkan betapa sukarnya ilmu-ilmu itu dipelajari kalau dua orang yang memiliki kepandaian tinggi seperti mereka berdua saja baru dapat menguasai ilmu-ilmu itu setelah belajar selama sepuluh tahun! Karena kedua ilmu itu tidak ada namanya, mengingat akan gambar Dewi Kwan Im pada petinya, Ci Kang dan Hui Cu lalu memberi nama Kwan-im Kiam-sut (Ilmu Pedang Dewi Kwan Im) dan Kwan-im Sin-kun (Silat Sakti Dewi Kwan Im) kepada dua ilmu itu. Dan ternyata bahwa Kwan-im Sin-kun telah berhasil mereka gunakan dengan baik sehingga dapat mengalahkan Lam-hai Giam-lo.

Demikianlah, dengan adanya Bi Lian yang cerdik dan lincah jenaka, juga dengan adanya dua buah kitab pelajaran ilmu silat itu, Ci Kang dan Hui Cu tidak terlalu berat menjalani hukuman yang dijatuhkan terhadap mereka. Apa lagi mereka saling memiliki dan mereka saling mencinta. Hari demi hari mereka lewatkan dengan tenang, memperdalam ilmu silat dan memperkuat sinkang dengan jalan bersemedhi.

Akan tetapi, kurang lebih satu tahun yang silam, ketika pada suatu malam mereka pergi berkunjung ke dusun hendak menengok puteri mereka, mereka melihat dusun itu porak-poranda dan rusak binasa. Mereka terkejut sekali dan dari beberapa orang yang selamat dari kebinasaan, mereka mendengar berita yang sangat mengejutkan, yaitu bahwa dusun itu kedatangan iblis-iblis yang mengamuk dan saling berkelahi dengan hebat.

Banyak di antara penghuni dusun yang tewas karena amukan yang membabi buta, dan di antara mereka yang tewas adalah Cu Pak Sun beserta isterinya. Sementara itu, Bi Lian lenyap tanpa meninggalkan bekas!

Tentu saja Ci Kang dan Hui Cu langsung melakukan penyelidikan. Mereka terkejut sekali melihat betapa mayat-mayat yang masih berada di dalam peti mati, karena peristiwa itu baru terjadi kemarin, ternyata menunjukkan bahwa mereka tewas akibat pukulan-pukulan sakti!

Mereka berusaha mencari ke sana sini, namun tanpa hasil. Anak mereka lenyap tanpa meninggalkan bekas, tidak tahu pergi ke mana atau dibawa oleh siapa! Hui Cu menangis dan tentu akan nekat meninggalkan tempat hukuman kalau tidak dihibur dan dibujuk oleh Ci Kang.

"Tidak ada gunanya." demikian antara lain Ci Kang menghibur. "Kita tidak tahu ke mana perginya Bi Lian dan tidak tahu pula siapa yang membawanya pergi. Ke mana kita harus mencari? Kita pun tak mungkin meninggalkan hukuman yang telah kita lalui setengahnya. Ingat, bukankah sejak dulu kita memang sengaja hendak menebus dosa orang tua kita? Percayalah, keprihatinan kita selama ini bukan tidak ada gunanya dan Bi Lian tentu akan selamat sehingga kelak bisa berjumpa kembali dengan kita. Anak itu tidak dibunuh orang, melainkan mungkin melarikan diri atau diculik. Dan kalau diculik, berarti penculiknya tidak bermaksud membunuhnya."

Akhirnya Hui Cu berhasil dibujuk dan dia semakin giat berlatih sampai perhatian mereka tertarik kepada Han Siong yang setiap hari menyapu halaman dan lantai di depan kamar tahanan. Mereka berdua melihat bahwa anak itu mempunyai bakat yang amat baik! Dan usianya sebaya atau sedikit saja lebih tua dari Bi Lian. Timbul niat di hati mereka untuk mengambil Han Siong sebagai murid.

Mereka lalu melayangkan surat kepada ketua kuil, mempergunakan kepandaian mereka di waktu malam. Ketua kuil menerima surat itu dan karena itulah dia menyuruh Han Siong untuk memanggil dua orang tahanan itu agar menghadap dan itulah pertama kalinya Han Siong bertemu muka dengan mereka.

"Demikianlah, muridku. Kami sedang kehilangan anak kami yang tercinta dan permintaan kami untuk mengambil engkau sebagai murid juga ditolak. Kemudian terjadilah peristiwa dengan Lam-hai Giam-lo sehingga akhirnya engkau dapat juga menjadi murid kami walau pun engkau harus pula meninggalkan jubah hwesio. Dan dapatkah engkau menduga, apa sebabnya kami ingin sekali mengangkatmu menjadi murid selain melihat bahwa engkau amat berbakat?"

Han Siong adalah seorang anak yang sangat cerdik. Mendengar penuturan suhu-nya dia dapat menghubungkan sebuah peristiwa dengan peristiwa lainnya, maka tanpa ragu-ragu lagi dia menjawab, "Setelah memperoleh ilmu dari Suhu dan Subo sehingga teecu cukup kuat, teecu akan pergi mencari adik Bi Lian sampai dapat!"

Mendengar ucapan ini, Ci Kang tersenyum dan merangkul pundak muridnya yang duduk di hadapannya. Dia merasa girang, juga bangga dan kagum. "Ahh, sudah kuduga bahwa engkau memang cerdik sekali, Han Siong. Memang itulah yang kami harapkan! Sesudah kami menganggap engkau cukup kuat, kami minta supaya engkau pergi mencari Bi Lian sampai dapat dan menyerahkan dua buah kitab pusaka kami kepadanya, kemudian juga membimbing dia untuk mempelajari kitab-kitab Dewi Kwan Im itu. Kami sendiri baru bisa mempelajarinya dengan susah payah karena kami belajar tanpa ada pembimbing. Kalau dibimbing, tentu orang dapat menguasainya lebih cepat lagi."

Demikianlah, mulai hari itu Han Siong membiarkan rambut di kepalanya tumbuh, memakai pakaian biasa, akan tetapi masih bekerja biasa. Hanya sekarang dia tidak diperbolehkan membersihkan bagian yang dianggap suci dan hanya menyapu di pekarangan dan kebun, memikul air dan pekerjaan lain. Dia tidak boleh lagi mempelajari kitab-kitab agama walau pun dia masih boleh membaca kitab-kitab kuno yang berisi cerita dan filsafat dari ruang perpustakaan.

Setiap malam dengan amat giatnya dia berlatih ilmu silat di bawah pengawasan suhu dan subo-nya. Kedua orang gurunya dengan penuh semangat melatihnya karena dua orang ini mengharapkan agar Han Siong bisa cepat menguasai ilmu silat yang tinggi agar dapat diharapkan untuk mencari dan menemukan puteri mereka yang hilang.

Tentu saja Ci Kang dan Hui Cu tidak langsung mengajarkan ilmu silat dari dua kitab Kwan Im, karena masih terlalu tinggi bagi Han Siong. Pemuda ini dilatih dengan ilmu-ilmu silat mereka yang juga amat tinggi sebagai dasar untuk kelak dapat menerima kedua ilmu silat yang luar biasa itu…..

********************
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar