Asmara Berdarah Jilid 58

Sementara itu, Bin Mo To yang sudah tua sekali itu pun mengamuk, akan tetapi amukan pedangnya ditahan oleh pedang di tangan Sim Thian Bu. Bin Mo To pernah menjadi datuk timur yang terkenal sekali dengan ilmu pedangnya dan ilmunya di dalam air. Akan tetapi sudah dua puluh tahun lebih dia tidak pernah mencabut pedang, tidak pernah berkelahi dan ketika pasukan menyerbu Ceng-tek, dia pun hanya memberi petunjuk saja dan tidak ikut terjun ke dalam pertempuran.

Akan tetapi kali ini dia terpaksa bertanding mati-matian, ada pun lawannya adalah murid terkasih mendiang Iblis Buta, maka tentu saja dia merasa kewalahan dan repot sekali. Bukan hanya gerakannya kurang tangkas lagi, juga napasnya pendek sehingga lewat tiga puluh jurus saja napasnya sudah terengah-engah. Keadaannya tidak lebih baik dari pada puterinya yang juga sudah terkurung oleh gulungan sinar pedang di tangan Siang Hwa.

Maklum bahwa keadaannya terhimpit dan sukar untuk meloloskan diri, Bin Biauw berseru keras sekali, "Anak-anak, pergilah kalian dan selamatkan diri! Cepat...!" Suaranya kandas dan tubuhnya terhuyung, pedangnya terlepas lantas kedua tangannya mendekap dada di mana terdapat luka yang mencucurkan darah karena ketika dia berteriak tadi, pedang di tangan Siang Hwa telah menembus jantungnya.

"Ayah... lari...!" Bin Biauw masih sempat berteriak sebelum tubuhnya terguling kemudian tidak bergerak lagi.

Bin Mo To terkejut bukan main dan rasa kaget ini melemahkan dan membuatnya lengah sehingga dengan mudah saja pedang di tangan Sim Thian Bu menyambar lalu mengenai batang lehernya! Tanpa dapat mengeluarkan suara lagi kakek itu terpelanting dan roboh dengan darah bercucuran dari lehernya. Kakek itu tewas hanya berselang beberapa detik saja sesudah puterinya tewas.

Sementara itu, sejak tadi para murid Cin-ling-pai sudah menerjang keluar dan terjadilah pertempuran yang seru namun berat sebelah, antara puluhan orang Cin-ling-pai melawan ratusan orang prajurit pemberontak, pasukan yang dipimpin oleh Gui Siang Hwa, pasukan istimewa yang rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan.

Biar pun para anak murid Cin-ling-pai melawan dengan gagah berani, tetapi jumlah lawan terlampau banyak. Setiap anggota Cin-ling-pai harus menghadapi pengeroyokan belasan orang lawan, maka tentu saja mereka terdesak hebat.

Pada saat Bin Biauw berteriak menyuruh mereka lari, ada beberapa orang yang berhasil meloloskan diri dari kepungan dan melarikan diri, dikejar-kejar oleh para prajurit. Keadaan kacau yang timbul dari kejar-kejaran ini kemudian memberi kesempatan pada para murid Cin-ling-pai untuk berusaha meloloskan diri. Namun demikian, banyak di antara mereka yang gagal dan roboh sebelum berhasil keluar dari kota.

Ada belasan orang saja yang akhirnya berhasil lolos dari dalam kota, melarikan diri sambil membawa luka-luka pada tubuh mereka, sedangkan puluhan orang lainnya tewas. Hanya seperempat bagian saja dari orang-orang Cin-ling-pai itu selamat dari pembantaian yang terjadi di Ceng-tek!

Bagaimana dengan nasib Cia Kong Liang, ketua Cin-ling-pai itu? Ejekan yang keluar dari mulut Siang Hwa bukan hanya kosong belaka. Memang kedatangan ketua Cin-ling-pai itu ke San-hai-koan sudah diketahui lebih dahulu oleh Raja Iblis! Apa yang terjadi di Ceng-tek sudah didengarkan oleh Siang Hwa dan Thian Bu, bayangan-bayangan yang terlihat oleh Bin Biauw dan terdengar oleh Cia Kong Liang.

Mendengar percakapan itu, Siang Hwa yang memang selalu memata-matai orang-orang Cin-ling-pai, cepat-cepat mengirim utusan ke San-hai-koan memberi tahu kepada gurunya sehingga tentu saja kunjungan ketua Cin-ling-pai itu ke San-hai-koan telah diketahui lebih dahulu dan kedatangannya itu sudah ditunggu-tunggu!

Setelah melakukan perjalanan semalam suntuk tanpa pernah berhenti, pada esok harinya Cia Kong Liang yang mempunyai watak keras dan gagah perkasa itu memasuki benteng San-hai-koan. Dia langsung masuk saja dan karena dia sudah dikenal oleh para penjaga pintu gerbang, dia diperbolehkan masuk dengan sikap hormat.

Meski pun hari masih sangat pagi dan belum pantas untuk sebuah kunjungan, Cia Kong Liang tidak peduli. Kemarahan yang bergejolak di hatinya hampir tidak dapat ditahannya lagi dan dia pun langsung mengunjungi gedung Panglima Ji Sun Ki yang dijaga ketat oleh pasukan pengawal. Mereka ini pun mengenal Cia Kong Liang dan menyambutnya dengan hormat.

"Aku hendak bertemu dengan Ji-ciangkun," katanya dengan tenang. "Katakan ada urusan yang penting sekali dan kuharap dia akan suka menerimaku sekarang juga!"

Sesudah dilaporkan ke dalam, ketua Cin-ling-pai itu segera dipersilakan masuk ke dalam ruangan tamu yang luas dan ketika dia masuk, di sana telah duduk Panglima Ji Sun Ki seorang diri. Begitu melihat ketua Cin-ling-pai, panglima itu mengangkat tangan kanan sebagai salam dan mempersilakannya duduk.

"Silakan duduk, Cia-pangcu. Pagi-pagi sekali pangcu telah mencariku, ada urusan penting apakah?" tanyanya ramah akan tetapi tegas.

Dengan tenang Cia Kong Liang mengambil tempat duduk berhadapan dengan panglima itu, terhalang sebuah meja besar. Setelah duduk, dia memandang sejenak penuh selidik, barulah dia berkata, "Ji-ciangkun, maafkan kalau kedatanganku ini mengganggumu. Akan tetapi ada satu hal yang teramat penting hingga memaksaku malam-malam meninggalkan kota Ceng-tek dan langsung mengunjungi ciangkun pada pagi hari ini."

Sambil tersenyum ramah panglima itu berkata, "Ahh, kalau begitu tentu urusan itu penting sekali. Katakanlah, pangcu, urusan apakah itu?"

Cia Kong Liang menatap tajam, lalu melontarkan pertanyaannya, "Ciangkun, sebenarnya siapakah Pangeran Toan Jit Ong dan isterinya itu?"

Panglima itu mengerutkan alisnya dan memandang heran. "Sungguh mengejutkan sekali pertanyaan pangcu ini sehingga aku tidak mengerti apa yang pangcu maksudkan dengan pertanyaan aneh itu. Pangeran Toan Jit Ong adalah seorang pangeran keluarga kaisar yang telah puluhan tahun meninggalkan kota raja dan hidup bertapa. Akan tetapi, melihat keadaan pemerintah yang demikian lalim, sekarang beliau turun gunung."

"Akan tetapi dia adalah datuk sesat yang berjuluk Raja Iblis, sedangkan isterinya adalah Ratu Iblis! Benarkah itu?"

Ji-ciangkun mengangkat kedua pundaknya. "Aku tidak memperhatikan mengenai perkara itu, pangcu, dan andai kata benar pun, apa bedanya?"

"Apa bedanya?" Cia Kong Liang berseru marah, "dia adalah seorang raja datuk sesat dan dia dibantu oleh Cap-sha-kui serta para datuk sesat lain dari golongan hitam! Tak tahukah ciangkun akan hal ini?"

Ji-ciangkun mengerutkan alisnya. "Aku tahu atau memang bisa menduganya. Akan tetapi apa salahnya? Yang penting adalah menggulingkan pemerintah yang dipimpin oleh kaisar lemah bersama pembesar-pembesar lalim, dan Pangeran Toan adalah seorang pangeran asli..."

"Ji-ciangkun! Aku... kami dari Cin-ling-pai tidak sudi bekerja sama dengan golongan hitam! Para penjahat itu hanya akan mengotori perjuangan kita. Ji-ciangkun, engkau tidak boleh bersekutu dengan orang-orang jahat dari kaum sesat itu!"

Panglima Ji menatap dengan alis berkerut dan sinar matanya dingin sekali. "Cia-pangcu, sikap dan kata-katamu sungguh aneh sekali. Lalu apa yang akan kau lakukan karena aku bersekutu dengan mereka?"

"Ji-ciangkun, engkau harus mengusir mereka semua dan tak boleh menggunakan tenaga mereka untuk perjuangan!"

Wajah panglima itu menjadi merah, sedangkan sinar matanya mengandung kemarahan. "Cia-pangcu, bicaramu sungguh aneh dan lancang. Ada hak apakah maka engkau hendak melarang dan mengatur apa yang akan kulakukan? Kalau aku tetap bekerja sama dengan mereka, engkau mau apa?"

"Brakkk...!"

Cia Kong Liang bangkit berdiri dan tangannya menampar meja di hadapannya sehingga empat kaki meja itu menancap dan masuk ke dalam lantai hampir sejengkal dalamnya!

"Ji-ciangkun, engkau tinggal memilih saja. Mereka yang pergi atau kami yang pergi!"

Panglima itu pun bangkit berdiri dan memandang marah. "Orang she Cia, engkau adalah manusia yang sombong dan angkuh! Apa sih artinya puluhan orang Cin-ling-pai bagiku? Kalian datang tanpa kuundang dan kalau mau pergi, tidak semudah itu. Kami tidak mau kalian keluar membawa rahasia-rahasia pertahanan kami!"

Tiba-tiba saja terdengar suara dengusan dan disusul suara wanita, "Ketua Cin-ling-pai ini memang besar kepala dan patut menerima hukuman!"

Cia Kong Liang membalikkan tubuhnya dan dia melihat Raja Iblis bersama Ratu Iblis telah berdiri di ambang pintu ruangan itu dengan sikap yang menakutkan, wajah mereka yang kehijauan laksana dua mayat hidup saja. Dan di belakang mereka nampak puluhan orang prajurit pengawal yang siap dengan tombak dan golok mereka.

Sekilas pandang saja tahulah ketua Cin-ling-pai itu bahwa dia sudah terkepung dan tidak mungkin dapat meloloskan diri kecuali harus melawan mereka. Dia pun dapat menduga bahwa Raja dan Ratu Iblis ini tentu lihai sekali, apa lagi ditambah puluhan orang pasukan pengawal. Mana mungkin dia yang hanya seorang diri dapat melawan musuh yang sekian banyaknya itu?

Pikirannya bekerja cepat dan tiba-tiba saja tubuhnya membalik lantas melompat ke arah Ji-ciangkun! Panglima ini terkejut bukan main, dapat menduga bahwa ketua Cin-ling-pai itu menyerangnya, maka dia segera menyambutnya dengan pukulan tangan kanan yang keras ke arah dada Cia Kong Liang!

Akan tetapi dengan amat mudahnya ketua Cin-ling-pai itu menangkap pergelangan lengan kanan lawan kemudian sekali menggerakkan jari tangan kanan menotok, tubuh panglima itu menjadi lemas tidak mampu melawan lagi! Cia Kong Liang menelikung lengan itu ke belakang tubuh dan sambil mengancam dengan pedangnya.

Ketika dia mencabut Hong-cu-kiam, nampak berkelebat sinar emas. Itulah pedang pusaka Hong-cu-kiam yang tipis dan dapat digulung menjadi ikat pinggang! Sambil menempelkan pedangnya di batang leher Ji-ciangkun, dia menghardik ke depan,

"Kalau ada yang menyerangku, maka panglima ini akan kubunuh lebih dahulu!"

Akan tetapi mendadak terdengar suara Ratu Iblis mengejek. "Heh-heh, pangcu, kau boleh membunuh panglima tujuh kali dan kami masih dapat mengangkat yang lain delapan kali. Apa artinya seorang panglima bagi kami? Setiap waktu kami dapat mengangkat panglima lain sebagai penggantinya. Bunuhlah kalau mau bunuh dia, akan tetapi engkau tetap tidak akan mampu lolos dari kami!"

Cia Kong Liang bukan orang bodoh dan dia tahu bahwa apa yang dikatakan Ratu Iblis itu memang benar. Sekarang baru dia menyadari bahwa orang pertama dalam barisan kaum pemberontak itu bukanlah Ji-ciangkun, melainkan Pangeran Toan Jit Ong atau Raja Iblis yang berdiri diam saja di samping isterinya yang menjadi juru bicara itu.

Menyandera Ji-ciangkun tidak ada artinya dan membunuhnya pun juga tidak ada artinya. Bahkan kalau mungkin lebih baik dia memanaskan hati Ji-ciangkun. Maka dia pun segera membebaskan totokannya dari tubuh panglima itu.

"Nah, ciangkun, harap jangan bertindak bodoh. Lihat sikap dan ucapan mereka! Apakah engkau masih sudi bersekutu dengan iblis-iblis jahat dan palsu macam mereka?"

Setelah dibebaskan dari totokan, Ji Sun Ki mundur-mundur dan wajahnya nampak merah sekali tanda kemarahannya. "Cia-pangcu, engkau sungguh bodoh! Tanpa bimbingan dari Toan Ong-ya, mana mungkin kita berhasil? Menyerahlah saja!"

Tentu saja Cia Kong Liang menjadi marah bukan main. Tak disangkanya bahwa Raja Iblis telah menguasai Ji-ciangkun seperti itu. Tahulah dia bahwa sekarang harapan untuk lolos tidak ada lagi, dan dia menjadi nekat. "Baiklah Raja Iblis, kalau begitu aku akan mengadu nyawa denganmu!"

Cia Kong Liang meloncat lantas pedangnya berkelebat menjadi sinar emas yang panjang dan cepat menyambar ke arah Raja Iblis. Akan tetapi, mendadak Ratu Iblis mengeluarkan lengkingan panjang dan pedangnya telah berada di tangan, bergerak menangkis serangan ketua Cin-ling-pai itu.

"Tranggg...!"

Keduanya meloncat ke belakang dan langsung memeriksa pedang masing-masing karena pertemuan kedua batang pedang itu tadi telah membuat tangan mereka tergetar. Setelah melihat bahwa pedang mereka tidak rusak, Cia Kong Liang cepat menyerang lagi dengan dahsyatnya, langsung disambut oleh Ratu Iblis yang memutar pedangnya dengan cepat. Serang menyerang terjadi akan tetapi semua serangan dapat dielakkan atau ditangkis.

Lewat belasan jurus kemudian, tiba-tiba saja Ratu Iblis membentak nyaring dan kini bukan hanya pedangnya yang menusuk ke arah lambung lawan, namun rambutnya juga sudah berubah menjadi senjata ampuh menyambar ke arah tenggorokan Cia Kong Liang.

Pendekar ini terkejut bukan kepalang. Dia maklum bahwa serangan rambut itu tidak kalah ampuh dari serangan-serangan pedang, maka sambil menangkis pedang yang menusuk lambung, dia pun mengerahkan tenaga pada telapak tangan kirinya dan sekarang tenaga Thian-te Sin-ciang yang amat kuatnya menyambar ke arah gumpalan rambut itu.

Rambut itu membuyar dan hilang tenaganya pada waktu bertemu dengan tenaga Thian-te Sin-ciang, membuat nenek itu terkejut bukan kepalang. Dia dapat menduga bahwa orang yang telah menjadi ketua Cin-ling-pai tentu lihai sekali, akan tetapi tak disangkanya selihai itu! Dengan sendirinya dia kini tidak berani memandang rendah lawan.

Maka dia pun mengeluarkan suara memekik nyaring dan kini pedangnya bergerak-gerak aneh dan liar, sedangkan tangan kirinya diputar-putar lalu menyambar-nyambar ke depan dengan telapak tangan terbuka. Terdengar desir angin ketika tangan kiri itu didorongkan ke depan.

Cia Kong Liang merasa betapa angin pukulan yang panas dan kuat menyambar ke arah tubuhnya. Cepat dia pun mengerahkan Thian-te Sin-ciang dan melawan pukulan-pukulan itu dengan dorongan telapak tangan kirinya, sedangkan pedangnya masih terus berupa gulungan sinar emas yang kuat. Pertandingan itu berlangsung semakin seru dan ternyata kedua pihak memiliki tingkat kepandaian dan kekuatan yang seimbang.

Cia Kong Liang merasa penasaran bukan main melihat kenyataan bahwa sampai puluhan jurus dia belum mampu mengalahkan nenek itu. Baru melawan nenek itu saja dia tidak sanggup mengalahkan, apa lagi kalau Raja Iblis sendiri yang maju! Dia membentak dan kini gerakan pedangnya berubah sama sekali karena dia sudah memainkan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut (Ilmu Pedang Kayu Harum) yang amat aneh dan hebat. Pedangnya bergerak tanpa mengeluarkan suara dan tahu-tahu pedang itu menghujam ke arah dada lawan.

Nenek itu cepat menangkis, namun ketika kedua pedang bertemu, pedang Hong-cu-kiam itu membuat gerakan memutar dan tiba-tiba terdengar suara keras saat pedang di tangan nenek itu patah menjadi dua potong! Memang jurus Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut itu sangat hebat dan pedang di tangan ketua Cin-ling-pai itu adalah sebatang pedang pusaka yang lebih ampuh dari pada pedang si nenek.

Akan tetapi, pada saat itu pula rambut nenek itu sudah menyambar dan menotok ke arah pergelangan tangan kanan lawan, sedangkan dua tangan nenek itu sudah menubruk dan mencengkeram. Gerakan ini dilakukan dengan lengking nyaring mengejutkan.

Biar pun Cia Kong Liang telah mengerahkan Tiat-po-san, semacam ilmu kekebalan, tetap saja lengannya agak kesemutan ketika terkena totokan rambut dan pada saat pedangnya hampir terampas itu, tiba-tiba dari samping menyambar angin pukulan yang sangat hebat dan tahu-tahu pedangnya telah terbang meninggalkan tangannya.

Cia Kong Liang cepat meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri dari tubrukan Ratu Iblis, dan ketika dia mengangkat muka, ternyata pedangnya telah berada di tangan Raja Iblis yang sedang menimang-nimangnya dan memeriksanya tanpa mempedulikan dirinya. Cara Raja Iblis merampas pedang saja sudah membuktikan betapa saktinya iblis itu.

Akan tetapi Cia Kong Liang tidak menjadi gentar, bahkan merasa penasaran dan marah sekali. Sambil mengerahkan tenaga dia pun segera meloncat ke depan, menyerang Raja Iblis sambil membentak, "Kembalikan pedangku!"

Akan tetapi Ratu Iblis yang juga telah kehilangan pedang cepat meloncat lalu menyambut serangan ketua Cin-ling-pai yang ditujukan kepada suaminya. Dua tubuh itu bertemu di udara dan dua pasang tangan saling bersilang dan berbenturan.

"Desss...!"

Tubuh keduanya terlempar ke belakang, akan tetapi tubuh Ratu Iblis terlempar lebih jauh dan dia agak terhuyung ketika kedua kakinya menyentuh tanah, ada pun tubuh pendekar itu tetap tegak.

"Ji-ciangkun, tangkap dia!" tiba-tiba terdengar suara Raja Iblis memerintah dan terdengar Ji Sun Ki memberi aba-aba kepada anak buahnya.

"Kepung dan tangkap pengkhianat ini!" bentaknya.

Mendengar bentakan Ji-ciangkun ini, Cia Kong Liang menjadi amat marah dan tahulah dia bahwa panglima itu sudah menjadi antek Raja Iblis. Bukan Panglima Ji yang memimpin pemberontakan itu, melainkan Raja Iblis! Alangkah bodohnya! Dia telah membawa nama Cin-ling-pai ke dalam lumpur, menyeret Cin-ling-pai menjadi antek-antek Raja Iblis!

"Majulah jangan dikira aku takut!" bentaknya dan dia pun mengamuk ketika dikepung oleh banyak sekali prajurit pengawal.

Akan tetapi jumlah mereka banyak sekali dan tiba-tiba lengannya dapat tertangkap oleh seorang prajurit. Dia hendak meronta, akan tetapi tiba-tiba prajurit itu berbisik, suaranya terdengar dekat sekali di telinganya, tanda bahwa prajurit itu menggunakan ilmu mengirim suara yang amat kuat.

"Percuma melawan, menyerah saja untuk saat ini!" Dalam suara itu terkandung nasehat dan juga bujukan, dan Cia Kong Liang dapat menduga bahwa prajurit ini tentu bermaksud baik, maka dia pun berhenti meronta dan membiarkan dirinya ditelikung dan dibelenggu.

"Bunuh saja dia!" Terdengar Ji-ciangkun berkata. "Jika tidak tentu dia akan menyusahkan saja di kemudian hari."

"Tidak, masukkan saja ke dalam tahanan dan jaga keras jangan sampai lolos. Lain waktu kita bisa membutuhkan dia," terdengar Raja Iblis berkata dan tubuh ketua Cin-ling-pai lalu diseret oleh beberapa orang prajurit pengawal, dibawa ke dalam sebuah kamar tahanan yang kokoh kuat dan dijaga oleh selosin orang prajurit pengawal.

Cia Kong Liang mencari-cari dengan pandang matanya, namun prajurit yang tadi berbisik kepadanya sudah lenyap menyelinap di antara banyak prajurit di situ…..

********************

Gerakan para pemberontak yang telah menduduki San-hai-koan dan Ceng-tek, tentu saja amat mengejutkan pemerintah di kota raja. Panglima Ji dikenal sebagai seorang Panglima golongan tua yang sejak dahulu selalu setia terhadap pemerintah. Oleh karena itu, ketika mula-mula terdengar berita bahwa kota San-hai-koan sudah diduduki oleh panglima yang memberontak ini, pemerintah di kota raja masih merasa ragu-ragu untuk dapat percaya.

Mungkin terjadi pertikaian pendapat antara pimpinan pasukan Ceng-tek dengan pimpinan pasukan San-hai-koan yang dipimpin Ji-ciangkun, demikian para menteri di istana kaisar berpendapat. Oleh karena itu, sebelum dilakukan penyelidikan terlebih dahulu, tidak perlu dikirim pasukan besar dari kota raja, karena jaraknya cukup jauh.

Penyelidikan segera dilakukan dan terkejutlah kaisar serta para pembantunya pada waktu mendengar bahwa bukan hanya San-hai-koan yang diduduki, bahkan kota Ceng-tek juga telah diduduki oleh pasukan pemberontak yang kini terus memperluas kekuasaan mereka dengan penyerbuan ke dusun-dusun.

Setelah mengadakan perundingan dengan para menteri, Panglima Yang Ting Houw, yaitu seorang panglima muda yang sangat cerdik berkata, "Menurut penyelidikan dan laporan beberapa orang pendekar yang baru kembali dari utara, pergerakan kaum pemberontak yang dipimpin Ji Sun Ki itu dibantu oleh golongan hitam di dunia kang-ouw. Pergerakan itu diikuti pula oleh para suku bangsa liar di daerah utara yang agaknya hendak menegakkan kembali kekuasaan mereka di selatan. Oleh karena itu, menurut pendapat hamba, lebih baik kalau membiarkan dua pihak itu, pasukan pemberontak dan pasukan suku liar, saling hantam sendiri. Sesudah mereka saling hantam dan menderita sehingga menjadi lemah, barulah kita turun tangan membasmi keduanya dan mengerahkan pasukan besar yang sudah kita persiapkan secara rahasia."

Kaisar serta para pembesar menyatakan setuju, maka diaturlah pasukan yang berjumlah dua puluh lima ribu orang, dipimpin oleh panglima-panglima yang berpengalaman, untuk menuju ke utara secara diam-diam dan dengan cara berpencar.

Sementara itu, Yelu Kim yang kini sudah menjadi pimpinan para kepala suku bangsa di utara, sudah mempersiapkan diri pula. Dibentuknya pasukan sangat kuat yang terdiri dari berbagai suku bangsa utara itu dan dilatihnya mereka supaya mengenal tanda-tanda dan isyarat-isyarat barisan.

Mereka itu tak perlu lagi dilatih untuk bertempur karena setiap anggota pasukan dari suku bangsa di utara itu merupakan orang yang sudah biasa bertempur, terbiasa menghadapi kesukaran, pendeknya orang yang sudah digembleng oleh keadaan hidup yang sukar dan keras. Mereka adalah penunggang-penunggang kuda yang sangat mahir, juga pemanah-pemanah yang terlatih sekali dan orang-orang yang berani mati.

Karena nampaknya pihak pemerintah di selatan belum juga mengirim pasukan besar dan yang menentang gerakan para pemberontak itu hanyalah pasukan-pasukan pemerintah di perbatasan yang tidak seberapa kuat, Yelu Kim kemudian merencanakan penyerbuan ke Ceng-tek. Apa lagi setelah dia mendengar akan pemberontakan di dalam benteng itu oleh orang-orang Cin-ling-pai yang tadinya membantu pemberontak.

Dia menganggap sudah tiba saatnya yang baik untuk bergerak karena benteng Ceng-tek itu tidaklah sekuat San-hai-koan yang menjadi pusat pemberontak di mana tinggal para pimpinan pemberontak dengan pasukannya yang besar dan kuat. Kekuatan kota Ceng-tek hanya beberapa ribu orang pasukan dan sesudah mengumpulkan kurang lebih tujuh ribu orang, Yelu Kim kemudian mengatur siasat untuk melakukan penyerbuan terhadap para pemberontak yang menduduki Ceng-tek.

Kota itu akan diserbu dari delapan penjuru angin! Dan para pembantunya yang pandai akan menimbulkan kekacauan pada empat pintu gerbang, kemudian, jauh hari sebelum penyerbuan dilakukan, sebanyak mungkin pembantunya yang pandai akan diselundupkan memasuki kota benteng itu dan pada waktu para pembantu menimbulkan kekacauan di keempat pintu gerbang, mereka yang menyelundup ini serentak melakukan pengrusakan dengan cara membakar tempat-tempat penting.

Kebakaran inilah yang akan menjadi tanda bagi pasukan Yelu Kim untuk menyerbu dari delapan penjuru. Yang empat bagian menyerbu langsung ke pintu gerbang yang sedang kacau, dan yang empat bagian lain menyerbu dengan menghujankan anak panah melalui tembok benteng dan menyerbu dengan menggunakan tangga dan tali.

Demikian rapinya Yelu Kim mengatur siasat sehingga sudah puluhan orang mata-mata diselundupkannya ke Ceng-tek tanpa ada yang mengetahuinya. Para komandan di kota Ceng-tek masih tenang saja, sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kota mereka diam-diam telah terkepung oleh banyak prajurit pasukan suku bangsa utara!

Sesudah Cin-ling-pai dihancurkan, kota Ceng-tek ini dipimpin oleh Sim Thian Bu dan Gui Siang Hwa, dibantu oleh para perwira pasukan pemberontak. Di antara beberapa orang datuk sesat yang membantu kedua orang ini melakukan penjagaan di Ceng-tek terdapat Koai-pian Hek-mo, Hwa Hwa Kui-bo, dan Tho-tee-kwi, tiga di antara Cap-sha-kui yang tinggal tujuh orang itu. Empat orang tokoh lainnya tak pernah berpisah dari Raja dan Ratu Iblis karena mereka yang berjuluk Hui-thian Su-kwi (Empat Setan Terbang ke Langit) ini dipercaya untuk menjadi pengawal pribadi Raja dan Ratu Iblis!

Kaum pemberontak itu bukan pejuang-pejuang sejati, melainkan gerombolan orang-orang yang selalu mengejar kesenangan. Bahkan pemberontakan itu pun mereka lakukan demi mengejar kesenangan. Oleh karena itu, sesudah Cin-ling-pai dibasmi, penjagaan di kota benteng itu tidaklah seketat semula.

Para pimpinan itu kerjanya hanya bersenang-senang saja, makan minum, pesta pora dan melampiaskan nafsu-nafsu mereka sepuasnya karena di kota benteng itu merekalah yang berkuasa. Memang mereka tidak merasa khawatir. Benteng mereka itu amat kuat, terjaga oleh ribuan orang, ada lima ribu lebih orang tentara. Apa lagi tidak nampak tanda-tanda datangnya pasukan pemerintah dari selatan. Apa yang perlu ditakutkan?

Pada senja hari itu, seperti biasa, para penjaga pintu gerbang menjaga sambil bersenang-senang. Ada yang bermain kartu, ada yang minum-minum dan setiap ada wanita muda lewat di pintu gerbang, tentu mereka akan mengganggunya, baik dengan ucapan-ucapan atau pun dengan sentuhan-sentuhan. Karena kebiasaan yang amat buruk ini, jarang ada wanita muda berani melewati pintu gerbang.

Akan tetapi pada senja hari itu, di pintu gerbang sebelah timur, nampak seorang wanita muda mendorong sebuah gerobak, datang dari luar pintu gerbang. Wanita ini masih muda, pakaiannya seperti wanita petani biasa, akan tetapi wajahnya amat cantik, berkulit halus dan matanya indah bersinar-sinar.

Senja itu jarang ada orang lewat di pintu gerbang dan keadaannya sudah sunyi, membuat para penjaga menjadi semakin jemu dan membutuhkan hiburan. Sebentar lagi, bila mana sudah ada tanda genta dibunyikan, pintu gerbang akan ditutup dan mereka dapat berjaga sambil tidur.

Ketika melihat wanita yang mendorong gerobak itu datang dari jauh, segera penjaga yang melihatnya mengeluarkan seruan girang. "Si cantik datang mengunjungi kita!" serunya.

Para penjaga yang jumlahnya selosin orang itu pun keluar semua. Yang sedang berjudi menghentikan permainan mereka, yang sedang minum-minumpun keluar dan semua kini berdiri menghadang di pintu gerbang, memandang kepada wanita muda yang mendorong gerobak itu dengan mulut menyeringai.

Wanita muda itu agaknya tidak peduli dan terus saja datang menghampiri pintu gerbang. Gerobak dorong itu tidak besar, muatannya penuh dengan jerami. Agaknya ia baru pulang mengumpulkan jerami untuk makanan ternaknya. Tentu perempuan ini tadi keluar melalui pintu gerbang lain, pikir para penjaga itu karena mereka tidak melihat wanita itu keluar.

"Aih, manis, perlahan dulu...!" kata kepala jaga sambil melintangkan tombak panjangnya ketika wanita itu hendak lewat.

Wanita muda itu terpaksa menghentikan gerobaknya dan memandang tajam kepada dua belas orang penjaga itu. Alisnya berkerut dan matanya bersinar-sinar, akan tetapi bibirnya tersenyum. Memang cantik jelita sekali gadis ini, maka walau pun dia berpakaian wanita dusun, kecantikannya menonjol dan membuat dua belas orang penjaga itu mengilar. Tak mereka sangka bahwa hari itu, sebelum tutup pintu gerbang, mereka memiliki nasib begini baik bertemu dengan seorang wanita secantik ini.

"Kalian mau apa? Biarkan aku lewat!" kata gadis itu sambil mencibirkan bibirnya yang merah basah.

"Aihh, kenapa terburu-buru amat?"

"Berhenti dulu, kita bicara-bicara nona manis. Masih banyak waktu untuk pulang."

"Siapa sih namamu, manis?"

"Berapa usiamu?"

"Di mana rumahmu? Aku belum pernah melihat seorang gadis secantikmu!"

Dengan sikap amat ceriwis para penjaga itu mengeluarkan ucapan-ucapan menggoda dan merayu, akan tetapi gadis itu hanya tersenyum saja.

"Harap jangan menahanku, aku tergesa-gesa, sapiku sudah lapar," katanya membujuk.

"Ha-ha-ha-ha, perlahan dulu, nona. Engkau tidak boleh lewat sebelum membayar pajak!" kepala jaga berkata sambil tertawa-tawa dan mengamang-amangkan tombaknya seperti orang mengancam dan menakut-nakuti.

"Pajak? Pajak apa?" tanya gadis itu.

"Orang lain harus membayar dengan uang, akan tetapi tetapi engkau cukup membayar... ehm…, tentu engkau tahu sendiri, nona."

"Hemm, membayar apakah? Harap dijelaskan," gadis itu mendesak.

Kepala jaga itu menyeringai lebar. "Bukan sapimu saja yang lapar, akan tetapi kami juga lapar, bukan lapar karena makanan, melainkan lapar akan wanita cantik. Engkau harus menemani kami tidur, baru boleh lewat."

"Ihhh!" Wajah yang cantik itu menjadi merah sekali dan matanya mengeluarkan cahaya berapi. "Sudah kukira! Kalian hanyalah babi-babi yang kurang ajar dan suka mengganggu wanita! Mau makan? Nih, makanlah ini...!"

Dan tiba-tiba saja gadis itu mendorong gerobaknya menabrak si kepala jaga.

"Bresss...!"

Kepala jaga itu terjengkang dan menimpa seorang kawannya yang berdiri di belakangnya. Dia mengaduh-aduh sambil menyumpah-nyumpah karena tulang betisnya yang tertabrak muka gerobak itu terasa nyeri bukan main, kiut-miut rasanya dan dia takut kalau-kalau tulang itu patah.

"Perempuan keparat! Tangkap dia...!"

Namun gadis itu sudah mendorong kembali gerobaknya dengan kuat menabrak seorang penjaga lain yang sudah mencabut golok. Penjaga itu terpelanting, goloknya terlepas dan dia pun mengaduh-aduh kesakitan.

Kini semua penjaga menjadi sadar bahwa wanita ini agaknya memang sengaja hendak memusuhi mereka. Mereka lalu mencabut senjata masing-masing dan mengepung. Akan tetapi si kepala jaga berteriak,

"Simpan senjata kalian, tolol! Tangkap dia hidup-hidup lalu kita permainkan dia sepuasnya sebelum membunuhnya. Jahanam betina ini harus dihajar sampai kita puas!"

Kepala jaga dan kawan-kawannya itu tidak tahu dengan siapa mereka berhadapan. Gadis itu adalah Ceng Sui Cin!

Seperti telah kita ketahui, gadis ini menjadi pembantu Yelu Kim, karena dia melihat bahwa dengan membantu para suku bangsa di utara, maka dia dapat pula ikut menentang para pemberontak yang dipimpin oleh Raja Iblis. Maka, ketika Yelu Kim mengatur siasat dan merencanakan penyerbuan Ceng-tek, dia mengajukan diri untuk bertugas mengacau satu di antara empat pintu gerbang pada waktu penyerbuan hendak dilakukan. Dan gurunya, Yelu Kim, yang percaya akan kelihaian Sui Cin, menyetujui lalu menugaskan muridnya itu untuk mengacau di pintu gerbang bagian timur itu.

Andai kata para penjaga itu telah mengenal Sui Cin, tentu dia akan mengerahkan semua kekuatan kawan-kawannya, mempergunakan senjata untuk menyerang dan mengeroyok gadis pendekar itu. Bahkan, andai kata mereka mempergunakan senjata tajam sekali pun, mereka bukanlah lawan pendekar wanita perkasa ini.

Maka kini, karena mereka maju dengan tangan kosong, enak dan mudah saja bagi Sui Cin untuk mengamuk dan merobohkan mereka semua hanya dengan gerobaknya yang didorong ke sana-sini.....!
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar