"Aku akan menangkap penjahat itu!" serunya kepada si kepala dusun.
Dan tanpa mempedulikan lagi teriakan-teriakan atau halangan-halangan dari mereka, dia berlompatan menuju ke arah suara jeritan wanita tadi. Gerakannya yang memang lincah sekali itu tidak terlambat. Dia melihat bayangan berkelebat keluar dari rumah itu, sedang memanggul tubuh seorang wanita yang kelihatan pingsan atau mungkin juga tertotok.
"Perlahan dulu, sobat!" Hui Song berkata dan dia sudah menerjang ke depan, jari tangan kirinya menotok ke arah pundak.
Orang itu nampak terkejut dan gerakannya ternyata juga amat cepat dan ringan. Dengan mudahnya dia menggerakkan pundak, mengelak lantas melanjutkan larinya. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika tahu-tahu tangan yang tadi luput menotok itu dilanjutkan dengan totokan ke arah lambungnya sedangkan tangan lain menyambar ke atas, mencengkeram ke arah kepalanya. Dua gerakan ini mengandung hawa yang sangat kuat! Agaknya orang itu sama sekali tak pernah menyangka akan bertemu dengan orang sepandai ini di daerah liar itu, maka dia mengerahkan tenaga dan menangkis tangan yang mencengkeram ke arah kepalanya.
"Dukkk...!" dan orang yang tidak mengerahkan semua tenaganya itu terhuyung!
"Ehh, siapa kau...?!" bentaknya.
Dari suaranya Hui Song tahu jelas bahwa orang ini adalah seorang Han. Setelah orang itu melempar korbannya ke atas tanah dan menghadapinya, di dalam keremangan senja dia melihat bahwa dia adalah seorang laki-laki muda yang berwajah tampan bertubuh tegap dan berpakaian pesolek.
Dia teringat akan putera Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta. Bukan, pemuda ini bukan putera datuk sesat itu, melainkan seorang pemuda tampan pesolek yang gerak-geriknya halus. Kalau di tempat seperti ini ada seorang penjahat bangsa Han, jelaslah bahwa penjahat itu tentu anggota dari para datuk sesat anak buah Raja Iblis!
"Aku adalah pembasmimu, jai-hwa-cat terkutuk!" Hui Song membentak dan dia pun telah menerjang kembali dengan tamparan-tamparan yang amat kuat karena dia mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang menghadapi penjahat yang dapat diduganya tentu lihai juga ini.
Tamparan-tamparan itu sangat hebat dan si penjahat agaknya dapat mengenal pukulan lihai, maka dia menggerakkan tangan, namun sekali ini mengerahkan seluruh tenaganya untuk menangkis.
"Plakk! Dukkk...!"
Sekali ini, dua tenaga raksasa bertemu dan akibatnya, keduanya terdorong mundur dan seluruh tubuh mereka tergetar. Hui Song terkejut dan marah, akan tetapi pada saat itu, orang-orang dusun sudah berdatangan dengan senjata di tangan. Mereka berteriak-teriak dan hendak maju mengeroyok, sebagian lagi, dipimpin pemuda bertopi, menolong gadis yang tadi dilemparkan ke atas tanah.
Melihat keadaan tidak menguntungkannya, penjahat pemetik bunga itu lalu mengeluarkan seruan panjang dan meloncat jauh, terus lari menghilang dalam cuaca yang sudah mulai gelap. Hui Song tidak mengejar karena penjahat itu sudah melepas korbannya. Mengejar seorang musuh selihai itu di dalam gelap amatlah berbahaya, dan pula, tugasnya adalah menyelidiki suku-suku bangsa ini, bukan mengejar-ngejar jai-hwa-cat.
Si pria bertopi sekarang menghampiri dan merangkulnya. "Engkau sudah menyelamatkan adikku. Maafkan kecurigaan kami tadi. Kami mengira engkaulah penjahat itu, siapa tahu engkau malah penolong kami."
"Sudahlah, kesalah pahaman itu bisa kumengerti dan dapat kumaafkan. Betapa pun juga, penjahat itu telah menolongku."
"Menolongmu?" Pria bertopi itu berseru heran.
"Kalau dia tidak muncul mencuri adikmu, tentu aku masih terus didakwa sebagai pencuri anak perawan." Hui Song tertawa dan orang itu pun tertawa, juga belasan orang wanita cantik yang mengerti omongannya tertawa. Suasana berubah gembira sekali.
"Ha-ha, ternyata selain tampan dan lihai, engkau juga periang seperti kami. Saudara yang baik, siapakah namamu tadi? Engkau tadi pernah memperkenalkan nama ketika muncul untuk pertama kali, akan tetapi sayang aku tak begitu memperhatikan akibat terpengaruh kemarahan karena menyangka engkau penjahat."
"Namaku Cia Hui Song."
"Bagus sekali, Cia-taihiap, namaku Lam-nong, Aku adalah kepala suku bangsaku, bangsa Mancu Timur yang terpencil dan tidak besar jumlahnya. Kami hidup sebagai nelayan dan juga kadang kala berburu atau beternak, akan tetapi kami masih suka merantau seperti kebiasaan nenek moyang kami. Betapa pun juga, kami hidup bahagia. Lihat, kami selalu bergembira, bukan? Saudaraku yang baik dan gagah, engkau menjadi tamu kehormatan kami. Malam ini kami akan berpesta untuk menyatakan kegembiraan kami."
Dengan suara lantang kepala suku bernama Lam-nong itu lalu memerintahkan pembantu-pembantunya untuk menyembelih domba dan lembu lantas mempersiapkan pesta untuk menghormati Cia Hui Song.
Hui Song menerima dengan gembira. Sambil bergandeng tangan dengan Lam-nong yang diiringkan belasan orang wanita cantik, Hui Song diajak memasuki bangunan terbesar di dalam dusun itu.
"Dusun ini hanya menjadi tempat peristirahatan selama beberapa pekan saja, maka kami membangun pondok-pondok darurat saja." Lam-nong menerangkan ketika mereka sudah mengambil tempat duduk di atas lantai bertilamkan kulit domba. "Taihiap, orang seperti engkau ini tentunya seorang pendekar seperti yang pernah kudengar diceritakan orang tentang dunia persilatan. Akan tetapi bagaimana seorang pendekar seperti engkau dapat tersesat ke sini?"
Hui Song tidak ingin bicara tentang pertemuan para pendekar dan dia pun teringat kepada Sui Cin. Tadi pun dia sudah cemas membayangkan Sui Cin yang kehilangan ingatan itu bertemu dengan jai-hwa-cat yang jahat seperti orang tadi.
"Aku... aku sedang mencari seorang kawanku..." Dia teringat betapa tadi dituduh pencuri anak perawan, maka dia cepat menahan lidahnya yang hendak bercerita tentang Sui Cin, seorang kawan perempuan! Dia tidak mau kalau nanti disangka seorang pencari wanita lagi. "Aku ingin mencari keterangan tentang Harimau Terbang..."
"Ahhh…! Maksudmu perkumpulan rahasia Harimau Terbang?"
"Ya, benar!" Hui Song berkata gembira.
Ia memang sedang melakukan penyelidikan tentang Perkumpulan Harimau Terbang yang lencananya tertinggal di dalam Goa Iblis Neraka yang menunjukkan bahwa mereka itulah pencuri harta pusaka di dalam goa itu.
"Apakah di daerah ini terdapat perkumpulan bernama Harimau Terbang?"
Mendengar pertanyaan ini, wajah Lam-nong yang tadinya gembira dan tersenyum-senyum itu berubah agak pucat dan alisnya berkerut, bahkan dia segera menengok ke kanan kiri seolah-olah tidak ingin percakapan itu didengarkan orang lain. Melihat sikap ini, berdebar rasa hati Hui Song. Agaknya penyelidikannya tentang pencuri harta pusaka itu kini akan mendapatkan jejak.
"Harap jangan takut, saudara Lam-nong, kalau ada ancaman datang dari mereka, akulah yang akan menghadapi mereka!" katanya dengan suara tegas dan meyakinkan. Agaknya jaminan ini melegakan hati Lam-nong dan wajahnya berseri kembali, bibirnya tersenyum lagi.
"Cia-taihiap, bukannya kami takut, melainkan kami tidak suka berurusan dengan nenek iblis itu."
"Nenek iblis siapa yang kau maksudkan?"
"Namanya Yelu Kim. Menurut pengakuannya, dia adalah keturnan dari Menteri Yelu Ce-tai penasehat agung dari Jenghis Khan. Sekarang dia menjadi tokoh sesat di daerah utara dan dianggap sebagai penasehat para kepala suku."
"Dan apa hubungannya dengan Perkumpulan Harimau Terbang?"
"Hemm, biar pun dia tidak pernah mengaku dan tidak pernah terbukti karena perkumpulan itu merupakan rahasia yang bergerak secara rahasia pula, akan tetapi semua orang di sini tahu belaka bahwa nenek itulah pemimpin Perkumpulan Harimau Terbang."
"Di manakah sarang mereka? Di mana aku dapat bertemu dengan nenek Yelu Kim itu?" Cia Hui Song bertanya dengan penuh semangat.
"Tinggallah bersama kami dan engkau akan bisa bertemu dengannya, Cia-taihiap. Besok lusa kami akan berangkat menuju ke padang pasir di mana para ketua suku mengadakan pertemuan dan pemilihan calon pemimpin. Aku yakin bahwa nenek Yelu Kim pasti akan hadir pula di sana."
"Semua suku bangsa di utara ini hendak melakukan pemilihan pemimpin? Untuk apa dan apakah yang terjadi?" Hui Song bertanya girang.
Tak disangka-sangkanya bahwa selain berita yang baik sekali mengenai Harimau Terbang yang diselidikinya, juga dia mendengar berita mengenai kepala-kepala suku. Justru inilah tugas yang diberikan gurunya kepadanya.
"Di perbatasan terjadi pergolakan yang mengguncangkan kehidupan tenteram para suku kami. Menurut berita yang kudengar, golongan hitam di selatan sudah bersekutu dengan para pemberontak, dan mereka bahkan sudah merampas kemudian menduduki benteng San-hai-koan. Kabarnya mereka akan terus bergerak meluaskan wilayah mereka sebelum menyerang ke selatan. Kami terancam, dan... menurut rekan-rekan yang berambisi, inilah saat yang paling baik bagi kami untuk bergerak, menegakkan kembali kekuasaan Mongol di selatan. Sebenarnya aku sendiri tidak menyukai ambisi itu, akan tetapi kalau memang ketenteraman kami terancam oleh para pemberontak kemudian diadakan persatuan untuk menghadapi mereka, tentu aku setuju. Nah, kini para kepala suku hendak mengadakan pemilihan pimpinan dan lusa kami akan berangkat."
Bukan main girangnya rasa hati Hui Song. Sambil tersenyum dan dengan wajah berseri dia segera menyatakan setuju untuk menemani Lam-nong dan anak buahnya yang akan berangkat ke tempat pertemuan itu.
Malam itu, dengan penuh kegembiraan Lam-nong mengadakan pesta untuk menghormati Hui Song. Seperti telah menjadi kebiasaan mereka, pesta itu dilakukan di luar rumah, di sebuah lapangan rumput di mana dibangun tenda besar dan dinyalakan api unggun.
Hui Song diberi pakaian orang Mancu dan mereka duduk di atas rumput. Daging-daging domba dan lembu dipanggang dengan bumbu-bumbu sedap sehingga asap dan uapnya memenuhi tempat itu, mengundang selera.
Lam-nong duduk di samping Hui Song, diapit belasan orang wanita cantik yang ternyata adalah selir-selirnya! Hui Song sampai melongo saat Lam-nong memperkenalkan mereka sebagai isteri-isterinya! Seorang dengan isteri demikian banyak, kesemuanya muda-muda dan cantik-cantik!
"Kenapa engkau kelihatan heran, Cia-taihiap? Aku hanya mempunyai empat belas orang isteri, itu masih sangat sedikit sekali apa bila dibandingkan dengan yang dipunyai kepala-kepala suku bangsa lainnya. Ada seorang kawanku mempunyai empat puluh empat orang isteri, ha-ha-ha!" Lam-nong tertawa bergelak melihat keheranan di wajah Hui Song.
Hui Song yang disuguhi arak istimewa buatan suku bangsa itu, arak yang sangat harum dan keras, tertawa lepas. Memang wataknya bebas gembira, maka kini ditambah hawa arak di benaknya, dia menjadi semakin gembira.
"Ha-ha-ha, saudara Lam-nong. Aku pernah melihat seekor ayam jantan dengan puluhan ekor ayam betina, hal itu masih dapat kupercaya dan kumengerti. Akan tetapi manusia? Seorang harus... dengan demikian banyak...?"
"Ha-ha-ha-ha!" Lam-nong tertawa dan para selirnya yang rata-rata mengerti bahasa Han itu pun ikut tersenyum dan tersipu-sipu, menutupi mulut mereka dengan sapu tangan atau punggung tangan. "Bila perlu aku bisa lebih kuat dari pada seekor ayam jantan, ha-ha-ha! Cia-taihiap, memang manusia berbeda dengan ayam, karena itu dalam hal itu pun sangat berbeda, tidak sembarang saat seperti ayam."
Mereka pun tertawa-tawa dan suasana menjadi meriah ketika para selir yang mempunyai suara merdu itu bernyanyi-nyanyi diiringi suara gendang, tambur dan suling. Dan mulailah selir termuda dari Lam-nong, yang manis sekali dengan kedua pipi kemerahan bukan oleh pemerah muka melainkan merah karena sehat saking halusnya kulit pipi, bangkit dan atas isyarat Lam-nong, selir itu pun mulai menari.
Dan Hui Song pun memandang dengan terpesona. Sellr ini amat pandai menari, tubuhnya demikian lembut dan lemas meliuk-liuk di depannya, seakan-akan tubuh seekor ular saja. Suara gendang dan tambur menambah kuat gerakan pinggul dan leher itu.
“Sekarang permainan yang kami namakan Bulan Jatuh. Siapa yang kejatuhan bulan harus bangkit dan menari, siapa pun tidak boleh menolak karena menolak bulan yang jatuh ke pangkuannya berarti mengundang mala petaka dan tidak menghormati orang lain,” kata Lam-nong kepada Hui Song. Tentu saja pemuda ini tidak mengerti apa artinya kata-kata itu dan dia tidak pernah mendengar tentang permainan ini.
Sambil tertawa gembira Lam-nong lantas menerangkan. Permainan itu seperti permainan kanak-kanak yang dikenal oleh Hui Song di selatan, akan tetapi sekarang dimainkan oleh orang-orang dewasa!
Selir yang menari tadi membuka permainan. Kedua matanya ditutup dengan sehelai sapu tangan yang diikatkan ke belakang kepalanya, kemudian oleh dua rekannya dia diputar-putar. Hal ini dimaksudkan supaya selir yang matanya tertutup itu akan lupa di mana dan siapa yang duduk di sekitarnya. Setelah itu barulah dilepas dan mulailah dia meraba-raba. Kalau dia telah berhasil menangkap salah seorang yang duduk berkeliling, maka dia akan meraba-raba muka orang itu dan mengatakan siapa dia. Setelah diperkenankan membuka penutup mata, jika dugaannya ternyata keliru, maka dia harus menari lagi, dan sesudah habis satu lagu, maka dia akan mencari sasaran lagi.
Bagaikan bulan meluncur di antara awan-awan, penari itu akan meraba-raba dan apa bila bulan itu ‘jatuh’ kepada seseorang dan orang itu dapat ditebak siapa adanya, maka dia kejatuhan bulandan dialah yang harus menggantikan permainan itu dan menari. Demikian selanjutnya. Dengan adanya Hui Song di situ, tentu saja permainan itu menjadi lucu dan selain menegangkan hati Hui Song, juga membuatnya merasa malu-malu dan sungkan sekali.
Selir muda yang cantik itu telah diputar-putar dan dilepas. Sekarang dengan mata tertutup selir itu perlahan-lahan melangkah ke depan, kedua tangannya diluruskan ke depan untuk meraba-raba.
Hui Song merasa betapa jantungnya berdebar tegang, apa lagi ketika dua kaki yang kecil itu agaknya hendak maju ke arah tempat dia duduk! Akan tetapi kedua kaki itu meragu dan membelok ke kiri, kemudian maju terus dan akhirnya berhenti karena kaki itu terantuk pada kaki seseorang yang duduk di situ. Selir itu terkekeh, kemudian berjongkok dan dua tangannya meraba-raba kepala dan muka orang itu.
“Ihhh...!” jeritnya kecil ketika dia meraba topi orang itu dan tahulah dia bahwa dia sudah menangkap atau ‘jatuh’ kepada seorang pemukul tambur atau gendang.
Terdengar suara ketawa dari para selir dan selir yang menjadi bulan itu segera membuka penutup matanya, cemberut secara main-main mencela kesialan dirinya. Kalau kebetulan menangkap seorang pemain musik, maka hal itu dianggap sial sebab itu berarti bahwa dia harus bermain lagi. Pemain musik tidak masuk hitungan karena kalau dia harus main, lalu siapa yang memukul gendang?
Kembali selir itu ditutup mukanya dengan sapu tangan dan diputar-putar. Akan tetapi selir tadi sudah melirik ke arah Hui Song dan tersenyum. Ketika dia dilepas, dia pun berjalan perlahan-lahan, berkeliling dan kedua kaki kecil tertutup sepatu baru itulah yang sekarang meraba-raba dan ketika kakinya menginjak bagian yang agak menonjol, dia pun berhenti lantas membalik dan kini kedua kakinya itu bergerak perlahan menuju ke arah Hui Song duduk!
Selir ini memang sudah menjatuhkan pilihannya pada Hui Song dan sebagai orang yang sudah biasa melakukan permainan Bulan Jatuh ini, tentu saja dia mengerti akan akal-akal yang digunakan orang dalam permainan ini. Tadi ketika dia membuka penutup matanya, dia sudah memperhatikan dan mempelajari tanah di depan Hui Song dan dia melihat ada tanah menonjol di hadapan pemuda itu dan inilah yang dapat menuntunnya kepada Hui Song.
Maka tadi ia berjalan keliling sampai kakinya mengijak tanah menonjol, baru ia menujukan langkahnya kepada Hui Song. Sengaja dia hendak memilih pemuda yang telah menolong adik suaminya ini untuk penghormatan dan bukan hanya selir ini, juga selir-selir yang lain dan mereka semua yang hadir di sana ingin sekali melihat Hui Song menjadi bulan dan menari-nari.
Dengan jantung berdebar-debar penuh ketegangan Hui Song melihat betapa selir itu kini menggerakkan dua buah kaki kecilnya menghampirinya. Dia tidak mungkin dapat lari, dan hanya tersenyum tegang. Dia pun tidak mampu mengelak ketika kaki kecil itu menumbuk kakinya dan ketika selir muda itu terkekeh kecil dan berjongkok di depannya.
Hui Song cepat memejamkan mata sebab hidungnya mencium bau yang amat harum dan melihat kulit muka yang demikian halusnya. Dia tetap memejamkan mata ketika wanita itu meraba-raba kepalanya, lalu mukanya, meraba-raba telinga, hidung, bibir dan dagunya. Hui Song merasa betapa jari-jari tangan yang berkulit halus dan hangat itu merayap pada mukanya dan dia merasa betapa semua bulu di tubuhnya meremang.
“Hai... ini... ini Cia-taihiap...!” kata selir itu dan tebakannya disambut tepuk sorak memuji. Selir itu cepat membuka penutup matanya dan sambil tersenyum manis dia menjura dan mempersilakan.
“Silakan, taihiap, kami mohon taihiap menjadl bulan,” katanya merdu.
“Ha-ha-ha, nasibmu sungguh baik, Cia-taihiap. Kami ingin sekali menyaksikan keindahan tarianmu!” kata Lam-nong gembira.
Suling, tambur dan gendang dipukul gencar dan Hui Song yang mukanya menjadi merah itu terpaksa bangkit berdiri. Dia merasa tubuh dan kepalanya ringan akibat pengaruh arak. Hal ini membuat dia tidak malu-malu lagi dan karena dia tidak pandai menari, maka dia pun mencoba untuk menirukan gerakan selir tadi.
Maka tampaklah pemandangan yang amat lucu pada saat Hui Song melenggang-lenggok menggoyang pinggul mengikuti irama musik, berjoget dangdut! Karena dia memang ahli silat yang amat pandai, biar pun gerakannya lucu, namun juga lemas dan kadang-kadang bahkan diisi dengan gerak-gerak silat. Para selir tertawa-tawa dan bertepuk-tepuk tangan memuji, membuat Hui Song bertambah gembira sehingga tariannya pun menjadi semakin panas.
Ketika tiba giliran Hui Song untuk ditutup kedua matanya dengan sapu tangan, dengan mudah saja, mengandalkan ketajaman pendengarannya, ia menjatuhkan pilihannya pada Lam-nong! Biar pun Hui Song seorang pemuda romantis dan lincah jenaka dan gembira, akan tetapi dia belum cukup berani untuk menjatuhkan pilihannya kepada para selir itu, merasa tidak berani kalau harus meraba-raba muka seorang di antara mereka.
Hal ini mengecewakan hati para selir karena mereka ingin sekali kejatuhan bulan! Mereka merasa suka kepada pemuda yang lincah ini dan ingin mempererat persahabatan.
Lam-nong adalah seorang kepala suku. Tentu saja dia pun tahu bagaimana caranya untuk menjatuhkan pilihannya kepada Hui Song sehingga terjadilah hal yang lucu, yaitu hanya dua orang itu saja yang silih berganti menari! Akhirnya Lam-nong menyuruh para selirnya menari bersama-sama dan suasana menjadi semakin gembira dan suara ketawa mereka riuh rendah ketika mereka menari bersama-sama. Hui Song merasa suka sekali kepada keluarga kepala suku ini dan mereka makan minum dan bernyanyi-nyanyi, menari-nari sampai hampir pagi.
Demikianlah, Hui Song ikut pula hadir bersama rombongan ini saat diadakan pertandingan antar jagoan di antara kepala-kepala suku. Lam-nong sendiri tak mengajukan jagoan. Dia bersama para pangikutnya datang hanya untuk menyaksikan saja siapa pimpinan yang terpilih.
Hui Song yang hendak melakukan penyelidikan tentang Perkumpulan Harimau Terbang bersembunyi di antara orang-orang Mancu Timur itu. Dapatlah dibayangkan betapa besar rasa girang, kaget dan herannya melihat Sui Cin bersama seorang nenek yang menurut keterangan Lam-nong adalah nenek Yelu Kim, kepala dari Perkumpulan Harimau Terbang yang dicari-carinya itu! Dia merasa curiga dan heran, lalu diam-diam dia memperhatikan sambil menyelinap di antara anak buah Lam-nong.
Demikianlah, tanpa disengaja, tiga orang muda itu ikut menghadiri pertemuan antara para suku di utara yang sedang mengadakan pertandingan untuk menentukan siapa di antara mereka yang berhak menjadi pimpinan para suku untuk memulai dengan gerakan mereka hendak menegakkan kembali kekuasaan Mongol yang sudah runtuh. Dan mereka bertiga terpisah-pisah dalam kelompok suku yang berlainan, dengan alasan yang berlainan pula.
Sui Cin berada di situ karena ia telah ditolong oleh nenek Yelu Kim yang menjadi gurunya dan kini dia membantu Yelu Kim sebagai balas budi. Siangkoan Ci Kang berada bersama suku Khin untuk membantu Moghu Khali, ketua suku Khin yang sekarang telah menjadi sahabatnya, bahkan dia mau diangkat menjadi jagoan suku itu. Ada pun Hui Song berada di tempat itu karena dia hendak menyelidiki Perkumpulan Harimau Terbang, juga untuk menyelidiki keadaan para suku bangsa di utara ini sesuai dengan tugas yang dibebankan kepadanya oleh gurunya, yaitu Siang-kiang Lo-jin atau Si Dewa Kipas.
Kini pertandingan telah dimulai. Seperti telah diduga semula oleh setiap pengikut, jagoan-jagoan itu memang masing-masing mempunyai ketangguhan yang mengagumkan. Suku Mongol yang merupakan suku kedua terbesar setelah suku Mancuria, mengajukan jagoan seorang ahli gulat yang bertubuh raksasa dan jagoan ini tidak menunggang kuda, juga tidak memegang senjata apa pun.
Akan tetapi, ketika dia sudah maju karena menurut undian dia harus maju lebih dahulu, dia menghadapi lawan yang menunggang kuda secara mengagumkan dan mengerikan. Lawannya itu menggunakan sebatang golok dan menunggang seekor kuda.
Ketika lawan itu menerjangnya dengan golok diputar dan kaki depan kuda itu mengancam hendak menumbuknya, raksasa Mongol ini tertawa, menangkap dua kaki depan kuda itu dan sekali putar, kuda itu terpelanting dan kedua tulang kaki depan itu patah membuat kuda itu tidak mampu bangkit kembali. Akan tetapi lawannya cukup tangguh. Ketika kuda terpelanting, dia melompat turun dan kini dia menerjang si raksasa dengan goloknya.
“Plakkk!”
Raksasa Mongol itu tidak mengelak, bahkan menerima golok itu dengan tangan kosong begitu saja. Akan tetapi, bukan tangannya yang terluka, melainkan golok itu sendiri yang terlempar dan di lain saat, raksasa itu sudah menangkap pergelangan tangan lawan dan sekali mengerahkan tenaga, tubuh lawan itu sudah terlempar jauh sekali dan terbanting dengan keras ke atas tanah sehingga jatuh pingsan dengan tulang remuk!
Sorak sorai yang riuh rendah menyambut kemenangan raksasa Mongol ini dan dia pun memperoleh waktu beristirahat menurut peraturan walau pun si raksasa Mongol itu masih menantang-nantang dengan congkaknya.
Menurut hasil undian, kini tiba giliran jagoan Mancu. Seperti juga jagoan Mongol, maka jago dari Mancu ini pun bertubuh tinggi besar dan terutama sekali sepasang kakinya amat panjang dan berotot kekar sekali. Kaki itu memakai sepatu panjang sampai ke lutut dan solnya dilapisi besi. Jago ini pun tidak menunggang kuda dan tidak memegang senjata.
Setelah dia melawan seorang jagoan lain, Hui Song yang nonton dari dalam kelompoknya melihat bahwa raksasa Mancu ini tak kalah hebatnya jika dibandingkan dengan raksasa Mongol tadi. Kalau raksasa Mongol tadi kebal dan kuat sekali, juga ahli dalam ilmu gulat, maka raksasa Mancu yang lebih tinggi ini selain ahli dalam ilmu gulat campur silat, juga tangguh sekali dengan kedua kakinya!
Lawannya yang menunggang kuda dan memegang tombak itu dihadapi dengan tendangan kakinya yang panjang dan kuat, dan dalam satu gebrakan saja lawan itu terpelanting jauh! Lawannya berhasil melompat lantas menyerangnya dengan tombak. Akan tetapi, kembali kakinya bergerak dan tombak itu dihantam tangan yang amat kuat, membuat tombak itu patah menjadi tiga potong!
Lawannya masih penasaran dan menyerang dengan pukulan-pukulan, akan tetapi setiap pukulan ini ditangkis oleh tendangan secara sedemikian cepat dan tepatnya seolah-olah kedua kaki itu merupakan sepasang tangan yang lengannya panjang sekali, dan sebelum lawan itu mampu mengelak, tiba-tiba sebuah kaki melayang dan menghantam kepalanya dari samping. Orang itu terjengkang dan roboh pingsan, atau mungkin juga mati karena ketika digotong oleh kawan-kawannya, dia sama sekali tidak bergerak dan terkulai lemas!
Ketika Ci Kang menerima gillrannya, Hui Song memandang dengan alis berkerut. Sejak tadi dia sudah melihat pemuda ini dan dia merasa amat heran, bertanya-tanya dalam hati mengapa putera Si Iblis Buta itu berada di sini, bahkan menjadi seorang di antara jagoan suku utara! Akan tetapi karena pertandingan itu bukan urusannya, dia pun diam saja dan hanya menonton.
Dengan tombaknya, Ci Kang dengan mudah mengalahkan lawannya, akan tetapi berbeda dengan pemenang-pemenang terdahulu, lawannya dirobohkannya tanpa menderita luka apa pun, kecuall senjatanya runtuh dan lawan itu ditodong ujung tombak pada lehernya sehingga tidak mampu bergerak dan terpaksa mengaku kalah. Dan hal ini pun dilakukan sesudah dia membiarkan lawan menyerangnya sampai belasan jurus sehingga lawannya yang kalah itu tak sampai terlalu kehilangan muka seperti yang diderita mereka yang tadi kalah dalam satu gebrakan saja!
Sesudah semua jagoan dipertandingkan, akhirnya hanya tinggal satu orang yang belum kalah, yaitu raksasa Mongol, raksasa Mancu dan Ci Kang. Dua orang raksasa itu sudah memenangkan tiga kali pertandingan yang mereka selesaikan hanya lewat beberapa jurus saja, sedangkan Ci Kang memenangkan dua pertandingan.
Dan kini, menurut undian, dua orang raksasa itulah yang akan saling berhadapan. Tentu saja para penonton menjadi tertarik sekali karena sudah dapat dibayangkan betapa akan hebatnya kalau dua orang raksasa yang sama tangguhnya itu maju dan saling melawan!
Mereka berdua sudah melangkah maju, kakinya melangkah seperti kingkong, dengan dua lengan tegak terpentang, kedua kaki agak ditekuk, kepala ditundukkan dan mata mereka mengintai dari bawah alis mata yang tebal, mulut menyeringai seperti mulut orang hutan marah. Langkah mereka seperti menggetarkan bumi dan ketegangan semakin memuncak setelah akhirnya mereka saling berhadapan dalam jarak dua meter.
Agaknya mereka saling menilai dan menimbang keadaan lawan dengan pandangan mata mereka. Keduanya berdiri seperti patung yang menyeramkan, sedikit pun tidak bergerak. Tiba-tiba terdengar gerengan nyaring dan kaki bersepatu itu meluncur dengan kecepatan kilat ke arah dada si raksasa Mongol. Demikian cepatnya kaki itu menyerang sehingga tak sempat dielakkan oleh raksasa Mongol yang lamban itu, tetapi raksasa itu memasang dadanya sambil mengerahkan tenaga sampai perutnya mengembung besar dan otot-otot menonjol di dadanya.
“Blukkk...!”
Hebat sekali benturan antara kaki dengan dada itu dan akibatnya, tubuh raksasa Mongol terdorong mundur hingga tiga langkah, akan tetapi tubuh si penendang itu pun terlempar ke belakang dalam jarak yang hampir sama!
Keduanya kini berdiri saling pandang dan tahulah mereka bahwa tenaga mereka sangat seimbang dan si raksasa Mancu juga tahu bahwa lawannya sungguh kebal, meski pun dia dapat menduga bahwa kekebalan itu hanyalah sebatas kulit saja dan tendangannya tadi setidaknya telah mengguncangkan isi dada lawan. Hal ini memang betul sebab si raksasa Mongol merasa betapa tendangan tadi menyesakkan napasnya, maka dia pun bersikap hati-hati sekali.
Ketika mereka maju kembali, si raksasa Mancu melancarkan serangan tendangan lagi. Akan tetapi kini lawannya menangkis bertubi-tubi dengan kedua lengan sehingga semua tendangannya gagal dan pada suatu saat, kaki kirinya berhasil dicengkeram oleh tangan kanan jagoan Mongol. Dengan tenaga yang besar, raksasa Mongol itu mengangkat tubuh lawan ke atas lalu diputar-putar dengan maksud akan dilemparkan atau dibantingkan.
Akan tetapi, dengan kaki kanannya jagoan Mancu itu berhasil menendang pundak kanan lawan sehingga cengkeramannya mengendur dan pada saat hampir dibanting itu, jagoan Mancu dapat melepaskan dirinya. Dia terbanting akan tetapi tidak terlalu keras sedangkan lawannya yang tertendang pundaknya juga terhuyung ke belakang. Sekarang keduanya terengah-engah dan berdiri saling pandang seperti dua ekor gajah yang sedang berlaga. Kemudian keduanya mengeluarkan teriakan-teriakan keras dan mereka saling menerjang ke depan dengan cepat.
“Bressss...!”
Keduanya bertumbukan, menggunakan kedua tangan dan kaki, juga dada untuk mengadu kekuatan dengan lawan. Kembali keduanya terjengkang! Mereka merangkak bangun dan melanjutkan pertandingan yang kini semakin seru bahkan mati-matian.
Jagoan Mancu masih mengandalkan tendangan-tendangan, yang disambut lawan dengan kekebalan dan kelincahannya sehingga setiap kali kena dicengkeram, dia selalu berhasil melepaskan diri, bahkan beberapa kali dia terbanting, akan tetapi dapat bangun kembali. Juga raksasa Mongol sudah beberapa kali kena terjangan sepasang kaki yang melakukan tendangan terbang, sampai terjengkang akan tetapi juga sanggup bangkit kembali. Sorak sorai dan tepuk tangan riuh rendah menyambut pertandingan yang hebat ini.
Pertandingan itu memang ramai sekali. Dua orang raksasa itu pukul-memukul, tendang-menendang, saling cengkeram dan berusaha merobohkan lawan mengandalkan kekuatan otot-otot tubuh yang melingkar-lingkar dan melindungi diri mereka masing-masing dengan kekebalan tubuh.
Mereka seperti dua ekor ayam jantan yang tak mengenal artinya menyerah. Dan agaknya mereka itu akan berkelahi terus sampai mati. Para penonton menjadi seperti binatang-binatang haus darah, ingin sekali melihat seorang di antara mereka roboh dan tewas!
Akan tetapi, pada waktu yang bersamaan tiba-tiba kepala suku Mongol dan kepala suku Mancu memasuki arena pertandingan dan masing-masing menyerukan kepada jagoan-jagoan itu untuk menghentikan perkelahian mereka. Dua orang raksasa itu mentaati dan mereka segera mundur, berdiri terengah-engah dan tubuh mereka yang kokoh itu basah oleh keringat.
“Kami sudah melihat cukup!” kepala suku Mongol berkata. “Kedua orang jagoan ini sama kuat dan kalau dilanjutkan, mungkin keduanya akan tewas. Hal ini tidak adil karena masih ada seorang jago lagi yang akan memperoleh kemenangan tanpa berkelahi kalau mereka berdua ini keduanya tewas.”
“Benar!” sambung kepala suku Mancu. “Biarlah jagoan ketiga maju dulu melawan seorang di antara mereka menurut undian, baru kemudian perkelahian antara dua orang jagoan ini dilanjutkan!” Agaknya kedua kepala suku itu merasa yakin bahwa jagoan ketiga itu tentu akan dapat dikalahkan dengan mudah.
Mendengar itu, Ci Kang sudah membisiki sahabatnya, Moghu Khali kepala suku Khin itu. Moghu Khali bangkit berdiri dan berkata dengan suara lantang,
“Memang benar. yang tinggal hanya tiga orang jago. Agar adil, maka biarlah ketiga orang jago itu maju bersama, saling serang sampai tinggal seorang di antara mereka sebagai pemenang dan yang dua orang lagi roboh.”
Usul kepala suku Khin ini disetujui oleh semua orang. Tentu saja para penonton menjadi semakin gembira. Tadi mereka melihat orang muda berjubah kulit harimau itu pun cukup tangguh sehingga kalau tiga orang jagoan tangguh itu maju bersama dan saling serang, tentu mereka dapat menonton perkelahian yang sungguh menarik, seru dan mati-matian. Suasana menjadi semakin menegangkan.....