Asmara Berdarah Jilid 46

Mengapa pemuda ini tidak berada bersama sekutu Raja Iblis dan berada di situ? Sungguh merupakan hal yang sangat mengherankan dan juga mencurigakan. Sui Cin lupa bahwa kehadirannya sendiri di tempat itu pun merupakan hal yang sangat aneh, mungkin lebih aneh dari pada kehadiran Ci Kang sendiri. Dia adalah dari golongan pendekar dan kini dia berada di situ sebagai pengawal atau murid Yelu Kim, orang yang kedudukannya paling tinggi di antara kepala suku yang sedang memilih pimpinan untuk memberontak!

Sui Cin tidak tahu bahwa kehadirannya di situ yang agaknya belum terlihat oleh Ci Kang, telah membuat seorang yang menyelinap di antara kelompok Suku Bangsa Mancu Timur hampir saja berteriak pula. Orang ini adalah seorang pemuda yang mengenakan pakaian seperti kawan-kawannya, yakni pakaian orang Mancu Timur yang kehidupannya sebagai pemburu atau nelayan di pantai laut timur. Dia seorang pemuda tampan yang berwajah gembira.

Pada waktu pemuda ini melihat Sui Cin, matanya terbelalak dan hampir saja mulutnya berteriak. Akan tetapi dia segera menahan diri dan alisnya berkerut. Dia merasa heran bukan main melihat Sui Cin berada di situ, apa lagi setelah dia memperoleh keterangan dari teman-teman di kanan kirinya yang menceritakan siapa adanya nenek itu! Dan orang ini bukan lain adalah Hui Song!

Dapat dibayangkan betapa besar rasa girang, kaget dan heran bercampur aduk di dalam hati Hui Song ketika tiba-tiba dia melihat Sui Cin di antara orang-orang liar dari utara ini. Dia pun merasa curiga, apa lagi sesudah mendengar bahwa nenek itu adalah Yelu Kim yang merupakan orang paling ditakuti oleh para kepala suku! Dan menurut keterangan orang-orang di kanan kirinya, Sui Cin adalah pengawal nenek itu! Sui Cin sudah menjadi pengawal tokoh dari suku-suku bangsa yang hendak mengadakan pemberontakan?

Memang merupakan suatu kebetulan yang amat mengherankan melihat tiga orang muda itu berada di situ, di antara suku-suku bangsa utara. Kita sudah mengetahui mengapa Sui Cin dapat hadir di situ, akan tetapi bagaimana dengan Ci Kang dan Hui Song dapat pula berada di situ dalam keadaan terpisah-pisah, bahkan Ci Kang menjadi seorang di antara jagoan yang terpilih?

Seperti kita ketahui, Ci Kang telah terhindar dari mala petaka bersama Cia Sun pada saat mereka berdua terjebak oleh Siang Hwa ke dalam goa bawah tanah. Akan tetapi akhirnya mereka berhasil ke luar atas pertolongan Toan Hui Cu, puteri Raja dan Ratu Iblis. Setelah kedua orang muda ini saling berpisah, Ci Kang tidak mau lagi menuju ke Jeng-hwa-pang di mana dia pernah disambut dengan serangan oleh para pendekar.

Maka dia pun melakukan perjalanan di sekitar daerah itu dengan hati murung. Dia akan berusaha mencari gurunya di antara para pendekar, karena hanya dengan perantaraan gurunya dia akan dapat diterima sebagai rekan oleh para pendekar.

Pada suatu hari sampailah dia di sebuah hutan, dan dari jauh dia sudah mendengar suara ribut-ribut di dalam hutan itu, teriakan-teriakan manusia dan kadang kala suara gerengan yang seolah-olah menggetarkan seluruh hutan. Ci Kang yang masih bertelanjang dada itu cepat berlari memasuki hutan dan segera dia melihat keadaan yang mengerikan.

Seorang anak lelaki yang berusia kurang lebih sepuluh tahun berada dalam cengkeraman seekor beruang hitam yang besar sekali dan belasan orang laki-laki Suku Bangsa Khin mengurung binatang itu sambil berteriak-teriak dalam usaha mereka menyerang beruang itu untuk menyelamatkan anak laki-laki itu.

Akan tetapi beruang itu sungguh kuat. Binatang itu merangkul dan mencengkeram tubuh anak kecil tadi dengan kaki depan kirinya yang bergerak seperti lengan orang, sedangkan tangan kanannya mencengkeram serta menangkis semua serangan tombak atau pedang yang ditusukkan kepadanya.

Karena anak itu masih dicengkeram dan dipeluknya, maka para pembantu itu pun sangat berhati-hati dalam penyerangan mereka, khawatir kalau-kalau senjata mereka mengenai anak itu sendiri. Dan mereka sama sekali tidak berani mempergunakan anak panah.

Melihat keadaan anak yang berada dalam ancaman maut itu, dengan pundak yang sudah robek terluka, Ci Kang tidak sempat menyelidiki lagi siapakah adanya orang-orang itu dan siapa pula anak itu. Dia sudah marah sekali melihat keganasan beruang itu dan melihat pula sudah ada dua orang yang terluka parah, mungkin terkena cengkeraman kuku kaki depan kanan beruang itu.

Ci Kang lalu mengeluarkan suara melengking nyaring, mengejutkan para pemburu bangsa Khin itu dan dapat dibayangkan, betapa heran dan kagum rasa hati mereka ketika melihat pemuda yang bertelanjang dada dan mengeluarkan suara melengking laksana binatang buas itu meloncat dan tahu-tahu sudah menusukkan jari tangannya menotok pundak kiri beruang itu. Binatang itu mengeluarkan auman marah dan kesakitan, akan tetapi totokan yang tepat mengenai urat besar pada pundaknya itu sejenak melumpuhkan lengan kirinya sehingga ketika Ci Kang menyambar tubuh anak itu, dia tidak mampu mempertahankan.

Ci Kang cepat melemparkan tubuh anak itu kepada seorang di antara para pemburu, dan dia sendiri cepat menghadapi beruang yang sekarang menjadi semakin marah. Beruang itu sudah menerjang dan menubruk ke depan, dua kaki depan itu bergerak seperti lengan yang sangat kuat, dengan kuku-kuku jari yang meruncing panjang, menerkam dari kanan kiri ke arah tubuh Ci Kang.

Akan tetapi Ci Kang sudah siap siaga. Dengan gerakan yang amat gesit tubuhnya cepat menyelinap ke bawah kaki yang menerkam itu, dan begitu dia terhindar, dia membalik dan tangan kanannya menyambar.

"Dukkk...!"

Betapa pun kuatnya kepala beruang itu, begitu terkena tamparan tangan kanan Ci Kang yang amat kuat, beruang itu mengeluarkan suara pekik hebat dan tubuhnya terpelanting lantas terbanting keras sampai bergulingan. Akan tetapi binatang itu memang kuat sekali. Kulitnya yang tebal melindungi kepalanya sehingga tidak sampai pecah terpukul dan biar pun binatang itu menjadi pening karena guncangan hebat pada kepalanya, dia masih bisa meloncat bangun dan menerkam lagi, tapi kini gerakannya ngawur karena matanya masih berkunang.

Ci Kang meloncat ke samping, kemudian dari samping dia memukul. Kini ia mengerahkan tenaga pada telapak tangan kanannya itu menghantam ke arah dada kiri beruang.

"Krakkk!"

Jelas sekali terdengar tulang-tulang patah pada saat tangan yang ampuh itu menghantam tulang-tulang iga di balik kulit tebal. Beruang itu mengaum dan terjengkang. Ci Kang cepat meloncat mendekat dan sekali tangannya bergerak memukul, kini terkepal, terdengar lagi pecahnya tulang dan kepala beruang itu pun retak. Binatang itu pun tewas dengan mata, hidung, mulut dan telinga mengeluarkan darah!

Terdengar sorak-sorai memuji dan bahkan ada yang bertepuk tangan, dan ada pula yang menari-nari mengelilingi bangkai beruang. Salah seorang di antara mereka yang agaknya menjadi pemimpin rombongan kemudian memegang lengan Ci Kang dan mengguncang-guncangkan, lalu memeluk Ci Kang dengan sikap ramah bersahabat.

"Orang muda, engkau telah menyelamatkan putera kepala suku kami," orang itu berkata dalam bahasa Han yang cukup lancar. Agaknya orang ini adalah seorang bangsa Khin yang sudah sering berhubungan dengan orang-orang Han di perbatasan untuk menjual kulit-kulit harimau hasil buruan rombongannya.

Ci Kang melihat bahwa luka di pundak anak itu sudah dibalut dan bahwa anak itu tidak terancam bahaya. Dia lalu mengangguk. "Aku tidak peduli dia anak siapa, akan tetapi aku girang kalau dia selamat," jawabnya sederhana.

Jawaban ini agaknya membuat semua orang bergembira dan kagum, lalu satu demi satu mereka menyalami Ci Kang. Orang-orang ini sudah begitu biasa dengan sikap gagah dan jujur, sehingga pernyataan Ci Kang itu menambah rasa kagum di hati mereka. Biasanya orang-orang Han selalu merupakan penjilat-penjilat kepada atasan dan penindas-penindas kepada bawahan, pikir mereka.

"Orang muda, mari ikut bersama kami pergi menemui kepala suku kami," kata si brewok yang menjadi pimpinan rombongan itu.

Ci Kang memandang orang itu dan mengerutkan kedua alisnya. "Aku tidak butuh hadiah!" setelah berkata demikian, dia membalikkan tubuhnya hendak pergi dari situ. Akan tetapi, dengan langkah lebar si brewok itu mengejarnya dan mendahuluinya lalu menghadang di depannya.

"Engkau mau apa?!" bentak Ci Kang sambil mengepal tinju. Hatinya yang sedang kesal membuatnya murung dan mudah marah.

Tiba-tiba orang brewok itu menjatuhkan diri berlutut, "Orang muda, aku hanya minta agar engkau suka menyelamatkan nyawaku."

Tentu saja Ci Kang menjadi heran dan terkejut. "Apa maksudmu?"

"Orang muda, anak yang kau selamatkan tadi adalah putera kepala suku kami. Apa bila engkau tidak mau ikut bersama kami menemuinya, bukan untuk minta pahala melainkan untuk menjadi saksi, tentu aku dianggap memiliki dua kesalahan sehingga akan dihukum mati. Pertama, aku membiarkan puteranya sampai terluka dan kedua, aku membiarkan penolongnya pergi tanpa memperkenalkannya kepada kepala kami."

Ci Kang mengerutkan sepasang alisnya. Dia percaya bahwa orang-orang yang kasar ini, orang-orang yang mempunyai pekerjaan yang sama dengannya, yaitu pemburu-pemburu binatang, tidak pernah berbohong, dan kebiasaan yang kasar dan keras dari kepala suku itu mungkin saja benar. Dan apa salahnya kalau dia berkenalan dengan orang-orang ini? Berada di antara orang-orang kasar dan jujur yang pekerjaannya memburu binatang ini dia merasa tidak asing.

"Jauhkah tempat kepala suku itu?"

"Tidak, orang muda, tak sampai seperempat hari perjalanan. Siang nanti kita sudah akan tiba di sana."

"Baiklah. Mari kita berangkat."

Ternyata orang brewok itu memang tidak berbohong. Setelah matahari naik tinggi, tibalah mereka di perkampungan Suku Bangsa Khin itu dan andai kata Ci Kang tidak ikut datang, tentu si brewok ini mengalami hukuman berat.

Kepala suku itu orangnya tinggi besar dan kasar, sepasang matanya yang lebar itu keras dan terbuka. Dia mendengarkan semua penuturan si brewok dengan alis berkerut. Akan tetapi setelah memeriksa pundak puteranya yang terluka dan mendapat kenyataan bahwa keadaan puteranya tidak berbahaya, apa lagi mendengar bahwa pemuda yang tak berbaju ini telah membunuh beruang hitam besar hanya dengan pukulan tangan kosong, dia lupa akan kemarahannya.

Sejenak dia memandang Ci Kang dengan sepasang mata penuh selidik dan agaknya dia tak percaya ketika mendengar penuturan si brewok dan kawan-kawannya bahwa Ci Kang telah membunuh beruang itu hanya dengan tiga kali pukulan saja! Kepala suku itu lantas menggelengkan kepala dan dia memandang kepada kedua lengannya yang berotot dan besar.

"Mana mungkin membunuh beruang hitam dewasa dengan tiga kali pukulan saja? Kedua tangan ini pun tidak sanggup menandingi kekuatan beruang hitam. Mungkin dalam suatu perkelahian mati-matian akhirnya aku akan dapat membunuhnya, akan tetapi dengan tiga kali pukulan? Tidak mungkin! Orang muda, benarkah engkau tadi telah membunuh seekor beruang hitam dewasa hanya dengan tiga kali pukulan saja?"

Ci Kang sudah menyukai sikap terbuka itu. Orang-orang ini mengagumkan, pikirnya dan cocok sekali dengan wataknya. Semenjak kecil dia suka sekali berburu binatang dan biar pun ayahnya dan rekan-rekan ayahnya suka mencemoohkannya, namun dia menganggap berburu binatang untuk dimakan dagingnya dan dimanfaatkan kulitnya adalah pekerjaan yang gagah. Mencari makan dengan cara yang perkasa!

"Benar, dan kalau aku mau, aku dapat membunuh binatang itu dengan satu kali pukulan saja!" Ucapan Ci Kang ini timbul dari hati yang sejujurnya, bukan untuk menyombongkan diri.

Kepala suku itu mengerutkan kedua alisnya dan menganggap kata-kata ini sebagai tanda ketinggian hati. "Orang muda, jika engkau tidak dapat membuktikan ucapanmu itu, terus terang saja engkau mengecewakan hatiku dan aku menjadi tidak suka kepadamu walau pun engkau telah menolong puteraku."

"Aku tidak berbohong dan perlu apa aku membuktikan omonganku? Andai kata engkau mempunyai seekor beruang hitam di sini, aku pun tidak mau membunuhnya tanpa sebab, hanya untuk membuktikan omonganku."

"Orang muda, kekuatanku lima kali kekuatan seekor beruang hitam. Jika engkau mampu mengalahkan seekor beruang dengan satu kali pukulan saja, berarti bahwa engkau akan mampu mengalahkan aku dengan lima kali pukulan. Betapa tidak masuk di akal! Nah, aku akan melihat buktinya. Kalau engkau dapat mengalahkan aku dalam sepuluh jurus, berarti omonganmu memang benar."

"Kalau tidak dapat?"

"Berarti engkau bohong dan perkenalan kita hanya sampai di sini saja. Nah, bersiaplah engkau, kecuali kalau engkau takut!"

Ucapan itu menyentuh harga diri Ci Kang. “Aku tidak butuh membuktikan kemampuanku, akan tetapi kalau engkau memaksaku, jangan dikira aku takut!"

Sepasang mata yang lebar itu berseri. "Bagus, nah, mari kita mulai, orang muda!"

Dia lalu mengajak Ci Kang keluar dari dalam rumahnya dan sekarang mereka telah saling berhadapan di depan rumah itu, di halaman yang luas di mana tumbuh rumput hijau yang subur. Di samping merupakan pemburu-pemburu yang ulung, orang-orang Khin ini juga beternak domba dan mereka menanam semacam rumput yang sangat gemuk dan baik sekali untuk makanan ternak mereka.

Kini dua orang laki-laki itu berdiri berhadapan. Banyak sekali orang Khin yang mendengar tentang kedatangan pemuda yang gagah perkasa penolong putera kepala suku mereka, sudah berada di situ dan kini dengan wajah berseri mereka melihat betapa kepala suku mereka akan menguji pemuda itu!

Melihat Ci Kang bertelanjang dada, ketua itu pun lalu menanggalkan baju atasnya dan Ci Kang melihat tubuh seorang laki-laki yang jantan dan amat tegap, kokoh dan kuat. Akan tetapi dia dapat menduga bahwa kepala suku itu hanya memiliki tenaga otot yang sangat besar saja, dan dia tidak merasa gentar. Akan tetapi dia pun tak mau memandang rendah dan mengambil keputusan akan mengalahkan raksasa ini kurang dari sepuluh jurus sebab dia pun tidak ingin kehilangan persahabatan dengan orang-orang yang menyenangkan hatinya.

Bahkan orang-orang wanitanya yang berada di situ kelihatan gagah-gagah, sama sekali berbeda dengan wanita-wanita Han yang kebanyakan lemah. Tentu saja ada kecualinya, pikirnya, terutama sekali gadis-gadis seperti Sui Cin dan Hui Cu, puteri Ratu Iblis itu!

"Aku sudah siap!" katanya ketika melihat ketua itu melangkah maju dengan kedua lengan panjang itu tergantung ke sisi, dengan jari-jari tangan terbuka dan agak melengkung.

Sikap ini mirip sikap beruang hitam tadi, pikir Ci Kang, maka dia pun bersikap waspada. Dia dapat menduga bahwa orang ini tentu ahli dalam ilmu gulat dan karenanya berbahaya sekali apa bila kedua lengan panjang dengan jari-jari tangan sangat kuat itu sampai dapat menangkapnya. Akan tetapi ketika kepala suku itu menerjang dengan amat cepatnya, dia sudah mengambil keputusan untuk menunjukkan kepandaiannya kemudian menundukkan raksasa ini secepat mungkin.

Ci Kang mempergunakan perhitungan yang matang dan berani. Ketika dua tangan yang besar itu menyambar dari kanan kiri, dia sengaja berlaku lengah atau lambat, akan tetapi untuk menjaga kecepatan gerak tangannya, dia tidak membiarkan pundak atau lengannya tersentuh, apa lagi tertangkap. Dengan mengembangkan dua lengannya, dia membiarkan batang leher dan pangkal lengan kirinya kena dicengkeram, namun begitu merasa kedua tangan lawan menyentuhnya, secepat kilat jari tangan kanannya segera bergerak dua kali menotok ke arah jalan darah di kedua pundak lawan.

Saking cepatnya, gerakan ini sampai tidak kelihatan oleh kepala suku itu sendiri, namun tiba-tiba saja dia merasa betapa dua buah lengannya kehilangan tenaga sama sekali dan menjadi seperti lumpuh. Biar pun kelumpuhan itu hanya terjadi untuk beberapa detik saja lamanya, namun cukup bagi Ci Kang untuk menggerakkan kakinya dan ujung sepatunya menyentuh kedua lutut lawan. Sepasang kaki yang besar dan sangat kuat itu seketika kehilangan tenaga lalu tubuh itu pun terkulai dan roboh miring!

Kepala suku itu merasa kaget, heran dan penasaran sekali ketika mendapat kenyataan betapa dalam satu gebrakan saja dia sudah roboh dan kini kedua lengannya dicengkeram oleh lawan yang sudah berlutut di belakangnya. Dia mengerahkan tenaga raksasanya, akan tetapi tiba-tiba dia mengeluh dan tubuhnya mengejang, tenaganya pun hilang.

Setiap kali dia mengerahkan tenaga, rasa nyeri yang amat hebat langsung naik ke dalam dadanya dari kedua lengan yang dicengkeram Ci Kang. Selama hidupnya belum pernah kepala suku itu mengalami hal seperti ini. Cengkeraman rahasia dari lawan itu membuat dia menderita nyeri hebat setiap kali dia mengerahkan tenaga!

Melihat betapa kepala suku itu kini sama sekali tidak meronta lagi, Ci Kang melepaskan cengkeraman kedua lengannya kemudian meloncat bangun, berdiri dengan sikap tenang. Semua orang yang menonton pertandingan itu melongo, tak dapat percaya betapa kepala suku itu dibuat tidak berdaya dan dikalahkan hanya dalam satu gebrakan saja! Hal seperti ini mereka anggap sama sekali tidak mungkin! Kepala suku mereka itu memiliki kekuatan lebih dari sepuluh orang biasa!

Akan tetapi kepala suku bangsa Khin itu sendiri adalah seorang gagah yang tentu saja cerdik. Kalau tidak demikian, tidak mungkin dia bisa menjadi kepala suku bangsa yang kasar dan gagah berani, juga sukar diatur. Dia tahu apa bila dia kalah dan menghadapi orang-orang yang jauh lebih kuat darinya.

Oleh karena itu, dia pun bangkit, memijit-mijit kedua lengannya bergantian, memandang kepada Ci Kang dengan wajah berseri, lalu mengulurkan kedua tangannya dan merangkul Ci Kang! Pemuda ini sudah siap membela diri jika kepala suku itu akan bertindak curang, akan tetapi ternyata rangkulan itu adalah pelukan persahabatan biasa saja.

"Orang muda, sungguh engkau hebat sekali. Aku sendiri akan memukul orang yang tidak percaya bahwa engkau akan mampu merobohkan seekor beruang hitam dewasa dengan satu pukulan! Engkau sangat hebat dan aku, Moghu Khali, mengaku kalah!" Kepala suku itu tertawa gembira dan sikap ini semakin mengagumkan hati Ci Kang.

"Engkau mempunyai tenaga yang amat kuat!" Dia memuji dengan sejujurnya. "Aku tentu akan kalah melawanmu jika hanya mempergunakan tenaga badan saja.”

Kedudukan Moghu Khali yang paling tinggi di antara suku bangsanya itu sama sekali tidak membuat kepala suku ini menjadi sombong atau tinggi hati. Dia tertawa dan girang sekali mendengar ucapan yang jujur itu. "Orang muda, siapakah namamu?"

"Siangkoan Ci Kang."

"Saudara Siangkoan, kita sudah saling mengenal nama, juga saling mengenal tenaga dan kepandaian. Ilmu kepandaianmu dalam perkelahian memang hebat dan jika engkau suka mengajarku tentang cengkeraman rahasia yang membuat aku tidak mampu mengerahkan tenaga tadi, sungguh aku akan merasa gembira sekali."

Ci Kang memang merasa kagum dan suka sekali kepada kepala suku ini, maka dia pun mengangguk. "Baik, saudara Moghu, akan kuajarkan cara mencengkeram seperti tadi."

Moghu Khali gembira sekali dan sambil menggandeng tangan Ci Kang, dia lalu mengajak pemuda itu masuk ke dalam rumah. Sejak saat itu Ci Kang menjadi seorang tamu yang amat dihormati dan disuka.

Karena sikap ini, Ci Kang menjadi semakin akrab dengan mereka. Melihat betapa kepala suku itu mempunyai banyak bulu binatang liar yang bagus, dia pun lalu minta dibuatkan sebuah jubah bulu harimau yang menjadi kesukaannya. Kemudian, di dalam percakapan mereka, dia mendengar bahwa di antara kepala suku akan diadakan pemilihan ketua atau pimpinan.

"Di selatan sedang terjadi pergolakan dan pemberontakan," demikian antara lain Moghu Khali berkata. "Kota benteng San-hai-koan sudah diduduki pemberontak yang kabarnya telah didukung oleh orang-orang pandai. Kami, bangsa Mongol, Khin dan Mancu hendak bersatu untuk menghadapi pemberontak itu dan rencana kami adalah hendak merampas kota-kota yang telah mereka duduki untuk dijadikan benteng-benteng kami di perbatasan. Untuk itu kami akan mengadakan pemilihan pimpinan dan kalau engkau sudi membantu, dan suka menjadi jago kami, maka aku yakin bahwa tentu aku yang akan terpilih menjadi pimpinan."

"Menjadi jago? Apakah yang kau maksudkan, saudara Moghu Khali?" tanya Ci Kang, di dalam hatinya terkejut mendengar betapa para pemberontak yang dipimpin oleh Raja Iblis itu ternyata telah merampas dan menduduki benteng kota San-hai-koan.

Moghu Khali lantas menceritakan kepada pemuda itu tentang rencana para suku bangsa hendak mengadakan pemilihan pimpinan melalui adu jago, seperti yang sudah diusulkan oleh nenek Yelu Kim dan diterima oleh mereka semua.

Biar pun kepala suku itu tidak membuka semua rencana para suku bangsa utara, Ci Kang sudah dapat menduga bahwa tentu para suku bangsa itu bukan memusuhi pemberontak karena setia kawan kepada pemerintah Kerajaan Beng, melainkan karena mereka itu juga hendak membangun kembali kekuatan mereka yang kini sudah hancur berantakan akibat jatuhnya Kerajaan Mongol.

Akan tetapi baginya, yang penting sekarang adalah menghadapi para pemberontak. Dan kalau Raja Iblis sudah bersekutu dengan pasukan, bahkan telah merampas kota benteng San-hai-koan, sebaiknya kalau dia menggunakan suku bangsa Khin ini untuk menentang para pemberontak.

"Baik, saudara Moghu, aku akan membantumu dan aku bersedia menjadi jagoanmu untuk mengalahkan para jagoan lainnya. Tentu saja aku tidak sepenuhnya yakin akan menang karena suku-suku bangsa itu tentu akan mengajukan jago-jago yang tangguh."

"Ha-ha-ha! Kesanggupanmu sudah merupakan kemenangan, saudara Siangkoan. Andai kata nasib tidak mempertemukan aku dengan engkau, tentu aku sendiri yang maju. Akan tetapi walau pun tidak ada kulihat jagoan di utara yang dapat mudah mengalahkan aku, namun aku masih ragu-ragu karena memang banyak orang-orang kuat yang mempunyai tenaga besar dan ilmu gulat yang hebat di daerah ini. Akan tetapi, di antara mereka tidak mungkin ada yang akan dapat mengalahkanmu. Ha-ha-ha, aku sendiri kalah dalam satu gebrakan, siapa mampu mengalahkan seorang seperti engkau? Terima kasih, saudaraku. Kita harus mengadakan persiapan sekarang."

Demikiahlah, ketika sayembara adu jago untuk menentukan pemenang bagi calon pemimpin suku-suku di utara, Ci Kang muncul dengan gagahnya, mewakili Bangsa Khin, menunggang seekor kuda putih dan memegang sebatang tombak kong-ce.

Akan tetapi bagaimana Hui Song tiba-tiba dapat menyelinap di antara banyak orang, dan berpakaian sebagai seorang anggota rombongan Mancu Timur? Untuk dapat mengetahui jawabannya, mari kita ikuti perjalanan Hui Song, pemuda jenaka yang biasa bergembira dan yang sekarang telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi berkat gemblengan selama kurang lebih tiga tahun oleh Siang-kiang Lo-jin Si Dewa Kipas.

Seperti sudah kita ketahui, Cia Hui Song hanya berhasil menyelamatkan Kok Hui Lian, anak perempuan berusia sepuluh tahun, puteri gubernur San-hai-koan yang sudah tewas bersama semua keluarganya itu. Pada saat melarikan anak perempuan itu, dia bertemu dengan sebagian dari Cap-sha-kui kemudian dikeroyok. Untung ketika anak perempuan itu terancam, muncul Ciang Su Kiat murid Cin-ling-pai yang buntung lengan kirinya itu dan orang ini lalu melarikan Hui Lian.

Karena San-hai-koan sudah terjatuh ke dalam tangan pemberontak dan dia tidak mampu melakukan apa pun untuk menentang para pemberontak, Hui Song lantas pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk menghadiri pertemuan para pendekar. Kini pertemuan itu menjadi semakin penting saja setelah Raja Iblis dan kawan-kawannya telah membuktikan pelaksanaan rencana mereka untuk memberontak dengan direbutnya San-hai-koan.

Di tempat ini dia bertemu dengan beberapa orang pendekar yang sudah datang terlebih dahulu. Akan tetapi karena memang hari yang ditentukan belum tiba, dia bersama para pendekar harus menanti di sekitar tempat itu. Tak disangkanya Siangkoan Ci Kang yang dianggap sebagai seorang tokoh muda kaum sesat yang amat berbahaya itu muncul di situ. Tentu saja Hui Song menjadi curiga.

Dia tahu benar siapa adanya pemuda ini dan betapa pun gagah pemuda itu, kenyataan bahwa dia adalah putera tunggal Si Iblis Buta tentu saja menimbulkan kecurigaan bahwa Ci Kang tentu datang untuk menjadi mata-mata kaum hitam. Itulah sebabnya maka tanpa ragu-ragu lagi Hui Song menyerangnya dan para pendekar juga menjadi marah kepada Siangkoan Ci Kang.

Pada hari itu juga, dengan girang Hui Song melihat kedatangan gurunya, yaitu Si Dewa Kipas. Murid dan guru ini kemudian bercakap-cakap dan ternyata kakek gendut itu pun sudah mendengar tentang jatuhnya San-hai-koan ke tangan para pemberontak.

"Mereka telah benar-benar bergerak," kata kakek itu sambil menarik napas panjang. "Kini tak mungkin lagi bagi kita melawan mereka begitu saja. Raja dan Ratu Iblis bersama para datuk kaum sesat, betapa pun sakti mereka itu, dapat kita hadapi bersama. Kalau para pendekar bersatu, agaknya fihak kita tidak akan kalah kuat. Akan tetapi sesudah mereka itu mempunyai pasukan besar sebagai sekutu, tentu saja tak mungkin bagi kita melawan pasukan yang beribu-ribu banyaknya. Jalan satu-satunya bagi kita hanyalah berpencar dan membantu pasukan pemerintah kalau bertempur dengan mereka, di mana pun juga."

Hui Song lalu bercerita tentang putera Si Iblis Buta yang baru pagi tadi datang ke tempat itu dan melarikan diri setelah mereka serang. "Dia itu tentu mata-mata musuh, suhu. Tapi sayang kami tidak dapat menangkapnya. Dia sungguh lihai."

Kakek gendut itu mengerutkan alisnya. Kini kakek yang biasanya tertawa-tawa gembira itu kehilangan kegembiraannya melihat betapa para pemberontak telah bergerak sebelum mereka mampu mencegahnya.

"Aku tidak dapat menduga bagaimana sesungguhnya mereka itu. Aku tidak yakin apakah putera Iblis Buta itu juga bekerja untuk mereka."

"Tentu saja, suhu. Bagaimana tidak? Sejak dahulu dia itu merupakan tokoh jahat yang berbahaya sekali."

"Akan tetapi engkau harus ingat bahwa ayahnya dibunuh oleh Raja Iblis," bantah kakek gendut itu.

"Sekali jahat tetap jahat!" Hui Song berkata lagi. "Putera seorang datuk seperti Iblis Buta itu, tentu menjadi seorang tokoh sesat yang luar biasa. Biar pun ayahnya terbunuh oleh Raja dan Ratu Iblis, mana mungkin dia lantas berubah menjadi orang baik-baik, bahkan hendak mendekati kaum pendekar? Dia tentu mata-mata, suhu."

Kakek itu mengangguk-angguk. "Mungkin ada perebutan kekuasaan di antara mereka, Hui Song. Akan tetapi ada yang lebih penting lagi. Biar aku yang menghadiri pertemuan dan engkau kuberi tugas baru yang amat penting."

Girang rasa hati Hui Song. Dia gelisah memikirkan Sui Cin dan duduk menganggur sambil menanti hari pertemuan itu di bekas benteng Jeng-hwa-pang sungguh tak menyenangkan hatinya. "Tugas apakah itu, suhu?"

"Sesudah sekarang Raja Iblis bersekutu dengan pasukan pemberontak, kita hanya dapat membantu pasukan-pasukan pemerintah untuk menumpas mereka itu. Akan tetapi masih ada kekuatan lain yang mungkin dapat kita manfaatkan. Kekuatan itu adalah para suku bangsa di daerah ini. Apa bila mereka itu mau bergerak membantu dan menentang kaum pemberontak, tentu akan lebih mudah lagi menghancurkan para pemberontak berikut Raja Iblis dan kaki tangannya. Oleh karena itu, aku menguasakan kepadamu untuk melakukan penyelidikan terhadap suku-suku liar itu, Hui Song. Apa bila ada kemungkinan mengajak mereka itu untuk menentang para pemberontak, sungguh merupakan bantuan yang besar sekali kepada pemerintah."

"Akan tetapi, bukankah dulu suhu pernah mengatakan bahwa kita tidak akan mencampuri urusan pemerintah dan hanya semata-mata bangkit untuk menentang Raja Iblis dan para datuk sesat yang hendak mengacaukan negara?"

"Benar, akan tetapi sesudah mereka itu bergabung dengan pasukan pemberontak, tidak ada jalan bagi kita untuk membantu pemerintah menumpas mereka."

"Baiklah, suhu, akan kuselidiki keadaan para suku bangsa di daerah ini."

Hui Song lalu meninggalkan bekas benteng Jeng-hwa-pang dan menuju ke utara, mendaki bukit dan melintasi gurun pasir. Tanpa disadarinya dia tersesat jalan menuju ke timur dan pada suatu hari tibalah dia di sebuah dusun kecil. Hari sudah menjelang senja ketika dia memasuki pintu gerbang sederhana dusun itu, namun yang membuat dia merasa sangat heran adalah karena dusun itu sunyi senyap, tak nampak seorang manusia, bahkan tidak terdengar sesuatu.

Sebuah dusun kosong? Bukan, pikirnya. Masih ada asap mengepul dari sebuah rumah di antara rumah-rumah kecil yang agaknya dibangun secara darurat di dusun itu. Akan tetapi ke manakah perginya semua orang? Agaknya mereka bersembunyi, pikirnya. Bagaimana pun juga pendengarannya yang terlatih dan amat tajam bisa menangkap gerakan-gerakan dan dia merasa yakin bahwa dia telah dikurung secara sembunyi-sembunyi oleh banyak orang!

Karena dia merasa sebagai seorang tamu yang tidak diundang di dusun itu, maka Hui Song merasa tidak enak sekali dan dia pun berdiri di tengah-tengah lapangan di antara rumah-rumah itu, di mana dia melihat bekas-bekas api unggun yang agaknya baru saja dipadamkan secara tergesa-gesa. Di sini dia berdiri tegak, memandang ke empat penjuru, ke arah rumah-rumah yang sunyi itu, dan dia pun berkata dengan dengan suara lantang.

"Saya Cia Hui Song, seorang kelana yang kemalaman di jalan, mohon kebaikan hati para penghuni dusun untuk mengijinkan saya melewatkan malam di dusun ini!"

Sama sekali tidak ada jawaban. Sampai tiga kali dia mengulang kata-katanya akan tetapi hanya dijawab oleh ringkik kuda di kejauhan saja. Akan tetapi Hui Song dapat merasakan bahwa pengurungan tempat itu semakin rapat sehingga dia bersikap waspada.

Dan seperti yang telah diduganya, tiba-tiba saja terdengar teriakan-teriakan dalam bahasa yang tidak dimengertinya, kemudian tahu-tahu puluhan batang anak panah menyerbu dan menyerangnya dari semua penjuru!

"Aku bukan penjahat...!" Teriak Hui Song akan tetapi percuma saja karena anak panah yang amat banyak itu sudah meluncur ke arah dirinya.

Hui Song terpaksa menanggalkan jubahnya dan memutar jubahnya itu untuk melindungi tubuhnya. Semua anak panah runtuh dan tidak ada sebatang pun yang mengenai dirinya, akan tetapi jubahnya robek-robek, juga bajunya ada yang robek terkena anak panah.

Begitu anak panah itu berhasil diruntuhkannya semua, tiba-tiba saja nampak sinar hitam meluncur dan ia melihat bahwa itu adalah tali-tali hitam panjang yang ujungnya berbentuk laso. Dia tersenyum dan berdiri tegak tidak mengelak. Dan laso-laso itu ternyata dengan amat tepatnya telah mengalungi lehernya, malah kedua tangannya juga kena dibelenggu.

Harus diakuinya bahwa pelempar-pelempar laso itu amat mahir. Agaknya para penghuni dusun ini adalah peternak-peternak lembu karena hanya peternak-peternak lembu saja yang pandai menggunakan laso untuk menangkap lembu-lembu mereka yang binal atau kabur.

Sesudah tubuhnya terbelit-belit laso, terdengar sorak kegirangan dan kini muncul puluhan orang, laki-laki dan wanita, yang kesemuanya berpakaian indah, berwajah cantik-cantik dan tampan-tampan, akan tetapi yang pada saat itu memandang padanya dengan penuh kemarahan! Mereka muncul sambil mengacungkan senjata mereka yang berupa tombak, golok dan anak panah, semua diacungkan dan diangkat tinggi-tinggi. Agaknya mereka itu siap untuk mengeroyok dan menghancurkan tubuhnya.

Akan tetapi terdengar bentakan nyaring dan mereka semua segera berhenti, lalu muncul seorang laki-laki muda yang tampan. Usia laki-laki ini sekitar tiga puluh tahun, wajahnya tampan dan pakaiannya paling indah, dengan jubah dari bulu tebal.

Lelaki ini maju dan dia diiringi oleh belasan orang wanita yang semuanya muda-muda dan cantik-cantik, usia mereka mulai dari lima belas sampai dua puluh lima tahun! Laki-laki bermantel bulu dan bertopi lebar ini melangkah maju dan semua orang yang mengepung Hui Song hanya memandang, tetapi siap untuk mengeroyok Hui Song andai kata pemuda yang sudah terbelenggu banyak tali laso itu memberontak.

Kini laki-laki bertopi itu berdiri di depan Hui Song yang masih berpura-pura tidak berdaya dalam lilitan laso. Kalau dia mau, tentu saja sekali meronta semua tali laso akan putus dan dia dapat bergerak bebas. Akan tetapi dia hendak melihat dahulu perkembangannya, ingin tahu mengapa orang-orang yang tidak dikenalnya ini memusuhinya.

Kemunculan mereka saja sudah menarik perhatiannya karena mereka itu tidak nampak seperti orang-orang liar yang kasar, bahkan gerak-gerik mereka halus, pakaian mereka indah dan tubuh mereka terpelihara rapi dan bersih. Lelaki bertopi ini pun nampak tampan dan bersih, dan para wanita yang datang bersamanya juga cantik-cantik dan berpakaian rapi.

"Aha, ternyata engkau tampan juga!" kata laki-laki bertopi itu. "Dengan ketampanan dan kemudaanmu, apa sulitnya bagimu untuk menjatuhkan hati wanita-wanita cantik. Kenapa engkau harus mencari wanita dengan cara menculik dan memperkosanya?"

Tentu saja Hui Song melongo mendengar tuduhan-tuduhan ini. Seorang di antara para wanita itu, yang termuda dan paling manis, mendadak melangkah maju menghampirinya. Mata wanita ini merah oleh tangis.

"Kembalikan adikku...!" bentaknya dan tiba-tiba saja tangan yang kecil halus itu bergerak menampar.

"Plakk! Plakk!"

Dua kali pipi Hui Song ditamparnya tetapi laki-laki bertopi itu cepat menangkap lengannya dan melarangnya memukul lagi. Wanita itu pun mundur sambil terisak.

"Ia adalah kakak dari gadis yang kau culik semalam. Nah, tidak tergerakkah hatimu telah menyusahkan hati seorang gadis yang semanis dia? Padahal, jika engkau menjadi orang baik-baik, kiranya banyak gadis yang akan jatuh hati kepadamu, yang menyerahkan jiwa raga kepadamu tanpa kau paksa atau perkosa...!"

Biar pun pria itu bicara dengan halus, dengan bahasa yang teratur dan tidak kaku, bahkan halus dan sopan seperti bahasa orang terpelajar, namun Hui Song merasa tersinggung dan bingung sekali. Tamparan tadi tidak begitu dirasakannya, akan tetapi tuduhan bahwa dia menculik dan memperkosa wanita, sungguh keterlaluan.

Tahulah dia mengapa dia dimusuhi. Kiranya dia disangka penculik wanita yang agaknya sudah beberapa kali menculik wanita-wanita dari suku ini dan malam ini sengaja mereka berusaha menjebak dan menangkap si pencuri anak perawan!

"Aku bukan pencuri perawan! Untuk apa aku mencuri wanita...?" Dia berseru beberapa kali.

Akan tetapi yang dapat mengerti bahasanya agaknya hanyalah pria bertopi, gadis-gadis pengikutnya dan beberapa orang saja. Yang tidak mengerti lalu bertanya-tanya sehingga keadaan menjadi berisik.

Tiba-tiba saja terdengar jeritan wanita melengking nyaring. Semua orang terkejut. Jerit itu keluar dari rumah terbesar yang berada di tengah dusun.

"Adikku perempuan...!" Laki-laki bertopi itu berteriak gelisah.

Hui Song segera dapat mengerti apa yang sudah terjadi. Agaknya, selagi dia ditawan dan dituduh sebagai pencuri anak perawan, si pencuri yang asli sedang bekerja dan agaknya sekali ini yang dicurinya bukan perawan kepalang tanggung, melainkan adik dari orang bertopi yang agaknya menjadi pemimpin mereka itu!

Dan inilah kesempatan baik baginya untuk membuktikan bahwa dirinya bukanlah penculik perawan, juga kesempatan baik baginya untuk mencegah terjadinya perbuatan terkutuk sekalian membasmi penjahat pemetik bunga itu. Karena itu dia pun bergerak dan sekali meronta, terdengar suara keras dan semua tali laso itu pun putus. Orang-orang berteriak kaget dan Hui Song meloncat dengan gerakan seperti seekor burung terbang saja.

Wusssssss.....!
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar