Asmara Berdarah Jilid 37

Semenjak tadi Sui Cin menjadi saksi perkelahian itu dan dia pun merasa kagum kepada pemuda berpakaian serba putih sederhana yang lihai itu. Setelah semua belenggu yang mengikat kaki tangannya putus dan ia menjadi bebas, ia segera merangkap kedua tangan depan dada memberi hormat dan berkata,

"Terima kasih, engkau telah menyelamatkan aku dari tangan nenek iblis itu."

Cia Sun membalas penghormatan itu sambil tersenyum. "Adik Sui Cin, mengapa engkau begini sungkan? Di antara kita mana ada sebutan pertolongan?"

Sui Cin memandang dengan mata terbelalak dan jelas nampak oleh Cia Sun betapa gadis ini sekarang menjadi semakin cantik menarik.

"Saudara yang gagah perkasa, apa maksudmu...?"

Kini Cia Sun yang melongo. "Cin-moi... lupakah engkau kepadaku? Aku Cia Sun..."

Akan tetapi gadis itu memandang bingung. "Cia Sun...? Aku... aku tidak mengenal nama itu..."

"Ehh...? Bagaimana ini? Bukankah engkau... adik Ceng Sui Cin?"

Sui Cin menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya. "Aku tidak tahu... aku tidak tahu..."

Cia Sun merasa amat khawatir dan memandang tajam. "Apa maksudmu? Apakah engkau hendak mengatakan bahwa engkau bukan adik Ceng Sui Cin?"

"Aku tidak tahu apakah namaku Ceng Sui Cin ataukah Ceng Bi Hwa..."

"Apa pula ini? Bagaimana engkau tidak yakin akan nama sendiri?"

"Aku tidak tahu, aku sudah lupa segalanya... dan nama Ceng Sui Cin atau Ceng Bi Hwa itu pun kudengar dari nenek itu..."

"Engkau adalah adik Ceng Sui Cin, tak salah lagi! Coba ingat-ingat baik-baik, aku adalah Cia Sun, dari Lembah Naga. Lupakah engkau kepada nama itu? Antara ayahmu dengan ayahku terdapat hubungan yang amat erat... bukankah ayahmu adalah paman Ceng Thian Sin yang berjuluk Pendekar Sadis?"

Dengan sedih Sui Cin menggeleng kepala. "Aku lupa semua, aku tidak tahu apa-apa, aku lupa siapa sesungguhnya diriku. Aku hanya ingat bahwa aku terkena lemparan batu pada kepalaku, dan aku dikejar-kejar oleh seorang musuh lihai. Kemudian aku bertemu dengan nenek itu, namun dia sudah menipuku, memberi minum ramuan yang katanya obat untuk mengembalikan ingatanku. Akan tetapi ternyata obat itu adalah racun, aku menjadi lemas dan dibelenggunya seperti tadi... dan dia mengaku bernama Kiu-bwe Coa-li, katanya dia adalah musuh besarku..."

"Tentu saja! Dia adalah seorang di antara Cap-sha-kui yang jahat. Lupakah engkau?"

"Aku tidak ingat lagi siapa itu Cap-sha-kui..."

"Aihh, Cin-moi. Beberapa tahun yang lalu aku pernah hampir celaka di tangan nenek ini, dan engkaulah yang muncul menolongku. Apakah engkau tidak ingat?"

Sui Cin menggelengkan kepala. "Aku lupa segalanya... kepalaku pening, ahhh... batu itu menghantam kepalaku amat kerasnya..." Dara itu duduk kembali dan memejamkan mata untuk berusaha mengumpulkan tenaganya, akan tetapi dia mengeluh. Tenaganya hilang. "Aku lemas sekali, seluruh tenagaku lenyap... ini tentu akibat racun yang diberikan nenek iblis itu kepadaku..."

"Cin-moi, kalau begitu aku mengerti sekarang. Engkau tentu telah kehilangan ingatanmu, entah kenapa, mungkin seperti yang kau ingat itu, terkena lemparan batu hingga otakmu terguncang dan ingatanmu hilang atau kabur. Kemudian, dalam keadaan hilang ingatan itu engkau bertemu dengan Kiu-bwe Coa-li dan nenek iblis yang curang itu lalu menipumu, menggunakan keadaan dirimu yang lupa ingatan, kemudian meracunimu. Engkau sedang menderita keracunan, Cin-moi. Inilah yang harus lebih dahulu disembuhkan. Mari kubantu engkau..." Cia Sun lalu duduk bersila di belakang Sui Cin, akan tetapi gadis itu meloncat bangun dan memandang dengan sinar mata meragu.

"Adikku yang baik, apakah engkau tidak percaya kepadaku?"

"Aku tidak kenal denganmu..."

"Cin-moi, dalam keadaan hilang ingatan, aku tidak merasa heran kalau engkau tidak lagi mengenal aku, bahkan namamu sendiri pun engkau lupa, juga siapa orang tuamu. Akan tetapi, biar pun aku sekarang menjadi seorang kenalan baru, apakah engkau tetap tidak percaya padaku setelah tadi melihat betapa aku mati-matian membantumu dari ancaman nenek iblis itu?"

Boleh jadi Sui Cin sedang kehilangan ingatannya tentang masa lalu, akan tetapi dia tidak kehilangan kegagahan dan keadilannya. Dia mengangguk. "Baiklah, aku yang salah. Lalu, apa yang hendak kau lakukan dalam usahamu mengobatiku?"

"Aku tidak tahu racun apa yang diminumkan nenek itu kepadamu, Cin-moi, maka tentu saja aku pun tak tahu apa obat penawarnya. Akan tetapi setidaknya, dengan pengerahan sinkang, barang kali aku akan dapat memulihkan tenagamu, atau paling tidak aku akan dapat mencegah racun itu menjalar dan membahayakan keselamatan nyawamu."

Kembali Sui Cin mengangguk. "Baiklah, saudara..."

"Cin-moi, dulu engkau selalu menyebut twako kepadaku, dan namaku Cia Sun...," kata pemuda itu dengan halus.

"Baiklah, Sun-twako, silakan dan sebelumnya aku menghaturkan terima kasih." Gadis itu duduk bersila kembali. Cia Sun duduk di belakangnya lantas menempelkan kedua telapak tangannya di punggung gadis itu.

Segera Sui Cin merasa betapa ada hawa panas menjalar ke dalam tubuhnya melalui dua telapak tangan yang menempel punggung itu dan dia bergidik. Ia tahu bahwa pemuda itu sungguh lihai, akan tetapi mengerti juga bahwa nyawanya seolah-olah berada di telapak tangan pemuda itu. Ia menyerah dengan ikhlas dan memejamkan kedua matanya…..

********************

Kiu-bwe Coa-li lari sambil memaki-maki. "Keparat! Anjing monyet tikus sialan!"

Dia merasa betapa nasibnya amatlah buruknya. Sudah baik-baik bertemu dengan puteri Pendekar Sadis, malah dia sudah berhasil meringkus tanpa banyak susah dan selagi dia menikmati kepuasan hatinya menyiksa gadis itu sebelum membunuhnya, tiba-tiba muncul pemuda lihai itu, putera ketua Pek-liong-pang dari Lembah Naga!

Dan nyaris dia celaka, mungkin tewas di tangan pemuda itu! Hanya dengan susah payah dan berkat kecerdikannya dia mampu lolos dari ancaman maut, walau pun cambuk ekor sembilan dan rambutnya rontok dan bodol!

"Sialan...!" gerutunya. Mungkin ia kurang perhitungan ketika melakukan perjalanan, keliru memilih hari baik!

Memang menggelikan sekali ulah nenek iblis itu. Akan tetapi, apa bila kita mau membuka mata dan melihat kenyataan hidup ini, akan nampaklah oleh kita bahwa kenyataan hidup sehari-hari di antara kita tidaklah banyak bedanya dengan sikap nenek Kiu-bwe Coa-li itu.

Sejak kecil kita pun sudah terbiasa untuk menggantungkan diri kepada nasib! Dan setiap ada peristiwa merugikan menimpa diri kita, kita lantas menyalahkan kepada nasib. Nasib buruk, sial, bintang gelap, dan sebagainya kita lontarkan sebagai ungkapan kekecewaan hati. Marilah kita sama membuka mata dan mengamati kenyataan ini. Tidak demikianlah kebiasaan kita sehari-hari?

Kita selalu mencari kambing hitam keluar, menimpakan semua kesalahan keluar diri kita dan mencari-cari alasan dari luar, lalu, apa bila tidak menemukan lain orang atau barang sebagai penyebab datangnya kegagalan atau kerugian, kita akan melontarkan sebabnya kepada nasib!

Seorang yang gagal dalam ujian akan mencari-cari alasan keluar, menyalahkan gurunya yang dikatakan tidak adil, menyalahkan sistem pelajarannya, menyalahkan teman-teman dan apa bila tiada alasan menimpakan kesalahan kepada orang lain lalu melontarkannya kepada nasib. Nasib buruk katanya!

Seorang yang gagal dan kalah dalam pertandingan olah raga dan lain-lain akan mencari alasan di luar dirinya, menyalahkan lapangannya yang dikatakan sangat buruk, licin dan sebagainya, menyalahkan alat permainan yang dikatakannya tidak memenuhi syarat dan sebagainya, atau ada pula yang menyalahkan keadaan kesehatannya dan akhirnya juga melontarkannya kepada nasib!

Seorang yang dagangannya tidak laku dan gagal di dalam usahanya akan selalu mencari kesalahan pada tempatnya berjualan, para pembelinya, atau juga kepada nasib. Seorang pengarang yang hasil karangannya tidak mendapat sambutan, tidak dibaca orang akan menyalahkan para pembaca yang dikatakannya tolol dan bodoh tidak mengenal karangan yang bermutu dan yang baik, atau juga melontarkannya kepada nasib.

Bukankah semua ini merupakan suatu sikap yang amat buruk, suatu kelucuan yang tak lucu dan konyol? Bukankah sikap seperti itu merupakan sebuah kebodohan dan menjadi penghalang besar dari pada kemajuan diri pribadi? Jika saja mereka itu mau menyelidiki dan mencari alasan-alasan kegagalan itu dalam diri sendiri, pasti akan mereka temukan sebab-sebab kegagalan semua itu. Sebabnya terletak dalam diri sendiri!

Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini berputar pada sebuah sumber yang terdapat di dalam diri sendiri. Dan sikap mau mencari segala sebab pada diri sendiri adalah sebuah kebijaksanaan yang sangat besar dan sangat berguna bagi kehidupan manusia, karena dengan cara begini, kita masing-masing akan dapat melihat dan menemukan kesalahan-kesalahan serta kekurangan-kekurangan pada diri kita sendiri dan hanya bila kita sudah menemukan kesalahan-kesalahan pada diri sendiri inilah maka baru akan bisa dilakukan perbaikan-perbaikan dan pembetulan-pembetulan. Nasib berada di dalam telapak tangan kita sendiri karena segala sebab dan semua akibat berada di telapak tangan kita sendiri.

Bukan hanya kegagalan, bahkan segala peristiwa, seyogyanya ditelusuri dari dalam diri sendiri. Kalau ada orang membenci kita, biasanya kita menjadi marah, kita membiarkan pikiran berceloteh, mengagungkan diri sendiri sedemikian tingginya. "Mengapa dia benci kepadaku? Kurang bagaimanakah aku? Aku selalu baik, selalu ramah, selalu memberi, tetapi mengapa dia benci kepadaku? Dasar dia orang dengki, iri, jahat...!" Demikianlah celoteh pikiran yang selalu mengangkat dan mengagung-agungkan diri sendiri.

Dengan cara membiarkan pikiran berceloteh macam itu maka kita akan mandeg, bahkan mundur, dan kita tak akan mampu melihat kenyataan, melihat kesalahan sendiri dan kita hanya akan menambah kebencian di antara manusia. Akan tetapi, bila mana kita selalu waspada terhadap diri sendiri, mengamati diri sendiri tanpa menilai, tanpa mencela atau memuji, akan nampaklah segalanya itu, akan jelaslah bagi kita kenapa ada orang yang membenci kita dan sebagainya. Dan kewaspadaan ini, pengamatan ini, sekaligus akan menimbulkan kesadaran yang kemudian melahirkan tindakan nyata pula, mendatangkan keberanian untuk merubah kesalahan sendiri.

Kiu-bwe Coa-li bersungut-sungut dan marah-marah, menyalahkan nasibnya. Akan tetapi semua kegagalan yang menimpa dirinya tak lain merupakan buah yang dipetik dari pohon yang ditanamnya sendiri! Ia bersungut-sungut dan karena ia berjalan amat cepat sambil melamun, hampir saja ia menabrak seorang yang sedang berjalan perlahan dari depan.

Orang itu menyerongkan langkah, memiringkan tubuh hingga tabrakan terhindar. Kiu-bwe Coa-li hanya merasakan angin berseliwer halus ketika orang itu lewat di sampingnya dan baru dia sadar bahwa hampir saja ia bertubrukan dengan orang lain. Hatinya yang sedang murung itu menjadi panas dan marah, apa lagi ketika dia mengangkat muka dan melihat bahwa yang hampir bertubrukan dengan dirinya itu juga seorang nenek yang pakaiannya indah dan bersih.

Nenek ini pun sudah tua, tentu sudah tujuh puluh tahun lebih, malah lebih tua dari nenek Kiu-bwe Coa-li. Akan tetapi jelas nampak perbedaan antara kedua orang nenek itu. Kalau Kiu-bwe Coa-li berwajah buruk sekali, sebaliknya nenek ini menunjukkan bahwa di waktu mudanya dia tentu seorang wanita yang amat cantik jelita. Akan tetapi bukan kecantikan seorang wanita Han, melainkan kecantikan asing, dengan matanya yang lebar, hidungnya yang terlalu mancung dan dagunya yang panjang meruncing itu. Juga dandanannya jauh berbeda dengan wanita Han, bahkan juga berbeda dengan pakaian wanita-wanita Mongol pada umumnya.

Rambutnya yang sudah putih itu dikuncir dua, bukan dikuncir melainkan dibagi dua dan diikat dengan kain lebar. Telinganya yang lebar memakai anting-anting gelang yang besar pula. Lehernya memakai kalung dari untaian batu-batu putih bundar seperti tasbeh.

Jubahnya berwarna putih bersih dengan rangkapan berwarna biru dan kuning yang indah. Tangannya memegang sebatang kebutan yang juga berbulu putih mirip rambutnya. Nenek ini nampak agung dan berwibawa, juga gerak-geriknya halus laksana wanita bangsawan. Mulutnya tersenyum dan membayangkan kebesaran hati ketika dia memandang kepada Kiu-bwe Coa-li.

Sejenak Kiu-bwe Coa-li mempergunakan sepasang matanya yang sedikit juling itu untuk memandang dan hatinya menjadi semakin panas. Nenek itu dianggapnya terlalu sombong dan genit! Sudah tua masih berdandan begitu rapinya, memakai kalung dan anting-anting pula, dan pakaiannya bagus-bagus!

"Perempuan tak tahu malu!" bentaknya sambil menggoyang-goyangkan cambuknya. "Di mana kau taruh matamu maka engkau berani hampir menubruk aku?"

Nenek berjubah putih-putih itu tersenyum. "Sobat, jangan marah-marah dulu dan ingatlah baik-baik, siapakah yang hendak menubruk tadi? Engkau berjalan setengah berlari sambil melamun sehingga tidak melihat ke depan dan kalau aku kurang cepat menyingkir tentu telah kau tabrak."

Suaranya halus dan dari suara serta kata-katanya jelas bahwa dia adalah seorang wanita Mongol yang pandai pula berbahasa Han. Kata-katanya menunjukkan bahwa ia terpelajar, karena ia menggunakan bahasa yang halus, lebih halus dari pada kata-kata yang keluar dari mulut Kiu-bwe Coa-li, seorang nenek berbangsa Han asli.

Kata-kata yang halus serta sikap yang tenang itu menambah kemarahan Kiu-bwe Coa-li, karena ia merasa seolah-olah diejek. Ia menudingkan cambuknya ke arah muka nenek itu sambil membentak, "Perempuan tua bangka Mongol yang bosan hidup! Buka mata dan telingamu baik-baik. Engkau sedang berhadapan dengan Kiu-bwe Coa-li dan jika engkau tidak lekas berlutut minta ampun, maka cambukku akan mencabut nyawamu!"

"Ck-ck-ck..." Nenek itu menggelengkan kepala perlahan sehingga anting-antingnya yang seperti gelang itu bergoyang-goyang, akan tetapi mulutnya tetap saja tersenyum. "Kiranya Kiu-bwe Coa-li, salah seorang dari Cap-sha-kui yang namanya menggelapkan angkasa di selatan? Wah, hebat sekali. Kiu-bwe Coa-li, aku sudah tua, nyawaku ini tidak akan dapat kupertahankan selamanya dan sekali hendak pergi meninggalkan badan, siapa yang bisa menangguhkannya? Akan tetapi jangan harap dapat memaksaku berlutut sebab aku tidak mempunyai kesalahan apa pun kepadamu."

"Keparat! Berani engkau membantah dan menantangku? Apakah kau bosan hidup?"

Pada saat itu pula terdengar auman yang keras dan menggetarkan bumi. Kiu-bwe Coa-li terkejut bukan main ketika tiba-tiba seekor harimau yang amat besar muncul dan berlari menghampiri nenek berjubah putih itu. Harimau itu kemudian memandang kepadanya dan menggereng marah, dua matanya mencorong dan bibir atasnya mendesis-desis, meringis memperlihatkan gigi dan taring yang amat kuat.

Diam-diam Kiu-bwe Coa-li merasa ngeri dan jeri juga. Biar pun dia lihai, akan tetapi untuk menghadapi seekor harimau yang begitu besarnya, dia maklum betapa besar bahayanya melawan binatang seperti ini.

"Houw-cu... diamlah dan jangan ribut," kata nenek itu dengan suara membujuk. Harimau itu lalu mendekam di samping si nenek berjubah putih.

"Huh, biar pun engkau mempunyai peliharaan kucing itu, jangan dikira aku takut!" Kiu-bwe Coa-li menantang.

Nenek itu tetap tersenyum, akan tetapi sepasang matanya yang lebar itu mengeluarkan cahaya mencorong, seperti mata binatang peliharaannya. "Kiu-bwe Coa-li, mengherankan sekali bahwa orang dengan watak seperti engkau ini dapat hidup sampai usia tua. Aku bukanlah orang yang suka mempergunakan kekerasan, tidak suka berkelahi, akan tetapi juga bukan orang yang takut akan ancaman-ancaman dan gertak-gertak kosong belaka!"

"Akan tetapi yang suka mengandalkan perlindungan binatang buas!" ejek Kiu-bwe Coa-li.

Dia masih merasa ragu-ragu untuk turun tangan mengingat adanya harimau yang nampak buas sekali itu. Jika hanya harimau biasa saja, ia tidak akan gentar. Akan tetapi harimau ini sungguh luar biasa besarnya dan nampaknya kuat bukan main.

"Begitukah? Aku tidak minta perlindungan Houw-cu, dia hanya marah karena hidungnya dapat mencium bau busuk. Eh, Houw-cu, pergilah bersembunyi sebentar agar perempuan kejam ini tidak menjadi ketakutan."

Seperti seekor binatang jinak yang mengenal perintah majikannya, harimau itu lalu pergi setelah beberapa kali menoleh ke arah Kiu-bwe Coa-li sambil menggereng seperti merasa curiga dan marah. Kemudian dia menghilang di balik pohon-pohonan dan tidak terdengar lagi suaranya.

"Nah, dia sudah pergi, Kiu-bwe Coa-li. Sekarang engkau mau apa?"

"Mau membunuhmu!" bentak Kiu-bwe Coa-li marah.

Nenek ini langsung melakukan serangan dengan cambuknya. Cambuk itu mengeluarkan suara ledakan-ledakan dan meski pun sudah ada dua ekornya yang putus pada waktu dia menghadapi Cia Sun tadi, akan tetapi masih ada sisa tujuh ekor yang kini menyambar dan melakukan totokan-totokan yang dahsyat.

"Hemmm...!" Nenek jubah putih itu berseru kaget ketika menyaksikan kehebatan gerakan serangan Kiu-bwe Coa-li dan ia pun melompat ke belakang sambil mengebutkan kebutan putih di tangannya.

"Pratt-pratt-prattt…!"

Beberapa kali cambuk itu bertemu dengan kebutan hingga membuat nenek berjubah putih itu terhuyung ke belakang.

"Heh-heh-heh, kematian sudah di depan mata, bersiaplah engkau, tua bangka!" Kiu-bwe Coa-li mengejek dan kembali menyerang lagi. Dia sama sekali tidak memandang sebelah mata kepada nenek itu sehingga bertanya nama pun tidak.

Demikianlah watak orang-orang Cap-sha-kui yang rata-rata sombong dan kejam itu. Dan itulah kesalahannya. Andai kata dia tadi bertanya dan dia tahu dengan siapa dia sedang berhadapan, tentu dia akan bersikap hati-hati dan mungkin dia akan pergi tanpa berani mengganggu nenek berjubah putih itu. Akan tetapi dia terlalu sombong dan pada saat itu hatinya sedang marah karena kekalahannya terhadap Cia Sun.

Didesak oleh serangan-serangan yang sangat dahsyat ini, nenek jubah putih itu mengelak sambil berloncatan dan anehnya, dia sama sekali tidak pernah membalas. Akan tetapi dia pun terkejut memperoleh kenyataan betapa hebat dan berbahayanya serangan-serangan yang dilakukan oleh Kiu-bwe Coa-li itu, maka begitu melompat ke belakang dia langsung menudingkan kebutannya sambil berkata halus,

"Kiu-bwe Coa-li, membenci orang lain beranti membenci diri sendiri. Engkau menyerang orang lain sama saja dengan menyerang diri sendiri!"

Kiu-bwe Coa-li tidak peduli sungguh pun kata-kata nenek itu seperti menembus ke dalam dadanya. Dengan ganas dia menubruk dengan cambuknya.

"Tar-tarr-tarrr...!"

Cambuk meledak-ledak, lantas menerjang ke arah nenek itu. Akan tetapi entah kekuatan apa yang terdapat dalam kebutan berbulu putih, tiba-tiba saja cambuk itu membalik dan memukul muka Kiu-bwe Coa-li sendiri!

"Ihhhhh...!" Kiu-bwe Coa-li berteriak keras dan berusaha mengelak, akan tetapi tetap saja tiga ekor cambuk itu mengenai muka dan lehernya sehingga nampaklah jalur-jalur merah berdarah di muka dan lehernya. Dia terbelalak, akan tetapi tidak menjadi takut, bahkan merasa semakin marah.

"Kubunuh kau... kau harus mampus!" Ia berteriak marah sekali dan kembali ia meloncat ke depan.

Nenek itu mengacungkan kebutannya ke atas, lantas membanting kebutan itu ke bawah. Dan aneh sekali, mendadak tubuh Kiu-bwe Coa-li yang sedang meloncat itu tiba-tiba saja terbanting ke bawah oleh tenaga yang tidak nampak.

"Brukkk...!"

Kiu-uwe Coa-li terbelalak dan menjadi semakin marah karena bantingan itu sama sekali tidak melukainya, biar pun membuat napasnya agak sesak dan jalannya menjadi pincang. Pada waktu dia mengangkat mukanya, nenek itu sedang berjalan pergi sambil membawa kebutannya, seolah-olah tak mau mempedulikannya lagi! Kemarahannya pun memuncak. Dilihatnya nenek itu menuruni sebuah lereng yang curam.

"Tunggu, ke mana engkau hendak lari, keparat?" Dia mengejar dan menuruni lereng yang diapit-apit jurang yang curam itu.

Nenek berjubah putih itu lantas menengok. "Kiu-bwe Coa-li, aku melihat ada awan hitam yang mempengaruhimu. Mundurlah sebelum terlambat!" Ucapannya itu halus dan bernada serius. Namun orang macam Kiu-bwe Coa-li mana mau mengalah dan mundur sebelum kalah?

Setelah mengejar sampai jarak empat meter, tiba-tiba saja Kiu-bwe Coa-li menggerakkan cambuknya lantas meluncurlah belasan jarum halus menyerang ke arah tubuh belakang nenek itu. Akan tetapi nenek itu lalu membalikkan tubuhnya dan kembali mengacungkan kebutannya, dan anehnya, belasan batang jarum halus yang sedang meluncur itu tiba-tiba saja membalik ke arah Kiu-bwe Coa-li sendiri!

Mata nenek buruk itu terbelalak, terkejut bukan main karena kembalinya belasan batang jarumnya itu amat cepatnya, lebih cepat dari pada ketika dia pakai menyerang. Dia tidak mau kalau senjatanya makan tuan. Untuk menangkis tidak sempat lagi saking cepatnya jarum-jarum itu meluncur, maka dia pun langsung meloncat ke kiri untuk mengelak dan... terdengarlah jeritan menyayat hati ketika tubuhnya meluncur ke bawah, ke dalam jurang yang amat curam!

Dalam kemarahannya tadi, nenek ini sudah menjadi lengah dan kehilangan kewaspadaan sehingga lupa bahwa di kanan kiri tempat itu terdapat jurang-jurang yang curam sehingga ketika dia mengelak dan melompat ke kiri, dia telah melompat ke dalam jurang.

Jeritan itu berhenti dan nenek berjubah putih menjenguk dari tepi jurang, memandang ke bawah. Masih nampak olehnya tubuh Kiu-bwe Coa-li yang dari atas nampak kecil seperti boneka menggelinding ke bawah, terlempar-lempar saat menimpa batu-batu dan akhirnya terbanting ke dasar jurang dan diam tak bergerak lagi.

"Ck-ck-ckk...!" Nenek itu menggeleng-geleng kepalanya lalu bertepuk tangan.

Tepukan tangan itu terdengar amat nyaring dan agaknya merupakan isyarat bagi harimau peliharaannya karena kini muncullah harimau besar itu, berlari-lari mendatangi. Nenek itu lalu naik ke punggung harimau, menggerakkan kebutannya dan harimau itu pun berlari ke arah dari mana Kiu-bwe Coa-li tadi datang.

Tak lama kemudian tibalah nenek dan harimaunya itu di tempat di mana Cia Sun sedang berusaha untuk mengobati Sui Cin. Dari jauh nenek itu sudah melihat mereka dan ia pun menyuruh harimaunya berhenti. Ia mengintai dan sampai lama dia mengamati dua orang muda itu. Berulang kali dia menarik napas panjang dan menggumam seorang diri. "Ahh, agaknya anak perempuan itu keracunan dan tentu perbuatan Kiu-bwe Coa-li itu. Kasihan, aku melihat cahaya gelap menyelubungi wajahnya."

Nenek ini bukan orang sembarangan. Kalau tadi Kiu-bwe Coa-li tidak begitu sombong dan mau bertanya nama, agaknya ia belum tentu akan tewas, mati konyol karena terjatuh ke dalam jurang karena nama nenek itu tentu akan membuatnya merasa jeri dan tidak berani sembarangan menyerang. Nenek itu terkenal sekali di daerah utara, di luar Tembok Besar dan bahkan seluruh penduduk Mongol dan Mancu amat takut kepadanya.

Di Mongol, ia dikenal sebagai seorang dukun wanita yang terkenal sakti dan ampuh. Apa lagi, selain menjadi dukun yang diakui mempunyai banyak macam ilmu yang aneh-aneh, juga ia merupakan keturunan dari Yelu Ce-tai, seorang arif bijaksana yang dahulu menjadi penasehat Raja Jenghis Khan!

Biar pun sudah lama Kerajaan Goan, yaitu penjajah Mongol, terjatuh dan sisa-sisa orang Mongol kembali ke utara di luar Tembok Besar, namun nama keluarga Yelu Ce-tai masih dikenal orang. Bahkan ratusan tahun kemudian, sebagai keturunan keluarga Yelu, nenek itu masih dihormati oleh orang-orang Mongol, apa lagi karena dia memang seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, terutama sekali ilmu sihirnya.

Bahkan para kepala suku yang banyak terdapat di daerah itu semua menghormatinya. Ia menjadi tempat bertanya nasehat para pimpinan suku, dan bahkan pertikaian-pertikaian yang timbul di antara mereka sering kali baru dapat didamaikan kalau Yelu Kim, demikian nama nenek itu, sudah turun tangan melerai. Di kalangan orang Mongol yang masih amat percaya dengan hal-hal mukjijat dan ketahyulan, nenek itu dikabarkan sakti seperti dewa, dapat menghidupkan orang mati dan mematikan orang hidup!

Sebetulnya, dahulu Yelu Ce-tai adalah seorang bangsawan Khitan akan tetapi ahli dalam kebudayaan bangsa pribumi Han sehingga dia pun dianggap sebagai seorang berbangsa pribumi. Keturunannya banyak yang menikah campuran sehingga darah Yelu Kim adalah darah campuran, bahkan ada pula darah Bangsa India di barat. Itulah sebabnya mengapa wajahnya memiliki kecantikan yang asing dan aneh.

Namanya terkenal sekali, bahkan tokoh-tokoh besar di pedalaman yang sering menjelajah ke utara, pernah mendengar akan kehebatan nama ini. Maka sayanglah bahwa Kiu-bwe Coa-li tidak menanyakan namanya sehingga nenek iblis itu harus tewas tanpa mengetahui bahwa lawannya adalah orang yang paling terkenal di Mongol.

Sebagai seorang yang dihormati, Yelu Kim yang berdarah bangsawan itu bersikap agung dan ramah, akan tetapi di balik kehalusan sikapnya itu tersembunyi kekuatan yang amat menakutkan. Memang nenek ini ada kalanya memiliki sikap yang aneh dan mengejutkan orang, kadang-kadang dia murah hati sekali dan mudah mengampuni, tetapi ada kalanya dia bersikap amat keras hati dan amat kejam. Padahal, pada dasarnya Yelu Kim bukanlah orang yang berwatak kejam, namun orang yang bijaksana dan adil, dan pandangannya sedemikian jauh sehingga banyak orang tidak mengerti dan menganggap dia kejam.

Nenek yang sudah beberapa kali menikah ini tidak pernah mengecap kebahagiaan hidup keluarganya, dan dia tidak pernah mempunyai anak sehingga kini hidup kesepian dalam usia tua. Dan sebagai seorang janda tua yang hidup kesepan, dia suka dengan binatang peliharaannya. Akan tetapi jika para janda itu suka memelihara kucing atau anjing, maka nenek ini memelihara seekor harimau yang amat besar dan menakutkan.

Harimau ini bukan hanya menjadi binatang peliharaan dan kesayangan, malah dapat juga menjadi binatang tunggangan dan binatang yang menjaga serta melindungi keselamatan Yelu Kim. Melihat binatang ini saja membuat orang yang tadinya berniat buruk terhadap Yelu Kim harus berpikir panjang lebih dulu karena harimau itu nampak amat menyayang dan setia kepada majikannya. Demikianlah sedikit kisah tentang nenek aneh itu yang kini mengintai Cia Sun dan Sui Cin yang sedang duduk bersila.

Sui Cin yang merasa betapa ada hawa yang panas menjalar ke dalam tubuhnya merasa nyaman sekali dan hampir saja tertidur. Sebaliknya Cia Sun dengan pengerahan sinkang berusaha untuk membangkitkan kembali tenaga gadis itu yang kini seakan-akan menjadi lumpuh. Akan tetapi dia tidak pernah menemui perlawanan sehingga hal ini menandakan bahwa Sui Cin belum juga menemukan kembali kekuatannya. Sinkang atau hawa sakti dalam tubuh gadis itu belum bangkit.

Telah lewat tiga jam lamanya semenjak Cia Sun mencoba untuk mengobati gadis itu dan terpaksa dia berhenti dahulu untuk menyimpan tenaganya sendiri. Dia melepaskan kedua tangannya dan Sui Cin pun sadar dari keadaan seperti tidur itu.

Mereka lalu duduk beristirahat, berhadapan di atas rumput tebal, saling menatap. Melihat betapa sepasang mata gadis itu memandang kepadanya penuh pertanyaan, Cia Sun pun menarik napas panjang.

"Cin-moi, kita harus mengaso dahulu. Sungguh heran, aku belum menemui perlawanan, agaknya sinkang di dalam tubuhmu sama sekali tidak bangkit. Entah pengaruh racun apa yang dipergunakan Kiu-bwe Coa-li sehingga bisa melumpuhkan kekuatan dalam tubuhmu seperti ini."

Gadis itu memandang wajah yang gagah dan nampaknya sedih itu, dan hatinya terharu. Dia tidak mengenal pemuda ini, atau lebih tepat lagi, dia sudah lupa lagi siapa adanya pemuda ini, namun menurut penuturan pemuda ini, di antara mereka terdapat hubungan dekat dan bahwa pemuda itu adalah putera dari ketua Pek-liong-pang di Lembah Naga, seorang pendekar!

Dan melihat sepak terjangnya tadi, memang pemuda ini adalah seorang pendekar yang mengagumkan, tidak hanya telah menyelamatkannya dari ancaman maut di tangan nenek iblis Kiu-bwe Coa-li, akan tetapi juga bersikap sopan dan mengagumkan ketika berusaha mengobatinya dengan pengerahan sinkang. Seorang pemuda yang hebat, dan sinar mata pemuda itu kalau ditujukan kepadanya membuat jantungnya tergetar karena jelas terasa dan nampak olehnya betapa pemuda ini jatuh cinta kepadanya, atau mungkin juga sudah sejak dahulu mencintanya.

"Sudahlah, Sun-twako, biarkan saja. Tidak perlu engkau menghambur-hamburkan tenaga untuk mencoba mengobatiku. Aku tidak menderita rasa nyeri, hanya lemas dan tak dapat membangkitkan tenaga sinkangku..."

"Akan tetapi, engkau tentu sangat menderita. Engkau sakit, mukamu pucat dan matamu layu, Cin-moi, bagaimana pun juga, aku harus berusaha mengobatimu sampai sembuh. Setidaknya aku akan mencarikan obat, mencarikan seorang ahli untukmu."

Pada saat itu, Cia Sun meloncat berdiri dan memandang ke arah pohon-pohon di mana kini telah berdiri seorang nenek yang memegang sebuah kebutan putih. Karena baru saja dia berkelahi melawan seorang nenek iblis, maka munculnya nenek ini tentu saja segera mendatangkan kecurigaan besar dan mengingat bahwa Sui Cin masih tidak berdaya, dia pun cepat lari menghampiri nenek itu dengan pandang mata penuh curiga.

Nenek itu adalah Yelu Kim dan kini tiba-tiba saja sikap nenek ini berubah sama sekali. Pandang matanya nampak jahat dan kejam, senyumnya pun penuh ejekan. "Orang muda, kaukah yang tadi bertanding dengan Kiu-bwe Coa-li?"

Cia Sun mengerutkan alisnya dan memandang tajam. "Benar sekali, dan sesudah nenek iblis itu melarikan diri sekarang muncul engkau. Siapakah kau ini, nek, dan ada hubungan apa engkau dengan Kiu-bwe Coa-li?"

Senyum mengejek di mulut nenek itu melebar dan pandang matanya nampak heran dan tidak percaya. "Engkau yang semuda ini mampu mengalahkan Kiu-bwe Coa-li?"

"Apa bila nenek iblis itu tidak melarikan diri, tentu sekarang dia sudah tewas di tanganku. Seorang manusia berwatak iblis seperti dia memang sudah sepatutnya dibasmi dari muka bumi. Dan engkau, siapakah engkau, dan apa maksudmu muncul di sini?"

"Aku tidak percaya bahwa engkau mampu mengalahkan Kiu-bwe Coa-li, dan aku datang untuk mencoba apakah kepandaianmu benar-benar sehebat itu." Berkata demikian, nenek itu langsung saja menubruk ke depan sambil mengelebatkan kebutannya. Ujung kebutan yang menjadi kaku meluncur dan menotok ke arah tiga jalan darah pada dada, leher dan pundak Cia Sun secara bertubi-tubi.

"Hemm, kiranya engkau sebangsa nenek iblis itu!" bentak Cia Sun yang cepat mengelak dan dia pun membalas dengan tamparan-tamparan tangannya yang ampuh.

Melihat tamparan yang mengandung hawa pukulan yang sangat dahsyat ini, nenek Yelu Kim terkejut bukan main dan tahulah dia bahwa memang pemuda ini lihai sekali. Tidaklah mengherankan kalau Kiu-bwe Coa-li sampai melarikan diri dalam keadaan marah-marah sehingga hampir menubruknya. Ia pun menggunakan kelincahan gerakan tubuhnya untuk berloncatan dan mengelak ke sana-sini sambil membalas dengan cambuknya.

Beberapa kali nenek itu mengelebatkan kebutannya dan beberapa kali pula Cia Sun harus kehilangan lawannya. Pemuda ini terkejut sekali, apa lagi ketika melihat nenek itu sudah berada dalam jarak empat lima tombak di sebelah depan. Dia mengejar lantas berkelahi lagi, akan tetapi nenek itu sering kali berkelebatan lenyap sehingga tanpa diketahuinya, Cia Sun sudah terpancing meninggalkan tempat di mana Sui Cin duduk bengong tadi.

Gadis ini merasa gelisah karena dia tidak dapat membantu Cia Sun menghadapi nenek yang nampaknya juga lihai sekali itu. Makin gelisah rasa hati Sui Cin melihat betapa kini Cia Sun yang masih berkelahi melawan nenek aneh itu, sudah lenyap di sebuah tikungan, terhalang oleh pohon-pohon. Dia cepat melangkahkan kaki untuk mengejar karena walau pun dia sendiri tak berdaya, tidak mampu membantu karena tenaganya belum pulih, kaki tangannya masih terasa lemas, akan tetapi dia harus menyaksikan bagaimana kelanjutan dan akhir dari perkelahian itu.

Tiba-tiba terdengar suara gerengan dan tahu-tahu muncullah seekor harimau yang sangat besar, yang melompat keluar dari balik semak-semak belukar. Harimau itu demikian besar dan nampak garang sekali sehingga Sui Cin berdiri terpukau dengan mata terbelalak dan muka pucat. Apa bila dia berada dalam keadaan biasa, tentu dia akan mampu melawan binatang ini mengandalkan kepandaiannya. Akan tetapi dalam keadaan kehilangan tenaga itu, mana mungkin ia mampu menyelamatkan diri?

Ia mencoba untuk membalikkan tubuh dan lari, akan tetapi tiba-tiba harimau itu menubruk dan tahu-tahu sudah menghadang di depannya. Sui Cin menjadi panik sekali. Rasa ngeri mencekam hatinya dan dia berusaha untuk memanjat sebatang pohon yang berada di samping kirinya. Dia berhasil naik dahan pohon, akan tetapi harimau itu mengaum dan menubruk pohon. Pohon yang batangnya sebesar paha manusia itu roboh, membawa Sui Cin roboh bersama ke bawah!

"Ahhhh...!" Demikian ngeri rasa hati gadis yang biasanya amat gagah perkasa ini dan dia pun jatuh pingsan.

Sementara itu, sesudah mendengar auman-auman harimau itu, nenek pemegang kebutan tersenyum dan berkata, "Orang muda, cukuplah kita bermain-main. Ilmu silatmu memang hebat sekali, membuat aku kagum bukan main. Nah, selamat tinggal!" Dia menggerakkan kebutannya dan tiba-tiba saja tubuhnya lenyap dari hadapan Cia Sun.

Pemuda ini tercengang, mencari ke sana sini dengan pandangan matanya, akan tetapi sia-sia belaka, dia tidak dapat melihat kembali nenek itu. Maka dia pun cepat kembali ke tempat tadi sebab dia pun sempat mendengar suara auman-auman harimau tadi sehingga amat mengkhawatirkan keselamatan Sui Cin.

Ketika tiba di tempat tadi, di mana dia meninggalkan Sui Cin untuk melawan nenek itu, dia terkejut bukan main. Sui Cin tidak ada lagi di situ.

"Cin-moi...!" Dia berseru memanggil, mengharap kalau-kalau gadis itu bersembunyi ketika mendengar suara auman harimau. Tapi panggilannya yang dilakukan dengan pengerahan khikang itu hanya bergema dari jauh, tidak ada jawaban sama sekali.

"Cin-moi, di mana kau...?" Dia berteriak lagi dan mulai mencari ke sana sini dengan hati khawatir. Akan tetapi dia tidak dapat menemukan bayangan atau pun jejak gadis itu.

Akhirnya dia menghentikan usahanya mencari lantas duduk termenung di atas sebongkah batu besar, alisnya berkerut. Timbul kecurigaannya kepada nenek tadi. Nenek tadi adalah seorang yang amat pandai dan biar pun ilmu silatnya tidak begitu hebat, juga tenaganya tidak terlalu kuat baginya, namun nenek itu mempunyai ilmu yang luar biasa, yaitu pandai menghilang. Ataukah itu hanya semacam ilmu sihir saja?

Dan nenek itu seperti sengaja memancingnya untuk menjauhi Sui Cin. Kemudian setelah terdengar auman harimau, nenek itu pun langsung menghilang! Kini dia teringat bahwa agaknya nenek itu memang sengaja memancingnya untuk menjauhi Sui Cin. Jelas bahwa ada hubungan antara hilangnya gadis itu dengan si nenek aneh.

Cia Sun mengepal tinju kemudian bangkit berdiri. Sinar matanya tajam dan keras. "Nenek siluman, sampai di mana pun juga, aku akan mengejarmu!"

Dia pun pergi meninggalkan tempat itu, memulai tugasnya untuk menyelidiki dan mencari Sui Cin dengan jalan mencari menek itu karena dia merasa yakin bahwa Sui Cin tentu diculik oleh nenek itu, mungkin dilakukan oleh pembantu-pembantunya…..

********************
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar