Asmara Berdarah Jilid 35

Siang Hwa yang sudah maklum akan kelihaian Hui Song, sudah menerjang ke depan dan pedangnya sudah berkelebat membentuk gulungan sinar yang menyambar-nyambar. Hui Song dengan tenang mengelak ke sana-sini, dan karena tempat itu memang sempit, dia pun mengelak sambil membalas dengan tendangan kakinya yang hampir saja mengenai lutut lawan.

Gadis itu terpaksa meloncat ke belakang dan menyerang lagi, sekali ini dibantu oleh dua orang kawannya yang masing-masing mempergunakan sebuah guci arak dan sepasang pisau belati. Hui Song melihat bahwa dua orang kakek itu pun ternyata lihai sekali, maka dia pun bergerak dengan hati-hati.

Namun di belakangnya terdapat jurang yang amat curam dan dia didesak oleh tiga orang yang kepandaiannya tinggi serta bersenjata, maka betapa pun lihainya, dia tersudut dan terancam bahaya maut. Gerakannya kurang leluasa, terutama karena ada ancaman maut ternganga di belakangnya dan tiga orang lawan yang cerdik itu agaknya memang hendak mendesak dan memaksanya untuk terjun ke dalam jurang.

Tiba-tiba saja Siang Hwa mengeluarkan suara bentakan nyaring dan tangan kirinya telah mengeluarkan sapu tangannya yang mengandung bubuk obat bius. Akan tetapi Hui Song telah siap pula menghadapi ini. Mulutnya meniup dan bubuk obat bius itu buyar membalik, juga dia menahan napas dan baru berani menarik napas setelah racun itu lenyap.

Pada saat itu kembali Hui-to Cin-jin menyerang dengan sepasang belatinya dan tiba-tiba, ketika pemuda itu mengelak, tosu itu melepaskan dua batang pisaunya menjadi sambitan dari jarak yang amat dekat! Hui Song tidak menjadi gugup dan berhasil menyampok dua batang pisau itu.

Ketika itu Siang Hwa sudah menyerang dengan pedangnya menusuk ke arah perut, ada pun si gendut menghantam dari samping ke arah kepalanya menggunakan guci arak itu! Hui Song meloncat dan hendak menangkap hantaman guci arak, akan tetapi tiba-tiba saja pedang Siang Hwa membalik dan tahu-tahu sudah menyerempet pahanya.

"Brettttt...!"

Ujung pedang itu merobek celana kakinya yang kanan, merobek celana itu dari paha ke bawah sampai betis, akan tetapi ujung pedang itu tidak mampu membuat luka yang cukup dalam, hanya membuka sedikit kulit kaki yang biar pun mengeluarkan darah tetapi bukan merupakan luka yang berat, hanya lecet saja.

"Iblis-iblis busuk yang curang!" Mendadak terdengar bentakan nyaring dan dari dalam goa itu berkelebatan bayangan orang yang amat cepat dan ringan gerakannya. Begitu tiba di luar mulut goa, bayangan ini sudah menendang ke arah perut gendut Kang-thouw Lo-mo sambil tangan kirinya mencengkeram ke arah kepala Hui-to Cin-jin! Gerakannya demikian cepatnya sehingga hampir saja perut gendut itu tercium ujung sepatu.

Si gendut cepat mundur, akan tetapi tetap saja pinggangnya terserempet tendangan yang membuat dia terbuyung. Hui-to Cin-jin juga terkejut akan tetapi mampu menghindarkan diri.

"Sui Cin...!" Hui Song berseru girang bukan main ketika mengenal wajah gadis yang baru datang itu. Tadinya ketika melihat bayangan berkelebat datang membantunya dan melihat bahwa bayangan itu adalah seorang gadis, dia masih belum mengenalnya, akan tetapi kini dia dapat melihat jelas dan kegembiraan yang amat besar menyelinap dalam hatinya ketika dia menyebut nama gadis itu.

Sui Cin loncat mendekat lantas mereka pun saling melindungi. "Song-ko, jangan khawatir, aku membantumu. Mari kita hajar tiga ekor tikus ini... ehh, mana mereka?"

Ternyata Siang Hwa serta dua orang kakek itu sudah lenyap dari depan mulut goa. Hui Song terkejut. "Mari kita kejar...!"

Akan tetapi tiba-tiba saja terdengar suara keras, kemudian ada pintu besi yang bergerak menutup mulut goa itu, agaknya digerakkan oleh alat rahasia yang membuat daun pintu besi itu keluar dari dalam dinding. Memang ternyata Siang Hwa amat cerdiknya. Melihat datangnya seorang gadis yang sangat lihai membantu Hui Song, dia merasa khawatir dan cepat dia mengajak dua orang pembantunya lari masuk ke dalam goa lalu menggerakkan pintu rahasia yang memang sudah diketahuinya.

Hui Song dapat menduga kecurangan itu yang amat membahayakan keselamatan dia dan Sui Cin, maka dia pun cepat menerjang daun pintu itu.

"Brungggg...!" Daun pintu tergetar akan tetapi tidak pecah oleh terjangan kaki tangan Hui Song. Ternyata daun pintu itu terbuat dari baja yang tebal.

"Song-ko, kita dapat lari melalui tebing di depan itu!" Sui Cin berkata sambil menunjuk ke arah puncak bukit yang merupakan tebing di depan, di seberang jurang yang tak nampak dasarnya saking dalamnya itu. "Kita dapat meloncat ke sana."

Hui Song memandang dan menggelengkan kepala. "Terlalu berbahaya..."

Dia sendiri merasa sanggup untuk meloncat ke sana, akan tetapi bagaimana dengan Sui Cin? Terlampau berbahaya bagi Sui Cin, bukan baginya, sedangkan meloncati jarak itu sambil menggendong tubuh Sui Cin jelas tidak mungkin.

Sui Cin sudah lama mengenal Hui Song, maka dia mengerti apa yang berada dalam batin pemuda itu. "Song-ko, jangan khawatir, aku dapat meloncat ke sana...!"

Pada saat itu pula terdengar suara tawa Siang Hwa dari balik daun pintu baja. "Ha-ha-ha, orang she Cia. Lebih baik engkau ajak temanmu itu meloncat turun ke dalam jurang saja karena mau tidak mau kalian harus melakukannya!"

Tiba-tiba pintu baja itu terbuka sedikit lalu meluncurlah pisau-pisau terbang, jarum-jarum dan batu-batu yang dilemparkan oleh tiga orang itu! Karena mereka adalah orang-orang yang lihai sekali, tentu saja lemparan mereka itu amat kuat dan berbahaya pula, terutama pisau-pisau terbang yang menjadi kepandaian khas dari Hui-to Cin-jin.

Sibuk juga Hui Song dan Sui Cin mengelak serta memukul runtuh senjata-senjata rahasia itu dan dalam gerakan Sui Cin, Hui Song melihat kecepatan yang amat luar biasa. Maka besarlah hatinya. Agaknya selama tiga tahun ini Sui Cin yang digembleng oleh Dewa Arak Wu-yi Lo-jin sudah memperoleh kemajuan pesat, terutama di dalam ilmu ginkang seperti dapat dilihatnya ketika gadis itu tadi menyerbu menolongnya dan kini ketika mengelak dari sambaran senjata-senjata rahasia. Dia dan Sui Cin meloncat ke arah pintu, akan tetapi pintu itu cepat sudah tertutup kembali dari dalam!

"Memang tidak ada jalan lain," kata Hui Song mengerutkan alisnya yang tebal. "Kalau kita berdiam di sini, tentu mereka akan mencari akal untuk mencelakakan kita. Kalau cuaca sudah gelap, makin sukarlah kita untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan gelap mereka. Menerjang pintu pun akan percuma saja. Akan tetapi, benarkah engkau sanggup meloncat ke sana, Cin-moi?"

"Tentu saja sanggup, biar aku melompat lebih dulu agar hatimu tiduk akan khawatir lagi."

"Jangan, Cin-moi, jangan…! Biar aku yang melompat lebih dahulu sehingga engkau dapat memperoleh tempat pendaratan yang aman di sana."

"Baiklah, Song-ko. Akan tetapi cepat, itu di bagian kanan kulihat ada banyak lekukan pada dinding batu, kau loncatlah ke sana, Song-ko."

"Baik, Cin-moi."

"Berhati-hatilah."

Hui Song mengambil ancang-ancang, kemudian berlari dan meloncat sambil mengerahkan ginkang-nya, menuju ke tempat pendaratan di tebing bukit di depan. Tubuhnya meluncur seperti seekor burung saja dan tepat tiba pada dinding di mana terdapat banyak lekukan, agak ke bawah. Dengan cekatan tangannya lalu mencengkeram lekukan batu dan kedua kakinya hinggap pada lekukan batu pula. Sekarang dia sudah mendarat dengan selamat! Dia menoleh dan tersenyum kepada Sui Cin, lalu berseru,

"Cin-moi, sekarang kau meloncatlah. Di sebelah kananku ini banyak lekukan, jadi sangat baik untuk mendarat. Aku akan menjagamu di sini!"

Dia sudah siap dengan tangan kirinya untuk menolong kalau-kalau loncatan Sui Cin tidak mencapai sasaran. Betapa pun juga, dia masih belum tahu sampai di mana kemampuan ginkang gadis itu.

"Baik, Song-ko, aku meloncat!"

Gadis itu meloncat dengan gerakan yang indah dan cekatan, akan tetapi pada waktu itu Hui Song melihat dua orang kakek itu keluar dari pintu mulut goa yang mendadak terbuka dan melihat betapa kakek gendut itu melontarkan batu-batu yang sebesar kepala orang ke arah Sui Cin yang sedang meloncat.

"Cin-moi, awas...!" teriaknya, akan tetapi terlambat.

Gadis itu tentu saja sama sekali tidak pernah menduganya bahwa dia akan diserang dari belakang dan dalam keadaan melayang itu, sukar baginya untuk mengelak.

"Bukkk...!" Sebuah batu sebesar kepala tepat mengenai belakang kepalanya.

"Oughhh...!" Gadis itu mengeluh dan tubuhnya terkulai.

Untung baginya bahwa loncatannya tadi sangat kuat sehingga tubuhnya kini melayang ke arah Hui Song. Pemuda ini cepat menangkap lengan kiri Sui Cin dan gadis itu bergantung pada pegangannya dengan tubuh lemas. Dara itu tidak pingsan, akan tetapi terlihat lemas dan pandang matanya nanar, dan agaknya timpukan yang mengenai belakang kepalanya itu membuatnya nanar dan pening.

"Jangan takut, tenang saja... aku menolongmu...!" Hui Song menghibur dengan kata-kata lembut sambil menguatkan hatinya yang dicekam kegelisahan.

Tepat pada saat itu pula dia mendengar desir angin dari belakang dan tahulah dia bahwa ada beberapa batang pisau terbang menyambar ke arah tubuh belakangnya. Dia tidak mungkin dapat mengelak atau menangkis, maka Hui Song mengerahkan tenaga sinkang, disalurkannya ke punggung. Empat batang pisau mengenai tengkuk serta punggungnya, akan tetapi semuanya runtuh dan hanya merobek bajunya saja, sama sekali tidak mampu menembus kulit tubuhnya yang dilindungi tenaga sinkang yang amat kuat.

Dia lalu menarik tubuh Sui Cin ke dinding batu, kemudian memanjat dengan satu tangan saja dibantu pengerahan tenaga pada kedua kakinya dan akhirnya, dengan susah payah, berhasillah dia mencapai puncak yang tidak begitu jauh lagi sambil memondong tubuh Sui Cin yang lemas, dibawa meloncat ke balik puncak sehingga terlepas dari sasaran senjata-senjata rahasia lawan.

Hui Song duduk di balik batu besar dan merebahkan tubuh Sui Cin. Dara itu masih sadar, akan tetapi sepasang matanya yang terbuka itu kelihatan kosong dan tubuhnya lemas. Cepat Hui Song meraba kepala bagian belakang gadis itu. Hanya terluka sedikit saja akan tetapi banyak darah yang keluar. Dia menotok beberapa jalan darah untuk menghentikan aliran darah, kemudian mengurut tengkuk dara itu perlahan-lahan.

Dia dapat menduga bahwa otak di dalam kepala dara itu terguncang oleh hantaman batu sehingga membuat gadis itu nanar dan pening. Dia khawatir kalau-kalau ada kerusakan di dalam susunan syaraf otak.

Dengan sinkang-nya yang disalurkan ke dalam telapak tangannya, dia membantu gadis itu untuk menyembuhkan luka di dalam kepala. Rasa hangat yang menyelinap ke dalam kepala itu agaknya terasa amat nyaman karena tak lama kemudian, keluhan-keluhan kecil dan rintihan yang tadinya keluar dari mulut Sui Cin terhenti dan tak lama kemudian gadis itu pun tertidur pulas.

Hui Song membebaskan jalan darah yang ditotoknya agar tidak menghalangi darah yang mengalir ke otak, kemudian dia menjaga tubuh yang lemah itu tertidur pulas terlentang di depannya. Dia tidak berani membuat api unggun karena khawatir kalau-kalau para iblis itu melakukan pengejaran. Tiga orang musuh itu lihai dan curang, dan Sui Cin sedang dalam keadaan terluka, maka berbahayalah kalau dia membuat api unggun dan ketiga orang itu dapat mencarinya.

Karena maklum bahwa dalam keadaan seperti itu Sui Cin tak dapat mengerahkan sinkang melawan hawa dingin, dia cepat menanggalkan jubah dan bajunya, menyelimuti tubuh Sui Cin dengan itu dan dia sendiri bertelanjang dada.

Malam itu udara cerah dan bulan bersinar terang. Hawa di sana dingin sekali akan tetapi dengan kekuatan sinkang-nya, Hui Song mampu bertahan terhadap hawa dingin itu. Dia duduk di dekat Sui Cin dan tiada jemunya mengamati wajah gadis itu, wajah yang selama ini selalu terbayang olehnya, bahkan sampai terbawa ke dalam mimpi.

"Sui Cin... ahh, Cin-moi... tak pernah kusangka bahwa begitu kita berjumpa, engkau telah menyelamatkan nyawaku...," bisiknya dengan perasaan hati penuh haru.

Dia tahu bahwa tadi, pada waktu dia diserang oleh tiga orang jahat yang curang itu di tepi tebing, apa bila tidak muncul dara ini, besar sekali kemungkinannya dia akan terjengkang dan tewas! Masih bergidik dia membayangkan bahwa gadis cantik yang tadinya dianggap sahabat dan teman sehaluan, yang dianggapnya sebagai seorang pendekar yang sedang bergerak menentang para datuk yang hendak memberontak, ternyata malah merupakan tokoh sesat itu sendiri, bukan sembarang orang melainkan murid Raja Iblis!

Dan dua orang kakek yang berdandan seperti tosu dan hwesio itu ternyata adalah dua orang di antara Cap-sha-kui. Sungguh berbahaya sekali. Jelaslah bahwa memang Siang Hwa, dara murid Raja Iblis itu, tengah mencari harta karun itu untuk digunakan membiayai pemberontakan yang dipimpin oleh gurunya.

Dan semua yang terjadi tadi memang merupakan perangkap baginya. Tenaganya hendak digunakan untuk mencari harta karun dan setelah harta karun itu lenyap didahului orang, dirinya dianggap tidak berguna lagi sehingga tentu saja akan dibunuh.

Hui Song mengepal tinju dan tersenyum dingin. "Bagaimana pun, bagus sekali bahwa aku sudah mengetahui akan adanya harta pusaka itu dan akan kuperjuangkan supaya harta pusaka itu jangan sampai jatuh ke tangan para pemberontak!"

Untunglah bahwa pencuri harta pusaka itu telah meninggalkan jejak berupa tanda lencana perkumpulan Harimau Terbang di Mongol. Dia sendiri harus pergi keluar Tembok Besar untuk menghadiri pertemuan antara para pendekar, namun sebelum itu dia akan dapat menyelidiki mengenai harta karun yang dicuri itu di Mongol. Akan tetapi sekarang ini, yang terpenting adalah menolong Sui Cin. Dia hanya mengharap gadis ini tidak terluka terlalu parah.

Pada keesokan harinya, setelah matahari terbit, Hui Song melihat Sui Cin menggeliat dan mengeluh halus. Dia yang tadinya duduk bersila di bawah pohon, langsung menghampiri sambil tersenyum, jantungnya berdebar girang karena kini dia akan dapat bercakap-cakap dengan gadis pujaan hatinya itu.

"Cin-moi...!" Panggilnya lirih sambil mendekat.

Sui Cin membuka mata, bangkit duduk sambil menoleh. Begitu melihat Hui Song, dia lalu mengeluarkan teriakan nyaring dan tubuhnya menyambar ke depan, menyerang dengan tendangan ke arah dada pemuda itu. Gerakannya demikian ringan dan cepat.

Andai kata Hui Song sudah tahu sebelumnya bahwa dia akan diserang, biar pun gerakan gadis itu amat cepat, agaknya dia masih akan mampu menghindar. Akan tetapi perbuatan Sui Cin itu sama sekali tak pernah disangkanya, maka dia terkejut dan heran, dan karena itu gerakannya mengelak kurang cepat sehingga ujung sepatu gadis itu masih saja dapat menyambar pundaknya.

"Bukkk...!" Tubuh Hui Song terpelanting dan Sui Cin sudah meloncat datang kembali dan mengirim serangan bertubi-tubi dengan tangan dan kakinya.

"Heiii...!" Hui Song terpaksa bergulingan untuk mengelak.

Akan tetapi betapa pun dia berteriak mencegah, gadis itu laksana sedang kesetanan dan menyerang terus semakin hebat saja. Hui Song terpaksa menggunakan kepandaiannya, meloncat ke sana-sini dan kadang-kadang harus menangkis karena serangan-serangan gadis itu cepat bukan main.

"Cin-moi, ingatlah... Cin-moi...!"

"Engkau jahat, kejam, curang...!" Sui Cin memaki-maki dan menyerang terus.

Semakin lama Hui Song menjadi semakin bingung dan khawatir. Beberapa kali tubuhnya sudah terkena pukulan atau tendangan, biar pun tidak mengakibatkan luka parah karena dia sudah menjaga diri dengan kekuatan sinkang, namun terasa nyeri dan beberapa kali dia jatuh bangun.

"Cin-moi, aku... aku Hui Song, lupakah kau padaku?" beberapa kali dia berseru karena kini dia mulai menduga bahwa agaknya gadis ini kehilangan ingatannya, padahal kemarin masih menolongnya, berarti masih ingat kepadanya. Tak salah lagi, tentu hantaman batu yang mengenai belakang kepala gadis itulah yang menyebabkan kini Sui Cin seperti lupa kepadanya.

Akan tetapi Sui Cin agaknya tidak peduli, bahkan menyerang terus lebih hebat lagi. Dia mendapat kenyataan betapa kini Sui Cin dapat bergerak amat cepatnya, kadang-kadang bagaikan berkelebat lenyap saja. Dia merasa kagum dan dapat menduga bahwa tentu kehebatan gadis ini adalah hasil dari bimbingan dari Wu-yi Lo-jin selama tiga tahun.

Makin lama makin repotlah dia kalau harus bertahan saja. Gerakan gadis itu terlalu cepat dan kalau hanya dihadapi dengan elakan dan tangkisan, akhirnya dia tentu akan terkena pukulan telak yang akibatnya akan sangat berbahaya. Maka, untuk menahan gelombang serangan Sui Cin, terpaksa Hui Song mulai membalas. Gerakannya mantap dan pukulan atau sambaran tangannya amat kuat sehingga ketika Sui Cin menangkis, tubuh gadis ini terhuyung.

"Sui Cin, ingatlah...!" Hui Song masih terus mencoba untuk menyadarkan.

Akan tetapi gadis itu menyerang lagi dan keduanya berkelahi dengan sangat serunya. Kini Hui Song juga mengerahkan tenaga dan kepandaiannya. Dia yakin bahwa Sui Cin sudah kehilangan ingatan maka percuma sajalah jika dibujuk atau diingatkan dengan omongan. Dia harus dapat merobohkan gadis ini, membuatnya tak berdaya, baru dia akan berusaha untuk mencarikan obat atau untuk mengingatkan kembali.

Dia lantas membalas sehingga terjadilah pertandingan yang hebat. Sui Cin bergerak amat cepat berkat ilmu ginkang bimbingan Wu-yi Lo-jin, sedangkan Hui Song sendiri memiliki gerakan yang juga cepat dan mengandung tenaga sinkang yang membuat gadis itu agak kewalahan.

Tiba-tiba saja Sui Cin terhuyung ke belakang dan memegangi kepala dengan tangan kiri. Hui Song segera menahan gerakannya. Gadis itu terhuyung bukan oleh serangannya dan kini kelihatan memejamkan kedua matanya sambil mengeluh.

"Aihh... kepalaku... pening...!"

"Cin-moi, engkau kenapakah...? Sudah ingat lagikah engkau...?" Hui Song menghampiri dan hendak memegang tangan gadis itu.

Akan tetapi Sui Cin merenggutkan tangannya lantas menampar. Untung Hui Song dapat cepat meloncat ke belakang sehingga tamparan yang sangat berbahaya itu luput. Sui Cin memandang wajah pemuda itu dengan mata mengandung kemarahan, akan tetapi gadis ini mengeluh kembali, memegang kepalanya lalu dia meloncat jauh dan lari meninggalkan tempat itu.

"Cin-moi, tunggu...!" Hui Song berteriak memanggil dan melakukan pengejaran.

Akan tetapi, walau pun berkali-kali memanggil, gadis itu sama sekali tidak menjawab atau menoleh, apa lagi berhenti. Dan larinya cepat sekali, secepat kijang! Betapa pun Hui Song mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat, tetap saja dia tidak mampu menyusul bahkan semakin jauh tertinggal. Dia sendiri telah memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu ginkang, namun jika dibandingkan dengan Sui Cin yang telah menguasai Bu-eng Hui-teng dari Wu-yi Lo-jin, dalam hal berlomba lari tentu saja dia masih kalah jauh.

"Cin-moi...!" teriaknya penuh kekhawatiran ketika dia melihat betapa bayangan gadis yang jauh meninggalkannya itu kini lenyap ke dalam sebuah hutan lebat.

Dia mengejar terus, tetapi menjadi bingung karena di dalam hutan itu dia telah kehilangan jejak dan bayangan Sui Cin. Berkali-kali dia memanggil sambil berlari ke sana-sini, namun hasilnya nihil hingga akhirnya pemuda ini menjatuhkan diri duduk di bawah pohon sambil menghapus keringat yang membasahi leher dan mukanya.

"Sui Cin, ke mana kau pergi dan apa yang akan terjadi dengan dirimu?"

Teringat kembali bahwa gadis itu agaknya sedang menderita kehilangan ingatan, dia lalu meloncat bangun dan kembali mencari-cari dengan penuh semangat. Soal keselamatan diri gadis itu dia tak begitu mengkhawatirkan karena biar pun berada dalam keadaan lupa ingatan, ternyata gadis itu sekarang merupakan seorang wanita yang luar biasa lihainya. Dia sendiri pun tadi sampai hampir kewalahan menghadapi Sui Cin. Tidak, tak ada orang akan dapat sembarangan saja mencelakakan gadis yang lihai itu. Akan tetapi dia khawatir bagaimana akan jadinya gadis yang kehilangan ingatan itu.

Akan tetapi dia bingung ke mana harus mencarinya, sedangkan ada dua macam tugas penting yang harus dilaksanakannya. Pertama, memenuhi pesan Siang-kiang Lo-jin untuk mendatangi bekas benteng Jeng-hwa-pang di luar Tembok Besar. Dan kedua, dia harus menyelidiki tentang harta karun yang agaknya dilarikan orang ke Mongol. Urusan kedua ini tidak kalah pentingnya karena kalau harta karun itu sampai terjatuh ke tangan Raja Iblis, maka pemberontak-pemberontak itu akan semakin berbahaya, memiliki harta untuk membiayai pemberontakan mereka.

Sebab itu secara untung-untungan dia pun kemudian melakukan pencarian ke arah utara, sambil mencari Sui Cin, sekalian menuju ke tempat yang harus didatanginya. Pemuda ini melakukan perjalanan cepat, tapi di sepanjang perjalanan bertanya-tanya dan menyelidiki kalau-kalau ada orang melihat Sui Cin lewat di situ…..

********************

Bagaimana Sui Cin tiba-tiba muncul di depan Goa Iblis Neraka dan membantu Hui Song yang terdesak tiga orang lawannya dan berada dalam bahaya? Seperti telah kita ketahui, Sui Cin berpisah dari Hui Song tiga tahun yang lalu setelah dia bersama pemuda itu dan dua orang kakek sakti menyaksikan pertemuan para datuk, malah sempat pula membuat kacau dalam pertemuan para datuk sesat itu. Gadis ini kemudian diajak pergi oleh Wu-yi Lo-jin atau Dewa Arak untuk mempelajari ilmu.

Seperti juga halnya Hui Song yang dibawa pergi lantas digembleng ilmu oleh Siang-kiang Lo-jin Si Dewa Kipas, Sui Cin juga diberi tahu oleh gurunya bahwa ia harus pergi ke utara, ke bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk mengadakan pertemuan dengan para pendekar yang bersiap menentang para datuk sesat yang dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis dengan rencana pemberontakan mereka.

Seperti sudah diceritakan di bagian depan, Sui Cin mampir ke Pulau Teratai Merah, akan tetapi ayah ibunya tidak berada di pulau itu dan kabarnya mereka pergi untuk mencarinya. Maka Sui Cin lalu meninggalkan surat dan pergi lagi menuju ke utara.

Dalam perjalanannya itu secara kebetulan saja dia tiba di dusun Lok-cun, beberapa hari sebelum Hui Song tiba di situ. Pada waktu dia lewat di depan kuil kosong, dia melihat ada dua orang penghuni dusun berlari-larian dengan muka pucat. Sebagai seorang pendekar wanita, tentu saja dia menjadi tertarik. Waktu itu sudah senja dan matahari sudah mulai mengundurkan diri dari ufuk barat.

"Mengapa kalian berlari-lari ketakutan? Ada apakah?" tegurnya kepada dua orang dusun yang usianya sudah empat puluhan tahun itu.

Dua orang itu berlari semakin cepat ketika tiba-tiba saja ada seorang wanita cantik berlari di belakang mereka tanpa mereka dengar sebelumnya. Namun dengan sekali meloncat Sui Cin sudah berdiri menghadang mereka sambil mengembangkan kedua lengannya.

"Nanti dulu, kalian harus memberi tahu mengapa kalian berlari ketakutan?"

Dua orang itu memandang kepada Sui Cin dengan mata terbelalak dan muka pucat, lalu seorang di antara mereka berkata, "Nona... kami... kami dikejar setan..."

Sui Cin memandang ke belakang mereka dan diam-diam dia merasa ngeri. Kalau hanya penjahat saja, tentu dia sama sekali tidak merasa takut. Akan tetapi setan? Ahhh, mana ada setan berani mengejar manusia, pikirnya.

"Mana setannya? Di mana?" tanyanya.

“Di... di kuil, nona. Memang kuil itu terkenal berhantu, akan tetapi kami tidak memasuki kuil itu, hanya lewat. Tiba-tiba kami mendengar suara tangis disusul tawa seorang wanita, dan ada bayangan berkelebatan lenyap begitu saja di depan kami...!" dua orang itu masih menggigil, dan yang seorang segera menarik tangan kawannya lalu diajak lari dari tempat itu sambil mengomel.

"Hayo kita pergi, siapa tahu dia ini..."

Keduanya segera lari tunggang langgang meninggalkan Sui Cin yang tersenyum seorang diri. Sialan, dia malah disangka setan!

Akan tetapi sikap dan keterangan dua orang dusun itu membuatnya penasaran. Benarkah ada setan? Bagaimana pun juga, dia harus membuktikan sendiri, tidak percaya omongan orang begitu saja tentang setan.

Selama hidupnya dia belum pernah melihat setan, dan kiranya semua orang pemberani juga belum pernah melihatnya. Yang pernah melihat setan biasanya hanya orang-orang yang sudah mempunyai rasa takut di dalam hatinya, dan sebagian besar setan hanya ada dalam dongengan dan cerita orang lain saja.

Bagaimana pun juga, dia merasa betapa jantung di dalam dadanya berdebar keras ketika dia menghampiri kuil tua itu. Cuaca telah mulai gelap sehingga kuil kuno itu nampak lebih menyeramkan.

Sui Cin bergerak dengan hati-hati. Mungkin tidak ada setan, akan tetapi kalau dua orang dusun itu melihat bayangan, berarti paling tidak tentu ada orang di sekitar atau di dalam kuil. Dan orang yang dapat berkelebat lenyap di depan dua orang dusun itu begitu saja, jelas bukan orang sembarangan, melainkan memiliki kepandaian tinggi.

Dia harus berhati-hati dan tidak sembrono. Andai kata ada orang pandai di situ, dia masih belum tahu siapa orang itu dan dari golongan apa. Dan dia merasa betapa tidak patut dan kurang ajar mendatangi tempat orang begitu saja.

Dengan hati-hati sekali, Sui Cin mempergunakan ilmu ginkang-nya yang hebat sehingga seperti seekor burung saja tubuhnya berkelebat dan melayang ke atas pohon-pohon, lalu melayang ke atas genteng kuil. Kedua kakinya tak mengeluarkan bunyi apa-apa sehingga mereka yang berada di dalam kuil, biar pun memiliki kepandaian tinggi, tidak mendengar gerakannya dan tidak tahu akan kedatangan pendekar wanita ini.

Sui Cin melakukan pemeriksaan dari atas genteng kuil dan akhirnya dia dapat melihat tiga orang sedang bercakap-cakap di dalam kuil itu! Dia tersenyum. Bukan setan bukan iblis, tapi seorang gadis cantik bersama dua orang kakek yang sedang bercakap-cakap dengan suara perlahan di dalam ruangan kuil itu, ruangan yang amat buruk dan temboknya sudah banyak yang retak-retak.

"Dua orang dusun tadi tidak curiga?" tanya si gadis cantik.

"Ha-ha-ha, seperti biasa, orang-orang dusun itu percaya tahyul. Mereka menyangka kami adalah setan lantas lari tunggang langgang," jawab kakek gendut sambil tertawa.

"Bagus! Biarkan mereka menyebarkan berita bahwa tempat ini ada hantunya. Kita tidak ingin diganggu," kata pula si gadis cantik. "Malam ini aku lelah sekali, besok pagi-pagi kita harus mencoba lagi di Goa Iblis Neraka."

"Kurasa percuma saja," kata kakek kurus, "batu besar itu mana bisa kita buka? Sudah kita coba dengan bantuan banyak kawan namun tetap gagal. Apakah tidak lebih baik jika kita melapor saja kepada Ong-ya?"

Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Tidak, suhu dan subo kini sedang sibuk dan sukar mencari mereka. Pula, mereka sudah menugaskan ini kepadaku, mana bisa kutinggalkan begitu saja sebelum berhasil? Besok pagi-pagi kita harus mencoba lagi, kalau gagal, biar aku akan mencari bantuan lagi."

Agaknya dua orang kakek itu adalah pembantu-pembantu si gadis cantik karena mereka kelihatan tunduk dan taat. Mereka berdua lalu duduk bersila di ruangan itu, sedangkan si gadis cantik memasuki sebuah kamar yang agaknya menjadi kamar tidurnya di dalam kuil itu.

Yang tengah diintai oleh Sui Cin itu adalah Gui Siang Hwa, murid Raja Iblis yang berjuluk Siang-tok Sian-li beserta dua orang pembantunya, yaitu Hui-to Cin-jin si kakek kurus dan Kang-thouw Lo-mo si kakek gendut, dua orang tokoh dari Cap-sha-kui. Dia tak mengenal siapa adanya tiga orang itu, akan tetapi gadis ini dapat menduga bahwa tiga orang yang berada di dalam kuil itu tentulah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi.

Percakapan mereka amat menarik perhatiannya, terutama sekali tentang Goa Iblis Neraka itu. Ingin sekali dia tahu siapa adanya mereka dan tempat macam apakah goa itu. Karena dia ingin sekali tahu, maka malam itu dia kembali ke penginapan namun pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah bersembunyi di balik pohon dekat kuil.

Pagi-pagi sekali ia melihat tiga orang itu berkelebat keluar dan berlari cepat meninggalkan kuil. Ia semakin tertarik karena ternyata tiga orang itu memang benar memiliki kepandaian tinggi dan dapat berlari cepat sekali. Akan tetapi dalam hal ilmu berlari cepat, dia adalah ahlinya maka tanpa kesukaran sama sekali dia dapat membayangi tiga orang itu dari jauh tanpa mereka ketahui.

Ketika tiga orang yang dibayangi itu sampai di Goa Iblis Neraka, Sui Cin semakin tertarik sekali. Dia mengikuti kegiatan mereka, ikut pula menyeberangi jembatan batu pedang dan melihat betapa mereka gagal membuka batu besar yang menutupi goa di sebelah dalam.

Dari percakapan mereka yang dapat ditangkapnya, akhirnya Sui Cin tahu bahwa mereka itu sedang mencari harta karun yang terdapat di balik batu besar itu! Tentu saja hatinya menjadi semakin tertarik dan ketika akhirnya dengan putus asa mereka gagal lagi, Sui Cin mendengar bahwa gadis cantik itu hendak meneari bantuan.

Ketika mereka pergi, Sui Cin tetap tinggal di situ dan dia sendiri pun kemudian melakukan penyelidikan. Akan tetapi dia sendiri juga tidak mampu membuka batu besar penutup goa, dan karena dia tidak tahu rahasia harta itu, tidak tahu di mana letaknya yang tepat, dia pun lalu menanti kembalinya gadis cantik yang akan membawa pembantu-pembantu itu.

Dia mulai curiga setelah mendengar dan melihat sikap dua orang kakek yang amat kasar, dan melihat sikap gadis yang genit. Biar pun belum merasa yakin benar karena belum ada buktinya, namun perasaannya mengatakan bahwa tiga orang itu bukanlah orang baik-baik dan tentu termasuk golongan sesat. Ia bersabar menunggu untuk melihat perkembangan lebih jauh dan dia tinggal di dalam goa itu seorang diri sampai beberapa hari lamanya.

Akhirnya, pada suatu hari dia melihat munculnya ketiga orang itu, sekali ini ditemani oleh seorang pemuda! Dan ketika dengan cepat dia bersembunyi di dalam pohon di atas goa dan melihat pemuda gagah itu, hampir dia berteriak saking girang dan kagetnya. Tentu saja dia mengenal Hui Song!

Akan tetapi karena masih menaruh hati curiga kepada tiga orang itu, dia menahan diri dan merasa heran sekali bagaimana Hui Song dapat bergaul dengan mereka dalam keadaan yang demikian akrab. Apa lagi melihat sikap gadis cantik itu yang demikian memikat dan dalam sikap serta gerak-geriknya nampak jelas sekali bahwa gadis itu mencinta Hui Song, mendatangkan perasaan tidak enak dalam hati Sui Cin.

Dia membayangi terus dan terheran-heran ketika melihat betapa kini Hui Song bersama gadis itu menyeberangi jembatan batu pedang sedangkan kedua orang kakek itu berhenti dan mengatakan bahwa mereka tidak sanggup maju lagi. Padahal dia pernah melihat dua orang kakek itu menyeberangi jembatan batu pedang ini bersama si gadis cantik, dan biar pun dengan agak sukar, tapi dua orang itu mampu menyeberangi. Mengapa kini mereka berpura-pura tidak dapat menyeberang?

Dia merasa makin curiga, apa lagi ketika melihat betapa setelah menanti beberapa lama dan Hui Song sudah lenyap bersama gadis itu, kedua orang kakek ini lalu berindap-indap menyeberangi batu pedang! Mulailah Sui Cin mencium sesuatu yang tidak beres dan dia pun mengkhawatirkan keselamatan Hui Song di tangan tiga orang ini, maka dia pun cepat membayangi dua orang kakek itu masuk ke begian dalam.

Demikianlah, keinginan tahu Sui Cin menyelidiki tiga orang itu serta rahasia di dalam Goa Iblis Neraka sudah menyelamatkan Hui Song. Ketika pemuda ini dikeroyok tiga, Sui Cin muncul membantu dan menyelamatkannya karena pada saat itu Hui Song memang amat terancam bahaya. Akan tetapi, dalam usaha mereka berdua untuk melarikan diri, Sui Cin terkena lontaran batu Kang-thouw Lo-mo yang mengakibatkan bagian dalam kepalanya terguncang sehingga dia kehilangan ingatannya!

Ketika dia siuman, dia lupa segala dan melihat Hui Song, dia lalu menyerangnya. Hal ini adalah karena yang masuk ke dalam ingatannya pada saat terakhir adalah orang-orang jahat yang dilawannya. Maka begitu melihat Hui Song sebagai orang pertama pada saat dia siuman, dia pun menganggap bahwa Hui Song adalah orang jahat maka diserangnya pemuda itu mati-matian. Akan tetapi pemuda itu ternyata merupakan lawan yang sangat kuat dan dia merasa kepalanya pusing maka dia pun melarikan diri, mempergunakan ilmu lari cepat Bu-eng Hui-teng yang membuat pemuda itu tidak mampu mengejarnya.

Sui Cin sudah tidak ingat apa-apa lagi, yang diingatnya hanyalah bahwa dia tadi bertemu dengan seorang lawan, seorang pemuda jahat dan curang yang sangat lihai, yang sudah menyambitkan benda keras sehingga mengenal kepalanya sebab kepala itu masih terasa sakit, dan yang tidak dapat dia kalahkan tadi.

Dia hanya tahu bahwa lawan itu mengejarnya, dan karena kepalanya pening, apa lagi dia tidak mampu mengalahkan, maka akan sangat berbahayalah kalau sampai pria itu dapat mengejarnya. Maka Sui Cin lalu mengerahkan tenaganya dan berlari dengan cepat sekali. Wusssss.....!
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar