Asmara Berdarah Jilid 33

"Nona, seorang dengan kepandaian seperti engkau ini mana mungkin takut akan segala kekacauan? Dan pemberontakan apa yang nona maksudkan?"

"Hemmm, tidak tahukah engkau bahwa kini ada rencana pemberontakan yang diatur oleh para datuk di dunia kang-ouw?"

Hui Song mengangguk. "Aku sudah mendengar. Bukan datuk kang-ouw, melainkan datuk kaum sesat, bahkan Cap-sha-kui ikut bersatu dan bersekutu dengan para datuk jahat dan dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis!" Hui Song memandang tajam untuk melihat reaksi pada wajah gadis itu.

"Ihh...!" Siang Hwa menarik muka kaget dan ngeri. "Sampai sedemikian jauh dan hebat? Kalau begitu, kerajaan sedang terancam bahaya!"

"Nona, engkau mempunyai kepandaian tinggi, lalu dengan adanya kenyataan ini apakah yang akan kau lakukan? Apakah engkau hendak bergabung dengan mereka yang akan memberontak itu?"

Muka Siang Hwa menjadi merah. Sesungguhnya mukanya merah karena malu dan tidak enak hati, akan tetapi Hui Song mengiranya merah karena marah sehingga diam-diam dia merasa girang dan menduga bahwa gadis ini bukan teman para pemberontak.

"Hemm, Cia-taihiap, apakah engkau juga ingin membantu Cap-sha-kui dan pemberontak-pemberontak itu?" Siang Hwa yang cerdik balas bertanya sambil menatap tajam.

Hui Song menggelengkan kepala. "Aku bukan penjahat dan bukan pula pemberontak, dan aku lebih suka menentang Cap-sha-kui dari pada menjadi sahabat mereka!"

"Bagus, kalau begitu kita sepaham!" Siang Hwa berkata dengan senyum lebar. "Tadinya aku meragukan apakah engkau dan sumoi-mu itu mata-mata pemberontak. Maafkan aku, kalau begitu aku harus membebaskanmu, taihiap." Berkata demikian, dia mendekat dan hendak melepaskan tali yang mengikat kedua pergelangan tangan Hui Song. Akan tetapi dia berhenti dan menatap wajah itu. "Tapi... kau belum berjanji untuk membantuku."

"Setelah kita menjadi sahabat, tentu saja aku akan membantumu, asal saja bukan untuk perkara kejahatan."

"Hemm, apakah engkau belum percaya padaku, taihiap? Aku bukan penjahat. Berjanjilah bahwa engkau akan membantuku, dan aku akan membebaskan kau dan sumoi-mu. Akan tetapi, sumoi-mu tidak boleh ikut serta."

"Mengapa?"

"Urusan itu adalah rahasia diriku sendiri, orang lain, kecuali engkau yang kuminta bantuan tidak boleh tahu."

Hui Song mengangguk, mengerti. Lagi pula, dia pun tidak senang apa bila sumoi-nya ikut mencampuri urusannya. Pertama, watak sumoi-nya itu amat angkuh dan keras sehingga di mana-mana akan mudah menimbulkan keributan dan permusuhan. Kedua, tingkat ilmu kepandaian sumoi-nya, walau pun secara umum dapat dianggap cukup lihai, akan tetapi belum boleh diandalkan apa bila bertemu dengan datuk-datuk sesat. Dan ke tiga, dia tahu betapa sumoi-nya mencintanya dan mengharapkan agar dia menjadi suaminya dan hal ini membuat dia merasa canggung dan tidak enak untuk berhadapan dengan gadis itu.

"Kalau begitu, sekarang juga aku akan membebaskanmu!" Siang Hwa mendekat tapi Hui Song tersenyum.

"Tidak perlu lagi, nona. Kalau aku mau, sejak tadi pun aku sudah bisa membebaskan diri sendiri." Berkata demikian, dia mengerahkan tenaga sinkang, disalurkan pada lengannya dan sekali kedua lengan itu bergerak merenggut, terdengar suara keras, dan belenggu itu pun putus-putus.

"Ihhh...!" Siang Hwa terkejut dan melompat ke belakang, meraba pinggang dan matanya terbelalak.

Akan tetapi Hui Song tersenyum. "Jangan kaget dan tidak perlu khawatir, nona. Aku tadi hanya ingin melihat apakah benar engkau berniat baik maka aku sengaja membiarkan diri terbelenggu."

"Aihh... engkau... benar-benar hebat, taihiap," kata Siang Hwa kagum. "Dan sekarang aku akan membebaskan sumoi-mu," Ia pun cepat menghampiri Siang Wi, menggunakan obat penawar racun bius tadi.

Tidak lama kemudian terdengar Siang Wi mengeluh dan membuka mata. Begitu melihat gadis yang tadi merayu suheng-nya itu duduk berjongkok di dekatnya, segera Siang Wi mengeluarkan teriakan marah dan langsung saja dia mengirim pukulan-pukulan bertubi ke arah tubuh lawan yang amat dibencinya karena cemburu itu.

Siang Hwa meloncat ke belakang dan mengelak sambil menangkis beberapa kali. Setiap gerakannya amat diperhatikan oleh Hui Song dan pemuda ini diam-diam harus mengakui bahwa tingkat ilmu silat dari Gui Siang Hwa memang sangat tinggi, gerakannya cekatan, cepat sekali dan juga indah biar pun bersifat aneh dan liar. Mudah terlihat olehnya bahwa gerakan gadis itu jauh lebih lihai dari pada gerakan sumoi-nya dan kalau dilanjutkan, tentu sumoi-nya akan kalah walau pun Siang Hwa tidak mempergunakan racun bius.

"Sumoi, hentikan seranganmu!" bentak Hui Song.

Mendengar bentakan ini, Siang Wi menahan serangannya lantas membalik, memandang kepada Hui Song dengan mata terbelalak mengandung sinar marah penasaran. "Suheng, dia... dia... si wanita cabul ini, tak tahu malu dan patut dibunuh!"

"Sumoi, tenanglah. Nona Gui ini adalah orang segolongan, tadi hanya terjadi salah paham antara kami..."

"Tapi... tapi aku tadi melihat dengan mataku sendiri, mendengar dengan telingaku sendiri betapa dia telah menawanmu, dan merayumu secara tak tahu malu..."

"Sstt, sumoi. Sudahlah. Kukatakan tadi hanya salah paham. Kini kami sudah bersahabat, dan kami akan melakukan kerja sama untuk suatu urusan yang tak boleh diketahui orang lain. Oleh karena itu, kuminta agar engkau suka meninggalkan tempat ini sekarang juga. Kembalilah kau ke Cin-ling-san dan jangan ikuti aku lagi."

"Tapi... suheng..."

"Sudahlah, sumoi. Kau jangan banyak membantah. Ketahuilah bahwa kalau tidak berniat baik, kita berdua tadi sudah tewas di tangan nona Gui. Pergilah!"

Tan Siang Wi berdiri dengan muka pucat, kedua tangan dikepal dan kini kedua matanya mulai basah. Dia memandang kepada dua orang itu secara bergantian, tatapan matanya pada Siang Hwa penuh kebencian, tetapi sepasang matanya memancarkan permohonan dan kekecewaan kalau dia memandang suheng-nya.

"Suheng... haruskah aku pergi... Engkau mengusir aku begitu saja?"

Hui Song mengangguk. Ia tak ingin menyakiti hati sumoi-nya, akan tetapi mengingat akan watak sumoi-nya yang keras, dia harus bersikap tegas. Dia sudah berjanji kepada Siang Hwa dan dia tidak boleh melanggar janji itu.

Lagi pula, diam-diam dia menaruh hati curiga terhadap Siang Hwa dan ingin menyelidiki siapa sesungguhnya wanita ini dan peran apa yang dipegangnya. Dia merasa bahwa ada sesuatu di balik diri wanita ini, karena seorang wanita selihai Siang Hwa tidak mungkin secara kebetulan saja bertemu dengan dia, mengajak bersahabat dan minta bantuannya untuk mengurus sesuatu yang rahasia.

"Sumoi, harap jangan banyak bicara lagi. Pergi dan kembalilah ke Cin-ling-san."

Kini beberapa tetes air mata jatuh menitik. "Suheng... engkau... selalu mengecewakan dan menyakiti hatiku..."

"Maafkan, sumoi..."

Akan tetapi Tan Siang Wi sudah menyambar sepasang pedangnya yang tadi jatuh di atas lantai ketika dia roboh pingsan, lantas berloncatan pergi meninggalkan tempat itu. Sunyi keadaan di dalam ruangan itu setelah Siang Wi pergi hingga akhirnya terdengar tarikan napas panjang dari Siang Hwa.

"Aihh... agaknya dengan kegantengan dan kegagahanmu engkau sudah ditakdirkan untuk menjatuhkan dan mengecewakan hati wanita, taihiap. Hari ini kulihat telah ada dua orang wanita yang menjadi korbanmu. Pertama adalah diriku sendiri, dan yang kedua adalah sumoi-mu tadi!"

Hui Song juga turut menarik napas panjang. Diam-diam dia merasa kasihan sekali kepada Siang Wi, sumoi-nya itu. Semenjak kecil sumoi-nya mencintanya dan cinta kanak-kanak itu makin lama semakin kuat dan akhirnya menjadi cinta kasih seorang wanita terhadap seorang pria, cinta kasih yang berharap untuk diikat dan dikukuhkan menjadi perjodohan suami isteri.

Dan dia tahu benar bahwa hatinya tidak mencinta sumoi-nya, biar pun dia sayang kepada sumoi-nya itu yang dianggap sebagai adik sendiri. Akan tetapi gadis di depannya ini? Dia belum mengenalnya benar dan tidak tahu apakah benar gadis ini cinta kepadanya seperti yang diakuinya. Dia harus bersikap hati-hati terhadap wanita ini.

"Maafkan aku kalau memang demikian halnya, nona. Akan tetapi semua itu terjadi tanpa kesengajaan dari pihakku, dan ingat, cinta tidak mungkin dapat dipaksakan."

Siang Hwa tersenyum pahit dan mengangguk-angguk, diam-diam dia semakin kagum dan membayangkan betapa akan nikmatnya kelak apa bila dia sampai berhasil membujuk pria ini menjadi kekasihnya dan berada di dalam dekapannya.

"Aku tidak menyalahkanmu, Cia-taihiap, hanya aku merasa kasihan kepada sumoi-mu itu yang agaknya mencintamu dengan amat mendalam."

"Nona, ingin sekali aku mengetahui bagaimana engkau dapat mengenal namaku?"

Mereka kini duduk berhadapan di atas dua buah bangku yang berada di dalam ruangan itu, terhalang sebuah meja kecil. Siang Hwa tersenyum. "Aku mendengar dari Ciang-tosu dan Ciong-hwesio yang menjadi teman-temanku dalam urusan yang kuminta bantuanmu ini."

Hui Song teringat akan dua orang kakek itu, maka dia pun tersenyum mengejek. "Wah, jangan-jangan dua orang kakek berpakaian tosu dan hwesio yang kejam itu, yang sudah membunuh empat orang muda di dalam restoran dan..."

"Memang betul mereka!" Siang Hwa berkata dengan sikap sungguh-sungguh. "Dan harap taihiap jangan mentertawakan dan salah sangka terhadap mereka! Mereka berdua adalah bekas-bekas tosu dan hwesio dan biar pun kini bukan lagi terikat agama, mereka sudah terbiasa memakai jubah seperti yang dahulu mereka pakai ketika masih menjadi pendeta. Sekarang mereka adalah pertapa-pertapa dan mereka juga turun ke dunia ramai hendak menentang kaum pemberontak."

“Ahh...!" Hui Song terheran dan juga kagum. "Akan tetapi mengapa mereka begitu kejam, menyebar maut di restoran, membunuh empat orang muda yang tidak berdosa?"

Gadis itu tersenyum, manis sekali kalau tersenyum, terutama karena tahi lalat kecil di atas dagu itu. "Orang-orang muda yang tidak berdosa? Taihiap tidak tahu..."

"Mungkin mereka melakukan kesalahan, akan tetapi kesalahan itu hanya berupa ejekan kepada mereka yang berpakaian pendeta, dan itu pun dilakukan dalam keadaan mabok."

"Taihiap sudah salah mengerti. Empat orang muda itu tidaklah sebersih itu, bukan seperti yang taihiap kira. Mereka adalah mata-mata kaum pemberontak yang menyamar sebagai pemuda-pemuda pemabokan dan kalau Ciang-tosu dan Ciong-hwesio tidak menggunakan pukulan beracun, mereka tentu tidak gampang dikalahkan dan tempat kami tentu sudah ketahuan, kemudian kami akan diserbu oleh para pemberontak."

Hui Song terbelalak heran, juga terkejut karena sungguh hal itu tidak pernah disangkanya sama sekali.

"Aku merasa gembira sekali bisa bersahabat dengan taihiap, apa lagi akan mendapatkan bantuanmu. Ketika kedua orang locianpwe itu memberi tahu kepadaku tentang diri taihiap, kami bertiga sudah mengambil kesimpulan bahwa tentunya engkau adalah seorang tokoh Cin-ling-pai dan ternyata dugaan kami benar seperti yang taihiap nyatakan sendiri ketika taihiap bicara dengan sumoi taihiap itu dan menyebut-nyebut Cin-ling-san."

"Memang aku adalah putera dari ketua Cin-ling-pai," kata Hui Song yang merasa tak ada gunanya lagi menyembunyikan keadaan dirinya.

"Ahh...!" Gadis itu bangkit dan menjura. "Kalau begitu aku sudah berlaku kurang hormat dan maafkanlah kelancanganku, taihiap."

"Sudahlah, nona. Kedudukan dan nama takkan merubah keadaan seseorang. Sebaiknya nona ceritakan, urusan apakah itu yang membutuhkan bantuanku?"

"Urusan ini sangat penting dan merupakan rahasia, taihiap. Ketahuilah bahwa kami yang mewakili beberapa orang-orang kang-ouw di wilayah selatan, mengutus aku dan dibantu oleh dua orang locianpwe itu untuk menyelidiki sebuah harta karun."

"Hemm..." Hui Song termenung. Tak disangkanya sama sekali bahwa urusan itu hanyalah urusan menyelidiki dan mencari harta karun!

"Ini bukan sembarang harta karun, taihiap. Kalau engkau menyangka bahwa kami adalah orang-orang yang haus akan harta karun, engkau keliru! Ketahuilah bahwa kami mencari harta karun itu justru dalam usaha kami untuk menentang usaha para pemberontak. Para pemberontak itu akan menjadi kuat sekali kalau harta karun itu tidak kita dahului dan kita ambil."

"Apa maksudmu? Aku tidak mengerti, nona."

"Begini, taihiap. Tempat di mana harta karun itu berada kini juga sedang diintai oleh para pemberontak. Kabarnya malah Raja dan Ratu Iblis sendiri juga mencarinya. Akan tetapi, kami lebih beruntung karena kami telah dapat menemukan tempat itu. Hanya saja tempat itu sukar didatangi, bahkan aku sudah kehilangan nyawa beberapa orang kawanku ketika mencoba untuk mencari harta karun di tempat itu."

"Ah, begitu berbahayakah? Apa yang menyebabkan bahaya itu?"

"Tempatnya sangat sukar dilalui dan tempat itu terkenal dengan nama Goa Iblis Neraka! Agaknya tempat itu memang sengaja dibuat agar tidak ada orang yang berani memasuki. Kabarnya dahulu dibuat oleh seorang tosu sakti yang mencuri harta karun dari kaisar lalim dan disimpan di tempat itu, dan disediakan untuk mereka yang akan menentang kaisar lalim di kemudian hari. Harta karun itu sudah hampir seribu tahun umurnya dan sampai kini belum juga ada yang berhasil menemukannya."

"Kalau demikian sukarnya, kenapa engkau minta bantuanku? Kalau orang seperti engkau dan teman-temanmu tidak sanggup, mana mungkin aku akan bisa membantumu?"

"Begini, taihiap. Di antara kami hanya aku seorang yang mampu menyeberangi jembatan batu pedang. Kedua locianpwe itu pun hanya sanggup maju belasan meter saja. Dan aku telah menyeberangi jembatan batu pedang itu, akan tetapi selanjutnya aku tidak sanggup menggerakkan batu penutup lubang di sebelah dalam. Aku membutuhkan bantuan orang yang mempunyai ginkang dan sinkang yang melebihi aku dan ternyata engkau amat lihai, jauh melampaui tingkatku dan..."

"Dan dengan mudah aku yang lebih lihai ini tertawan olehmu!" Hui Song mengejek

Siang Hwa lantas tertawa. "Aih, engkau sakit hati benarkah, taihiap? Sudahlah, biar aku mengaku bahwa aku telah bertindak curang dan maafkanlah aku. Nah, rahasia itu sudah kuceritakan dan kalau engkau membantu kami, maka hal itu berarti bahwa engkau sudah menentang para pemberontak. Kalau kelak kita berhasil, berarti kita telah memukul para pemberontak dan melumpuhkan setengah dari kekuatan mereka!"

Tentu saja Hui Song tertarik sekali. Biar pun dua orang kakek itu dianggapnya kejam, dan ternyata tidak dapat dinamakan kejam pula jika empat orang muda itu adalah mata-mata pemberontak, dan biar pun gadis ini pernah bersikap tidak menyenangkan hatinya, akan tetapi mereka ini adalah orang-orang yang menentang pemberontak yang dipimpin Raja dan Ratu Iblis, berarti masih rekan sendiri dalam usahanya menentang para pemberontak.

"Baik, kapan kita berangkat ke sana?"

"Sekarang juga, taihiap."

"Baik, mari kita berangkat, namun lebih dahulu singgah di rumah penginapan karena aku hendak mengambil buntalan pakaianku."

Wanita itu tertawa, pergi ke sebelah kamar dan kembali membawa sebuah buntalan yang terisi semua pakaian Hui Song yang tadi ditinggalkan di dalam kamar rumah penginapan itu.

"Ehh? Bagaimana... kapan..."

"Taihiap, ketika aku mendengar dari kedua locianpwe tentang dirimu, aku merasa tertarik sekali. Aku lalu pergi ke rumah penginapan itu, dan diam-diam memasuki kamarmu. Tapi ternyata engkau tidak ada, maka aku lalu mengambil pakaianmu, kubawa ke sini karena aku bermaksud hendak mencarimu sampai dapat. Ketika kulihat engkau berada di balik pohon, aku segera menyimpan pakaian ini, lalu aku pergi lagi untuk muncul berlarian di atas genteng agar nampak olehmu dan selanjutnya kita bertanding..." Ia terkekeh lirih dan menutupi mulut, gayanya manis sekali. Wajah Hui Song menjadi kemerahan.

"Sudahlah, mari kita pergi."

"Pakaianmu biar disimpan di sini dulu."

Berangkatlah mereka berdua, seperti dua sahabat lama, meninggalkan kuil tua itu setelah Siang Hwa memadamkan penerangan dan menutupkan pintu kamar sederhana itu. Dari luar, kuil itu nampak sunyi dan menyeramkan.

Mereka melakukan perjalanan cepat keluar dusun menuju arah timur. Pada pagi harinya, setelah melakukan perjalanan beberapa jam lamanya, mereka tiba di kaki bukit dan di luar sebuah hutan telah menanti dua orang yang dari jauh sudah dikenal oleh Hui Song, yaitu dua orang kakek yang pernah bertanding dengan dia, si tosu tinggi kurus dan si hwesio gendut!

Kedua orang kakek itu nampak terkejut melihat Hui Song, akan tetapi Siang Hwa segera tersenyum dan memperkenalkan.

"Ji-wi locianpwe jangan khawatir. Cia-tai-hiap sudah menjadi sahabat kita yang sehaluan dan sudah kujelaskan semua tentang ji-wi kepadanya. Cia-taihiap adalah putera ketua Cin-ling-pai dan agaknya dialah yang mempunyai kemampuan untuk membuat usaha kita berhasil."

Kini dua orang itu sikapnya berbeda dengan ketika pertama kali berjumpa dengan Hui Song. Mendengar ucapan Siang Hwa, mereka segera menjura kepada Hui Song dengan sikap hormat dan ramah.

"Cia-taihiap, maafkan kami yang sudah bersikap tidak patut kepadamu," kata Ciang-tosu yang sebenarnya adalah Hui-to Cin-jin, seorang di antara Cap-sha-kui yang belum pernah dikenal Hui Song.

"Ha-ha-ha, peribahasa kuno yang mengatakan bahwa Tidak Berkelahi Maka Tidak Kenal ternyata benar! Cia-taihiap, kita sudah saling bertanding, maka saling mengenal isi perut masing-masing! Ha-ha-ha!" Ciong hwesio yang sesungguhnya adalah Kang-thouw Lo-mo juga berkata.

"Cia-taihiap, harap kau maafkan. Ciang-tosu memang selalu serius dan sebaliknya Ciong-hwesio senang bergurau!" Siang Hwa cepat berkata untuk memberi isyarat kepada kedua orang temannya bahwa ia memperkenalkan mereka kepada Hui Song sebagai Ciang-tosu dan Ciong-hwesio.

"Siancai... memperoleh seorang pembantu seperti Cia-taihiap sungguh merupakan suatu kebahagiaan besar!" kata Ciang-tosu.

"Omitohud, sungguh pinceng yang tidak becus sehingga merepotkan saja kepada putera ketua Cin-ling-pai," kata pula Ciong-hwesio.

Lalu berangkatlah empat orang itu melanjutkan perjalanan menuju ke utara. Perjalanan itu dilakukan secara cepat dan setelah mereka melewati dan menyeberangi Sungai Ching-ho, tibalah mereka di kaki Pegunungan Lu-liang-san yang amat luas itu. Perjalanan sampai ke situ sudah memakan waktu lima hari dan selama lima hari itu, Siang Hwa dan dua orang kakek itu selalu bersikap ramah dan sopan sehingga keraguan dan kecurigaan hati Hui Song semakin menipis.

Gadis itu memang seorang pendekar wanita, pikirnya, tetapi agaknya memiliki kelemahan terhadap lelaki yang menarik hatinya. Ataukah gadis ini memang benar-benar jatuh cinta kepadanya?

Di sepanjang perjalanan Siang Hwa tidak menunjukkan sikap genit. Bujuk rayu yang amat berani, yang dilakukan ketika Hui Song tertawan itu, kini sama sekali tak nampak lagi dan dia hanya kelihatan sangat memperhatikan Hui Song dan selalu berusaha menyenangkan hatinya, seperti biasanya seorang wanita yang jatuh cinta.

Setelah melewatkan malam di kaki bukit, pada keesokan harinya pagi-pagi sekali mereka sudah berangkat lagi, sekali ini memasuki hutan dan melalui jalan yang amat sukar, naik turun bukit dan jurang, melalui jalan liar berbatu-batu yang runcing dan tajam.

Jelas bahwa orang biasa akan kesulitan melalui jalan seperti itu, dan kalau pun ada orang pandai yang sanggup, untuk apa mereka bersusah payah mendatangi tempat ini? Tanpa tujuan penting, kiranya tak akan ada orang begitu gila untuk menyusahkan diri memasuki daerah yang liar dan sukar dilalui ini.

Setelah matahari naik tinggi, di bawah pimpinan Ciang-tosu yang agaknya mengenal baik jalan liar itu, maka tibalah mereka di daerah berbukit-bukit dan mereka berhenti di depan sebuah bukit yang dikelilingi jurang. Hui Song terbelalak kagum. Bukit ini seperti sebuah rumah besar saja, dan pintunya adalah sebuah goa yang besar.

Agaknya goa ini dahulunya ditutup dengan pintu batu yang amat besar. Akan tetapi pintu batu itu kini sudah terbuka miring dan pada pintu batu yang amat tebal dan beratnya tentu ribuan kati itu terdapat ukiran tulisan tiga huruf yang berbunyi GOA IBLIS NERAKA.

Sungguh amat indah, megah namun juga menyeramkan. Siapakah orangnya yang sudah mampu membuat pintu batu seperti itu dan siapa pula yang kuat membukanya? Apa bila mempergunakan tenaga manusia biasa, sedikitnya membutuhkan lima puluh orang yang menggabungkan tenaganya.

Dan goa yang sudah terbuka itu nampak begitu luas, seakan-akan bukan goa melainkan sebuah pintu tembusan menuju ke sebuah dunia yang lain lagi, dunia yang penuh dengan batu-batu raksasa yang bentuknya aneh-aneh, seperti diukir saja. Ataukah ini merupakan istana besar yang dihuni setan?

Empat orang itu begitu terpesona dan asyik memandang ke dalam, berdiri seperti patung-patung di depan goa yang pintunya terbuka itu sehingga mereka tidak tahu sama sekali bahwa sejak tadi, sebelum mereka tiba di tempat itu, jauh tinggi di atas pohon terdapat seorang gadis yang mendekam di atas dahan dan bersembunyi di balik daun-daun lebat, mengintai ke arah mereka! Seorang gadis manis yang cantik jelita, berusia kurang lebih sembilan belas tahun, berwajah periang dan bermata kocak, berpakaian sederhana.

Kalau saja Hui Song dapat melihat gadis itu, tentu dia akan berteriak kegirangan karena dara itu adalah wanita yang selama ini selalu terbayang olehnya, dibawa ke dalam mimpi, dan tak pernah dilupakannya. Gadis itu adalah Ceng Sui Cin!

"Sebaiknya kita masuk sekarang saja sebelum gelap," kata Ciang-tosu atau Hui-to Cin-jin sambil menunjuk ke dalam dengan tangan kirinya.

"Mari, taihiap, kita masuk, biar aku yang menjadi penunjuk jalan karena aku yang sudah beberapa kali pernah masuk ke sini!" kata Siang Hwa.

Hui Song yang sudah tertarik sekali mengangguk. Mereka berempat lalu masuk ke dalam goa, Siang Hwa dan Hui Song di depan, diikuti oleh dua orang kakek itu. Setelah mereka berempat masuk, Sui Cin dari atas ‘melayang’ ke bawah. Ya, gerakannya itu mirip seperti seekor burung melayang saja, demikian ringan dan cepatnya.

Ternyata gadis ini sudah jauh berbeda dengan Sui Cin tiga tahun yang lalu. Gerakannya sungguh luar biasa karena dia sudah benar-benar menguasai ilmu Bu-eng Hui-teng (Lari Terbang Tanpa Bayangan) dengan baik. Dengan gerakan yang amat sigap, dia pun turut menyelinap masuk ke dalam goa di sebelah sana pintu. Dan ternyata pada bagian dalam itu merupakan daerah yang luas dan berbatu-batu sehingga memudahkan gadis ini untuk menyelinap di antara batu-batu, bersembunyi dan terus membayangi empat orang yang berloncatan di sebelah depan.

Setelah melalui perjalanan berliku-liku di antara batu-batu besar, empat orang itu berhenti di depan terowongan dan memandang ke depan.

"Inilah jembatan batu pedang itu!" kata Siang Hwa dan Hui Song memandang terbelalak ke depan.

Hebat memang. Bukan sebuah jembatan, melainkan lorong yang penuh dengan batu-batu meruncing seperti dibuat oleh tangan manusia sakti saja. Lorong itu begitu penuh dengan batu-batu meruncing ini sehingga untuk melewati lorong itu, satu-satunya jalan haruslah berloncatan dari batu ke batu, di atas ujung-ujung batu runcing laksana pedang itu! Dan untuk mengerjakan ini bukanlah hal yang mudah sebab membutuhkan ginkang yang telah matang sekaligus juga tenaga sinkang yang kuat.

"Nah, di tempat inilah semua teman mogok. Ciang-tosu dan Ciong-hwesio sudah pernah mencoba, akan tetapi mereka hanya sampai beberapa meter saja. Aku sendiri sudah tiga kali melewati jembatan ini dengan hasil baik, akan tetapi selanjutnya aku tak sanggup lagi. Di sebelah depan sana terlalu berbahaya dan sukar," Siang Hwa menerangkan.

"Apakah kesukarannya?" Hui Song bertanya.

"Menuturkannya hanya membuang-buang waktu saja dan tidak ada gunanya. Marilah kita melewati jembatan ini dulu, di depan engkau akan dapat melihatnya sendiri, taihiap. Mulai dari sinilah aku memerlukan bantuan seorang seperti engkau maka selanjutnya engkaulah yang memimpin karena kepandaianmu jauh lebih lihai dan dapat dipercaya dari pada aku sendiri."

"Nanti dulu, nona. Selama beberapa hari aku terus mengikutimu dan membantumu tanpa banyak bertanya. Sekarang kita telah tiba di tempat ini dan kukira aku berhak mengetahui segala sesuatu tentang pekerjaan yang kita lakukan. Tempat apakah ini sebenarnya dan harta pusaka itu milik siapakah? Bagaimana pun juga, aku tidak akan mau membantu jika terdapat kenyataan bahwa kita sedang melakukan pencurian atau perampasan."

Mendengar ini, Siang Hwa dan dua orang kakek itu saling pandang dan nampak keraguan pada pandang mata dua orang kakek itu. Akan tetapi Siang Hwa lalu mengangguk dan berkata, "Memang sudah sepatutnya kalau taihiap mengetahuinya, dan orang yang lebih mengetahuinya mengenai harta pusaka itu adalah Ciang-tosu." Dan dia menoleh kepada kakek berpakaian tosu itu. "Ciang-locianpwe, Cia-taihiap adalah orang satu golongan dan satu haluan, tiada salahnya kalau mendengar tentang harta pusaka ini. Harap locianpwe suka menjelaskannya."

"Siancai, sebenarnya cerita mengenai harta pusaka ini merupakan rahasia besar, tadinya rahasia keluarga pinto, kini menjadi rahasia kita yang menentang pemberontakan. Akan tetapi karena Cia-taihiap, biarlah pinto membuka rahasia dan menceritakannya."

Kakek yang berlagak seperti pendeta beragama To itu mulai bercerita. Kiranya dia adalah keturunan Bangsa Mongol, bahkan nenek moyangnya pada hampir dua ratus tahun yang lalu merupakan pejabat tinggi atau ningrat dalam Kerajaan Goan yang berbangsa Mongol.

Ketika itu pemerintahan Mongol yang memakai nama Dinasti Goan menguasai seluruh Tiongkok dan cerita tosu ini terjadi pada waktu pemerintahan dipegang oleh Kaisar Shun Ti (1333-1368). Pada waktu itu hasil tanah rampasan dari daerah-daerah yang tadinya masih belum mau mengakui kekuasaan Kerajaan Goan kemudian ditaklukkan, dibagi-bagi di antara para ningrat Mongol. Pembagian itu amat besar karena paling kecil tanah yang dibagikan kepada mereka itu mencapai luas seratus hektar!

Terjadilah perampasan-perampasan sebab para pejabat tinggi menjadi ‘mabok tanah’ dan timbullah tuan-tuan tanah dalam arti yang sebenarnya karena mereka itu masing-masing memiliki tanah yang ratusan, bahkan hingga ribuan hektar luasnya! Tentu saja orang yang menguasai tanah sampai sekian luasnya itu merupakan raja kecil di tengah tanah yang dikuasainya.

Tanah-tanah itu oleh para tuan tanah lantas disewakan kepada buruh-buruh tani dengan memungut hasil tanah yang sangat menekan, seolah-olah keringat para petani itu diperas dan sebagian besar hasil tenaga mereka dihisap. Namun para petani itu tetap mau saja diperas seperti itu sebab mereka hanya bermodal tenaga, tidak memiliki tanah secuil pun. Tanpa adanya tanah, maka kepandaian dan tenaga mereka untuk bercocok tanam tidak ada artinya, sementara mereka perlu makan setiap hari.

Dengan adanya kekuasaan mutlak yang digunakan secara sewenang-wenang ini, maka banyak di antara para pejabat tinggi dan bangsawan ini yang berhasil menumpuk harta kekayaan yang sukar dibayangkan banyaknya. Dan di antara mereka itu terdapat nenek moyang Ciang-tosu atau yang sesungguhnya berjuluk Hui-to Cin-jin itu!

Pembesar Mongol ini menumpuk harta kekayaan yang amat besar, lalu menurunkan harta kekayaan itu kepada keturunannya sampai akhirnya pemerintah Mongol ditumbangkan oleh rakyat yang memberontak pada tahun 1368 dan berakhirlah pemerintahan penjajah Mongol lalu lahirlah Dinasti Beng-tiauw yang dipimpin oleh bangsa sendiri sampai saat Hui Song mendengar cerita itu dituturkan oleh Ciang-tosu.

Namun, seperti juga banyak pembesar tinggi pemerintah Mongol lainnya, nenek moyang Ciang-tosu berhasil melarikan sebagian besar harta kekayaannya dan menyembunyikan harta itu ke dalam tempat rahasia yang dinamakan Goa Iblis Neraka itu. Dengan bantuan beberapa orang pandai, pembesar Mongol itu menyembunyikan harta kekayaan berupa emas dan batu-batu permata dan setelah berhasil menyembunyikannya, pembesar ini lalu memerintahkan para pengawalnya untuk membunuh semua pembantu sehingga tempat itu menjadi rahasia yang hanya diketahuinya sendiri saja.

Rahasia ini dibawanya lari ketika pemerintahan bangsanya jatuh dan hanya sedikit harta benda yang dapat dibawanya lari ke utara. Dan rahasia itu menjadi warisan bagi anak cucunya. Akan tetapi tak mudah bagi anak cucunya untuk dapat mengambil harta pusaka yang tersimpan di tempat yang rahasia dan berbahaya itu.

Saat membuat tempat rahasia itu, orang-orang pandai yang membantunya menggunakan alat-alat rahasia sehingga sesudah mereka keluar, alat-alat itu digerakkan dan batu-batu lantas runtuh menimbun dan menghapus jejak sehingga amatlah sukar bagi orang untuk menemukan harka itu, biar pun dia sudah tahu di mana letaknya. Apa lagi bagi orang luar. Dan jalan menuju ke harta karun itu pun amatlah sukar dan berbahaya. Inilah sebabnya, mengapa sampai hampir dua ratus tahun, tidak ada orang yang dapat menemukan harta yang masih tersimpan dan tertimbun dengan aman di tempat yang menyeramkan itu.

"Keturunan pembesar penyimpan harta karun itu, yang terakhir adalah pinto sendiri. Akan tetapi, biar pun pinto juga mewarisi pengetahuan tentang harta itu dan memiliki peta yang menunjukkan tempatnya, untuk apakah harta itu bagi pinto yang semenjak muda menjadi pendeta? Pula, kepandaian pinto terlalu rendah untuk dapat menggali serta menemukan harta pusaka itu, maka hingga sekarang pinto tinggal diam saja. Setelah pinto mendengar bahwa rahasia harta karun ini sampai ke telinga para pemberontak dan mereka berusaha mencari dan menguasainya untuk dipakai biaya melakukan pemberontakan, barulah hati pinto tergerak lantas bersama kawan-kawan sehaluan pinto berusaha mendapatkan harta karun itu mendahului para pemberontak!"

Hui Song adalah seorang pemuda yang sangat cerdik. Tentu saja dia tidak mau menelan bulat-bulat begitu saja cerita yang dituturkan bekas tosu itu. “Akan tetapi, kalau memang harta itu merupakan warisan turun temurun, tentu ada peta atau setidaknya keterangan yang menjelaskan mengenai tempat rahasia ini. Tetapi mengapa sampai selama ini harta karun itu masih saja berada di sini, belum diambil oleh salah seorang keturunan bahkan rahasia ini dapat diketahui oleh para pemberontak yang merupakan orang luar?”

“Apakah taihiap mencurigai kami?” tanya Ciang-tosu sambil menatap tajam.

“Bukan begitu. Tadi pun sudah kukatakan bahwa aku ingin tahu duduk perkaranya secara jelas dahulu, dan aku baru mau turun tangan membantu kalau tidak bertentangan dengan kebenaran,” jawab Hui Song sambil balas menatap tajam kepada tosu itu.

Melihat suasana yang mulai memanas, Siang Hwa segera ikut bicara. “Ciang-tosu, tidak ada salahnya bila Cia-taihiap ingin tahu sejelasnya, maka terangkan saja semua hal yang ingin diketahuinya.”

Sejenak kakek itu mengerutkan alis, lalu menghela napas dan mulai bercerita. “Sejak dulu sebenarnya sudah banyak anggota keluarga yang hendak mencari tempat rahasia ini dan mengambil harta karun itu, akan tetapi para orang tua selalu melarang dan mengingatkan bahwa waktunya masih belum tepat. Menurut mereka, karena waktunya belum terlampau lama, sekarang masih ada pembesar di istana atau pejabat daerah yang mengetahui dan ikut mengincar harta ini sehingga amatlah berbahaya apa bila diambil saat ini juga. Maka, orang-orang tua itu meminta agar kami mau bersabar menunggu sampai petinggi-petinggi itu sudah tidak ada lagi. Selama ini kami selalu menurut semua nasehat orang-orang tua itu, akan tetapi sekarang kita tak dapat menunggu lebih lama lagi mengingat bahwa pihak pemberontak juga telah mengetahui dan mulai mencari harta karun itu. Nah, itulah alasan kenapa sampai sekarang harta itu masih di tempatnya, walau pun kami sudah mendengar jelas semua keterangan tentang tempat rahasia itu.” Kakek itu mengakhiri ceritanya yang sebagian besar hanyalah karangannya sendiri saja.

Sesungguhnya harta karun itu sudah berusia jauh lebih tua dan kabarnya disimpan pada jaman sebelum Bangsa Mongol mulai menguasai daratan Tiongkok, jadi sudah lebih dari tiga ratus tahun lamanya, disimpan oleh para pembantu Kerajaan Song yang telah terjepit dan terancam oleh gerakan Jenghis Khan.

Dan rahasia ini akhirnya terjatuh ke tangan Raja Iblis atau Pangeran Toan Jit Ong yang lalu memerintahkan muridnya, Gui Siang Hwa dan para pembantunya untuk mencari dan menemukan harta karun itu. Dengan cerdiknya Ciang-tosu yang sebenarnya adalah salah seorang tokoh di antara Cap-sha-kui mengarang cerita untuk mengelabui Hui Song.

Hui Song memang tidak mau percaya sepenuhnya begitu saja, akan tetapi bagaimana pun juga dia merasa tertarik sekali untuk menyelidiki harta karun di tempat aneh ini. Baru tempat penyimpanannya saja sudah jelas membuktikan bekas tangan orang-orang sakti yang berilmu tinggi.

“Terima kasih, aku sudah mendengar cukup dan marilah kita mulai dengan penyelidikan kita itu,” kata Hui Song.

Wajah gadis itu nampak gembira. “Baik, taihiap. Mari kita mulai sebelum cuaca menjadi gelap. Berjalanlah dulu menyeberangi jembatan ini, aku akan menyusul di belakangmu!”

Sejenak Hui Song memandang tajam ke arah deretan batu-batu runcing yang oleh Siang Hwa disebut sebagai jembatan itu, menghela napas panjang, kemudian sekali berkelebat tubuhnya telah melayang ke depan. Setelah mencapai jarak empat tombak, tubuh itu baru melayang turun dengan ringannya, lalu kaki pemuda menutul ujung batu runcing di bawah dan… kembali tubuhnya melayang ke depan menuju ujung batu berikutnya lalu hinggap di atasnya. Hui Song mengerahkan ginkang-nya yang tinggi hingga tubuhnya menjadi amat ringan dan ujung batu yang runcing itu tak dapat melukai kakinya, bahkan sepatunya pun tidak menjadi rusak sama sekali.

Siang Hwa terus memperhatikan sejak pemuda itu belum bergerak dan matanya langsung terbelalak kagum begitu melihat gerakan pertama tadi. Sesungguhnya dia memang sudah pernah menyeberangi jembatan batu itu, namun apa yang dilakukan putera Cin-ling-pai itu betul-betul membuatnya tunduk. Dia hanya sanggup meloncat satu kali demi satu kali, itu pun dalam jarak dua tombak saja, tetapi pemuda itu mampu melakukan sekaligus dua kali loncatan, masing-masing dalam jarak empat tombak. Ilmunya sungguh tinggi, dan wajah itu demikian tampan, pikirnya.

“Nona, sebaiknya engkau mulai meloncat juga agar jarak kita tidak terlalu jauh,” Hui Song menegur karena melihat gadis itu hanya diam saja di tempatnya berdiri.

“Ohh… ya… tentu saja…,” jawab Siang Hwa gagap dan mukanya berubah merah karena dengan tegurannya tadi pemuda itu seakan-akan dapat menjenguk isi hatinya.

Murid pasangan Raja Iblis dan Ratu Iblis ini cepat-cepat menenangkan diri, menarik napas panjang meniru perbuatan Hui Song tadi, lalu mulai meloncat. Akan tetapi dalam loncatan ini tidak mungkin dia mengikuti apa yang dilakukan oleh pemuda Cin-ling-pai tadi karena dia pun sadar bahwa kepandaiannya tidak setinggi itu.

Dia meloncat sejauh dua tombak dan hinggap di atas batu runcing, lalu diam sejenak dan setelah kembali menarik napas panjang baru meloncat lagi ke batu berikutnya yang juga berjarak dua tombak di depannya. Demikianlah, setelah meloncat tiga kali dia baru tiba di atas batu yang jaraknya kira-kira dua tombak di belakang batu tempat Hui Song berdiri.

Dua orang itu terus melakukan hal yang sama. Dengan sekali berkelebat, tubuh Hui Song akan berpindah delapan tombak ke depan, lalu Siang Hwa mengikutinya dengan tiga kali loncatan hingga akhirnya mereka tiba di ujung jembatan batu pedang. Tempat itu bukan lagi terdiri dari batu-batu runcing, melainkan berupa puncak tebing dengan sebuah dataran yang cukup luas.

Sambil menunggu tibanya gadis itu, Hui Song lalu memandang ke bawah tebing. Nampak hamparan pasir yang tak berapa luas sehingga tempat itu seolah-olah membentuk sebuah sumur pasir.

“Taihiap, jangan meloncat ke bawah!” setengah berseru Siang Hwa memperingatkan.

Hui Song segera membatalkan niatnya meloncat ke bawah, kemudian membalikkan tubuh dan menghadapi gadis itu yang kini berdiri di depannya dengan napas agak memburu dan tubuh basah oleh keringat. Melihat wajah pemuda itu, segera terpancar sinar kagum pada sepasang mata jeli itu. Sedikit pun tidak nampak tanda-tanda keletihan pada wajah yang tampan itu, kelihatan biasa saja, bahkan berkeringat pun tidak.

“Kenapa tidak boleh meloncat ke bawah?” Hui Song bertanya.

Memang tentu saja dia tak mau sembarangan meloncat ke bawah. Terlampau berbahaya jika melangkah di tempat aneh ini sebelum mengenal betul tempat berikutnya yang akan terinjak kakinya. Siapa tahu jebakan-jebakan sudah diatur dan ada alat-alat rahasia yang akan bekerja mencelakakan dirinya, Bukankah menurut Ciang-tosu tempat ini dibuat oleh orang-orang pandai yang menggunakan alat-alat rahasia?

“Berbahaya sekali kalau meloncat ke bawah, taihiap. Lihat…!”

Gadis itu mematahkan ujung sebatang batu pedang, lantas melemparkannya ke bawah. Potongan batu panjang itu meluncur turun ke atas dasar pasir dan masuk ke dalam pasir, terus tenggelam dan lenyap.....!
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar