Asmara Berdarah Jilid 24

Sejenak kakek itu terbelalak, kemudian mengeluarkan seruan keras dan sampai beberapa jurus lamanya dia berusaha mendobrak benteng pertahanan itu dengan berbagai macam serangan yang aneh-aneh. Tetapi semua serangannya ternyata kandas dan tidak mampu membobolkan benteng-benteng pertahanan dari Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun itu.

"Wah, hebat, hebat... Thai-kek Sin-kun yang amat hebat...!" Berkali-kali kakek itu berseru dengan suara mengeluh ketika ke mana pun juga dia menyerang, dia selalu gagal karena yang diserang itu pasti berhasil mengelak atau menangkis. Padahal dia sudah menyerang selama dua belas jurus, tinggal delapan jurus lagi!

Dia termangu-mangu sejenak dan Sui Cin mengejek. "Hik-hik, kakek lucu, bersiap-siaplah menyebut subo kepadaku. Sudah lewat dua belas jurus, tinggal delapan jurus lagi, jangan mengurangi hitungan!"

"He-heh-heh, siapa hendak mengurangi hitungan? Masih ada delapan jurus, cukup untuk mengalahkan kalian!" Tanpa menanti jawaban lagi, tiba-tiba saja kakek itu mengeluarkan suara melengking nyaring.

Dua orang muda itu terkejut karena suara melengking itu mengandung khikang yang amat kuat, yang masuk melalui telinga lantas dengan tajam menusuk jantung. Cepat mereka memasang kuda-kuda sambil mengerahkan sinkang melindungi tubuh bagian dalam dari serangan suara penuh khikang ini. Akan tetapi tiba-tiba saja tubuh kakek itu melesat dan lenyap, kini yang tampak hanyalah bayangan berkelebatan mengitari mereka, makin lama semakin cepat sehingga tidak lagi nampak jelas bayangannya, menjadi kabur!

Inilah berbahaya, pikir mereka. Tanpa dapat mengikuti gerak-gerik kakek itu yang ternyata mempergunakan ginkang yang sukar dipercaya apa bila tidak melihat sendiri, begitu cepat seperti terbang, bahkan seperti menghilang saja, tentu mereka tidak akan percaya kalau ada ginkang sehebat itu. Maka mereka pun bersikap waspada, tak berani berkedip karena sekali berkedip cukuplah bagi kakek itu untuk memasukkan serangannya dengan tepat.

Benar saja! Dua kali kakek itu menerjang sambil berputar, akan tetapi karena dua orang muda itu sudah bersiap-siap dengan kuda-kuda yang sangat kuat, mereka berdua mampu menangkis. Kakek itu agaknya merasa penasaran, lantas menyerang lagi sampai empat jurus, akan tetapi semua serangannya gagal.

"Hi-hik, tinggal dua jurus lagi dan engkau menyebutku subo!" Sui Cin tak dapat menahan kegembiraan hatinya mengejek.

Tiba-tiba bayangan yang berputaran itu mengeluarkan uap putih lalu terciumlah bau arak wangi. Kiranya sambil berputaran semakin cepat tadi kakek itu sudah menyerang dengan menggunakan semburan arak yang agaknya diminumnya sambil berlari berputar-putar itu.

Sui Cin dan Hui Song terkejut bukan kepalang. Sambaran arak itu mengenai kulit mereka laksana jarum-jarum halus saja, dan yang membuat mereka repot adalah semburan yang mengarah muka mereka! Tentu saja mereka gelagapan dan melindungi muka, akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba saja mereka merasakan lutut mereka lemas kehilangan tenaga dan betapa pun mereka bertahan, tetap saja kaki mereka tertekuk sehingga keduanya roboh berlutut!

"Hoa-ha-ha-ha, tepat dua puluh jurus dan kalian mengaku kalah. Akan tetapi tidak perlu berlutut, jangan sungkan-sungkan, aku tidak bisa menerima penghormatan berlebihan ini, ha-ha-ha!"

Sui Cin dan Hui Song saling berpandangan. Lutut mereka tadi tertotok, akan tetapi tidak parah, hanya cukup membuat mereka terpaksa berlutut saja. Kini pengaruh totokan sudah lenyap lagi dan mereka bangkit berdiri. Tahulah mereka bahwa kakek itu selain amat lihai juga tidak berniat buruk, hanya ingin menang tanpa berniat mencelakakan mereka. Akan tetapi Sui Cin cemberut.

"Kakek buruk, engkau telah menang dengan menggunakan akal busuk!"

"Ha-ha-ha, anak manis, di dalam pertandingan memang diperlukan akal dan siasat. Siapa kalah kuat harus menggunakan akal. Nah, kalian telah kalah, maka sekarang kalian harus membantuku. Waktunya hanya tinggal setengah hari ini. Sore hari nanti pengantin wanita she Coa ini akan dijemput kemudian dibawa ke Sin-yang, yaitu ke rumah calon suaminya, si bangsawan keparat itu. Siapakah nama kalian?"

"Saya bernama Cia Hui Song, locian-pwe."

"Namaku Ceng Sui Cin."

"Hemm, she Cia mengingatkan aku kepada Cin-ling-pai dan she Ceng...? Apakah bocah nakal yang dijuluki Pendekar Sadis itu juga she Ceng?"

Karena maklum bahwa kakek ini tentu seorang tokoh sakti yang selama ini tidak pernah muncul di dunia kang-ouw sehingga dia tidak pernah mendengar tentang kakek katai ini, Hui Song merasa tak perlu menyembunyikan diri. "Pendekar Sadis adalah ayah kandung nona ini dan ketua Cin-ling-pai adalah ayah saya, locianpwe."

Kakek itu membelalakkan matanya, mengelus-elus jenggot panjangnya dan tertawa-tawa. "Hua-ha-ha, pantas, pantas...! Sekarang aku tidak penasaran lagi mengapa hanya untuk mengalahkan dua orang bocah ingusan macam kalian saja, aku tadi harus mengerahkan seluruh tenaga sampai dua puluh jurus. Kalau bukan kalian, ha-ha-ha, baru muncul saja aku sudah jatuh nama. Nah, Sui Cin dan Hui Song, kini kalian dengar baik-baik rencanaku untuk menolong gadis itu dan menghajar pembesar mata keranjang itu. Sui Cin, sekarang engkau harus mengantar gadis Coa itu pulang ke rumahnya karena di situ telah disiapkan segala sesuatu untuk mengantar pengantin wanita ke Sin-yang sore nanti."

"Ehh, bagaimana ini? Bukankah gadis itu akan dipaksa kawin sedangkan engkau hendak mencegah terjadinya hal itu, kek?" tanya Sui Cin yang tetap menyebut ‘kakek’ dan tidak bersikap hormat seperti Hui Song.

"Ingat, kalian sudah kalah dan berjanji akan mentaati semua perintakku untuk menolong pengantin."

"Baiklah, kek, aku tidak membantah, hanya bertanya," kata Sui Cin bersungut-sungut.

Kakek itu tertawa, agaknya gembira dapat menggoda Sui Cin. "Engkau mengantar gadis Coa itu kembali karena engkau tadi telah berjanji untuk mencarinya. Katakan saja kepada keluarga itu bahwa gadisnya diculik penjahat dan engkau berhasil merampasnya kembali, dan katakan pula bahwa engkau akan mengawal sendiri pengantin ini menuju ke Sin-yang agar jangan diganggu penjahat di tengah perjalanan. Mengerti?"

"Wah, kakek buruk, agaknya engkau sengaja ingin mengejekku, ya? Sudah jelas bahwa aku gagal merampas kembali pengantin yang kau culik!" Sui Cin mengomel.

"Dan apakah tugas saya, locianpwe?" tanya Hui Song yang terbawa oleh percakapan itu. "Sudahlah, Cin-moi, kita mentaati saja karena sudah kalah. Lagi pula kita pun tahu bahwa locianpwe ini bukan orang jahat. Andai kata demikian, tentu kita tidak akan menurut begitu saja."

"Heh-heh, putera Cin-ling-pai ini sukar mempercaya orang, dan selalu menyangka buruk. Untukmu aku sudah mempunyai tugas yang sangat tepat. Engkau akan kudandani, ingat, engkau harus taat kepadaku. Heiii, orang muda, kau bawa ke sini pakaian pengantin itu!" kata kakek itu kepada Lo Seng.

Lo Seng mengambil sebuah bungkusan di sudut goa kemudian menyerahkannya kepada si kakek yang segera membuka bungkusan dan keluarlah seperangkat pakaian pengantin berikut penghias rambut dan sebagainya, milik nona pengantin Coa yang disangka lenyap dicuri orang itu! Melihat ini, Hui Song terbelalak dan mukanya berubah merah.

"Locianpwe, apa maksudmu?"

Akan tetapi kakek itu telah menghampirinya, membentang pakaian pengantin wanita yang lebar dan berwarna indah dengan hiasan huruf-huruf yang berbunyi ‘Bahagia’ itu. "Engkau harus mentaati perintahku, menjalankan siasatku. Lekas pakai pakaian ini. Engkau harus menyamar sebagai pengantin wanita, menggantikannya kelak untuk diboyong ke rumah pejabat itu."

"Wah...! Ini... ini..." Hui Song tergagap dan bingung.

"Hik-hik! Twako, kita sudah kalah dan berjanji mentaatinya. Engkau juga harus mentaati perintahnya." Sui Cin tertawa-tawa gembira dan geli ketika kakek itu memaksa Hui Song memakai jubah pengantin di luar pakaiannya sendiri.

Karena pakaian pengantin itu memang besar kedodoran dan tubuhnya pun sedang saja, maka pakaian itu dapat juga menutupi tubuhnya dan tentu saja kelihatan lucu. Apa lagi sesudah kakek itu memaksanya memakai rangkaian bunga di kepalanya. Sui Cin melihat ini sambil tertawa-tawa geli, sampai memegangi perutnya saking gelinya. Apa lagi melihat betapa Hui Song menjadi bengong dan melongo saja dengan muka yang ketololan, dia pun menjadi semakin geli.

"Wajahmu cukup tampan, akan tetapi kurang halus untuk menjadi wajah pengantin wanita yang halus putih," kakek itu berkata, lantas mengeluarkan bedak dan menggunakan jari tangannya mengoleskan bedak di muka Hui Song yang terpaksa berdiri tak bergerak dan mendorong muka ke depan, hanya pasrah tanpa berani membantah. Sui Cin yang berdiri di belakangnya tertawa gembira.

"Wah, sulit amat. Membungkuklah, Hui Song, wah, alismu terlalu tebal, jadi harus dicukur bersih dan dibikin kecil," kakek itu tertawa-tawa.

"Wah, jangan, locianpwe...!" Hui Song berkata khawatir.

Melihat ini, Sui Cin cepat turun tangan. "Kakek nakal, biarkan aku saja yang mendandani Song-twako, ditanggung akan kelihatan lebih cantik menarik dari pada kalau engkau yang merusak mukanya."

Sui Cin memang ahli dalam melakukan penyamaran dan sesudah dia turun tangan, maka wajah Hui Song memang kelihatan cantik, walau pun tentu saja alisnya masih terlalu tebal dan juga tubuhnya sangat kaku. Kakek itu lalu menjelaskan siasatnya. Gadis Coa akan diantar pulang oleh Sui Cin, dan selanjutnya mereka akan bergerak menukar pengantin lantas memberi hajaran kepada pembesar itu. Sementara itu pemuda Lo Seng diharuskan menanti di dalam goa.

Maka berangkatlah mereka. Sui Cin mengantar gadis Coa pulang ke dusunnya. Coa Lan Kim tidak merasa takut ketika dibawa pulang ke dusun oleh Sui Cin, sebab gadis itu telah diberi tahu bahwa para orang gagah itu akan menolongnya dan akan melepaskannya dari cengkeraman pembesar di Sin-yang agar dia dapat hidup bersama Lo Seng.

Lurah Coa dan orang-orangnya menyambut kedatangan mereka dengan gembira sekali. Dengan gayanya yang sangat menarik, Sui Cin menceritakan bahwa Lan Kim diculik oleh gerombolan penjahat yang berilmu tinggi, akan tetapi dia berhasil merampasnya kembali.

"Lanjutkanlah upacara pernikahan, dan aku sendiri yang akan mengawal enci Lan Kim ke kota Sin-yang agar dapat membasmi para penjahat yang hendak mencoba menghadang di tengah perjalanan."

Tentu saja keluarga Coa menjadi gembira sekali dan Sui Cin disambut dan dijamu seperti seorang tamu agung yang sangat dihormati. Kepada lurah Coa, Sui Cin memberi tahukan bahwa sekarang kawannya masih menyelidik gerombolan itu, membayangi mereka ketika mereka melarikan diri.

Lan Kim lalu didandani dan kini gadis itu tidak menolak lagi, tidak rewel sehingga ibunya merasa lega dan senang. Walau pun pakaian pengantin yang dikenakan nona pengantin itu dibuat tergesa-gesa dan tidak seindah pakaian pengantin yang hilang, namun Lam Kin nampak cantik dan anggun dalam pakaian pengantin.

Setelah saatnya tiba maka muncullah jemputan dari Sin-yang, utusan pengantin pria yang mengirim joli dan barang-barang hadiah. Pengantin pria sendiri tidak muncul. Bukankah dia seorang pejabat tinggi di Sin-yang dan Lan Kim hanya menjadi isteri ke lima?

Kedudukannya terlampau tinggi untuk merendahkan diri turun ke dusun menjemput sendiri calon isteri kelimanya. Para utusannya saja sudah cukup membuat keluarga Coa merasa terhormat sekali, apa lagi para utusan itu datang membawa hadiah-hadiah yang luar biasa banyaknya bagi keluarga lurah itu.

Setelah lurah Coa menceritakan kepada para utusan bahwa di dusun itu baru saja terjadi gangguan dari gerombolan penjahat, dan bahwa Sui Cin adalah seorang pendekar wanita yang akan mengawal pengantin, para pesuruh dari kota itu pun merasa gembira. Siapa tidak akan gembira melakukan perjalanan dikawal seorang pendekar wanita secantik itu?

Berangkatlah rombongan pengantin, diiringi suara musik dan petasan, juga suara tangisan ibu pengantin dan para keluarga wanita lainnya. Tangis para keluarga wanita mengantar pengantin ini sudah merupakan semacam kebiasaan dan tradisi yang tidak mungkin dapat ditinggalkan lagi. Sukar lagi membedakan mana tangis yang sungguh-sungguh dan mana tangis buatan, seperti juga ratap tangis yang terdengar pada peristiwa perkabungan.

Memang menyedihkan kalau kita benar-benar mau membuka mata dengan waspada dan melihat betapa kepalsuan-kepalsuan semakin tebal menghiasi kehidupan kita. Tawa kita, tangis kita, kebanyakan merupakan perbuatan yang palsu dan pura-pura untuk menutupi atau menyembunyikan keadaan yang sesungguhnya dari batin kita.

Dengan dalih demi sopan santun, demi tata susila dan lain sebagainya, banyak hati yang sedang berduka memaksa mulutnya supaya tersenyum atau sebaliknya, batin yang tidak sedang prihatin memaksa mata supaya menangis. Bahkan setiap hari kita selalu seperti terpaksa untuk berpura-pura, berpalsu-palsu, bersikap atau pun berbuat yang berlawanan dengan batin!

Tidak adanya persamaan atau keserasian antara batin dan ucapan, antara batin, ucapan dan perbuatan, merupakan konflik-konflik yang setiap hari terjadi dalam diri kita. Semua itu bahkan seperti sudah menjadi suatu keharusan, suatu kebiasaan bagi kita.

Dapat kita selidiki pada diri sendiri. Kalau kita berhadapan dengan orang lain, kalau kita bersikap manis, tersenyum, menangis, benarkah semuanya itu sesuai dengan suara hati kita? Ataukah hanya pura-pura saja, sekedar memenuhi syarat umum supaya dianggap sopan, beradab dan sebagainya? Mengapa harus begini? Tidak dapatkah kita bersikap wajar dan selalu ada keserasian antara batin, ucapan dan perbuatan?

********************

Rombongan pengantin itu hanya melewati sebuah hutan kecil karena jarak antara dusun Lok-cun dan kota Sin-yang juga tidak begitu jauh, hanya perjalanan kurang lebih dua jam saja. Sebab itu para pengawal atau utusan Su-tikoan (jaksa Su) sama sekali tidak merasa khawatir, bahkan agak geli melihat betapa keluarga pengantin wanita sudah menyediakan seorang pendekar wanita untuk mengawal pengantin.

Sudah bertahun-tahun tidak pernah terjadi pencegatan oleh perampok atau penjahat lain di hutan itu. Tadi pun ketika mereka berangkat ke dusun membawa barang-barang hadiah pengantin yang berharga, sama sekali tak terjadi gangguan. Lagi pula, siapa yang berani mengganggu rombongan pengantin Su-tikoan? Mencari mati saja namanya!

Ketika mereka tiba di dalam hutan, sore telah larut dan senja mendatang, membuat cuaca di dalam hutan itu menjadi remang-remang karena cahaya matahari yang sudah condong ke barat itu terhalang daun pohon-pohon. Ketika mereka sedang enak berjalan, tiba-tiba saja dari samping kiri terdengar teriakan yang amat nyaring, teriakan yang menggetarkan jantung dan menusuk telinga mereka.

"Berhenti dan serahkan nona pengantin!"

Mendengar ini, wajah para utusan dan para pengawal yang jumlahnya belasan orang itu mendadak menjadi pucat dan mata mereka terbelalak. Akan tetapi dengan memberanikan hati mereka mencabut senjata masing-masing, dan mereka memandang kepada Sui Cin yang menurut keluarga mempelai sudah ditunjuk sebagai pengawal serta pelindung nona pengantin.

Sui Cin juga memperlihatkan sikap gugup. "Kalian semua bertahan di sini, biar aku yang menyelamatkan pengantin. Aku tunggu kalian di luar hutan ini!" Berkata demikian, Sui Cin lalu mengambil joli atau gerobak dorong itu lantas mendorongnya sendiri sambil berlari keluar dari hutan.

Tiba-tiba muncullah seorang yang melihat pendeknya tubuh tentu seorang remaja, akan tetapi dia memakai kedok lebar yang menutupi seluruh wajahnya, hanya memperlihatkan sepasang mata yang bersinar mencorong dari balik lubang-lubang kedok kayu itu. Sambil mementangkan kedua lengannya, orang yang bertubuh kecil pendek seperti anak-anak ini berkata,

"Hayo tinggalkan semua senjata dan pakaian kalian di sini kalau ingin selamat!"

Jika tadi semua orang itu merasa takut, kini mereka malah tersenyum mengejek. Kiranya yang menghadang mereka hanyalah seorang anak kecil saja, yang ingin menakut-nakuti mereka dengan kedok setan, seolah-olah mereka semua dianggap sebagai serombongan anak-anak penakut saja.

"Heh, bocah setan, apa kau sudah bosan hidup?" bentak kepala rombongan. "Hayo buka kedokmu dan cepat berlutut minta ampun karena telah mengejutkan hati kami!"

"Heh-heh-heh, rombongan tikus. Lekas lakukan perintahku tadi atau kalian harus berlutut delapan kali dan menyebut aku kong-couw!"

Tentu saja rombongan itu menjadi marah. Seorang di antara mereka melangkah maju dan mengayun tangan menampar ke arah muka anak bertopeng itu dengan keras. Orang ini tinggi besar dan tangannya pun lebar, ketika menampar seperti kipas saja mendatangkan angin.

"Plakkk!”

Sungguh aneh sekali. Anak pendek berkedok itu hanya mengangkat tangan menangkis, tepat mengenai lengan si tinggi besar, akan tetapi seketika si tinggi besar mengaduh dan berjingkrak sambil memegang lengan kanannya yang terasa panas dan sakit seperti tadi bertemu dengan tongkat baja saja. Melihat ini, semua orang menjadi marah dan dengan senjata di tangan mereka serentak menerjang.

"Heh-heh, kalian harus berlutut semua, berlutut semua!" Orang berkedok itu tertawa-tawa dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat lenyap, disusul teriakan-teriakan lantas belasan orang itu roboh satu demi satu, roboh berlutut karena tiba-tiba saja mereka merasa kaki mereka seperti lumpuh.

Akan tetapi ketika mereka semua memandang, orang berkedok yang bertubuh pendek itu telah lenyap dari situ, entah ke mana dan agaknya orang itu tidak melakukan sesuatu lagi, buktinya barang-barang mereka masih utuh, juga mereka itu semua tidak terluka dan kini dapat berdiri lagi.

Tentu saja pengalaman aneh ini membuat mereka merasa amat ketakutan. Belum pernah selama hidup mereka bertemu dengan orang yang sehebat itu kepandaiannya, dan tanpa menanti perintah lagi mereka segera berlomba melarikan diri keluar hutan untuk menyusul larinya Sui Cin yang telah pergi lebih dahulu menyelamatkan nona pengantin itu.

Ketika mereka tiba di luar hutan, rombongan itu melihat Sui Cin berdiri menanti bersama joli dorong yang diselamatkannya tadi. Maka giranglah hati mereka karena ternyata gadis pendekar itu dalam keadaan selamat dan terutama sekali pengantin wanita ternyata tidak terganggu.

Sui Cin pura-pura heran melihat mereka berlari-lari dengan sikap ketakutan itu dan cepat menyongsong mereka dengan pertanyaan heran, "Ehh, mengapa kalian berlari-lari seperti orang ketakutan?"

Dengan suara mengandung ketegangan dan napas masih terengah-engah, mereka lantas menceritakan betapa mereka telah diserang oleh seorang penjahat bertubuh kecil seperti kanak-kanak yang memakai kedok. Tentu saja diam-diam Sui Cin merasa geli karena dia dapat menduga siapa adanya anak kecil berkedok yang lihai itu.

"Kalau begitu, mari kita cepat pergi dari sini menyelamatkan pengantin sebelum setan itu melakukan pengejaran," katanya.

Rombongan itu tentu saja setuju dengan ucapan ini dan dengan tergesa-gesa mereka lalu mendorong joli pengantin yang merupakan gerobak kecil beroda itu. Saking tegang hati mereka, para pendorong gerobak itu tak menyadari bahwa joli atau gerobak yang mereka dorong itu jauh lebih berat dari pada tadi.

Ketika rombongan yang menjemput nona pengantin sampai di gedung Su-tikoan, ternyata rumah itu tidak dirias dan penyambutan tidak semeriah upacara yang diadakan di rumah nona pengantin. Dan memang hal itu tidak mengherankan.

Menikahi seorang wanita untuk menjadi isteri ke lima, apa lagi kalau wanita itu hanyalah seorang gadis desa, tidak dianggap sebagai peristiwa yang patut dirayakan secara besar-besaran oleh pejabat tinggi itu. Bahkan dianggapnya sebagai suatu kesenian atau hiburan pribadi saja, maka di sana tidak terdapat pesta penyambutan, tidak banyak tamu kecuali beberapa belas orang anak buah pembesar itu.

Apa lagi ketika para penjemput itu dengan bermacam-macam gaya menceritakan tentang pencegatan orang aneh yang sangat lihai, Su-tikoan sendiri yang merasa khawatir lantas tergesa-gesa memerintahkan agar pengantin perempuan langsung saja bersama jolinya itu dibawa ke dalam gedung dan langsung ke dalam kamar pengantin!

Hanya empat orang yang memanggul joli dorong itu, dengan dikawal oleh Sui Cin. Ketika Su-tikoan mendengar bahwa gadis cantik jelita yang turut bersama rombongan itu adalah seorang pengawal yang melindungi nona pengantin, tentu saja dia mengijinkan pengawal cantik ini ikut masuk pula.

Hati pembesar bertubuh gendut yang mata keranjang itu segera tertarik kepada Sui Cin. Dia sudah pernah melihat Lan Kim dan kini dia melihat betapa wanita gagah itu jauh lebih cantik dari pada gadis desa yang telah diangkatnya menjadi isteri kelima, maka tentu saja matanya sudah melirak-lirik dan mulutnya tersenyum-senyum ceriwis. Apa lagi ketika dia melihat betapa wanita perkasa yang cantik jelita itu bersikap manis dan selalu tersenyum kepadanya.

Pembesar yang usianya telah enam puluh tahun ini memang terkenal mata keranjang dan agaknya dia beranggapan bahwa semua wanita besi dibeli dengan harta dan kedudukan. Baginya, wanita tentu akan tunduk dan mau kalau dipameri harta dan kedudukan tinggi, walau pun dia sudah tua dan wajahnya buruk, dengan muka kasar menghitam dan perut gendut seperti perut babi.

Maka, ketika joli tiba di depan kamar yang sudah dipilihnya sebagai kamar pengantin bagi calon isterinya yang ke lima, dia menyuruh empat orang pemikul joli itu pergi. Joli lantas diturunkan dan kini didorong oleh Sui Cin sendiri memasuki kamar atas isyarat pembesar itu. Lima orang pelayan wanita yang muda-muda dan cantik dengan suara ketawa ditahan yang genit turut pula memasuki kamar dan mereka ini segera mempersiapkan hidangan yang lezat dan mewah di atas meja dalam kamar.

"Nona tentu lelah dan baru saja mengalami peristiwa yang menakutkan. Silakan duduk, nona," kata pembesar itu.

Tanpa banyak pura-pura lagi Sui Cin lalu duduk di atas kursi, menghadapi meja makan sampai semua hidangan diatur di atas meja dan pembesar itu menyuruh semua pelayan keluar dari dalam kamar.

"Tinggalkan kami dan jangan ganggu atau masuk kalau tidak dipanggil," kata pembesar gendut itu.

Sambil cekikikan para pelayan itu kemudian berlarian keluar. Tentu saja pembesar yang mata keranjang itu tidak pernah membiarkan wanita begitu saja dan semua pelayan yang muda-muda dan cantik-cantik itu di samping bertugas sebagai pelayan, kadang kala juga memperoleh giliran menemaninya di dalam kamar. Karena itulah maka mereka bersikap genit dan berani.

Sesudah semua pelayan keluar dan daun pintu kamar itu ditutup dari luar, pembesar itu cengar-cengir mendekati Sui Cin. Kali ini dia memperhatikan wajah wanita gagah ini dan jantungnya berdebar tegang. Inilah wanita cantik, pikirnya. Belum pernah dia memperoleh seorang wanita secantik ini, apa lagi kalau wanita ini mempunyai kegagahan, seorang ahli silat pandai yang selain menjadi miliknya sebagai kekasih juga dapat bertugas menjadi seorang pengawal pribadi yang setia dan menyenangkan!

"Nona, siapakah namamu?"

Sui Cin mengerutkan alisnya, akan tetapi tidak memperlihatkan rasa jijik dan marahnya. Pembesar ini adalah seorang laki-laki tua yang buruk rupa juga buruk watak. Mana ada seorang pengantin pria yang sedang dipertemukan dengan calon isterinya dan belum juga melihat calon isteri yang masih dibiarkan di dalam joli, sudah main mata dan berusaha merayu seorang wanita lain yang baru dijumpainya? Benar-benar seorang buaya darat, seorang hidung belang yang mata keranjang! Akan tetapi dia pura-pura tersenyum manis dan melirik manja.

"Taijin, nona pengantin sedang menanti dalam joli."

"Ehh...? Ohh... ya, aku lupa..."

"Biarlah saya keluar dari kamar dan pulang, taijin."

"Ehh, jargan dulu... jangan dulu, kita makan minum dulu, bersama nona pengantin. Aihh, aku sampai lupa kepada nona pengantin. Nona pengantin, keluarlah dan mari kita makan minum!" katanya sambil tersenyum menyeringai dan membuka joli yang tertutup itu. Akan tetapi ketika nona pengantin itu keluar dari joli, Su-tikoan terbelalak, matanya yang besar itu melotot seperti meloncat keluar dari tempatnya.

"Ini... ini... bukan gadis anak lurah itu...! Ehh, siapa engaku, berani mati mempermainkan aku?" Dia membentak dan melotot ke arah Hui Song yang berdiri di hadapannya dalam pakaian pengantin wanita!

Hui Song yang memang berwatak jenaka dan suka menggoda orang itu kini berlenggak-lenggok genit menirukan lagak seorang perempuan, tentu saja dengan gayanya yang lucu dan kaku, menggigit bibir dan mengerling tajam. "Hayaa... mengapa pengantin pria calon suamiku marah-marah kepadaku pada malam pertama ini? Aihhh…, kakanda, aku adalah mempelai wanita, calon isterimu yang tercinta. Mari peluklah aku, pondonglah aku ke atas pembaringan itu... aihhh..."

Pembesar itu langsung menggigil karena jijik mendengar suara nona pengantin itu besar laksana suara pria dan kini nona pengantin itu melangkah menghampirinya dengan sikap merayu.

"Hiiihh...!" Su-tikoan terbelalak ngeri sambil mundur-mundur ketakutan bercampur marah. "Pergi engkau! Keparat, berani engkau mempermainkan aku? Pengawal...!"

Akan tetapi suara tikoan itu langsung terhenti karena tiba-tiba jari tangan Hui Song sudah menotoknya, tepat pada jalan darah di leher sehingga membuat tikoan itu tak mampu lagi mengeluarkan suara. Kemudian, sekali menggerakkan kakinya, Hui Song menendang dan tubuh yang gendut itu terlempar ke atas pembaringan.

Dengan muka ketakutan dan mata terbelalak pembesar itu memandang ke arah Sui Cin, mengharapkan bantuan pengawal ini. Akan tetapi wajahnya menjadi semakin pucat ketika dia melihat gadis itu tersenyum mengejek. Maka tahulah dia sekarang bahwa orang yang menyamar sebagai mempelai puteri ini tentunya sekutu gadis itu! Dan jantungnya hampir berhenti saking takutnya ketika dia melihat Hui Song menanggalkan pakaian pengantin, menghapus penyamarannya dan menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah.

"Tua bangka mata keranjang, dengar baik-baik. Sekali engkau berteriak, maka aku akan membunuhmu!" Setelah berkata demikian, Hui Song menepuk leher Su-tikoan hingga dia mampu lagi bicara.

"Ampunkan aku... kalian ini mau apa? Mengapa menyamar pengantin dan... dan di mana pengantinku...?"

"Keparat! Engkau hendak menggunakan harta dan kedudukanmu untuk memaksa gadis orang menjadi isteri ke lima. Nona Coa adalah milik kami dan akan pergi bersama kami. Kami melarikannya dari tangan orang tuanya yang mata duitan, supaya tidak terjatuh ke tangan serigala tua semacam engkau. Nah, cepat keluarkan uang saratus tail emas untuk bekal pengantin dan berjanji selamanya tidak akan melakukan paksaan mempergunakan harta dan kekuasaan!"

Tubuh pembesar itu menggigil. "Baik... baik...," katanya.

Akan tetapi dari pandangan matanya yang berkilat itu tahulah Hui Song bahwa orang ini merasa penasaran dan marah, hanya tunduk karena terpaksa saja. Sui Cin juga dapat menduga hal ini, maka gadis itu pun segera menghardik.

"Engkau adalah seorang pejabat tinggi, seorang pembesar yang seharusnya merupakan pelindung rakyat dan menjadi teladan bagi rakyat. Akan tetapi engkau lupa bahwa engkau pun seorang manusia biasa, seorang di antara rakyat. Setelah memegang jabatan tinggi, engkau lupa diri dan gila kekuasaan, mabok kemuliaan, sehingga engkau sering berbuat sewenang-wenang. Mengawini seorang gadis di luar kehendak gadis itu, mempergunakan harta dan kekuasaan untuk memaksa orang tua gadis itu. Orang seperti engkau ini layak dilenyapkan dari muka bumi. Akan tetapi kami masih mengampuni asal engkau insyaf dan mulai sekarang menjadi seorang pemimpin rakyat sejati."

Pembesar itu menundukkan mukanya, seperti seorang anak kecil yang dimarahi ibunya.

"Hayo cepat keluarkan seratus tail emas!" bentak Hui Song.

"Baik... baik...!" Kakek gendut itu cepat menghampiri sebuah lemari yang berada di sudut kamar. Di dekat lemari itu terdapat sebuah jendela yang tertutup. Tiba-tiba saja pembesar itu membuka daun jendela kemudian berteriak, "Pengawal...! Toloonggg...!"

"Keparat!" Hui Song berseru sambil tangannya menyambar kursi lalu dilontarkan ke arah pembesar yang hendak melarikan diri keluar dari jendela itu.

"Brukkk...!" Kursi itu menghantam muka si pembesar yang mengeluh dan roboh dengan muka berlumuran darah karena hidungnya telah remuk kena hantaman kursi itu.

"Cepat, ambil uangnya!" kata Hui Song.

Sui Cin menghampiri lemari itu dan mendobrak daun pintu lemari. Akan tetapi isinya tidak begitu banyak, hanya sepuluh tail emas dan beberapa belas potong perak. Sui Cin cepat mengambil emas dan perak itu, lantas membungkusnya dengan kain sutera yang banyak terdapat di dalam lemari.

Pada saat itu pula terdengar suara ribut-ribut di luar. Hui Song yang sedang berjaga-jaga di pintu tidak melihat adanya pengawal datang dan di luar seperti terdengar suara orang berkelahi.

"Cin-moi, cepat kita keluar!" teriaknya dan mereka pun berloncatan keluar setelah Sui Cin menyimpan uang rampasan itu.

Kiranya di ruangan dalam yang menuju ke kamar itu sudah terjadi perkelahian yang seru. Kakek katai itu sambil tertawa-tawa sedang dikepung dan dikeroyok oleh dua puluh lebih pengawal dan penjaga yang tadi mendengar teriakan majikan mereka. Walau pun para pengepung itu menggunakan segala macam senjata, namun kakek katai yang bertangan kosong itu menghadapi mereka sambil terkekeh-kekeh.

Enak saja dia mengelak dan menangkis semua senjata yang datang kepadanya bagaikan hujan. Beberapa buah senjata bahkan beradu dengan sepasang lengan yang pendek dan kecil dari kakek itu. Akan tetapi jelas bahwa kakek itu tidak mau melukai orang, apa lagi membunuh, hanya mempermainkan mereka seperti seekor kucing yang mempermainkan segerombolan tikus.

Melihat kakek itu bermain-main, Sui Cin lalu berseru. "Kakek, jangan main-main, mari kita pergi!"

"Heh-heh-heh, kalian telah selesai?" Kata kakek itu dan tiba-tiba saja para pengeroyoknya mengeluarkan seruan kaget ketika tiba-tiba saja kakek yang mereka keroyok itu lenyap seperti berubah menjadi asap dan menghilang.

Gegerlah gedung pembesar Su itu, apa lagi ketika para penjaga itu memeriksa ke dalam mereka menemukan Su-tikoan pingsan dalam kamarnya dengan hidung remuk sehingga dari hidung yang rusak itu mengalir darah yang melumuri seluruh mukanya. Melihat muka berlumuran darah itu, semua orang terkejut dan merasa ngeri, mengira bahwa pembesar itu tentu sudah terluka parah pada mukanya. Akan tetapi, sesudah muka itu dibersihkan, ternyata hanya hidungnya saja yang remuk.

Walau pun demikian, akan tetapi selamanya Su-tikoan akan menjadi orang cacat karena hidungnya hanya akan dapat sembuh dari lukanya, tapi tidak dapat pulih kembali, menjadi hidung yang melesak sehingga membuat mukanya buruk menakutkan. Dan pengalaman itu ternyata membuat Su-tikoan menjadi ketakutan dan bertobat. Dia hanya mengerahkan pasukannya untuk mencari penjahat-penjahat yang melarikan gadis Coa itu.

Juga lurah Coa berusaha mencari puterinya, namun sia-sia karena puterinya telah pergi jauh sekali, ke propinsi lain bersama laki-laki yang dicintanya, yaitu Lo Seng dan membina rumah tangga yang berbahagia, dengan modal uang emas dan perak yang diberikan oleh Sui Cin kepadanya, uang emas dan perak yang dirampas dari dalam lemari Su-tikoan.

Sesudah melarikan diri dari gedung Su-tikoan, Hui Song, Sui Cin serta kakek itu berlari kembali ke dalam hutan di mana kini telah menunggu Lo Seng dan Lan Kim. Seperti bisa kita duga, ketika kakek itu menggoda para pengawal di hutan dan Sui Cin menyelamatkan pengantin wanita, Lan Kim keluar dari dalam joli dan digantikan oleh Hui Song dan kini Lo Seng bersama Lan Kim menanti di dalam kuil tua. Mereka berdua langsung menjatuhkan diri dan berlutut di depan tiga orang penyelamat mereka itu, dan akhirnya mereka berdua dinasehatkan untuk pergi jauh ke propinsi lain dan diberi bekal uang yang dirampas dari Su-tikoan.

Setelah dua sejoli itu pergi, kakek itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, senang hatiku bahwa urusan ini berakhir dengan baik berkat pertolongan kalian berdua."

"Ahh, engkau terlampau merendahkan diri, kek. Untuk urusan sepele seperti ini saja, biar tanpa bantuan kami pun engkau tentu akan sanggup membereskannya sendiri." Sui Cin mencela.

"Heh-heh-heh, belum tentu! Mana aku mampu bergaya menjadi pengantin wanita seperti Hui Song ini? Ha-ha-ha, setidaknya aku dapat bertemu dan berkenalan dengan kalian dua orang muda yang hebat, keturunan ketua Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis."

"Locianpwe telah mengenal kami berdua, akan tetapi kami belum mengetahui siapa nama locianpwe yang mulia."

"Benar, engkau harus memperkenalkan namamu kepada kami, kek."

"Namaku? Ha-ha, apa sih artinya nama? Hanya sebutan kosong saja. Nama sama sekali tidak menunjukkan isinya, dan kalau mau bicara tentang isi, sekarang perutku kosong dan lapar bukan main!"

"Jangan khawatir, kek. Aku akan memasakkan makanan untukmu, namun engkau harus memperkenalkan nama," kata Sui Cin sambil mengeluarkan bungkusan-bungkusan kecil dari buntalan pakaiannya. Bungkusan-bungkusan itu terisi bumbu-bumbu masakan.

"Kau bisa masak?"

Mendengar pertanyaan yang nadanya tidak percaya dan memandang rendah ini, Sui Cin bangkit berdiri kemudian bertolak pinggang. "Jangan memandang rendah orang sebelum engkau mengujinya, kek. Kalau tidak pandai masak, perlu apa aku membual? Ibuku telah mengajarkan masakan-masakan yang luar biasa, masakan model selatan yang pasti akan membuat lidahmu menari-nari!"

"Ibumu? Aihh…, bukankah isteri Pendekar Sadis itu datuk yang pernah berjuluk Lam-sin? Ha-ha-ha, jangan-jangan hanya namanya saja yang besar akan tetapi isinya melompong. Jangan-jangan kalau engkau masak, hasilnya hanya masakan gosong dan pahit!" Kakek itu tertawa bergelak. "Ha-ha, bocah sombong, tentang masak-memasak, kiranya engkau harus belajar dulu dari Wu-yi Lo-jin (Kakek dari Gunung Wu-yi)!"

"Hemm, dan siapa itu Kakek Gunung Wu-yi?"

"Siapa lagi kalau bukan ini orangnya!" Kakek itu menunjuk hidungnya sendiri dengan jari telunjuknya. "Aku bertapa selama puluhan tahun di puncak Gunung Wu-yi, dan sekarang aku menjadi seorang kakek, maka apa lagi namaku kalau bukan Wu-yi Lo-jin? Ha-ha-ha!"

"Huhh, ternyata engkau seorang pertapa, paling-paling bisanya makan rumput dan daun muda, mana bisa memasak? Mari kita bertaruh. Kalau masakanku kalah olehmu, biar aku mengangkatmu sebagai guru memasak. Akan tetapi kalau masakanku lebih enak, engkau harus memberi hadiah kepadaku."

"Ha-ha-ha-ha!" Kakek itu mengelus jenggot yang panjangnya sampai ke perut itu, nampak gembira sekali. "Bagus, coba kau masak untukku, hendak kulihat apakah benar engkau pandai memasak ataukah hanya membual saja. Jika benar-benar masakanmu lebih enak dari pada masakanku, engkau boleh minta hadiah, sebut apa saja, tentu akan kuberikan padamu!"

"Benarkah itu? Apa saja yang kuminta akan kau berikan? Song-twako ini menjadi saksi hidup!"

"Tentu saja, selamanya aku tidak pernah bohong."

"Ahh, batal saja, aku tidak jadi masak." kata Sui Cin. "Orang seperti engkau ini banyak akalnya, tentu aku akan kalah karena engkau menggunakan akal."

"Akal begaimana?" Kakek yang mengaku bernama Wu-yi Lo-jin itu mendesak.

"Bagaimana pun enaknya, bisa saja engkau bilang tidak enak, tentu saja aku akan kalah!"

"Ahh, tidak mungkin. Perutku lapar begini, bila mana ada masakan enak, mana tega aku mengatakan tidak enak? Kalau aku terus makan, berarti enak, kalau tidak enak tentu tidak akan kumakan, padahal perutku lapar sekali."

"Baik, aku akan mencari bahan masakan!" Berkata demikian, Sui Cin meloncat dan sekali berkelebat, gadis itu telah lenyap keluar goa.

Kakek itu mengangguk-angguk dan kini, setelah Sui Cin pergi, sikapnya yang tadi jenaka itu berubah serius. "Hui Song, ginkang gadis itu hebat bukan main. Kabarnya ibunya yang mempunyai ginkang istimewa dan ternyata memang benar. Dan dara itu... sungguh hebat. Aku pasti akan jatuh cinta kalau aku sebaya denganmu."

Wajah Hui Song berubah merah sekali. Tadi dia termenung dan diam-diam menganggap betapa bodohnya Sui Cin. Bertaruh melawan kakek ini apa gunanya? Andai kata menang, apa yang dapat diharapkan dari kakek yang hanya memiliki satu-satunya pakaian mewah yang menempel di badannya berikut guci arak besar itu.....?
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar