Asmara Berdarah Jilid 23

Hui Song! Dia masih menanti di Ning-po. Sui Cin cepat bangkit berdiri dan meninggalkan taman itu, menuju ke pantai dan tidak lama kemudian dia pun sudah melayarkan perahu kecil itu menuju ke seberang, ke daratan besar.

Hari telah senja ketika dia meninggalkan pulau tanpa setahu ayah ibunya dan pada waktu perahunya mendarat di pantai, cuaca sudah mulai gelap. Akan tetapi ketika dia meloncat ke daratan dan menarik perahunya, tiba-tiba saja muncul sesosok bayangan hitam yang menghampirinya.

"Cin-moi...! Ahh, betapa girang hatiku melihatmu!"

"Song-twako, engkau di sini?" tanya Sui Cin ketika mendengar suara pemuda itu.

"Aku tidak pernah meninggalkan pantai ini sejak kita saling berpisah..."

"Ehh? Engkau... tidak kembali ke penginapan?"

Pemuda itu membantunya menarik perahu ke darat dan mengikatkan tali pada tonggak. Wajahnya berseri dan nampaknya gembira bukan main dapat melihat kembali gadis itu. "Tidak, Cin-moi. Aku... aku tidak berani meninggalkan pantai ini, takut kalau-kalau tidak melihat engkau kembali."

Sui Cin menahan tawanya. "Ihhh, engkau ini aneh sekali, twako. Seperti anak kecil. Masa aku tidak kembali? Bukankah aku sudah berjanji akan memberi kabar kepadamu?"

"Lalu bagaimana, Cin-moi? Bolehkah aku menyeberang? Apakah engkau datang ini untuk mengabarkan bahwa aku boleh menghadap orang tuamu?"

Wajah yang cantik manis itu berubah muram dan dia menggelengkan kepala.

"Ahh, orang tuamu... menolak kunjunganku?"

Sui Cin merasa rikuh dan serba salah. Ia adalah seorang gadis yang semenjak kecil biasa bersikap terbuka dan jujur. Akan tetapi kini dia merasa serba salah untuk mengaku bahwa ayah ibunya tidak suka kepada Cin-ling-pai, dan bukan hanya keberatan menerima putera ketua Cin-ling-pai datang berkunjung, bahkan tidak suka jika dia bergaul dengan pemuda itu.

"Maafkan, twako. Pada saat ini ayah dan ibu tidak suka menerima tamu, jadi... lebih baik lain kali saja kalau engkau ingin berkenalan dengan mereka."

"Ahh, sayang sekali..." Pemuda itu kelihatan kecewa bukan main.

Sebenarnya dia ingin sekali berkenalan dengan orang tua gadis ini, Pendekar Sadis yang namanya sudah dia dengar sejak kecil itu. Bukan hanya sekedar berkenalan biasa, akan tetapi dia sudah yakin akan cintanya terhadap Sui Cin dan pada suatu hari dia tentu akan datang bersama orang tuanya untuk meminang gadis itu. Maka alangkah baiknya kalau sebelumnya dia sudah berkenalan dengan orang tua Sui Cin.

Melihat betapa Hui Song nampak kecewa bukan main, Sui Cin merasa kasihan dan cepat dia berkata, "Bagaimana pun juga, aku sendiri tidak akan kembali ke sana, twako."

Tentu saja perkataan ini mengherankan hati Hui Song. "Apa? Apa maksudmu? Engkau tidak akan pulang?"

Sui Cin menggeleng. "Tidak, aku akan pergi merantau lagi."

Hui Song mengerutkan alisnya. "Ehh, mengapa begitu, Cin-moi? Bukankah engkau baru saja pulang dari perantauan? Baru dua hari pulang, masa hendak pergi lagi? Tentu orang tuamu akan melarangmu."

"Aku tidak perlu minta ijin mereka, aku memang hendak pergi tanpa pamit!" kata Sui Cin dengan nada suara tak senang.

Hui Song memandang khawatir. "Cin-moi... maaf, bukan aku hendak mencampuri urusan keluargamu, akan tetapi apakah yang telah terjadi? Engkau nampaknya tidak senang dan marah. Jika hanya karena aku tidak boleh menyeberang, hal itu tak ada artinya, Cin-moi, jadi tidak perlu membuatmu marah, apa lagi kepada orang tuamu sendiri."

"Bukan hanya karena itu, twako. Yang membuat hatiku kesal dan mendorongku pergi lagi meninggalkan rumah adalah karena aku... mau dijodohkan dengan putera gubernur!"

Hati Hui Song berdebar sesudah terasa nyeri seperti tertusuk. Dia memaksa senyum dan menjura. "Wah, selamat, Cin-moi."

"Selamat hidungmu itu!" Sui Cin membentak jengkel. "Engkau malah hendak menambah kejengkelan hatiku? Aku tidak sudi! Aku tidak sudi menjadi isteri bangsawan ceriwis itu!"

Hui Song merasa betapa ada kelegaan dan kegembiraan luar biasa menyelinap di hatinya mendengar kata-kata setengah teriakan dari gadis itu. Akan tetapi dia pura-pura terkejut dan bersikap serius. "Ahhh, kalau begitu maafkan aku, Cin-moi. Akan tetapi... mengapa engkau begitu marah dan menolak? Bukankah putera seorang gubernur itu merupakan calon suami yang amat baik, terpelajar, kaya raya dan berkedudukan tinggi? Hemm, aku tahu, Cin-moi. Aku tahu mengapa engkau menolaknya."

Sui Cin memang mudah marah, namun mudah bergembira. Orang seperti dia tidak dapat marah terlalu lama. Sifanya terlampau lincah gembira untuk dapat bertahan marah terlalu lama. Kini dia memandang pemuda itu dengan wajah berseri dan mulut tersenyum.

"Hemm, engkau seperti peramal saja, twako. Coba ingin kudengar tebakanmu sekarang, kalau memang engkau tahu mengapa aku menolaknya."

"Apa lagi kalau bukan karena engkau sudah mempunyai pilihan hati sendiri? Engkau tentu sudah mempunyai seorang calon dalam hatimu."

Wajah yang manis itu menjadi merah, akan tetapi bibirnya berjebi mengejek. "Ihh, engkau hanya ngawur saja! Tidak, aku tidak memiliki calon seperti yang kau terka itu. Sedikit pun aku belum memikirkan tentang itu. Cih, memalukan saja! Aku menolak karena memang aku tidak suka kepada pemuda bangsawan yang ceriwis itu, dan juga karena aku sama sekali belum mau terikat menjadi isteri orang. Aku masih ingin bebas seperti burung di udara, merdeka beterbangan ke mana pun yang kukehendaki."

Sui Cin tidak menyadari betapa Hui Song telah memancing untuk mengetahui isi hatinya dan tentu saja pemuda ini merasa girang sekali karena sekarang dia tahu bahwa gadis ini masih kosong hatinya dan dia mengharapkan untuk mengisinya.

"Kalau engkau tidak mau pulang, lalu engkau hendak pergi ke mana, Cin-moi?"

"Ke mana saja asal tidak pulang, asal tidak mendengarkan bujukan orang tuaku supaya menerima tikus itu sebagai calon suamiku!"

"Jika begitu, marilah engkau ikut bersamaku, Cin-moi. Aku hendak pulang ke Cin-ling-pai dan mari kuperkenalkan engkau kepada orang tuaku."

Sui Cin mengangguk. "Aku tidak mempunyai tujuan tertentu, boleh saja kalau pergi ke sana. Sudah lama aku mendengar tentang Cin-ling-pai dan aku pun ingin berkunjung ke Pegunungan Cin-ling-san yang katanya amat indah. Akan tetapi jangan mengambil jalan darat. Lebih baik mempergunakan perahu menyusuri pantai ke utara lalu mendarat di kota Hang-couw, baru kita melanjutkan perjalanan melalui daratan."

"Kenapa begitu?"

"Engkau tidak tahu kelihaian orang tuaku. Sesudah mereka tahu aku pergi, tentu mereka akan melakukan pengejaran dan kalau aku mengambil jalan darat, jangan harap dapat lolos dari kejaran mereka. Akan tetapi kalau dari sini kita mengambil jalan laut, tentu tidak meninggalkan jejak dan betapa pun lihainya ayah, tentu dia tidak akan mampu mengikuti kepergianku."

Dengan kagum Hui Song menyetujui dan tak lama kemudian mereka pun sudah berlayar lagi menempuh gelombang menuju ke utara. Sementara itu, malam sudah tiba sehingga pelayaran mereka hanya diterangi bintang-bintang di langit.

"Song-twako, sekali ini aku benar-benar menjadi seorang kelana miskin. Aku pergi tanpa pamit, tanpa membawa bekal pakaian, apa lagi uang. Perantauanku yang dahulu direstui orang tuaku, karena itu aku membawa bekal banyak emas. Akan tetapi sekarang... aku benar-benar miskin."

"Kita bukan orang-orang hartawan yang sedang pelesir, Cin-moi. Perlu apa bekal uang banyak? Asal engkau tidak menyebar dan membagi-bagikan uang kepada para jembel di pasar, aku masih mempunyai bekal cukup kalau hanya untuk biaya di perjalanan saja."

"Kalau hanya untuk biaya perjalanan, apa sih sukarnya? Kalau memang kita memerlukan, mudah saja mengambil dari peti-peti uang orang lain!"

"Wah, engkau hendak mencuri? Dari para hartawan?"

Sui Cin menggelengkan kepala. "Ayah dan ibu akan marah kalau aku mencuri milik siapa pun. Akan tetapi kalau aku mengambilnya dari tempat judi misalnya, mereka tentu tidak akan marah." Keduanya tersenyum dan perahu meluncur dengan laju.

Indah bukan main pemandangan pada malam hari itu. Bintang-bintang bagai bercermin di permukaan air laut sehingga kadang-kadang orang akan terlupa dan menyangka bahwa benda-benda bercahaya yang jutaan banyaknya itu bukan berada di atas kepala, namun di bawah, jauh tak berdasar…..

********************

Dusun Lok-cun di luar kota Sin-yang di tepi Sungai Huai pada pagi hari itu nampak ramai dan gembira. Para penghuni dusun yang tak berapa besar itu nampak sedang merayakan sesuatu dan sejak pagi tadi nampak sibuk sekali. Memang, pada hari itu mereka semua merayakan pernikahan anak perempuan dari kepala dusun mereka.

Seperti di dusun-dusun lainnya pada masa itu, seorang kepala dusun merupakan seorang raja kecil yang amat dihormati oleh para penghuni dusun yang menjadi rakyatnya. Maka, ketika kepala dusun Coa dari dusun Lok-cun itu merayakan pernikahan puterinya, seluruh penghuni dusun itu sibuk merayakannya.

Lurah Coa hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu anak perempuan yang kini sedang dirayakan hari pernikahannya. Seluruh keluarga Coa nampak gembira ria. Mereka merasa terhormat sekali karena puteri lurah itu akan menikah dengan jaksa di kota Sin-yang!

Walau pun jaksa itu usianya sudah hampir enam puluh tahun dan gadis itu menjadi isteri ke lima, akan tetapi semua orang tahu bahwa jaksa itu memiliki kekuasaan yang sangat besar di kota Sin-yang, bahkan juga mempunyai pengaruh dan kawan-kawan di kota raja. Maka, kalau gadis itu menjadi isterinya, biar pun isteri kelima, bukan hanya gadis itu akan terjamin hidupnya dan menjadi nyonya jaksa yang terhormat, akan tetapi kepala dusun itu juga akan naik derajatnya dan mungkin akan mudah naik pangkat!

Akan tetapi, kalau semua orang bergembira, sebaliknya Coa Lan Kim, gadis puteri kepala dusun itu sendiri, sejak beberapa hari yang lalu hanya menangis saja di dalam kamarnya. Dara ini setiap saat membayangkan seorang pemuda sederhana yang selama ini menjadi kekasihnya, seorang pemuda petani yang dahulu menjadi pembantu ayahnya, mengurus sawah ladang ayahnya.

Pemuda ini bahkan sudah disetujui oleh keluarga lurah Coa sendiri untuk menjadi calon menantu karena memang pemuda itu cukup tampan, rajin bekerja serta berbadan sehat. Akan tetapi, begitu datang lamaran dari jaksa itu, si pemuda langsung dilupakan, bahkan didepak keluar oleh lurah Coa.

Bagaimana hati Lan Kim tidak akan berduka apa bila dia memikirkan nasibnya dan nasib kekasihnya yang bernama Lo Seng itu? Kini dia dipaksa untuk menjadi isteri orang lain, padahal semenjak dahulu dia telah membayangkan kehidupan yang berbahagia bersama pemuda itu.

Sekarang dia harus menurut untuk dibawa pergi dari rumahnya, tidak akan dapat bertemu kembali dengan Lo Seng. Yang membuat dia amat berduka adalah karena dia mendengar bahwa selain dipecat, juga Lo Seng dipukuli karena hendak menentang pernikahannya dengan jaksa itu. Dan kini dia tidak tahu lagi apa yang terjadi dengan kekasihnya itu.

Pagi hari itu, selagi semua penghuni dusun sibuk membantu keluarga lurah Coa, Lan Kim menangis dalam kamarnya, tak mau mendengarkan bujukan-bujukan dan hiburan-hiburan ibunya serta beberapa orang wanita yang bertugas menemaninya.

"Sudahlah, Lan Kim. Kenapa engkau menangis terus? Nasibmu baik sekali, engkau akan menjadi nyonya jaksa yang dihormati orang banyak, bergelimang kemewahan, mengapa menangis? Nanti matamu akan bengkak-bengkak dan amat memalukan kalau pengantin matanya bengkak-bengkak. Pula, sebentar lagi engkau harus mulai dirias dengan pakaian pengantin dan nanti menjelang sore engkau akan dijemput lalu dibawa ke kota Sin-yang," demikian antara lain ibunya membujuk.

"Ibu, aku tidak suka... aku tidak mau..."

"Ahhhh... engkau memang keras kepala, Lan Kim! Apakah engkau ingin ayahmu marah? Aku tahu, engkau menolak hanya karena di sana ada Lo Seng, bukan?"

"Ibu... bagaimana dengan dia? Ibu, kasihan dia..."

"Hemm, sikapmu ini sama sekali tak akan menolongnya, bahkan akan mencelakakan Lo Seng karena engkau tetap bersikap keras seperti ini. Kau tahu, kalau ayahmu mengetahui bahwa engkau menolak karena Lo Seng, banyak kemungkinan Lo Seng akan dijebloskan ke dalam penjara atau dibunuh!"

“Ibu...!"

"Karena itu, engkau menurut saja. Dan kalau engkau sudah menjadi isteri jaksa, aku akan membujuk ayahmu supaya Lo Seng dipekerjakan lagi. Bukankah dengan demikian berarti engkau menolong dan menyelamatkannya?" demikian sang ibu membujuk puterinya yang kini hanya terisak perlahan. "Ambil pakaian pengantin itu, akan kucobakan dahulu, kalau ada yang kurang pas masih ada waktu untuk dibetulkan," sambung nyonya Coa.

Akan tetapi terdengar jeritan kaget, dan tukang rias itu kini datang membawa sebuah peti dengan mata terbelalak dan muka pucat. "Nyonya... celaka... pakaiannya hilang...!"

Wanita itu terkejut bukan main dan bangkit sambil membelalakkan matanya. "Apa? Hilang bagaimana maksudmu?"

"Hilang, nyonya. Peti tempat pakaian pengantin ini kosong!"

Keadaan menjadi geger. Pada waktu lurah Coa diberi tahu, dia marah-marah dan segera mengerahkan semua orangnya untuk mencari siapa pencuri pakaian pengantin itu. Tetapi isterinya lebih cerdik. Dia cepat-cepat memanggil tukang jahit untuk secara kilat membuat pakaian pengantin baru, walau pun pakaian yang dibuat tergesa-gesa ini tentu saja tidak akan seindah pakaian pengantin yang hilang.

Ketika keadaan menjadi kacau dan tidak seorang pun memperhatikan pengantin wanita, mendadak terjadi keributan lain yang lebih menggegerkan lagi. Tiba-tiba saja, seperti juga hilangnya pakaian pengantin tadi, kini Coa Lan Kim juga lenyap begitu saja dari dalam kamarnya!

Tak ada seorang pun yang melihat bagaimana lenyapnya, juga tak ada yang mendengar sesuatu. Tentu saja kini keadaan menjadi benar-benar kalut. Lurah Coa semakin marah dan seluruh pasukan keamanan segera dikerahkan, bahkan semua penduduk menjadi ikut gelisah dan ikut mencari-cari ke mana perginya pengantin wanita.

Kegembiraan yang lantas berganti menjadi kegelisahan dan kekacauan itu amat menarik perhatian Sui Cin dan Hui Song yang pada pagi hari itu kebetulan sekali tiba di tempat itu, memasuki dusun Lok-cun di dalam perjalanan mereka menuju ke barat, ke Pegunungan Cin-ling-san.

Tentu saja hati mereka merasa tertarik melihat betapa penduduk nampak begitu gelisah ketakutan, orang-orang mencari-cari sesuatu ke sana-sini sedangkan rumah kepala dusun terhias indah, akan tetapi kini tidak ada lagi orang yang melanjutkan pekerjaan menghias rumah yang belum selesai sepenuhnya itu. Juga adanya para penjaga berkeliaran dengan sikap cemas itu menarik sekali. Rasa heran mereka bertambah ketika tiba-tiba saja ada belasan orang penjaga keamanan mengepung mereka dengan senjata tajam di tangan.

"Hemm, kalian ini mau apakah mengepung kami?" Sui Cin bertanya dengan alis berkerut.

"Kalian adalah orang-orang asing yang baru memasuki dusun kami. Menyerahlah. Karena kami yakin bahwa kalian inilah yang kami cari-cari. Siapa lagi yang mengacau dusun kami kecuali dua orang asing?" bentak seorang yang bermata lebar dan bersikap bengis.

"Sabar dulu, sobat," kata Hui Song, mencoba untuk tersenyum ramah. "Apa yang terjadi dan kenapa kalian menuduh kami secara membabi-buta? Kami tidak tahu apa-apa. Kami baru saja tiba di dusun ini dan melihat kekacauan ini, malah kami bertanya-tanya kenapa kalian begini gelisah dan apa yang terjadi...?"

"Cukup! Ikut kami menghadap kepala dusun, tidak perlu membela diri di sini!" bentak si muka bengis dan dia sudah maju untuk menangkap lengan Sui Cin. Akan tetapi gadis itu menarik tangannya dan sekali kakinya bergerak, ujung sepatunya mencium lutut si mata lebar sehingga orang ini mengaduh dan jatuh berlutut.

"Nah, bagus! Minta ampun dahulu baru kita bicara," Sui Cin mengejek.

Melihat betapa seorang kawan mereka roboh oleh gadis itu, kecurigaan mereka semakin kuat bahwa tentu dua orang muda mudi inilah yang sudah mengacaukan dusun mereka. Maka serentak mereka maju menerjang dengan senjata mereka.

Hui Song dapat menduga bahwa tentu terjadi sesuatu dan orang-orang dusun ini salah duga. Tentu mereka akan semakin curiga lagi jika sikap Sui Cin dilanjutkan. Maka dia pun cepat menggunakan kepandaiannya, menyambut serangan itu dengan merampas semua golok dan pedang.

Gerakannya memang cepat bukan main sebab dia menggunakan jurus Kong-jiu-jip-pek-to (Tangan Kosong Menyerbu Ratusan Golok) sehingga para pengeroyok itu tidak tahu apa yang terjadi karena tiba-tiba saja senjata mereka terlepas dan terampas. Kiranya pemuda itu sudah merampas semua senjata mereka dan kini golok dan pedang itu telah ditumpuk di depan kaki si pemuda tampan.

"Tenanglah saudara-saudara. Kami bukan orang jahat dan beri tahukanlah kami jika ada urusan. Siapa tahu kami dapat membantu kalian," kata Hui Song.

Pada saat itu lurah Coa sudah tiba di situ, dan lurah ini pun tadi melihat betapa dengan mudahnya pemuda tampan itu merampas senjata orang-orangnya. Dia pun bisa menduga bahwa pemuda ini tentu seorang pendekar, maka dia pun cepat maju menjura.

"Harap taihiap sudi memaafkan orang-orang kami yang kurang ajar. Dusun kami sedang dilanda kekacauan karena munculnya iblis yang mencuri calon pengantin wanita..."

"Ehh? Ada pengantin dicuri?" Sui Cin berseru kaget dan tertarik sekali.

"Pengantin itu adalah anak saya sendiri. Dia baru saja lenyap tanpa bekas sesudah lebih dahulu pakaian pengantin yang lenyap."

Lurah Coa kemudian menceritakan peristiwa yang baru saja terjadi. Hui Song dan Sui Cin mendengarkan dengan penuh perhatian.

"Kami akan mencoba untuk mencari penculiknya," kata Hui Song. "Mudah-mudahan kami dapat menemukan kembali puterimu itu."

Setelah mendengarkan penuturan itu, Hui Song dan Sui Cin mempergunakan kepandaian mereka berloncatan pergi meninggalkan dusun itu. Mereka mengambil keputusan hendak mencari penculik gadis itu dan tentu saja mereka tidak berharap akan dapat menemukan penculik itu di dalam dusun. Mereka mencari keluar dusun, mengelilingi dusun itu hingga akhirnya mereka mendaki sebuah bukit tidak jauh dari dusun itu karena bukit itu penuh dengan hutan, tempat yang baik sekali bagi para penjahat untuk menyembunyikan diri.

Dengan cepat sekali mereka mendaki bukit dan tibalah mereka di deerah berbatu di luar hutan, dan dari jauh mereka sudah melihat seorang kakek duduk bersila di depan sebuah goa yang besar. Tentu saja mereka menjadi curiga dan tertarik sekali karena keadaan kakek itu saja sudah amat mengherankan hati.

Seorang kakek tua renta yang kepalanya gundul tak ditumbuhi rambut lagi, alisnya amat lebat dan panjang, demikian pula jenggot dan kumisnya yang semuanya sudah berwarna putih. Sukar ditaksir berapa usia kakek ini, mungkin sudah seratus tahun.

Akan tetapi tubuh kakek itu pendek dan kecil, seorang kakek katai yang pakaiannya juga aneh. Kakek katai berjenggot panjang sampai ke perut ini memakai jubah yang mewah sekali! Jubah yang sepatutnya dipakai seorang pembesar atau seorang hartawan! Dan di punggungnya tergantung guci arak yang besar, sebesar kepalanya yang gundul, diikatkan dengan tali ke pundaknya. Sepatunya dari kulit, juga bagus dan masih baru.

Ketika Hui Song dan Sui Cin tiba di depan kakek itu, si kakek katai yang tadinya seperti orang bersemedhi itu kini membuka kedua matanya dan begitu sepasang mata itu dibuka, mau tidak mau Sui Cin menahan ketawanya. Dari sepasang matanya ini saja sudah dapat diketahui bahwa kakek ini adalah seorang aneh yang berwatak riang gembira, terbukti dari sepasang mata yang bersinar-sinar dan wajah yang berseri-seri lucu itu.

"Heh-heh-heh-heh!" Kakek katai itu mendahului mereka, terkekeh geli. "Apakah kalian ini sepasang pendekar muda yang hendak mencari penculik pengantin wanita? Heh-heh!"

Tentu saja Hui Song dan Sui Cin terkejut, merasa ditodong ketika kakek itu mendadak saja bertanya seperti itu. Hui Song hanya dapat mengangguk ada pun Sui Cin melangkah maju dan dialah yang menjawab,

"Benar, kek. Engkau ini kakek pendek lucu, bagaimana bisa tahu bahwa kami mencari penculik pengantin?"

Sejenak kakek itu memandang wajah Sui Cin, matanya semakin bersinar dan wajahnya semakin berseri "Heh-heh, nona manis, apa sukarnya? Kalian berlari-larian mendaki bukit dengan mempergunakan ilmu berlari cepat seperti dua orang pendekar, berkeliaran ke sini mau apa lagi kalau bukan mencari penculik pengantin? Heh-heh-heh."

Kini Hui Song sudah dapat menduga bahwa kakek ini tentulah memiliki kepandaian tinggi, maka dia bersikap hormat dan menjura. "Maaf jika kami menggangumu, locianpwe. Kami berdua bukanlah pendekar, akan tetapi benar dugaan locianpwe tadi bahwa kami berdua sedang mencari pengantin wanita yang lenyap diculik orang. Dapatkah kiranya locianpwe membantu kami..."

"Membantu apa?" kakek itu memotong.

"Hi-hi-hik, engkau ini aneh, kek. Tentu saja membantu kami memberi tahu apakah engkau tahu di mana adanya pengantin wanita yang diculik itu," kata Sui Cin, tidak mau bersikap terlalu hormat dan menyebut locianpwe kepada kakek lucu ini.

Anehnya, ketika menghadapi sikap Sui Cin yang bebas dan seenaknya itu, si kakek katai kelihatan lebih senang dan dia pun tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Nona manis, engkau sungguh menyenangkan hati. Tentu saja aku tahu di mana adanya pengantin wanita itu karena akulah orangnya yang telah menculik dia!"

"Uhhh...! Heiiiittt...!" Hui Song demikian kaget mendengar pengakuan langsung seperti itu sehingga dia pun telah meloncat ke belakang sambil memasang kuda-kuda karena ketika bicara tadi si kakek botak mengakhiri pengakuannya sambil menggerakkan kedua tangan ke depan yang disangkanya sebagai gerakan hendak menyerang.

Melihat ini, kakek itu memandang kepada Hui Song dengan mata terbelalak, lalu dia pun tertawa bergelak sambil menepuk-nepuk perut. "Hua-ha-ha, orang muda, apakah engkau hendak menari monyet? Ha-ha-ha!"

Wajah Hui Song menjadi merah karena malu. Dia sendiri adalah seorang pemuda jenaka dan periang, juga suka menggoda orang, akan tetapi sekali ini dia bertemu batunya dan sebaliknya malah digoda dan menjadi bahan ejekan orang.

Akan tetapi Sui Cin yang sejak semula sudah merasa suka dan menganggap kakek itu lucu, segera mencela. "Wah, siapa yang percaya omonganmu, kek? Engkau tentu hanya membual saja. Mana bisa orang tua renta lemah sepertimu ini mampu melarikan seorang gadis pengantin? Dan pula, untuk apa bagimu? Engkau membual dan aku tidak percaya kentut itu!"

Kakek itu bangkit berdiri dan begitu melihat betapa kakek itu tingginya hanya sampai ke dadanya, Sui Cin merasa semakin geli. "Wah, kau ini anak kecil beruban ataukah kakek bertubuh kecil?" Ia menggoda.

"Kentut! Siapa yang kentut? Yang bertelur itulah yang berkotek, dan tentu engkau yang kentut, bukan aku, karena mana mungkin aku menjadi ayam biang? Aku jantan, sedang engkau betina, maka engkaulah yang menjadi ayam biang dan engkau pula yang kentut berbau busuk!"

Mendengar omongan yang tidak karuan dan ugal-ugalan itu, Sui Cin lantas terkekeh dan terpingkal-pingkal, membuat kakek itu semakin penasaran lagi.

"Ehh, nona, berani engkau mentertawakan aku dan mengira aku membual, ya? Nah, lihat sendiri, itulah mempelai wanita yang sudah kuculik dari rumah lurah Coa. Hei, anak-anak, keluarlah dan perlihatkan diri kalian kepada nona tukang kentut dan penari monyet ini!"

Sui Cin dan Hui Song memandang ke dalam goa dan mereka pun terbelalak heran ketika melihat munculnya seorang dara manis yang bergandeng tangan dengan seorang pemuda yang bajunya robek-robek dan kulit tubuhnya juga menunjukkan bekas-bekas cambukan.

Sui Cin yang tadinya menyangka kakek itu membual, kini memandang penuh perhatian. Inikah mempelai wanita yang dikabarkan hilang diculik orang itu? Dan kakek ini adalah penculiknya? Lalu siapa pemuda yang kelihatan jujur, seperti kebanyakan pemuda dusun atau petani itu?

"Eh, enci, benarkah engkau puteri lurah Coa yang akan menjadi pergantin lalu diculik oleh kakek ini? Dan siapa temanmu itu?" Sui Cin bertanya.

Gadis itu memang benar Coa Lan Kim adanya, dan pemuda itu adalah kekasihnya yang bernama Lo Seng. Mendengar pertanyaan Sui Cin, dia lantas mengangguk.

"Aku adalah Coa Lan Kim, puteri lurah Coa yang akan menjadi pengantin, dan memang aku diculik oleh locianpwe ini dan dia ini adalah Lo Seng, calon suamiku," katanya dengan tabah dan sikap menentang. Memang kini dia akan menentang siapa saja yang hendak menghalangi niatnya hidup bersama Lo Seng yang dicintainya.

"Suamimu? Calon suamimu? Bagaimana pula ini? Kalau engkau mau dikawinkan dengan pemuda ini, kenapa engkau diculik ke sini dan bersama calon suamimu..." Sui Cin berkata bingung.

"Aku bukan akan dikawinkan dengan dia!" kata Lan Kim. "Aku hendak dikawinkan menjadi isteri ke lima seorang pembesar di Sin-yang, tetapi aku tidak mau. Dia ini... pilihan hatiku dan aku ingin hidup bersama dia..."

"Ahhh, jadi engkau penculiknya!" Hui Song menudingkan jari telunjuknya kepada Lo Seng, "Engkau menculik pengantin untuk kau kawini sendiri? Sungguh berani dan..."

"Hushh, penari monyet ini benar-benar menjengkelkan!" sekarang kakek katai turut bicara. "Dengarkan terlebih dahulu penuturan pengantin wanita dan jangan cerewet dulu seperti perempuan!"

"Wah, kek, jangan begitu! Tidak semua perempuan cerewet!" Sui Cin menegur, agak tak senang karena Hui Song dipermainkan oleh kakek itu.

"Aku tidak peduli kalau perempuan cerewet, memang sudah pembawaannya. Akan tetapi kalau laki-laki cerewet, aku tidak suka."

Lan Kim mengerti bahwa dua orang muda yang kelihatannya pantas itu tentu bukan orang jahat dan agaknya terjadi kesalah pahaman mengenai penculikannya, maka dia pun maju melangkah lagi sambil menggandeng tangan kekasihnya. "Harap ji-wi suka mendengarkan penuturanku agar jangan salah sangka. Semenjak dulu antara aku dan Lo Seng ini terjalin hubungan akrab dan kami mengharapkan kelak menjadi suami isteri. Apa lagi orang tuaku juga sudah setuju untuk mengambil Lo Seng sebagai mantu, setelah Lo Seng membantu mengurus sawah ladang ayah selama beberapa tahun. Namun pada suatu hari datanglah pinangan pembesar di kota Sin-yang terhadap diriku. Ayah tidak berani menolak, bahkan merasa beruntung menerimanya. Dan Lo Seng yang menentang lantas dipecat, bahkan dicambuki. Nah, dalam keadaan seperti itu, selagi aku putus asa, muncullah locianpwe ini membawa aku lari dari rumah dan mempertemukan aku dengan kekasihku di goa ini."

Kini terdengar Lo Seng bercerita. "Aku sudah hampir putus asa dan mengambil keputusan hendak membunuh diri saja dari pada melihat kekasihku menikah dengan orang lain dan aku sendiri kehilangan pekerjaan dan dimusuhi. Tapi muncul locianpwe ini menyelamatkan aku dan sesudah aku bercerita tentang keadaanku, locianpwe ini lalu membawaku ke sini, menyuruh aku menunggu di dalam goa ini dan tidak lama kemudian dia sudah kembali membawa Lan Kim. Kini kami berdua sepakat untuk hidup bersama atau mati berdua. Harap ji-wi dapat mengerti keadaan kami dan tidak memaksa kami untuk kembali."

Hui Song dan Sui Cin saling pandang dan hati mereka merasa terharu. Ternyata kakek katai itu sama sekali bukan orang jahat, melainkan seorang penolong budiman.

"Ahhh, ternyata engkau benar-benar seorang yang baik, kakek tua," kata Sui Cin gembira dan Hui Song segera menjura.

"Harap locianpwe maafkan kalau tadi kami telah menyangka buruk."

"Heh-heh-heh, orang-orang muda baru mempunyai kepandaian sedikit saja sudah takabur dan ingin berlagak seperti pendekar-pendekar jagoan. Orang-orang muda, andai kata aku benar-benar menculik gadis itu untukku sendiri, dengan niat busuk, habis apa yang akan kalian lakukan?"

"Tentu saja akan menentangnya!" kata Hui Song.

"Kau akan kugempur dan gadis itu kurampas untuk kukembalikan kepada orang tuanya, kek," sambung Sui Cin.

"Bagus, kalau begitu kalian majulah, hendak kulihat sampai di mana kelihaian kalian."

"Tapi locianpwe tidak berniat buruk dan tidak bersalah...!" Hui Song membantah.

"Hemm, andai kata aku penjahat, apakah engkau juga masih ragu-ragu. Nah, majulah dan anggap saja aku pencuilk gadis. Ingin kulihat sampai di mana kelihaian kalian. Atau, aku sebagai penjahat medahului kalian karena tak ingin diganggu!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja kakek itu melangkah maju dan begitu tangannya bergerak, tangan itu sudah menampar ke arah dada Hui Song.

"Eeiiitttt...!" Hui Song segera mengelak dengan mundur selangkah, akan tetapi tamparan yang luput itu sudah disambung dengan totokan ke arah pundak. Gerakan kakek itu cepat sekali sehingga mengejutkan hati Hui Song yang kini mempergunakan tangan menangkis totokan.

"Dukkk!"

Tubuh Hui Song terhuyung ke belakang. Pemuda ini terkejut bukan main karena tadi dia hanya mempergunakan sebagian sinkang-nya, khawatir akan melukai kakek tua renta itu, akan tetapi akibatnya, dia terhuyung-huyung dan lengannya tergetar hebat. Kiranya kakek ini memiliki sinkang yang hebat.

Akan tetapi, sambil terkekeh-kekeh kakek itu sudah menyerangnya lagi dan gerakannya cepat bukan main. Tubuh yang kecil itu berkelebat seperti terbang saja dan tahu-tahu dia sudah mencengkeram ke arah pundak Hui Song.

"Lihat seranganku!" Mendadak terdengar Sui Cin membentak dari samping dan dia sudah menggerakkan tangan kirinya menotok ke arah iga bawah ketiak dari lengan kakek yang mencengkeram itu.

Totokan ini amat hebat dan cepat datangnya, membuat kakek itu terpaksa membatalkan cengkeramannya pada pundak Hui Song, lalu menekuk lengan untuk menangkis sekalian menangkap pergelangan tangan gadis itu. Namun Sui Cin sudah menarik pulang tangan kirinya dan sekarang tangan kanannya menampar dan dari telapak tangan itu keluarlah uap putih tipis. Itulah Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih), sebuah ilmu pukulan yang amat ampuh, satu di antara ilmu-ilmu ampuh yang pernah diajarkan Pendekar Sadis kepada puteri tunggalnya itu.

"Ehh...!" Kakek itu terkejut sekali menyaksikan ilmu pukulan yang hebat ini dan begitu dia berkelebat, Sui Cin menjadi bengong karena orang yang baru diserangnya tiba-tiba saja lenyap dan tahu-tahu sudah berada di belakang tubuhnya, dan sambil terkekeh kakek itu kini menotok ke arah tengkuknya. Sui Cin merasa adanya angin menyambar ini, maka dia pun mempergunakan ginkang-nya lantas tubuhnya mencelat ke depan untuk mengelak.

Akan tetapi, pada saat itu pula Hui Song yang sudah tahu betapa lihainya kakek itu, telah menerjang ke depan tepat pada saat Sui Cin diserang sehingga andai kata Sui Cin tidak menggunakan kecepatan gerakannya untuk mengelak sekali pun, maka serangan kakek itu akan dapat digagalkannya karena kini Hui Song juga tak sungkan-sungkan lagi. Begitu menyerang, pemuda ini sudah mempergunakan jurus Thai-kek Sin-kun dan mengerahkan tenaga sakti Thian-te Sinkang!

Kembali kakek itu terkejut. Agaknya dia pun tidak menyangka bahwa dua orang muda itu benar-benar merupakan dua orang muda yang berilmu tinggi, dua orang pendekar muda tulen! Apa lagi ketika dia melihat betapa ilmu-ilmu yang dipergunakan dua orang muda ini bukanlah ilmu-ilmu silat biasa saja, melainkan ilmu-ilmu yang amat tinggi mutunya.

"Nantl dulu, tahan dulu...!" Tiba-tiba saja kakek itu berhenti dan tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke belakang menjauhi dua orang muda itu.

"Kek, kami belum kalah, kenapa berhenti?" Sui Cin yang sudah merasa gembira dengan pertandingan itu, mencela.

Bagaimana pun juga, di dalam hatinya gadis ini merasa benar bahwa kakek itu bukanlah orang jahat dan pertandingan itu hanya merupakan pengujian kepandaian saja. Ia bahkan merasa suka kepada kakek itu yang memiliki wajah jenaka dan selalu gembira.

"Heh-heh-heh, aku pun belum kalah. Aku hanya minta berhenti sebentar untuk berbicara. Agaknya kalian berdua memiliki sedikit ilmu silat, maka pantas saja kalian begitu takabur hendak berperan sebagai pendekar-pendekar. Sekarang begini. Kalian melawan aku, dan kalau dalam waktu dua puluh jurus aku masih belum mampu mengalahkan kalian, anggap saja aku kalah dan aku akan menyebut kalian suhu dan subo!"

Sui Cin tertawa geli. "Wah, kalau engkau menyebut subo kepadaku, berarti usiaku tentu sudah seratus tahun lebih. Tapi itu merupakan penghormatan besar. Baik, aku setuju!"

Diam-diam Hui Song merasa sangat terkejut. Begini takaburkah kakek ini? Dia tahu akan kemampuan diri sendiri dan dia pun sudah tahu betapa tinggi ilmu gadis puteri Pendekar Sadis itu. Menandingi mereka satu lawan satu saja jarang dapat ditemukan orangnya, dan kakek ini menantang mereka berdua maju mengeroyok dan bertaruh dapat mengalahkan mereka dalam waktu dua puluh jurus! Tentu saja hatinya merasa penasaran karena dia merasa dipandang rendah.

"Baik, locianpwe, kami setuju. Akan tetapi bagaimana kalau... kalau ternyata kami berdua yang kalah dalam dua puluh jurus itu?"

"Ha-ha-ha, orang muda yang berhati-hati, tentu engkau telah menduga buruk lagi padaku, ya? Dengarlah, kalau aku kalah, aku akan menyebut kalian suhu dan subo, namun kalau sebelum dua puluh jurus kalian yang kalah, maka kalian harus membantuku menolong pengantin ini."

"Menolong dengan cara bagaimana?" tanya Sui Cin.

"Kita harus menggagalkan pernikahan itu dan juga menghajar pembesar mata keranjang itu agar kapok. Akan tetapi, kalian harus menurut semua rencana siasat yang kuatur dan sama sekali tidak boleh menolak."

Tentu saja Sui Cin dan Hui Song menyetujui karena apa salahnya kalau hanya itu saja taruhannya? Tanpa bertaruh sekali pun, bukankah mereka berdua sekarang juga sedang berusaha menolong pengantin wanita yang tadinya mereka cari karena menyangka diculik penjahat?

"Baik, baik, kami berjanji," kata mereka dengan gembira.

"Nah, bersiaplah. Jurus pertama!" kakek itu berseru, lalu tubuhnya bergerak secara aneh, tahu-tahu dalam satu jurus saja dia sudah menendang ke arah lutut Hui Song dan tangan kirinya menyambar ke arah pundak Sui Cin. Gerakannya selain aneh dan kuat, juga cepat sekali, mendatangkan angin bersuitan sehingga mengejutkan dua orang muda yang cepat menghindarkan diri.

Hui Song adalah seorang pemuda cerdik. Dia maklum bahwa kakek ini memang lihainya bukan main, akan tetapi kalau dalam waktu dua puluh jurus saja, mana mungkin sanggup mengalahkan dia dan Sui Cin, apa lagi kalau mereka berdua mengerahkan seluruh daya hanya untuk melindungi diri? Jika mereka membagi perhatian untuk menyerang, mungkin mereka akan terlengah sehingga dapat dikalahkan.

"Cin-moi, pergunakanlah daya tahan Thai-kek Sin-kun!"

Gadis itu pun cerdik dan dia mengerti apa yang dimaksudkan Hui Song, maka seperti juga pemuda itu, dia segera mainkan Thai-kek Sin-kun, mencurahkan segala perhatian untuk mempertahankan atau melindungi dirinya. Keadaan kedua orang muda itu tiada ubahnya dua buah benteng baja yang sangat kuat dan tidak ada bagian lemah yang akan dapat ditembus.....!
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar