Akan tetapi tanpa adanya para tokoh Cap-sha-kui di situ, akhirnya para penjahat itu dapat dirobohkan kemudian ditangkap. Sui Cin, Hui Song dan Siang Wi masing-masing berhasil menangkap seorang penjahat anggota Hwa-i Kai-pang, bahkan Hui Song menotok roboh Bhe Hok, tokoh Hwa-i Kai-pang gendut yang bertongkat dan cukup lihai itu. Sui Cin juga menampar seorang anggota Hwa-i Kai-pang sehingga roboh pingsan sementara Siang Wi yang berpedang itu merobohkan seorang tokoh sesat dengan membacok pahanya hingga hampir buntung.
Jenderal Ciang memerintahkan supaya semua tawanan itu dikumpulkan untuk dibawa ke kota raja. Gerobak-gerobak tawanan dipersiapkan dan semua tawanan, kecuali Bhe Hok si gendut, dijebloskan ke dalam gerobak-gerobak kerangkeng dengan kaki tangan mereka dibelenggu.
Hui Song sudah menemui Jenderal Ciang dan minta supaya tawanan yang satu ini tidak dimasukkan gerobak kerangkeng, melainkan hendak dikawalnya sendiri ke kota raja. Usul ini timbul di dalam hati Hui Song ketika membayangkan kemungkinan tokoh sesat akan berusaha membebaskan para tawanan. Padahal, para tawanan itu merupakan saksi-saksi penting sekali, terutama Bhe Hok yang tahu tentang semua persekutuan busuk di istana, seperti yang pernah dia dengar bersama Sui Cin ketika di gedung Hwa-i Kai-pang sedang diadakan pertemuan dan percakapan di antara para tokohnya, termasuk Bhe Hok itu.
"Sumoi, kalau engkau lebih dahulu pergi ke Cin-ling-san, tolong beri tahukan ayah bahwa sesudah selesai urusan di kota raja, aku akan pergi berkunjung ke Pulau Teratai Merah, baru akan pulang ke Cin-ling-san." Hui Song berkata kepada sumoi-nya.
Wajah yang manis itu tampak semakin keruh dan matanya mengerling ke arah Sui Cin. Ia belum tahu siapa adanya dara yang bersama suheng-nya ini, akan tetapi dari pertempuran tadi ia melihat bahwa Sui Cin adalah seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian tinggi pula.
"Akan tetapi, aku..." Ia merasa sungkan dan malu untuk menyatakan keinginannya agar dapat selalu bersama suheng-nya.
"Engkau pergilah lebih dulu dan aku akan menyelesaikan tugas kami berdua yang sudah melibatkan diri kami sejak lama."
Kembali Siang Wi memandang kepada Sui Cin dengan alis berkerut. Hui Song sangat mengenal watak sumoi-nya maka dia kini tahu pula betapa hati sumoi-nya tidak senang karena dia melakukan perjalanan berdua dengan seorang gadis lain.
"Sumoi, engkau belum berkenalan. Nona ini adalah nona Ceng Sui Cin, yaitu puteri dari Pendekar Sadis Ceng Thian Sin."
Sepasang mata itu terbelalak, akan tetapi lalu menyipit kembali dan dua alisnya berkerut lebih dalam, wajahnya dibayangi kekhawatiran yang lebih besar. Kiranya dara cantik yang lihai sekali ini adalah puteri pendekar yang namanya sudah amat dikenalnya itu. Sungguh merupakan saingan yang sangat kuat! Akan tetapi, sebagai murid isteri ketua Cin-ling-pai dia pun cukup tahu akan peraturan, maka cepat dia menjura ke arah Sui Cin.
"Ternyata enci adalah puteri Ceng-locianpwe yang terkenal itu. Maaf kalau aku bersikap kurang hormat karena tadi belum mengenalmu."
Sui Cin tertawa geli dan mengibaskan tangannya. "Wah, sudahlah, di antara kita tak perlu banyak memakai sungkan-sungkan lagi."
Hui Song juga tersenyum, lega melihat sikap Siang Wi yang menghormat dan geli melihat sikap wajar Sui Cin. Dia pun lalu tertawa. "Sumoi, nona Ceng ini baru berusia enam belas tahun, jadi, sebaiknya kalau engkau menyebutnya adik, bukan enci."
Setelah berpamit dari sumoi-nya dan juga dari Jenderal Ciang yang sibuk sekali mengatur sendiri pasukannya untuk membawa para tawanan, Hui Song lalu mengajak Sui Cin pergi sambil menggiring si gendut Bhe Hok, pergi ke kota raja melalui jalan memotong. Sui Cin tetap menunggang kudanya, Bhe Hok berjalan di belakang kuda dan Hui Song berjalan di belakangnya.
Sui Cin dan Hui Song tidak merasa khawatir kalau-kalau tawanan itu akan lari atau akan memberontak karena Hui Song sudah monotok jalan darah pada kedua pundaknya yang membuat kedua lengan si gendut itu tak dapat digerakkan lagi, hanya tergantung lumpuh di kanan kiri tubuhnya…..
********************
Begitu mereka tiba di kota raja dengan selamat, Hui Song dan Sui Cin membawa tawanan itu ke markas Jenderal Ciang. Para perwira di markas itu telah mengenal Hui Song, maka mereka menyambut pemuda itu dan dengan gembira mendengarkan penuturan Hui Song tentang peristiwa pertempuran di rumah Ang-kauwsu.
Si gendut Bhe Hok dimasukkan ke dalam kamar tahanan dan dijaga dengan ketat. Sesuai dengan permintaan Hui Song, si gendut yang menjadi tawanan penting ini diperlakukan dengan baik. Hui Song sendiri mengancam bahwa kalau si gendut ini tidak mau membuat pengakuan di depan kaisar nanti apa bila dibutuhkan, maka dia akan disiksa.
"Terutama engkau akan dibiarkan kelaparan sampai satu bulan lamanya. Akan tetapi jika engkau mengaku, aku akan mintakan ampun untukmu, dan engkau akan mendapatkan makanan enak, bahkan mungkin juga dibebaskan."
Tak ada siksaan lain yang lebih menakutkan bagi si gendut Bhe Hok dari pada kelaparan! Baginya, makan enak sekenyangnya merupakan kenikmatan nomor satu di dunia ini, dan tanpa itu, hidup tidak ada artinya lagi. Maka, mendengar ancaman Hui Song itu, dia sudah mengangguk-angguk seperti burung kakak tua diberi hidangan.
Kemudian, tepat seperti yang sudah dikhawatirkan Hui Song, datang berita mengagetkan bahwa pada senja hari itu pasukan Jenderal Ciang yang membawa rombongan tawanan menuju ke kota raja, di tengah perjalanan sudah dihadang dan diserang oleh gerombolan penjahat, dan sebagian besar para tawanan dapat dibebaskan oleh para penyerang, ada pun yang tidak dapat dibebaskan, telah kedapatan mati di dalam gerobak masing-masing! Tidak ada sisa seorang pun!
Ternyata para penjahat yang lihai itu telah membunuh teman-teman sendiri yang tertawan, tentu saja dengan maksud agar tawanan-tawanan itu tidak sampai membocorkan rahasia. Rahasia besar bahwa Liu-thaikam yang berada di balik semua kejahatan ini!
Begitu memasuki benteng dengan wajah muram, Jenderal Ciang lalu menemui Hui Song dan hatinya menjadi sangat lega mendengar bahwa Bhe Hok, satu-satunya tawanan yang tersisa, kini sudah aman berada di dalam kamar tahanan.
"Harus dijaga keras agar dia jangan sampai mendengar bahwa tidak ada tawanan lainnya kecuali dia, bahwa dialah satu-satunya saksi di depan sri baginda kaisar," kata jenderal itu kepada Hui Song. "Bila dia mendengar tentang nasib para tawanan yang tidak sempat dibebaskan, tentu dia akan ketakutan dan tidak mau mengaku."
Hui Song lalu mendatangi Bhe Hok. Dengan sikap tenang dan wajar dia pun menanyakan bagaimana perlakuan para penjaga tahanan terhadap dirinya. "Engkau adalah tawananku, karena itu akulah yang akan bertanggung jawab atas dirimu. Tawanan-tawanan lain yang ditawan oleh pasukan dipisahkan, namun keadaan mereka tidaklah begitu menyenangkan dibandingkan dengan keadaanmu."
"Apakah... apakah Hwa-i Lo-eng juga... ikut tertangkap?" Bhe Hok bertanya dengan penuh keinginan tahu.
Hui Song telah mendengar berita mengejutkan lainnya, yaitu bahwa ketua Hwa-i Kai-pang itu ternyata sudah kedapatan tewas di dalam gedung perkumpulan itu, tidak lama setelah rombongan Jenderal Ciang tiba. Dan dia tahu apa artinya itu. Agaknya para tokoh jahat, tentu saja atas perintah Liu-thaikam, telah melakukan persiapan supaya rahasianya tidak terbuka, dengan jalan membunuhi semua tawanan, dan ketua Hwa-i Kai-pang juga harus dibunuh agar pemerintah tidak akan menangkap dan memaksanya mengaku!
"Dia? Tentu saja dia pun ditangkap sebab anak buahnya banyak yang terlibat. Akan tetapi pemeriksaan akan dilakukan secara terpisah dan satu demi satu. Maka engkau tak perlu khawatir, mengakulah saja seperti apa adanya. Jika engkau menyesali pengkhianatanmu dan mengaku terus terang tentang persekongkolan di bawah pimpinan Liu-thaikam, tentu engkau akan mendapat keringanan."
"Apa? Apa... Liu-thaikam...? Aku tidak... tidak mengerti..."
Hui Song tersenyum. "Ahh, tidak perlu engkau berpura-pura lagi. Kami sudah mendengar semua mengenai persekutuan itu, tentang bagaimana Hwa-i Kai-pang dipergunakan oleh Liu-thaikam, juga tentang Cap-sha-kui sudah menjadi antek-antek pembesar itu di bawah pimpinan seorang datuk yang bernama Siangkoan Lo-jin berjuluk Iblis Buta. Kami sudah tahu semua, dan engkau hanya tinggal membuat pengakuan sejujurnya saja. Ingat, kalau engkau membohong dan tidak mau mengaku, kami pun sudah mengetahui persoalannya dan akibatnya engkau akan disiksa."
Bhe Hok mengangguk-angguk meyakinkan sehingga legalah hati Hui Song. Pengakuan si gendut ini di depan sri baginda kaisar berarti berhasilnya tugas membongkar persekutuan jahat di dalam istana yang dikepalai oleh Liu-thaikam.
Sementara itu, Jenderal Ciang segera mengadakan hubungan dengan dua orang menteri lain yang pandai dan termasuk sebagai menteri-menteri setia yang juga dianggap sebagai saingan sehingga ditentang oleh Liu-thaikam. Mereka adalah Menteri Ting Hoo dan Cang Ku Ceng.
Di dalam sejarah tercatat bahwa kedua orang menteri ini kelak akan menjadi pembantu-pembantu yang sangat setia dan pandai dari Kaisar Cia Ceng pengganti Kaisar Ceng Tek. Jenderal Ciang mengadakan perundingan dengan dua orang menteri ini, kemudian pada keesokan harinya, berkat usaha dari kedua orang menteri ini, sri baginda kaisar berkenan menerima Jenderal Ciang yang diikuti pula oleh Menteri Liang serta kedua orang menteri Ting dan Cang itu.
Tentu saja sri baginda kaisar menjadi terkejut sekali ketika mendengar laporan Jenderal Ciang mengenai persekutuan yang hendak membunuh Menteri Liang dan Jenderal Ciang, terlebih lagi sesudah dengan terus terang jenderal itu mengatakan bahwa persekutuan itu dipimpin oleh Liu-thaikam sendiri!
"Mustahil!" Sri baginda kaisar berseru sambil menepuk lengan kursi. "Dia adalah seorang pembantuku yang paling setia. Dan apa sebabnya dia hendak membunuh kalian berdua? Tentu ada permusuhan pribadi!"
Pada saat mendengar betapa kaisar agaknya malah berpihak kepada thaikam itu, wajah Jenderal Ciang menjadi pucat. Menteri Liang yang berlutut itu lalu berkata, "Mohon beribu ampun, sri baginda. Sesungguhnya tidak terdapat permusuhan apa pun antara hamba dan Liu-thaikam, akan tetapi dia menganggap hamba dan Jenderal Ciang serta banyak hamba paduka yang lain sebagai saingannya karena hamba sekalian tak mau tunduk kepadanya. Itulah sebabnya mengapa dia hendak membunuh hamba."
"Sudah banyak pembesar dibunuhnya, sri baginda. Dia tidak segan-segan menggunakan para penjahat sebagai antek-anteknya. Pada waktu hendak membunuh Menteri Liang dan hamba, dia malah memperalat datuk-datuk sesat seperti Cap-sha-kui, juga menggunakan orang-orang Hwa-i Kai-pang yang ikut pula bersekongkol dan menjadi anteknya."
Alis Sri Baginda Kaisar Ceng Tek berkerut, hatinya merasa tidak senang. "Jenderal Ciang, kami tahu bahwa engkau adalah seorang jenderal yang gagah dan setia, dan juga Menteri Liang adalah seorang menteri lama yang sangat setia. Tahukah kalian betapa hebat dan berbahayanya semua cerita kalian ini? Kalau tidak benar, ini merupakan fitnah yang akan dapat membuat kalian terpaksa harus dihukum seberat-beratnya!"
"Hamba bersedia dihukum kalau pelaporan hamba tidak benar, sri baginda!" kata sang jenderal.
"Hamba juga bersedia menyerahkan nyawa jika hamba menjatuhkan fitnah kepada siapa pun juga," sambung Menteri Liang dengan suara tegas.
Mulailah Kaisar Ceng Tek merasa bimbang. Sebenarnya sudah lama banyak pembesar yang mencoba untuk menyadarkannya akan kepalsuan Liu-thaikam, akan tetapi karena thaikam itu selalu bersikap baik dan menyenangkan hatinya, juga karena tidak pernah ada bukti penyelewengannya, maka kaisar merasa terlalu sayang kepada pembantu itu untuk melakukan penyelidikan secara mendalam.
Lagi pula, kaisar yang masih amat muda itu, baru sembilan belas tahun usianya, merasa banyak dibantu oleh Liu-thaikam. Pada waktu dia melakukan perjalanan keluar dari istana secara diam-diam, thaikam itulah yang selalu membantunya, dan semua urusan di dalam istana dapat diselesaikan dengan baik oleh thaikam itu.
"Bagaimana kalian dapat memastikan bahwa laporan kalian ini bukannya fitnah belaka?" kaisar mendesak.
"Penyerangan terhadap Menteri Liang di telaga disaksikan oleh banyak orang, sedangkan penyerangan terhadap hamba di dalam pesta Ang-kauwsu lebih banyak saksinya," jawab Jenderal Ciang.
"Kalian adalah pejabat-pejabat pemerintah, maka tidaklah aneh kalau dimusuhi oleh kaum penjahat. Akan tetapi apa buktinya bahwa Liu-thaikam yang berdiri di belakang semua itu?"
Inilah pertanyaan yang ditunggu-tunggu oleh Jenderal Ciang. Dengan suara lantang tetapi tetap hormat dia menjawab. "Sri baginda, hamba sudah menangkapi sebagian dari para penjahat, akan tetapi ketika hamba menggiring para penjahat itu ke kota raja, di tengah perjalanan para datuk sesat menghadang, merampas tawanan dan membunuh mereka yang tidak dapat mereka rampas. Akan tetapi masih ada seorang tokoh Hwa-i Kai-pang yang berhasil hamba bawa sebagai saksi. Jika paduka berkenan, hamba dapat menyuruh dia membuat pengakuan di hadapan paduka." Jenderal itu berhenti sebentar, kemudian menyambung, "Selain itu, juga hamba dibantu oleh seorang pendekar muda yang pernah menyelamatkan paduka pada saat paduka diserang oleh orang-orang Kang-jiu-pang, yaitu putera ketua Cin-ling-pai bersama seorang temannya, pendekar wanita Ceng Sui Cin."
"Hemm, bawa mereka semua menghadap!" Kaisar memerintah.
Jenderal Ciang lalu memberi isyarat kepada para penjaga di luar dan tak lama kemudian muncullah Hui Song dan Sui Cin mengiringkan Bhe Hok sebagai tawanan. Mereka segera menjatuhkan diri berlutut dan tubuh Bhe Hok gemetar ketakutan.
Jenderal Ciang memperkenalkan dua orang muda pendekar itu, tetapi kaisar masih ingat kepada Hui Song yang gagah. "Hai, engkau orang muda yang gagah perkasa itu! Urusan apa lagi yang membawamu terlibat sehingga kini dihadapkan di istana?" Kaisar menegur dengan suara ramah.
"Ampun, sri baginda. Hamba melihat ada persekutuan busuk mengancam para pembesar setia. Dan karena persekutuan itu dapat pula membahayakan keselamatan paduka, maka hamba berdua nona Ceng berusaha membantu Jenderal Ciang untuk membuka rahasia ini dan menghaturkannya kepada paduka."
Kaisar teringat lagi akan tuduhan terhadap thaikam yang amat disayangnya, maka alisnya berkerut lagi, hatinya kesal dan dia pun berkata kepada Jenderal Ciang. "Nah, suruhlah saksi bercerita. Awas, kalau dia berbohong, kalian semua takkan bebas dari hukuman!"
Sebenarnya ucapan kaisar itu ditujukan untuk mengancam mereka yang telah memusuhi Liu-thaikam, akan tetapi malah membuat si gendut Bhe Hok semakin ketakutan dan tidak berani berbohong. Dia terus berlutut dan tak berani berkutik sampai dihardik oleh Jenderal Ciang.
"Penjahat Bhe, lekas membuat pengakuan apa adanya dan jangan berbohong!"
"Hamba... hamba bernama Bhe Hok dan hamba menjadi seorang di antara para pembantu Hwa-i Lo-eng ketua Hwa-i Kai-pang. Bersama rekan-rekan Cap-sha-kui, hamba menjadi anggota kelompok yang dipimpin oleh Siangkoan Lo-jin, dan hamba semua bekerja untuk Liu-taijin. Hamba menerima tugas untuk membantu para tokoh Cap-sha-kui, pertama-tama untuk membunuh Menteri Liang, kemudian membunuh Jenderal Ciang. Hamba membuat pengakuan yang sesungguhnya, berani disumpah juga berani mempertanggung jawabkan kebenaran pengakuan hamba."
Wajah kaisar telah menjadi merah sekali. Haruskah dia mempercayai pengakuan seorang penjahat macam ini?
"Tangkap dan seret ketua Hwa-i Kai-pang ke sini!" bentaknya.
"Ampun sri baginda. Hwa-i Lo-eng telah dibunuh oleh tokoh-tokoh sesat, mungkin karena mereka merasa takut kalau-kalau ketua Hwa-i Kai-pang itu akan membuat pengakuan dan membuka rahasia kejahatan Liu-thaikam."
"Hemm, kalau begitu tangkap dan bawa Liu-thaikam ke sini!" perintah kaisar.
"Hamba akan melaksanakan perintah paduka. Akan tetapi tanpa adanya leng-ki (bendera tanda utusan kaisar), tentu dia tidak akan percaya dan akan melawan.”
"Nih, bawa tanda dari kami!" Berkata demikian kaisar muda itu melepaskan pedangnya dan menyerahkan pedang itu kepada Jenderal Ciang.
Benda itu adalah pusaka tanda kekuasaan kaisar, maka tentu saja telah merupakan bukti kekuasaan yang cukup. Dengan gembira sekali Jenderal Ciang menerima pedang, lantas membawa pasukan pengawal pergi menuju ke gedung tempat tinggal Liu-thaikam dan menangkapnya. Melihat pedang di tangan jenderal itu, Liu-thaikam tidak berkutik lagi dan dengan muka pucat tak lama kemudian dia sudah menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki kaisar.
"Mohon paduka sudi mengampuni semua kesalahan hamba, akan tetapi sungguh hamba merasa terkejut sekali menerima panggilan paduka seperti ini. Apakah yang telah terjadi? Apakah yang dapat hamba lakukan untuk paduka?" Tentu thaikam itu hanya berpura-pura saja.
Dia sudah mendengar akan semua yang telah terjadi, tentang kegagalan-kegagalan para anteknya dan dialah yang memerintahkan supaya semua tokoh Hwa-i Kai-pang dibunuh, juga para tawanan yang tidak sempat dibebaskan agar dibunuh. Sungguh pun demikian, hatinya masih selalu dalam keadaan was-was maka dia telah bersiap untuk melarikan diri, walau pun dia masih percaya akan pengaruhnya terhadap kaisar. Kedatangan Jenderal Ciang yang menangkapnya sama sekali tidak disangkanya.
"Orang she Liu, apakah yang telah kau lakukan selama ini? Mengapa engkau memperalat orang-orang jahat dan menyuruh orang-orang jahat itu mencoba untuk membunuh Menteri Liang dan Jenderal Ciang?!" Kaisar membentak.
Dengan mimik muka yang pandai, thaikam itu terbelalak lantas memprotes dengan sikap wajar orang yang merasa difitnah. "Ampun, sri baginda! Hal itu sama sekali tidak benar! Hamba telah difitnah orang! Banyak sekali orang yang merasa iri dan ingin menjatuhkan hamba karena paduka sudah melimpahkan kepercayaan yang besar kepada hamba. Ini adalah fitnah penasaran! Hamba berani bersumpah bahwa hamba selalu setia terhadap paduka sampai mati!"
"Hemm, setia dan memelihara penjahat-penjahat sebagai kaki tanganmu?"
"Tidak, sama sekali tidak benar. Hamba bersumpah..."
"Apakah persekutuan penjahat-penjahat Hwa-i Kai-pang dan Cap-sha-kui yang dipimpin oleh datuk bernama Siangkoan Lo-jin itu bukan antek-antekmu?"
"Tidak, hamba sama sekali tidak pernah mendengar nama-nama itu, hamba bahkan tidak mengenalnya. Memang hamba merasa tidak suka pada Menteri Liang dan Jenderal Ciang karena hamba melihat bahwa mereka itu menentang paduka, tidak taat..."
Kaisar menghardiknya kemudian berkata kepada Bhe Hok. "Hai, kamu! Katakan apakah ini orangnya yang memimpin seluruh persekutuan busuk itu?!"
Bhe Hok memandang pada Liu-thaikam dengan muka pucat. Tadi dia mendengar betapa Hwa-i Lo-eng telah dibunuh dan sekarang agaknya tinggal dia yang harus berani menjadi saksi. Akan tetapi dia tadi telah mengucapkan pengakuannya, tidak mungkin mengingkari kembali, maka dia pun berkata dengan suara gemetar,
"Benar, sri baginda. Dia adalah Liu-taijin yang dibantu oleh kelompok hamba semua..."
Liu-thaikam menengok dan begitu melihat wajah Bhe Hok, dia terkejut dan marah bukan main. "Kau... kau...!" Bentaknya sambil menudingkan telunjuknya. "Engkau pengkhianat busuk! Berani engkau membawa-bawa namaku di sini? Akan kusuruh mencincang hancur kepalamu..."
"Cukup!" Kaisar membentak. "Tangkap pengkhianat ini dan seret ke pengadilan tinggi!"
Para pengawal lalu maju dan menangkap Liu-thaikam yang berteriak-teriak dan meronta-ronta, memaki-maki Bhe Hok, Menteri Liang, Jenderal Ciang dan akhirnya memaki-maki kaisar pula sehingga para pengawal membungkam mulutnya dan menyeretnya keluar.
Dengan wajah murung kaisar lalu mengucapkan terima kasihnya kepada Jenderal Ciang, Menteri Liang, juga kepada Hui Song dan Sui Cin, lalu kaisar membubarkan persidangan darurat itu.
Pengadilan menjatuhkan hukuman mati kepada Liu-thaikam. Saat diadakan pemeriksaan dan penggeledahan, kaisar sendiri sampai tertegun melihat tumpukan harta hasil korupsi dan penindasan yang dilakukan bekas pembantunya yang tadinya sangat disayang serta dipercayanya itu. Harta benda yang ditumpuk oleh Liu Kim atau Liu-thaikam itu sungguh amat besar jumlahnya.
Menurut catatan sejarah, emas dan perak yang diperoleh sebanyak 251.583.600 tail, batu permata sebanyak lebih dari sepuluh kilo, dua stel pakaian perang dari emas, 500 piring emas, 300 pasang gelang dan cincin emas, 4000 ikat pinggang emas permata. Istananya di kota raja bahkan melebihi kemewahan istana kaisar sendiri!
Penumpukan harta yang dilakukan oleh Liu-thaikam melalui korupsi dan penindasannya itu memang sungguh luar biasa. Tiada keduanya dalam sejarah. Kerakusannya dalam hal menumpuk harta sukar dicari bandingannya sehingga menjadi buah bibir rakyat sampai sepanjang sejarah. Padahal, sebelum menjadi thaikam, Liu Kim adalah seorang anak dari keluarga yang miskin dan rendah.
Sesudah komplotan itu berhasil dibongkar, Kaisar Ceng Tek baru menjadi panik sehingga kaisar ini cepat-cepat melakukan pembersihan di kalangan para pejabat tinggi. Juga dia segera memerintahkan Jenderal Ciang agar mengerahkan pasukan untuk membasmi para penjahat yang tadinya menjadi antek Liu-thaikam.
Hwa-i Kai-pang diserbu, semua anggotanya ditangkap dan dihukum, gedungnya dirampas pemerintah. Akan tetapi tak mudah bagi Jenderal Ciang untuk dapat mencari tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang selalu bergerak laksana setan. Dengan tertangkapnya Liu-thaikam dan hancurnya komplotan itu, barulah pemerintahan Kaisar Ceng Tek yang muda itu menjadi bersih dan barulah kaisar muda itu mulai memperhatikan roda pemerintahan.
********************
Pemuda itu menangis sampai tersedu-sedu sambil berlutut. Dia mengepal tinju dan ingin dia meraung-raung, akan tetapi ditahannya sehingga dia hanya tersedu dan terisak. Pria setengah tua yang duduk bersila di depannya membuka mata memandang dan menghela napas panjang, lalu berkata dengan suara halus namun mengandung wibawa.
"Hentikan tangismu, hapus air matamu. Tidak pantas membiarkan perasaan dipengaruhi pikiran sehingga menimbulkan kelemahan. Tidak ada gunanya semua itu."
Pemuda itu berhenti terisak dan mengusap air matanya dengan ujung lengan baju, lalu dia memandang wajah ayahnya dengan sinar mata penuh tanya dan penasaran. Pemuda itu adalah Cia Sun, sedangkan yang bersila di depannya adalah ayahnya, Cia Han Tiong.
Baru saja Cia Sun pulang ke Lembah Naga sesudah melakukan perantauan ke selatan. Ketika pagi hari itu dia sampai di lembah, dia merasa heran mengapa keadaan demikian sunyinya dan mengapa pula pandangan mata para petani gunung kepadanya demikian ganjil dan penuh rasa iba. Hetinya merasa tidak enak dan dia menghampiri seorang kakek petani lalu bertanya mengapa mereka memandangnya seperti itu.
"Kakek Phoa, aku adalah Cia Sun, apakah kakek beserta saudara sekalian sudah lupa? Ha-ha, baru saja aku pergi merantau selama satu tahun dan kalian memandangku seperti aku ini orang asing bagi kalian."
Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat beberapa orang petani wanita menangis dan pergi meninggalkannya. Juga kakek itu memandang kepadanya dengan mata basah oleh air mata.
"Kakek Phoa, apakah yang sudah terjadi?" Dia memegang lengan kakek itu dan bertanya dengan mata terbelalak, hatinya gelisah sekali.
Dan kakek itulah yang bercerita. Betapa orang tuanya didatangi penjahat, betapa banyak murid Pek-liong-pai tewas oleh para penjahat, juga ibunya turut tewas. Ibunya! Tewas di tangan orang jahat! Mendengar ibunya tewas, Cia Sun tidak menunggu sampai kakek itu melanjutkan ceritanya. Dia sudah meloncat dan lari menuju ke pondok orang tuanya.
Didapatkannya rumah itu sunyi dan kotor. Sesudah dia masuk, nampak ayahnya sedang duduk bersila di dalam kamar. Ayahnya nampak menjadi sangat tua dan kurus. Maka dia langsung menjatuhkan diri berlutut dan menangis sampai ayahnya menyuruhnya berhenti menangis.
“Ayah, siapakah yang membunuh ibu?" Hanya itu yang dapat dikatakan setelah tangisnya dihentikannya.
Ayahnya tidak menjawab, hanya memandang padanya. Sejenak ayah dan anak ini saling pandang.
"Anakku, apakah maksudmu dengan pertanyaan itu? Hanya sekedar ingin tahu, apakah di baliknya tersembunyi dendam sakit hati?"
Cia Sun sudah mengenal watak ayahnya, bahkan sejak kecil dia bukan hanya digembleng ilmu silat dan sastera, akan tetapi juga tentang filsafat kehidupan. Akan tetapi pada waktu itu hatinya terlampau sakit dan sedih mendengar bahwa ibunya tewas oleh musuh, maka dia tidak mampu lagi mengendalikan perasaannya.
"Akan tetapi, ayah. Sebagai seorang anak, aku mendengar bahwa ibuku dibunuh orang. Apakah aku harus diam saja menerima nasib? Lalu menjadi anak macam apakah aku ini? Mana kebaktianku terhadap ibu kandungku, ayah?"
"Hemm, dengan lain kata-kata, engkau hendak menanyakan pembunuh ibumu agar dapat mencarinya lalu membalas dendam, membunuhnya untuk membalas sakit hatimu?"
"Bukankah hal itu sudah wajar saja, ayah? Sebagai anak ibu, apa bila aku tidak mencari pembunuhnya kemudian membalaskan sakit hatinya, apakah ibu tak akan menjadi setan penasaran?"
"Cia Sun!" Ayahnya membentak dan di dalam suara pendekar ini terkandung wibawa yang kuat. Nadanya bukan kemarahan, namun memperingatkan dan tegas sekali. "Dengarlah baik-baik, buang dulu semua nafsu yang memenuhi batinmu. Cia Sun, bukalah mata dan lihatlah. Apakah engkau mengira bahwa ibumu yang sudah meninggal dunia itu sekarang menjadi setan penasaran yang haus darah, yang akan menyeringai kegirangan melihat anak kandungnya menjadi pembunuh? Serendah itukah engkau menilai ibumu?"
Tentu saja Cia Sun terkejut sekali dan dia mengangkat muka memandang wajah ayahnya dengan mata terbelalak. "Tidak...! Tentu saja tidak! Bukan begitu maksudku, ayah!"
"Kalau bukan begitu maksudmu, maka jangan membawa-bawa nama ibumu jika engkau berniat membunuh orang! Apa yang hendak kau lakukan itu tidak ada sangkut-pautnya dengan ibumu, akan tetapi keluar dari gejolak batinmu yang diracuni dendam kebencian! Engkau hanya akan menodai dan mengotorkan jiwa ibumu kalau engkau menyeret ibumu ke dalam alam pikiranmu yang penuh dendam kebencian itu."
Getaran dalam suara ayahnya meredakan kemarahan yang tadi berkobar di dalam batin Cia Sun. Sejenak dia termenung, diam-diam mengakui bahwa memang kemarahannya itu timbul akibat ia merasa kehilangan ibunya yang tercinta, jadi dialah yang sakit hati, dialah yang mendendam karena orang merenggutkan sesuatu yang mendatangkan rasa senang di hatinya.
"Baiklah, ayah. Akan kucoba untuk mengerti apa yang ayah maksudkan tadi. Akan tetapi apakah yang telah terjadi? Apakah kesalahan ibu maka dia sampai dibunuh orang?"
Cia Han Tiong lalu menarik napas panjang. "Dendam... dendam... balas membalas, baik membalas budi mau pun membalas sakit hati, dendam dan kebencian telah mengotorkan batin manusia dan membuat dunia menjadi sekeruh ini. Mereka datang karena dendam terhadap keluarga kita, dendam kepada kakekmu dan kamilah yang menerima akibatnya. Mereka datang menyebar maut karena dendam, lalu ibumu serta belasan orang muridku menjadi korban. Nah, bagaimana pendapatmu mengenai mereka itu, anakku? Bukankah mereka itu merupakan orang-orang tersesat yang mabok dendam kebencian yang hanya ingin memuaskan nafsu kebencian di hati mereka saja dengan melakukan pembunuhan terhadap orang-orang yang sama sekali tidak mereka kenal?"
Cia Sun mengepal tinju dan mengangguk. "Mereka itu orang-orang jahat!" jawabnya.
"Bagus!" kata ayahnya. "Dan sekarang engkau pun ingin menjadi seperti mereka, hendak mencari orang-orang yang tak kau kenal untuk kau bunuh hanya untuk memuaskan nafsu kebencianmu?"
Cia Sun terkejut, tak menyangka bahwa ke situ maksud ayahnya. "Tapi, ibu telah mereka bunuh, juga para suheng!"
"Rasa penasaran dalam pemikiran seperti itulah yang menimbulkan dendam mendendam dan bunuh membunuh, lalu menciptakan lingkaran setan dari mata rantai karma. Apakah engkau menghendaki dirimu terikat oleh rantai itu, sampai ke cucumu, terbelenggu rantai karma, terus-menerus dicekam dendam balas membalas tiada akhirnya? Mata rantai itu sekarang berada di tanganmu, mau kau patahkan ataukah mau kau sambung, terserah kepadamu. Kalau engkau hendak menyambungnya, engkau mendendam, lantas mencari pembunuh ibu dan para suheng-mu, kemudian engkau membunuh mereka. Apakah kau kira sudah selesai sampai di sana saja? Kalau murid atau keturunan mereka mempunyai batin yang sama denganmu, pasti mereka pun akan mendendam dan akhirnya mencarimu untuk membalas dendam kepada muridmu atau keturunanmu. Terus menerus begitu, tak ada habisnya. Sebaliknya, kalau engkau hendak membebaskan diri dari lingkaran setan karma itu, engkau diam dan menghapus dendam sekarang juga maka rantai belenggu itu pun patah."
Cia Sun termenung, lalu menarik napas panjang. "Ayah, dari ajaran ayah yang lalu, aku dapat mengerti tentang penjelasan ayah tadi. Akan tetapi bagaimana pun juga, aku yang masih muda ini, hanyalah seorang manusia biasa ayah, yang tidak terlepas dari perasaan senang susah malu marah dan takut. Menghadapi kematian ibu dan para suheng seperti ini, melihat orang-orang menyebar maut di dalam keluarga kita, bagaimana mungkin aku melupakannya dan mendiamkannya begitu saja?"
"Andai kata engkau berada di sini ketika peristiwa itu terjadi dan engkau membela ibumu serta suheng-suheng-mu, seperti yang kulakukan juga, hal itu adalah wajar. Akan tetapi, menanam kebencian di dalam hati merupakan racun bagi batin sendiri, anakku."
"Biarkan aku melihat kenyataan yang tumbuh dalam batin sendiri, ayah. Harap ayah suka menceritakan bagaimana peristiwa ini dapat terjadi, bagaimana asal mulanya."
"Mereka yang datang menyerbu itu berjuluk Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo. Mereka adalah cucu murid dari mendiang Hek-hiat Mo-li, seorang datuk sesat yang dahulu tewas di tangan kakekmu. Mereka berdua jauh-jauh datang dari negeri Sailan hendak mencari mendiang ayah Cia Sin Liong, untuk membalas dendam. Akan tetapi karena ayah yang mereka cari-cari telah meninggal dunia, mereka lalu menimpakan dendam mereka kepada keturunan ayah yaitu aku sekeluarga. Dan di dalam perkelahian itu, para suheng-mu dan ibumu jatuh sebagai korban dan tewas."
"Dan kedua iblis itu?"
"Mereka telah pergi dalam keadaan luka."
"Tapi kenapa mereka tidak membunuh ayah? Bukankah ayah merupakan musuh utama, sebagai putera kongkong? Kenapa mereka hanya membunuh ibu dan para suheng, dan melepaskan ayah?"
Cia Han Tiong menghela napas. "Mereka tidak mampu melakukan hal itu karena mereka terluka olehku dan tidak mampu melawan lagi."
Cia Sun memandang dengan mata terbelalak. "Ayah telah mengalahkan mereka?"
Ayahnya mengangguk. "Memang mereka itu lihai bukan main, akan tetapi aku berhasil mengalahkan mereka."
"Dan melukai mereka? Kalau mereka kalah dan terluka... bagaimana mereka dapat lolos dan pergi dari sini?"
"Aku telah melepaskan mereka dan membiarkan mereka pergi."
"Apa?" Cia Sun terlonjak berdiri, memandang kepada ayahnya dengan muka pucat. "Ayah berhasil mengalahkan dan melukai mereka, akan tetapi ayah... membiarkan mereka pergi begitu saja selagi jenazah ibu dan para suheng masih menggeletak di depan kaki ayah?"
Ayahnya mengangguk. "Aku sendiri pun hanya seorang manusia biasa, anakku, dan aku pun tak luput dari pada nafsu amarah dan sakit hati. Akan tetapi aku melihat dengan jelas betapa aku sekeluarga akan terperosok semakin dalam kalau aku hanya menuruti nafsu kebencian, maka aku sengaja membiarkan mereka pergi."
"Dan dengan perbuatan itu ayah merasa yakin bahwa ikatan dendam itu akan terputus? Bagaimana kalau dua iblis itu masih penasaran karena ayah dan aku masih belum tewas dan mereka masih berusaha untuk membunuh kita? Apakah kita pun harus diam saja dan menyerahkan nyawa untuk dibunuh?" Di dalam pertanyaan pemuda ini masih terkandung rasa penasaran yang amat besar.
Mendengar pertanyaan puteranya itu, Cia Han Tiong menahan senyum, menghela napas dan menggeleng kepala. "Aku percaya bahwa mereka pun sudah insyaf akan kebodohan mereka dan merasa amat menyesal. Dan andai kata benar seperti yang kau katakan tadi, andai kata mereka itu pada suatu hari datang kembali dan berusaha untuk menyerang dan membunuh kita, tentu saja kita akan melawan mereka."
"Hemmm, bukankah hal itu sama saja namanya, ayah? Kita pun akan mempergunakan kekerasan apa bila diserang dan kalau mereka itu sangat lihai, berarti mereka atau kita yang akan tewas di dalam perkelahian itu?"
"Tidak, anakku. Hal itu sudah menjadi berbeda dan lain lagi. Apa bila kita diserang orang, berarti kita terancam bahaya dan sudah menjadi hak dan kewajiban kita untuk melindungi dan membela diri, berusaha melepaskan diri dari ancaman bahaya. Dalam pembelaan diri ini tidak terkandung kebencian."
Han Tiong menatap tajam wajah puteranya dan merasa prihatin karena dia dapat melihat betapa rasa penasaran yang sangat besar mencekam hati puteranya dan bahwa dendam masih meracuni hati puteranya.
"Ingat, anakku. Kegagahan sejati berarti bisa mengalahkan cengkeraman hawa nafsu diri sendiri yang meracuni batin. Tak ada orang lain yang akan dapat membersihkan batinnya sendiri dari cengkeraman racun nafsu dendam kalau bukan kewaspadaan dan kesadaran sendiri."
Cia Sun tidak membantah lagi, akan tetapi dia masih merasa amat penasaran dan untuk melapangkan hatinya, dia segera berpamit dan meninggalkan ayahnya untuk menghirup udara segar di luar rumah yang kini kehilangan keindahan dan daya tariknya baginya itu. Dia pergi ke kuburan ibunya dan di hadapan kuburan yang masih baru itu dia tidak dapat menahan lagi kesedihannya. Menangislah pemuda yang biasanya tabah ini tersedu-sedu.
Mengingat betapa ibunya masih segar bugar dan bergembira ketika dia meninggalkannya setahun yang lalu dan kini tiba-tiba sudah tiada, apa lagi mengingat betapa ibunya yang dianggapnya sebagai seorang wanita paling lembut, paling baik dan paling mulia di dunia ini tewas terbunuh oleh orang jahat, hatinya terasa sakit sekali dan dendam pun semakin tumbuh dalam hatinya.
Memang, kedukaan, kemarahan yang menimbulkan kebencian, semua itu muncul dalam batin apa bila pikiran mengingat-ingat segala hal yang telah lewat, menghidupkan segala peristiwa dan pengalaman yang lalu itu dalam ingatan, memperbesar rasa iba diri melalui penonjolan si aku yang dibikin susah atau tidak disenangkan. Makin mendalam pikiran mengingat-ingat, makin berkobarlah nafsu kedukaan dan amarah, membuat kebencian menjadi semakin subur pula. Kebencian timbul dari ingatan. Kebencian adalah ingatan itu sendiri yang disalah gunakan oleh si aku. Tanpa adanya ingatan, tanpa adanya si aku yang mengingat-ingat, maka takkan ada kebencian.....