Asmara Berdarah Jilid 17

"Haiii... nona...! Perlahan dulu, nona...!"

Sui Cin sudah tahu bahwa ada seorang pemuda berlari-lari mengejarnya, bahkan dara ini sudah tahu pula siapa pemuda itu. Akan tetapi dia pura-pura tidak dengar atau tak peduli, melainkan melanjutkan perjalanannya menunggang kuda kecilnya dengan santai.

Dia bahkan tidak memegang kendali kuda, dibiarkan kudanya berjalan seenaknya dan dia melindungi kepalanya dengan sebuah payung yang dikembangkan dan dipanggulnya. Dia pun duduk miring seenaknya saja di atas punggung kudanya sambil menikmati keindahan pemandangan alam pegunungan di sekitarnya. Jalan itu kasar dan sunyi, sinar matahari membakar panas, maka terasa nyaman berlindung di bawah payung.

"Prak-plok-prak-plok-prak-prok...!" Suara kaki kuda berirama dan nyaring karena kuda itu mengenakan sepatu atau tapal kaki baru.

Hui Song merasa penasaran sekali. Dari jauh dia sudah mengenal gadis berpayung yang menunggang kuda itu. Siapa lagi kalau bukan gadis yang pernah membuatnya tidak dapat tidur nyenyak, gadis yang membuatnya tergila-gila, gadis perkasa yang pernah membantu dirinya ketika dia dikeroyok oleh tiga orang tokoh Cap-sha-kui yang bernama Tho-tee-kui, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo?

Maka dia pun segera lari mengejar dan bukan main girangnya melihat kenyataan bahwa dugaannya memang benar, terutama sekali karena sekarang gadis itu tidak membalapkan kuda kecil yang lihai itu untuk meninggalkannya.

Seperti kita ketahui, Sui Cin telah terlepas dari mala petaka ketika ia terculik Sim Thian Bu dan tortolong oleh Siangkoan Ci Kang. Sesudah pergi, dia lalu kembali ke dusun di mana dia menitipkan kudanya dan kini dia melakukan perjalanan berkuda dengan niat pulang ke selatan, ke tempat tinggal orang tuanya di Pulau Teratai Merah.

Sungguh tidak disangkanya sama sekali bahwa dia berjumpa dengan Hui Song di tengah perjalanan, atau lebih tepat tersusul oleh pemuda itu. Dia sengaja membiarkan kudanya berjalan terus dan kini dengan napas agak terengah-engah Hui Song berjalan di sebelah kanan kuda itu sambil tersenyum menoleh dan memandang wajah di bawah payung itu. Sejenak kedua mata pemuda itu terbelalak keheranan, akan tetapi dia lalu tersenyum lagi dan nampak gembira sekali.

"Huh…, apa maksudmu berteriak-teriak seperti orang kesurupan dan lari-lari seperti orang dikejar setan?" Sui Cin menegur sambil tersenyum mengejek.

"Aku tidak kesurupan tapi memang gila, tepatnya tergila-gila. Dan aku bukan dikejar setan melainkan dikejar ketakjuban. Sungguh tidak pernah kusangka sebelumnya bahwa yang bernama Sui Cin adalah seorang gadis yang cantik jelitanya melebihi semua bidadari di kahyangan!"

Kedua pipi itu menjadi merah, dan mata itu mengeluarkan sinar berapi. Entah mana yang lebih besar dan yang lebih memerahkan pipi, kemarahan ataukah kebanggaan mendengar pujian itu. Juga dia merasa terkejut karena ternyata Hui Song dapat menduga bahwa dia adalah Sui Cin si ‘pemuda jembel’ itu. Kini dia tidak perlu berpura-pura lagi.

"Hemm, jadi baru sekarang engkau tahu?" pancingnya. Dia tidak menghentikan kudanya, maka terpaksa Hui Song berjalan-jalan di samping kuda itu yang kelihatan tidak senang karena ada orang yang mengganggu ketenangannya di tempat sunyi indah itu.

"Memang baru sekarang! Wah, kalau aku tahu sejak dulu..."

"Lalu mau apa?"

"Tidak apa-apa. Sungguh engkau pandai sekali menyamar dan engkau bilang mempunyai seorang cici."

"Akulah cici-nya!"

"Ha-ha-ha, dan engkau adiknya pula, pemuda jembel yang membagi-bagikan uang kepada para jembel lain. Sungguh luar biasa! Dan engkau pernah menjanjikan kepadaku hendak memperkenalkan aku kepada cici-mu. Nah, sekarang perkenalkan. Engkau tahu namaku, akan tetapi apakah namamu juga masih sama? Sui Cin?"

Sui Cin mengangguk. "Ehh, bagaimana engkau tiba-tiba saja dapat menduga bahwa aku adalah pemuda jembel itu pula?"

"Nanti dulu, apakah engkau begini kejam membiarkan aku berjalan-jalan bersama kudamu yang mempunyai empat kaki sedangkan aku hanya mempunyai dua kaki?"

"Hemm, engkau pun boleh menggunakan kedua tanganmu sebagai kaki!"

"Sialan! Kau suruh aku merangkak?"

"Kalau kau mau!"

"Sudahlah, kasihanlah padaku. Aku amat capek dan kepanasan, mari kita berhenti dulu di bawah pohon sana itu, tempatnya teduh dan di situ banyak rumput. Kalau engkau tidak kasihan padaku, sedikitnya engkau kasihan kepada kudamu dan membiarkan dia istirahat sambil makan rumput."

Sui Cin tak membantah lagi, lalu menepuk bahu kudanya yang segera membelok ke kiri menuju ke arah pohon rindang. Di sini dia turun, menutup payungnya dan membiarkan kudanya makan rumput sedangkan dia sendiri duduk di atas akar pohon yang menonjol di atas tanah, berhadapan dengan pemuda itu. Sejenak mereka saling berpandangan tetapi sekali ini Hui Song yang lebih dulu menundukkan mukanya karena malu akan tetapi juga girang sekali.

"Nah, engkau belum menjawab pertanyaanku tadi."

"Mengenalimu? Mudah sekali. Ketika aku melihatmu dari jauh, aku segera teringat akan enci-nya Sui Cin, gadis yang pernah membantuku melawan tiga orang tokoh Cap-sha-kui itu, maka aku mengejarnya. Begitu tiba di dekat kuda dan melihat wajahmu, aku terkejut dan segera timbul keyakinan di hatiku bahwa engkau adalah Sui Cin pemuda jembel itu."

"Hemm, mengapa begitu yakin? Bagaimana kalau ternyata aku adalah enci-nya?"

"Memang mungkin ada persamaan antara seorang enci dan seorang adiknya, akan tetapi sinar mata dan senyum di bibir itu tidak mungkin ada keduanya di dunia ini... ehhh, maaf, maksudku... aku sudah mengenal betul sinar mata dan senyum itu, jadi begitu melihatnya aku langsung mengenalimu, Sui Cin. Maaf, rasanya janggal menyebutmu nona, sesudah sekian lamanya menyebutmu Cin-te! Dan sekarang agaknya tidak mungkin lagi menyebut Cin-te (adik laki-laki Cin), maka kusebut saja namamu."

"Memang benar, Song-ko. Aku bernama Sui Cin dan aku tidak mempunyai adik mau pun kakak. Memang sudah menjadi kebiasaanku, pada waktu merantau aku suka menyamar sebagai seorang pemuda. Kebetulan aku bertemu denganmu dalam penyamaran itu dan berkenalan, tentu saja aku terpaksa menyamar terus."

Mendadak Hui Song tertawa bergelak. Sui Cin mengerutkan alisnya, merasa ditertawakan sehingga dia menjadi marah. "Mau apa kau tertawa-tawa seperti gila?"

Hui Song menahan ketawanya. "Aku teringat akan ceritamu tentang banci itu... ha-ha-ha, pintar sekali engkau mencari alasan kenapa engkau marah-marah saat aku mendekatimu. Ingat, ketika aku merangkulmu karena kuanggap biasa antara laki-laki akan tetapi engkau marah-marah dan..."

Wajah dara itu menjadi merah bukan main. "Sudahlah, tidak perlu diungkit-ungkit kembali. Sekarang, mau apa sih engkau mengejarku?"

Hui Song bersikap sungguh-sungguh walau pun kini wajahnya cerah dan gembira sekali. Memang harus diakuinya bahwa sejak berpisah dari Sui Cin si pemuda jembel, ia merasa kehilangan dan kesepian. "Sebenarnya aku tidak mengejarmu, melainkan sedang mencari jejak Sui Cin pemuda itu."

"Mau apa?"

Hui Song tersenyum malu-malu. "Pertama... ehh, aku hendak bertanya mengapa dia tidak muncul di pantai telaga, dan kedua... aku... aku hendak menagih janji karena dia berjanji akan memperkenalkan aku kepada enci-nya."

"Mata keranjang!"

"Bukan begitu, Sui Cin. Janji tetaplah janji! Sekarang katakanlah, mengapa engkau tidak muncul di telaga itu? Aku mendengar penuturan Shan-tung Lo-Kiam bahwa ada seorang gadis yang diculik penjahat. Entah bagaimana, aku teringat akan enci-nya Sui Cin, karena itu aku pun lalu melakukan pengejaran dan pencarian. Dan ternyata aku beruntung sekali, menemukan Sui Cin sahabatku bersama enci-nya sekaligus. Sui Cin, benarkah engkau yang dikabarkan oleh Shan-tung Lo-kiam itu?"

Sui Cin mengangguk. "Benar. Aku melakukan pengamatan di pantai seperti yang sudah kita rencanakan, dan karena aku sudah berpisah darimu, aku lalu mengenakan pakaian wanita kembali agar lebih mudah mengamati. Di situ aku bertemu dengan Sim Thian Bu yang tadinya tidak kusangka seorang penjahat karena dia pernah hendak ikut menghadiri pertemuan antara para pendekar tempo hari. Kiranya dia seorang jai-hwa-cat maka kami segera berkelahi. Aku lengah ketika muncul seorang di antara tokoh Hwa-i Kai-pang itu, yang perutnya gendut, dan aku tertotok roboh. Lalu muncul kakek itu, yang membawa yang-kim..."

"Shan-tung Lo-kiam..."

"Kakek itu menyerang si gendut, kemudian mereka berkelahi. Aku yang telah tertotok lalu dilarikan oleh jahanam Sim Thian Bu dan aku dibawa menuju ke sebuah goa tersembunyi dan... dan... si jahanam keparat itu hampir saja menggangguku!"

Hui Song mengepal tinju. "Keparat! Lalu bagaimana?"

"Untung muncul seorang pemuda... anehnya, pemuda itu adalah suheng dari Sim Thian Bu walau pun usianya paling banyak delapan belas tahun sedangkan Sim Thian Bu sudah dua puluh lima tahun lebih. Pemuda itu melarang akan tetapi jahanam itu membantah dan akhirnya jahanam itu dihajar babak-belur oleh pemuda yang amat lihai itu. Kemudian aku dibebaskan dan begitu kaki tanganku bebas, tentu saja aku segera menyerang Sim Thian Bu yang sudah dihajar parah. Akan tetapi pemuda itu menangkis dan ternyata dia sangat kuat..."

Hui Song terbelalak heran. "Nanti dulu, apakah pemuda itu wajahnya masih sangat muda akan tetapi matanya mencorong, pakaiannya sederhana dan tubuhnya tinggi tegap?"

"Benar, jubahnya kasar belang-belang dan agaknya dari kulit harimau..."

"Ahh, benar dia! Menurut dugaan Shan-tung Lo-kiam, dia tentu putera Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta!"

"Apa?! Datuk itu?" Sui Cin bertanya kaget. "Kalau begitu, Sim Thian Bu adalah murid Si Iblis Buta?"

"Mungkin sekali, dan itulah sebabnya dia menyebut suheng kepada pemuda itu, karena dia kalah tingkat."

"Tapi kalau pemuda itu putera Iblis Buta, kenapa dia menolongku dan menghajar sute-nya sendiri?"

Hui Song termenung. "Entahlah, sungguh teka-teki yang membingungkan."

Hening sejenak. Kemudian Sui Sin yang mulai merasa terbiasa berhadapan dengan Hui Song sebagai seorang wanita, bertanya, "Bagaimana dengan usahamu menyelamatkan Menteri Liang?"

"Berhasil dengan baik," katanya.

Dia pun lalu menceritakan bahwa dia telah menemui Menteri Liang, menceritakan semua rencana kaum penjahat dan betapa pada saat yang ditentukan dia lalu menyamar sebagai Menteri Liang dan menggantikan menteri itu pergi ke telaga. Diceritakan pula betapa yang muncul adalah Kui-kok Lo-mo, Kui-kok Lo-bo beserta Kiu-bwe Coa-li yang menyerangnya, akan tetapi dia dan para pengawal istimewa mampu menanggulangi, bahkan dibantu oleh Shan-tung Lo-kiam sudah hampir berhasil untuk mengalahkan mereka.

"Sayang muncul pemuda aneh itu bersama kakek kurus yang menurut dugaan Shan-tung Lo-kiam adalah Si Iblis Buta bersama puteranya. Pemuda itu lihai sekali, menggunakan panah api membakar perahu hingga dia berhasil menyelamatkan tiga tokoh Cap-sha-kui itu dan kami tidak berhasil mencegah mereka meloloskan diri."

Sui Cin mendengarkan dengan rasa heran dan kagum. Tokoh muda yang menolongnya itu sungguh aneh sekali. Membantu para penjahat, akan tetapi juga menentang kejahatan sute sendiri.

"Dan selanjutnya, apa yang akan kau lakukan, Song-ko?"

"Masih banyak pekerjaan yang ingin kulaksanakan, akan tetapi aku ingin melakukannya bersamamu, Sui Cin, karena itulah maka aku mengejar dan mencarimu."

"Baru saja aku terlepas dari bencana dan sekarang aku ingin pulang, sudah terlalu lama aku pergi meninggalkan ayah dan ibu."

"Ahhh, betapa ingin aku ikut bersamamu pergi menghadap dan berkenalan dengan orang tuamu, secara langsung bertemu muka dengan Pendekar Sadis yang namanya semenjak kecil sudah kukenal! Akan tetapi tugas masih mengikatku, Sui Cin. Engkau tentu tahu pula bahwa keselamatan Menteri Liang masih terancam..."

"Engkau bukan seorang pegawai negeri dan perlindungan terhadap seorang menteri dapat dilakukan oleh pasukan keamanan!"

"Engkau benar. Akan tetapi kita tahu bahwa Jenderal Ciang juga terancam. Bila kita tidak membantu, padahal sumber keterangan itu dari kita, tentu pihak pemerintah akan merasa curiga dengan kebenaran berita itu. Apa lagi kalau di belakang para penjahat itu terdapat pembesar yang sangat berpengaruh dan berkuasa. Maka kita harus membongkar semua kejahatan itu dan menentang kelaliman, barulah tidak percuma kita belajar silat sejak kecil dan menjadi keturunan para pendekar."

"Wah! Agaknya engkau hendak membanggakan kedudukanmu sebagai putera pendekar, putera ketua Cin-ling-pai, ya?" Sui Cin mengejek sambil tersenyum.

"Tidak demikian, adikku yang baik. Akan tetapi, kalau orang-orang tua kita telah berjuang sebagai pendekar dan memperoleh nama harum, bukankah sudah menjadi kewajiban kita anak-anak mereka untuk menjunjung tinggi nama itu dengan perbuatan gagah dan baik pula? Selain itu, bukankah di dalam lubuk hati kita sudah terdapat perasaan menentang kejahatan?"

Sui Cin mengibaskan tangan kirinya. "Sudahlah, cukup dengan kuliahmu itu. Sekarang apa kehendakmu setelah engkau bertemu denganku di sini?"

"Cin-moi, aku merasa berbahagia sekali bertemu denganmu di sini, baik sebagai pemuda jembel mau pun sebagai seorang gadis. Betapa pun juga, di antara kita masih terdapat ikatan yang sangat dekat, setidaknya ikatan saudara seperguruan. Ingat bahwa ayahmu juga merupakan seorang murid Cin-ling-pai yang amat membanggakan, dan engkau pun menguasai banyak ilmu-ilmu tingkat tinggi dari Cin-ling-pai."

"Sudahlah jangan memuji-muji, maksudmu bagaimana?"

"Kita masih saudara seperguruan, dan kita berdua sudah mengalami bersama kejahatan yang dilakukan oleh komplotan busuk antek-antek pembesar lalim itu. Maka, jika engkau tidak keberatan, Cin-moi, marilah kita lanjutkan kerja sama ini untuk menentang mereka. Setidaknya sampai urusan ini selesai kemudian aku akan menemanimu pulang ke tempat tinggal orang tuamu, memberi kesempatan padaku untuk belajar kenal dengan mereka."

Sui Cin termenung. Bagaimana pun juga dia merasa suka kepada pemuda ini dan sudah menikmati perjalanan bersama yang penuh petualangan itu. Rasanya tak enak juga kalau sekarang dia membiarkan Hui Song bekerja sendiri menempuh bahaya besar menghadapi komplotan yang lihai itu.

Akhirnya dia mengangguk. "Baiklah, aku akan membantumu sampai usaha pembunuhan terhadap Jenderal Ciang itu dapat digagalkan."

Wajah yang cerah itu makin berseri dan sepasang mata pemuda itu bersinar-sinar ketika dia meloncat bangun dengan perasaan girang. "Wah, terima kasih, Cin-moi! Aku memang tahu bahwa engkau adalah seorang pendekar wanita sejati!"

"Simpan pujian-pujianmu untuk lain kali, jangan dihabiskan sekarang. Yang lebih penting, apa yang harus kita lakukan sekarang?"

"Untuk sementara ini Menteri Liang sudah dapat diselamatkan, dan dia tentu akan selalu dikawal ketat."

"Dan kalau engkau memberi tahu kepada Jenderal Ciang lalu pembesar itu selalu dikawal pasukan-pasukan yang kuat, maka penjahat-penjahat itu mampu berbuat apakah? Perlu apa kita harus bersusah payah lagi, Song-ko?"

"Engkau tentu tahu, urusan ini bukan sekedar kejahatan biasa melainkan komplotan yang menjadi antek dari Liu-thaikam, pembesar dalam istana yang korup dan jahat sekali. Aku telah menemui Jenderal Ciang dan beliau tidak merasa heran mendengar beritaku bahwa ada tokoh-tokoh sesat yang hendak membunuhnya, karena dia tahu betapa Liu-thaikam amat membencinya. Kekuasaan Liu-thaikam harus ditumbangkan, demikian kata Jenderal Ciang. Kalau tidak, pembesar keji itu akan semakin berani dan mungkin saja keselamatan kaisar sendiri kelak akan terancam oleh kejahatan Liu-thaikam dan antek-anteknya."

"Apa susahnya? Laporkan saja kejahatan Liu-thaikam kepada sri baginda kaisar agar dia ditangkap dan dihukum, habis perkara."

"Enak saja kau bicara, Cin-moi! Ketahuilah, menurut penuturan Jenderal Ciang, thaikam itu kedudukannya tinggi sekali dan celakanya, kaisar sangat percaya kepadanya. Bahkan dia adalah orang pertama yang dipercaya sri baginda kaisar. Melaporkannya begitu saja kepada kaisar bahkan akan mencelakakan si pelapor karena kaisar tidak akan percaya. Karena itulah, maka Ciang-goanswe minta bantuan dan kerja samaku untuk menghadapi para penjahat itu, memancing mereka agar turun tangan kemudian kita akan menghadapi mereka sehingga tak sampai gagal seperti ketika para penjahat menyerbu Menteri Liang. Kita harus dapat menangkap hidup-hidup agar para penjahat itu bisa membuat pengakuan di depan kaisar sebagai saksi. Hanya dengan demikian maka kaisar akan percaya betapa jahat dan palsunya kepala thaikam itu, lantas dapat menjatuhkan hukuman. Nah, maukah engkau membantu agar usaha penting ini berhasil?"

"Bagaimana rencana jenderal itu?"

"Diam-diam Ciang-goanswe telah memerintahkan salah seorang sahabatnya yang menjadi guru silat di kota Pao-fan agar merayakan hari ulang tahunnya dan mengundangnya, juga mengundang para tokoh dunia persilatan, baik dari golongan sesat mau pun dari golongan bersih. Sebagai seorang bekas piauwsu sekaligus juga sebagai guru silat, tidak terlampau menyolok jika dia memberi kesempatan kepada para tokoh silat untuk datang menghadiri pestanya. Lantas disiarkan berita bahwa pesta itu dihadiri oleh Jenderal Ciang sehingga komplotan itu tentu akan mendengarnya dan dapat dipastikan bahwa mereka akan turun tangan menyerang Jenderal itu di tempat pesta. Nah, pada saat itu pula kita turun tangan menentang kemudian menangkap mereka, bersama dengan para pengawal yang secara diam-diam diselundupkan ke tempat itu."

"Bagus sekali, mari kita berangkat!" kata Sui Cin penuh semangat. Sejak kecil gadis ini memang suka berkelahi, apa lagi berkelahi menghadapi para penjahat dan dalam urusan menentang kejahatan, dia tidak pernah mengenal takut.

Sui Cin menunggang kudanya lagi, tetap memakai payung karena panas matahari masih menyengat. Hui Song berjalan di samping kuda, wajahnya berseri-seri dan semangatnya berkobar. Sesudah kini didampingi Sui Cin, semangat pemuda ini semakin besar dan dia pun tahu bahwa dia telah jatuh cinta kepada gadis ini, bahkan mungkin cintanya itu sudah bersemi ketika dia menganggap gadis ini seorang pemuda jembel…..

********************

Ang-kauwsu (guru silat Ang) memang mempunyai banyak kawan. Sebelum menjadi guru silat yang tinggal di kota Pao-fan, di waktu mudanya dia pernah bekerja sebagai kepala piauwsu (pengawal barang) yang cukup terkenal di kota raja. Sebagai piauwsu, tentu saja dia banyak mengenal dunia hitam, mengenal para penjahat karena hal ini sangat penting bagi pekerjaannya. Karena bersahabat dan suka memberi hadiah, maka para penjahat tak akan mengganggu kiriman barang-barang di bawah bendera piauwkiok yang dipimpinnya.

Sekarang usianya telah enam puluh tahun. Pada waktu dia diundang oleh Jenderal Ciang yang sudah dikenalnya dan diberi tahu tentang komplotan yang hendak membunuhi para pembesar yang setia, dia segera menyatakan kesetiaannya untuk membantu jenderal itu menumpas para penjahat. Tentu saja hanya dengan cara mengadakan pesta ulang tahun ke enam puluh dan mengundang semua golongan sebagai pancingan agar para penjahat itu melihat kesempatan hadirnya Ciang-goanswe di situ dan berani turun tangan.

Dia sendiri tidak berani mencampuri karena begitu mendengar bahwa komplotan itu terdiri dari orang-orang Cap-sha-kui, nyali guru silat ini langsung terbang dan mukanya menjadi pucat ketakutan. Siapa orangnya tak akan ngeri mendengar nama Cap-sha-kui?

Dengan cepat berita tentang pesta ulang tahun Ang-kauwsu telah tersiar luas. Diberitakan bahwa Ang-kauwsu mengadakan pesta besar-besaran dan meriah, bahkan mengundang orang-orang penting, juga Jenderal Ciang dari kota raja akan hadir dalam pesta itu. Juga diberitakan bahwa Ang-kauwsu memberi kesempatan kepada semua kawan di rimba raya untuk datang tanpa adanya surat undangan karena sukar menyampaikan surat undangan kepada mereka.

Berita ini cukup bagi kaum sesat bahwa Ang-kauwsu tidak melupakan mereka dan bahwa semua orang tokoh sesat akan diterima sebagai tamu terhormat kalau menghadiri pesta itu. Tentu saja yang dimaksudkan dengan tokoh adalah mereka yang memiliki kepandaian cukup tinggi untuk menjadi tamu kehormatan Ang-kauwsu.

Pada hari yang ditentukan, ruangan besar yang merupakan tempat darurat, yaitu halaman depan rumah yang dibangun untuk tempat pesta, semenjak pagi mulai dibanjiri tamu dari berbagai golongan. Tidaklah sulit untuk membedakan siapakah tamu-tamu dari golongan bersih dan siapa pula tamu dari golongan sesat karena sebagian besar dari para kaum sesat itu bersikap kasar dan congkak, juga pakaian dan sikap mereka aneh-aneh. Karena para undangan itu terdiri dari orang-orang dari kalangan persilatan, maka tidak diadakan penggolongan tempat duduk bagi wanita dan pria.

Walau pun wanita, kalau wanita kang-ouw, tidak merasa canggung duduk di antara kaum pria. Ada belasan orang wanita di antara para undangan itu yang duduknya berpencaran. Di antara mereka terdapat seorang gadis yang sikapnya menonjol karena selain wajahnya angker dan galak, juga dara ini amat cantik dan datangnya sendirian saja ke dalam pesta itu. Akan tetapi ketika ia memperkenalkan diri kepada tuan rumah sebagai seorang murid yang mewakili Cin-ling-pai, dia menjadi pusat perhatian orang di sekitarnya.

Cin-ling-pai adalah nama yang telah terkenal sekali. Akan tetapi banyak pula yang merasa heran mengapa Cin-ling-pai diwakili oleh seorang gadis yang masih begitu muda, cantik jelita dan halus pula gerak-geriknya. Yang bisa menunjukkan bahwa dia seorang ahli silat hanyalah sepasang pedang yang tergantung di punggung dan wajahnya yang angker itu.

Dara itu berusia sembilan belas tahun, pakaiannya ringkas akan tetapi cukup mewah dan bersih, sepatunya mengkilap. Wajahnya manis sekali, dengan mulut yang kecil dan dagu yang meruncing, matanya tajam galak dan rambutnya hitam dan lebat sekali, digelung ke atas merupakan sanggul yang besar dan diikat sutera kuning. Apa bila rambut itu dilepas sanggulnya, mungkin panjang rambut itu sampai ke lutut. Sepasang pedang panjang tipis melintang di kanan kiri pundak, tergantung pada punggung dan ini menambah kegagahan dara itu.

Pada saat Ang-kauwsu mendengar bahwa gadis cantik ini adalah wakil Cin-ling-pai yang memberi selamat kepadanya, dia lalu mengantar tamu ini ke sebuah meja di mana sudah duduk tiga orang tamu lain, dua wanita dan seorang pria yang menjadi kenalan baiknya karena mereka itu adalah keluarga piauwsu di kota Pao-fan.

Dara Cin-ling-pai itu dipersilakan duduk dan gadis itu kelihatan lega karena memperoleh teman duduk yang cukup sopan dan yang usianya sekitar tiga puluhan, belum tua benar. Dia memperkenalkan diri sebagai Tan Siang Wi dan segera bercakap-cakap dengan tiga orang semeja itu.

Tidak jauh dari meja di mana Tan Siang Wi duduk, terdapat pula tiga orang pria sedang duduk bercakap-cakap. Sukar dikatakan apakah mereka itu dari golongan bersih ataukah golongan sesat. Pakaian mereka cukup rapi, dan jelas menunjukkan pakaian ahli-ahli silat karena ringkas dan sikap mereka pun gagah.

Salah seorang di antara mereka sudah tua, jenggot kumis dan alisnya sudah putih namun tubuhnya masih tegap dan nampak kuat. Dua orang lainnya yang duduk di kanan kirinya berusia empat puluh tahun lebih, rambut mereka dikuncir tebal dan wajah mereka nampak gagah dengan jenggot terpelihara rapi.

Akan tetapi, sikap tiga orang ini agak congkak dan hal ini dapat nampak pada pandang mata mereka yang ditujukan kepada para tamu yang hadir. Bahkan setiap kali ada tamu datang, terutama tamu yang menunjukkan bahwa mereka ini datang dari golongan hitam, mereka bertiga bicara sambil tertawa-tawa. Pandang mata mereka yang ditujukan kepada tamu baru itu ketika tertawa-tawa menunjukkan bahwa tentu tamu baru itu yang menjadi bahan tertawaan mereka.

Demikian pula ketika Tan Siang Wi muncul, mereka berbisik-bisik sambil melirik ke arah gadis itu, tersenyum-senyum menyeringai dengan sikap kurang ajar sekali. Karena Siang Wi tidak mendengar apa yang mereka bicarakan, gadis ini pun tidak peduli. Akan tetapi setelah dia duduk bersama tiga orang tamu dan kebetulan duduknya menghadap ke arah meja tiga orang itu, mulailah Siang Wi mengerutkan alisnya.

Dia melihat betapa tiga orang itu, terutama dua orang yang termuda, selalu memandang padanya dan sengaja mainkan mata mereka seperti lagak lelaki yang hendak menggoda wanita. Tentu saja Siang Wi menjadi mendongkol.

Pada mulanya dia memang membuang muka saja dan tak mau balas memandang. Akan tetapi telinganya mulai bisa menangkap percakapan mereka itu di antara berisiknya suara para tamu lain. Maka marahlah gadis ini.

Tan Siang Wi adalah murid tunggal dari Bin Biauw, isteri ketua Cin-ling-pai. Seperti sudah kita ketahui, Bin Biauw atau nyonya Cia Kong Liang ini adalah puteri bekas datuk sesat Tung-hai-sian, seorang bangsa Jepang. Sesudah dia berbesan dengan ketua Cin-ling-pai, Tung-hai-sian mencuci tangan dan tidak lagi berkecimpung di dalam dunia sesat.

Puterinya, Bin Biauw, walau pun puteri seorang datuk sesat, adalah seorang gadis yang baik sehingga dapat menjatuhkan hati Cia Kong Liang. Akan tetapi sesudah kini memiliki seorang murid, ternyata muridnya ini sedikit banyak sudah mewarisi watak Tung-hai-sian. Tan Siang Wi ini berwatak keras sekali, tidak pernah mau mengalah, agak tinggi hati dan angkuh walau pun dia selalu bertindak gagah dan menentang kejahatan.

Selain sudah mewarisi ilmu dari Bin Biauw, dia juga menerima petunjuk-petunjuk dan ilmu silat dari ketua Cin-ling-pai sendiri, maka dapatlah dibayangkan betapa lihainya Siang Wi. Kelihaiannya itu membuat dara ini semakin tinggi hati, terutama terhadap golongan sesat yang dianggap musuhnya. Tangannya berubah ganas kalau dia berurusan dengan kaum sesat dan sedikit pun dia tidak mau mengalah atau memberi hati.

Maka, baru selama satu dua tahun saja memasuki dunia kang-ouw, gadis ini telah dijuluki orang Toat-beng Sian-li (Dewi Pencabut Nyawa) karena keganasannya terhadap musuh-musuhnya. Agaknya karena kenyataan yang sudah didengarnya bahwa sukong-nya, yaitu Bin Mo To di Ceng-to, adalah seorang bekas datuk sesat, gadis ini hendak membuktikan kepada semua orang di dunia bahwa dia adalah murid isteri ketua Cin-ling-pai, jadi dia adalah seorang pendekar, bukan orang sesat!

Ada kecondongan di dalam hati kita untuk selalu menutupi kekurangan dan menonjolkan kelebihan kita. Kita selalu ingin dianggap baik. Keinginan seperti ini selalu timbul karena kenyataan yang kita lihat bahwa keadaan kita adalah sebaliknya dari pada baik. Hanya orang yang berkulit hitam saja yang selalu ingin disebut putih. Hanya orang yang bodoh sajalah yang selalu ingin dianggap pintar, dan hanya orang yang melihat alangkah kotor dirinya sajalah yang selalu ingin dianggap bersih dan baik.

Kita lupa bahwa justru keinginan-keinginan untuk dianggap lain dari pada kenyataan ini yang sering kali mendorong kita untuk melakukan hal-hal yang buruk dan bodoh. Kalau kita sadar dengan kekotoran kita, maka kita harus berusaha membersihkannya, bukan dengan cara menyembunyikan atau menutupinya. Apa bila kita sadar bahwa kita bersih, maka kita harus menjaga agar kebersihan itu tak ternoda kekotoran, bukan lalu menjadi tinggi hati dan merasa bersih dan baik sendiri karena perasaan demikian itu justru akan menodai kebersihan itu sendiri.

Kenapa kita kadang-kadang merasa ngeri untuk menghadapi dan melihat kenyataan apa adanya, walau betapa buruk dan kotor sekali pun kenyataan itu? Menutupi kenyataan, melarikan diri dari kenyataan, jelas tidak akan dapat merubah keadaan itu!

"Ha-ha-ha!" Seorang di antara tiga pria itu tertawa lagi sambil menyumpit dan makan kue yang mulai dihidangkan. Kini wajah mereka mulai merah oleh arak. "Agaknya Cin-ling-pai sudah kehabisan jago jantan maka mengeluarkan jago betina, heh-heh-heh!"

Kata-kata itu sebenarnya lebih berupa kelakar di antara mereka sendiri karena diucapkan perlahan dan dimaksudkan untuk mereka dengar sendiri, lalu ketiganya tertawa bergelak sambil melontarkan pandang ke arah meja Siang Wi.

Akan tetapi karena mencurahkan perhatian ke arah mereka, Siang Wi dapat menangkap kata-kata itu sehingga marahlah gadis ini. Dia tak mampu lagi mengendalikan dirinya dan sekali melompat, dia sudah meloncati mejanya dan tahu-tahu, seperti seekor burung saja dia sudah hinggap di atas lantai dekat meja tiga orang itu!

"Kalian tadi bilang apa?!" bentaknya sambil berdiri dengan dua tangan bertolak pinggang dan mata tajam penuh kemarahan menatap mereka.

Tiga orang itu terkejut sekali. Tak mereka sangka bahwa gadis itu akan dapat mendengar ucapan yang menghina Cin-ling-pai tadi, juga mereka terkejut melihat gadis itu demikian gesitnya meloncati meja dan kini berdiri di depan mereka dengan sikap mengancam.

"Ehh, kami bilang apa? Tidak ada sangkut-pautnya denganmu!" seorang di antara mereka menjawab dan melanjutkan jepitan sumpitnya pada kue di atas piring.

"Bagus! Kalian menghina Cin-ling-pai dan masih berani bilang tidak ada sangkut-pautnya denganku? Biar pun Cin-ling-pai diwakili seorang wanita setidaknya jauh lebih gagah dari pada kalian ini banci-banci pengecut yang tidak berani mengakui perbuatannya!"

Para tamu yang duduk di sekitar tempat itu menjadi kaget sehingga mereka pun menoleh dengan penuh perhatian dan wajah mereka tertarik sekali. Dalam pertemuan antara para orang-orang kang-ouw sudah lumrah apa bila terjadi keributan dan perkelahian. Bahkan sebagian besar dari mereka mengharapkan terjadinya hal ini, karena dalam pertemuan para ahli persilatan, terasa kurang sedap dan kurang bumbu kalau tidak terjadi keributan dan perkelahian.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar