Siluman Goa Tengkorak Jilid 07

Thian Sin harus mengakui bahwa biar pun belum tentu siluman ini dapat menandingi Kim Hong dalam hal ilmu meringankan tubuh, namun dia sendiri masih kalah setingkat oleh pendeta siluman ini! Maka dia pun lalu mainkan Ilmu Thai-kek Sin-kun, ilmu yang memiliki dasar sangat kuat sehingga meski pun diserang dari jurusan mana pun dengan kecepatan yang bagaimana pun, dengan ilmu ini dia dapat menjaga diri dan bahkan balas menyerang dengan tidak kalah hebatnya. Dengan ilmu silat ini, maka keunggulan pendeta siluman itu dalam hal kecepatan boleh dibilang dapat dipunahkan.

Setelah lewat dari lima puluh jurus, agaknya pendeta siluman itu sudah puas dan kagum sekali. Dalam lima puluh jurus dia tidak sanggup mengalahkan pemuda ini bahkan kalau dilanjutkan, belum tentu dia akan menang. Maka mendadak dia mengeluarkan bentakan nyaring dan tangannya menampar ke arah kepala Thian Sin. Pemuda itu menangkisnya.

"Plakk! Brettt...!"

Ujung lengan baju Thian Sin terobek karena begitu tertangkis, pendeta siluman itu cepat merubah tangannya menjadi cengkeraman yang bergerak ke bawah dan mencengkeram pergelangan tangan kanan Thian Sin. Akan tetapi berkat tenaga Sin-ciang, cengkeraman itu meleset dan hanya merobek ujung lengan baju.

"Ha-ha-ha, lengan bajumu robek, taihiap!" Sian-su berkata sambil mengangkat robekan itu ke atas dan memandang penuh rasa puas karena robekan lengan baju itu dapat dijadikan bukti bahwa dia telah menang setingkat.

Akan tetapi, pandang mata Thian Sin ke arah jubahnya membuat dia segera menunduk lantas melihat ke arah dadanya dan terkejutlah dia melihat betapa kain jubah pada bagian dadanya berlubang dan kini robekan kain putih itu berada di tangan Thian Sin! Kalau saja tidak ada topeng tengkorak yang menutupi, tentu akan nampak wajah itu merah sekali.

Saking merasa malu, pendeta siluman itu menjadi marah dan dia pun sudah menyerang lagi dengan ganasnya. Thian Sin menyambutnya dengan tenang dan untuk kedua kalinya, ketika lengan mereka beradu, tubuh pendeta siluman itu langsung terhuyung ke belakang sedangkan Thian Sin hanya terdorong mundur dua langkah saja.

Hal ini membuat pendeta siluman itu mengambil keputusan hendak mempergunakan ilmu sihirnya. Dia berdiri tegak dan menggerakkan kedua tangannya ke atas kepala, bertepuk tangan di atas kepalanya. Pada waktu kedua telapak tangan itu bertemu, terdengar suara seperti ledakan nyaring dan nampak asap mengepul dari kedua tangan itu.

"Ceng Thian Sin, berani engkau melawanku? Lihatlah, siapakah sesungguhnya aku? Aku adalah Thian-liong-ong (Raja Naga Langit) yang menjelma!"

Memang hebat kekuatan sihir pendeta siluman itu. Walau pun sihirnya ditujukan kepada Thian Sin, akan tetapi semua orang yang berada di sana melihat betapa bentuk Sian-su kini sudah berubah. Tubuhnya menjadi tinggi besar dan pakaiannya seperti pakaian raja. Yang hebat adalah kepalanya, karena kepala yang biasanya memakai topeng tengkorak itu kini sudah berubah menjadi kepala naga! Benar-benar mirip gambar atau patung. Raja Naga Langit!

Di antara mereka yang melihat ini segera menjatuhkan diri berlutut saking takutnya. Akan tetapi, Thian Sin yang tadi merasakan adanya kekuatan mukjijat yang menyerang panca inderanya, cepat menguatkan batin lantas mempergunakan tenaga batin untuk melawan. Sesudah dia mengerahkan tenaga batinnya, sebagai orang yang pernah mempelajari ilmu sihir di Himalaya tentu saja dia tak terpengaruh lagi dan bagi pandang matanya, pendeta siluman itu tetap sama saja dengan tadi!

Ingin dia mentertawakan lawan dan menghinanya, mengatakan bahwa ilmu main sulap itu hanya dapat mengelabui kanak-kanak saja. Akan tetapi Thian Sin adalah seorang yang cerdik sekali. Dia tahu bahwa banyak orang yang tak berdosa d tempat ini, yang menurut semua kehendak pendeta siluman ini karena kekuatan sihir atau mungkin juga obat dalam minuman.

Mereka ini tak berdosa dan sepatutnya kalau dibebaskan dari pengaruh pendeta siluman ini. Akan tetapi, kalau dia mempergunakan kekerasan, mungkin dia akan gagal. Dia telah mengukur ilmu silat lawan itu yang benar-benar tangguh. Dia yakin tidak akan kalah dari Sian-su, akan tetapi jika para pembantunya maju mengeroyok, juga kalau para pendekar yang menjadi pengikut agama itu ikut pula turun tangan, mungkin sekali dia akan celaka. Apa lagi kalau diingat bahwa dia belum berhasil membebaskan orang-orang yang tidak berdosa, juga bahwa dia masih berada di pusat sarang musuh yang berbahaya, maka kekerasan bukanlah jalan untuk mencapai kemenangan.

Thian Sin lalu menunduk dan menjura seolah-olah memberi hormat kepada ‘dewa’ itu, lalu berkata dengan ucapan membela diri, "Terpaksa saya harus melawan menghadapi siapa pun juga kalau keselamatan dan nyawa saya terancam."

"Ceng Thian Sin, siapa bilang bahwa nyawamu terancam? Sian-su berniat baik padamu, berniat hendak mengajakmu untuk bekerja sama!" berkata ‘Raja Naga Langit’ itu dan bagi pendengaran semua orang kecuali Thian Sin, suaranya itu pun berbeda dengan suara asli Sian-su.

Kembali Thian Sin menjura dengan hormat. "Kalau memang benar demikian, tentu saja saya bersedia untuk berdamai dan bicara."

"Bagus! Bagus sekali!" Manusia berkepala naga itu lalu bertepuk tangan hingga terdengar ledakan keras disusul asap mengepul dan ketika asap itu menghilang, di situ telah berdiri Sian-su dengan sikapnya yang tenang.

”Ceng-taihiap, kami sudah mendengar ucapanmu tadi dan kami merasa gembira sekali. Mari, silakan duduk dan kita bicara dengan baik-baik." Dia mempersilakan dan mengajak Thian Sin duduk kembali.

Pesta dilanjutkan dan melihat betapa pemuda itu tidak suka menyaksikan adegan-adegan cabul di situ, Sian-su lalu mengajaknya menuruni anak tangga untuk berbicara di sebuah ruangan lain. Belasan orang anak buah Sian-su turut pula mengawal, tentu saja dengan maksud untuk mengeroyok apa bila pemuda itu memberontak.

Setelah mereka duduk, Sian-su lalu memberi ‘kuliah’ kepada Thian Sin tentang pelajaran di dalam agamanya yang baru, yang bendak membebaskan manusia dari pada rasa takut akan kematian, dan menjanjikannya kesenangan sesudah mati nanti, juga menceritakan bahwa semua kecabulan yang dilihat pemuda itu adalah suatu cara untuk menundukkan nafsu dengan jalan membiarkan nafsu-nafsu itu menggelora dan kemudian mati sendiri. Thian Sin mendengarkan dengan setengah hati saja, akan tetapi dia berpura-pura merasa tertarik sekali dan menanggapinya sambil mengangguk-angguk.

"Kami ingin memberikan kesenangan dunia akhirat kepada para pengikut kami," demikian pemimpin agama itu mengakhiri kuliah dan penjelasannya tentang agamanya.

"Dan imbalan apakah yang harus diberikan oleh para pengikut?" tanya Thian Sin dengan sikap seolah-olah dia tertarik sekali untuk menjadi pengikut pula.

"Siancai...! Untuk pekerjaan suci, kami tidak memiliki pamrih bagi kepentingan diri sendiri. Kami tidak menuntut imbalan, kecuali kesetiaan. Jika para pengikut hendak menyumbang demi kemajuan agama kita, dan untuk membuat pembangunan-pembangunan, maka hal itu adalah suka rela. Akan tetapi biar pun kami tahu bahwa Ceng-taihiap adalah seorang yang kaya raya, buktinya melihat sumbanganmu tadi, namun kami bukan mengharapkan bantuan harta darimu."

"Habis, bantuan apa?"

"Bantuan kerja sama yang berupa tenaga dan kepandaian silat taihiap. Hendaknya taihiap ketahui bahwa usaha kami ini banyak mendapat tentangan dari agama-agama lain, malah sudah sering kali kami mereka cari dan mereka bermaksud membasmi kami. Oleh karena itu, taihiap bukan kami anggap sebagai pengikut biasa, akan tetapi sekutu kami, sebagai seorang di antara kami dan kalau taihiap dapat memenuhi harapan kami ini, percayalah bahwa dengan segala kemampuanku, taihiap akan menjadi orang pertama sesudah aku untuk berkenalan secara langsung dengan Dewa Kematian."

"Ahhh...!" Thian Sin pura-pura merasa girang sekali. "Aku akan girang sekali!"

"Akan tetapi, untuk itu lebih dulu kami harus benar-benar dapat percaya kepadamu, dan ini ada syaratnya."

"Syaratnya?"

"Menurut laporan anak buah kita, ada lima orang pendekar dari agama lain yang sedang menyelidiki tempat kita ini. Mereka merupakan bahaya bagi kita, maka aku minta padamu untuk menghadapi mereka dan membasmi mereka. Sanggupkah engkau, Ceng-taihiap?"

Thian Sin mengangkat muka dan menatap tajam, bertemu dengan pandang mata lawan yang penuh selidik. Dia berhadapan dengan orang yang cerdik pula. "Sian-su, aku masih dalam taraf percobaan, bagaimana engkau sudah demikian percaya kepadaku? Apakah engkau tidak khawatir kalau aku berkhianat setelah aku tiba di luar tempat ini?"

Wajah di belakang topeng tengkorak itu tertawa. "Apa boleh buat, kami harus menghadapi resiko itu! Kalau taihiap sungguh-sungguh mau bekerja sama dengan kami, kami merasa beruntung sekali. Sebaliknya, andai kata taihiap berbalik pikir, kami pun tidak bisa berbuat apa-apa. Akan tetapi belum tentu taihiap akan dapat menemukan kembali tempat rahasia kami, apa lagi di sini juga terdapat banyak perangkap-perangkap rahasia yang akan dapat membendung serbuan ratusan orang. Di samping itu, andai kata mereka dapat menyerbu masuk, maka kami pun dapat saja setiap waktu meloloskan diri, pindah mencari tempat lain, membawa semua barang suci dan berharga, dan terpaksa kami harus meninggalkan para wanita itu dalam keadaan sempurna."

Karena ada penekanan kata-kata aneh dalam kalimat terakhir, Thian Sin menjadi curiga. "Dalam keadaan sempurna bagaimana maksudmu?"

Pendeta siluman itu menggerakkan pundak. "Yaahh, menyerahkan mereka kepada Dewa Kematian sebagai korban, apa lagi? Kami terpaksa, sebab tidak mungkin kami membawa mereka yang lemah untuk melarikan diri, tapi juga amat berbahaya bagi kami membiarkan mereka hidup-hidup tertawan musuh."

"Engkau akan membunuh puluhan orang gadis itu?" Hampir Thian Sin berteriak.

"Ahhhh, nanti dulu, taihiap. Bukan membunuh, melainkan mengorbankan mereka kepada Dewa Kematian. Mereka akan memperoleh kesenangan di sana, dan Dewa Kematian juga akan berterima kasih sekali kepada kami..."

Thian Sin tidak bertanya lagi. Dia maklum apa artinya itu. Wanita-wanita itu merupakan sandera! Dengan lain kata-kata, pendeta siluman ini hendak menyatakan padanya bahwa apa bila dia berbalik pikir dan kelak mengakibatkan perkumpulan agama itu diserbu, maka wanita-wanita itu akan dibunuhnya. Tentu saja ini merupakan ancaman kepadanya agar dia tidak mengkhianati Sian-su, dan dia tahu bahwa ancaman itu bukan hanya ancaman kosong belaka!

"Baiklah, Sian-su, aku akan membuktikan bahwa aku memang ingin bekerja sama karena aku mulai tertarik oleh agama baru ini."

Thian Sin menjadi tamu kehormatan di sarang perkumpulan agama Jit-sian-kauw itu, dan mendapat sebuah kamar yang indah dan mewah. Dia menolak ketika ditawari gadis untuk menemaninya, dan malam itu dia tidur nyenyak untuk melepas lelah dan mengumpulkan tenaga. Dia tahu bahwa semua gerak-geriknya selalu diamati dan diintai, oleh karena itu dia pun tidak mau melakukan sesuatu yang mencurigakan.

Pada keesokan harinya dia pun sama kali tidak tahu bahwa Kim Hong telah menyusulnya dan mencarinya, bahkan dara itu kemudian terjebak dan tertawan di dalam sarang rahasia Jit-sian-kauw itu. Pada sore harinya dia diberi tahu oleh Sian-su bahwa lima orang yang memusuhi Jit-sian-kauw itu telah tiba di dekat puncak bukit.

Mereka itu tidak menyelidiki dari bagian depan tebing Goa Tengkorak, namun dari bagian belakang dan karena sarang Jit-sian-kauw itu terkurung jurang yang dalam, maka kelima orang pendekar itu tidak tahu bahwa tempat yang mereka cari-cari itu sebenarnya sudah amat dekat, hanya terhalang oleh jurang, yaitu di puncak yang dikelilingi jurang itu. Tidak mungkin menyeberangi jurang itu, dan tidak mungkin pula menuruni jurang yang demikian dalam dan curamnya. Mereka lalu berkeliaran di daerah itu, memeriksa dan mencari-cari.

Thian Sin melakukan pengintaian. Dia sendirian saja, namun dia kini sudah mengenakan pakaian dan topeng sebagai anggota Jit-sian-kauw! Walau pun dia sendirian saja, namun dia mengerti bahwa Sian-su dan kaki tangannya tentu membayanginya dan mungkin kini sedang mengintai pula dari tempat-tempat tersembunyi untuk mengikuti sepak terjangnya yang bertugas mengusir lima orang musuh perkumpulan ini.

Akan tetapi jantung di dalam dada Thian Sin segera berdebar tegang ketika dia mengenal siapa adanya tosu tua yang memimpin rombongan itu. Tosu berusia kurang lebih enam puluh tahun yang bertubuh tinggi kurus dan berpakaian jubah kuning, dengan pedang di punggung, wajahnya putih itu, bukan lain adalah Liang Hi Tojin, seorang tokoh tingkat dua dari partai persilatan Bu-tong-pai!

Liang Hi Tojin ini adalah orang ke dua di Bu-tong-pai, terkenal sebagai seorang pendekar yang sejak mudanya menjadi pembela keadilan dan kebenaran, seorang ahli pedang yang amat lihai. Dan agaknya, empat orang lainnya itu, yang nampak gagah perkasa, tentulah murid-murid keponakannya.

Kedatangan rombongan dari Bu-tong-pai untuk menyelidiki Jit-sian-kauw ini tentu bukan semata-mata karena perbedaan paham keagamaan, melainkan tentu karena orang-orang Bu-tong-pai itu mendengar tentang kejahatan yang dilakukan Siluman Goa Tengkorak dan kini didorong oleh jiwa kependekaran mereka datang untuk menentang Jit-sian-kauw.

Tentu saja Thian Sin merasa serba salah. Bagaimana mungkin dia memusuhi Liang Hi Tojin, seorang pendekar tua Bu-tong-pai yang telah dikenalnya dengan baik? Akan tetapi, jika dia mengkhianati Sian-su, lalu bagaimana nasib kurang lebih tiga puluh orang wanita yang berada di dalam cengkeraman siluman-siluman itu di luar kehendak mereka, karena mereka telah dikuasai oleh sihir dan obat bius?

Apa bila dia memperkenalkan diri kemudian mengajak lima orang pendekar Bu-tong-pai ini membalik dan memberontak, apakah dia akan mampu? Untuk memasuki terowongan itu saja sudah merupakan bahaya yang besar dan sebelum mereka berhasil, siluman-siluman itu dapat melarikan diri dari jalan rahasia tersendiri dan meninggalkan puluhan wanita itu dalam keadaan tewas. Tidak, dia harus bersandiwara, menuruti kehendak Sian-su sambil menanti saatnya yang baik dan tepat untuk memberi pukulan besar-besaran.

Tosu tua tinggi kurus itu memang Liang Hi Tojin dari Bu-tong-pai, dan empat orang pria yang berusia antara tiga puluh hingga empat puluh tahun, yang tampak gagah perkasa itu adalah murid-murid keponakannya, yaitu murid Bu-tong-pai yang termasuk sebagai murid kepala. Biar pun tingkat kepandaian mereka masih dua tingkat di bawah tingkat Liang Hi Tojin, tapi pada masa itu mereka itu sudah bisa digolongkan sebagai pendekar-pendekar yang lihai.

Mereka itu turun gunung untuk mengunjungi Louw Ciang Su di kota Tai-goan, akan tetapi mereka hanya sempat melihat peti matinya saja! Tentu saja para tokoh Bu-tong-pai ini menjadi terkejut dan marah ketika mendengar bahwa Louw Ciang Su, sebagai seorang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan, telah tewas oleh Siluman Goa Tengkorak.

Itulah sebabnya mereka langsung melakukan penyelidikan ke daerah Goa Tengkorak dan karena mereka sudah mendengar bahwa pasukan keamanan dari Tai-goan bersama para pendekar telah gagal ketika mencari siluman itu dari depan tebing Goa Tengkorak, maka mereka lalu melakukan penyelidikan dan pencarian dari belakang tebing.

"Bagaimana mungkin ada manusia dapat bersembunyi di tempat seperti ini?" terdengar Liang Hi Tojin berkata kepada empat orang murid keponakannya setelah mereka melihat keadaan di belakang tebing Goa Tengkorak itu.

"Bukit di depan itu merupakan puncak yang dikelilingi jurang yang tidak mungkin didatangi manusia."

"Akan tetapi, susiok, teecu kira justru karena sulitnya dicapai orang inilah maka tempat ini merupakan tempat yang amat baik bagi para penjahat untuk menyembunyikan diri," kata seorang murid keponakannya.

"Tentu ada suatu rahasia yang dapat membawa orang menyeberang ke puncak bukit itu," kata murid kedua.

"Siancai, siancai, siancai...! Kalau memang ada, tentu tidak akan mudah mencarinya di tempat yang seluas ini."

Thian Sin memuji ketelitian mereka. Memang tidak akan mudah. Dia sendiri dapat tiba di belakang tebing ini melalui jalan rahasia yang rumit, yang merupakan ‘lubang tikus’ dan menembus di lereng jurang, tertutup pohon-pohon dan semak-semak, di dekat tepi jurang. Dia tadi merayap di lereng jurang itu melalui akar-akar pohon dan kini mengintai di balik pohon besar.

Karena merasa sudah waktunya untuk turun tangan dan agar jangan sampai menimbulkan kecurigaan pada Sian-su yang dia tahu tentu sedang mengamatinya, dia lalu keluar dari tempat sembunyinya dan berlompatan ke depan lima orang itu!

Dapat dibayangkan betapa kagetnya lima orang gagah dari Bu-tong-pai itu ketika mereka melihat munculnya seorang berjubah putih dengan gambar tengkorak merah darah di dada dan memakai topeng tengkorak yang menyeramkan.

"Siancai! Siancai! Inikah Siluman Goa Tengkorak yang telah membunuh Tujuh Pendekar Tai-goan itu?" Liang Hi Tojin bertanya sementara empat orang murid Bu-tong-pai itu telah mencabut pedang masing-masing dari punggung mereka dengan gerakan yang cepat dan indah.

Thian Sin tidak mengeluarkan suara. Apa yang dapat diucapkannya? Tugasnya hanyalah mengusir mereka, maka dia pun segera menerjang ke depan dan menyerang tosu tua itu dengan pukulan dari samping mengarah pelipisnya. Melihat pukulan yang mendatangkan angin pukulan dahsyat itu, tahulah tokoh Bu-tong-pai ini bahwa siluman itu memang lihai sekali.

"Siancai…, sungguh siluman yang jahat sekali!" Dan ia pun cepat meloncat mundur untuk mengelak sambil mencabut pedangnya.

Empat orang muridnya telah menerjang dengan pedangnya masing-masing dan Thian Sin segera dikurung dan dikeroyok. Permainan pedang Bu-tong Kiam-sut memang hebat dan berbahaya sekali. Sinar pedang bergulung-gulung dan menyambar-nyambar dari pelbagai jurusan menggulung dirinya, dan kalau Thian Sin tidak memiliki ginkang yang hebat serta langkah-langkah ajaib dari Thai-kek Sin-kun, tentu dia akan terancam bahaya dikeroyok oleh mereka. Terutama sekali pedang di tangan Liang Hi Tojin yang amat lihainya. Pedang itu mengeluarkan suara berdesing-desing dan sinarnya berkilauan menyambar-nyambar.

Thian Sin tak berani mencabut Gin-hwa-kiam-nya sebab pedang itu mungkin akan dikenal oleh Liang Hi Tojin. Maka terpaksa ia pun mengerahkan Thian-te Sin-ciang untuk kadang kala menangkis jika elakan-elakannya kurang cukup untuk dapat menyelamatkan diri dari sambaran lima batang pedang itu.

Liang Hi Tojin dan empat orang muridnya terkejut bukan main melihat betapa siluman itu menangkis pedang mereka dengan tangan kosong saja! Padahal, pedang mereka adalah pedang pilihan, terbuat dari baja yang amat keras dan baik. Maka tahulah mereka bahwa siluman ini benar-benar sangat lihai sekali dan mereka pun sekarang tidak merasa heran bahwa Tujuh Pendekar Tai-goan tewas di tangan siluman ini.

Liang Hi Tojin menyerang makin hebat karena marah dan karena dia beranggapan bahwa siluman selihai dan sejahat ini harus dilenyapkan dari permukaan bumi agar rakyat dapat terbebas dari pada ancaman mala petaka yang ganas dan jahat.

Thian Sin merasa kewalahan juga. Bila dia mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya seperti Thi-khi I-beng misalnya, sinkang yang dapat menyedot tenaga lawan, atau pun Thian-te Sin-ciang dan Thai-kek Sin-kun, tentu kakek Bu-tong-pai itu akan mengenal ilmu-ilmu dari Lembah Naga dan Cin-ling-pai itu.

Apa bila dia menggunakan ilmu peninggalan mendiang ayah kandungnya, yaitu ilmu-ilmu pukulan yang dahsyat Hok-liang Sin-ciang atau Hok-te Sin-kun, akibatnya bisa berbahaya sekali dan belum tentu lima orang itu akan mampu menahannya. Padahal, tentu saja dia tidak ingin membunuh lima orang tokoh Bu-tong-pai ini.

Maka dia hanya mempergunakan Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun, ilmu yang dipelajarinya dari kakek sakti Yap Kun Liong dan mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang untuk menangkisi pedang-pedang itu. Dia menunggu saat yang baik dan tepat untuk melakukan serangan terakhir seperti yang sudah direncanakannya ketika dia mengintai mereka tadi.

Perlahan-lahan dia mundur ke belakang menuju ke bawah sebatang pohon yang daunnya lebar, selebar tangan dengan ujung runcing dan daun itu kaku pula, cukup baik dijadikan senjata. Tiba-tiba dia meloncat, mencabut beberapa helai daun dari ranting yang terendah dan begitu tubuhnya turun, dia menyambitkan daun-daun itu ke depan sambil membentak dengan suara nyaring,

"Pergilah!"

Berturut-turut tangannya lalu bergerak. Dengan pengerahan sinkang yang amat kuat lima helai daun itu seperti anak panah saja meluncur secepat kilat menuju ke arah lima orang lawannya.

Terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan empat orang murid Bu-tong-pai itu melepaskan pedang mereka ketika sebatang daun menyambar dan menancap di pergelangan tangan kanan mereka bagai anak panah atau senjata piauw (pisau terbang) dengan kecepatan yang tak dapat dielakkan lagi.

Ada pun Liang Hi Tojin masih dapat menggunakan lengan kirinya menangkap daun yang menyambar pergelangan tangan kanannya itu. Berbeda dengan empat daun yang lainnya, daun yang menyambar ke arah pergelangan tangan Liang Hi Tojin itu tak begitu kuat dan cepat sehingga dengan mudah dapat ditangkap oleh tosu ini. Liang Hi Tojin memandang sekilas kepada daun di tangannya kemudian dia berkata,

"Ambil pedang, mari kita pergi!"

Empat orang murid itu segera mengambil pedang mereka masing-masing dengan tangan kiri, kemudian bersama tosu itu mereka berloncatan meninggalkan tempat itu. Thian Sin tertawa dan memandang sampai mereka lenyap di balik semak-semak.

"Bagus, taihiap. Sungguh senang hatiku melihat engkau menghajar mereka, sayang tidak membunuh saja mereka itu agar kelak tidak mendatangkan penyakit."

Thian Sin menoleh dan melihat pendeta siluman ketua Jit-sian-kauw telah berada di situ. Tentu saja dia tadi mendengar gerakannya ketika orang ini muncul dengan ringan sekali, akan tetapi dia pura-pura tidak tahu untuk membiarkan orang itu merasa bangga bahwa ginkang-nya demikian hebatnya sehingga terlalu hebat bagi Pendekar Sadis untuk dapat mengetahui kedatangannya. Kemudian dia menarik napas panjang dan berkata,

"Sian-su, kalau mereka itu memusuhi kita, sudah cukup kalau kita hajar dan mereka akan jera untuk mengganggu kita lagi. Membunuh mereka, berarti hanya akan memperdalam permusuhan belaka, dan membuat kita semakin repot menghadapi usaha mereka untuk membalas dendam kelak."

"Ha-ha-ha, engkau benar, taihiap. Ahh, sungguh beruntung mempunyai seorang sahabat seperti engkau untuk bekerja sama," kata pula Sian-su dengan girang. Mereka kemudian kembali ke sarang Jit-sian-kauw.

Thian Sin merasa girang sekali bahwa dia dapat mengelabui pendeta siluman itu. Dia tadi sudah melakukan siasatnya dengan baik sekali. Dia tahu bahwa biar pun di sana terdapat sekutunya yang paling baik, yaitu Kim Hong, akan tetapi belum tahu apakah dara itu bisa mencari tempat rahasia ini. Sebab itu dia membutuhkan bantuan dan melihat lima orang Bu-tong-pai itu, dia melihat bantuan yang amat baik dan cukup kuat.

Maka ketika dia mengintai tadi, diam-diam dia menggunakan sehelai daun untuk digurat-guratnya dengan duri, membuat beberapa buah huruf di atas daun. Daun itu disimpannya di dalam saku jubahnya dan ketika dia menyerang lima orang itu, daun yang ada huruf-hurufnya itu dia sambitkan ke arah Liang Hi Tojin dengan pengerahan tenaga yang sedikit saja.

Untung bahwa tokoh Bu-tong-pai itu cukup cerdik untuk dapat melihat kejanggalan ini dan menerima daun itu lantas mengajak empat orang murid keponakannya yang telah terluka pergelangan tangannya. Tulisan di atas daun itu berbunyi demikian:

SIAP MENYERBU BERSAMA, TUNGGU BERITA. ANG LIAN TO (PULAU TERATAI MERAH).

Dia sengaja memakai nama Ang-lian-to yang tentu akan dikenal oleh Liang Hi Tojin yang sudah mengenalnya dan tahu bahwa dia dan Kim Hong tinggal di sebuah pulau kosong yang bernama Ang-lian-to (Pulau Teratai Merah). Dan agaknya tosu itu memang sudah mengenalnya, buktinya tosu itu mengajak empat orang muridnya untuk mundur. Padahal, sesuai dengan watak pendekarnya, sebelum dia sendiri roboh, maka tidak mungkin tosu itu akan melarikan diri dari pertempuran.

Thian Sin merasa lega dan gembira, merasa bahwa dia telah berhasil mengelabui ketua Jit-sian-kauw. Tetapi pendekar ini sama sekali tidak tahu bahwa di balik topeng tengkorak itu, Sian-su tersenyum-senyum dan mentertawakannya. Dia tidak tahu bahwa ada kejutan yang amat tidak menyenangkan baginya.

Biar pun dia melihat sendiri betapa Pendekar Sadis telah mengusir lima orang musuh itu dan melukai empat orang murid Bu-tong-pai dengan cara yang amat mengagumkan dan menggiriskan hatinya, yaitu hanya dengan menggunakan daun, tetapi ketua Jit-sian-kauw itu belum yakin begitu saja. Dia masih belum mau percaya begitu saja. Dia masih belum yakin benar akan kesetiaan Thian Sin. Oleh karena itu, dia masih mempersiapkan suatu ujian yang amat berat bagi pemuda itu.

Malam hari itu, ketika Thian Sin sudah merebahkan diri dan mencari akal untuk mendapat kesempatan, tiba-tiba dia terbangun dengan kaget. Ada suara di telinganya, dekat sekali di telinganya, yang berbisik dengan suara mengandung kekuatan mukjijat.

"Ceng Thian Sin, engkau telah berada dalam kekuasaan Sian-su. Engkau harus mentaati semua kehendaknya agar hatimu dapat merasa tenang dan tenteram! Nah kau rebahlah, kau tidurlah, tidur yang nyenyak...!"

Thian Sin yang sudah bangkit duduk itu perlahan-lahan merebahkan dirinya kembali. Dia memejamkan matanya, lalu dia mengatur pernapasannya seperti orang tertidur. Tak lama kemudian, suara itu terdengar lagi.

"Ceng Thian Sin, bangkitlah dan turunlah dari tempat tidurmu."

Bagaikan patung hidup, Thian Sin lalu turun dari pembaringan.

"Pergilah ke pintu kamar, bukakan daun pintu dan biarkan seorang sahabat masuk!"

Thian Sin berjalan ke pintu lantas membuka daun pintu. Di depan pintu itu sudah berdiri seseorang yang bertopeng tengkorak dan berjubah putih, pakaian seragam para anggota Jit-sian-kauw, yang membawa sebuah baki terisi cawan arak. Thian Sin tidak tahu apakah orang ini sang ketua sendiri ataukah orang lain, akan tetapi dia percaya bahwa ketua itu tidak begitu ceroboh untuk membiarkan dirinya dekat dengan dia tanpa terlindung. Tentu ini hanya seorang anggota biasa saja.

"Taihiap, harap suka minum arak di dalam cawan ini," kata orang itu sambil menyerahkan cawan arak.

Thian Sin hendak menolaknya, akan tetapi dia segera teringat bahwa dia sedang berada dalam keadaan ‘tersihir’, karena itu dia pun diam saja, hanya memandang dengan mata kosong dan berdiri seperti patung. Suara itu lalu terdengar lagi, kini nadanya mengandung kelegaan hati.

"Ceng Thian Sin, ambil cawan itu dan minum araknya sampai habis!"

Kini Thian Sin mengambil cawan itu dan menempelkannya ke bibirnya. Dari baunya saja dia maklum bahwa arak itu dicampuri obat bius, akan tetapi tanpa ragu-ragu lagi dia lalu menuangkan araknya ke dalam mulut sampai habis.

Akan tetapi lebih dulu dia menggunakan kekuatan sihir dalam pandang matanya kepada dua bola mata di balik topeng itu dan melihat mata itu sejenak tercengang lalu melembut, tanda bahwa dia telah berhasil menguasai orang itu yang kiranya hanya seorang anggota biasa saja. Dengan kekuatan sihirnya dia lalu membisikkan bahwa orang itu telah melihat dia minum arak itu sampai habis ditelannya. Padahal arak itu hanya disimpan di mulutnya saja.

"Sekarang kembalilah ke tempat tidur dan rebahkan dirimu," bisik suara dekat telinganya yang dia tahu adalah suara Sian-su yang mempergunakan ilmu mengirim suara dari jauh menggunakan tenaga khikang yang amat kuat.

Anggota itu pun lantas membawa pergi cawan kosong dan menutupkan pintu kamar. Ada pun Thian Sin merebahkan dirinya ke atas pembaringan, diam-diam membuang arak di mulutnya yang dimuntahkan ke dalam tangannya lalu dibuang di atas lantai di belakang pembaringan. Hal ini dilakukannya dengan cepat, dan dia merasa yakin bahwa tidak ada mata orang lain yang mengikuti gerak-geriknya.

"Ceng Thian Sin, mulai saat ini engkau akan selalu percaya sepenuhnya, taat, hormat dan tunduk padaku, kepada Sian-su, yaitu ketua dari Jit-sian-kauw yang akan mendatangkan kesenangan dunia dan akhirat untukmu! Camkan ini, harus selalu setia dan taat kepada Sian-su!"

Kalimat terakhir itu diulangi terus sampai belasan kali dengan kekuatan yang amat hebat sehingga Thian Sin harus mengerahkan tenaga sinkang pula untuk melawannya supaya jangan sampai terpengaruh. Tentu saja peristiwa itu membuat Thian Sin tidak dapat tidur pulas. Dia harus bertindak cepat karena kalau terlampau lama, keadaannya bisa semakin berbahaya.

Dia tidak tahu bahwa pada malam itu, Sian-su sudah mempersiapkan percobaan terakhir kepadanya, sebuah percobaan yang teramat berat dan di sini Sian-su hendak mengambil kepastian apakah pendekar itu akan dianggap kawan ataukah lawan.

Setelah merasa yakin bahwa dia tidak diamati, Thian Sin lalu turun dari pembaringannya dan dengan langkah bagaikan langkah kucing, sama sekali tidak menimbulkan suara, dia mendekati jendela lalu pintu kamarnya untuk mengintai keluar. Ada dua orang penjaga di luar, seorang di luar jendela dan seorang lagi di luar pintu. Dengan hati-hati dia membuka daun pintu. Anggota Jit-sian-kauw itu memandang dan Thian Sin menggapai, berkata lirih,

"Twako, ke sinilah, aku mau bicara penting..."

Karena ketika memandang dan menggapai, juga ketika mengeluarkan kata-kata Thian Sin sudah mempergunakan kekuatan sihir melalui mata, gerakan tangan dan suaranya, maka biar pun ragu-ragu, penjaga itu tidak mampu menahan kakinya melangkah dan memasuki kamar. Secepat kilat tangan kanan Thian Sin bergerak dan tanpa mampu mengeluarkan suara atau melawan, penjaga itu terkulai lemas karena dia telah pingsan tertotok.

Dengan amat hati-hati Thian Sin merebahkan orang itu di atas lantai kamarnya, kemudian dengan berindap-indap dia keluar dari pintu kamar, memutar dan meyergap penjaga yang duduk di luar jendela.

"Apa...? Uhhh...!" Penjaga itu tadinya terkejut dan hendak melawan, tetapi dalam keadaan seperti itu Thian Sin telah menggunakan kepandaiannya, maka mana mungkin penjaga itu mampu melawannya. Dia pun roboh pingsan sebelum sempat berteriak.

Thian Sin cepat memondong tubuh orang itu dan membawanya masuk ke dalam kamar, melepaskannya di atas lantai bersama penjaga pertama. Kemudian, dengan cepat Thian Sin menelikung kedua orang itu lantas diikatnya dengan tali ikat pinggang mereka sendiri, dijadikan satu dan mulut mereka pun disumbat dengan kain baju mereka sendiri.

Karena dia tahu bahwa kedua orang itu mempunyai kepandaian yang lumayan, maka dia mengikat kaki tangan mereka kuat-kuat, juga menyumbat mulut mereka dan menalikan kain sumbatan itu melilit kepala, juga menambahkan totokan pada beberapa bagian tubuh mereka. Dia merasa sangat yakin bahwa sebelum pagi hari, mereka tidak akan siuman dan andai kata sudah siuman sekali pun, mereka takkan mampu bergerak dan tidak dapat mengeluarkan suara.

Sesudah melakukan ini, dia lalu mendorong tubuh yang sudah menjadi satu itu ke bawah pembaringannya sehingga tidak nampak dari luar. Dia lalu bersiap-siap untuk melakukan penyelidikan sendiri, kemudian dengan gesit dia menyelinap keluar dari dalam kamarnya, menutupkan daun pintu kamar dan keluar.

Dia sudah tahu di mana adanya kamar-kamar para wanita penari. Dia bermaksud hendak mencari isteri mendiang Cia Kok Heng dan ingin menyelidiki keadaan wanita itu sebab dia merasa yakin bahwa ada sesuatu yang memaksa wanita itu berbohong kepadanya ketika ditanyainya. Dan dia akan menggunakan kekuatan sihirnya untuk membuyarkan kekuatan sihir yang mencengkeram para wanita penari itu lalu mengorek rahasia kejahatan Siluman Goa Tengkorak dari mereka.

Akan tetapi, baru saja dia keluar dari kamarnya, terdengar suara canang bertalu-talu dan disusul suara hiruk-pikuk kaki orang-orang berlarian. Than Sin terkejut sekali dan segera dia kembali ke dalam kamarnya, menyangka bahwa tentu perbuatannya ketahuan dan dia harus bersiap siaga menghadapi pengeroyokan kalau perlu.

Dia mengintai dari balik jendela dan melihat para anggota perkumpulan itu berlari-lari dari segala jurusan menuju ke bangunan besar yang menjadi tempat tinggal Sian-su. Tak lama kemudian, suara canang itu pun berhenti dan nampaklah Sian-su bersama serombongan anggotanya melangkah lebar menuju ke kamarnya!

Thian Sin menanti dengan jantung berdebar. Jelas bahwa perbuatannya sudah ketahuan! Akan tetapi dia pura-pura tidur miring di atas pembaringannya, dengan seluruh urat ayaraf menegang, siap menerjang keluar, menghadap ke pintu dan menutupi mukanya dengan lengan tangan, mengintai dari bawah lengan.

Dapat dibayangkan betapa tegangnya hati pendekar itu saat pintu kamarnya pelan-pelan terbuka dari luar! Dia sampai merasa seolah-olah jantungnya hendak meloncat keluar dan suara detak jantungnya seperti suara tambur. Akan tetapi, suara Sian-su tidak terdengar marah, bahkan ramah sekali ketika berkata,

"Ceng-taihiap, bangunlah!"

Thian Sin sudah merasakan perubahan dalam suara itu, suara yang sifatnya memerintah. Akan tetapi dia pura-pura tidak merasakan hal ini, dan dia pun menurunkan lengannya, dan membuka mata. Dilihatnya bahwa mata itu tidak memancarkan kekuatan sihir, maka dia pun mengerti bahwa sekali ini Sian-su hendak menghadapi dia dalam keadaan sadar. Bukankah semalam suara Sian-su telah menanamkan pesan kepadanya bahwa dia harus setia dan taat? Baiklah, dia akan bersikap taat.

"Ahh, Sian-su, malam-malam begini ada apakah? Tadi aku mendengar suara canang dan mendengar suara kaki berlari-lari, setelah suara canang berhenti aku pun tidur lagi."

"Canang itu dipukul untuk mengumpulkan para anggota karena ada laporan dari pengamat di luar bahwa ada serombongan orang yang menyerbu tempat kita."

Reaksi Thian Sin cepat dan wajar, kewajaran sikap seorang yang amat setia! Dia sudah meloncat turun dari pembaringan dan mengepal tinju. "Kita harus basmi mereka!"

Dilihatnya betapa sepasang mata di balik topeng itu memancarkan sinar puas dan girang ketika melihat sikapnya ini, lalu Sian-su berkata, "Tidak perlu tergesa-gesa. Mereka itu tak akan mampu menemukan tempat kita, taihiap."

"Siapakah mereka?"

"Ha-ha-ha-ha, mereka itu adalah orang-orang dari Hong-kiam-pai yang dipimpin oleh Im Yang Tosu."

Diam-diam Thian Sin terkejut. Dia mengenal Im Yang Tosu, tokoh dari Kun-lun-pai yang berkepandaian tinggi.

"Apakah taihiap belum mengenal Hong-kiam-pang?" Thian Sin menggeleng kepalanya.

"Hong-kiam-pang atau Hong-kiam-pai adalah perkumpulan silat yang mengutamakan ilmu pedang mereka, berpusat di kuil Thian-hong-bio di lembah Fen-ho di luar kota Tai-goan. Mereka dipimpin oleh Im Yang Tosu dan Bu Beng Tojin. Ha-ha, mereka berani memusuhi kita, akan tetapi biarlah, tidak mungkin mereka dapat menemukan tempat kita ini. Cukup dengan beberapa orang pengamat saja untuk mengamati seluruh gerak-gerik mereka di luar tebing Goa Tengkorak, ada pun kita akan melanjutkan pesta pengangkatan seorang anggota atau murid baru."

Thian Sin merasa tidak senang, akan tetapi tidak diperlihatkannya di wajahnya yang tetap tenang. Cahaya matanya ketika memandang kepada Sian-su penuh dengan kekaguman, kehormatan dan kesetiaan, sesuai seperti apa yang dikehendaki oleh pendeta siluman itu.

"Murid baru wanita?"

Pendeta siluman itu tertawa. "Benar, seorang murid baru yang istimewa, taihiap, dan terus terang saja, belum pernah kita mempunyai anggota wanita seperti ini."

Thian Sin merasa agak heran dan juga timbul kecurigaannya. Ada perasaan tidak enak menyelinap dalam hatinya. Dia mencoba untuk menduga-duga, akan tetapi tidak berhasil memecahkan teka-teki ini. Siapakah wanita yang dimaksudkan oleh pendeta siluman ini?

Hampir dia menduga bahwa jangan-jangan yang dimaksudkan adalah Kim Hong. Tetapi dia membantah sendiri dugaannya ini. Kim Hong terlampau cerdik untuk dapat terjebak. Memang besar kemungkinan kalau Kim Hong menyelidiki dan memasuki sarang ini untuk mencari serta menolongnya, akan tetapi Kim Hong tentu maklum akan besarnya bahaya apa bila membiarkan dirinya terjebak. Tidak, Kim Hong tidak mungkin membiarkan dirinya dijebak seperti dirinya.

"Marilah, taihiap, mari kita menemani mereka yang sudah sejak tadi mulai dengan pesta malam ini. Ada seorang pengikut baru, yaitu seorang pembesar yang memiliki kedudukan penting di kota raja. Dari dialah kita dapat mengharapkan sumbangan yang besar untuk menyelesaikan bangunan pondok suci bagi ketujuh dewa yang mulia. Untuk menghormati kehadirannya dan untuk meresmikan pengangkatan anggota baru yang juga akan menjadi pilihanku sebagai murid terbaik dan tersayang, taihiap."

Thian Sin mengikuti pendeta siluman itu naik ke dataran di puncak bukit di mana sudah berkumpul para pengikut yang kemarin malam sudah pernah dilihat oleh Thian Sin. Dan di antara mereka sekarang terdapat seorang pria berpakaian mewah yang bermuka merah, usianya sudah enam puluh tahun akan tetapi sikapnya masih genit.

Ada tiga orang pelayan wanita yang bergaun tipis melayani orang ini dan Thian Sin dapat menduga bahwa orang inilah yang disebut oleh Sian-su tadi sebagai pengikut baru yang terhormat, seorang bangsawan tinggi dari kota raja.

Seperti juga kemarin malam, para penari wanita melakukan upacara dan Lu Sui Hwa atau isteri Cia Kok Heng kini ikut pula di antara para penari, nampak cantik dan agung, paling menarik di antara mereka walau pun mukanya agak pucat dan matanya sayu.

Thian Sin masih menghadapi semua ini dengan tenang. Akan tetapi ketika sampai giliran anggota atau murid baru itu mendaki anak tangga menuju ke dataran itu, tiba-tiba Thian Sin mengepal tinjunya dan wajahnya berubah pucat. Dia mengenal Kim Hong yang kini menghampiri Sian-su, Kim Hong yang mengenakan pakaian gaun tipis warna putih.....!
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar