Siluman Goa Tengkorak Jilid 03

Mereka belum pernah mendengar nama ini, namun mudah diduga bahwa tentu penjahat-penjahat itulah yang memakai nama Siluman Goa Tengkorak. Sesudah selesai mengubur jenazah itu secara sederhana, mereka lantas menghampiri Cia Liong dan Cia Ling yang masih terisak-isak dan nampak bingung.

"Anak-anak, janganlah kalian khawatir. Kami akan mencari ibu kalian dan kami juga akan melindungi kalian. Sebaiknya sekarang ceritakan semuanya agar kami tahu ke mana kami harus mencari ibumu itu," kata Kim Hong dengan suara membujuk.

"Sebaiknya katakan dahulu, siapakah nama kalian dan siapa ayah kalian?" Thian Sin ikut bertanya sambil mengelus-elus rambut kepala Cia Ling. Cia Liong mengusap air matanya dengan punggung tangannya.

"Nama saya Cia Liong dan adik saya ini Cia Ling, ayah kami bernama Cia Kok Heng..."

"She Cia...?" Thian Sin membelalak dan di dalam hatinya timbul perasaan mesra terhadap mereka.

Hal ini tidak mengherankan. Nama keturunan Cia merupakan nama keturunan yang amat dekat dalam hatinya. Orang-orang she Cia dari keluarga Cia, yaitu keluarga Cia Sin Liong Pendekar Lembah Naga merupakan orang-orang yang paling dicintainya di dalam dunia semenjak dia masih kecil.

Oleh karena itu, begitu mendengar bahwa dua orang anak ini pun she Cia, maka timbul perasaan mesra terhadap mereka, walau pun dia tahu bahwa belum tentu persamaan she itu menunjukkan bahwa mereka berdua masih keluarga dekat dengan Pendekar Lembah Naga. Apa yang dirasakan oleh Pendekar Sadis Ceng Thian Sin ini juga dirasakan oleh kebanyakan dari kita.

Hal ini timbul karena pengembangan dari si aku. Pementingan diri atau perhatian yang dipusatkan terhadap si aku inilah yang menimbulkan rasa suka tidak suka. Si aku tidak hanya terbatas pada pribadi belaka, melainkan dapat berkembang dan meluas menjadi keluargaku, milikku, sahabatku, golonganku, bangsaku, agamaku dan sebagainya. Jadi, sesungguhnya si akulah yang dipentingkan atau apa pun juga yang menguntungkan atau merugikan aku.

Kedua orang anak kecil itu pun sudah mempunyai arti yang lain bagi Thian Sin begitu dia mengetahui bahwa mereka itu bermarga Cia! Tentu sikap dan perlakuannya akan jauh berbeda andai kata mereka itu tidak bermarga Cia.

Di sini telah timbul penilaian yang membedakan, timbul pilih kasih, timbul ketidak adilan. Dan segala seuatu yang bersumber kepada pementingan si aku, baik aku sebagai diri pribadi mau pun aku yang telah berkembang, sudah pasti menimbulkan konflik dengan akunya orang lain pula.

Biar pun dia sendiri tidak mengetahui dengan jelas duduk persoalannya, namun Cia Liong bisa menceritakan dengan cukup jelas. Bahwa ayahnya menerima ancaman gambar dari Siluman Goa Tengkorak di dinding luar rumah mereka, kemudian ayahnya dan lima orang sahabat ayahnya tewas akibat penyerbuan siluman itu. Betapa kemudian mereka dibawa lari oleh Kwee Siu akan tetapi di dalam hutan itu dihadang oleh siluman.

"Jadi tadi malam ibumu diculik penjahat?" tanya Kim Hong sambil mengerutkan alisnya.

Sayang, anak ini tidak tahu mengapa penjahat yang disebut Siluman Goa Tengkorak itu melakukan perbuatan yang demikian kejamnya. Kim Hong tidak tahu apakah dia sedang menghadapi peristiwa kejahatan biasa ataukah ada sebab-sebab permusuhan di antara si penjahat dan orang tua anak-anak ini.

"Ibu dan kami dibawa terbang oleh siluman ke atas genteng, dan kami berdua kemudian dilempar ke bawah, untunglah ada paman-paman yang menyelamatkan kami. Akan tetapi ibu dilarikan entah ke mana," kata Cia Liong. Anak ini pun menceritakan bahwa ayahnya dan enam orang paman itu adalah Tujuh Pendekar Tai-goan.

"Kim Hong, sekarang kita harus membagi tugas. Kau bawalah mereka ini pergi dari sini, sebaiknya kau titipkan kepada keluarga yang boleh dipercaya di luar kota Tai-goan saja. Aku sendiri akan mencoba untuk mencari jejak penjahat itu, siapa tahu dia belum pergi jauh."

Kim Hong mengangguk. "Baik, aku akan memakai kereta ini. Lalu di manakah kita akan bertemu dan kapan?"

"Lewat tengah hari di tempat ini. Kita saling menanti sampai sore."

Kim Hong mengangguk. Dua orang yang tadinya bersenda gurau seperti kanak-kanak itu kini sama sekali sudah merubah sikap. Mereka bicara singkat, bersungguh-sungguh dan agaknya hanya dengan gerak-gerik serta pandang mata saja, mereka telah mampu untuk saling mengerti.

Memang, dua orang yang saling mencinta ini selain perasaan cinta kasih yang mendalam satu sama lain, juga mempunyai pengertian yang mendalam pula, yang membuat mereka dapat bekerja sama dengan baik dan kadang-kadang bahkan mereka merasa seolah-olah mereka terdiri dari dua badan namun satu perasaan.

Kim Hong segera mengikat kudanya di belakang kereta, kemudian membawa dua orang anak itu pergi meninggalkan hutan dan menuju ke kota Tai-goan dengan maksud hendak mencari dusun di luar kota untuk memilih keluarga yang hendak dititipi dua orang anak itu untuk sementara.

Sedangkan Thian Sin juga segera meloncat ke atas punggung kudanya dan mencari-cari jejak di sekeliling tempat itu. Kadang-kadang dia meloncat dari atas kudanya, memeriksa tanah dan rumput sehingga akhirnya dia menemukan jejak kaki, yaitu ujung sepatu yang menginjak tanah dan meninggalkan bekas atau jejak yang ringan sekali.

Dia tahu bahwa pemakai sepatu itu adalah seorang yang mempunyai ginkang yang amat tinggi, walau pun tidak sehebat ginkang yang dikuasai oleh Kim Hong, namun cukup jelas menyatakan bahwa orang ini merupakan lawan yang tangguh. Maka dia pun berhati-hati dan mulai mengikuti jejak itu.

Sementara itu, Kim Hong sudah berhasil menemukan keluarga yang dianggapnya cukup dapat dipercaya untuk dititipi dua orang anak itu. Keluarga petani itu sendiri mempunyai seorang anak kecil berusia lima tahun dan di dusun itu dia dianggap sebagai orang yang dihormati karena dia cukup pandai menulis dan terkenal sebagai orang yang jujur. Kim Hong memberinya uang, bahkan menyerahkan kereta berikut kudanya kepada petani itu dan menitipkan dua orang anak she Cia untuk selama beberapa pekan lamanya.

"Jaga mereka baik-baik dan jangan biarkan mereka bermain-main terlalu jauh, sebaiknya bermain di dalam rumah saja. Sesudah urusanku ini selesai, aku akan datang menjemput mereka," katanya dan kepada dua orang anak itu, Kim Hong berpesan agar mereka itu menutup mulut dan jangan menceritakan kepada siapa juga tentang urusan mereka. "Aku akan mencari ibu kalian sampai dapat." demikian dia menjanjikan. Tentu saja dua orang anak itu merasa girang dan terhibur…..

********************

Menanti merupakan pekerjaan yang paling mengesalkan hati dan juga melelahkan. Waktu rasanya berhenti berjalan atau berjalan juga dengan merayap perlahan seperti gerak maju seekor siput. Apa lagi kalau di balik penantian itu terdapat urusan yang menggelisahkan hati seperti halnya Kim Hong ketika dia menanti kedatangan Thian Sin di dalam hutan, di tempat yang telah dijanjikan tadi.

Kim Hong membiarkan kudanya makan rumput dan dia sendiri duduk di atas batu besar di pinggir jalan. Kadang-kadang pandang matanya ditujukan ke arah gundukan tanah yang menjadi kuburan Kwee Siu, seorang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan. Berada seorang diri di dekat kuburan baru itu menimbulkan rasa kesepian yang mencekam, menimbulkan bayangan pikiran yang bukan-bukan.

Orang yang dikubur itu adalah seorang pendekar, yang agaknya tewas dalam tugasnya sebagai seorang pendekar, dalam usahanya hendak menyelamatkan dua orang anak itu. Begitukah saat-saat terakhir seorang pendekar? Tewas di tempat sunyi, tanpa ada yang mengetahui, malah mungkin juga orang she Kwee ini meninggalkan keluarga yang masih belum tahu akan kematiannya. Betapa menyedihkan! Akan seperti itu jugakah nasibnya? Nasib Thian Sin? Betapa menyedihkan.

Mendadak gadis itu menepuk mati seekor semut yang merayap dan menggigit punggung tangannya. Ahh, mengapa tiba-tiba dia menjadi selemah itu? Kalau perlu, boleh saja mati seperti yang dialami oleh orang she Kwee itu!

Kematian tak akan mungkin dapat dihindarkan oleh siapa pun juga, soal kapan waktunya merupakan rahasia yang tidak terpecahkan dari manusia. Dan mati seperti yang dialami oleh orang she Kwee ini cukup terhormat! Mati sebagai seorang pendekar yang sedang melaksanakan tugasnya sebagai pendekar, yaitu menolong orang lain, melindungi yang lemah tertindas dan menentang yang kuat menindas. Kalah atau menang dengan akibat mati atau hidup hanyalah akibat dari pada perjuangan dan bukankah hidup ini perjuangan juga? Bukankah kematian mengelilingi kita setiap saat?

Bukan kematian yang penting untuk direnungkan, melainkan cara dari kematian itu. Mati dalam kebenaran, mati sebagai seorang pendekar perkasa penentang kejahatan seperti yang dialami orang she Kwee itu adalah kematian yang patut dibanggakan dan dikagumi orang. Kematian itu sendiri bukanlah soal, melainkan suatu kewajaran. Akan tetapi dalam keadaan bagaimana seseorang mati, itulah yang paling penting.

Andai kata yang menanti datangnya Thian Sin di tempat seperti itu bukan seorang wanita seperti Kim Hong, tentu hati wanita itu sudah menjadi kesal bukan main dan tentu akan marah-marah pada orang yang dinanti-nantinya. Akan tetapi Kim Hong bukanlah seorang wanita cengeng. Sama sekali bukan, bahkan sebaliknya dari pada itu dia adalah seorang pendekar wanita yang gagah perkasa yang biasa menggunakan akal budinya dan sama sekali tidak menuruti perasaannya dalam menghadapi urusan penting dan gawat.

Maka, biar pun dia telah menanti sampai matahari condong ke barat dan Thian Sin belum juga muncul, dia sama sekali tak pernah mempunyai perasaan menyalahkan pemuda itu. Kepercayaannya terhadap Thian Sin sudah penuh dan tidak dapat diragukan lagi seperti juga kepercayaan pemuda itu terhadap dirinya. Dia merasa yakin bahwa kalau Thian Sin belum muncul, hal itu hanya berarti bahwa pemuda itu memang belum sempat datang, dan ini berarti bahwa kekasihnya itu telah menemukan sesuatu dalam penyelidikannya!

Dan, meski pun kecil sekali kemungkinannya karena dia tahu dan mengenal benar orang macam apa adanya Thian Sin, mungkin saja terjadi bahwa kekasihnya itu mendapatkan halangan! Hal inilah yang dipikirkannya dan setelah hari mulai gelap, kekhawatiran mulai menyelubungi hatinya. Satu-satunya jalan baginya hanya menyelidiki dan menyusul! Akan tetapi, menyelidiki jejak kaki kuda yang ditunggangi Thian Sin tidak mungkin dilakukan di malam hari, maka tidak ada jalan baginya kecuali menanti sampai terlewatnya malam itu.

Malam yang tidak menyedapkan hati! Malam sunyi sepi, di dekat kuburan baru, menanti kedatangan orang yang tidak kunjung muncul. Untunglah masih ada kudanya, setidaknya merupakan makhluk yang membuktikan adanya kehidupan yang dapat bergerak.

Kim Hong membuat api unggun, mencoba untuk tidur akan tetapi bayangan tentang Thian Sin tertimpa bencana menggoda pikirannya sehingga harapan satu-satunya hanyalah agar malam itu cepat berlalu dan dia dapat segera mulai menyusul kekasihnya. Malam seperti itu tentu menjadi malam yang sangat menyeramkan dan menakutkan bagi orang lain, apa lagi bagi seorang wanita yang berada di tempat sunyi seorang diri saja.

Orang mudah dihinggapi rasa takut di tempat sunyi, apa lagi di malam hari yang sangat gelap seperti itu, lebih-lebih pula kalau di sana terdapat sebuah kuburan yang baru siang tadi diisi jenazah yang mandi darah, pula kalau diketahui bahwa ada musuh yang sangat tangguh dan berbahaya yang mungkin saja mengancam diri. Namun, seorang pendekar seperti Toan Kim Hong sudah dapat mengatasi rasa takut ini.

Seperti para pendekar lainnya, dara ini sudah maklum apa yang menimbulkan rasa takut, maka dia pun dapat meniadakan sebab timbulnya rasa takut ini. Setiap orang, biar yang tidak memiliki ilmu silat seperti Kim Hong, tidak mempunyai andalan untuk melindungi diri sebaiknya, bisa saja menjadi orang yang memiliki ketabahan dan ketenangan hati seperti Kim Hong! Yang perlu diselidiki adalah rasa takut itu sendiri.

Apakah rasa takut itu? Dan dari mana timbulnya? Rasa takut tidak terpisah dari pada batin, karena rasa takut adalah keadaan batin itu sendiri pada saat itu. Rasa takut timbul karena ingatan membayangkan sesuatu yang akan amat tidak menyenangkan diri. Rasa takut tak pernah terpisahkan dari bayangan yang diciptakan oleh pikiran yang sering kali mengingat-ingat hal-hal yang lalu dan membayangkan hal-hal yang mungkin terjadi pada masa depan.

Rasa takut sudah pasti merupakan pengintaian atau penjengukan ke masa depan yang dibayangkan itu, atau rasa takut itu tentu takut akan sesuatu yang tidak ada atau belum ada! Yang takut akan setan belum pernah melihat setan itu sendiri, rasa takutnya timbul akibat pikiran membayangkan kemungkinan munculnya setan.

Demikian pula yang takut dengan bencana tentu belum tertimpa bencana itu, yang takut akan kematian tentu karena hal yang ditakutkan itu belum ada maka timbul bayangan-bayangan yang mengerikan. Orang yang tidak membayangkan setan tidak mungkin takut akan setan, yang tak pernah membayangkan kematian tak mungkin takut kematian dan sebagainya. Hal ini merupakan kenyatan yang dapat kita selidiki sendiri.

Maka jelaslah bahwa rasa takut merupakan bayangan pikiran kita yang dipengaruhi oleh pengalaman di masa lalu, baik itu pengalaman sendiri mau pun pengalaman orang lain, kemudian pikiran menciptakan kemungkinan-kemungkinan yang tak menguntungkan diri. Lantas timbullah rasa takut. Dan rasa takut ini sama sekali tidak ada manfaatnya bagi hidup. Malah rasa takut ini membuat kita kehilangan kewaspadaan, segala tindakan kita terpengaruh olehnya.

Biasanya kita menghadapi rasa takut sebagai sesuatu yang terpisah dari batin kita. Kita ingin menghindari rasa takut, maka muncullah hiburan-hiburan untuk melupakan hal-hal yang mendatangkan rasa takut itu. Akan tetapi hal ini hanyalah merupakan pelarian yang sia-sia belaka.

Rasa takut akan setan umpamanya, tidak mungkin bisa lenyap hanya dengan melarikan diri dari rasa takut, dengan jalan menghiburnya, mencari kawan, pergi ke tempat-tempat ramai dan sebagainya. Lain waktu rasa takut itu akan muncul lagi setiap kali pikiran kita membayangkan tentang kengerian-kengerian bertemu setan.

Mengapa tidak kita hadapi saja rasa takut itu? Kita amati saja kalau sewaktu-waktu rasa takut itu muncul dan ini merupakan sesuatu yang teramat menarik dan teramat berharga untuk diselami dan dihayati sendiri. Kalau rasa takut muncul, baik rasa takut akan setan, rasa takut akan bencana, mala petaka, mau pun rasa takut akan kematian, kenapa kita tidak menghadapi rasa takut itu saja tanpa ingin melarikan diri darinya?

Hadapi saja, amati saja penuh perhatian sehingga kita bisa melihat dengan sepenuhnya, dapat mengerti sepenuhnya, apa sesungguhnya rasa takut itu sehingga bukan kita yang menghindarkan diri dari rasa takut melainkan rasa takut itu sendiri yang lenyap dari lubuk hati kita? Kenapa kita tidak membebaskan diri dari rasa takut yang dapat menimbulkan berbagai macam akibat dalam sikap dan tindakan dalam hidup kita?

Semalam suntuk Kim Hong hanya duduk bersila di dekat api unggun, tak pernah bergerak seperti patung. Hanya kadang-kadang saja kalau harus menambah kayu bakar, maka dia bergerak sebentar kemudian duduk lagi.

Suara api membakar kayu menimbulkan bunyi yang menarik perhatiannya sehingga tidak mendengar suara lain dan tidak tahu bahwa ada sosok tubuh orang menyelinap di antara pohon-pohon di sekelilingnya dan sejak tadi ada sepasang mata mengintainya. Ketika itu malam sudah hampir habis dan fajar mulai menyingsing di ufuk timur.

Akan tetapi karena nyamuk masih belum meninggalkan tempat yang masih gelap itu, Kim Hong masih terus menyalakan api unggun sambil duduk dengan tenangnya. Hatinya mulai gembira melihat bahwa di sebelah timur telah mulai nampak sinar kemerahan.

Ringkik kudanya yang mula-mula membuat gadis ini waspada. Dia segera mencurahkan perhatiannya ke sekeliling sehingga pandangan matanya yang tajam itu bisa menangkap berkelebatnya bayangan di balik pohon di sebelah kirinya. Kudanya mendengus-dengus dan Kim Hong mengambil sikap tenang, pura-pura tidak tahu bahwa waktu itu ada orang yang mengintainya. Mengapa orang itu mengintai saja dan tidak turun tangan sejak tadi, pikirnya.

Apakah kemunculan orang ini ada hubungannya dengan penjahat yang menculik ibu dua orang anak itu? Ataukah ada hubungannya dengan menghilangnya Thian Sin? Apa bila orang itu adalah si penjahat yang suka menculik wanita, mungkin sekali dia mengintaiku untuk kemudian turun tangan menangkap dan menculikku. Akan tetapi kalau ternyata ada hubungannya dengan menghilangnya Thian Sin, kalau ternyata orang itu sudah tahu akan kelihaian Thian Sin, mungkin sekali dia pun berhati-hati terhadapnya. Sungguh tidak enak hanya menunggu sambil menduga-duga seperti ini. Lebih baik memberi kesempatan dan memancing supaya orang itu bergerak turun tangan.

Kini api unggun mulai padam, sengaja dibiarkan saja oleh Kim Hong dan dalam duduknya, dara itu nampak melenggut. Kemudian dia membiarkan dirinya diserang hawa dingin pagi, menggigil sedikit lalu menguap, menutupkan punggung tangan di depan mulut, kemudian merebahkan dirinya bersandar pada batang pohon dan tidur.

Sikap serta gerakannya demikian wajar sehingga siapa pun juga tentu akan menyangka bahwa gadis ini merasa kedinginan dan mengantuk lantas dengan mudahnya jatuh pulas ketika merebahkan diri dan bersandar pada batang pohon itu. Dan agaknya, orang yang mengintainya dari balik batang pohon itu pun menduga demikian.

Dia membiarkan sampai gadis itu tertidur selama setengah jam, barulah dengan gerakan kaki yang sangat ringan dia keluar dari balik pohon dan menghampiri. Sejenak dia berdiri memandang wajah dan tubuh yang terlentang di hadapannya itu dan sepasang mata itu mengeluarkan sinar kagum.

Memang, melihat Kim Hong rebah terlentang setengah duduk bersandar batang pohon di pagi hari itu merupakan pemandangan yang indah menarik. Hati siapa tak akan tergerak melihat tubuh yang padat serta matang itu setengah terlentang, dan melihat wajah yang luar biasa cantiknya itu, sedikit tertutup uraian rambut, dengan mata terpejam dilindungi bulu mata yang lentik, bibirnya kemerahan mengulum senyum, lehernya yang panjang itu nampak terbuka sehingga kulit leher putih mulus itu menantang pandang mata?

Ada pun Kim Hong sejak tadi sudah melihat orang itu dan jantungnya berdebar tegang. Orang itu adalah seorang laki-laki yang memakai sutera putih dan pada dadanya terdapat lukisan tengkorak dari tinta merah atau pun darah, dan muka orang itu memakai topeng tengkorak pula! Sungguh mengerikan dan tentu akan menakutkan orang melihat siluman ini muncul di pagi hari buta dan di tempat sunyi seperti itu.

Akan tetapi di dalam hatinya Kim Hong merasa geli, namun juga marah. Inikah orangnya yang telah membunuh Tujuh Pendekar Tai-goan, dan sudah menculik ibu dua orang anak itu? Apakah dia ini berhasil menghindarkan diri dari pencarian Thian Sin, kemudian malah datang ke sini untuk menculiknya?

Orang bertopeng itu agaknya sudah puas memandang Kim Hong. Dia pun mengangguk-angguk, kemudian mengeluarkan sebuah bungkusan kertas dari dalam saku bajunya. Dia melangkah dekat, lalu kertas dari dalam itu dibukanya dan begitu dia mengebutkan kertas itu, bubukan berwarna merah berhamburan ke arah muka Kim Hong! Akan tetapi, pada saat itu Kim Hong sudah bergerak dengan sangat cepatnya, meloncat dan menggunakan kakinya untuk menendang.

"Wuuuttt...! Dukkk!" Tubuh orang bertopeng itu terpelanting dan terlempar ke belakang.

Tentu saja siluman itu terkejut setengah mati. Sama sekali tidak pernah diduganya bahwa dara yang cantik jelita itu, yang nampak tidur pulas, tahu-tahu dapat mengirim tendangan yang demikian cepat dan hebatnya. Dia tadi masih dapat menangkis, akan tetapi karena kurang cepat dan kurang mengerahkan tenaga, maka tendangan yang luar biasa kuatnya itu membuat tubuhnya terpelanting bahkan terlempar ke belakang.

Akan tetapi, begitu tubuhnya terbanting, cepat orang itu sudah mampu meloncat bangun kembali! Dan dia menjadi semakin heran melihat betapa gadis itu tidak terpengaruh oleh bubuk obat biusnya! Padahal bubuk obat bius merah itu amat kuat dan sukar dilawan oleh orang yang pandai sekali pun. Dia tadi tidak melihat betapa dengan sehelai sapu tangan, Kim Hong mengebut bubuk merah itu dengan pengerahan sinkang sehingga bubuk merah itu tertiup pergi dan tidak ada yang mengenai mukanya.

Karena kecelik, siluman itu agaknya merasa penasaran sekali. Dia segera mengeluarkan gerengan marah dan tiba-tiba saja tubuhnya telah meluncur ke depan dan dia pun sudah menyerang Kim Hong dengan dahsyat. Tangan kanannya meraih ke arah leher bagaikan hendak mencengkeram, ada pun jari tangan kirinya meluncur dan menotok ke arah jalan darah di pundak. Totokan ke arah pundak inilah yang bahaya karena selain ‘tertutup’ oleh cengkeraman tangan kanan, juga yang diarah itu jalan darah yang penting dan yang akan membuat orang yang kena ditotoknya menjadi lemas tak akan mampu bergerak lagi!

Akan tetapi, tentu saja serangan semacam itu bukan apa-apa bagi Kim Hong. Gadis ini sudah dapat mengukur dalam tendangannya tadi bahwa biar pun siluman ini mempunyai kepandaian lumayan yang lebih dari pada penjahat-penjahat biasa dan mempunyai tubuh yang kuat, namun bukan merupakan lawan yang terlalu tangguh baginya.

Oleh karena itu Kim Hong menjadi marah. Dia ingin mempermainkan lawan, hendak lebih dulu menghajarnya, baru kemudian dia akan melucuti kedoknya dan akan memaksanya mengaku tentang peran Siluman Goa Tengkorak dan ibu anak-anak yang telah diculiknya itu.

Maka, begitu serangan itu datang, dia cepat menyambutnya dengan mudah sekali. Tanpa mengerahkan banyak tenaga dan kecepatan, dia telah dapat menghindarkan diri dari dua serangan itu. Ia sengaja tidak mau membalas dan membiarkan siluman itu menyerangnya secara bertubi-tubi untuk mengukur sampai di mana tingkat kepandaian lawan.

Setelah dia membiarkan lawannya menyerangnya sampai belasan jurus, dia pun mengerti bahwa lawan ini memiliki dasar ilmu silat campuran dan tidak dapat digolongkan sebagai seorang ahli yang sudah matang. Karena itu dia pun ingin menghentikan perkelahian itu dan pada waktu orang itu kembali menyerangnya dengan tangan kanan mencengkeram ke arah dada, serangan yang sungguh tidak tahu malu dari seorang lawan pria terhadap seorang wanita, Kim Hong sudah menyelinap ke samping dan begitu kakinya melayang, dia telah menendang perut orang itu dengan keras.

"Desss...!"

Tubuh orang itu melayang untuk kedua kalinya, sekali ini melayang jauh lantas terbanting jatuh dekat dengan kuda tunggangan Kim Hong yang menjadi kaget dan meringkik.

Tendangan tadi amat keras dan biar pun Kim Hong tidak bermaksud membunuhnya, atau belum lagi, akan tetapi tendangan itu cukup kuat untuk membuat orang itu memuntahkan darah segar dari mulutnya. Akan tetapi orang itu memang memiliki tubuh yang kuat dan tahan uji, karena begitu terbanting jatuh, dengan mulut mengeluarkan darah, dia langsung meloncat dan tahu-tahu dia sudah berada di atas punggung kuda tunggangan Kim Hong. Kuda itu pun dibedalkannya dengan cepat sekali meninggalkan tempat itu.

"Hei, badut keparat! Hendak lari ke mana engkau?" Kim Hong terkejut dan marah sekali, lalu menggerakkan kedua kakinya mengejar.

Dara ini adalah seorang ahli ginkang, maka gerakannya luar biasa cepatnya, larinya tidak kalah oleh larinya kuda. Akan tetapi karena siluman itu tampaknya jeri sekali dan tak mau tersusul, maka kuda itu dibalapkannya dan dipukulinya dengan tangan terbuka sehingga kuda itu berlari sangat cepat. Kim Hong terus mengejar, bukan saja hendak menangkap si penjahat melainkan juga untuk mendapatkan kembali kudanya.

Sekarang kuda itu meninggalkan jalan dan memasuki hutan. Kim Hong tetap mengejarnya sampai si penunggang kuda itu tiba di tepi jurang, jurang yang menganga lebar dan amat dalam, selebar kurang lebih empat tombak. Dan Kim Hong melihat siluman itu terus saja membedalkan kudanya, bahkan hendak membawa kudanya meloncati jurang!

"Heiii, jangan...!" Kim Hong berteriak karena dari jauh saja dia sudah dapat melihat bahwa perbuatan itu merupakan tindakan nekat dan mempertaruhkan nyawa dengan sia-sia.

Jurang itu terlalu lebar untuk dapat diloncati oleh kudanya. Kuda itu kini ‘terbang’ di atas jurang dan dengan mata terbelalak Kim Hong berhenti dan memandang, melihat betapa kaki depan kuda itu memang telah mencapai tepi jurang di seberang, akan tetapi karena sebagian besar badannya yang belakang belum sampai, maka kuda itu terjengkang dan bersama dengan penunggangnya meluncur jatuh ke dalam jurang yang amat dalam itu!

Kim Hong mengepal tinju sambil lari ke tepi jurang, menjenguk ke bawah dan dia melihat betapa kuda serta penunggangnya terbanting-banting ke lereng bukit yang berbatu-batu, kemudian berhenti dan tidak bergerak-gerak lagi.

"Keparat!" Kim Hong mendesis.

Dia merasa kecewa dan menyesal sekali mengapa tidak sejak tadi dia merobohkan saja orang itu agar dapat dikorek keterangan darinya. Sekarang, bukan saja penjahat itu telah mati dan tidak ada gunanya lagi, juga kudanya ikut mati. Terpaksa dia kembali ke tempat tadi dan mulailah dia mencari jejak kuda yang ditunggangi Thian Sin kemarin siang.

Tentu saja tidaklah mudah untuk mencari jejak kuda yang sudah lewat sehari semalam. Rumput yang diinjak kuda sudah berdiri lagi dan menutupi jejak pada tanah. Tapi untung baginya, tanah di hutan itu lembab sehingga hal ini membuat jejak kaki kuda itu menjadi agak tahan lama.

Dengan hati-hati dia mencari, menemukan jejak kaki kuda itu lantas mengikutinya dengan jalan kaki. Dia harus menemukan Thian Sin. Dia tak percaya bahwa riwayat Siluman Goa Tongkorak akan habis begitu saja bersama jatuhnya orang tadi dengan kudanya ke dalam jurang. Kalau siluman atau penjahat itu hanya seorang yang kepandaiannya semacam itu, maka tak mungkin orang-orang yang telah dijuluki Tujuh Pendekar Tai-goan begitu mudah dibunuhnya.

Apa lagi, tak mungkin bila Thian Sin sampai tak mampu menemukannya setelah pemuda itu mencari selama sehari semalam. Tentu ada apa-apa di balik semua ini, ada kekuatan yang jauh lebih hebat dari pada sekedar penjahat bertopeng tengkorak tadi.

Tanpa setahu Kim Hong, jejak kuda yang ditunggangi Thian Sin itu membawanya kepada daerah Goa Tongkorak! Dia tidak menyadari hal ini karena memang dia belum mengenal daerah itu. Belum ada kesempatan baginya dan juga bagi Thian Sin untuk menyelidiki keadaan Siluman Goa Tengkorak yang baru pertama kali mereka dengar dari mulut Kwee Siu ketika pendekar itu dalam keadaan sekarat, lalu peristiwa demi peristiwa terjadi susul menyusul demikian cepatnya.

Mula-mula pertemuan mereka dengan dua orang anak-anak yang menuturkan bahwa ayah dan paman-paman mereka terbunuh siluman dan bahwa ibu mereka terculik. Kemudian pertemuan mereka dengan Kwee Siu yang menghadapi maut. Lalu menghilangnya Thian Sin yang mengikuti jejak siluman dan tak kunjung kembali ke dalam hutan seperti yang sudah mereka janjikan. Kemudian muncul siluman yang mencoba untuk membiusnya, yang berakhir dengan kematian mengerikan bagi siluman itu sebelum Kim Hong sempat membuka rahasianya. Semua itu terjadi hanya dalam waktu semalam saja dan kini dia telah mengikuti jejak kekasihnya.

Melihat keadaan yang sangat liar dan sunyi dari tempat ke mana jejak itu membawanya, Kim Hong mulai merasa khawatir. Agaknya dia dibawa ke tempat yang berbahaya, karena makin lama tempat itu semakin sunyi. Tak nampak ada seorang pun manusia dan ketika jejak itu tiba di tepi Sungai Fen-ho yang berbatu-batu karang, jejak itu pun lenyap.

Tentu Thian Sin melanjutkannya dengan jalan kaki, pikirnya. Jalan itu mendaki tebing dan sangat sukar dilewati manusia, apa lagi kuda. Kim Hong tidak melanjutkan perjalanannya. Dia meragu, sebab tidak tahu ke mana dia harus melanjutkan perjalanan. Yang berada di depannya itu merupakan jalan pendakian ke sebuah tebing yang curam dan dia tidak tahu ada apa di balik tebing atau di sebelah atas itu. Dia juga tidak tahu ke mana Thian Sin melanjutkan perjalanannya dan tidak dapat menduga pula apa yang telah terjadi sesudah kekasihnya itu tiba di tempat ini.

Tiba-tiba, ketika dia memeriksa keadaan sekeliling dan melihat-lihat, di atas bukit kecil pada sebelah kiri terlihat sebuah bangunan kuil kecil kuno yang berdiri terpencil. Agaknya sebuah kuil yang tidak dipergunakan lagi, dan mungkin saja untuk tempat tinggal seorang pertapa, namun bukan tidak mungkin tempat terpencil itu menjadi tempat persembunyian penjahat!

Timbul semangatnya karena dia berpendapat bahwa jika Thian Sin sudah tiba di sini dan melihat kuil itu, tentu kekasihnya itu juga akan mengunjungi serta memeriksa tempat itu sebagai langkah pertama dalam penyelidikan mengenai Siluman Goa Tengkorak itu. Kim Hong lalu mulai mendaki tebing yang amat sukar itu. Akan tetapi karena dia mempunyai ginkang yang amat hebat, dia pun dapat mendaki tempat itu dengan cepat dan tidak lama kemudian, tanpa banyak kesukaran dia sudah tiba di pekarangan kuil kuno.

Namun pekarangan itu nampak bersih dan ada bekas sapuan di situ. Hal ini menandakan bahwa tempat itu berpenghuni! Siapa tahu penghuninya adalah penjahat yang kini sedang dicari-carinya. Pikiran ini membuat Kim Hong bersikap hati-hati, maka dia pun menyelinap dan menghampiri kuil kuno itu dari belakang. Ketika dia melihat seekor kuda ditambatkan di bagian belakang dari kuil itu, jantungnya segera berdebar tegang dan girang.

Dia mengenal kuda itu, kuda tunggangan Thian Sin! Dihampirinya kuda itu dan ditepuk-tepuknya punggung kuda itu. Kuda itu pun mengenal Kim Hong, lantas membelai tangan dara itu dengan mukanya. Ah, kalau saja kuda ini mampu bicara, tentu banyak yang bisa diceritakannya dan dia tidak perlu bingung-bingung mencari tahu apa yang sudah terjadi dengan Thian Sin sehingga pemuda itu tidak kembali ke hutan.

"Hei, siapa yang berani mencoba mencuri kuda?"

Kim Hong terkejut sekali dan cepat membalikkan tubuhnya. Kiranya yang menegurnya itu adalah seorang lelaki berusia enam puluhan tahun, mengenakan pakaian seperti seorang tosu, tubuhnya kurus serta kedua pipinya cekung sehingga tanpa kedok tengkorak sekali pun muka itu sudah hampir mendekati bentuk tengkorak.

Namun kakek itu jelas seorang tosu, bukan seorang penjahat yang memakai jubah putih bergambar tengkorak, tidak pula memakai kedok. Akan tetapi Kim Hong bermaksud ingin mengejutkan hati pendeta itu dengan pertanyaan yang tiba-tiba datangnya.

"Totiang, ke mana perginya pemilik kuda ini?"

Tosu itu berjalan menghampiri dan sejenak menatap Kim Hong penuh perhatian. "Pemilik kuda ini? Ahhh, apakah nona yang menjadi sahabatnya dan yang malam tadi menunggu dia di dalam hutan?"

Kim Hong mengangguk lantas memandang tajam. "Totiang, ke mana perginya sahabatku itu? Mengapa dia tidak kembali ke hutan?"

"Ahh, pinto telah menanti-nantimu, nona. Pinto merasa khawatir sekali akan nasib kongcu itu..."

"Ada apakah, totiang? Harap suka cepat ceritakan!" Kim Hong tertarik sekali namun juga merasa khawatir.

"Kemarin siang kongcu yang menjadi temanmu itu datang ke sini dan menitipkan kudanya ini. Kemarin dia menanyakan jalan menuju ke Goa Tengkorak." Dia berhenti sebentar dan memandang jauh ke depan dengan sinar mata kosong namun mengandung rasa takut.

"Lanjutkanlah, totiang," Kim Hong mendesak tak sabar.

"Pinto sudah memperingatkan bahwa tempat itu bukan merupakan tempat pesiar namun tempat berbahaya sekali yang tidak pernah dikunjungi orang. Akan tetapi dia membujuk pinto sehingga akhirnya pinto mengantarnya ke daerah itu. Ketika kami tiba di sana, pinto sudah mengajaknya untuk segera pulang saja, akan tetapi kongcu itu memaksa hendak memasuki sebuah goa besar di sana. Pinto segera memperingatkan dan mencegahnya, akan tetapi kongcu itu nekat memaksa, bahkan meninggalkan pesan kepada pinto bahwa dia mempunyai seorang teman wanita yang sedang menanti di dalam hutan, dan apa bila pinto berjumpa dengan nona supaya pinto memberi tahukan semuanya. Nah, pinto tidak berhasil membujuknya dan dia pun memasuki goa. Pinto menunggu di luar goa sampai malam dan dia belum juga keluar. Terpaksa pinto pulang sendirian..."

Kim Hong mengerutkan alisnya. "Apakah totiang tidak menyusul dan memanggilnya?"

Tosu itu nampak terkejut. "Ahh, nona belum tahu rupanya. Tempat itu amat keramat dan juga berbahaya. Apa bila pinto tahu bahwa kongcu itu hendak memasuki goa, tentu pinto tidak berani dan tidak mau mengantarnya. Goa-goa itu merupakan goa-goa keramat yang tak pernah didatangi manusia dan kabarnya siapa yang berani masuk goa tak akan dapat keluar kembali. Maka pinto tidak berani memasukinya untuk menyusul kongcu."

"Hemmm, apakah totiang pernah mendengar tentang Siluman Goa Tengkorak? Di situkah sarangnya?"

Tosu itu menggelengkan kepala. "Pinto hanya tahu bahwa tempat seperti itu sudah pasti menjadi sarang para siluman dan iblis. Ah, pinto khawatir sekali kalau-kalau kongcu telah mengalami hal-hal yang tidak baik dan tertimpa mala petaka di dalam goa itu..."

"Totiang, kalau begitu tolong antar saya ke tempat itu!" Kim Hong yang merasa khawatir sekali itu mendesaknya.

"Apa...?! Nona... nona hendak menyusul ke sana?"

"Benar, akan saya susul dia ke dalam goa! Habis, kalau tidak ada yang berani memasuki goa menyusulnya, bagaimana dapat menemukannya?"

"Tapi itu berbahaya sekali, nona! Pinto tidak berani!"

"Totiang tidak usah masuk, biarlah aku sendiri yang masuk!" kata Kim Hong agak jengkel karena melihat pendeta itu ketakutan, padahal dari gerak-gerik pendeta ini dapat diduga bahwa pendeta ini bukanlah orang sembarangan, bukan orang yang lemah.

"Tapi itu pun berbahaya sekali, nona. Lihat, kongcu masuk ke dalam goa dan tidak keluar lagi. Kalau sekarang nona juga masuk ke sana dan terjadi apa-apa, bukankah pinto yang menerima dosanya? Sebaiknya kalau nona minta bantuan susiok..."

"Susiok? Siapa dia?"

"Pinto mempunyai seorang susiok (paman guru) yang pandai melihat hal-hal jauh, pandai melihat hal-hal yang telah lampau. Susiok tentu akan dapat membantu kita memberi tahu bagaimana keadaan kongcu sekarang dan di mana dia berada."

Kim Hong tidak mau percaya segala macam ketahyulan dan segala macam ilmu ramalan ini. Yang terpenting dia harus turun tangan mencari dan kalau perlu menolong Thian Sin. Tentu telah terjadi sesuatu dengan pemuda itu.

"Tidak, totiang, aku ingin mencarinya sendiri. Mari totiang tunjukkan di mana tempatnya. Totiang tidak usah mencampuri, aku akan mencarinya sendiri."

Kakek itu menarik napas panjang dan setelah menggeleng-gelengkan kepalanya dia pun berkata, "Siancai... orang-orang muda sekarang sungguh mempunyai hati yang keras dan berani. Selama ini pinto hidup tenteram di sini, akan tetapi kini pinto melihat orang-orang muda seperti kongcu dan nona berani menempuh bahaya. Sungguh membuat hati pinto berduka dan penasaran. Marilah, nona, pinto antarkan ke daerah Goa Tengkorak."

Berangkatlah mereka dan ternyata jalan yang mereka lalui sekarang jauh lebih sukar dari pada jalan menuju ke kuil kuno yang dilalui Kim Hong seorang diri tadi. Dan di sini dara perkasa itu mendapatkan kenyataan bahwa dugaannya memang benar, tosu itu bukanlah seorang lemah karena dapat berjalan melalui jalan yang sukar, terjal dan licin, dan untuk dapat melalui jalan seperti ini membutuhkan ginkang yang lumayan. Karena itu, di tengah perjalanan mendaki tebing dia pun tidak dapat menahan keinginan tahunya.

"Kulihat totiang bukan seorang lemah dan juga memiliki ilmu kepandaian, kenapa totiang begitu ketakutan terhadap Goa Tengkorak? Ada apanya sih di sana?"

Pendeta itu berhenti kemudian berpegangan pada batu karang yang menonjol. "Aih, apa sih artinya kepandaian manusia kalau harus berhadapan dengan para siluman?"

Lalu dia berjalan lagi dan kali ini dia bergerak lebih cepat, agaknya hendak meninggalkan Kim Hong atau menurut persangkaan dara itu, si tosu ini sengaja hendak memperlihatkan kepandaian atau sengaja hendak mencoba dan mengujinya.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

1 komentar

  1. lANJUT...