Asmara Berdarah Jilid 08

Selagi dia sedang termenung, mendadak berkelebat bayangan orang lagi. Karena tadinya membayangkan betapa tempat itu akan diserbu oleh musuh, maka kali ini berkelebatnya bayangan orang membuat Sui Cin terkejut dan dia pun otomatis meloncat berdiri lalu siap melawan siapa saja yang akan menyerangnya.

Akan tetapi orang itu tertawa ramah. "Ha-ha, nona Ceng, apakah aku sudah membuatmu terkejut? Maafkanlah kalau begitu, aku tidak sengaja mengejutkan hatimu."

Ceng Sui Cin memandang dengan hati lega. Wajah yang tampan itu berseri dan senyum itu ramah sekali. Ia pun tersenyum dan seluruh urat syarat yang tadi sudah menegang kini kembali mengendur dan hatinya lega.

"Aih, kiranya engkau, saudara Sim Thian Bu." Lalu dia pun teringat akan berita dari murid Pek-ho-pai tadi. "Apakah engkau juga sudah mendengar akan berita yang dibawa murid Pek-ho-pai tadi?"

Pemuda yang baru datang itu adalah Sim Thian Bu. Wajahnya yang tadinya tersenyum berseri itu nampak terheran ketika mendengar ucapan Sui Cin. "Murid Pek-ho-pai? Berita tentang apa? Aku belum mendengarnya, nona."

"Baru saja dia datang ke sini. Aku sudah mengujinya dan ternyata dia benar-benar murid Pek-ho-pai karena dia mahir Ilmu Silat Bangau Putih. Tadi dia membawa berita bahwa pertemuan para pendekar besok hari itu dibatalkan."

"Dibatalkan?" Sim Thian Bu tampak terkejut dan kecewa. "Aih, jauh-jauh aku datang untuk menghadiri pertemuan sambil belajar kenal dengan para pendekar... wah, nona, mengapa dibatalkan?"

"Karena besok tempat ini akan dikurung dan diserbu oleh para penjahat..."

"Hemmm..."

"Kaum sesat itu berjumlah banyak sekali, dipimpin oleh Cap-sha-kui sendiri."

"Benarkah...?"

"Bukan itu saja. Malah kabarnya Iblis Buta akan datang pula."

"Hebat! Kenalkah nona kepada datuk-datuk itu?"

"Tidak, hanya namanya saja yang kukenal."

"Kalau begitu, nona juga akan pergi dari tempat ini, tidak jadi menghadiri pertemuan para pendekar?"

"Ya, pertemuan itu tidak jadi, untuk apa dihadiri dan ditunggu?"

"Memang sebaiknya kalau kita pergi saja sekarang juga meninggalkan tempat ini, nona."

"Kita...?"

"Ya, kita. Apa salahnya kalau kita pergi bersama? Bukankah kita sudah saling berkenalan dan berarti kita adalah sahabat?"

Sui Cin tersenyum. "Hemm, kenalan tidak selalu berarti sahabat."

Sim Thian Bu juga tersenyum. "Akan tetapi aku ingin bersahabat denganmu, nona."

"Kenapa?"

"Karena engkau lihai..."

"Hemm, bagaimana engkau tahu aku lihai?"

"Mana mungkin engkau tidak lihai kalau engkau adalah puteri Pendekar Sadis?"

Sui Cin diam sejenak, memandang wajah orang itu. Wajah yang tampan menarik, tubuh yang tegap dengan pakaian yang bersih dan rapi, bagaikan pakaian seorang sasterawan muda yang kaya.

Untuk bercakap-cakap, pemuda ini lebih menarik dari pada Cia Sun walau pun tentu saja terhadap Cia Sun dia telah menaruh kepercayaan penuh yang agaknya terpengaruh oleh kenyataan bahwa Cia Sun adalah putera tunggal Cia Han Tiong, kakak angkat atau juga kakak seperguruan ayahnya. Sebaliknya, pemuda yang bernama Sim Thian Bu ini baru saja dikenalnya, belum diketahuinya benar keadaannya sungguh pun kelihatannya pantas menjadi seorang pendekar pula.

"Hati-hati bila berhadapan dengan manusia, anakku," demikian antara lain ibu kandungnya sering memberi nasehat. "Di dunia ini penuh dengan manusia palsu, yang pada lahirnya nampak baik dan dapat dipercaya, akan tetapi sesungguhnya adalah manusia jahat yang berbahaya, seperti harimau bertopeng domba."

Dia tidak akan kehilangan kewaspadaan, pikirnya dan meski pun dia merasa suka bergaul dengan pemuda tampan yang berwajah gembira dan pandai bicara ini, namun dia belum menyerahkan seluruh kepercayaannya dan diam-diam bersikap waspada.

"Kalau kita pergi dari sini, ke mana tujuanmu?" Dia bertanya sambil mengemasi selimut yang tadi dipakainya untuk melewatkan malam di tempat itu kemudian membuntal semua pakaiannya.

"Ke mana? Ha-ha, nona, sudah kuberi tahukan bahwa aku adalah seorang perantau yang tidak mempunyai tujuan tertentu ke mana akan pergi. Ke mana saja, asal bisa meluaskan pengalaman memperlebar pengetahuan. Kabarnya, di sebelah selatan, hanya perjalanan satu hari, terdapat sebuah telaga yang sangat indah. Bagaimana kalau kita melancong ke sana? Tentu saja kalau nona suka."

Pemuda itu memang pandai mengatur kata-katanya sehingga sangat menyenangkan hati Sui Cin. Di dalam ucapannya itu terkandung bujukan, akan tetapi jelas bukan paksaan dan menyerahkan keputusannya kepada Sui Cin dan mementingkan perasaan gadis itu.

"Baik, kita pergi ke sana," kata Sui Cin.

Dara ini mengambil keputusan untuk bersenang-senang dahulu sebelum pulang ke Pulau Teratai Merah yang telah ditinggalkan selama berbulan-bulan itu…..

********************

Cin-an adalah sebuah kota besar yang terletak di Lembah Huang-ho di Propinsi Shantung. Daerah ini memiliki beberapa tempat peristirahatan atau tempat rekreasi yang indah-indah karena tanahnya memang subur.

Di luar kota Cin-an, di tepi pantai Sungai Huang-ho yang airnya berlimpah-limpah, terdapat sebuah kebun yang luas. Selain terdapat pohon-pohon kembang yang beraneka ragam dan warna, di sini juga terdapat gunung-gunungan dan sebuah telaga buatan yang kecil di tengah-tengah kebun di mana orang dapat berperahu, memancing ikan, berenang-renang dan sebagainya.

Setiap hari ada saja orang mengunjungi kebun ini dan terutama sekali para pembesar dan orang kaya mempergunakan tempat ini untuk pelesir dan menghibur hati di atas perahu mereka, minum-minum sambil mendengarkan musik, nyanyian dan menonton tarian para penyanyi dan penari yang sengaja mereka bawa untuk bersenang-senang.

Akan tetapi pada hari itu di kebun itu agak sepi. Di samping hanya terlihat beberapa orang yang berjalan-jalan di sana-sini, ada pula yang sedang duduk di perahunya memancing ikan, ada pula yang berjalan-jalan di sekeliling telaga. Beberapa buah perahu kecil yang didayung oleh dua orang hilir-mudik di atas permukaan air sambil bercakap-cakap dan minum arak.

Di atas gunung-gunungan ada seorang pelukis tua sedang asyik melukis telaga dengan perahu-perahunya. Nampak pula seorang penyair sedang corat-coret dengan alis berkerut, menyatakan kesan dan perasaan hatinya berbentuk huruf-huruf tersusun indah. Agaknya sang penyair ini belum juga dapat menemukan rangkaian huruf yang memuaskan hatinya. Berkali-kali dia merobek lagi kertas yang ditulisnya dan akhirnya dia pun bangkit berdiri, mulutnya berkemak-kemik menggulung sajak yang dikarangnya dan kakinya melangkah menaiki gunung-gunungan di mana sang pelukis tengah melukis dengan asyiknya.

Tak lama kemudian penyair itu telah berdiri di belakang sang pelukis, tanpa mengeluarkan suara gaduh agar tidak mengganggu pekerjaan orang, dia memandang lukisan yang mulai berbentuk itu. Mendadak wajahnya berseri dan seperti tanpa disadarinya dia berkata lirih sambil memandang ke arah lukisan itu.

"...gerakan air dan awan
berubah setiap saat
tanpa bekas, tanpa tujuan...
"

Penyair itu bertepuk tangan dengan hati girang sekali. "Ah, benar sekali. Di dalam lukisan terkandung sajak dan di dalam syair terkandung lukisan, keduanya tak dapat dipisahkan!" Akan tetapi sesudah mengeluarkan ucapan yang nadanya gembira ini, dia berbisik, "Dua orang bercaping lebar yang sedang memancing ikan, itulah mereka."

Si pelukis memandang ke arah pemukaan telaga di mana terdapat dua orang setengah tua sedang sibuk memancing. Caping mereka yang lebar menyembunyikan muka mereka dan dari bawah caping itu, mata mereka kadang kala ditujukan ke arah seorang pemuda yang sedang mendayung perahu seorang diri sambil minum arak! Dua orang bercaping lebar itu memiliki bentuk tubuh yang tegap, dan pandang mata mereka tajam, juga di balik jubah mereka terdapat sebatang pedang.

Kini pelukis itu membenahi barang-barangnya, menggulung lukisannya dan bersama si penyair lalu menuruni gunung-gunungan menuju ke tepi telaga. Mereka berjalan perlahan sambil bercakap-cakap. Keduanya terlihat akrab sekali, mungkin karena keduanya adalah seniman. Usia mereka sebaya, kurang lebih lima puluh tahun dan mereka mengenakan pakaian sasterawan yang sederhana.

Orang-orang tak akan mencurigai dua orang laki-laki ini karena tempat itu memang biasa dikunjungi para seniman. Akan tetapi kalau orang memandang kepada dua orang kakek sederhana itu dengan penuh perhatian dan melihat ke arah tangan mereka, maka orang itu akan terkejut karena ada sesuatu yang tidak wajar pada tangan mereka.

Tangan seniman biasanya halus dan lembut, akan tetapi tangan kedua orang seniman tua ini, dari pergelangan sampai ke ujung jari-jari tangan, nampak kebiruan! Bagi ahli silat, hal ini menjadi tanda bahwa kedua kakek seniman ini pernah mempelajari ilmu pukulan yang ampuh!

Memang demikianlah. Dua orang kakek ini bukan orang-orang sembarangan, akan tetapi tokoh-tokoh dari Kang-jiu-pang! Kang-jiu-pang (Perkumpulan Kepalan Baja) didirikan oleh seorang kakek gagah perkasa bernama Song Pak Lun dan perkumpulan itu berpusat di Cin-an.

Song Pak Lun adalah bekas perwira tinggi yang sudah didepak keluar karena menentang kebijaksanaan Liu-thaikam. Dia tidak mendendam karena dikeluarkan, melainkan sebagai seorang patriot yang mencinta negaranya, dia merasa prihatin melihat betapa pemerintah dikendalikan oleh pembesar lalim seperti Liu-thaikam yang dapat menguasai kaisar muda yang belum berpengalaman. Maka dia pun selalu bersikap menentang.

Dalam usianya yang enam puluh tahun itu, Song Pak Lun masih penuh semangat dan dia memiliki banyak murid yang menjadi anggota Kang-jiu-pang. Pada waktu dia mendengar bahwa kaisar dalam penyamaran sedang berpelesir meninggalkan istana dan diam-diam hanya dikawal oleh dua orang perwira pengawal, dia cepat mengerahkan para pembantu utamanya untuk bertindak. Kaisar harus ditawan, diculik, demikian keputusannya.

Sebagai seorang bekas perwira, tentu saja Song Pak Lun hanya dapat mempergunakan cara militer untuk berusaha menolong pemerintah. Dia hendak menawan kaisar muda itu dan memaksa kaisar, kalau perlu dengan ancaman nyawa, agar kaisar suka menghukum atau memecat Liu-thaikam! Dan kini muncul kesempatan yang amat baik baginya untuk melaksanakan maksud itu. Kebetulan kaisar muda itu melakukan perjalanan ke daerah Cin-an, menyamar sebagai seorang pemuda biasa!

Dua orang pria bercaping lebar itu memang dua orang perwira pengawal pribadi kaisar. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan mendapat kepercayaan Liu-thaikam yang secara diam-diam mengutus dua orang pengawal itu untuk melindungi keselamatan kaisar. Tentu saja Liu-thaikam amat setia kepada kaisar!

Memang, merupakan kenyataan pahit yang terpaksa harus kita telan sebagai kenyataan hidup betapa yang disebut kesetiaan itu sesungguhnya menyembunyikan sesuatu yang pada hakekatnya hanyalah usaha untuk mempertahankan kesenangan diri sendiri!

Siapakah yang setia dan kepada siapa? Tentu yang setia itu adalah orang atau golongan yang dapat menerima keuntungan serta kebaikan, pendek kata menerima sesuatu yang menyenangkan dirinya dan kesetiaan itu ditujukan pada orang atau golongan yang akan mendatangkan kesenangan itu!

Karena sebab yang gamblang inilah maka di dunia ini sering kali terjadi kesetiaan yang kemudian berubah menjadi pengkhianatan. Kalau kesenangan itu tidak diterimanya lagi, maka kesetiaan pun akan mengalami perubahan.

Liu-thaikam setia kepada kaisar, sebetulnya dia mempertahankan kesenangan yang telah diperolehnya dari kaisar. Karena kalau kaisar celaka, berarti dia sendiri pun celaka! Dan bentuk kesenangan yang didapatkan seseorang bukan hanya terbatas pada kesenangan lahiriah berupa harta benda, pangkat tinggi dan kedudukan, melainkan dapat saja berupa kesenangan batiniah berupa nama terhormat dan sebagainya.

Kita kembali kepada pemuda yang sedang duduk seorang diri di dalam perahunya sambil minum arak, menikmati pemandangan indah dan hawa yang sejuk bersih menyegarkan di pagi hari itu. Pemuda itu berpakaian seperti seorang sasterawan, berwajah tampan akan tetapi ada bayangan sifat manja dan malas di balik ketampanannya itu. Pemuda berusia sembilan belas tahun ini adalah Kaisar Ceng Tek!

Sejak diangkat menjadi kaisar dalam usia lima belas tahun, yaitu empat tahun yang lalu, kaisar muda ini tak pernah memperlihatkan minat yang besar terhadap pemerintahan. Dia lebih suka menghibur diri dengan permainan silat atau membaca kitab-kitab kuno, bergaul dengan para seniman, dan sesudah usianya semakin dewasa mulailah dia suka bergaul dengan wanita.

Dalam usahanya untuk menguasai hati kaisar, Liu-thaikam yang tahu akan kesukaan ini tentu saja selalu menyediakan segala sesuatu yang diinginkan kaisar. Gadis-gadis cantik, seniman-seniman pandai, sehingga kaisar muda itu makin tenggelam dalam kesenangan tanpa mempedulikan urusan pemerintah.

Satu di antara kesenangannya adalah merantau dan bertualang seperti seorang pemuda biasa, menanggalkan pakaian kebesaran serta mahkotanya yang berat itu, meninggalkan segala upacara kerajaan yang membosankan, meninggalkan urusan-urusan pemerintahan yang ruwet-ruwet, meninggalkan semua itu agar diurus oleh Liu-thaikam. Sedangkan dia sendiri bebas lepas seperti burung di udara, terbang melayang sesuka hatinya! Keadaan kaisar muda ini dapat terjadi demikian karena memang dia tidak mencintai pekerjaannya.

Betapa banyaknya manusia di dunia ini yang bekerja atau mengerjakan sesuatu bukan karena mencintai pekerjaannya, tapi karena terpaksa! Terpaksa oleh keadaan, terpaksa oleh cita-cita, terpaksa oleh dorongan orang tua, keluarga, masyarakat dan sebagainya.

Banyak orang tua mengirim anaknya ke suatu pendidikan tertentu karena terdorong oleh cita-cita muluk dan nanti setelah si anak berhasil lulus, ia terpaksa melakukan pekerjaan sesuai dengan pendidikannya, tanpa rasa cinta kepada pekerjaan itu sehingga batinnya terasa tersiksa selama hidup!

Banyak pula orang yang melakukan suatu pekerjaan hanya karena ingin mencari uang. Uang didapat, akan tetapi di samping itu, juga siksaan didapat pada waktu dia bekerja. Mengerjakan sesuatu yang tidak disenangi mendatangkan rasa jemu dan kalau dilakukan setiap hari sepanjang masa, akan mendatangkan siksa.

Kita hanya tinggal membuka mata untuk dapat melihat kenyataan ini, betapa manusia bekerja seperti robot tanpa gairah tanpa kegembiraan karena memang pada hakekatnya dia tidak mencintai pekerjaannya, bahkan di bawah sadarnya dia membenci pekerjaannya yang membelenggu kaki tangannya selama hidup itu!

Sebagai seorang yang paling berkuasa, Kaisar Ceng Tek tentu bisa melepaskan diri atau mencoba untuk melepaskan diri sewaktu-waktu dari belenggu itu. Akan tetapi apa yang dilakukannya bukanlah membebaskan diri dari belenggu melainkan hanya suatu pelarian sementara saja karena pada hakekatnya dia masih menggunakan haknya sebagai kaisar, berarti masih ingin menikmati hasil dari kekuasaannya. Dan akibat dari pelarian ini adalah kekacauan, karena roda pemerintahan dikendalikan oleh orang lain yang melakukannya demi ambisi pribadi, demi penumpukan harta benda.

Pada pagi hari itu Kaisar Ceng Tek duduk dalam perahu kecil sambil tersenyum-senyum gembira, menyangka bahwa tak ada seorang pun yang mengetahui keadaan dirinya. Dia tidak tahu bahwa tak jauh dari perahunya, dua orang tukang pancing setengah tua itu tak pernah melepaskannya dari pengamatan dan pengawalan. Juga dia tidak tahu bahwa ada beberapa pasang mata orang lain yang selalu memperhatikan gerak-geriknya dan bahwa pada saat itu dia telah menjadi pusat perhatian banyak orang dan berada dalam keadaan terancam.

Saat itu, si penyair dan si pelukis yang sebetulnya adalah dua orang tokoh Kang-jiu-pang yang lihai dan merupakan pembantu-pembantu utama dari ketua Kang-jiu-pang, dan yang bertugas memimpin usaha penculikan kaisar, telah naik sebuah perahu kecil, mendayung perahu kecil itu sambil minum arak, malah si penyair bernyanyi-nyanyi kecil membacakan sajaknya. Perahu mereka mendekati dua orang kakek yang sedang memancing ikan itu, lantas tiba-tiba saja perahu mereka itu menabrak perahu dua orang tukang pancing yang bercaping dan yang tidak menyangka-nyangka itu.

"Heiiiii...!" Seorang di antara mereka berteriak.

Akan tetapi tiba-tiba saja sikap kedua orang kakek seniman itu berubah. Mereka sudah meloncat lantas mempergunakan dayung mereka menghantam ke arah dua orang kakek bercaping.

"Heiiiittt!"

"Hyaaattt...!"

Dua orang bercaping itu lantas meloncat, cepat mengelak sambil mencabut pedang yang tersembunyi pada balik jubahnya. Si pelukis menggunakan jangkar perahu untuk mengait perahu lawan dan kini dua perahu itu bergandeng, lalu mereka berempat mulai berkelahi dengan serunya.

Dua orang seniman itu menggunakan dayung, dibantu tangan yang melencarkan pukulan-pukulan ampuh dengan tangan baja mereka, sedangkan dua orang tukang pancing itu menggunakan pedang. Dua buah perahu yang digandeng dengan jangkar dan talinya itu bergoyang-goyang keras dan setiap saat perahu-perahu itu dapat saja terguling.

Kaisar Ceng Tek yang perahunya berada tak jauh dari situ, menjadi terkejut mendengar suara gaduh dan makin kagetlah dia melihat empat orang laki-laki sedang saling serang dengan hebatnya. Dia adalah seorang pemuda yang suka bertualang. Karena tidak tahu persoalannya, mengira bahwa perkelahian itu tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya, sang kaisar bangkit berdiri di perahunya dan menonton dengan gembira!

Satu di antara kesukaannya adalah menyaksikan pertandingan silat dan kini dia disuguhi pertandingan yang seru dan menarik, dilakukan di atas dua buah perahu yang digandeng menjadi satu, antara empat orang kakek yang agaknya memiliki ilmu silat yang hebat.

"Ceppp...!"

Perahu kecil itu terguncang hingga sang kaisar hampir saja terpelanting. Dia cepat duduk lantas berpegangan pada tepi perahu sambil menggerakkan dayungnya mencegah agar perahunya tidak terguling. Kiranya sesudah dia duduk, dia melihat betapa sebatang anak panah yang besar telah menancap di badan perahunya dan gagang anak panah itu diikat sehelai tali dan kini perahunya bergerak, ditarik oleh sebuah perahu lain di depan yang ditumpangi oleh dua orang laki-laki bertubuh tegap!

"Heiii, apa-apaan ini? Lepaskan perahuku!" Sang kaisar berteriak marah.

"Tenanglah saja, sri baginda!" Terdengar suara di belakangnya.

Kaisar Ceng Tek cepat menengok. Ternyata di sebelah belakang perahunya terdapat tiga buah perahu lain yang masing-masing didayung oleh dua orang laki-laki tegap dan terlihat gagah. Ternyata yang berusaha menculiknya ada empat perahu dengan delapan orang, tidak termasuk dua orang kakek yang sedang bertanding melawan dua orang bercaping itu.

Kaisar Ceng Tek bukanlah seorang anak kecil. Dia tahu bahwa dirinya kini sudah berada di dalam kekuasaan para penculiknya. Tidak ada jalan meloloskan diri karena mereka itu sudah mengenal siapa dia. Untuk berteriak-teriak, di samping belum tentu akan ada yang berani menolong, juga betapa mudahnya bagi para penculiknya itu untuk membunuhnya jika mereka kehendaki. Jalan satu-satunya hanyalah menyerah saja sambil melihat bagai mana perkembangannya.

Dia juga tahu bahwa mereka tentu tak bermaksud membunuhnya, karena kalau demikian halnya, perlu apa mereka itu bersusah-susah hendak menawannya? Tak nampak adanya petugas jaga di tempat itu, maka tidak ada yang diharapkannya untuk dapat menolongnya dari orang-orang ini.

Kini perahu sang kaisar telah ditarik ke pinggir telaga dan dua orang meloncat ke dalam perahu kecil itu.

"Harap paduka suka menyerah saja dan menurut kehendak kami dari pada paduka harus dipaksa dengan kekerasan," berkata salah seorang di antara mereka yang tertua, berusia lima puluh tahun lebih dan memegang pedang. "Mari kita mendarat."

Kaisar Ceng Tek mengangkat bahu, bersikap tenang biar pun jantungnya berdebar penuh ketegangan, bahkan ada sedikit kegembiraan karena petualangannya ini sungguh sangat menarik, lalu dia pun melangkah keluar dari perahu dan mendarat. Akan tetapi, pada saat delapan orang itu mendarat semua, tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring.

"Tikus-tikus yang bosan hidup!" tiba-tiba saja, seperti setan, muncul seorang wanita yang mukanya berkedok hitam tipis, menyembunyikan bentuk mukanya sehingga yang tampak hanya sepasang mata yang liar, hidung kecil serta mulut lebar yang giginya besar-besar putih. Begitu muncul, tangan kirinya bergerak dan sinar-sinar halus menyambar ke arah orang-orang Kang-jiu-pang itu.

"Awas senjata rahasia!" teriak orang tertua.

Para anggota Kang-jiu-pang yang rata-rata mempunyai kepandaian cukup tinggi itu cepat berloncatan mengelak. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ketawa mengejek.

"Ha-ha-ha, orang-orang Kang-jiu-pang hendak berlagak!" Dan muncul pula seorang kakek tinggi besar bermuka hitam kasar dan penuh brewok.

Kakek ini memegang sebatang pecut baja yang panjang dan pada ujungnya terdapat paku besar. Mata kakek ini bulat, hidungnya besar dan mulutnya lebar. Pakaiannya jorok dan kotor.

Delapan orang Kang-jiu-pang terkejut bukan main ketika melihat munculnya dua orang ini. Mereka segera mengenal kakek Koai-pian Hek-mo dan nenek Hwa-hwa Kui-bo, dua orang datuk kaum sesat di muara Huang-ho dan mereka juga merasa heran karena tidak biasa dua orang datuk sesat ini turun tangan mengacaukan dunia.

"Ji-wi locianpwe, harap jangan mencampuri urusan dalam Kang-jiu-pang. Urusan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan ji-wi atau dengan golongan ji-wi!" berkata orang tertua dari Kang-jiu-pang dengan sikap hormat untuk menghindarkan bentrokan dengan kedua orang datuk kaum sesat ini. Dan memang, mereka sedang melaksanakan tugas yang tidak ada hubungannya dengan golongan mana pun, sehingga tidak perlu menimbulkan perkelahian yang hanya akan menghalangi pekerjaan mereka.

"Ha-ha-ha!" Koai-pian Hek-mo tertawa mengejek, sehingga nampak giginya yang kuning kotor. "Kalian hendak menculik kaisar dan masih bilang urusan dalam? Ha-ha-ha, kami memang tidak ada sangkut-pautnya, akan tetapi Liu-thaikam tentu tak akan membiarkan begitu saja!"

Mendengar ucapan ini, maka kagetlah orang-orang Kang-jiu-pang itu. Kiranya Liu-thaikam sudah bertindak sedemikian jauhnya sehingga berani mempergunakan datuk-datuk kaum sesat untuk menjadi antek-antek dan kaki tangannya! Maka, sambil mengeluarkan seruan marah, para murid Kang-jiu-pang lalu menerjang maju, menyerang kakek dan nenek iblis itu!

Dua orang kakek dan nenek iblis itu tertawa mengejek. Karena orang-orang Kang-jiu-pang itu, sesuai dengan nama perguruannya, sudah melatih dua tangan mereka yang berwarna gelap, maka mereka biasanya berkelahi mengandalkan kedua tangan itu.

Melihat ini, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo yang mempertahankan gengsi mereka sebagai datuk kaum sesat, juga tak mau mempergunakan senjata mereka. Nenek itu tidak mencabut pedangnya dan Koai-pian Hek-mo malah menyimpan kembali cambuk bajanya, kemudian mereka menyambut serangan tujuh orang murid Kang-jiu-pang dengan tangan kosong pula.

Para murid Kang-jiu-pang memiliki sepasang tangan yang terlatih, kuat dan antep pukulan mereka. Akan tetapi sekali ini mereka menghadapi dua orang lawan yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi, maka walau pun tujuh orang mengeroyok dua orang, tetap saja para murid Kang-jiu-pang itu kewalahan dan beberapa orang di antara mereka sudah beberapa kali jatuh bangun terkena serempetan tangan atau kaki dua orang iblis itu.

Sedangkan murid tertua yang tadi menjadi wakil pembicara, tidak ikut mengeroyok, akan tetapi dengan pedang di tangan menjaga sang kaisar yang menonton dengan heran dan kagum. Dia merasa amat heran kenapa orang-orang yang kelihatannya seperti pendekar-pendekar gagah hendak menculiknya, sebaliknya dua orang yang seperti iblis jahat itu kini malah melindunginya, dan dia kagum melihat kelihaian dua orang iblis itu.

Murid Kang-jiu-pang yang menjaga kaisar melihat kenyataan betapa para sute-nya tidak akan menang menghadapi kedua orang datuk kaum sesat itu. Dia adalah seorang yang cerdik. Begitu mendengar bahwa mereka berdua itu adalah kaki tangan Liu-thaikam, dia pun maklum bahwa tentu saja mereka berusaha mati-matian melindungi kaisar. Apa bila terjadi apa-apa dengan kaisar, hal itu berarti akan sangat merugikan thaikam itu, bahkan mungkin akan meruntuhkan kekuasaannya yang hanya sementara itu.

"Berhenti atau kubunuh kaisar...!" Tiba-tiba dia membentak dan menodongkan pedangnya yang ditempel pada leher kaisar muda itu.

Sang kaisar hanya terbelalak dengan wajah pucat karena kedua pergelangan tangannya sudah ditangkap oleh tangan kiri murid Kang-jiu-pang itu dan lehernya ditempeli pedang yang tajam. Tidak mungkin melepaskan diri dari cengkeraman tangan kiri yang amat kuat itu.

Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo terkejut dan mereka terpaksa meloncat mundur dan dengan mata terbelalak kehabisan akal mereka melihat betapa kaisar sudah ditodong oleh seorang murid Kang-jiu-pang. Nekat menyerbu akan membahayakan nyawa kaisar dan apa bila sampai terjadi sesuatu menimpa kaisar, mereka takut akan kemarahan Iblis Buta.

Akan tetapi pada saat itu murid Kang-jiu-pang yang menodong kaisar tiba-tiba mengeluh lantas terguling pingsan, pedangnya terlepas dari pegangan. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu muncul seorang pemuda yang tadi melemparkan sebuah batu kerikil kecil yang tepat mengenai tengkuk murid Kang-jiu-pang hingga membuatnya roboh pingsan itu, dan pemuda ini sekarang berdiri di dekat kaisar dengan sikap hormat dan berkata lembut,

"Harap paduka jangan khawatir, sri baginda."

Melihat betapa sekarang kaisar sudah terbebas dari ancaman bahaya, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo menjadi gembira sekali, dan mereka juga marah kepada para murid Kang-jiu-pang yang tadi sudah membuat mereka terkejut dan bingung. Keduanya segera mencabut senjata masing-masing lalu mengamuk.

Kasihan para murid Kang-jiu-pang itu. Melawan dua orang iblis ini dalam keadaan tangan kosong saja mereka sudah sangat kewalahan, apa lagi kini harus melawan mereka yang menggunakan senjata keistimewaan mereka.

Koai-pian Hek-mo menggerakkan pecut bajanya yang berujung paku itu dan hanya dalam waktu belasan jurus saja empat orang pengeroyok sudah roboh dan tewas dengan kepala berlubang tertusuk paku. Juga Hwa-hwa Kui-bo mengamuk hingga tiga orang pengeroyok lainnya tewas oleh bacokan dan tusukan pedangnya.

Nenek ini merasa tidak puas karena dalam perkelahian ini, korbannya kalah banyak oleh Koai-pian Hek-mo. Maka tangan kirinya bergerak dan belasan batang jarum beracun lalu meluncur dan menancap pada leher dan dada murid Kang-jiu-pang yang masih pingsan, yaitu yang tadi menodong kaisar dan dirobohkan oleh pemuda yang baru datang. Dengan demikian, sekarang mereka berdua sudah membunuh delapan orang murid Kang-jiu-pang itu, seorang empat!

Sekarang dua orang kakek dan nenek iblis itu memandang kepada pemuda yang sudah menyelamatkan kaisar, lantas keduanya tertegun kagum. Seorang pemuda yang tampan dan ganteng! Karena kedua orang ini memang memiliki watak cabul dan keduanya suka kepada pemuda ganteng, maka wajah mereka berseri dan nenek berkedok itu tersenyum-senyum, mulutnya yang lebar terbuka sehingga nampaklah deretan gigi putih yang besar-besar.

Pemuda itu memang ganteng. Tubuhnya tinggi besar dan tegap, dengan dada bidang dan pinggang kecil, tubuh yang membayangkan kekuatan dahsyat. Wajahnya yang tampan itu berseri dan cerah, agaknya gembira selalu. Bibirnya yang berbentuk bagus dan gagah itu selalu tersenyum dan kedua mata yang jernih dan tajam itu pun selalu berseri gembira.

Akan tetapi pakaian pemuda ini sembarangan saja, kedodoran dan agaknya dia jauh dari pada pesolek. Biar pun pakaiannya sederhana kedodoran, namun pakaian itu tidak dapat menyembunyikan tubuhnya yang padat berisi dan kuat.

Pemuda berusia dua puluh satu tahun ini memang sangat menarik, merupakan seorang pemuda tampan gagah yang agaknya selalu bergembira. Ketika tadi dia menyelamatkan kaisar dan melihat betapa sepasang iblis itu membunuhi delapan orang musuh, dia hanya mengerutkan alisnya yang hitam tebal tanpa menghilangkan senyumnya. Dia hanya ingin menyelamatkan kaisar, dan urusan antara delapan orang itu dengan dua iblis ini bukanlah urusannya dan dia tidak ingin mencampuri.

Pada saat itu pula dua orang pengawal rahasia kaisar, yaitu dua orang perwira yang tadi menyamar sebagai dua orang tukang pancing kemudian diserang oleh dua orang tokoh Kang-jiu-pang yang menyamar sebagai dua orang seniman, berlari-larian datang dengan pakaian basah kuyup. Mereka terlihat girang sekali melihat kaisar dalam keadaan selamat dan mereka berdua lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kaisar.

"Hamba berdua menghaturkan selamat kepada paduka yang telah terbebas dari ancaman bahaya berkat pertolongan orang-orang gagah ini," kata seorang di antara mereka.

Kaisar Ceng Tek merasa jengkel melihat penyamarannya dikenal orang. Rahasianya telah terbuka sehingga tak ada gunanya lagi berpura-pura, maka dia pun mengerutkan alisnya kemudian bertanya, "Kalian siapa?"

"Hamba berdua adalah perwira pengawal yang telah diutus oleh Liu-taijin untuk melindungi paduka. Ampunkan, hamba yang hampir gagal melindungi paduka."

"Sudahlah, ceritakan apa yang telah terjadi!" kata kaisar tak sabar.

"Hamba berdua menyamar sebagai tukang-tukang pancing melindungi paduka. Tiba-tiba saja ada dua orang, agaknya tokoh-tokoh yang menyamar pula, menabrakkan perahunya kepada perahu hamba sehingga terjadilah perkelahian. Ternyata mereka berdua itu hanya menghalangi hamba berdua agar tidak dapat mencegah pada saat kawan-kawan mereka menculik paduka dan menarik perahu paduka. Hamba berdua terus melawan mati-matian sampai perahu kami semua terguling. Mereka lalu melarikan diri dengan berenang ketika melihat betapa usaha kawan-kawan mereka agaknya gagal. Dan hamba berdua sempat menyaksikan betapa paduka diselamatkan oleh tiga orang gagah ini."

Kaisar ini menghadapi kakek dan nenek itu dan diam-diam hatinya bergidik. Dua orang ini seperti iblis saja. "Siapakah kalian?" tanyanya singkat.

Biar pun dua orang itu adalah datuk-datuk kaum sesat yang biasanya bersikap tidak acuh dan tidak peduli akan sopan santun, kini setelah mereka tahu bahwa mereka berhadapan dengan kaisar, keduanya merasa canggung dan juga gentar. Mereka saling memandang, merasa tidak enak jika harus memperkenalkan julukan mereka yang menyeramkan.

Apa lagi nenek itu. Dia merasa tidak sanggup untuk menjawab sehingga dengan pandang matanya di balik kedok, dia menyerahkan saja jawabannya kepada rekannya! Hampir saja Koai-pian Hek-mo memaki melihat kelicikan nenek itu, akan tetapi dia tidak berani berlaku sembrono lalu menjura.

"Kami berdua ingin membantu usaha Liu-thaikam yang hendak melindungi paduka, dan mereka ini adalah orang-orang Kang-jiu-pang yang memberontak. Kami berdua sekarang juga akan menyerbu ke sarang Kang-jiu-pang dan akan kami basmi sampai habis semua anggotanya!"

Kaisar mengerutkan alisnya. Dia tidak senang dengan bunuh-bunuhan ini, dan tadi pun melihat delapan orang itu terbunuh, dia sudah merasa muak, walau pun delapan orang itu tadi berusaha untuk menculiknya. Karena itu, tanpa mengeluarkan komentar dia pun lalu menoleh kepada pemuda tampan yang pakaiannya nyentrik itu.

"Dan engkau siapa?"

Pemuda itu cepat-cepat menjura dengan sikap hormat. "Hamba hanyalah pelancong yang kebetulan lewat di tempat ini dan ketika melihat paduka terancam bahaya, hamba merasa berkewajiban untuk menyelamatkan paduka dari ancaman bahaya. Tadinya hamba tidak menyangka bahwa paduka adalah sri baginda dan baru hamba ketahui sesudah hamba mendengarkan percekcokan mereka.”

Kaisar merasa semakin jengkel. Orang-orang ini adalah orang-orang kang-ouw yang dia tahu berwatak aneh-aneh. Orang-orang Kang-jiu-pang yang seperti pendekar-pendekar itu ternyata malah menculiknya. Dua kakek dan nenek iblis yang kelihatan kejam ini malah menyelamatkannya, dan pemuda yang pakaiannya tidak karuan ini pun agaknya enggan untuk memperkenalkan nama. Ahh, dia pun tidak ingin berkenalan dengan segala macam petualang itu. Maka dia pun berpaiing kepada dua orang perwira pengawal,

"Mari antarkan aku pulang, aku lelah sekali!" Tanpa banyak cakap dan tanpa menoleh lagi kepada kakek dan nenek iblis, juga kepada pemuda tampan itu, kaisar lalu meninggalkan tempat itu, diiringkan oleh dua orang pengawalnya.

Setelah kaisar pergi, nenek itu terkekeh. "Huh-huh, begitu sajakah kaisar? Tak mengenal budi! Ehh, orang muda, engkau tadi sudah membantu kami, sungguh engkau merupakan sahabat yang baik!"

"Kaisar tidak minta dilindungi, mengapa engkau mengomel?" Koai-pian Hek-mo mencela nenek itu, kemudian dilanjutkan kepada si pemuda, "Orang muda yang gagah, siapakah engkau dan dari perguruan mana? Aku suka sekali bersahabat denganmu!"

"Jangan percaya dengan omongannya! Paling-paling engkau nanti akan dijadikan kawan tidurnya!" Hwa-hwa Kui-bo mengejek.

"Wah, masih jauh lebih baik dari pada menjadi pacar nenek-nenek seperti tua bangka ini!" Koai-pian Hek-mo membalas dan keduanya berdiri berhadapan dengan sikap beringas.

Pemuda itu tersenyum. "Ha-ha-ha, sungguh lucu sekali kalian ini. Kalau aku tidak salah, engkau tentulah Koai-pian Hek-mo dan engkau adalah Hwa-hwa Kui-bo, dua orang datuk muara Huang-ho yang terkenal itu, bukan?"

"Bagus sekali jika ternyata engkau telah mengenal namaku, orang muda. Engkau ikutlah denganku dan menjadi muridku yang terkasih!" kata Koai-pian Hek-mo sambil menatap wajah yang tampan itu.

"Engkau menjadi muridku saja, dan apa pun yang kau minta tentu terlaksana."

"Wah, bingung aku. Kalian berdua sama-sama hebat, sama-sama lihai, berat hatiku untuk memilih yang mana. Tentu aku akan senang sekali menjadi murid kalian. Bagaimana jika kalian berebut saja? Bertanding untuk menentukan siapa yang berhak menjadi guruku? Yang menang itulah guruku!" kata si pemuda sambil tertawa.

"Bagus!" Hwa-hwa Kui-bo berseru. Nenek yang agaknya sudah ingin sekali segera dapat memiliki pemuda yang sangat menggairahkan hatinya itu tanpa banyak cakap lagi sudah menyerang Koai-pian Hek-mo dengan pedangnya! Kakek itu pun menjadi marah sekali dan cepat dia menangkis dengan pecut bajanya dan balas menyerang.

Dua orang kakek dan nenek ini sudah saling serang dengan hebat dan mati-matian untuk memperebutkan pemuda tampan yang menarik hati itu tanpa menyelidiki lebih dulu siapa adanya pemuda yang baru saja mereka jumpai itu. Ada lebih dari dua puluh jurus mereka saling serang dan baru mereka melihat bahwa pemuda yang menjadi sebab perkelahian mereka itu ternyata sudah tak ada lagi di tempat itu, sudah pergi dengan diam-diam tanpa mereka ketahui karena sejak tadi mereka hanya mencurahkan perhatian untuk mencari kemenangan!

"Celaka, kita tertipu!" bentak Koai-pian Hek-mo sambil meloncat mundur.

"Engkau tua bangka, kenapa tidak mau mengalah sampai dia pergi tanpa kuketahui siapa namanya dan di mana tempat tinggalnya?"

"Bagaimana pun juga, dia tadi telah membantu kita. Tentu dia seorang di antara sahabat dan kelak kita tentu akan bertemu lagi. Mari kita lanjutkan tugas panting kita!"

"Tapi aku belum kalah!" tantang si nenek.

"Aku pun belum!"

"Mari kita lanjutkan!"

"Hushhh! Ingin kulaporkan kepada lojin bahwa engkau tidak mentaati perintah?"

"Sialan! Mulut runcing!" si nenek mengomel, akan tetapi hatinya gentar juga.

Paling ngeri kalau orang sudah menyebut lojin dan dia pun tak berani lagi banyak cakap. Mereka lalu menggunakan ilmu berlari cepat menuju ke Cin-an untuk mengunjungi sarang Kang-jiu-pang…..

********************
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar