Asmara Berdarah Jilid 06

Di tengah malam itu mereka terpaksa berhenti pada sebuah lereng untuk beristirahat dan pada keesokan harinya, tiba-tiba Sui Cin berkata,

"Sun-ko, di sini terpaksa kita harus berpisah."

Ucapan ini sungguh tidak pernah disangka oleh Cia Sun yang menjadi terkejut sekali. Dan di dalam kekagetannya itu dia merasa heran mengapa hatinya menjadi begini. Apa artinya perpisahan? Setiap pertemuan pasti harus diakhiri dengan perpisahan dan biasanya, dia bertemu dan berpisah dari orang-orang tanpa kesan. Mengapa sekarang hatinya merasa seperti disayat ketika mendengar gadis itu mengusulkan perpisahan?

"Tetapi mengapa, Cin-moi? Bukankah kita berdua sama-sama hendak pergi mengunjungi pertemuan para pendekar? Tujuan perjalanan kita sama dan puncak itu telah nampak dari sini, juga hari inilah hari pertemuan itu."

"Sun-ko, engkau adalah wakil dari Lembah Naga, wakil Pek-liong-pang, sedangkan aku hanya seorang penonton saja. Biarlah kita bertemu saja di sana nanti. Selamat berpisah!"

Tanpa menunggu bantahan lagi, Sui Cin langsung membedal kudanya yang segera berlari congklang ke depan, kemudian membalap mendaki lereng terakhir. Cia Sun hanya dapat memandang dan menarik napas panjang. Semangatnya seperti terbawa pergi oleh gadis itu, dan kaki kuda yang bercongklang itu laksana menginjak-injak dan menyepak-nyepak hatinya.

********************

Beberapa belas li jauhnya dari Puncak Bukit Perahu ada sebuah daerah liar yang sangat jarang didatangi manusia kerena tempat itu sukar dicapai dengan cara biasa. Tempat itu merupakan sebuah lereng yang penuh dengan jurang yang amat curam, juga merupakan daerah yang berbatu-batu, penuh dengan goa-goa gelap dan kabarnya tempat ini menjadi sarang binatang-binatang buas serta binatang-binatang beracun, juga penjahat-penjahat yang menjadi buruan banyak yang lenyap setelah memasuki daerah ini.

Akan tetapi, sehari sebelum pertemuan para pendekar di Puncak Bukit Perahu dimulai, di sebuah tanah datar yang dikelilingi oleh batu-batu dan goa-goa nampak didatangi banyak orang. Jika melihat keadaan pakaian dan sikap orang-orang ini, juga wajah mereka yang rata-rata amat menyeramkan, mudah diduga bahwa mereka adalah golongan hitam. Para pendekar menamakan golongan ini sebagai kaum sesat.

Memang sangat menyedihkan melihat betapa manusia sudah dipecah-pecah dan dipisah-pisahkan menjadi berbagai macam golongan. Karena dipisah dan menjadi anggota dari masing-masing golongan, tentu saja kepentingan masing-masing telah membuat mereka kadang-kadang saling bentrok dan setiap golongan membenarkan golongannya sendiri.

Tidak ada manusia dilahirkan jahat! Setiap keadaan sudah pasti mengandung sebab dan kalau ada orang yang menjadi sesat lalu melakukan hal-hal yang merugikan orang lain dan yang lajimnya disebut jahat, maka keadaannya itu bukanlah terbawa dari kelahiran, melainkan diakibatkan oleh sebab-sebab tertentu. Bahkan orang-orang yang dilahirkan dalam keadaan cacat sekali pun, sudah pasti ada sebab-sebab yang terjadi sebelum dia dilahirkan, sehingga keadaannya saat dilahirkan itu pun menjadi akibat dari suatu sebab.

Banyaklah sebab yang menjadikan manusia seperti yang banyak kita lihat sekarang ini. Pada umumnya dinamakan jahat sebab merugikan orang lain, berwatak buruk dan kejam dan sebagainya. Kebencian, keserakahan, pengejaran kesenangan, dendam iri hati, rasa takut, semua ini dapat membentuk watak yang kejam dan ganas.

Dan setiap orang manusia tentu pernah atau akan merasakan itu. Hubungannya sangat erat dengan kesenangan dan sekali orang melakukannya, tanpa disertai oleh kesadaran, maka akan menjadi berlarut-larut kemudian menjadi semacam kebiasaan yang mendarah daging atau yang membuat orang mencandu dan condong untuk mengulang-ulang lagi.

Orang yang sedang tersesat ini disebut penjahat dan dibenci, dimaki, dihindari. Hal inilah yang akhirnya membuat mereka merasa terancam sehingga mereka pun lantas memilih kawan, berkelompok maka terjadilah penggolongan. Mereka lalu dinamakan kaum sesat, golongan hitam atau kotor.

Tentu saja golongan ini membalas kebencian yang dilontarkan oleh para pendekar kepada mereka. Mereka menganggap para pendekar sebagai golongan lawan yang mengancam keselamatan mereka dan sebagai balasan, mereka pun lalu menamakan golongan para pendekar itu sebagai golongan sombong, golongan besar kepala, bahkan ada pula yang menamakannya kaum munafik!

Demikianlah, ketika mendengar bahwa para pendekar hendak mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu, mereka yang dinamakan golongan sesat itu pun langsung bergerak dan mendahului pertemuan itu dengan mengadakan pertemuan rahasia di tempat liar itu, hanya belasan li jauhnya dari tempat yang akan dijadikan balai pertemuan para pendekar! Dan pertemuan rahasia ini tidak tanggung-tanggung sebab yang menjadi pengundangnya adalah Cap-sha-kui.

Maka, mereka yang merasa dirinya sudah ‘tokoh’ langsung berbondong-bondong datang untuk menghadiri pertemuan rahasia itu. Memang sesungguhnyalah, kalau tidak memiliki kepandaian tinggi maka jangan harap akan dapat mendatangi tempat pertemuan rahasia yang ditentukan itu dan agaknya dalam hal ini memang Cap-sha-kui hendak menguji dan menyaring para tokoh sesat. Mereka yang tidak tinggi tingkat kepandaiannya tidak akan berani atau dapat datang.

Para tokoh besar kaum sesat banyak yang memiliki kebiasaan dan watak yang aneh dan tidak lumrah manusia pada umumnya. Karena kepandaian mereka yang tinggi dan watak mereka yang ganas, mereka kadang-kadang bukan seperti manusia lagi.

Biasanya mereka tak pernah mempedulikan orang lain, yang terpenting adalah diri sendiri. Akan tetapi kali ini, agaknya karena tuntutan keadaan dan karena kekhawatiran terhadap keamanan diri sendiri, mereka benar-benar berusaha untuk mengadakan pertemuan dan untuk bersatu. Demikian anehnya mereka sehingga pertemuan rahasia itu pun diadakan di waktu tengah malam! Demikian bunyi undangannya dan pada malam yang ditentukan, ternyata tepat malam bulan purnama.

Malam itu bulan yang bulat amat terangnya. Tidak ada awan hitam yang gelap, yang ada hanyalah awan-awan putih tipis yang terbang lalu dengan begitu lembutnya. Suasana di tanah lapang dekat dinding goa-goa itu sunyi sekali, tidak nampak ada benda hidup yang bergerak, tidak terdengar pula suara apa pun, sepi dan lengang.

Tetapi, menjelang tengah malam, tiba-tiba terdengarlah suara. Suara yang menyeramkan, suara yang mengerikan karena terdengar di tempat sesunyi itu, di tengah malam bulan purnama pula. Suara yang mendirikan bulu roma. Tangis anak-anak! Tangis yang makin keras, menyayat hati seperti anak yang sedang dalam kesakitan.

Setelah tangis yang makin meninggi itu sampai pada titik puncak, tiba-tiba saja tangis itu berhenti, suaranya lenyap sama sekali seolah-olah anak yang menangis dicekik lehernya. Kembali sunyi melengang, menegangkan dan menakutkan, sampai beberapa lamanya.

Kemudian, seperti juga tadi ketika muncul dan ketika lenyap, tangis anak-anak terdengar lagi, kini merengek-rengek minta dikasihani seperti tangis anak manja! Seperti juga tadi, rengek tangis ini makin menjadi dan tiba-tiba saja tangis itu pun terhenti tiba-tiba, seperti terputus, seperti tercekik dan mendadak terdengar jerit yang amat mengerikan, jerit anak kecil ketakutan atau kesakitan, lalu terhenti dan kembali lengang. Sungguh menegangkan dan mengerikan sekali!

Dan di dalam suasana yang amat menegangkan itu, tiba-tiba saja terlihat dua sosok tubuh manusia. Muncul begitu saja seakan-akan pandai menghilang. Sebenarnya bukan karena dua sosok tubuh manusia ini pandai ilmu menghilang seperti setan, hanya akibat gerakan mereka amat ringan dan cepat sehingga tahu-tahu saja mereka berada di situ.

Pula, pakaian mereka yang serba putih itu membuat tubuh mereka tidak begitu nampak di bawah sinar bulan purnama. Apa bila didekati, memang mereka itu sangat menyeramkan. Bukan hanya pakaian mereka yang serba putih seperti pakaian orang sedang berkabung, akan tetapi juga wajah mereka putih pucat seperti wajah mayat atau wajah orang yang menderita sakit berat kehabisan darah!

Jika dua orang ini rebah terlentang dan tidak bergerak, tentu disangka mayat-mayat. Akan tetapi sepasang mata mereka sama sekali tidak mati! Kedua mata mereka bahkan amat hidup, bergerak-gerak ke kanan kiri dan karena manik mata mereka hitam sekali, maka mata itu seperti mencorong keluar apinya. Siapa yang berjumpa dengan mereka di malam itu, tentu akan ketakutan setengah mati dan menyangka bahwa mereka itu adalah iblis-iblis, bukan manusia.

Sesungguhnya mereka adalah sepasang kakek dan nenek yang sudah sangat tua. Kakek itu bertubuh jangkung, kurus, semua rambutnya juga sudah berwarna putih dan mukanya penuh keriput. Demikian kurus muka itu, seolah-olah hanya kulit membungkus tengkorak saja, dari jauh mukanya kelihatan seperti tengkorak yang matanya hidup, bernyala!

Orang kedua, nenek itu, masih memiliki raut wajah yang cantik. Jelas bahwa pada waktu mudanya nenek ini adalah seorang wanita yang cantik. Akan tetapi mukanya amat pucat, bahkan bibirnya agak kebiruan, dan dengan sepasang mata yang mencorong itu dia mirip siluman. Pantaslah kiranya kalau dua orang kakek dan nenek ini merupakan tokoh-tokoh atau datuk-datuk kaum sesat.

Dan mereka itu pun sesungguhnya demikian. Mereka adalah kakek dan nenek penghuni Kui-san-kok (Lembah Iblis), yaitu sebuah tempat di Pegunungan Hong-san yang sungguh berbahaya sehingga jarang ada orang, betapa pun pandainya, berani lancang memasuki daerah itu di mana kakek dan nenek ini menjadi penghuninya.

Mereka itu tidak pernah memakai julukan, akan tetapi orang-orang kang-ouw menjuluki mereka Kui-kok Lo-mo (Setan Tua Lembah Iblis) dan Kui-kok Lo-bo (Biang Lembah Iblis). Mereka adalah sepasang suami isteri dan biasanya mereka tak pernah keluar dari lembah itu, hidup sebagai raja dan ratu, mengepalai perkumpulan atau gerombolan mereka yang sekaligus juga adalah murid-murid mereka. Perkumpulan milik mereka itu pun dinamakan Kui-kok-pang (Perkumpulan Lembah Iblis) dan semua anggota atau muridnya berpakaian putih berkabung.

"Hemm, belum nampak ada seorang pun yang datang," kata Kui-kok Lo-mo dengan suara mengomel.

"Mereka itu memang bermalas-malasan kalau ada tugas pekerjaan, coba diberi tahukan bahwa ada rejeki yang dibagi-bagi, tentu mereka berebut duluan datang," omel isterinya yang di dunia kaum sesat amat ditakuti karena selain galak juga kejam dan ganas sekali. Suami-isteri ini adalah dua di antara tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang paling lihai dan pada malam hari ini, mereka merupakan sebagian dari tokoh Cap-sha-kui yang mengusahakan pertemuan rahasia itu.

Tiba-tiba terdengar kembali jerit seorang anak laki-laki disusul suara ketawa yang dalam, terdengar dari jauh sekali. Suami isteri yang tua ini saling pandang dan di wajah mereka yang seperti mayat itu tak nampak perubahan apa pun, akan tetapi mata mereka bersinar-sinar.

"Si raksasa rakus sudah datang," kata Lo-bo.

"Huh, memuakkan. Ke sini membawa korbannya, menjijikkan!" sambung Lo-mo.

Tiba-tiba tanah di sekitar tempat itu seperti bergoyang dan terdengar suara langkah kaki yang amat berat. Dari balik goa muncul seorang laki-laki yang tubuhnya amat tinggi besar, satu setengah kali ukuran manusia lumrah sehingga dia nampak seperti seorang raksasa dari dalam dongeng.

Raksasa ini rambutnya panjang awut-awutan, pakaiannya juga tidak karuan dan robek di sana-sini. Melihat badan yang tidak terpelihara dan pakaian seperti jembel ini, sepatutnya kalau dia hidup sebagai gelandangan miskin. Akan tetapi sungguh sangat mengherankan melihat gelang-gelang emas yang menghias pada kedua pergelangan tangannya. Gelang-gelang dari emas murni yang besar dan tebal, yang jumlahnya apa bila diuangkan cukup untuk dipakai modal berdagang!

Kepalanya besar, matanya lebar terbelalak, hidungnya, mulutnya, segala-galanya besar, sedangkan tubuhnya kelihatan kokoh kuat bagaikan batu karang. Akan tetapi yang paling menyeramkan adalah melihat sepotong kaki anak-anak yang dipegang tangan kirinya dan dia berjalan sambil menggerogoti daging paha yang masih berlumuran darah itu. Orang ini makan daging anak-anak mentah-mentah!

Sungguh keadaan raksasa ini amat berbeda dengan keadaan Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo. Bila tadi kakek dan nenek ini datang seperti bayang-bayang setan, dengan gerakan yang ringan, maka kakek raksasa ini sebaliknya menunjukkan berat badan dan besarnya tenaga yang amat hebat. Langkah kakinya saja membuat tanah bergetar, maka dapatlah dibayangkan betapa besar tenaganya.

Secara diam-diam kakek dan nenek itu merasa kagum bukan main. Harus mereka akui bahwa sahabat mereka atau lebih tepat lagi rekan mereka itu telah memperoleh kemajuan pesat sehingga mampu memperlihatkan tenaga gwakang (tenaga luar) yang sedemikian hebatnya.

Siapakah raksasa yang pakaiannya compang-camping berwarna serba hijau ini? Dia juga bukan orang sembarangan. Dia seorang datuk sesat yang hampir tidak pernah muncul di dunia ramai, akan tetapi di barat dia terkenal sebagai datuk yang ditakuti.

Dia memakai julukan Tho-tee-kong (Malaikat Bumi), akan tetapi karena dia sangat kejam dan amat ditakuti, maka di belakangnya, orang memberi julukan Tho-tee-kwi (Setan Bumi) kepadanya. Seperti juga kakek dan nenek itu, Tho-tee-kwi ini pun merupakan tokoh-tokoh utama dari Cap-sha-kui yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.

Dia peranakan Nepal dan pada waktu mudanya pernah menjadi pendeta Lama. Karena murtad dia diusir dari lingkungan pendeta Lama dan akhirnya dia merantau ke Himalaya, mempelajari ilmu-ilmu sesat dan ilmu hitam sampai akhirnya muncul sebagai datuk sesat yang amat lihai, bergabung dalam kelompok Cap-sha-kui.

Agaknya Tho-tee-kwi sudah kenyang. Sambil mengunyah daging terakhir yang dicabiknya dari kaki yang dipegang tadi dia membuang sisa kaki itu ke bawah jurang, kemudian dia memandang kepada kakek dan nenek sambil menyeringai, dan sepasang matanya yang lebar itu menjadi liar.

"Heh-heh, Lo-bo, apanya yang memuakkan dan menjijikkan?" tanyanya, suaranya besar parau.

"Apanya lagi kalau bukan engkau yang memuakkan?" Kui-kok Lo-bo pun mengejek. "Dan engkau pemakan mayat yang menjijikkan!" tambahnya.

"Ha-ha-ha, Lo-mo, apakah engkau tak dapat mengendalikan mulut binimu? Lo-bo, engkau pemakan bangkai, aku pemakan mayat, apa bedanya?" Raksasa itu tertawa dan perutnya yang besar bergerak-gerak seperti ada benda hidup berada di dalamnya.

"Apa? Aku pemakan bangkai? Jaga mulutmu!" bentak Lo-bo marah.

"Segala macam daging yang pernah kau makan itu apa bukan bangkai namanya? Yang kau makan adalah bangkai binatang, sedangkan aku makan bangkai orang, heh-heh, aku lebih unggul!"

"Setan bangkotan, apakah engkau menantangku?" Lo-bo berteriak.

"Menantang sih tidak, akan tetapi jangan dikira aku takut padamu. Kita sama-sama setan dan masih harus membuktikan sampai di mana kemajuanmu selama bertahun-tahun kita tidak saling bertemu ini, walau pun kecantikanmu tidak pernah berkurang, Lo-bo."

Kui-kok Lo-bo menoleh kepada suaminya. Bagaimana pun juga galaknya, nenek ini masih menaruh rasa taat dan segan terhadap suaminya. Lo-mo mengangguk kemudian berkata, "Karena yang lainnya belum datang, boleh saja engkau main-main melawan dia sebentar untuk melihat apakah dia masih patut menjadi sekutu kita."

Kalau tidak melihat wajahnya yang seperti mayat hidup amat mengerikan itu, kalau hanya mendengar suaranya, tentu orang mengira bahwa Kui-kok Lo-mo adalah seorang kakek yang halus budi bahasanya.

Sesudah mendapat persetujuan suaminya, dengan gerakan yang sangat lincah nenek itu meloncat dan tahu-tahu dia sudah berada di depan raksasa itu. "Setan bangkotan, jangan besar omongan saja, buktikan kemampuanmu!" katanya.

Secepat kilat nenek itu langsung menggerakkan tangannya ke depan. Terdengarlah suara mencicit bagaikan suara kelelawar pada waktu jari-jari tangan yang membentuk cakar itu menyambar ke depan.

"Hehh!" Tho-tee-kwi berseru kaget ketika merasa betapa ada hawa pukulan yang dahsyat sekali dan terasa panas menyambar ke arah perutnya. Itulah semacam ilmu pukulan aneh dan baru, pikirnya. Maka dia pun tidak berani bersikap memandang rendah, dan biar pun tubuhnya amat besar dan berat, ternyata dia pun dapat bergerak sigap.

Dia meloncat ke belakang, lalu lengannya yang panjang dan besar itu menyapu ke depan untuk menangkis pukulan dahsyat tadi, kemudian tanpa membuang waktu, dia langsung membarengi dengan uluran lengan kiri yang menghantam dari samping ke arah kepala si nenek. Seperti sebuah kipas besar, tangan yang terbuka itu menyambar, didahului angin besar yang membuat rambut nenek itu berkibar-kibar. Namun, gesit sekali gerakan Lo-bo yang sudah dapat menghindar pula.

Sebetulnya pertandingan itu hanya semacam ujian saja karena lama mereka tidak saling jumpa sehingga mereka ingin sekali mengukur kepandaian dan kemajuan masing-masing. Akan tetapi dasar watak mereka yang aneh dan ganas, maka biar pun hanya merupakan pertandingan saja dan bukan perkelahian karena dendam, tetapi keduanya tidak menahan gerakan mereka dalam menyerang, setiap serangan mereka adalah pukulan-pukulan maut dan begitu bergebrak mereka sudah mengeluarkan ilmu simpanan masing-masing. Hal ini adalah karena mereka tahu bahwa kalau mereka mengeluarkan ilmu-ilmu lama tentu akan percuma saja karena pihak lawan sudah mengenalnya dan akan dengan mudah mampu memecahkannya.

Bukan main terkejutnya hati Tho-tee-kwi menghadapi serangkaian pukulan nenek itu yang mengeluarkan suara mencicit nyaring dan mengandung hawa panas, juga hawa pukulan itu mampu merobek ujung bajunya.

"Ehh, ehh, ilmu setan apakah itu?" bentaknya.

Nenek itu mendengus. "Ilmu untuk mengalahkanmu. Hayo lekas berlutut mengaku kalah jika engkau tak ingin perutmu yang penuh mayat itu terobek dan ususmu terburai keluar!"

Raksasa baju hijau itu tertawa besar. "Ha-ha-ha, enaknya buka mulut membual! Lihat ini!"

Dan tiba-tiba kedua kakinya dihentakkan di atas tanah sedemikian kerasnya hingga tanah itu terguncang bagaikan ada gempa bumi. Tubuh nenek itu turut pula tergetar dan dalam keadaan demikian, raksasa itu langsung menyerang dan kini pukulannya sama antepnya dengan hentakan kakinya tadi, begitu penuh mengandung tenaga raksasa! Memang ilmu ini amat hebat. Ketika pertama muncul tadi, agaknya si raksasa juga sudah memamerkan ilmu barunya itu.

Lo-bo cepat menggunakan kegesitan tubuhnya untuk menghindarkan diri dari rangkaian serangan pertama. Akan tetapi si raksasa berkali-kali menghentakkan kakinya, kemudian menyusulinya dengan serangan-serangan yang sangat dahsyat hingga tempat itu dilanda angin-angin pukulannya, membuat daun-daun di pohon yang agak jauh tergoyang-goyang.

Sekarang nenek itu mulai terdesak! Dia tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk dapat membalas serangan lawan. Akan tetapi, dengan mengandalkan ginkang yang jauh lebih lihai, dia masih mampu menyelamatkan diri dari semua serangan ganas itu.

Melihat betapa isterinya terdesak dan jika terus dilanjutkan agaknya isterinya akan kalah, Lo-mo lalu melompat ke depan. Dia telah memperhatikan gerakan lawan tadi dan maklum bahwa tanpa mempelajari dulu ilmu baru itu dan menangkap intinya, akan sukarlah untuk mengatasinya.

"Mundurlah, biar aku yang mencoba ilmu baru Tho-tee-kong!" katanya.

Nenek itu pun tahu diri. Akan tetapi dia tidak mau mengakui keunggulan lawannya, maka sambil meloncat mundur dia pun berseru mengejek. "Mulut dan badanmu bau mayat, aku tidak tahan melayanimu lebih lama lagi!"

"Ha-ha-ha!" kakek raksasa tertawa. Akan tetapi suara ketawanya berhenti ketika Lo-mo sudah menggeser kakinya ke depan.

"Tho-tee-kong, mari kita main-main sebentar!"

Lagak kakek bermuka mayat ini memang berbeda dengan lagak isterinya atau raksasa itu, bahkan berbeda dengan lagak dan sifat para datuk sesat pada umumnya. Kalau para datuk sesat biasanya berlagak aneh, kasar dan tidak mempedulikan sopan santun, kakek ini sebaliknya bersikap halus dan berwibawa, malah lebih mendekati sikap seorang tokoh pendekar dari pada seorang tokoh sesat.

Hal ini adalah karena dia berasal dari keluarga terpelajar dan terhormat, dan pada waktu kecilnya, dia terdidik baik-baik. Maka, biar pun kini menjadi tokoh utama dari kaum sesat, dia tidak dapat melupakan sikap halus yang sudah ditanamkan pada dirinya sejak kecil.

"Ha-ha, Lo-mo, binimu maju pesat, engkau tentu lebih hebat lagi!" raksasa itu mengejek.

"Sambutlah!" kata Lo-mo dan dia pun mulai menyerang. Serangannya tampak ringan saja, akan tetapi karena gerakannya cepat bukan main maka tahu-tahu telapak tangannya telah menyambar ke arah leher Tho-tee-kwi.

Raksasa ini melempar tubuh ke belakang dan terkejut sekali. Dari telapak tangan kakek mayat itu menyambar hawa panas yang disertai uap putih berbau amis! Kemudian kakek itu menyerang untuk kedua dan ketiga kalinya, dan maklumlah raksasa itu bahwa Lo-mo menggunakan ilmu yang sama dengan Lo-bo tadi, hanya tingkat Lo-mo sudah lebih tinggi sehingga telapak tangan itu bukan hanya mengeluarkan suara dan hawa panas, namun juga mengeluarkan uap putih yang berbau amis.

Maka dia pun cepat menggereng dan mengeluarkan ilmunya yang tadi. Kakinya dihentak-hentakkan sehingga bumi seperti terguncang-guncang dan kedua lengannya secara aneh menyambar ke depan, memukul, menampar, atau mencengkeram, akan tetapi di balik semua pukulannya itu terkandung tenaga yang benar-benar sangat mengerikan sehingga baru angin pukulannya saja demikian kuat, laksana angin badai dan mengeluarkan suara bersuitan.

Pertandingan antara Kui-kok Lo-mo dan Tho-tee-kwi berjalan seru, lebih ramai dari pada ketika kakek raksasa itu tadi melawan Kui-kok Lo-bo. Akan tetapi sesudah lewat seratus jurus, dia mulai terdesak. Bagaimana pun juga, gerakan yang cepat dari Lo-mo tidak bisa diimbangi oleh Tho-tee-kwi, bahkan ilmu pukulannya yang ampuh itu pun hanya membuat kakek mayat itu terguncang sedikit saja apa bila terlanda anginnya.

Akan tetapi, seperti juga Lo-bo, raksasa itu keras kepala dan tidak sudi menyerah kalah. Apa lagi karena Tho-tee-kwi dan juga Lo-mo mengerti bahwa pada waktu itu rekan-rekan mereka dari dunia hitam akan bermunculan.

Memang, pada tengah malam itu bermunculan beberapa orang aneh yang menyeramkan seperti setan-setan bermunculan dari neraka dan mereka lalu menonton pertandingan itu tanpa ada yang mau mencampuri. Bahkan mereka amat menikmati pertandingan itu, apa lagi setelah melihat betapa kedua orang itu agaknya bukan hanya main-main, melainkan berkelahi mati-matian.

Kiu-bwee Coa-li, nenek bongkok pawang ular itu juga sudah muncul. Nenek ini terkekeh girang menyaksikan pertandingan itu. Sebagai seorang tokoh besar yang mempunyai ilmu tinggi, diam-diam dia menikmati perkelahian ini karena dia dapat mencurahkan perhatian mengikuti setiap gerakan untuk mempelajari ilmu kedua orang rekannya yang lebih tinggi tingkatnya dan masing-masing sedang mengeluarkan ilmu simpanan baru itu.

Dua orang kakek dan nenek yang sudah kita kenal, yaitu Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo, dua orang tokoh rendahan dari Cap-sha-kui, juga telah hadir pula. Keduanya juga turut menonton dengan mata terbelalak penuh kagum akan kehebatan ilmu baru dari dua orang rekan mereka yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi itu.

Tiba-tiba terdengar suara mengomel, "Hmm, tak tahu diri... tak tahu diri... dalam keadaan terancam musuh masih saja saling hantam sendiri... dasar tua bangka-tua bangka yang bertindak seperti kanak-kanak, betapa toloInya!"

Suara itu sangat lirih tetapi terdengar oleh semua orang, juga oleh dua orang tokoh yang sedang saling hantam itu. Mendengar suara ini, keduanya mengerahkan tenaga terakhir untuk merobohkan lawan sebelum pemilik suara itu muncul.

Suara itu memang datang dari jauh, dikirim oleh seorang yang menguasai ilmu mengirim suara dari jauh. Akan tetapi, tiba-tiba saja berkelebat bayangan hitam dan seorang kakek telah muncul di situ, tongkatnya berkelebatan cepat sekali sampai tak nampak oleh mata. Yang kelihatan hanya cahaya mencuat dua kali ke arah Lo-mo dan Tho-tee-kwi dibarengi seruan marah,

"Kalian masih nekat dan tidak mau berhenti?!"

Dua orang yang sedang bertanding itu mengeluarkan seruan kaget, kemudian keduanya meloncat ke belakang, lalu meraba pundak masing-masing. Ternyata dalam segebrakan tadi ujung tongkat yang dipegang kakek yang baru datang, telah mencium pundak mereka dan tentu saja mereka terkejut karena kalau dilanjutkan, tentu ujung tongkat itu tadi telah menotok dan melukai mereka.

Memang mereka tadi sedang terlibat dalam perkelahian yang seru dan andai kata tidak demikian, kiranya tidak mungkin tongkat itu dapat mengenai mereka dalam satu gebrakan saja. Biar pun demikian, dapat menghentikan perkelahian secara demikian membuktikan bahwa tingkat kepandaian kakek yang baru tiba ini ternyata lebih tinggi dari pada tingkat dua orang tokoh utama Cap-sha-kui itu!

Dan semua orang yang hadir di situ, para tokoh dan datuk kaum sesat, kini memandang kepada kakek pemegang tongkat itu dengan gentar. Setelah kini berdiri di bawah cahaya bulan, kakek yang baru datang ini sebenarnya tidak sangat mengesankan dan tidak akan menimbulkan rasa takut kepada siapa pun yang memandangnya.

Tubuhnya jangkung kurus seperti tubuh Kui-kok Lo-mo. Usianya juga sudah tujuh puluh tahun, pakaiannya serba hitam dan bentuknya seperti pakaian seorang petani biasa saja. Karena pakaiannya serba hitam, maka rambutnya yang putih itu nampak jelas sekali, juga sepasang matanya! Sepasang matanya kelihatan putih tanpa manik dan mata itu jarang sekali bergerak!

Kiranya kakek ini adalah seorang buta! Dia tidak dapat melihat sama sekali, akan tetapi mengapa semua orang yang hadir di situ, yang terdiri dari tokoh-tokoh kaum sesat yang berilmu tinggi dan tidak mengenal takut, kini kelihatan gentar menghadapinya? Karena dia adalah Siangkoan-lojin (Kakek Siangkoan)!

Dia tidak mempunyai julukan, dan tidak ada orang yang berani memberinya julukan walau pun sepasang matanya buta karena takut akan hukumannya. Kakek ini bahkan tidak sudi ditarik masuk menjadi anggota Cap-sha-kui sebab dia merasa lebih tinggi. Seorang kakek yang kelihatannya seperti petani biasa saja, namun yang mempunyai pengaruh luar biasa besarnya dan seluruh tokoh kaum hitam itu takut belaka kepadanya!

Hal ini disebabkan kepandaiannya amat tinggi dan karena kekejaman dan keganasannya. Sekali orang dianggap bersalah padanya, maka ke mana pun orang itu lari bersembunyi, akhirnya tentu akan terjatuh ke tangannya dan akan tewas dalam keadaan mengerikan. Nama Siangkoan-lojin saja sudah cukup untuk membuat seorang penjahat yang paling sadis menjadi pucat mukanya.

Siangkoan-lojin adalah seorang berwatak aneh yang selama ini menyembunyikan dirinya di Pegunungan Kun-lun-san. Dia sendiri tidak pernah turun dari gunung itu. Kehidupannya mewah karena para tokoh sesat selalu memberinya semacam upeti yang amat berharga, hanya untuk menerima berkah dan sedikit petunjuknya saja. Baru selama setengah tahun ini dia turun gunung dan tinggal di kota Pao-chi di Propinsi Shen-si sebagai seorang tuan tanah yang kaya raya walau pun pakaiannya sebagai seorang petani sederhana.

Di dalam sebuah rumah yang mirip istana, dia tinggal bersama seorang putera tunggalnya dan belasan orang wanita muda cantik yang bertugas sebagai pelayan dan juga sebagai selir-selirnya. Isterinya telah lama meninggal ketika putera tunggalnya masih kecil. Kakek ini memiliki beberapa orang murid yang cukup lihai, akan tetapi murid-muridnya itu hanya diberinya sebagian saja dari ilmu-ilmunya yang tinggi, yang semuanya hendak diwariskan kepada putera tunggalnya yang pada waktu itu berusia delapan belas tahun.

Demikian sedikit keadaan Siangkoan-lojin. Cap-sha-kui sendiri selalu memandang kakek buta ini sebagai seorang datuk yang mereka hormati. Dan sebenarnya, pertemuan rahasia yang diadakan pada malam hari itu adalah atas kehendak Siangkoan-lojin akan tetapi dilaksanakan oleh Cap-sha-kui.

Setelah pindah dan bertempat tinggal di Pao-chi, Siangkoan-lojin sendiri hidup dalam dua dunia. Yang pertama di dunia kaum sesat di mana dia didewa-dewakan dan ditakuti. Yang kedua di dunia biasa, di mana dia hidup sebagai seorang tuan tanah tua yang kaya raya dan royal menyogok para pejabat, juga terkenal dermawan, sangat royal mengeluarkan uang menolong mereka yang membutuhkan bantuan.

Pendeknya, di dalam pergaulan umum dia adalah seorang tua renta yang buta akan tetapi kaya dan dermawan, dan tidak ada seorang pun yang pernah mengira bahwa dia adalah raja datuk kaum sesat! Bahkan para pendekar juga telah mendengar berita angin tentang adanya datuk iblis yang bermata buta sehingga di antara para pendekar muncul sebutan Iblis Buta. Akan tetapi tidak ada seorang pun di antara para pendekar pernah melihatnya.

"Maafkan kami, lojin, kami hanya berlatih," kata Kui-kok Lo-mo dengan sikap hormat dan suara merendah.

"Benar, lojin, kami hanya main-main, aku sedang minta petunjuk dari Lo-mo," sambung Tho-tee-kwi sambil tersenyum menyeringai.

"Diam!" bentak kakek buta itu. Suaranya yang lirih itu ternyata mempunyai daya getaran yang menusuk jantung hingga membuat wajah kakek raksasa yang tadinya menyeringai tiba-tiba saja berubah menjadi pucat. "Kalian sedang berusaha mati-matian untuk saling bunuh, betapa tololnya. Kalau memang bosan hidup, beri tahu saja padaku dan aku akan mengantar kalian ke neraka!"

Sungguh pedas ucapan ini dan dua orang kakek itu mendengarkan dengan muka merah dan alis berkerut, akan tetapi mereka tak berani berkutik. "Keadaan kita sedang diancam musuh dan kalian tidak bersatu malah bentrok sendiri, betapa menjemukan. Hayo semua berkumpul!" Bagai lagak seorang guru memanggil berkumpul semua anak-anak muridnya, Siangkoan-lojin melangkah maju ke tengah tanah datar itu, lalu berdiri dengan tongkat di tangan kiri, tak bergerak seperti patung batu.

Sekarang kakek ini kelihatan mengerikan. Kayu cendana hitam yang dijadikan tongkat itu berkilap tertimpa sinar bulan purnama dan kedua matanya yang melek terus itu kelihatan putih menyeramkan. Rambutnya yang putih seperti benang-benang perak berkibar tertiup angin malam yang membuat hawa menjadi dingin sekali.

Kini bermunculanlah banyak orang dari tempat di mana mereka tadi setengah sembunyi begitu muncul kakek buta. Di antara mereka, banyak yang belum pernah bertemu dengan Siangkoan-lojin, baru mendengar namanya saja dan sepak terjangpya, maka kini mereka muncul dengan muka diliputi ketakutan setelah melihat betapa dengan bengis kakek buta itu memarahi dua orang datuk utama dari Cap-sha-kui itu.

Ada dua puluh dua orang yang hadir, termasuk Siangkoan-lojin. Mereka masing-masing memiliki anak buah yang cukup banyak, akan tetapi anak buah mereka tak diperbolehkan naik ke lereng itu, hanya menanti di bawah, di dalam hutan-hutan. Di samping tidak berani membawa anak buah, juga anak buah mereka masih kurang pandai untuk bisa mencapai tempat yang amat sukar didatangi itu.

Tempat itu dikelilingi oleh jurang yang curam, ada pun di sebelah utara terdapat sebatang sungai yang arusnya liar dan banyak batu-batu karang sehingga amat berbahaya apa bila naik perahu melewatinya. Lagi pula dari sungai yang agak ke bawah itu, tidak mudah pula untuk mendaki ke atas tebing biar pun sungai itu dan dataran ini tidak jauh lagi dan suara gemercik air bermain-main dengan batu-batu karang itu dapat terdengar jelas dari tempat pertemuan rahasia itu. Dilihat dari atas, sungai yang ditimpa sinar bulan purnama nampak seperti jalan perak yang berkilauan.

"Semuanya hanya ada dua puluh dua orang?" Tiba-tiba saja Siangkoan-lojin bertanya dan pertanyaan ini membuat semua orang mulai menghitung-hitung dan mereka pun tertegun ketika mendapat kenyataan bahwa jumlah mereka semua memang dua puluh dua orang. Bagaimana seorang buta dapat menghitung orang begitu banyak dengan tepat? Padahal, mereka yang dapat melihat saja tidak dapat menghitung dengan cepat dan mudah!

Tentu saja tokoh-tokoh seperti Koai-pian Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo, apa lagi ketiga orang tokoh utama Cap-sha-kui seperti Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo, juga Tho-tee-kwi, tak merasa heran. Mereka sudah tahu bahwa kakek yang buta ini mempunyai perasaan yang amat peka, pendengaran dan penciuman yang melebihi seekor kijang atau anjing. Dengan mengandalkan telinga dan hidungnya saja dia sudah dapat menghitung jumlah orang yang hadir, dengan mengikuti gerak-gerik mereka melalui telinganya serta mencium bau yang berlainan dengan hidungnya.

Bahkan di dalam perkelahian kakek yang tidak dapat melihat lagi itu dapat mengandalkan ketajaman pendengarannya pula sehingga setiap gerakan lawan bisa diketahuinya dengan seksama, malah jauh lebih cepat dari pada daya tangkap penglihatan mata yang kadang-kadang kabur.

"Benar, lojin. Yang hadir ada dua puluh dua orang." kata Kiu-bwee Coa-li.

"Hemm, dan berapa orang dari Cap-sha-kui?"

"Ada tujuh orang, lojin." Kui-kok Lo-bo yang kini ikut bicara karena ia pun hendak memberi tahukan raja datuk itu bahwa dia pun sudah hadir.

"Tujuh orang? Siapa dia?" Siangkoan-lojin bertanya, alisnya yang putih berkerut.

"Koai-pian Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo, Kiu-bwee Coa-li, Tho-tee-kwi, Kui-kok Lo-mo, aku sendiri dan lojin..."

Terdengar kakek itu mengeluarkan suara bentakan melengking dan semua orang terkejut. Kui-kok Lo-mo hendak memperingatkan isterinya, tetapi terlambat karena tahu-tahu kakek buta itu telah mencelat ke depan, tongkatnya menyambar dan Kui-kok Lo-bo menjerit lalu roboh terlentang, ujung tongkat telah menempel di lehernya. Kiranya kakek buta itu belum membunuhnya, baru merobohkan dan menempelkan ujung tongkat di leher nenek itu.....!
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar