Pendekar Sadis Jilid 31

“Hemm, Lian Hong, siapa yang menjadi penolongmu dan gurumu? Ketahuilah, aku tidak membunuhmu dan mengangkatmu sebagai murid hanya untuk memancing datangnya dia ini. Hei, anak muda, apakah engkau yang bernama Cia Han Tiong, putera dari Pendekar Lembah Naga di utara?”

Han Tiong yang sudah mendengar bahwa nenek ini adalah penolong dan guru Lian Hong, dan mengingat akan nama besar nenek ini, cepat melepas tangan Lian Hong dan menjura dengan hormat.

“Harap locianpwe maaafkan kalau sejak tadi saya telah mengikuti locianpwe, karena saya tidak tahu dan merasa heran ketika melihat Adik Lian Hong berjalan bersama locianpwe. Kini perkenankanlah saya atas nama seluruh keluarga menghaturkan terima kasih kepada locianpwe yang telah menyelamatkan Adik Lian Hong.”

“Hemm, Cia Han Tiong, aku memancingmu agar memasuki tempat sunyi ini bukan untuk menerima ucapan terima kasihmu. Lian Hong tiada artinya bagiku. Aku memang hendak mengajakmu bertanding, untuk melihat sampai di mana kebenaran berita yang kudengar bahwa putera Pendekar Lembah Naga memiliki kepandaian yang hebat!”

“Ahhh, locianpwe, sedikit kemampuan saya mana dapat dibandingkan dengan kesaktian locianpwe? Harap locianpwe tidak main-main dan biarlah saya mengaku kalah sebelum bertanding.”

Han Tiong yang merasa tidak enak untuk melawan penolong Lian Hong lalu menjura dan merendah. Akan tetapi sikap ini membuat nenek itu menggerakkan alisnya yang putih dan mulutnya menyeringai dan mengejek, pandang matanya merendahkan.

“Kiranya putera Pendekar Lembah Naga hanyalah seorang pemuda pengecut yang hilang nyalinya begitu bertemu dengan musuh yang pandai! Cia Han Tiong, dulu engkau sudah bersikap gagah-gagahan saat berhadapan dengan beberapa orang anak buahku, apakah sekarang engkau mengaku takut berhadapan dengan aku?”

Han Tiong tersenyum. Dia tahu akan watak orang-orang golongan hitam yang selalu ingin menang, sombong, dan mengagulkan diri. Dia tidak bisa mudah dibakar, karena memang sejak kecilnya pemuda ini sudah memiliki pembawaan yang bijaksana.

“Locianpwe, di sini tidak ada persoalan berani atau takut. Saya menghormati locianpwe sebagai seorang tua yang berkedudukan tinggi. Apa lagi locianpwe adalah penolong dari Adik Lian Hong dan juga telah mengangkatnya sebagai murid. Oleh karena itu, bagaimana saya berani kurang ajar melawan locianpwe? Lagi pula, di antara kita tidak ada urusan apa-apa, mengapa kita harus saling serang?”

“Hemmm, begitukah? Lian Hong, ke sini engkau! Engkau sudah menjadi muridku, maka engkau harus taat padaku!”

“Tidak, subo. Teecu akan ikut Tiong-koko pulang!” jawab Lian Hong.

“Begitukah? Hendak kulihat apakah engkau akan dapat meninggalkan aku!”

Tiba-tiba saja nenek itu menggerakkan tangan, dan tubuhnya sudah melayang ke depan, tangan itu hendak mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Lian Hong! Gadis ini terkejut dan cepat mengelak dengan meloncat ke belakang, akan tetapi tangan yang bersarung hitam itu terus mengejarnya.

“Plakkk!”

Nenek Lam-sin tertolak ke belakang oleh tangkisan Han Tiong, lantas dia pun tersenyum mengejek.

“Hemm, katanya engkau tidak hendak melawanku!” tegurnya.

“Maaf, locianpwe, saya tidak melawan, hanya hendak melindungi Hong-moi.”

“Bagus, kalau begitu, lindungilah kekasihmu itu. Kita bertanding untuk memperebutkan Lian Hong!” Setelah berkata demikian, nenek itu menerjang dengan gerakan cepat sekali, menyerang Han Tiong dengan dahsyat.

“Plakk! Plakk!”

Dua kali mereka beradu lengan dan akibatnya, keduanya langsung tertolak ke belakang, tanda bahwa tenaga sinkang mereka seimbang. Tadi Cia Han Tiong terpaksa menangkis sebab serangan lawan itu sungguh amat dahsyat, merupakan pukulan-pukulan maut yang harus ditangkisnya.

“Begitu lebih baik!” kata nenek itu dan kini ia mulai benar-benar menyerang.

Han Tiong maklum bahwa dia tidak dapat menghindarkan diri dari pertandingan itu, maka dia merasa tidak enak sekali. Bagaimana pun juga, nenek ini sudah menyelamatkan Lian Hong. Bagaimana mungkin dia dapat melukainya apa lagi merobohkannya?

Akan tetapi, begitu nenek itu melakukan serangan bertubi-tubi, dia terkejut bukan main. Setiap pukulan nenek itu mengandung sinkang yang sangat kuat dan memiliki kecepatan bagaikan kilat. Tahulah dia bahwa dia menghadapi lawan yang tangguh sekali sehingga terpaksa Han Tiong harus mengeluarkan kepandaiannya. Dia sudah mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang untuk melindungi seluruh tubuhnya dengan sinkang ini, dan juga untuk mengimbangi kekuatan nenek itu. Dan untuk membela diri, dia mainkan Thai-kek Sin-kun.

Akan tetapi, semakin lama gerakan nenek itu semakin cepat. Dan ternyatalah oleh Han Tiong bahwa nenek ini mempunyai kelebihan dalam hal ginkang. Tubuhnya berkelebatan bagaikan pandai menghilang saja sehingga kalau saja dia tidak mempunyai gerakan yang mantap dan kokoh, tentu dia sudah kena terpukul.

Nenek itu terus berkelebatan di sekeliling dirinya, menyerang dari semua jurusan dengan kecepatan yang hebat. Dan lebih lagi, nenek itu pandai mainkan ilmu pukulan Bian-kun, yaitu kedua tangannya menggunakan sinkang yang lemas, tangannya seperti kapas saja lunaknya, akan tetapi di dalam kelunakan ini justru terkandung hawa sinkang yang dapat menembus kekuatan lawan sehingga membuat tubuh Han Tiong beberapa kali tergetar! Thian-te Sin-ciang yang demikian kuatnya hampir dapat ditembusi oleh tangan kapas itu!

Cepat Han Tiong mengubah gerakannya. Dia masih memainkan Thai-kek Sin-kun untuk menjaga diri, akan tetapi untuk dapat mengurangi kegencaran serangan lawan, terpaksa dia balas menyerang. Bukan menyerang untuk merobohkan lawan, melainkan menyerang untuk memaksa lawan membagi perhatian sehingga tidak terus-menerus menyerang saja akan tetapi juga mempertahankan diri.

Betapa pun juga, sikap Han Tiong yang tak ingin mengalahkan ini telah merugikan dirinya sendiri. Lawannya bukan orang lemah, bahkan sebaliknya. Belum pernah dia berhadapan dengan seorang lawan yang setangguh ini. Andai kata dia membalas dan berusaha untuk merobohkan lawan sekali pun, belum dapat dipastikan dia akan menang, apa lagi dalam waktu singkat. Kini, dia hanya mempertahankan dan membela diri, tentu saja dia didesak terus dengan hebatnya!

“Plakk!”

Sebuah tamparan mengenai pundak Han Tiong. Tubuh pemuda itu terhuyung dan cepat dia menggerakkan jari tangannya, menahan desakan lawan dengan ilmu It-sin-ci.

“Ihhh…!” Nenek itu mendengus dan melompat ke belakang menghadapi tusukan sebuah jari tangan yang mengeluarkan suara mendesing itu. Maklumlah ia bahwa totokan It-sin-ci (Satu Jari Sakti) itu amat berbahaya.

Akan tetapi ternyata Han Tiong mengeluarkan It-sin-ci tadi hanya untuk menahan desakan belaka, dan tidak melanjutkan serangannya. Pundaknya yang kena tamparan itu pun tidak terluka hebat.

Kini nenek itu menerjang lagi dengan lebih hebat. Dia pun sudah berganti ilmu silat dan kedua tangannya yang dibungkus sarung hitam itu membentuk cakar seperti cakar garuda sedang tubuhnya melayang-layang seperti terbang. Jelaslah bahwa ia mainkan ilmu yang mirip dengan serangan burung garuda. Kedua tangannya mencakar-cakar dan tubuhnya berloncatan sehingga serangan-serangannya itu datang dari atas.

Han Tiong mengandalkan ilmu yang didapatkan dari Kakek Yap Kun Liong, yaitu Keng-lun Tai-pun. Ilmu ini menambah kekokohan dari semua gerakan silatnya sehingga walau pun dia diserang secara bertubi-tubi, namun dengan kokoh kuat dia dapat membela diri. Akan tetapi tiba-tiba saja nenek itu menggerakkan kepalanya, lantas sebuah benda putih yang mengeluarkan bau harum dan suara bercuitan menyambar ke arah kepala Han Tiong!

Pemuda ini terkejut sekali, membuang tubuh atas ke belakang dan membiarkan rambut itu menyambar lewat. Saking kagetnya, dia kurang waspada sehingga sebuah tendangan mengenai dadanya, membuat dia terjengkang dan terbanting roboh.

Akan tetapi Han Tiong sudah meloncat bangun lagi. Dadanya yang terlindung oleh tenaga Thian-te Sin-ciang tidak terluka, hanya terasa sesak sedikit karena terguncang. Dia cepat memandang kepada nenek itu. Kini rambut putih nenek itu terurai dan rambut itu panjang sekali, sampai pinggulnya. Kiranya nenek ini pandai pula mainkan rambut sebagai senjata yang amat ampuh!

Han Tiong merasa serba salah. Apa bila mempertahankan diri saja, jelas dia akan celaka karena tingkat kepandaian lawan ini amat hebatnya. Apa bila melawan sungguh-sungguh, dia merasa tidak enak. Dan kini nenek itu sudah menyerang lagi.

Karena bingung, Han Tiong lalu mengeluarkan sebuah dari Ilmu Hok-mo Cap-sha-ciang. Tubuhnya menyeruduk ke depan, memapaki serangan lawan, dua tangannya mendorong dan mulutnya mengeluarkan bentakan nyaring. Kedua tangannya itu bergerak memutar ketika mendorong dan terjadilah pertemuan tenaga yang sama-sama kuat.

“Desssss…!”

Sekali ini, nenek yang tidak menyangka akan hebatnya jurus itu, terpental dan terbanting roboh! Namun dia sudah meloncat lagi dan dengan mata mencorong berkilat-kilat dia pun segera meloncat dan menyerang sambil memutar rambutnya sehingga nampak gulungan sinar putih.

Han Tiong menjadi gugup. Tadi dia sudah merasa menyesal telah merobohkan nenek itu dengan jurus dari Hok-mo Cap-sha-ciang, yaitu ilmu silat simpanannya. Karena perasaan menyesal ini, melihat nenek itu menyerang, dia menjadi gugup, gerakannya terlambat dan kembali dadanya kena didorong telapak tangan nenek itu.

“Bukkk!”

Sekali ini Han Tiong terbanting keras sesudah terpelanting! Kembali Lian Hong menahan jeritnya dan hatinya baru lega ketika melihat Han Tiong meloncat bangun kembali sambil mengatur nafas.

“Hik-hik-hik, begini sajakah kehebatan putera Pendekar Lembah Naga yang tersohor itu? Hemm, sekarang aku akan menghabiskan nyawamu, orang muda!” Dengan kedua tangan dipentang, nenek itu menyerbu dengan lompatan seperti seekor harimau kelaparan.

“Dessss…!”

Tubuh nenek itu terpental dan dia pun terkejut sekali, berjungkir balik beberapa kali baru dia berdiri tegak dan memandang kepada orang yang sudah menangkisnya tadi. Kiranya, di situ telah muncul dua orang lain, yaitu seorang pria gagah perkasa berusia empat puluh tahun lebih dan seorang wanita cantik dan gagah yang sebaya.

“Nenek tua bangka yang sombong, tidak tahu puteraku telah banyak mengalah!” kata pria yang menangkis tadi.

“Ayah…! Ibu…!” Han Tiong berseru girang ketika mengenal dua orang itu sedangkan Lian Hong memandang dengan jantung berdebar.

Ternyata yang baru datang itu adalah Pendekar Lembah Naga, Cia Sin Liong bersama isterinya, Bhe Bi Cu. Suami isteri ini merasa tidak enak hati ketika Han Tiong berangkat mencari Lian Hong, maka mereka pun segera meninggalkan Lembah Naga dan menyusul putera mereka. Ketika Sin Liong melihat puteranya membayangi nenek yang melakukan perjalanan dengan Lian Hong keluar dari kota Heng-yang, secara diam-diam dia bersama isterinya ikut membayangi dari jauh pula.

Seperti juga Han Tiong, dia telah menyelidiki di Lok-yang. Di tempat inilah dia mendengar bahwa penyerbuan itu dibantu oleh beberapa orang pengemis yang lihai, seperti pernah dia dengar dari Thian Sin dahulu. Maka, pendekar ini kemudian melakukan penyelidikan di antara para pengemis dan dia mendengar bahwa para pangemis itu adalah anggota-anggota Bu-tek Kai-pang yang berpusat di kota Heng-yang. Di kota itulah Cia Sin Liong melakukan penyelidikan dan di sini dia dapat melihat puteranya yang kebetulan sedang membayangi Lian Hong bersama Nenek Lam-sin.

“Han Tiong, mengapa engkau begini lemah dan selalu mengalah?” Pendekar itu menegur puteranya karena semenjak tadi dia mengikuti pertandingan itu dan tahu bahwa puteranya selalu mengalah dan tidak mau balas menyerang dengan sepenuh hati sehingga terkena pukulan lawan.

“Ayah, locianpwe ini adalah Lam-sin Locianpwe yang sudah menyelamatkan Adik Lian Hong,” jawab Han Tiong.

Sementara itu, Nenek Lam-sin sudah kehilangan rasa kagetnya dan kini barulah dia tahu bahwa yang menangkisnya itu adalah Pendekar Lembah Naga yang dulu namanya pernah menggemparkan dunia kang-ouw dan yang sudah sering didengarnya itu. Diam-diam dia merasa gentar juga.

Kepandaian puteranya itu sudah hebat dan dia pun tadi merasa heran kenapa pemuda itu tidak melawannya dengan sungguh-sungguh. Sekarang baru dia tahu bahwa sebenarnya pemuda itu belum mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Dengan demikian berarti bahwa pemuda itu memang lihai sekali, dan andai kata melawannya dengan sepenuh hati, belum tentu dia akan dapat menang. Kalau pemuda itu saja sudah sedemikian lihainya, apa lagi ayahnya dan ibunya ini.

“Aih, kiranya aku berhadapan dengan Pendekar Lembah Naga yang terkenal itu? Selamat datang dan selamat berjumpa, Cia-taihiap. Sudah lama kami mendengar akan kebesaran namamu, dan memang kami ingin sekali berkenalan.” Nenek itu berkata dan kini dia tidak merasa rendah untuk mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada Cia Sin Liong! “Sesungguhnya, aku hanya ingin menguji kepandaian putera dari Pendekar Lembah Naga, dan kunjungan taihiap sungguh merupakan hal yang amat menggirangkan hatiku.”

“Huh, siapa yang sudi berkenalan dengan segala datuk kaum sesat?” Bhe Bi Cu berkata dengan suara menghina. Wanita yang keras hati ini telah marah sekali ketika tadi melihat kesombongan nenek ini yang mendesak puteranya, apa lagi sesudah mendengar ucapan suaminya betapa puteranya ini tadi sengaja mengalah.

Cia Sin Liong tidak segalak isterinya, akan tetapi tentu saja dia pun tidak ingin berkenalan dengan seorang datuk dari kaum sesat yang tadi dilihatnya menyerang puteranya dengan dahsyat dan dengan penuh nafsu membunuh. Maka dia pun membalas penghormatan itu dan berkata dengan suara dingin.

“Kami menyusul putera kami untuk mencari Lian Hong. Setelah kini kami bertemu dengan anak itu, kami tidak ingin mengikat persahabatan dengan siapa pun juga.”

Melihat sikap yang begini angkuh dari Pendekar Lembah Naga, terdengarlah suara orang menggereng marah. Yang menggereng marah itu adalah para pimpinan Bu-tek Kai-pang. Ada tiga orang di antara mereka yang dianggap sebagai pimpinan.

Jumlah para anggota Bu-tek Kai-pang hanya tinggal dua puluh empat orang saja ketika perkumpulan ini ditundukkan oleh Lam-sin. Dan di antara yang dua puluh empat itu, tiga orang kakek pengemis itu merupakan pimpinan atau murid utama.

Sebetulnya, dahulu, sebelum Nenek Lam-sin menguasai dunia selatan dan menundukkan perkumpulan ini sesudah membunuh ketuanya yang berjulukan Bu-tek Sin-kai (Pengemis Sakti Tanpa Tanding), anggota perkumpulan ini berjumlah banyak. Lalu muncul Lam-sin yang membunuh banyak anggota kai-pang sekaligus membunuh ketuanya. Yang lain-lain, yaitu sisanya yang tinggal dua puluh empat orang itu, dipimpin oleh tiga orang kakek ini, kemudian takluk dan menyerah.

Melihat bahwa mereka dapat menjadi pembantu-pembantunya yang amat baik, nenek itu lalu menerima mereka. Bahkan nenek itu lalu memperbaharui kai-pang itu, mengadakan aturan-aturan baru dan bahkan mendidik mereka dengan ilmu silat yang ampuh. Terutama sekali tiga orang ini telah digemblengnya hingga kepandaian mereka maju banyak sekali.

Dan semenjak dipimpin oleh Nenek Lam-sin, perkumpulan ini betul-betul menjadi ‘bu-tek’ (tanpa tanding). Ketiga pengemis inilah yang membuat nama Lam-sin terkenal tanpa Si Nenek itu turun tangan sendiri. Tiga orang pimpinan pengemis itu rata-rata berusia enam puluh tahun, dan mereka bertiga adalah ahli-ahli mainkan tongkat akar bahar yang berada pada punggung mereka itu dengan Ilmu Tongkat Hok-mo-pang, yaitu ilmu tunggal yang diturunkan oleh Lam-sin kepada mereka semua dan yang membuat mereka itu tak pernah dapat dikalahkan lawan.

Para pengemis ini sangat taat dan takut kepada ketua mereka, yang mereka tahu amat sakti. Juga mereka itu amat mencinta Lam-sin, karena sejak ada nenek inilah nama dan derajat mereka terangkat dan kehidupan mereka menjadi lebih maju dan makmur. Maka tadi, pada waktu mereka menerima isyarat dari ketua mereka, mereka lalu mengadakan pencegatan dan pengepungan kepada Cia Han Tiong akan tetapi tak berani turun tangan karena belum menerima perintah ketua mereka.

Ketika ketua mereka bertanding, mereka hanya nonton dengan keyakinan penuh bahwa ketua mereka tentu akan mampu mengalahkan pemuda lihai itu. Kini, melihat munculnya Pendekar Lembah Naga, dan melihat sikap para keluarga Pendekar Lembah Naga yang demikian angkuh serta merendahkan ketua mereka yang telah bersikap manis, maka tiga orang pimpinan pengemis itu menjadi marah sekali.

Mereka menggereng untuk menarik perhatian ketua mereka dan ketika Nenek Lam-sin memandang kepada mereka, seorang di antara mereka memberi isyarat dengan tangan minta ijin untuk menyerang pendekar itu. Lam-sin tersenyum sambil mengangguk sedikit, hampir tidak kentara.

“Cia-taihiap, kami tiga orang pimpinan Bu-tek Kai-pang minta petunjukmu!” tiga orang itu berkata dan meloncat ke hadapan pendekar itu sambil mencabut senjata masing-masing, yaitu tongkat akar bahar hitam yang melingkar-lingkar seperti tubuh ular itu.

Dengan muka merah Bhe Bi Cu hendak maju, akan tetapi suaminya menahannya dan memegang lengannya, lalu pendekar ini melangkah maju menghadapi ketiga orang kakek itu.

“Kami datang bukan untuk mengadu ilmu.”

“Pangcu kami telah menerima penghinaan, Pangcu boleh jadi berhati lapang, akan tetapi kami tidak dapat mendiamkannya begitu saja dan harap taihiap suka membuktikan bahwa taihiap pantas bersikap angkuh terhadap Pangcu kami.”

“Majulah kalau kalian penasaran!” kata Cia Sin Liong yang masih berdiri tegak dan tetap bersikap dingin.

Keadaan menjadi tegang. Bhe Bi Cu, Cia Han Tiong dan Lian Hong memandang dengan penuh perhatian, sedangkan Nenek Lam-sin juga memandang dengan penuh perhatian. Sepasang mata nenek itu mencorong dan bibirnya yang keriputan menahan senyum.

Tiga orang pimpinan pengemis itu saling pandang sejenak, lalu mereka mengangguk dan ada isyarat pada pandang mata mereka. Memang mereka saling memberi isyarat untuk menyerang berbareng. Tentu saja mereka sudah pernah mendengar tentang nama besar Pendekar Lembah Naga, maka mereka berpikir hanya dengan penggabungan tenaga saja mereka akan dapat menandingi pendekar ini.

Tiba-tiba mereka membentak dengan suara gerengan yang mengandung khikang hingga tempat itu tergetar, kemudian bagaikan tiga ekor naga mereka sudah menerjang dari tiga jurusan, mempergunakan tongkat akar bahar mereka untuk menghantam ke bagian tubuh yang berbahaya dari pendekar itu.

Pendekar Lembah Naga menghadapi serangan tiga orang itu tanpa memasang kuda-kuda melainkan berdiri tegak saja dan melihat betapa seorang di antara lawan yang menyerang dari kiri menusukkan tongkatnya ke arah lambung, pendekar ini miringkan tubuhnya dan membiarkan dua tongkat lain yang memukul ke arah leher dan dadanya, juga membiarkan tongkat yang tadinya menusuk itu kini menghantam perutnya.

Terdengar suara bak-bik-buk ketika tongkat-tongkat itu menghantam tubuh pendekar ini, yang disusul suara teriakan-teriakan tiga orang yang memukul itu karena mereka merasa betapa tongkat mereka melekat pada tubuh Si Pendekar lantas tenaga sinkang mereka tersedot keluar dengan kuat sekali!

“Thi-khi I-beng! Simpan tenaga kalian…!” Terdengar suara merdu Nenek Lam-sin.

Akan tetapi sebelum tiga orang kakek pengemis itu sadar akan hal ini dan melepaskan pengerahan sinkang, tiba-tiba tubuh mereka sudah terangkat dan terlempar ke arah ketua mereka seperti daun-daun kering tertiup angin!

Lam-sin mengangkat tangan menahan mereka hingga mereka bertiga itu dapat mendarat dengan lunak, tidak sampai terbanting keras. Muka mereka menjadi pucat sekali. Dalam segebrakan saja mereka telah dikalahkan oleh pendekar itu yang kalau tadi menghendaki tentu telah dapat membunuh mereka. Karena inilah mereka menjadi ragu-ragu dan gentar, hanya memandang kepada ketua mereka yang memberi isyarat dengan pandang mata agar mereka mundur.

Sungguh pun selama ini Cia Sin Liong sudah dapat menguasai diri dan jarang dia dapat diserang amarah, namun sekali ini mukanya agak merah ketika dia berkata kepada nenek itu, “Lam-sin, kami datang bukan untuk mencari permusuhan. Akan tetapi bukan berarti bahwa kami takut. Majulah kalau engkau hendak mencari gara-gara dan penyakit!”

Akan tetapi Nenek Lam-sin bukanlah orang bodoh. Ia tahu bahwa kalau ia maju, maka hal itu berarti ia benar-benar mencari penyakit! Pendekar itu amat tinggi ilmunya, dan biar pun belum tentu ia akan kalah namun di sana masih ada isteri pendekar itu yang ia sangka tentu juga amat lihai, belum lagi Cia Han Tiong yang sudah ia ketahui kelihaiannya.

Tidak, kalau ia maju, biar pun ia akan dibantu oleh dua puluh empat orang pembantunya, ia benar-benar mencari penyakit dan akan rugi sendiri. Lebih baik bersikap baik terhadap keluarga selihai ini, setidaknya, untuk saat ini di waktu ia berada di fihak yang lebih lemah.

“Tidak, Cia-taihiap, aku pun tak ingin bermusuhan dengan keluarga Lembah Naga. Harap taihiap suka memaafkan mereka ini,” katanya sambil menjura.

“Jika begitu, sekarang juga kami hendak pergi!” kata Cia Sin Liong yang memberi isyarat kepada isterinya, puteranya dan juga Lian Hong untuk pergi dari tempat itu.

Lian Hong memandang kepada nenek itu dan hatinya merasa kasihan juga. Betapa pun juga, nenek itu pernah menyelamatkannya dari mala petaka yang lebih hebat dari pada maut. Melihat betapa nenek itu sekarang terpaksa mengalah dan agaknya tidak berani, maka dia pun merasa kasihan.

“Locianpwe, terima kasih atas segala kebaikan locianpwe dan maafkan saya,” katanya, kini tidak lagi menyebut subo.

Nenek itu menghela napas panjang. “Lian Hong, nasibmu baik sekali. Engkau akan hidup beruntung bersama mereka. Pergilah,” katanya dan suaranya bernada sedih.

Cia Sin Liong mengajak keluarganya pergi, dan di tengah perjalanan barulah keluarganya mendengar penuturan Lian Hong tentang pertolongan yang diberikan oleh nenek itu yang membunuh anggota Bu-tek Kai-pang sendiri. Mendengar ini, Cia Sin Liong lalu menghela napas panjang.

“Nenek itu aneh sekali. Kepandaiannya cukup hebat dan tidak berselisih banyak dengan kemampuanku, dan gerak-geriknya seperti bukan penjahat, akan tetapi kenapa ia menjadi datuk kaum sesat?”

Pendekar ini dan sekeluarganya tidak tahu betapa sepeninggalnya mereka, nenek itu lalu memberi peringatan kepada para pengikutnya agar mulai saat itu, para pengikutnya tidak melibatkan diri dalam permusuhan dengan orang-orang kang-ouw yang baru.

“Kini banyak orang pandai berkeliaran, kalau bertemu dengan muka baru, jangan kalian sembarangan turun tangan melainkan beri tahu kepadaku. Terutama sekali kalau bertemu dengan orang yang bemama Ceng Thian Sin, putera Pangeran Ceng Han Houw itu!”

Nenek itu lalu pulang ke rumahnya dan di dalam kamarnya, nenek ini duduk termenung dan menangis! Bila teringat akan sikap keluarga Cia yang amat angkuh dan memandang rendah kepadanya, dia merasa penasaran dan juga berduka…..

********************

Sementara itu, Cia Sin Liong hendak mengajak isteri, putera dan calon mantunya pulang ke Lembah Naga. Akan tetapi, di tengah jalan Han Tiong tak mau melanjutkan perjalanan. Dari percakapan di sepanjang perjalanan itu dia tahu akan niat hati orang tuanya, yaitu dia akan segera dinikahkan dengan Lian Hong. Tentu saja hal ini meupakan sesuatu yang amat diharapkan, akan tetapi pada saat itu dia belum ingin menikah lebih dahulu sebelum dia berhasil menemukan Thian Sin.

Dia merasa amat tidak enak untuk menikah dengan gadis yang dia tahu juga dicinta oleh Thian Sin itu, tanpa kehadiran adiknya yang sangat disayangnya itu. Dia akan enak-enak menikah dan berbahagia, akan tetapi bagaimana nasib Thian Sin dia masih belum tahu.

“Ayah dan ibu harap pulang dahulu dan biar Hong-moi ikut bersama ayah dan ibu. Aku sendiri belum akan pulang kalau belum berjumpa dengan Sin-te. Aku harus mencarinya sampai dapat. Aku mengkhawatirkan dia, ayah!”

“Dia bukan anak kecil dan dia sudah memiliki bekal kepandaian yang cukup, perlu apa mengkhawatirkan dia?”

“Ayahmu benar, Tiong-ji. Engkau harus pulang, jika tidak, tentu Lian Hong akan semakin khawatir dan berduka. Sekarang kita sekeluarga sudah berkumpul, dan kita harus dapat menghibur hati Lian Hong. Mari ikut pulang dan kita segera melangsungkan pernikahan kalian.”

“Maaf, ayah dan ibu. Bagaimana mungkin aku bersenang hati kalau Sin-te masih belum kuketahui bagaimana nasibnya. Berilah waktu kepadaku, aku hendak mencarinya sampai dapat, baru aku akan pulang bersamanya dan baru kita bicara tentang pernikahan. Aku mohon kepada ayah dan ibu untuk mengijinkan aku pergi.”

Suami isteri itu saling pandang. Mereka tahu akan isi hati putera mereka. Mereka tahu betapa besar kasih sayang putera mereka ini terhadap adik angkatnya. Dan diam-diam mereka pun bangga akan kecintaan dan kesetiaan hati putera mereka ini. Akhirnya Bhe Bi Cu bertanya kepada Lian Hong dengan suara halus,

“Ahh, Han Tiong memang keras hati. Bagaimana pendapatmu, Lian Hong?”

Sejak tadi gadis itu hanya menundukkan mukanya saja. Dia teringat akan Thian Sin dan terbayanglah semua peristiwa dalam taman di waktu pemuda itu menyatakan cinta kasih kepadanya. Dan betapa pun juga, dia merasa girang mendengar sikap tunangannya yang sangat menyayangi adiknya itu, yang tidak hanya memikirkan kesenangan dirinya sendiri. Oleh karena itu, dengan suara tegas dia pun menjawab,

“Saya kira pendapat Tiong-koko amatlah bijaksana dan saya… dalam keadaan berkabung ini… saya… belum dapat berpikir tentang pernikahan…”

Suami isteri itu menarik napas panjang. Mereka merasa amat kasihan kepada gadis yang dalam waktu seketika saja sudah kehilangan segala-galanya, baik orang tuanya, rumah mau pun semua harta miliknya.

“Baiklah, Han Tiong. Engkau boleh pergi mencari adikmu. Kami bertiga akan menunggu kembailmu ke Lembah Naga, mudah-mudahan bersama dengan adikmu.”

Maka berpisahlah Han Tiong dari orang tua dan tunangannya. Dia pergi mencari adiknya, sedangkan mereka bertiga kembali ke Lembah Naga…..

********************

Kita kembali mengikuti perjalanan Ceng Thian Sin. Hati pemuda ini merasa besar setelah dia dapat mengalahkan Pak-san-kui dan kemudian See-thian-ong, biar pun kemenangan itu hanyalah kemenangan yang tipis saja dan yang diakhirinya dengan melarikan diri pada saat hendak dikeroyok.

Belum tiba waktunya bagi dia untuk benar-benar mengalahkan dan membasmi penjahat-penjahat itu, datuk-datuk kaum sesat itu. Kelak akan tiba saatnya dia membasmi seluruh penjahat dari permukaan bumi ini. Yaitu bila mana ilmunya sudah sempurna sehingga dia menjadi jagoan tanpa tanding atau jagoan nomor satu di dunia ini, seperti yang dahulu dicita-citakan oleh ayahnya.

Dengan tekad yang bulat untuk menyempurnakan ilmu kepandaiannya, pergilah Thian Sin ke Pegunungan Himalaya. Dahulu dia pernah mendengar dari mendiang ayahnya bahwa ilmu-ilmu yang ditulisnya di dalam kitab-kitab itu dipelajari mendiang ayahnya dari seorang manusia dewa yang kabarnya bertempat tinggal di Himalaya, akan tetapi belum pernah ada orang yang menjumpainya. Ayahnya sendiri belum pernah bertemu langsung dengan maha guru yang disebut Bu Beng Hud-couw itu, melainkan baru bertemu dengan badan halusnya atau bayangannya saja.

Dia harus dapat bertemu dengan Bu Beng Hud-couw, atau setidak-tidaknya menghubungi badan halusnya. Dan untuk itu kini dia harus pergi ke Himalaya, untuk menyempurnakan ilmu-ilmu peninggalan ayahnya dan menemui pertapa-pertapa sakti yang dapat memberi petunjuk selanjutnya kepadanya.

Setelah melakukan perjalanan merantau di daerah Pegunungan Himalaya dan beberapa kali menghadapi bahaya-bahaya maut, bukan hanya bertemu dengan binatang-binatang buas, akan tetapi juga terancam kelaparan serta kedinginan yang sangat hebat, akhirnya pada suatu hari Thian Sin diserang angin badai yang amat hebat sehingga dia bergegas mencari tempat perlindungan.

Dari bawah dilihatnya sebuah mulut goa di atas puncak. Dengan susah payah, melawan angin yang seolah-olah hendak menerbangkannya ke jurang, angin besar yang membuat pohon-pohon raksasa tumbang, Thian Sin berhasil juga mencapai goa itu dan setelah dia berada di dalam goa, maka selamatlah dia dari serangan angin yang masih menghembus lewat di depan mulut goa sambil mengeluarkan suara mengerikan.

Lewat kurang lebih satu jam sesudah angin badai itu mereda, barulah Thian Sin sempat memperhatikan goa yang telah menyelamatkannya itu. Goa itu cukup lebar, ada empat meter lebarnya, dan dalamnya tidak kurang dari lima meter. Dia segera masuk ke dalam dan ternyata goa itu membelok ke kiri.

Ketika dia masuk terus ke kiri, pada sudut goa itu, di dalam cuaca yang remang-remang, nampaklah olehnya sesosok tubuh yang kurus kering sedang duduk bersila dengan kedua kaki di atas kedua paha dan dua tangan terletak di atas lutut. Dia terkejut dan mendekat.

Orang itu tidak bernapas lagi! Ketika dia menyentuh lengan yang hanya tulang terbungkus kulit itu, terasa dingin seperti biasa tubuh mayat! Orang ini telah mati! Akan tetapi, kalau sudah mati, mengapa dia tidak roboh dan masih dapat duduk bersila dengan punggung demikian lurus tegak? Dan kulit lengan itu pun masih lemas, belum kaku, belum beku.

Cepat Thian Sin meraba pergelangan tangan orang itu. Urat nadinya tidak berdetik lagi. Dia masih penasaran dan meraba dada sambil mengerahkan semua perasaan halusnya. Jantung orang itu masih bekerja, walau pun sangat lemah dan lambat! Orang ini belum mati, sungguh pun tiga perempat mati.

Thian Sin cepat mengambil guci kecil berisi arak yang terdapat dalam bungkusan pakaian dan bekalnya. Dibukanya tutup guci dan ditempelkannya bibir guci arak ke bibir kakek itu, dan dengan lembut diangkatnya dagu orang itu agar menengadah.

Mula-mula bibir itu mengeras dan seperti melawan, akan tetapi ketika tetes pertama dari arak itu mengenai bibir, tiba-tiba saja bibir itu menyedot dan… guci arak itu menempel pada bibir dan isinya seperti disedot oleh tenaga yang amat kuat sehingga sebentar saja isinya pun habis, semua memasuki perut orang itu melalui mulutnya!

Thian Sin terkejut dan maklumlah dia bahwa yang disangka mayat seperempat hidup ini ternyata adalah seorang yang pandai! Maka setelah menurunkan guci kosongnya, dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.

“Harap Locianpwe suka memafkan teecu atas kelancangan teecu,” katanya menghormat.

Kakek itu berdahak lalu terbatuk-batuk kecil dan tubuhnya bergerak. Matanya terbuka dan sepasang mata yang mencorong memandang ke arah Thian Sin, lalu terdengar suaranya yang pelan dan kaku, suara orang yang sudah puluhan tahun tidak pernah bicara,

“Aih, engkau telah menggagalkan aku memasuki keadaan abadi. Ah, tapi bukan salahmu, melainkan salahnya badan ini yang tidak dapat menahan bau arak. Ha-ha-ha-ha, agaknya inilah karmaku… hemmm…”

Hampir semua orang bicara tentang karma. Segala sesuatu yang terjadi menimpa dirinya, yang terjadi berlawanan dengan yang diharapkannya, lantas dihiburnya dengan pendapat bahwa hal itu sudah menjadi karmanya atau sudah nasibnya. Apakah sesungguhnya yang dimaksudkan dengan karma itu?

Menurut penjelasan kitab-kitab tulisan orang jaman dahulu, karma adalah hukum sebab akibat. Segala akibat mempunyai penyebabnya, dan segala macam perbuatan manusia sudah pasti akan mendatangkan akibat, cepat atau lambat. Itulah hukum karma. Semua perbuatan baik tentu akan berakibat baik, perbuatan jahat akan berakibat jahat bagi yang melakukannya. Atau dengan kata lain, siapa menanam dia akan menuai dan akan makan buah dari pada hasil tanamannya sendiri.

Akan tetapi sungguh sayang. Seperti juga segala macam pelajaran kebatinan atau filsafat lain di dunia ini, pengetahuan tentang hukum karma ini pun hanya menjadi pengetahuan mati saja, menjadi teori yang hanya dipakai untuk bahan perdebatan dan membanggakan pengetahuan saja.

Orang sudah tahu bahwa apa bila menanam pohon perbuatan jahat akan memetik buah yang buruk, namun orang tetap saja setiap saat menanam pohon perhuatan yang jahat-jahat! Jadi jelas bahwa pengetahuan mati tidak ada gunanya. Dunia sudah penuh dengan segala ajaran ayat-ayat yang suci dan yang menuntun manusia ke arah jalan baik, namun manusia tetap saja bergelimang kejahatan.

Karma adalah mata rantai yang tiada habisnya. Sebuah sebab menimbulkan akibat, dan akibat ini berubah menjadi sebab yang mendatangkan akibat lain lagi. Begitu seterusnya dan kita terbelenggu oleh rantai karma atau sebab akibat. Putusnya rantai ini tergantung pada kita sendiri!

Seseorang menghina saya. Hal itu dapat saja menjadi sebab yang mengakibatkan saya marah kemudian memakinya. Akibat ini, yaitu saya marah dan memakinya, bisa menjadi sebab lain yang mendatangkan akibat lainnya lagi, yaitu si orang itu marah-marah dan mungkin memukul saya. Dan mulai terjadilah lingkaran yang tiada putusnya dari hukum karma itu, rantai yang sambung-menyambung dan mengikat kita.

Akan tetapi, apa bila orang itu menghina saya lantas saya hanya mengamati saja penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, juga tidak terjebak dalam permainan si aku, dan tak menimbulkan reaksi, maka mata rantai itu pun akan putus dan tidak berkelanjutan. Jadi, kesadaran setiap saat, pengamatan setiap saat terhadap diri sendiri dan terhadap segala sesuatu yang terjadi setiap saat di sekeliling kita inilah yang penting. Bukan pengetahuan tentang hukum karma lalu bersandar kepadanya.

Pengetahuan tentang memetik buah dari perbuatan sendiri ini pun dapat menyesatkan. Dapat mendorong kita untuk melakukan perbuatan baik dengan pamrih agar kelak dapat memetik buahnya yang baik atau lezat. Kalau sudah begini, kalau perbuatan yang kita namakan perbuatan baik itu dilakukan dengan sengaja supaya kelak memperoleh hasil yang menyenangkan, apakah perbuatan itu dapat disebut perbuatan baik lagi? Bukankah itu hanyalah perbuatan palsu, hanya merupakan suatu usaha untuk memetik sesuatu yang menguntungkan dan menyenangkan?

Tak ada perbuatan baik yang dilakukan dengan sengaja, dengan kesadaran bahwa yang dilakukannya itu adalah baik. Hanya sinar cinta kasih sajalah yang melahirkan perbuatan baik, perbuatan yang wajar, tak disengaja untuk berbaik-baik melainkan perbuatan yang didasari oleh cinta kasih. Dan cinta kasih ini selalu menimbulkan rasa belas kasih pada sesama. Di mana ada cinta kasih, di situ semua perbuatan yang dilakukan pasti bersih dari pada keinginan untuk memperoleh kesenangan bagi diri sendiri, baik kesenangan lahir mau pun kesenangan batin.

“Locianpwe, teecu mohon petunjuk…,” kata Thian Sin dengan girang karena dia merasa yakin sudah berjumpa dengan orang pandai. “Teecu Ceng Thian Sin merasa berbahagia sekali dapat berjumpa dengan locianpwe di sini, harap locianpwe sudi memperkenalkan diri.”

Kakek itu menarik napas panjang sambil melonjorkan kedua kakinya yang agaknya terasa pegal-pegal. “Ahh, apa artinya nama? Jika orang-orang macam aku masih mencari nama, perlu apa mengasingkan diri di tempat seperti ini. Orang muda, engkau sudah menyeret aku kembali ke dunia penuh perasaan ini, dan kini aku merasa lapar sekali, perutku minta diisi. Apa engkau membawa makanan untukku?”

“Ahhh, ada, locianpwe.” Thian Sin cepat membuka bungkusannya dan mengeluarkan roti kering yang dibawanya bersama daging kering.

Kakek itu cepat-cepat menyambar roti serta daging kering lalu makan dengan lahapnya, dipandang oleh Thian Sin yang merasa kagum karena kakek itu sanggup menghabiskan seperempat potong saja. Dia pun menyerahkan guci air yang segera diminum oleh kakek itu dengan lahap. Setelah kenyang, baru kakek itu bicara.

“Kedatanganmu yang tiba-tiba ini mendatangkan dua hal bagiku, orang muda. Pertama, engkau kembali mendatangkan kehidupan bagi tubuh yang hampir mati ini, dan ke dua, engkau menarik kembali semangatku dari alam yang sangat nikmat. Akan tetapi biarlah, memang agaknya aku masih harus bertahan hingga beberapa lama lagi. Apa maksudmu, seorang pemuda remaja seperti engkau datang ke tempat sunyi seperti ini?”

“Locianpwe, terus terang saja, teecu pergi merantau ke Pegunungan Himalaya ini untuk mematangkan ilmu, dan di samping mencari guru-guru yang pandai juga teecu ingin sekali bertemu dengan seorang locianpwe yang berjuluk Bu Beng Hud-couw.”

Kakek itu tertawa. “Bu Beng Hud-couw? Ha-ha-ha, aku pun bernama Bu Beng, dan entah ada berapa ribu pertapa di daerah ini menggunakan nama Bu Beng. Orang-orang macam kita sudah tidak mengenal nama, maka disebut Bu Beng (Tanpa Nama).”

Mendengar hal ini, Thian Sin mengerutkan alisnya dan merasa kecewa, juga penasaran. “Akan tetapi, locianpwe, yang disebut Locianpwe Bu Beng Hud-couw itu benar ada, beliau adalah guru dari mendiang ayah teecu, bahkan teecu telah mempelajari ilmu-ilmu ciptaan beliau. Teecu ingin bertemu dan menghadap beliau untuk memperoleh penjelasan tentang ilmu-ilmu itu.”

“Oho, sungguh menarik. Coba kau ceritakan lebih jelas lagi, barang kali aku akan dapat menolongmu.”

Mendengar ini, dengan hati girang Thian Sin lantas bercerita tentang Bu Beng Hud-couw seperti yang pernah dia dengar dari ayahnya, dan tentang ilmu-ilmu yang diwariskannya. Kakek itu mengagguk-angguk, lalu berkata,

“Tentang ilmu silat, aku orang tua tidak tahu banyak. Akan tetapi tentang kemunculannya seperti yang dialami oleh mendiang ayahmu, ahhh, hal itu mudah saja. Setiap orang pun dapat saja mengalaminya kalau memang kemauannya cukup keras.”

“Locianpwe, kalau begitu teecu ingin mohon petunjuk agar teecu dapat bertemu dengan Sukong.”

Kakek itu tertawa lagi dan nampak betapa mulutnya sudah tidak punya gigi sebuah pun, akan tetapi tadi dia masih mampu makan roti dan daging kering!

“Mudah saja… ha-ha-ha-ha, memang engkau berjodoh denganku, orang muda. Aku bisa mengajarimu bagaimana agar engkau bisa memanggil yang bernama Bu Beng Hud-couw itu! Tapi, untuk apa engkau hendak memanggilnya?”

“Untuk meminta penjelasan tentang ilmu-ilmu yang diciptakannya dan yang sedang teecu pelajari.”

“Apakah engkau tidak dapat mempelajarinya dengan baik?”

“Teecu telah mempelajarinya, dan teecu kira sudah benar, hanya saja teecu belum puas kalau belum memperoleh petunjuk langsung dari beliau, seperti yang pernah dialami oleh mendiang ayah teecu.”

“Bagus, bagus! Mudah saja, ha-ha-ha, mudah saja.” Dia berhenti sejenak, lalu bertanya lagi, “Berapa usia Bu Beng Hud-couw itu?”

“Entahlah, menurut ayah, beliau adalah manusia dewa yang tak dapat mati, usianya tentu sudah tiga ratus tahun lebih.”

Kakek itu tertawa geli. “Mana ada manusia yang tidak bisa mati? Dewa sekali pun bisa mati! Tetapi tidak mengapalah. Nah, mulai sekarang, engkau boleh menggunakan bagian depan goa ini, bersemedhi dan mengerahkan seluruh perhatianmu, memusatkan kepada bayangan Bu Beng Hud-couw, sambil mengulangi mantera, seperti yang akan kuajarkan kepadamu.”

“Tapi teecu belum pernah melihatnya, bagaimana dapat membayangkannya?”

“Bodoh, siapa pernah melihatnya? Kau bayangkan saja seorang kakek yang sepantasnya berusia tiga ratus tahun dan sepatutnya disebut Bu Beng Hud-couw, tentu dia pun akan muncul.”

Demikianlah, mulai saat itu juga Thian Sin bertapa di dalam goa di puncak, menerima petunjuk dari kakek tanpa nama yang kurus kering itu. Dia bersemedhi dengan tekunnya, mencurahkan segenap perhatian, ditujukan pada bayangan seorang kakek yang menurut dia sepatutnya menjadi Bu Beng Hud-couw, sambil bibirnya dan terus sampai ke hatinya, membisikkan mantera terus-menerus, diulang-ulang.

Mantera adalah pengulangan kata-kata yang dianggap suci atau dianggap mengandung arti yang mendalam. Dan suara yang diulang-ulang ini memang mengandung pengaruh yang demikian hebatnya bagi batin manusia. Setiap orang dapat membuktikannya sendiri pengulangan suara yang terus-menerus, apa lagi pengulangan kata-kata yang dianggap suci, mendatangkan pengaruh yang amat hebat, yang dapat membius dan melumpuhkan batin, membuat batin menjadi hening, dan mempunyai daya kekuatan yang menyihir diri sendiri.

Di dalam keadaan hening seperti ini, seluruh perhatian Thian Sin terus diarahkan kepada bayangan seorang kakek yang selalu diharap-harapkan. Seperti yang pernah dialami oleh mendiang ayahnya, Ceng Han Houw, dua puluh tahun yang lalu, kini Thian Sin juga dapat ‘berjumpa’ dengan seorang kakek yang dianggapnya sebagai Bu Beng Hud-couw, yang memberi petunjuk padanya dalam mempelajari ilmu-ilmu Hok-liong Sin-ciang dan Hok-te Sin-kun, juga semedhi dengan jungkir balik.

Selama enam bulan Thian Sin menggembleng diri di dalam goa itu, bukan hanya untuk menyempurnakan latihannya atas semua ilmu peninggalan ayah kandungnya, akan tetapi juga melatih diri dengan ilmu-ilmu yang pernah dilihatnya dari pengalamannya pada saat melawan Pak-san-kui mau pun See-thian-ong. Di samping ini, dia pun menerima petunjuk dalam menghimpun kekuatan sihir oleh kakek penghuni goa itu yang merasa suka kepada Thian Sin yang pandai mengambil hati.

Enam bulan lewat dengan sangat cepatnya dan pada suatu pagi, Thian Sin berpamit dari kakek pertapa yang tidak dikenal namanya itu, meninggalkan goa turun dari puncak. Akan tetapi, kalau ada orang melihatnya enam bulan yang lalu dan membandingkannya dengan keadaannya pada pagi hari ini, orang itu tentu akan terheran-heran.

Thian Sin yang menuruni puncak di pagi hari ini sungguh jauh berbeda dengan Thian Sin enam bulan yang lalu. Memang dia masih tampan sekali, masih rapi pakaiannya, masih gagah sikapnya. Akan tetapi ada perbedaan pada pandang matanya yang mencorong itu, ada sesuatu yang menyeramkan dan aneh pada pandang matanya dan ada sesuatu yang berbeda pada mulutnya yang selalu tersenyum itu, karena senyumnya itu bukan senyum yang hangat, melainkan senyum dingin, senyum seperti orang memandang rendah atau mengejek.

Gerak-geriknya lebih halus dari pada enam bulan yang lalu, sikapnya lebih tenang dan matang, kini penuh kepercayaan kepada diri sendiri. Dan ketika dia menuruni puncak itu, larinya cepat seperti terbang saja.....!
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar