Pendekar Sadis Jilid 29

“Thian Sin, engkau sembuh kembali!” Cian Ling berkata dengan girang sambil memegang lengan pemuda itu.

“Dan engkau pun ikut bertanggung jawab, Cian Ling. Karena itu engkau pun berjasa dan engkau boleh minta upah sepuasnya dari pemuda ini, ha-ha-ha! Nah, keluarkanlah kitab itu, Thian Sin.”

Thian Sin segera mengeluarkan kitab peninggalan ayahnya itu, kitab pelajaran Ilmu Silat Hok-te Sin-kun dan menyerahkannya kepada See-thian-ong sambil berkata, “Locianpwe, kitab ini adalah tulisan ayah sendiri dan merupakan kitab pusaka bagiku maka aku hanya bisa meminjamkannya kepadamu selama tiga bulan saja. Setelah lewat tiga bulan, harap locianpwe mengembalikannya kepadaku.”

“Ha-ha-ha, tentu saja. Tidak ada ilmu yang membutuhkan waktu demikian lamanya untuk kupelajari!” katanya sambil membuka-buka kitab itu.

Thian Sin memungut pedangnya dari atas tanah dan menyarungkannya kembali, lantas mengebut-ngebutkan pakaiannya yang kotor, dibantu oleh Cian Ling.

“Apakah selama suhu mempelajari kitabnya itu dia boleh tinggal bersamaku?” Cian Ling bertanya.

Gurunya tertawa. “Tentu saja! Kini dia menjadi tamu kita dan engkau boleh melayaninya sepuasmu, ha-ha-ha!” Setelah berkata demikian, sekali melompat kakek itu lenyap di balik pohon-pohon.

“Untung engkau selamat, Thian Sin,” Cian Ling berkata sambil merangkulnya.

Thian Sin balas merangkul dan menghela napas panjang. “Karena bantuanmu, Cian Ling. Engkau telah menolongku sehingga aku berhutang budi kepadamu, entah bagaimana aku dapat membalasmu.”

“Ihhh, masa kau tidak tahu bagaimana harus membalasnya? Asal engkau selalu bersikap manis dan mencintaku, biar harus berkorban nyawa untukmu pun aku rela, kekasihku.”

Demikianlah, dengan melalui Cian Ling akhirnya Thian Sin berhasil berhadapan dengan See-thian-ong bahkan sudah berhasil menguji kepandaian datuk itu. Dia pun tahu bahwa kalau datuk itu tidak menggunakan sihir, dia akan mampu melawan dan menandinginya, bahkan mengalahkannya. Hanya ilmu sihir datuk itulah yang sangat berbahaya dan tidak dapat dilawannya, maka jalan satu-satunya untuk dapat mengalahkan datuk dari barat ini hanyalah menghadapi dan mengalahkan sihirnya.

Semenjak hari itu, Thian Sin diajak pulang ke Si-ning oleh Cian Ling. Gadis ini tinggal di Si-ning, di mana terdapat sebuah rumah besar milik See-thian-ong, tempat di mana kakek itu tinggal bersama selir-selirnya. Dan di sisi rumah besar itu terdapat pavilyun-pavilyun kecil di mana tinggal So Cian Ling di bangunan kecil sebelah kanan sedangkan Ciang Gu Sik tinggal di bangunan sebelah kiri. Masih ada lagi beberapa orang murid See-thian-ong yang tinggal di bangunan sebelah belakang dan mereka itu menjadi murid merangkap pelayan-pelayan yang mengurus rumah gedung guru mereka.

Ciang Gu Sik, murid kepala yang sudah lama jatuh cinta terhadap Cian Ling, tentu saja merasa sangat mendongkol, cemburu dan panas hatinya ketika melihat betapa pemuda putera pangeran itu menjadi tamu dan tinggal bersama dengan sumoi-nya itu. Akan tetapi dia tidak dapat berbuat sesuatu karena hal itu telah disetujui oleh gurunya.

So Cian Ling semakin tergila-gila terhadap Thian Sin. Selama petualangannya dengan kaum pria, yaitu semenjak dara itu dipaksa menyerahkan dirinya kepada gurunya, dan kemudian, dengan watak yang terbentuk oleh pendidikan gurunya dia menjadi tidak peduli akan urusan susila dan mendekati pria mana saja yang dikehendakinya, baru sekali ini dia benar-benar jatuh cinta! Bukan cinta nafsu birahi belaka, melainkan sungguh-sungguh jatuh cinta kepada Thian Sin dan timbul keinginan hatinya untuk selamanya tidak akan berpisah lagi dari pemuda itu.

Oleh karena inilah maka semua permintaan Thian Sin dilaksanakannya dengan hati penuh kerelaan dan kesetiaan. Juga, ketika Thian Sin bertanya bagaimana dia bisa menghadapi ilmu sihir dari See-thian-ong dapat ‘menghliang’ itu, Cian Ling lalu berusaha sedapatnya untuk memecahkan rahasia gurunya.

Dia sendiri memang sudah pernah mempelajari ilmu sihir dari gurunya. Akan tetapi ilmu sihirnya itu hanya terbatas pada mempengaruhi pikiran orang saja. Dengan ilmu sihirnya ini, Cian Ling dapat menundukkan laki-laki yang berani menolaknya, dan membuat lelaki itu bertekuk lutut dan jatuh cinta padanya.

Akan tetapi ilmu sihir untuk mempengaruhi pikiran orang lain ini pasti akan terbentur batu pada waktu berhadapan dengan orang yang kuat batinnya. Buktinya, semua ilmu sihir dari See-thian-ong yang bersifat untuk mempengaruhi pikiran orang lain dan bisa membalikkan pandangan atau pendengaran orang lain melalui pikiran, dapat dibuyarkan oleh Thian Sin melalui pengerahan khikang-nya.

Akan tetapi, ilmu sihir yang membuat dirinya lenyap dari pandang mata lawan itu berbeda lagi dan Cian Ling sendiri belum pernah mempelajarinya. Menurut suhu-nya, ilmu itu tidak mudah dimiliki orang, melainkan baru dapat dimiliki melalui pertapaan bertahun-tahun dan melalui pantangan-pantangan yang sangat berat. Ilmu itu termasuk ilmu hitam yang dekat dengan kekuatan-kekuatan gaib alam halus atau dengan lain kata-kata ilmu bantuan roh atau setan.

Ketika Thian Sin minta kepadanya agar gadis itu suka memberi tahu kepadanya tentang rahasia ilmu menghilang dari See-thian-ong itu, pada mulanya Cian Ling menjadi bingung sekali. “Kekasihku, sungguh mati aku sendiri belum pernah mempelajari ilmu itu. Ilmu itu terlalu jahat dan terlalu sulit dan cara memperoleh ilmu itu amat mengerikan, di antaranya bahkan harus tidur satu peti dengan mayat. Mana aku berani mempelajarinya? Maka aku tidak tahu bagaimana caranya melawan ilmu itu.”

Thian Sin kecewa sekali dan dengan sikap marah dia menjawab, “Cian Ling, kalau benar engkau cinta padaku, engkau harus dapat memecahkan rahasia ilmu itu. Aku penasaran sudah dikalahkan suhu-mu hanya karena ilmu itu, maka aku harus dapat menghadapi dan menandinginya. Apa bila engkau tidak dapat memecahkan rahasia ilmu itu kepadaku, apa artinya aku dekat denganmu?”

Karena takut kehilangan cinta pemuda itu, Cian Ling minta waktu tiga hari dan pergilah gadis ini menemui gurunya. Dengan segala kepandaiannya merayu, Cian Ling mendekati gurunya. Mula-mula See-thian-ong mentertawakannya.

“Heh-heh-heh, apa artinya ini, muridku yang manis? Bukankah engkau mempunyai putera pangeran itu untuk bersenang-senang? Mengapa tiba-tiba engkau mendekati aku Si Tua Bangka?”

Cian Ling cepat merangkul leher kakek itu. “Aihh, jangan berkata begitu, suhu. Bukankah sebelum aku berdekatan dengan pria mana pun juga, suhu yang merupakan pria pertama di dalam hidupku? Suhu merupakan suhu-ku, orang tuaku, juga cinta pertamaku. Terlalu lama dengan pemuda itu membuat aku bosan, dan kini aku sudah rindu sekali kepadamu, suhu.”

Dengan sangat pandainya, gadis yang muda ini akhirnya membuat datuk itu menyerah ke dalam gelora nafsu yang membuatnya menjadi buta, tidak dapat membedakan lagi mana yang sungguh-sungguh dan mana yang palsu. Lantas dengan sangat cerdiknya, sesudah merayu gurunya selama dua hari, membuat gurunya mabuk karena di dalam hati kecilnya memang datuk ini sangat sayang kepada Cian Ling, gadis ini baru membawa urusan ilmu menghilang itu dalam percakapan.

“Aku melihat ilmu menghliang dari suhu itu amat berguna dan hebat. Ahh, kalau saja aku dapat memiliki ilmu itu… betapa senangnya,” kata Cian Ling ketika mereka sedang rebah berdampingan di atas pembaringan dan Cian Ling membelai-belai rambut suhu-nya yang panjang dan sudah bercampur uban itu.

“Heh-heh-heh, bukankah telah pernah kukatakan bahwa untuk mempelajarinya amat sulit dan juga memakan waktu lama? Untuk apa ilmu itu bagimu? Ilmu yang kuajarkan padamu sudah cukup.”

“Akan tetapi, melihat betapa suhu baru dapat menundukkan putera pangeran itu sesudah menghilang, terasa olehku betapa pentingnya menguasai ilmu itu.”

“Ha-ha-ha, siapa bilang bahwa hanya dengan ilmu itu saja aku baru dapat mengalahkan dia? Hanya karena dia memiliki peninggalan ilmu dari ayahnya, ilmu jungkir balik bernama Hok-te Sin-kun itu sajalah yang membuat dia lihai. Akan tetapi Ilmu Hok-te Sin-kun sudah mulai dapat kukuasai, maka tanpa ilmu menghilang sekali pun sekarang dengan mudah dia akan dapat kutundukkan!”

“Tapi… tapi aku ingin sekali mempunyai ilmu menghilang itu, suhu!”

“Untuk apa?”

“Bayangkan saja alangkah senangnya. Dengan ilmu itu aku akan dapat memasuki rumah orang tanpa diketahui, dan memasuki kamar-kamar para pengantin baru lalu menyaksikan pemandangan yang amat bagus tanpa diketahui orang.”

Kata-kata gadis ini bagi orang biasa tentu akan dianggap cabul dan menunjukkan betapa hati gadis itu penuh dengan kecabulan. Akan tetapi tidak demikian anggapan orang-orang di golongan sesat itu. Kakek itu tertawa bergelak, merasa senang sekali.

“Ha-ha-ha, sungguh jalan pikiranmu sama benar dengan jalan pikiranku. Dulu, pada saat aku baru saja berhasil memiliki ilmu itu, aku pun suka sekali memasuki kamar pengantin baru dan menikmati pemandangan dari apa yang mereka lakukan, dan kalau aku tertarik, aku lalu menggantikan si pengantin pria setelah membuat dia tidak berdaya. Ha-ha-ha-ha, engkau memang cocok dan berjodoh menjadi muridku. Akan tetapi, sungguh tidak mudah mempelajari ilmu itu. Mana mungkin engkau sanggup bertahan untuk bertapa selama tiga tahun, menjauhi segala kesenangan, menjauhi pria?”

“Suhu, apa bila aku tidak dapat mempelajari, setidaknya aku harus bisa menghadapi ilmu itu. Bagaimana kalau aku bertemu lawan yang memiliki ilmu menghliang seperti itu? Ihh, betapa mengerikan bila dipikir. Coba bayangkan, andai kata sekarang ini ada musuh yang memiliki ilmu itu berada di dalam kamar ini dan melihat apa yang kita lakukan!” Gadis itu bergidik.

Gurunya merangkulnya sambil tertawa. “Andai kata begitu, habis mengapa? Paling-paling orang itu akan iri hati dan ingin, ha-ha-ha-ha. Dan tidak mungkin ada orang yang mampu menggunakan ilmu itu tanpa dapat kulihat. Jangan kau khawatir, Cian Ling.”

“Tentu saja, ketika bersama suhu, aku tidak akan takut, akan tetapi aku tidak akan terus menerus berada di dekat suhu. Bagaimana jika aku sedang merantau sendirian kemudian berjumpa dengan orang yang mempunyai ilmu menghilang atau ilmu hitam lain lagi yang lihai?”

Akhirnya, sesudah mempergunakan segala macam bujuk rayu melalui kata-kata dan juga melalui tubuhnya yang muda, berhasil juga Cian Ling mendapat rahasia itu dari gurunya. Dengan hati girang dia berpisah dari suhu-nya dan segera menemui Thian Sin yang telah menanti-nantinya dengan hati mulai kesal dan curiga.

Karena dia memperoleh rahasia ilmu itu dengan mengorbankan perasaannya dan secara tidak mudah, maka Cian Ling juga menjual mahal. Dia membuat Thian Sin melayaninya dan menyenangkan hati menurut kehendaknya lebih dulu sebelum dia membuka rahasia itu. Dan ternyata rahasia itu tidaklah begitu sukar.

“Kalau engkau menghadapi ilmu menghilang atau ilmu hitam lainnya yang semacam, kau ambillah tanah kemudian sebarkan atau sambitkan tanah itu ke arah suara. Kalau terkena tanah, tentu ilmu itu akan buyar dan orangnya akan nampak lagi.”

Bukan main girangnya hati Thian Sin. Akan tetapi, dia tidak memperlihatkannya kepada Cian Ling, dan dengan sabar dia menanti hingga lewat tiga bulan. Dia hendak membiarkan See-thian-ong, seperti juga Pak-san-kui, tersesat dalam mempelajari Hok-te Sin-kun dan kitab tulisan ayahnya yang sengaja membuat kitab dengan rahasia-rahasia yang hanya diketahuinya sendiri. Orang yang mempelajari kitab-kitab itu tanpa mengenal rahasianya dan melatih diri berdasarkan petunjuk-petunjuk di dalam kitab itu, bukan memperoleh ilmu yang hebat melainkan malah merusak dirinya sendiri!

Sesudah lewat tiga bulan, dia menemui See-thian-ong, diantarkan oleh Cian Ling. Setelah menjura dengan hormat, Thian Sin berkata. “Locianpwe, waktu tiga bulan telah lewat dan kuharap locianpwe suka mengembalikan kitab itu kepadaku.”

Kakek itu tertawa. “Ha-ha-ha, kitabmu memang amat hebat. Akan tetapi, apakah engkau sudah bosan berada di sini? Bosan dengan muridku yang manis ini? Cian Ling, mengapa engkau memperbolehkan dia hendak pergi? Apakah engkau juga sudah bosan?”

“Suhu, aku hendak pergi merantau bersama dia!” jawab muridnya.

“Ha-ha-ha, Ceng Thian Sin. Aku sudah mempelajari kitab-kitabmu, akan tetapi aku belum pernah mempraktekkannya. Oleh karena itu, untuk membuktikan bahwa yang kupelajari itu bukan barang palsu, marilah kita berlatih sebentar dengan ilmu itu.”

Thian Sin mengerutkan alisnya. Tak disangkanya kakek ini demikian cerdik. Akan tetapi, dengan tenang dia menjawab, “Bagaimana jika aku tidak mau melayanimu, locianpwe?”

“Hemm, kalau engkau tidak mau melayaniku pun akan kupaksa! Engkau harus mau, dan sebelum kita bertanding lagi, jangan harap engkau akan dapat mengambil kembali kitab-kitabmu.”

“Maksud locianpwe, kitab-kitabku itu akan dijadikan semacam taruhan? Bagaimana kalau aku menang?”

“Ha-ha-ha, kau menang?” Pertanyaan ini kedengaran lucu sekali oleh datuk itu. Sebelum dia mempelajari kitab-kitab milik pemuda itu, Thian Sin sudah dapat dikalahkannya, mana mungkin sekarang dapat menang? “Apa bila kau menang, maka tentu saja engkau boleh membawa kitab-kitabmu dan juga engkau boleh membawa pergi Cian Ling.”

“Dan kalau aku kalah?” Thian Sin bertanya.

“Jika kau kalah, engkau tidak boleh pergi lagi, harus mau menjadi pembantuku, ha-ha-ha! Senang punya murid putera mendiang Ceng Han Houw!”

Ucapan itu terdengar sebagai hinaan terhadap mendiang ayahnya, maka muka Thian Sin berubah merah. “Locianpwe, karena pertandingan antara kita dulu terjadi di tempat sunyi itu, maka sekarang aku menantang locianpwe untuk melakukan pertandingan di tempat itu lagi. Tentu saja kalau locianpwe berani! Dan aku akan menanti di sana sekarang juga!”

Sesudah berkata demikian, Thian Sin berlari keluar dari tempat itu untuk pergi ke tengah hutan, di padang rumput yang indah dan sunyi itu. Cian Ling segera mengejarnya sambil memanggil-manggil namanya.

Sesudah kedua orang muda itu pergi, See-thian-ong mengerutkan alisnya. Tidak senang hatinya menerima tantangan pemuda itu. Dan hatinya lebih tak senang lagi ketika melihat betapa muridnya itu agaknya benar-benar jatuh cinta kepada Thian Sin.

Tidak mengapa baginya apa bila muridnya itu sekali waktu bermain cinta dengan pria-pria lain. Akan tetapi dia pun tak ingin kehilangan Cian Ling untuk selamanya karena selain dia sangat sayang kepada muridnya yang kadang-kadang juga menjadi kekasihnya itu, juga Cian Ling merupakan seorang pembantu yang sangat boleh diandalkan, bahkan lebih lihai dari pada murid kepala di situ, yaitu Ciang Gu Sik.

“Gu Sik…!” Tiba-tiba kakek itu berseru nyaring.

Muridnya yang setia itu segera berlari masuk dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki gurunya. “Teecu berada di sini, suhu.”

“Gu Sik, tahukah kau bahwa putera pangeran itu menantangku dan kalau menang dia akan membawa kembali kitab-kitabnya dan juga sumoi-mu akan ikut pergi bersamanya?”

Pria muda berwajah pucat itu menghela napas panjang. “Suhu, sumoi masih terlalu muda sehingga dia sangat lemah dan mudah sekali dihanyutkan oleh perasaannya, harap suhu suka memaafkannya.”

“Ha, engkau selalu membela sumoi-mu.”

“Memang teecu sangat mencintanya dan teecu lebih menghargai sumoi dari pada nyawa teecu sendiri.”

“Bukankah itu juga suatu kebodohan?”

“Memang, tapi teecu tidak berdaya…”

“Sudahlah, memang murid-muridku semua lemah! Sekarang, kumpulkan semua sute-mu, juga cepat undang para tokoh silat di kota ini dan sekitarnya untuk datang ke hutan dekat telaga, berkumpul di padang rumput tengah. Pertandingan sekali ini harus disaksikan oleh banyak orang agar mereka semua melihat bahwa putera Pangeran Ceng Han Houw yang terkenal itu dapat kutundukkan. Dan dia telah berjanji kalau kalah maka dia akan menjadi pembantuku!”

Ciang Gu Sik mengerutkan alisnya. Kalau jadi pembantu, berarti pemuda itu akan terus berada di situ, dan ini berarti bahwa dia akan kehilangan sumoi-nya!

“Suhu, kalau dia kalah, bukankah sebaiknya kalau dia dibinasakan saja? Ingat, suhu, jika memelihara macan amatlah berbahaya. Masih kecil dan lemah memang menyenangkan, akan tetapi kalau kelak sudah besar dan kuat, bisa berbahaya bagi yang memeliharanya.”

“Ha-ha-ha, aku mengerti maksudmu. Kita lihat saja bagaimana baiknya nanti. Bagiku, dia dibunuh atau tidak bukan soal lagi. Yang penting sekarang ini, mengalahkan dia di depan banyak orang.”

“Baik, suhu. Teecu akan mengumpulkan kawan-kawan.” Dan pemuda bermuka pucat itu lalu pergi dengan cepat untuk melaksanakan perintah gurunya.

Sementara itu, Thian Sin sudah siap berada di padang rumput di tengah hutan, di mana untuk pertama kalinya dia bertemu dan bertanding dengan See-thian-ong dan dikalahkan kakek itu dengan ilmu sihirnya. Cian Ling menyusulnya dan setelah tiba di tempat itu, dia berkata dengan suara khawatir,

“Thian Sin, engkau terlalu ceroboh. Kenapa engkau tidak mau berunding dulu denganku? Engkau menantang suhu dan membikin suhu marah. Berbahaya sekali, apa lagi sesudah suhu mempelajari kitab-kitabmu, berarti dia sudah mengenal ilmu-ilmumu yang paling kau andalkan.”

Thian Sin tersenyum tenang. “Lebih baik engkau mengkhawatirkan suhu-mu, Cian Ling. Sekali ini, dia tidak akan dapat menangkan aku!”

“Tapi, sungguh amat sulit untuk menangkan suhu, dan kalau kau kalah… sekali ini belum tentu aku akan dapat menolongmu…”

“Kalau sampai aku kalah dan dia membunuhku, aku tidak akan penasaran lagi, Cian Ling. Engkau sudah cukup banyak membantuku.”

“Dan kalau engkau menang?”

“Aku akan meninggalkan tempal ini!”

“Dan engkau akan mengajak aku, bukan?”

Thian Sin menggeleng kepalanya. “Aku akan pergi sendiri, Cian Ling. Persahabatan kita sampai di sini saja. Kelak mungkin sekali kita akan bertemu lagi.”

“Tetapi… aku… aku tidak mau berpisah darimu, Thian Sin… ahhh, aku akan merana, aku akan merindukanmu, aku cinta padamu…”

Thian Sin menggeleng kepalanya dan tersenyum. “Cian Ling, ingatlah bahwa hubungan di antara kita hanya sebagai sahabat, sama sekali tidak pernah ada janji cinta di antara kita dan tidak ada janji bahwa hubungan antara kita ini akan berkelanjutan. Aku mempunyai banyak tugas yang belum kuselesaikan, aku harus pergi, sendirian saja.”

Wajah Cian Ling berubah agak pucat. “Aku… aku akan merasa kehilangan…” Hampir dia menangis.

Sejak kecil gadis ini hidup di kalangan golongan sesat dan belum pernah dia merasa jatuh cinta kepada seorang pria. Hubungannya dengan para pria sebelum dia bertemu dengan Thian Sin hanyalah hubungan jasmani yang tidak pernah menyentuh hatinya. Akan tetapi, hubungannya dengan Thian Sin ini berbeda sama sekali. Bukan hanya hubungan jasmani yang mencari kepuasan belaka, melainkan lebih mendalam, yang membuat ia ingin selalu berdekatan dengan pemuda itu.

Thian Sin tersenyum ramah padanya. Bagaimana pun juga, gadis ini sudah berjasa besar kepadanya. Memberinya kenikmatan dan mengajarnya tentang kemesraan, bahkan telah menyelamatkan nyawanya ketika dia terancam maut di tangan See-thian-ong, kemudian bahkan membantunya menemukan kunci kelemahan ilmu sihir kakek itu.

Bagaimana pun juga, dia akan selalu menganggap gadis itu sebagai seorang sahabat yang baik, seorang penolong. Akan tetapi tidak mungkin dia menerima gadis ini sebagai seorang kekasih yang selamanya akan mendampinginya. Permainan cinta itu, bagaimana pun juga, akan membosankan.

“Tak ada pertemuan tanpa berakhir dengan perpisahan, Cian Ling. Jalan hidup kita saling bersilang, akan tetapi kelak kita tentu akan dapat saling bertemu kembali. Aku akan pergi meninggalkan tempat ini, melanjutkan perjalanan seorang diri saja, akan tetapi kelak kita pasti akan saling berjumpa kembali, karena bagaimana pun juga, aku tidak akan pernah dapat melupakanmu, Cian Ling.”

Sebelum gadis itu menjawab, tiba-tiba saja terdengar suara orang banyak datang dari luar hutan lantas bermunculanlah puluhan orang dari empat penjuru, mengurung tempat itu. Melihat bahwa yang berdatangan itu adalah para pembantu serta murid-murid suhu-nya, juga dia melihat bahwa di antara mereka banyak orang-orang kang-ouw dari Si-ning dan sekitarnya, Cian Ling terkejut bukan main. Permainan apa yang akan dilakukan suhu-nya ini, mendatangkan semua pembantu dan kenalan?

“Hati-hati… mereka adalah orang-orangnya suhu…,” Cian Ling berbisik.

Dan tidak lama kemudian muncullah See-thian-ong! Dia nampak gagah perkasa dengan pakaiannya yang longgar dan sederhana. Rambutnya yang penjang itu digelung ke atas dan diikat dengan pita kuning. Wajahnya yang hitam mengkilat itu berseri-seri dan kedua matanya yang lebar dan bersinar tajam itu nampak gembira.

Memang hatinya gembira sekali, karena dia melihat betapa banyak orang kang-ouw yang berdatangan di tempat itu setelah menerima berita dari muridnya. Dan dia gembira karena sebentar lagi dia akan dapat mengalahkan putera dari Pangeran Ceng Han Houw dengan disaksikan oleh banyak orang.

Kalau saja pemuda itu bukan putera Ceng Han Houw, tentu dia tidak akan mau bersusah payah mengumpulkan banyak orang saksi. Akan tetapi, mengalahkan putera pangeran itu bukanlah hal kecil, merupakan berita besar, apa lagi kalau diingat betapa pemuda putera pangeran itu memang lihai sekali, telah mewarisi banyak ilmu-ilmu tinggi dari Cin-ling-pai!

Yang ditakutinya hanyalah ilmu jungkir balik peninggalan Pangeran Ceng Han Houw itu, akan tetapi kini dia sudah menghafal dan mengenal ilmu itu. Dia tidak takut lagi bahkan merasa yakin bahwa dia akan dapat menundukkan lawan jika pemuda itu mengandalkan ilmu-ilmu dari kitab yang telah dipelajarinya selama tiga bulan.

Begitu melihat kakek raksasa itu, Thian Sin lalu melangkah maju. Baginya, berkumpulnya banyak orang itu tidak menimbulkan rasa gentar, karena dia merasa yakin bahwa seorang datuk yang berkedudukan tinggi dan mempunyai kesaktian seperti See-thian-ong itu tidak mungkin sudi mengandalkan pengeroyokan untuk menghadapi lawan.

Malah mungkin ada untungnya baginya, pikir Thian Sin. Paling tidak, oleh karena banyak orang yang menyaksikan, kakek yang banyak akalnya itu tentu akan merasa malu untuk melakukan kecurangan-kecurangan. Dengan suara lantang dia menyambut kedatangan kakek itu dengan kata-kata yang masih cukup sopan dan halus, namun penuh tantangan.

“Locianpwe See-thian-ong sudah menepati janji! Tiga bulan lewatlah sudah dan sekali ini aku akan mengadu ilmu melawan locianpwe, ada pun kitab-kitab yang kutitipkan kepada locianpwe menjadi taruhan! Harap locianpwe suka mengeluarkan kitab-kitabku itu supaya dipegang oleh orang lain dan siapa yang menang berhak menerima kitab itu.”

See-thian-ong tertawa bergelak. Senang hatinya karena pemuda itu tidak menyinggung di hadapan orang-orang banyak bahwa dia telah meminjam kitab-kitab pemuda itu untuk dia pelajari.

Memang sengaja Thian Sin bersikap demikian untuk melunakkan hati kakek ini sehingga kakek ini tidak akan mempergunakan siasat curang. Membikin marah kakek ini sebelum mereka bertanding, tentu akan berbahaya karena di dalam kemarahannya mungkin kakek ini tidak akan tahu malu lagi dan mempergunakan muslihat yang dapat membahayakan dirinya.

“Ha-ha-ha-ha, kitab-kitab peninggalan Pangeran Ceng Han Houw ini ternyata tidak begitu hebat seperti yang kukira! Ceng Thian Sin, sebagai putera Pangeran Ceng Han Houw dan sebagai murid Cin-ling-pai yang telah mewarisi seluruh ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai, engkau sekarang sedang berhadapan dengan See-thian-ong! Tiga bulan yang lalu engkau sudah kukalahkan dan kuampuni nyawamu. Kalau sekali ini engkau berani maju lagi, sama saja halnya dengan engkau mengantar nyawa secara sia-sia. Bagaimana jika engkau mengaku kalah, lalu berlutut delapan kali dan atas nama Pangeran Ceng Han Houw dan atas nama Cin-ling-pai menyatakan tunduk kepada See-thian-ong?” Kata-kata ini dikeluarkan dengan suara keras oleh kakek itu, karena memang maksudnya agar dapat terdengar oleh semua orang.

Thian Sin menerima kata-kata itu dengan hati panas, akan tetapi dia tak mau dipengaruhi kemarahan. Dia lalu memandang ke sekeliling dan melihat betapa wajah orang-orang itu tersenyum mengejek, juga melihat betapa Ciang Gu Sik telah berdiri di belakang gurunya sambil memandang kepadanya penuh kebencian, juga tersenyum mengejek. Hanya Cian Ling seorang yang berdiri dengan muka pucat, memandang padanya dengan sinar mata penuh pernyataan cinta dan juga kekhawatiran.

Thian Sin menghela napas panjang. Sayang sekali, seorang dara seperti Cian Ling telah terperosok ke dalam pecomberan seperti itu, pikirnya dan merasa heran sendiri mengapa dalam saat seperti itu dia memikirkan keadaan gadis itu.

“Locianpwe, kalah atau menang di dalam suatu pibu adalah hal yang wajar dan baru bisa dikatakan kalah atau menang apa bila sudah dibuktikan. Maka, sekarang harap locianpwe suka mengeluarkan kitab-kitabku itu.”

“Ha-ha-ha-ha, kitab-kitab semacam ini tidak ada harganya!” Berkata demikian, kakek itu lantas menggerakkan tangannya dan tahu-tahu ada dua buah kitab yang melayang keluar dari lengan bajunya dan seperti dua ekor burung, kitab-kitab itu melayang-layang, seperti hendak mencari tempat mendarat.

Melihat ini, semua orang yang berada di situ memandang kagum, dan Thian Sin maklum bahwa peristiwa itu bukanlah ilmu sihir, namun sebuah demonstrasi kekuatan khikang dari See-thian-ong yang dengan kekuatannya yang amat besar telah menguasai kitab-kitab itu sehingga dapat dilayangkan ke mana pun dia suka.

“Harap locianpwe berikan kitab-kitab itu kepada Nona Cian Ling yang kupercaya sebagai pemegangnya,” Thian Sin berkata lagi.

Kakek itu masih tersenyum lebar dan begitu dia menudingkan telunjuknya, dua buah kitab itu melayang ke arah Cian Ling dengan kecepatan seperti dua buah peluru meriam! Cian Ling terkejut, menggunakan kedua tangan menerima kitab. Dia berhasil menangkap dua buah kitab itu, akan tetapi saking kuatnya tenaga yang mendorong kitab-kitab itu, wanita ini sampai terhuyung ke belakang.

“Ceng Thian Sin, engkau yang sudah mewarisi ilmu-ilmu Cin-ling-pai serta ilmu-ilmu dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw, nah, kau majulah dan keluarkan semua ilmu-ilmu itu!” kata See-thian-ong.

Kini mengertilah Cian Ling mengapa suhu-nya mengumpulkan semua orang kang-ouw di daerah itu. Kiranya suhu-nya hendak mencari saksi untuk memamerkan bahwa dia sudah mampu mengalahkan wakil dari Cin-ling-pai dan putera Pangeran Ceng Han Houw, untuk mengangkat namanya agar lebih tinggi lagi! Juga Thian Sin dapat menduga maksud hati lawannya, maka dia pun tidak mau banyak bicara lagi.

“Awas serangan!” Thian Sin membentak nyaring dan dia sudah menggerakkan tubuhnya menyerang dengan jurus dari Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun yang baru-baru ini dipelajari dari Kakek Yap Kun Liong. Dua tangannya yang mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang, juga ilmu yang didapatnya dari kakek sakti itu, kini mengepulkan uap putih yang mengandung kekuatan dahsyat.

Akan tetapi, kakek tinggi besar itu sudah siap dengan Ilmu Hok-mo-kang yang membuat tubuhnya menggembung, penuh dengan hawa yang dahsyat bukan kepalang sehingga dia tidak takut menghadapi serangan-serangan berbahaya dari lawannya.

Thian Sin hanya memainkan beberapa jurus saja dari Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun, dan sesudah beberapa kali mereka saling serang serta mengadu lengan, Thian Sin langsung mengubah lagi caranya bersilat, kini dia mainkan Ilmu Silat Thian-te Sin-ciang.

Juga ilmu silat yang membuat sepasang lengannya sekuat baja ini dia mainkan beberapa jurus saja, lalu disambung dengan San-in Kun-hoat dan Thai-kek Sin-kun dari Cin-ling-pai. Memang pemuda ini sengaja menahan dahulu dan tidak mengeluarkan ilmu simpanannya yang telah dipelajarinya dari peninggalan ayahnya, untuk mengecoh lawan dan agar tidak menimbulkan kecurigaan.

Hal ini membuat lawannya sangat penasaran. Justru ilmu-ilmu dari Pangeran Ceng Han Houw yang selama beberapa bulan ini dengan tekun dipelajarinya dari kitab-kitab itulah yang ingin dia lawan dan dia kalahkan.

“Ceng Thian Sin, mana itu ilmu-ilmu yang tersohor dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw? Keluarkanlah, aku tidak takut, ha-ha-ha!”

Thian Sin memang juga sudah menanti saat ini. Begitu lawannya menantang, dia segera mengeluarkan pekik melengking kemudian tiba-tiba saja dia telah menyerang dengan ilmu Hok-liong Sin-ciang yang sangat hebat, ilmu ciptaan Bu Beng Hud-couw yang diwarisinya dari ayahnya.

Melihat pemuda itu menyerangnya dengan jurus kelima dari Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang (Ilmu Silat Sakti Menundukkan Naga), kakek itu tertawa. Dia tentu saja mengenal gerakan ini, karena itu cepat dia bersiap-siap menandinginya sebab telah tahu bagaimana caranya menghadapi jurus ilmu silat ini.

Akan tetapi, ketika dia sudah bergerak dan merasa yakin akan dapat memecahkan jurus ke lima ini sambil tersenyum mengejek, kakek itu terkejut bukan main! Jurus ini memiliki kelihaian dalam pukulan tangan kiri yang tersembunyi dan yang mengarah pada lambung lawan, sedangkan gerakan kaki tangan lainnya merupakan pancingan dan hanya gertakan belaka. Oleh karena itu, maka dengan sendirinya dia waspada terhadap pukulan tangan kiri yang tersembunyi dan tidak terduga-duga itu, yang juga mengandung inti tenaga di dalam jurus itu.

Akan tetapi kenyataannya lain sama sekali! Memang tangan kiri pemuda itu melanjutkan serangan seperti yang terdapat di dalam petunjuk kitab Ilmu Hok-liong Sin-ciang itu, akan tetapi pukulan tangan kiri pemuda ini biasa saja dan ‘kosong’, dan begitu ditangkisnya, tiba-tiba saja dia merasa datangnya hawa pukulan lain dari atas, yaitu dari tangan kanan lawan, yang datangnya berlawanan arah dengan pukulan tangan kiri, sama sekali terbalik!

Dia terkejut dan cepat dia membuang diri ke belakang, lantas bergulingan dan meloncat bangun dengan keringat dingin membasahi dahi. Meski pun dia tadi dapat meloloskan diri, akan tetapi sambaran hawa pukulan dahsyat tadi menyerempet pundaknya yang merasa panas seperti terbakar api!

“Inilah ilmu peninggalan ayahku, Pangeran Ceng Han Houw!” Thian Sin membentak keras dan menyerang lagi dengan Ilmu Hok-liong Sin-ciang!

Akan tetapi sekarang kakek itu sudah menaruh curiga dan tidak terlampau mengandalkan pengetahuannya tentang ilmu itu. Dan memang kini nyatalah olehnya bahwa semua jurus yang dikeluarkan oleh pemuda itu sama sekali berbeda dengan yang sudah dipelajarinya, walau pun nampaknya saja sama. Hanya ada persamaan pada kulitnya, akan tetapi amat berbeda pada isinya. Seperti emas tulen dengan emas palsu. Tahulah dia bahwa dia telah mempelajari kitab palsu dan marahlah See-thian-ong. Dia sudah dipermainkan dan ditipu oleh pemuda ini!

Betapa pun juga, dia merasa sangat penasaran. Pada saat Thian Sin mengubah ilmunya dengan berjungkir balik, yaitu mainkan ilmu silat sakti Hok-te Sin-kun, See-thian-ong yang ingin memamerkan kepandaian kepada semua orang bahwa dia pun dapat mainkan ilmu peninggalan Pangeran Ceng Han Houw, juga segera berjungkir balik untuk mengimbangi permainan lawan.

Akan tetapi kembali dia kecelik, dan sesudah mereka berputar-putar saling serang sampai belasan jurus, See-thian-ong selalu bertemu dengan kenyataan bahwa ilmu berjungkir balik yang dipelajarinya ini pun kosong! Dan kesombongannya untuk memandang rendah lawan ini hampir saja merenggut nyawa datuk dari barat ini!

Pada waktu Thian Sin melakukan serangan dengan kaki kanannya yang seperti sebatang cangkul itu menendang dari atas ke arah pusarnya, See-thian-ong yang mengenal jurus ini secara keliru membuat perhitungan. Menurut jurus yang dipelajarinya, jurus ke sebelas dari ilmu Hok-te Sin-kun ini adalah jurus yang kosong, atau jurus yang hanya indah dan kelihatan berbahaya tapi tidak mengandung isi serangan, melainkan untuk memperkokoh kedudukannya untuk melakukan jurus selanjutnya yang merupakan inti serangan.

Maka dia pun tak begitu memperhatikan, melainkan menanti datangnya jurus berikutnya, hanya berusaha untuk mendahului lawan, karena itu dia mengira bahwa saat inilah yang paling baik untuk mendahului lawan.

Maka, begitu jurus ke sebelas mulai digerakkan oleh Thian Sin dengan menendangkan kaki kanan ke pusar, kakek itu menggereng dan membiarkan saja kaki lawan melayang, dan tangan kanannya lalu mencengkeram ke depan, ke arah tenggorokan lawan, ada pun tangan kirinya menahan tubuh dan kaki kirinya juga menendang ke arah anggota rahasia lawan. Sungguh serangan yang amat berbahaya!

Akan tetapi kakek itu lalu berseru kaget. Kiranya tendangan ke arah pusar yang menurut pelajaran hanya kosong itu, kini berubah menjadi tendangan menotok ke arah pundaknya di mana terdapat jalan darah kin-ceng-hiat pada pundak kiri! Dan untuk menangkis tidak mungkin lagi karena dia sendiri sedang melakukan serangan. Untuk mengelak lebih tidak mungkin lagi, sedangkan serangan lawan itu lebih dahulu datangnya dari pada serangan sendiri. Maka jalan satu-satunya baginya hanyalah mengerahkan tenaga Hoa-mo-kang. Dari perutnya keluar suara kok-kok-kok dan tubuhnya seketika menggembung.

“Desss…!”

Jalan darah pada pundaknya terlindung oleh Hoa-mo-kang sehingga tak sampai tertotok, akan tetapi gerakan ujung kaki Thian Sin mengandung tenaga mukjijat dari sinkang yang didapatnya dari latihan berjungkir-balik, maka tubuh kakek yang menggembung itu segera terlempar sampai lima meter dan terbanting lalu bergulingan seperti sebuah bola besar!

Maka terkejutlah semua orang yang hadir di sana! Merupakan berita aneh kalau sampai See-thian-ong dikalahkan orang, dan melihat tubuh datuk itu terlempar, terbanting lantas terguling-guling sungguh merupakan kenyataan yang lebih aneh pula.

Akan tetapi tidak percuma pula kakek itu disebut datuk dari barat karena dia sudah dapat meloncat bangun kembali. Mula-mula wajahnya yang berkulit hitam itu agak berkurang hitamnya karena pucat, akan tetapi segera berubah menjadi hitam sekali pada saat darah memenuhi mukanya, saking malu dan marahnya.

Tahulah dia sekarang bahwa dia benar-benar telah tertipu oleh pemuda yang kini berdiri tegak sambil tersenyum mengejek di depannya itu, dalam jarak kurang lebih enam meter karena dia tadi terpental dan terlempar.

“Bagaimana pendapatmu sekarang tentang ilmu peninggalan dari ayahku, yaitu Pangeran Ceng Han Houw jagoan nomor satu di dunia, See-thian-ong?” Sikap Thian Sin sekarang tak lagi hormat seperti tadi, melainkan penuh dengan ejekan. “Sekarang engkaulah yang harus berlutut di depan kakiku dan mengaku kalah.”

Tentu saja ucapan ini membuat kemarahan dalam benak See-thian-ong menjadi semakin berkobar. Dia mengeluarkan bentakan nyaring dan tiba-tiba saja dia sudah menubruk ke depan, tangannya memegang senjata yang amat diandalkannya, yaitu sebatang tongkat yang segera dimainkannya dengan Ilmu Tongkat Giam-lo Pang-hoat yang dahsyat itu.

Angin bersuitan dari segala penjuru pada saat dia menerjang dan mengamuk. Akan tetapi Thian Sin sudah cepat berjungkir balik. Dia maklum bahwa tongkat itu sangat lihai, maka satu-satunya cara untuk menghadapinya hanyalah menggunakan ilmu simpanannya ini. Dengan Hok-te Sin-kun dia melawan.

Terjadilah pertandingan yang sangat seru, juga amat aneh karena yang seorang melayani lawan dengan berjungkir balik. Saking cepatnya gerakan mereka, kadang kala keduanya lenyap sehingga hanya terlihat bayangan mereka saja, membuat para penonton menahan napas. Dan kadang-kadang gerakan mereka itu amat lambat dan dapat diikuti pandangan mata, namun dalam gerakan lambat itu terkandung tenaga yang dahsyat, sampai kadang-kadang terasa oleh para penonton yang berdiri menjauh.

Ilmu berjungkir balik dari Thian Sin itu memang merupakan ilmu yang amat disegani dan ditakuti See-thian-ong. Ketika mereka berdua saling bertanding pada pertemuan pertama, datuk itu sudah merasakan kehebatan ilmu ini. Kini, hatinya mula-mula besar karena dia merasa sudah dapat menguasai ilmu aneh itu. Siapa kira, yang dikuasainya hanyalah ilmu palsu. Maka sekrang kembali dia harus menghadapi ilmu aneh yang sangat lihai itu dan akibatnya, dia kembali terdesak hebat.

Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan teriakan nyaring dan tubuhnya lenyap! Thian Sin sadar bahwa lawannya sudah menggunakan ilmu hitam. Para penonton yang tidak terbebas dari pengaruh ilmu hitam ini, mengeluarkan suara kaget ketika melihat kakek itu hilang begitu saja, akan tetapi gerakannya masih bisa tertangkap oleh telinga mereka.

Thian Sin hanya mengandalkan pada ketajaman telinganya untuk menghindarkan diri atau menangkis. Kedua kakinya bergerak-gerak, akan tetapi tetap saja dia terdesak.

“Bukkk!”

Sebuah pukulan tongkat mengenai punggungnya dan tubuh pemuda itu terpelanting.

“Ha-ha-ha…!” Suara See-thian-ong terdengar tertawa bergelak dan kembali tubuh Thian Sin kena hajar tongkat, kini mengenai pahanya. Thian Sin sudah memperhitungkan dan secepat kilat, tangannya yang berada di bawah sudah meraih dan mencengkeram tanah, lalu dilontarkan ke arah suara ketawa itu.

“Ahhh…!” Seketika nampaklah tubuh kakek itu dan secepat kilat Thian Sin menggerakkan tubuhnya, melakukan penyerangan dengan jurus terampuh dari Hok-te Sin-kun!

Kakek itu masih belum lenyap rasa kagetnya melihat ilmu hitamnya dipunahkan Thian Sin dan melihat gerakan jurus penyerangan itu, otomatis dia pun bergerak menangkis sesuai dengan apa yang pernah dilatihnya. Dia lupa bahwa yang dilatihnya itu adalah ilmu palsu, maka tentu saja tangkisannya tidak tepat dan baru diketahuinya setelah terlambat.

“Dessss…!”

Pukulan tangan Thian Sin yang dilakukan dengan tubuh yang tadinya berjungkir balik lalu berputar berdiri lagi, tepat mengenai lambung kiri kakek itu. See-thian-ong berteriak keras lantas tubuhnya terbanting, dari mulutnya tersembur darah segar, tanda bahwa dia telah terluka parah! Akan tetapi, tidak percuma dia menjadi datuk kaum sesat, karena dia telah meloncat berdiri lagi, tubuhnya bergoyang-goyang dan agak terhuyung.

Pada saat itu, murid utamanya, yaitu Ciang Gu Sik, sudah menerjang Thian Sin dengan mempergunakan senjata mautnya, yaitu senjata joan-pian dari emas. Serangannya diikuti pula oleh para murid See-thian-ong, bahkan tokoh-tokoh kang-ouw yang menjadi tamu datuk itu ikut pula mengeroyok, tentu saja karena mereka ini ingin berjasa dan mengambil hati Sang Datuk. Melihat ini Thian Sin lalu tertawa dan sekali melompat, tubuhnya sudah melayang jauh meninggalkan tempat itu.

“Thian Sin, tunggu…!” Cian Ling hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba suheng-nya serta gurunya sudah bendiri di depannya menghadang.

Melihat gurunya yang memandang padanya dengan mata mendelik dan mulut berlepotan darah, Cian Ling terkejut dan ketakutan. Sementara itu, orang-orang kang-ouw tidak ada yang berani mengejar Thian Sin yang sudah berlari jauh dan tidak nampak lagi.

“Murid murtad!” See-thian-ong membentak marah sekali.

“Suhu…!” Cian Ling berkata dengan mata terbelalak ketakutan pada saat melihat gurunya melangkah maju mendekatinya.

“Plakkk!”

Sebuah tamparan yang keras dari tangan kiri See-thian-ong menyambar pipi kanan dara itu, membuatnya terpelanting keras.

“Engkau pengkhianat! Engkau sudah membuka rahasiaku kepadanya, ya?” See-thian-ong membentak marah. “Siapa lagi kalau bukan engkau yang membocorkan rahasiaku?”

“Suhu, aku… aku cinta padanya…”

“Tidak peduli engkau cinta padanya tapi engkau sudah membocorkan rahasiaku, engkau sudah mengkhianatiku, maka engkau tidak layak hidup lagi!”

See-thian-ong melangkah maju menghampiri murid yang kadang kala menjadi kekasihnya itu. Cian Ling berlutut sambil mengangkat muka, memandang ketakutan, ujung bibirnya pecah berdarah bekas tamparan tadi, rambutnya kusut dan pakaiannya kotor.

“Mampuslah, murid pengkhianat!” See-thian-ong memukul dengan tongkatnya.

“Tranggg…!”

Cian Ling menangkis dengan pedangnya yang bersinar putih! Sikap melawan ini sungguh luar biasa. Di kalangan kang-ouw, kiranya jarang ada murid berani melawan gurunya, apa lagi melawan dengan senjata.

Akan tetapi See-thian-ong adalah seorang datuk kaum sesat dan di dalam golongan kaum sesat ini memang tak berlaku sopan santun dan tata tertib, sehingga perlawanan seorang murid terhadap gurunya pun bukanlah hal aneh. Apa lagi kalau dipikir bahwa selain murid, wanita muda yang cantik ini pun kadang-kadang menjadi kekasih gurunya itu!

“Bagus kau melawan, jangan katakan aku yang kejam!” kata See-thian-ong dan dia pun menyerang lagi lebih hebat. Setiap serangan tongkatnya merupakan serangan maut, dan angin dahsyat menyambar-nyambar secara bertubi-tubi ke arah tubuh Cian Ling yang juga melawan sekuat tenaga.

“Suhu, jangan bunuh sumoi…!” Tiba-tiba Ciang Gu Sik sudah meloncat ke depan, lantas dengan senjata ruyungnya dia pun membantu sumoi-nya, menangkis serangan gurunya yang selalu mengancam diri sumoi-nya itu.

Kini kedua orang murid itulah yang melawan guru mereka, dan meski pun kini ada Gu Sik yang membantu sumoi-nya menangkis serangan-serangan guru mereka, akan tetapi tetap saja Cian Ling terdesak hebat sehingga beberapa kali tongkat See-thian-ong hampir saja menyambar kepalanya dengan pukulan-pukulan maut.

See-thian-ong marah bukan main. Dia merasa sakit hati karena dikhianati oleh muridnya sendiri, murid yang terkasih lagi, dan kini melihat Gu Sik membela Cian Ling mati-matian dia menjadi semakin marah. Dia tahu bahwa murid kepala ini mencintai Cian Ling, akan tetapi tidak diduganya bahwa cinta Gu Sik sampai membuat murid itu berani menentang dirinya pula.

Untuk merobohkan Gu Sik dia tidak tega. Pertama karena Gu Sik tidak bersalah apa-apa kepadanya, dan kedua, dia pun tahu bahwa Gu Sik adalah seorang murid yang setia dan boleh diandalkan bantuannya. Hal ini dapat dibuktikannya dengan melihat betapa senjata ruyung dari murid kepala itu sama sekali tidak pernah balas menyerangnya, namun hanya digunakan untuk membantu Cian Ling, yaitu menyelamatkan sumoi-nya itu dari ancaman senjata See-thian-ong.

Dihadapi oleh kedua orang murid utamanya, repot juga bagi See-thian-ong untuk dapat merobohkan Cian Ling. Apa lagi karena dia tidak ingin melukai Gu Sik. Oleh karena itu, tiba-tiba dia membentak keras dan dengan sebuah tendangan yang amat cepat dan kuat dia membuat ruyung di tangan murid utama itu terlempar, lantas di lain saat tongkatnya sudah menotok pundak Cian Ling.

Gadis itu mengeluh panjang dan roboh terkulai. See-thian-ong menggerakkan tongkatnya lagi, akan tetapi tiba-tiba Gu Sik menubruk sumoi-nya dan menghalangi suhu-nya.

“Suhu, lebih baik bunuh teecu lebih dahulu!” kata Gu Sik dengan sikap berani, melindungi sumoi-nya.

“Hemm, Gu Sik, engkau hendak menentang suhu-mu pula? Hendak membela sumoi-mu yang menjadi pengkhianat?”

“Suhu, teecu mencintainya…”

“Karena dia cantik dan muda?”

“Tidak, karena memang teecu mencintainya dan teecu siap membelanya dengan nyawa.”

“Jika begitu, aku akan mengubah hukumannya. Minggirlah dan aku perkenankan engkau mengambilnya sebagai isterimu.”

“Terima kasih, suhu!” Gu Sik berlutut.

See-thian-ong menggerakkan tongkatnya beberapa kali. Terdengar bunyi ‘krek-krek’ dan tulang sambungan pergelangan tangan dan siku kedua lengan Cian Ling patah-patah dan remuk-remuk.

Dengan demikian, biar pun dengan pengobatan kedua lengan itu akan dapat bersambung lagi tulang-tulangnya, namun untuk mempunyai ilmu kepandaian tinggi sudah tak mungkin lagi bagi Cian Ling. Sambungan siku dan pergelangan lengan merupakan bagian-bagian terpenting dalam gerakan silat.

Kalau hanya patah saja, dapat tersambung lagi dan tulang yang tersambung lagi cukup kuat. Akan tetapi, dalam keadaan remuk seperti itu dan sambungan telah terlepas, walau pun dapat sembuh, tak mungkin dapat menjadi kuat kembali.

Kini Cian Ling telah menjadi penderita cacad dan dia tidak lagi dapat mengandalkan ilmu silatnya. Tentu saja, jika dibandingkan dengan wanita biasa, dia masih jauh lebih tangguh kerena dengan gerakan tubuh dan tendangan-tendangan kakinya, dia masih akan mampu mengalahkan dua tiga orang pria biasa.

Menerima hukuman seperti itu, yang sangat mengerikan bagi seorang ahli silat, Cian Ling menangis dan pingsan! Gu Sik lalu memondong tubuh sumoi-nya untuk dirawat, dan para orang-orang kang-ouw pun bubarlah, tak ada yang berani bicara, apa lagi membicarakan kekalahan datuk itu!

Hanya setelah mereka berada jauh dari tempat itu saja, mereka berani berbicara dengan suara bisik-bisik, menyatakan kekaguman dan keheranan mereka tentang pemuda putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang di hadapan mata mereka telah mengalahkan datuk dunia barat itu.

Sesudah luka-lukanya akibat hukuman suhu-nya itu sembuh oleh perawatan Gu Sik yang amat teliti, akhirnya terpaksa Cian Ling menerima keputusan See-thian-ong bahwa dia harus menjadi isteri suheng-nya itu. Dia menerimanya dengan setengah terpaksa, karena kalau dia menolak, dia pun tahu bahwa gurunya tentu tak akan mengampuninya lagi dan akan membunuhnya.

Melawan pun tiada artinya, dan melarikan diri dari suhu-nya merupakan hal yang sangat tidak mungkin. Ke mana pun dia melarikan diri, akhirnya dia tentu akan tertangkap juga. Jika saja Thian Sin mau membawanya pergi, tentu dia tidak takut menghadapi suhu-nya. Akan tetapi Thian Sin sudah meninggalkannya, berarti Thian Sin tidak mencintanya dan hal inilah yang merupakan sebab ke dua mengapa dia menerima keputusan itu.

Dan hal yang ke tiga, karena dia melihat kenyataan betapa Ciang Gu Sik, suheng-nya itu, benar-benar sangat mencintainya, bukan sekedar mencinta wajah serta tubuhnya, bukan pula sekedar cinta birahi seperti yang selama ini dia rasakan dari para pria yang pernah berdekatan dengannya, melainkan cinta yang lebih mendalam lagi…..

********************

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar