Pada akhirnya, tamu yang dinanti-nanti, Phoa-taijin, datang juga, dengan diiringi oleh dua orang pengawalnya. Phoa-taijin adalah seorang pembesar yang terkenal di kota Su-couw, sebagai seorang pembesar yang kaya raya dan juga terkenal sering memberi sumbangan kepada semua golongan. Dia dikenal sebagai seorang pembesar kaya raya yang sangat dermawan!
Orang tak mau lagi peduli dari mana pembesar itu memperoleh kekayaannya yang besar. Bagi orang-orang itu, apa lagi yang menerima sumbangan langsung, tidak mau tahu lagi dari mana kekayaan si penyumbang itu didapatkan. Dari mana pun datangnya harta yang disumbangkan, seorang penyumbang tentulah akan dipuji-puji sebagai seorang dermawan yang baik hati!
Padahal, bila mana orang mau menaruh perhatian dan menyelidiki, tentu dia akan merasa heran bukan kepalang bagaimana seorang yang menjadi pembesar dapat mengumpulkan kekayaan yang demikian melimpah, padahal kalau melihat dari hasilnya sebagai pejabat, biar dia bekerja hingga seratus tahun sekali pun, hasil dari gajinya belum dapat menyamai seperseratus jumlah kekayaannya yang terkumpul bukan dari hasil kerjanya itu. Memang Phoa-taijin seorang yang luar biasa pandai, tidak hanya pandai mengumpulkan kekayaan, akan tetapi juga pandai sekali mengambil hati orang-orang hingga dia memperoleh nama sebagai seorang pembesar yang baik dan berhati dermawan.
Dia muncul di ruangan itu dengan wajah cerah, mulutnya tersenyum lebar serta pandang matanya berseri-seri. Dia segera disambut dengan sopan dan gembira oleh Kui Beng Sin dan isterinya. Juga Ciu Khai Sun dan dua orang isterinya bangkit berdiri memberi hormat karena walau pun dia tinggal di Lok-yang, namun sebagai seorang ketua piauwkiok yang terkenal, tokoh Siauw-lim itu tentu saja juga mengenal pembesar yang cukup terkenal di daerah Propinsi Ho-nan ini.
Phoa-taijin membalas penghormatan mereka sambil tertawa gembira, kemudian dia pun memandang kepada Ciu Khai Sun, lalu berkata, “Ah, Ciu-piauwsu juga telah hadir di sini! Kami mendengar bahwa barang-barang kami itu sudah berhasil dirampas kembali berkat keluarga Ciu-piauwau di Lok-yang, benarkah itu?” Dia melirik ke arah Thian Sin dan Han Tiong, lantas disambungnya. “Kami mendengar dari penuturan Ji-ciangkun yang menerima dan menahan para perampok itu.” Yang disebut Ji-ciangkun adalah pembesar penjaga keamanan yang telah menerima penyerahan para perampok oleh empat orang muda itu.
“Ahh, sesungguhnya saya tidak berjasa, dan kedua anak saya pun hanya ikut saja, taijin,” kata Ciu Khai Sun merendah. Kui Beng Sin tertawa.
“Taijin, yang berjasa adalah dua orang keponakan kami inilah!” Dia lalu menunjuk kepada Thian Sin dan Han Tiong yang tadi telah memberi hormat dan kini sudah duduk kembali. “Ketahuilah, taijin, mereka ini adalah keponakan-keponakan saya yang gagah perkasa. Ini adalah Cia Han Tiong, putera dari saudara tiri saya yaitu Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong! Dan seorang ini adalah muridnya, yaitu bernama Ceng Thian Sin. Taijin tentu tidak tahu siapa dia ini! Dia adalah putera dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang dulu namanya pernah menggemparkan dunia persilatan itu!”
Baik Ciu Khai Sun mau pun Han Tiong telah memberi isyarat kepada Beng Sin agar tidak memberi tahukan hal itu, namun agaknya piauwsu gendut itu tidak sadar akan hal ini. Dia terlampau bersyukur, berterima kasih dan bergembira sehingga dia memperkenalkan dua orang muda yang dibanggakannya itu, lupa bahwa pembesar itu adalah ‘orang luar’ dan bahwa nama Ceng Han Houw bukanlah sembarang nama yang boleh diumumkan begitu saja, mengingat keadaannya ketika masih hidupnya.
Dahulu pangeran itu adalah seorang yang bukan hanya menggegerkan dunia kang-ouw, akan tetapi bahkan sudah menggegerkan pemerintah dan kota raja, dan sebagai seorang pemberontak malah! Maka, sangatlah tidak enak untuk memperkenalkan putera pangeran itu!
Akan tetapi, Kui Beng Sin sudah menceritakan hal itu, semua sudah terjadi dan Thian Sin hanya duduk dengan tenang. Juga pembesar itu tidak memperlihatkan sikap lain, kecuali membelalakkan kedua matanya memandang kepada dua orang muda itu dan berseru,
“Ahhh, siapa kira dua orang muda remaja ini telah mempunyai kepandaian yang demikian hebatnya.”
Pesta itu berlangsung dengan gembira dan setelah Kui Beng Sin menyampaikan kembali barang-barang milik pembesar she Phoa itu, Phoa-taijin lantas mengucapkan terima kasih dan biar pun barang-barang itu belum dikirim ke tempat tujuan, yaitu Sin-yang, akan tetapi pembesar itu merasa girang bahwa tidak ada sedikit pun di antara barang itu yang hilang. Phoa-taijin minta agar barang-barang itu besok dikembalikan ke gudangnya dan dia tidak lupa untuk memberi hadiah kepada Pouw-an Piauwkiok…..
********************
Beberapa hari kemudian Han Tiong dan Thian Sin berpamitan kepada keluarga Ciu untuk pulang ke utara. Ciu Khai Sun sudah mempersiapkan surat balasan untuk Cia Sin Liong, kemudian menyerahkan surat itu kepada Han Tiong yang segera menyimpannya di dalam bungkusan pakaiannya. Mereka berdua menerima pemberian kuda-kuda yang cukup baik dari keluarga Ciu dan mereka berdua diantar sampai ke tepi kota oleh Ciu Bun Hong dan Ciu Lian Hong.
“Hong-te dan Hong-moi, terima kasih atas semua kebaikan kalian. Selamat tinggal, cukup kalian mengantar sampai di sini saja,” kata Han Tiong setelah mereka tiba di batas kota.
“Hong-te, terima kasih dan selamat berpisah, Hong-moi… kuharap… kita akan bisa saling bertemu kembali dalam waktu dekat…,” kata Thian Sin sambil memandang wajah dara itu dan di dalam suaranya terdengar mengandung nada bersedih oleh perpisahan yang amat memberatkan hatinya itu.
“Tiong-ko, Sin-ko, selamat jalan dan selamat berpisah,” kata kakak beradik itu dan ketika dua orang pemuda itu meloncat ke atas punggung kuda lantas mulai menjalankan kuda mereka meninggalkan tempat itu, kakak beradik ini melambaikan tangannya sampai dua orang pemuda itu lenyap di sebuah tikungan.
Melihat adiknya masih melambalkan tangan seperti orang yang merasa sukar sekali untuk melepaskan mereka pergi, Bun Hong berkata sambil tersenyum, “Tiong-ko tak akan lama pergi, tentu akan segera ada kabar dari keluarga Cia.”
Lian Hong terkejut dan sadar bahwa dia masih melambaikan tangannya. Mukanya yang cantik itu berubah merah sekali dan dia lalu mencubit lengan kakaknya. “Ihhh, siapa yang mengharap-harap kedatangannya?”
Bun Hong hanya tertawa, akan tetapi dia tahu bahwa adiknya ini telah jatuh cinta kepada Han Tiong dan dia merasa setuju dan gembira sekali karena dia pun lebih senang kalau adiknya menjadi isteri Han Tiong dari pada apa bila adiknya memilih Thian Sin.
Memang harus diakuinya bahwa dalam hal ketampanan wajah dan daya tariknya sebagai seorang pria, Thian Sin lebih tampan dan lebih menarik. Akan tetapi, dia melihat betapa Thian Sin memiliki watak ganas dan bahkan kejam terhadap musuh, ada pun Han Tiong mempunyai watak yang sangat mengagumkan hatinya, watak seorang pendekar budiman tulen!
Maka dia yang diberi tugas oleh ayah bundanya untuk mengamat-amati sikap Lian Hong terhadap dua orang pemuda itu, melaporkan apa adanya. Ciu Khai Sun lalu memberi surat kepada Cia Sin Liong bahwa keluarga mereka menyetujui apa bila Lian Hong dijodohkan dengan Cia Han Tiong.
Ketika mereka meninggalkan kota Lok-yang, di sepanjang jalan Thian Sin tiada hentinya membicarakan tentang kebaikan keluarga itu, terutama sekali kebaikan Lian Hong. Antara lain dia berkata,
“Lian-moi sungguh seorang gadis yang amat hebat! Dia mempunyai ilmu silat yang sudah cukup tinggi di antara gadis-gadis lainnya, dan dia pun gagah berani. Ingat saja ketika kita menyerbu gerombolan di hutan itu!”
Han Tiong hanya tersenyum, akan tetapi diam-diam hatinya merasa agak gelisah. Harus diakuinya bahwa dia memang jatuh cinta kepada Lian Hong, tapi dia pun melihat dengan jelas pula betapa adiknya ini pun mencinta mati-matian kepada dara itu!
Melihat betapa kakaknya diam saja, Thian Sin cepat menoleh, memandangnya kemudian berkata, “Bagaimana pendapatmu, Tiong-ko?” Thian Si menatap tajam wajah kakaknya karena diam-diam dia pun mempunyai dugaan bahwa kakaknya ini kelihatan tertarik dan amat kagum kepada dara itu.
“Maksudmu?” Han Tiong berbalik mengajukan pertanyaan karena sungguh pun dia sudah mengerti maksudnya, namun dia tidak dapat segera menjawab dan merasa gugup.
“Ehh, Tiong-ko, kau sedang melamunkan apa sih sehingga tidak mengerti apa yang baru saja kutanyakan? Aku tadi bicara mengenai Hong-moi dan aku menanyakan pendapatmu tentang Hong-moi.”
“Apa? Hong-moi…? Ahh, dia seorang gadis yang baik sekali, mengapa?”
“Tidak apa-apa, Tiong-ko, hanya aku membayangkan alangkah akan bahagianya seorang pria yang kelak dapat menjadi suaminya.”
Wajah Han Tiong menjadi merah karena ucapan itu dengan tepat menusuk hatinya. Tepat sekali seperti apa yang sering dia renungkan tentang diri Lian Hong.
“Ahh, engkau ini aneh-aneh saja, Sin-te. Setiap orang suami dari wanita mana pun juga tentu akan berbahagia sekali kalau dia menikah dengan wanita yang dicintanya dan juga yang mencintanya.”
Agaknya karena ada sesuatu yang menahan perasaan hati mereka di Lok-yang, maka meski pun mereka melakukan perjalanan dengan kuda, akan tetapi perjalanan itu amatlah lambatnya. Mereka itu seperti dua orang pemuda yang sedang pesiar saja, menjalankan kuda mereka seenaknya, atau bahkan tampak seolah-olah mereka tak rela meninggalkan Lok-yang. Dan memang sejak tadi, bayangan Lian Hong seolah-olah melambaikan tangan dan seperti terdengar suara merdu dara itu memanggil mereka agar kembali ke Lok-yang, atau agar tidak meninggalkannya.
Seperti orang yang kehilangan sesuatu, dua orang pemuda itu tidak begitu bersemangat melakukan perjalanan dan hari mulai sore ketika mereka berhenti pada sebuah dusun dan bermalam di sebuah rumah penginapan sederhana. Setelah makan sore yang sederhana pula di dusun itu, mereka beristirahat.
Padahal, bukan tubuh mereka yang lelah, melainkan semangat mereka yang padam atau seperti tertinggal di dekat Lian Hong. Bahkan tak lama kemudian mereka pun nampaknya sudah tidur dan tidak terdengar bercakap-cakap lagi di dalam kamar mereka. Akan tetapi sebenarnya mereka itu belum tidur walau pun keduanya sudah memejamkan mata seperti orang pulas.
Thian Sin bangkit dengan hati-hati dan pemuda ini lantas mengulurkan tangannya ke arah bungkusan pakaian mereka yang diletakkan di atas meja. Dengan sangat hati-hati dia lalu mengeluarkan surat titipan dari Ciu Khai Sun kepada Han Tiong ketika mereka berangkat tadi, dan dengan jantung berdebar dia membuka sampul surat dan dikeluarkannya sehelai surat itu yang lantas dibacanya di bawah sinar lilin yang tidak begitu terang itu.
Dua tangan yang memegang surat itu gemetar dan wajah Thian Sin menjadi pucat ketika dia membaca isi surat. Diulanginya lagi dan tetap isi surat itu antara lain bahwa keluarga Ciu menyetujui diikatnya perjodohan antara Lian Hong dan Han Tiong!
Thian Sin memejamkan sepasang matanya dan merasa seakan-akan semua isi kamar itu terputar-putar. Dia cepat berusaha menenangkan hatinya, akan tetapi makin lama hatinya menjadi semakin panas dan tidak enak.
Dimasukkannya kembali surat itu ke dalam sampulnya lalu disimpannya kembali di dalam buntalan pakaian, kemudian dia melirik ke arah Han Tiong yang masih tidur nyenyak. Lalu dengan sikap aneh, dengan sepasang mata yang kadang-kadang bersinar-sinar kadang-kadang meredup, dia turun dari atas pembaringan, membuka daun pintu dan keluar dari kamar itu.
Han Tiong tahu akan semua perbuatan Thian Sin itu. Di dalam hatinya, dia terkejut dan merasa tak senang sekali menyaksikan kelancangan adiknya yang berani membuka surat dari Ciu Khai Sun untuk ayahnya. Akan tetapi karena merasa heran dengan kelakuan adiknya ini, juga karena dia tidak tega untuk membikin malu adiknya dengan menegurnya pada saat itu juga, maka Han Tiong pura-pura tidak tahu dan pura-pura tidur nyenyak.
Pada saat dia melihat Thian Sin mengembalikan surat lalu keluar dari kamar, dia mengira bahwa Thian Sin agaknya tak dapat tidur dan hanya ingin mencari hawa sejuk di luar. Dan dia pun tidak akan menegurnya tentang surat itu, karena dianggapnya bahwa Thian Sin tentu hanya ingin tahu saja dan tak bermaksud buruk, buktinya surat itu dikembalikannya tanpa diganggu. Maka tidurlah Han Tiong, tidak menyangka sama sekali apa yang sudah terjadi di luar.
Thian Sin sama sekali bukan berjalan-jalan di luar seperti yang disangkanya! Setelah tiba di luar rumah penginapan, pemuda itu segera mengerahkan seluruh kepandaiannya dan ginkang-nya, lalu secepatnya kembali ke kota Lok-yang! Perjalanan yang dilakukannya ini jauh lebih cepat dari pada ketika siang tadi mereka berdua meninggalkan kota Lok-yang dengan berkuda karena Thian Sin menggunakan ilmu berlari cepat.
Dia tidak mau menunggang kuda karena tak ingin kakaknya mengetahui bahwa dia pergi ke kota Lok-yang. Dia harus pergi ke sana, harus menemui Lian Hong! Tekad inilah yang membuat dia lari secepat angin menuju ke kota itu.
Rumah keluarga Ciu sepi sekali malam itu. Agaknya semua orang telah tidur. Akan tetapi benarkah itu? Ternyata tidak semua penghuninya telah pulas. Lian Hong belum tidur dan dara ini masih duduk di atas pembaringannya. Semenjak dia merebahkan diri tadi, hatinya terasa gelisah saja hingga dia tidak dapat tidur. Bayangan dua orang pemuda yang siang tadi pergi, selalu terbayang olehnya.
Dia tidak tahu bahwa ada bayangan yang berkelebat dengan kecepatan luar biasa di atas genteng rumahnya. Bayangan itu adalah Thian Sin yang sudah mengenal benar di mana letak kamar Lian Hong dan ke situlah dia menuju.
Setelah mengintai dari atas genteng dan melihat bayangan Lian Hong dalam kesuraman cahaya lilin kecil itu masih duduk di atas pembaringan, Thian Sin menjadi gembira sekali. Gadis itu belum tidur! Maka dia pun lalu meloncat turun dengan hati-hati sekali dari atas genteng, menghampiri jendela kamar itu dan mengetuknya dengan lirih tiga kali.
Hening sejenak, lalu terdengar suara Lian Hong, “Siapa…?”
“Ssttt… aku, Hong-moi… aku Thian Sin…”
“Hehh…? Sin-ko…? Ada apa… mengapa…?”
“Hong-moi, keluarlah, kita bicara di luar. Aku ingin bicara denganmu, penting sekali!” Bisik pula Thian Sin.
Daun pintu kamar itu pun dibuka dari dalam, lantas keluarlah Lian Hong. Dia terpesona memandang dara itu yang kini nampak lebih cantik dari pada biasanya! Lian Hong sudah mengenakan pakaian ringkas yang ditutupnya dengan mantel merah. Rambutnya sedikit kusut sebab tadi sudah rebah untuk tidur. Sepasang matanya terbelalak penuh keheranan memandang wajah pemuda itu.
“Sin-ko, kau di sini…? Apa yang terjadi dan…”
“Ssttt… mari kita bicara di taman, Hong-moi. Jangan sampai mengagetkan keluargamu.”
Thian Sin mendahului gadis itu berjalan keluar dari sana, menuju ke taman yang letaknya di samping kanan rumah. Lian Hong mengikutinya dengan ragu-ragu dan hati heran, akan tetapi tanpa bertanya atau membantah lagi. Dia tentu saja tidak menaruh curiga apa-apa terhadap pemuda yang telah dipercayakan sepenuh hatinya itu.
“Duduklah, Hong-moi, aku mau bicara,” kata Thian Sin.
Melihat sikap pemuda itu begitu sungguh-sungguh, Lian Hong menjadi semakin terheran-heran. Akan tetapi dia pun lalu duduk di atas bangku batu, berhadapan dengan pemuda itu, dipisahkan oleh meja batu yang bundar.
“Sin-ko, ada apakah? Mengapa engkau berada di sini? Bukankah kalian sudah berangkat tadi? Dan di mana Tiong-ko?”
“Hong-moi, aku minta dengan sangat agar engkau suka bersikap jujur dan berterus terang kepadaku, karena hal ini sama saja dengan urusan mati hidup bagiku.”
“Ehhh… apa artinya ini, Sin-ko? Apa yang kau maksudkan dengan kata-katamu itu? Aku sungguh tidak mengerti!”
“Artinya, Hong-moi, bahwa aku… aku cinta padamu.”
Lian Hong memandang bayangan pemuda itu dengan mata terbelalak. Tempat itu hanya diterangi oleh bintang-bintang di langit sehingga biar pun mereka duduk berhadapan dan hanya terhalang oleh sebuah meja batu, namun mereka hanya dapat melihat bayangan masing-masing.
Lian Hong bukan terkejut mendengar pernyataan cinta dari pemuda itu, karena memang sudah dapat menduganya, sebab sinar mata, juga suara pemuda itu jelas membayangkan perasaan hatinya. Dia hanya merasa terheran-heran mendengar betapa Thian Sin yang sudah meninggalkan kota Lok-yang itu, sekarang datang kembali pada malam hari untuk menyatakan cintanya!
Melihat dara itu hanya terdiam saja dan agaknya memandang kepadanya dengan penuh keheranan, Thian Sin yang sudah dapat melampaui garis yang menggelisahkan hatinya, yaitu pengakuan cinta tadi, kini melanjutkan, suaranya lebih tenang.
“Hong-moi, lebih baik aku berbicara terus terang, dan kuharap engkau juga suka bersikap jujur, Hong-moi, semenjak aku bertemu denganmu, aku telah jatuh cinta padamu. Engkau tentu merasakan pula hal ini dan jika aku tidak salah sangka, melihat sikapmu kepadaku, walau belum boleh dikatakan mencinta, Hong-moi, benarkah ucapanku ini bahwa engkau pun mencintaku?”
Sesudah didesak-desak, akhirnya Lian Hong yang sejak tadi belum dapat menghilangkan rasa terkejut dan herannya, kini menarik napas panjang. Dia merasa sulit untuk menjawab pertanyaan yang begitu tiba-tiba datangnya, apa lagi pertanyaan tentang cinta!
“Sin-ko… bagaimana aku harus menjawab pertanyaanmu? Engkau adalah putera angkat dan juga murid Paman Cia Sin Liong, dan engkau bersama Tiong-ko sudah begitu baik kepada kami, bahkan kalian telah memperlihatkan kegagahan dengan merampas kembali barang-barang yang dirampok gerombolan itu. Tentu saja aku merasa sangat kagum dan suka padamu…”
“Dan engkau bersedia untuk menjadi isteriku, Hong-moi?”
“Aihhh…!” Lian Hong setengah menjerit karena sungguh tak menyangka akan menerima pertanyaan semacam itu.
“Jawablah sejujurnya, kuminta kepadamu, berterus-teranglah…”
“Ahh, Sin-ko, bagaimana aku harus menjawab pertanyaan seperti itu? Soal perjodohan… ahhh, itu adalah urusan orang tuaku, soal jodoh adalah urusan mereka… mana mungkin aku dapat menjawab sendiri…?”
“Hong-moi, marilah kita berbicara secara terbuka saja, karena jawaban-jawabanmu yang berterus-terang sangat penting bagiku. Dengarlah. Aku sudah tahu bahwa ayahmu sudah menitipkan surat pada Tiong-ko. Nah, sekarang katakanlah terus terang, apakah engkau mencinta Tiong-ko? Jawablah Hong-moi, apakah engkau memang lebih mencinta Tiong-ko dari pada aku? Karena aku mempunyai keyakinan bahwa engkau cinta kepadaku, maka berita tentang ikatan jodoh antara engkau dan Tiong-ko itu sungguh mengejutkan hatiku. Aku harus mengetahui isi hatimu, Hong-moi. Siapakah yang kau pilih antara kami berdua? Siapakah yang lebih kau cinta?”
Lian Hong menundukkan mukanya. Dia tentu saja sudah diberi tahu oleh kakaknya, Bun Hong, tentang ikatan jodoh itu dan memang dia sudah ditanya oleh kakaknya tentang itu dan dia pun telah mengambil keputusan dan berterus terang kepada kakaknya bahwa dia memilih Han Tiong. Berdasarkan pilihannya itulah ayahnya lantas mengirim surat kepada Pendekar Lembah Naga.
“Sin-ko, bagaimana harus kukatakan? Aku suka kepada kalian berdua, kagum dan juga bangga. Kalian adalah dua orang pemuda yang hebat.”
“Tapi… tapi… jika engkau dihadapkan pada pilihan ini, siapakah yang lebih kau beratkan, Hong-moi…? Aku ataukah Tiong-ko? Jawablah, agar hatiku tidak merasa penasaran lagi, Hong-moi!” Thian Sin mendesak.
Lian Hong menarik napas panjang. Memang sesungguhnya dia merasa bingung dan amat sulit untuk mengakui hal itu di hadapan yang bersangkutan. Di depan kakaknya, dia dapat mengaku terus terang dengan hanya sedikit rasa canggung saja, akan tetapi bagaimana mungkin dia dapat mengaku terus terang di hadapan orang yang bersangkutan? Apa lagi karena dia tahu bahwa pengakuannya tentu akan menyakitkan perasaan hati Thian Sin karena dia memilih Han Tiong!
Akan tetapi dia teringat bahwa Thian Sin, seperti juga Han Tiong, adalah seorang pemuda yang gagah perkasa lahir dan batin, maka tentu akan dapat menerima segala kenyataan, betapa pahit sekali pun. Dan terhadap seorang pendekar seperti Thian Sin, tidak baiklah kalau tidak berterang terang.
Maka dara ini lalu menarik napas panjang, mengambil keputusan tetap dan terdengarlah jawabannya yang didengarkan oleh Thian Sin dengan penuh perhatian. “Sin-ko, baiklah, aku akan berterus terang sebab engkau menghendakinya. Sebenarnya, semenjak engkau dan Tiong-ko berada di sini, melihat kegagahan kalian berdua, aku merasa sangat tertarik dan terpikat. Terus terang saja, belum pernah aku memiliki perasaan terhadap seorang pria seperti perasaanku terhadap kalian berdua. Dan apa bila ditanya siapakah di antara kalian yang lebih kusukai, akan sulitlah aku untuk menjawabnya. Kalian mempunyai daya tarik yang sama kuatnya bagiku dan andai kata aku disuruh memilih di antara kalian, aku akan menjadi bingung sekali. Akan tetapi, terus terang saja, ada sesuatu yang membuat aku lebih condong kepada Tiong-ko. Yaitu… maafkan aku, Sin-ko, karena… karena aku menyaksikan keganasanmu terhadap para gerombolan itu. Engkau… engkau agak kejam, Sin-ko. Dan Tiong-ko begitu bijaksana…”
Hening sekali saat itu sesudah Lian Hong menghentikan kata-katanya. Dara itu langsung menundukkan mukanya. Biar pun dia tidak dapat melihat wajah pemuda itu dengan jelas di dalam cuaca yang suram itu, akan tetapi dia tetap tidak berani mengangkat mukanya. Sementara itu, Thian Sin mengepal tinju dan merasa penasaran. Kalau hanya hal itu yang membuat Lian Hong memilih Han Tiong dari pada dia, sungguh membuatnya penasaran!
“Akan tetapi, Hong-moi. Aku bersikap ganas dan kejam terhadap penjahat! Dan memang demikian watak seorang pendekar sejati, bukan? Kalau sebagai pendekar-pendekar yang mempertahankan kebenaran dan keadilan kita tidak menghukum keras penjahat-penjahat itu, tentu di dunia ini semakin banyak kejahatan merajalela dan para penjahat tidak akan takut melakukan segala macam kejahatan yang paling keji sekali pun karena tak ada yang ditakutinya lagi!”
“Maaf, Sin-ko. Aku tak dapat membantahmu, akan tetapi aku merasa lebih setuju dengan sikap Tiong-ko yang tidak menundukkan kejahatan dengan kepandaian akan tetapi malah menundukkan hati para penjahat itu dengan kelembutan dan cinta kasih. Aku tidak dapat melupakan betapa Tiong-ko dengan perasaan penuh kasih mengobati para penjahat itu, dan kalau engkau melihat pandang mata para penjahat itu terhadap Tiong-ko… ahhh, aku tidak dapat melupakan itu dan saat itulah yang meyakinkan hatiku bahwa aku akan hidup tenang dan bahagia di samping Tiong-ko…”
“Akan tetapi, jika penjahat-penjahat itu dimanjakan, tentu mereka tak akan pernah merasa kapok! Terlalu enak bagi mereka yang jahat dan keji itu memperoleh pengampunan dan memperoleh perlakuan yang lunak. Tiong-ko terlampau lemah dan kelemahan hatinya itu sewaktu-waktu bahkan akan mencelakainya sendiri!”
Dalam hatinya Lian Hong merasa tidak setuju, akan tetapi dia tidak mampu membantah atau menjawab, maka dia pun hanya mendengarkan saja semua kata-kata Thian Sin yang berusaha membenarkan sikap dan tindakannya.
Pendapat Thian Sin itu mungkin sekali juga menjadi pendapat umum atau kebanyakan dari kita, yaitu yang berpendapat bahwa tindakan kekejaman terhadap orang-orang yang bersalah atau yang melakukan kejahatan adalah tindakan yang betul. Biasanya, tindakan itu kita namakan keadilan!
Akan tetapi benarkah demikian? Benarkah itu apa bila kita menyiksa seorang yang kita namakan penjahat, bahkan jika kita membunuhnya, maka penyiksaan atau pembunuhan itu dapat dinamakan keadilan? Sebaiknya jika kita menyelidiki persoalan ini lebih dahulu sebelum kita memberinya suatu nama seperti keadilan! Kita selidiki apa perbedaan antara perbuatan kejam dan dianggap adil!
Apakah dasar yang mendorong ke arah tindakan yang kejam, menakuti orang, menyiksa orang? Atau bahkan membunuh orang? Semua perbuatan kejam itu tentu mempunyai dasar yang sama, yaitu kebencian. Kebencianlah yang membuat seseorang melakukan tindakan kejam, baik itu dinamakan kejahatan mau pun keadilan. Kebencian di dalam hati ini tentu saja meniadakan cinta kasih. Siapa pun yang melakukan tindakan kejam, baik dia itu dinamakan penjahat atau pun pendekar, pada dasarnya sama saja, yaitu melampiaskan kebencian.
Ini bukanlah berarti bahwa kejahatan atau kekejaman yang dilakukan oleh orang-orang yang kita namakan jahat itu harus didiamkan saja! Sama sekali tidaklah demikian. Akan tetapi, alangkah jauh bedanya antara hukuman yang sifatnya mendidik dengan hukuman yang sifatnya membalas dendam!
Balas dendam adalah akibat kebencian yang melahirkan perbuatan-perbuatan kejam seperti menyiksa dan membunuh. Namun sebaliknya, hukuman yang sifatnya mendidik tidak dapat dinamakan kekejaman karena tidak dilakukan dengan hati yang membenci.
Jeweran pada telinga anak dari seorang ayah bisa merupakan hukuman mendidik, bisa pula merupakan pelampiasan kebencian. Apa bila si ayah itu marah, jengkel pada waktu menjewer, maka perbuatannya itu adalah perbuatan yang didorong oleh rasa kebencian. Sebaliknya, jika jeweran itu dilakukan tanpa kebencian, maka itu adalah perbuatan yang mengandung maksud mendidik. Antara dua jeweran yang sama ini terdapat perbedaan bumi langit.
Biasanya, kata keadilan hanya dipergunakan oleh mereka yang dipenuhi kebencian untuk menuntut balas. Jelaslah bahwa segala macam perbuatan yang didasari oleh kebencian, maka perbuatan semacam itu sudah pasti kejam dan jahat. Sebaliknya, perbuatan apa pun yang dilakukan dengan dasar cinta kasih, maka perbuatan itu pasti benar dan baik.
Akan tetapi benarkah demikian? Benarkah itu apa bila kita menyiksa seorang yang kita namakan penjahat, bahkan jika kita membunuhnya, maka penyiksaan atau pembunuhan itu dapat dinamakan keadilan? Sebaiknya jika kita menyelidiki persoalan ini lebih dahulu sebelum kita memberinya suatu nama seperti keadilan! Kita selidiki apa perbedaan antara perbuatan kejam dan dianggap adil!
Apakah dasar yang mendorong ke arah tindakan yang kejam, menakuti orang, menyiksa orang? Atau bahkan membunuh orang? Semua perbuatan kejam itu tentu mempunyai dasar yang sama, yaitu kebencian. Kebencianlah yang membuat seseorang melakukan tindakan kejam, baik itu dinamakan kejahatan mau pun keadilan. Kebencian di dalam hati ini tentu saja meniadakan cinta kasih. Siapa pun yang melakukan tindakan kejam, baik dia itu dinamakan penjahat atau pun pendekar, pada dasarnya sama saja, yaitu melampiaskan kebencian.
Ini bukanlah berarti bahwa kejahatan atau kekejaman yang dilakukan oleh orang-orang yang kita namakan jahat itu harus didiamkan saja! Sama sekali tidaklah demikian. Akan tetapi, alangkah jauh bedanya antara hukuman yang sifatnya mendidik dengan hukuman yang sifatnya membalas dendam!
Balas dendam adalah akibat kebencian yang melahirkan perbuatan-perbuatan kejam seperti menyiksa dan membunuh. Namun sebaliknya, hukuman yang sifatnya mendidik tidak dapat dinamakan kekejaman karena tidak dilakukan dengan hati yang membenci.
Jeweran pada telinga anak dari seorang ayah bisa merupakan hukuman mendidik, bisa pula merupakan pelampiasan kebencian. Apa bila si ayah itu marah, jengkel pada waktu menjewer, maka perbuatannya itu adalah perbuatan yang didorong oleh rasa kebencian. Sebaliknya, jika jeweran itu dilakukan tanpa kebencian, maka itu adalah perbuatan yang mengandung maksud mendidik. Antara dua jeweran yang sama ini terdapat perbedaan bumi langit.
Biasanya, kata keadilan hanya dipergunakan oleh mereka yang dipenuhi kebencian untuk menuntut balas. Jelaslah bahwa segala macam perbuatan yang didasari oleh kebencian, maka perbuatan semacam itu sudah pasti kejam dan jahat. Sebaliknya, perbuatan apa pun yang dilakukan dengan dasar cinta kasih, maka perbuatan itu pasti benar dan baik.
“Jika bukan para pendekar yang membasmi orang-orang jahat, habis siapa lagi? Sebagian besar para pejabat pemerintah malah menjadi sahabat-sahabat para penjahat! Karena itu mana mungkin kita mengandalkan para pejabat untuk membasmi kejahatan? Siapa yang akan membela dan melindungi rakyat dari penjahat-penjahat yang keji? Siapa lagi kalau bukan para pendekar yang harus membasmi habis para penjahat keji serta pembunuh-pembunuh itu?”
“Sin-ko, aku tak mengerti urusan ini, akan tetapi dengan membunuhi dan membasmi para pembunuh, bukankah itu berarti kita telah menciptakan segolongan pembunuh lain?”
“Ahh, tidak bisa! Para pendekar tentu saja tidak akan membunuhi rakyat atau orang-orang yang benar, hanya akan membasmi orang-orang jahat!”
Lian Hong tak bicara lagi karena sebetulnya dia pun tidak mengerti benar akan apa yang sedang diperdebatkan oleh Thian Sin yang dikecewakan hatinya itu. Dia hanya tidak suka akan kekejaman yang diperlihatkan oleh Thian Sin, sebaliknya dia setuju dan kagum akan kebijaksanaan dan kelembutan yang dilakukan oleh Han Tiong terhadap para penjahat.
Mendadak Thian Sin berhenti bicara dan dia meloncat berdiri dengan demikian cepatnya hingga Lian Hong menjadi terkejut bukan main. Akan tetapi pemuda itu sudah memegang lengannya dan berbisik, “Awas… ada banyak orang…”
Dia pun mengajak Lian Hong lari menyusup ke dalam taman, di balik semak-semak lantas mengintai keluar. Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka pada saat melihat banyak sekali orang telah mengepung rumah dan taman itu.
Orang-orang itu merupakan sebuah pasukan besar karena pakaian mereka seragam! Dan di antara banyak pasukan itu, Thian Sin melihat banyak pula orang yang berpakaian biasa dan gerakan mereka gesit dan tangkas, tanda bahwa mereka ini memiliki ilmu silat yang lihai!
Dan yang membuat mereka merasa lebih kaget lagi adalah pada saat melihat betapa di antara pasukan itu ada yang mulai membakar rumah itu! Segera terjadi kegaduhan ketika keluarga Ciu terbangun dan menyerbu keluar rumah mereka yang mulai terbakar itu. Ciu Khai Sun meloncat ke luar dan berteriak dengan nyaring.
“Siapa membakar rumah?! Ehh, apa artinya semua pasukan ini?”
“Tangkap pemberontak…!”
“Tangkap anak pemberontak Ceng Han Houw…!”
“Basmi pemberontak dan pengkhianat…!”
Teriakan-teriakan itu terdengar riuh dari seluruh penjuru rumah di mana terdapat pasukan yang besar jumlahnya dan sekarang pasukan-pasukan itu sudah maju menyerbu. Mereka itu sama sekali bukan hendak menangkap pemberontak seperti yang mereka teriakkan, melainkan mereka itu langsung menyerang Ciu Khai Sun bersama kedua orang isterinya dan juga Bun Hong yang sudah berdiri di depan pintu!
Tentu saja keluarga itu langsung bergerak untuk membela diri karena mereka tidak diberi kesempatan lagi untuk bertanya atau pun memprotes. Pasukan itu telah menyerbu secara membabi-buta, bahkan dibantu oleh beberapa orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan yang berpakaian biasa, bukan pasukan pemerintah.
Ciu Khai Sun, Kui Lan, Kui Lin serta Bun Hong terpaksa melawan dan mengamuk untuk mempertahankan nyawa mereka karena para penyerbu itu menyerang untuk membunuh, bukan untuk menangkap. Percuma saja semenjak tadi Ciu Khai Sun berteriak-teriak untuk mencoba menghentikan mereka.
Agaknya mereka memang sudah menerima perintah untuk membunuh seluruh penghuni rumah yang mereka bakar itu. Bahkan di antara para penyerbu itu ada pula yang sudah menyerbu masuk melalui pintu samping lantas merampoki segala macam barang yang berada di dalam rumah. Dan mereka tidak peduli, siapa saja yang nampak dalam rumah itu, sampai pelayan-pelayan, mereka bunuh dengan bacokan-bacokan golok.
Sementara itu, ketika melihat betapa pasukan itu membakar rumah, Thian Sin dan Lian Hong menjadi terkejut dan marah sekali. Apa lagi setelah Lian Hong mendengar teriakan-teriakan ayahnya, juga teriakan-teriakan kedua ibunya dan kakaknya yang agaknya telah melawan para penyerbu.
“Keparat!” teriaknya dan dia pun segera lari hendak menuju ke depan hendak membantu ayah bundanya. Akan tetapi di sana sudah muncul pula banyak pasukan yang langsung menyerangnya.
Melihat ini, Thian Sin mengeluarkan seruan panjang dan tubuhnya sudah menerjang maju menyambut pasukan yang menyerang Lian Hong itu, lalu dengan sekali terjang dia sudah merobohkan tiga orang prajurit! Dalam waktu singkat saja, Thian Sin sudah dikepung oleh banyak prajurit, juga oleh beberapa orang berpakaian preman yang lihai.
Thian Sin mengamuk dan hatinya khawatir sekali karena dia tidak melihat Lian Hong yang terpisah dengan dia dalam pengeroyokan demikian banyaknya pasukan. Karena merasa sangat khawatir akan keadaan keluarga Ciu, terutama keselamatan Lian Hong, Thian Sin menjadi marah bukan main. Apa lagi dia tadi telah mendengar teriakan-teriakan itu, yang katanya hendak menangkap pemberontak, putera dari pemberontak Ceng Han Houw.
“Di sinilah aku! Di sinilah Ceng Thian Sin, putera Ceng Han Houw!” bentaknya nyaring dan kakinya merobohkan seorang pengeroyok yang hendak membacoknya dari belakang. “Jangan ganggu orang lain, inilah aku putera Ceng Han Houw!”
Maka terjadilah perkelahian yang sangat hebat. Tidak kurang dari tiga puluh orang prajurit dan dibantu oleh beberapa orang yang lihai-lihai, mengepung dan mengeroyok Thian Sin. Thian Sin sudah merobohkan belasan orang, akan tetapi pengeroyoknya tidak berkurang, bahkan mengepungnya semakin ketat.
Dengan kemarahan meluap-luap, apa lagi karena rumah itu sudah terbakar dan semakin berkobar, Thian Sin langsung mencabut pedang Gin-hwa-kiam pemberian neneknya dan mulailah dia mengamuk dengan pedangnya ini, dibantu tamparan-tamparan tangan kirinya atau dengan tendangan-tendangan bertubi-tubi yang dilakukan oleh kedua kakinya.
Hebat bukan main sepak terjangnya sehingga para pengeroyoknya banyak yang roboh. Darah muncrat-muncrat dari tubuh para pengeroyoknya yang kena disambar sinar perak pedangnya, dan kini yang mengeroyoknya hanyalah orang-orang yang tidak mengenakan pakaian seragam, melainkan orang-orang berpakaian preman yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi. Di antara mereka itu ada pula yang berpakaian pengemis, yang mengingatkan Thian Sin pada para anggota Bu-tek Kai-pang, anak buah Lam-sin, datuk selatan itu.
Tidak kurang dari lima belas orang yang rata-rata berilmu tinggi mengeroyoknya, dengan berbagai macam senjata. Namun Thian Sin tak menjadi gentar dan dia terus mengamuk. Akan tetapi sekarang dia merasa gelisah sekali karena dia tidak tahu bagaimana dengan keadaan keluarga Ciu, terutama Lian Hong!
Oleh karena itu, sambil melawan dia mulai mengalihkan gelanggang pertempuran menuju ke depan rumah, di mana dia tadi mendengar teriakan-teriakan keluarga Ciu. Pada waktu melihat gerakan ini, para pengepung itu mengira bahwa Thian Sin hendak melarikan diri, maka mereka pun mengejar dan tetap mengepungnya, bahkan kini agaknya perkelahian hanya terpusat di sini karena tidak lagi terdengar perkelahian di tempat lain.
Ketika dia tiba di depan rumah, Thian Sin terbelalak dan wajahnya pucat sekali. Api yang berkobar membakar rumah itu cukup menerangi tempat itu hingga dengan jelas dia dapat melihat mayat-mayat berserakan banyak sekali, mayat-mayat pasukan yang berpakaian seragam dan di antara mereka itu terdapat pula mayat Ciu Khai Sun, kedua isterinya, dan Bun Hong!
Hampir saja Thian Sin menjerit ketika dia melihat ini dan dia meloncat ke arah mayat Ciu Khai Sun dengan cepat sekali, berjongkok dan memeriksa. Akan tetapi sebatang tombak menyambar dari belakang, disusul bacokan pedang dari samping.
“Tranggg… desss! Creppp!”
Dua orang itu memekik dan roboh, seorang terkena tamparan tangan kiri Thian Sin dan yang ke dua tertusuk lambungnya oleh pedang Gin-hwa-kiam.
Thian Sin cepat memeriksa kedua orang isteri Ciu Khai Sun dan juga mayat Bun Hong. Semuanya sudah tewas! Tewas dengan tubuh penuh luka-luka, tanda bahwa mereka itu telah mengamuk dengan mati-matian dan hal ini pun dapat dibuktikan dengan banyaknya korban, yaitu mayat-mayat pasukan pengeroyok yang berserakan di sekeliling tempat itu!
Keluarga ini sudah tewas dalam keadaan yang menyedihkan, namun harus diakui tewas dalam keadaan gagah perkasa. Dan semua itu dikarenakan dia! Bukankah pasukan itu datang untuk mencari dia sebagai putera Pangeran Ceng Han Houw? Dan dia tidak tahu apa yang telah terjadi dengan diri Lian Hong!
“Hai, keparat semua! Inilah Ceng Thian Sin putera Ceng Han Houw! Majulah dan terima pembalasanku!”
Kemudian dia pun mengamuk lagi. Sepak terjangnya amat menggiriskan karena tidak ada lawan mana pun yang sanggup menahan sambaran pedangnya, pukulan tangan kirinya atau tendangan kakinya! Dia dikepung, dikeroyok, akan tetapi yang mawut adalah para pengeroyok itu sendiri. Banjir darah terjadi di dekat rumah yang terbakar itu.....