Pendekar Sadis Jilid 14

Melihat betapa wajah Thian Sin nampak tidak puas, Han Tiong bertanya, “Ada apakah, Sin-te?”

“Tiong-ko, aku tidak percaya bahwa mereka itu akan mau kembali ke jalan benar. Mereka adalah orang-orang jahat, maka di hadapan kita tentu saja mereka berjanji akan mentaati pesanmu sebab mereka merasa takut. Akan tetapi kelak, aku yakin sekali bahwa mereka itu akan kembali menjadi penjahat, apa lagi kalau ada yang memimpin mereka.”

“Hemmm, habis kalau menurut pendapatmu, bagaimana? Apa yang harus kita lakukan tadi?”

“Kurasa lebih baik menghajar agar mereka takut benar-benar, dan membubarkan mereka. Karena dengan berkelompok itu mereka tentu akan menjadi lebih berani untuk melakukan kejahatan lagi. Orang-orang kejam dan jahat semacam mereka itu tidak boleh diberi hati, Tiong-ko!”

Han Tiong tersenyum, “Sin-te, mengapa engkau begitu keras terhadap orang-orang yang pernah melakukan penyelewengan dalam hidupnya? Apakah engkau lupa akan wejangan Paman Hong San Hwesio? Orang yang melakukan penyelewengan, yang kita namakan orang jahat, adalah orang yang sedang menderita penyakit. Bukan tubuhnya yang sakit, melainkan batinnya. Nah, bila kita menghadapi orang yang sakit, sebaiknya kita memberi obat, bukan? Ingat, orang yang sedang menderita sakit itu juga dapat sembuh, adikku, sedangkan kita yang sekarang ini sedang sehat, bisa saja sewaktu-waktu jatuh sakit! Tapi bagaimana pun juga, manusia adalah makhluk yang sangat lemah, baik badan mau pun batinnya. Karena itulah kita harus mengasihani mereka, adikku, bukan malah membenci mereka.”

“Mengasihani orang jahat?”

“Tentu saja, karena mereka itu sedang menderita sakit…”

“Dan kalau ada orang jahat membunuh ayah bunda kita, kekasih kita, apakah kita harus mengasihani penjahat itu juga?”

Dibantah seperti ini, Han Tiong tak mampu menjawab karena dia merasa tidak enak untuk membantah. Dia tahu bahwa pertanyaan itu timbul dari hati yang amat mendendam atas kematian ayah bunda adiknya ini, juga kematian kekasihnya.

Tentu saja dia tak mau mengingatkan adiknya bahwa ayahnya itu mati karena akibat dari pada perbuatannya sendiri! Demikianlah pula Hwi Leng tewas karena keadaan lingkungan hidupnya. Akan tetapi, untuk diam saja pun tidak enak, maka dia memperoleh jawaban yang dianggapnya tepat.

“Adikku, apakah sesungguhnya yang aneh dari kematian orang-orang yang hidup sebagai pendekar? Baik mendiang ayah bundamu, mau pun nona Loa Hwi Leng, mereka adalah orang-orang yang sejak kecil telah berkecimpung di dunia kang-ouw dan karenanya sudah tentu mempunyai banyak musuh-musuh. Kurasa tak ada yang harus menjadi penasaran. Andai kata kita sewaktu-waktu tewas di tangan orang yang memusuhi kita, bukankah hal itu sudah wajar dan tidak perlu dijadikan dendam?”

“Aku mengerti Tiong-ko. Akan tetapi agaknya engkau tidak dapat merasakan penderitaan seorang anak yang kehilangan kedua orang tuanya, terbunuh oleh orang-orang jahat.”

Han Tiong tidak mau membantah lagi karena hal itu hanya akan mendatangkan perasaan yang tidak enak saja. Maka dia pun mengajak adiknya bicara tentang hal-hal lain. Mereka segera melupakan bahan percakapan yang tak menyenangkan itu kemudian melanjutkan perjalanan dengan gembira sebab pemandangan pada sepanjang perjalanan yang melalui bukit-bukit itu amat mempesonakan.

Biar pun pada tujuh tahun yang lalu mereka berdua pernah melakukan perjalanan ke kota raja bersama Cia Sin Liong dan isterinya, ketika mereka kembali dari Kuil Thian-to-tang, namun ketika itu selain sudah lewat lama sekali, juga mereka tidak begitu lama berada di kota raja. Apa lagi Han Tiong sendiri yang pernah datang ke Cin-ling-pai bersama orang tuanya, adalah pada saat dia baru berusia sebelas tahun. Oleh karena perjalanan itu amat jauh dan dia sama sekali sudah tak ingat lagi jalannya, maka sebelum mereka berangkat, Cia Sin Liong telah memberi petunjuk tentang tempat-tempat yang akan mereka lalui.

Pertama-tama, mereka akan memasuki kota raja lebih dulu, melihat-lihat di kota besar itu dengan pesan dari Cia Sin Liong supaya di kota raja mereka tidak sampai terlibat dalam perkelahian karena selain di tempat itu banyak terdapat orang pandai, juga jangan sampai mereka memancing perhatian para penjaga keamanan kota raja dan istana. Kemudian, mereka diharuskan pergi ke Cin-ling-san yang berada di Propinsi Shen-si selatan, setelah itu barulah mereka harus ke timur dari Propinsi Shen-si, memasuki Propinsi Ho-nan untuk pergi ke kota Lok-yang tempat tinggal Ciu Khai Sun.

“Kalian boleh pergi merantau sampai selama satu tahun,” demikian pesan Cia Sin Liong. “Waktu itu sudah lebih dari cukup bagi kalian berdua untuk mengunjungi ketiga tempat itu dan meluaskan pengetahuan kalian. Jangan terlalu lama di kota raja, yang penting adalah mengunjungi keluarga kakek kalian di Cin-ling-san, kemudian mengunjungi bibi kalian di kota Lok-yang. Di sana kalian boleh tinggal agak lama.”

Di antara banyak pintu gerbang yang memasuki kota raja, pintu gerbang utara merupakan pintu gerbang yang selain tebal dan kuat, juga terjaga paling ketat. Hal ini adalah karena semenjak dulu, pintu gerbang ini yang paling sering mengalami gempuran-gempuran dan serbuan-serbuan musuh yang datang dari utara dan bagi kerajaan itu, bahaya yang paling besar dan tak pernah dapat diabaikan adalah bahaya yang datangnya dari utara, dari luar Tembok Besar.

Hal ini tidaklah aneh, karena kota raja itu terletak paling dekat dengan perbatasan utara sehingga penyerbuan musuh dari utara akan dapat langsung memasuki kota raja, tidak seperti penyerbuan dari jurusan lain yang harus melampaui daratan luas, melalui propinsi-propinsi sehingga sebelum bahaya tiba di kota raja, sudah terlebih dahulu kota raja akan mendengar dan akan mempersiapkan diri.

Pada waktu itu, Kerajaan Beng-tiauw sedang mengalami masa jayanya. Perjalanan atau pelayaran Panglima The Hoo pada puluhan tahun yang lampau agaknya mendatangkan hubungan yang luas dan akrab dengan negara-negara lain di seberang lautan sehingga hubungan dagang juga bisa diperbesar, baik dengan negara-negara barat hingga ke India dan Arab, juga dengan negara-negara di selatan, bahkan sampai di Kepulauan Indonesia, yaitu Sumatera dan Jawa.

Bukan hanya itu saja, bahkan kemakmuran serta kebesaran nama Kerajaan Beng-tiauw juga sudah menarik minat orang-orang kulit putih yang mulai mempererat pula hubungan mereka. Terutama sekali bangsa Portugis yang memang sudah semenjak puluhan tahun menjadi orang kulit putih pertama yang datang ke Tiongkok untuk berdagang.

Biar pun penjagaan di pintu gerbang utara amat ketat, akan tetapi dua orang muda yang masih remaja, berpakaian patut, bersikap sopan dan lebih pantas menjadi pelajar-pelajar yang kaya, seperti Han Tiong dan Thian Sin, tidak menimbulkan kecurigaan dan mereka dapat memasuki kota raja dengan mudah.

Cia Sin Liong adalah seorang pendekar yang pernah berjasa terhadap kerajaan. Bahkan secara resmi Kaisar Ceng Hwa telah mengangkat pendekar itu menjadi Pendekar Lembah Naga, julukan yang diberikan sendiri oleh kaisar dan oleh karena itu terkenal di seluruh dunia kang-ouw, bahkan pendekar itu dihadiahi Istana Lembah Naga oleh kaisar dan harta benda yang amat banyak.

Hanya disebabkan pendekar itu menolak saja maka dia tidak menjadi seorang panglima, karena andai kata Sin Liong mau, tentu dia sudah diangkat menjadi seorang panglima. Meski pun demikian, pendekar itu tetap saja tidak pernah mau menonjolkan diri, apa lagi mendekatkan diri dengan kerajaan. Kepada dua orang puteranya yang juga tahu bahwa ayah mereka merupakan seorang yang ternama di kota raja, dia memesan agar jangan sembarangan memperkenalkan diri dan agar jangan sampai berhubungan dengan pihak kerajaan.

Han Tiong mentaati pesan ayahnya, karena dia sendiri pun adalah seorang pemuda yang batinnya sederhana, tidak suka akan nama besar serta kesohoran, maka diam-diam dia menyetujui sikap ayahnya yang menjauhkan diri dari kemuliaan dan kedudukan. Sudah banyak dibacanya dalam kitab-kitab sejarah betapa kemuliaan dan kedudukan itu hanya memancing datangnya permusuhan karena banyak yang merasa iri hati.

Akan tetapi tidak demikian dengan Thian Sin. Diam-diam pemuda ini merasa tidak puas. Betapa pun juga, dia tahu bahwa mendiang ayah kandungnya adalah saudara kaisar! Biar pun berlainan ibu, akan tetapi seayah! Jadi, betapa pun juga, dia adalah keponakan yang langsung dari kaisar yang sekarang, sedarah karena nama keturunannya masih sama!

Akan tetapi, di samping ini dia pun tahu pula bahwa ayahnya tewas karena kaisar yang menjadi pamannya ini mengirim pasukan untuk ‘menghukum’ ayahnya sebagai seorang pemberontak. Dia memang menyesalkan hal ini, kenyataan bahwa dulu ayahnya menjadi pemberontak, dan dia tidak merasa sakit hati kepada kaisar yang menjadi pamannya itu, melainkan kepada mereka yang turun tangan membunuh ayah bundanya.

Meski pun di dalam hati mereka berdua terdapat perbedaan yang amat besar, akan tetapi keduanya memandang dengan wajah berseri gembira ketika mereka memasuki kota raja dan melihat bangunan-bangunan besar yang indah, jalan-jalan raya yang lebar dan ramai dengan lalu-lintas, toko-toko yang serba lengkap, restoran besar dan bermacam pakaian orang yang serba indah. Mereka berdua adalah pemuda-pemuda yang sejak kecil tinggal di tempat sunyi, bahkan jarang berjumpa dengan orang lain, maka kini memasuki sebuah kota besar seperti kota raja, tentu saja mereka merasa kagum sekali.

“Sin-te, mari kita mencari tempat penginapan lebih dulu,” kata Han Tiong kepada adiknya.

“Mengapa kita tidak putar-putar dan melihat-lihat dulu, Tiong-ko? Kita tidur di mana saja, di kuil juga boleh, kan? Lebih aman dan tidak menyolok,” kata Thian Sin.

“Tidak, adikku. Justru kalau kita bermalam di kuil tua atau sebagainya, maka lebih banyak kemungkinan bagi kita untuk bertemu dengan orang-orang kang-ouw sehingga malah akan menimbulkan kecurigaan karena kita berpakaian seperti pelajar-pelajar yang melancong, bukan seperti orang kang-ouw. Pula, tidak enak kalau berjalan-jalan sambil menggendong buntalan pakaian seperti ini, hanya menjadi perhatian orang saja. Kita cari kamar dahulu, lalu menyimpan buntalan pakaian, dan baru kita jalan-jalan,” jawab Han Tiong dan seperti biasa, Thian Sin menyetujui. Memang pemuda ini selalu taat terhadap Han Tiong, bukan taat secara terpaksa, karena dia selalu dapat melihat bahwa kakaknya itu sudah benar dan tepat.

Di dalam hatinya, Thian Sin sangat sayang kepada Han Tiong, sayang dan tunduk, juga kagum karena kakaknya itu dianggap memiliki batin yang amat kuat sekali, tidak seperti dirinya yang mudah tunduk dan mudah terpengaruh. Juga dia tahu bahwa kalau mereka sama-sama menggunakan ilmu simpanan mereka, maka dia tidak akan menang melawan kakaknya.

Biar pun Pendekar Lembah Naga sendiri menyembunyikan dan menganggapnya sebagai rahasia, namun di antara kedua orang kakak dan adik ini tidak ada rahasia apa-apa dan mereka pernah saling menceritakan tentang ilmu-ilmu simpanan yang mereka pelajari dari ayah mereka. Mereka tidak merasa saling iri hati, karena mereka sudah tahu bahwa dua macam ilmu itu, yaitu Thi-khi I-beng dan Cap-sha-ciang, atau lebih lengkapnya Hok-mo Cap-sha-ciang, hanya boleh diturunkan kepada satu orang saja.

Bahkan dengan terus terang Han Tiong menceritakan bahwa dia pun diberi pelajaran ilmu totok It-sin-ci yang dapat menghadapi Thi-khi I-beng itu kepada adiknya. Hal ini pun tidak membuat Thian Sin menjadi kecil hati. Bagi dia, kalau kalah oleh Han Tiong merupakan hal yang sudah wajar dan semestinya.

Mereka menyewa sebuah kamar di losmen sederhana dan sesudah mandi serta berganti pakaian, mereka lalu pergi keluar berjalan-jalan meninggalkan buntalan pakaian di dalam kamar yang terkunci dan membawa semua uang bekal mereka dalam saku. Karena kini mereka tidak lagi menggendong buntalan, maka keadaan mereka semakin tidak menarik perhatian sebab mereka tiada bedanya dengan dua orang pemuda kota raja yang sedang berjalan-jalan makan angin di sore hari itu.

Setelah berputar-putar di tempat-tempat ramai, akhirnya mereka merasa lapar dan mereka pun memasuki sebuah rumah makan dari mana keluar bau masakan yang amat gurih dan sedap. Setelah mereka memasuki rumah makan itu, kiranya restoran itu memiliki ruangan yang cukup luas, bahkan ada ruangan lain di loteng dari mana para tamu sambil makan dapat melihat lalu-lintas di depan restoran. Thian Sin mengajak kakaknya naik ke loteng.

Ternyata di ruangan atas itu sudah ada beberapa tamunya, ada yang sedang makan, ada pula yang agaknya masih menanti pesanan mereka, ada yang minum arak sambil makan gorengan-gorengan. Beberapa orang muda duduk di tepi loteng sambil minum-minum dan memandang ke arah jalan raya, tentu saja pandang mata mereka selalu diarahkan pada wanita-wanita muda yang kebetulan lewat di jalan itu.

Dua orang muda itu lalu menyapu ruangan itu dengan pandang mata mereka. Hanya ada seorang tamu yang menarik perhatian mereka, yaitu seorang pria berusia kurang lebih dua puluh tahun yang duduk seorang diri di sudut ruangan, menghadapi seguci arak berikut sebuah cawan serta beberapa piring gorengan dan kacang.

Pemuda itu memakai topi bulu tebal, pakaiannya mewah dan melihat keadaannya, maka dia seperti seorang pemuda hartawan yang royal. Wajahnya tampan dan kedua matanya amat tajam.

Akan tetapi yang menarik perhatian kedua orang pemuda itu, terutama sekali perhatian Thian Sin, adalah sebuah alat musik yang-kim yang kecil dan terletak di atas meja. Thian Sin adalah seorang pemuda yang suka sekali akan seni suara, pandai bertiup suling dan pandai bernyanyi.

Pada waktu dia berada di Kuil Thian-to-tiang, dari seorang hwesio dia pernah pula belajar memainkan yang-kim. Maka, sekarang melihat ada seorang pemuda tampan membawa yang-kim, dia pun merasa tertarik sekali.

Ada sesuatu yang menarik pada yang-kim itu. Selain catnya yang merah darah, juga alat musik itu bentuknya berbeda dengan yang-kim biasa, karena kedua ujungnya berbentuk gagang seperti gagang pedang sedangkan ujung sebelahnya runcing sekali!

Pemuda tampan yang mengenakan pakaian mewah itu juga melirik ke arah kedua orang pemuda remaja itu dan pandang matanya sampai lama menatap wajah Thian Sin yang tampan sekali itu, bibirnya tersenyum dan pandang matanya tidak menyembunyikan rasa kagumnya. Sejenak pandang matanya bertemu dengan pandang mata Thian Sin hingga keduanya merasa tertarik. Memang Thian Sin tertarik, bukan oleh ketampanan orang itu, bukan oleh pakaiannya yang mewah, melainkan oleh adanya alat musik yang-kim di atas meja itulah.

Seorang pelayan berjalan menghampiri meja mereka. Akan tetapi begitu laki-laki tampan itu menggerakkan ibu jari dan jari tengah tangan kanannya, terdengar suara menyentrik dan pelayan itu menoleh, lalu tersenyum-senyum dan dengan sikap hormat dia menunda kepergiannya ke meja mereka berdua, sebaliknya dengan cepat malah menghampiri meja pemuda tampan berpakaian mewah itu, membungkuk-bungkuk.

“Siangkoan-kongcu (tuan muda Siang-koan) hendak memesan apa lagi?” tanya pelayan itu sambil tersenyum ramah dan penuh hormat.

Pemuda tampan itu telah mencoret-coret sesuatu di atas kertas, lalu menyerahkan kertas bertulis itu kepada pelayan sambil berkata dengan nada suara halus seperti cara bicara seorang terpelajar.

“Sampaikan ini kepada pengurus restoran!”

Pelayan itu melirik ke atas kertas, sepasang alisnya terangkat, lalu mengangguk-angguk sambil tersenyum dan memasukkan kertas itu ke dalam saku bajunya. Kemudian dia pun membalikkan tubuhnya dan hendak pergi meninggalkan ruangan loteng itu, tanpa menoleh kepada meja Thian Sin dan Han Tiong seolah-olah sudah lupa lagi akan datangnya dua orang tamu baru ini.

“Hei, pelayan!” Thian Sin memanggil, suaranya halus akan tetapi cukup nyaring sehingga pemuda mewah itu melirik dan tersenyum. Pelayan itu cepat-cepat menghampiri sambil membungkuk-bungkuk, sikapnya penuh hormat.

“Kongcu memanggil saya?” tanyanya.

“Tentu saja, kami sudah lapar dan kami hendak memesan makanan dan minuman,” kata Thian Sin dan Han Tiong lalu memesan beberapa macam masakan dan nasi serta air teh. Pelayan itu mengangguk-angguk, membungkuk dan tersenyum sopan, kemudian setelah menerima pesanan itu dia pergi turun dari loteng.

Karena maklum bahwa pemuda mewah yang memiliki yang-kim itu biar pun tidak secara langsung memandang pada mereka akan tetapi memperhatikan, maka Thian Sin dan Han Tiong tidak banyak cakap dan hanya duduk memandang ke arah luar, menanti datangnya pesanan makanan.

Pada saat itu pula, semua tamu yang berada di loteng itu, yang jumlahnya tak kurang dari sepuluh orang dan kesemuanya pria, serentak menoleh dan memandang ke arah tangga yang menghubungkan loteng itu dengan tingkat bawah. Karena tertarik, maka Han Tiong dan Thian Sin juga mengerling ke arah tangga dan mereka melihat seorang wanita muda yang cantik serta berpakaian mewah pula memasuki loteng itu dengan mulut terseyum-senyum simpul amat manisnya.

Wanita itu masih muda, takkan lebih dari sembilan belas tahun usianya, di samping cantik manis, juga bentuk tubuhnya padat dan menggairahkan menonjol di balik pakaian yang terbuat dari sutera halus yang mewah. Rambutnya digelung ke atas model rambut puteri bangsawan, dihiasi dengan pengikat rambut emas permata berkilauan. Ketika tersenyum, sekilas nampak giginya yang putih berkilau, menyaingi hiasan rambutnya.

Semua pria yang berada di loteng itu memandang kagum dan melihat senyum mereka, agaknya mereka semua telah mengenal wanita ini. Akan tetapi wanita itu hanya menoleh ke arah pemuda yang mempunyai yang-kim, lantas berlari kecil menghampiri dan menjura dengan lemah lembut serta manis gayanya.

“Ah, maafkan jika saya terlambat, kongcu,” katanya. Dua orang wanita cantik berpakaian pelayan juga sudah naik ke loteng, mengiringkan wanita cantik itu. “Kalian tunggu saja di bawah,” kata wanita cantik itu kepada dua orang pelayannya.

“Siang Hwa, kau baru datang? Duduklah. Engkau hanya terlambat sedikit, sungguh wajar bagi seorang wanita cantik, tentu membutuhkan banyak waktu untuk berhias.”

“Bukan begitu, Siangkoan-kongcu, akan tetapi ada seorang tamu yang hendak memaksa saya, padahal sudah diberi tahu bahwa saya sedang tak sempat menerima tamu dan ada keperluan penting. Ehh, mungkin dia mengikuti aku ke sini, wah berabe orang itu…!”

Pemuda itu hanya tersenyum. “Duduklah, tenanglah. Nah, minumlah secawan arak untuk menenangkan hatimu.”

Wanita muda itu menerima cawan arak dan meminumnya, kemudian dia tersenyum dan memandang kepada pemuda itu dengan manis. “Kongcu aneh, mengapa tidak datang ke sana, melainkan menyuruh aku datang ke tempat umum begini?”

“Aku ingin engkau bernyanyi dengan iringan yang-kimku di tempat ini…”

Mereka kemudian berbicara lirih-lirih sambil kadang-kadang tersenyum. Semua orang kini tidak berani lagi memandang ke arah wanita itu setelah melihat betapa wanita itu menjadi ‘tamu’ atau sahabat dari pemuda yang mewah itu.

Thian Sin dan Han Tiong mencium bau harum ketika wanita itu lewat di dekat mereka pada saat menghampiri meja pemuda tampan. Thian Sin memandang kagum. Dia belum pernah melihat seorang wanita yang secantik ini! Dan dia kagum pula menyaksikan sikap pemuda tampan itu, demikian tenang, demikian penuh wibawa, akan tetapi juga halus dan manis terhadap wanita itu. Sikap seorang laki-laki tulen!

Han Tiong sudah tak melihat lagi, akan tetapi Thian Sin masih terus memandang ke arah meja mereka dan ketika pemuda mewah itu menoleh dan melihat Thian Sin memandang, pemuda itu tersenyum lebar sambil mengangguk sedikit. Melihat keramahan ini, maka mau tidak mau Thian Sin juga menggerakkan sedikit kepalanya sebagai balasan, lalu dia pun memutar leher dan menghadapi kakaknya.

Pada saat itu, kembali semua orang menoleh ke arah tangga karena dari sana muncul serombongan pelayan memanggul baki-baki berisi masakan-masakan. Ada empat orang pelayan membawa makanan sambil diiringkan oleh pengurus restoran itu sendiri, seorang lelaki gemuk pendek yang mulutnya terus-menerus tersenyum lebar seolah-olah mukanya pecah menjadi dua.

Tadinya Thian Sin dan Han Tiong mengira bahwa tentu makanan yang banyak itu dipesan oleh pemuda mewah itu untuk menjamu tamunya yang cantik. Akan tetapi betapa heran rasa hati mereka pada saat para pelayan itu, dipimpin oleh pengurus restoran, langsung menghampiri meja mereka kemudian mengatur semua hidangan itu, lebih dari dua belas mangkok besar banyaknya, ke atas meja di depan mereka.

“Hei, apa artinya ini?” Thian Sin berseru.

“Maaf, kalian tentu sudah salah menghidangkan pesanan ini. Semua ini bukan pesanan kami, tentu pesanan orang lain,” kata Han Tiong sambil bangkit berdiri.

Pengurus restoran itu menjura sehingga mulutnya menjadi semakin lebar bagaikan robek. “Memang benar makanan ini dipesan oleh Siangkoan-kongcu di sana, akan tetapi semua ini untuk ji-wi kongcu (tuan muda berdua). Silakan!”

“Tapi… tapi… kami tidak mengenal dia,” kata Han Tiong.

Pengurus restoran masih tetap tersenyum. “Itu tandanya Siangkoan-kongcu menghargai ji-wi dan mengajak ji-wi untuk berkenalan. Beliau adalah seorang pemuda hartawan yang baik hati, mengenal semua pembesar di istana dan terkenal sangat royal, membagi uang seperti pasir saja.” Sesudah mengangguk dan membungkuk, maka pengurus restoran itu pun meninggalkan meja itu, diiringkan empat orang pelayan.

Han Tiong dan Thian Sin saling pandang, lantas keduanya bangkit dan menghampiri meja pemuda mewah yang masih kelihatan mengobrol dengan wanita cantik tadi, seakan-akan tidak melihat sedikit keributan tadi. Akan tetapi ketika dua orang muda itu menghampiri mejanya, dia pun cepat menoleh, lalu bangkit dan bersikap hormat, tersenyum ramah.

“Kami tidak mengerti apa maksud Anda dengan pemberian hidangan itu!” kata Han Tiong, sikapnya halus dan sopan, akan tetapi sinar matanya tajam penuh selidik menatap wajah orang. Melihat pandang mata ini, pemuda mewah itu kelihatan agak gugup, akan tetapi dia menutupi kegugupannya dengan senyum lebar.

“Ah, saya tidak mempunyai niat buruk. Saya amat tertarik kepada ji-wi, dan melihat bahwa ji-wi bukan penduduk sekitar sini, maka saya memberanikan diri berlaku lancang menjadi tuan rumah untuk menjamu ji-wi dengan hidangan sekedarnya.”

“Tapi… tapi kami tidak mengenal Anda…”

“Perkenalkanlah, saya bernama Siangkoan Wi Hong, seorang pendatang di kota raja yang seorang diri dan kesepian. Akan tetapi saya mengenal banyak orang di sini, maka akan menyenangkan sekali kalau menambah kenalan saya dengan ji-wi.”

Melihat sikap yang demikian sopan, bicaranya lancar dan halus, Han Tiong tidak dapat menolak lagi. Thian Sin yang semenjak tadi mendengarkan saja kini berkata. “Akan tetapi, hidangan itu terlalu banyak untuk kami berdua. Maka silakan Saudara Siangkoan untuk makan bersama dengan kami, juga kami tawarkan kepada nona…”

Orang yang bernama Siangkoan Wi Hong itu tersenyum lalu mengangguk-angguk, memuji sikap Thian Sin yang ramah dan juga tidak pemalu seperti Han Tiong.

“Terima kasih kalau memang ji-wi menghendaki, tentu kami akan suka sekali. Bukankah demikian, Nona Siang Hwa?” Dia menoleh kepada wanita itu yang juga sudah bangkit berdiri.

Nona itu menjura dengan tubuhnya yang padat menggairahkan, gerakannya amat lemah gemulai pada waktu membungkuk. “Ahh, saya merasa amat terhormat sekali…,” katanya, suaranya merdu, mulutnya tersenyum dan matanya mengerling tajam.

Di dalam hatinya, Han Tiong kurang setuju dengan tawaran adiknya, akan tetapi karena sudah terlanjur, tentu saja dia tidak dapat mengelak lagi. Entah bagaimana dia merasa kurang enak dan canggung menyaksikan sikap wanita cantik itu yang demikian memikat sikapnya, sikap genit walau pun kegenitan itu halus sekali dan nampaknya, melihat gerak-geriknya dan susunan kata-katanya, wanita itu juga seorang yang sopan terpelajar.

Siangkoan Wi Hong bertepuk tangan, maka muncullah dua orang pelayan yang segera disuruhnya memindahkan bangku-bangkunya ke meja dua orang pemuda itu. Kini mereka berempat duduk menghadapi meja yang penuh hidangan dan dengan cekatan Wi Hong menuangkan arak ke dalam cawan wanita itu dan dua orang pemuda yang menerimanya dengan sungkan.

Baik Han Tiong mau pun Thian Sin bukan peminum arak dan walau pun mereka biasa minum arak akan tetapi tidak begitu suka. Akan tetapi, karena sebagai fihak tuan rumah orang itu sudah menuangkan arak, maka terpaksa mereka mengangkat cawan kemudian meminumnya ketika Wi Hong berkata,

“Silakan minum demi persahabatan kita!”

“Saya sudah memperkenalkan nama saya, yaitu Siangkoan Wi Hong, dan dia ini adalah Siang Hwa, kembang di antara kembangnya daerah hiburan di kota raja. Karena itu saya harap ji-wi sudi memperkenalkan nama agar lebih leluasa kita bercakap-cakap.”

Biar pun mereka belum berpengalaman, akan tetapi istilah ‘kembang daerah hiburan’ itu mengejutkan Han Tiong dan Thian Sin. Jadi wanita cantik ini adalah seorang pelacur? Ah, mereka berkenalan dengan seorang pelacur dan tentulah pemuda itu merupakan seorang pemuda hidung belang, dan kini mereka duduk semeja dengan seorang pelacur!

“Nama saya Thian Sin,” kata Thian Sin dengan cepat.

“Aihh, she Thian? Jarang saya bertemu dengan orang she Thian!” kata Wi Hong memuji, kemudian memandang kepada Han Tiong. “Dan Anda?”

“Saya bernama Cia Han Tiong,” jawabnya sederhana.

“She Cia? Ahh, kalau Cia cukup banyak, bahkan amat terkenal karena bukankah keluarga Cin-ling-pai juga she Cia? Wah, jangan-jangan Saudara Cia Han Tiong ini masih keluarga Cin-ling-pai? Tetapi tentu saja bukan, karena kalau keluarga Cin-ling-pai tentu langsung saja ke istana, bukan?”

“Kami berdua adalah kakak dan adik angkat,” Han Tiong cepat berkata, hanya asal dapat mengatakan sesuatu saja sehingga dia tidak perlu menjawab benar atau tidaknya ucapan Wi Hong tadi.

Wi Hong kembali hendak mengisi cawan arak, akan tetapi Han Tiong menolaknya sambil berkata, “Terima kasih… tapi kami berdua jarang minum arak, bagi kami cukup teh saja.”

“Aihhh, pemuda-pemuda yang terpelajar dan hidup bersih menjauhi arak, ya? Bagus, mari silakan makan.”

Wi Hong ternyata pandai sekali bicara dan sikapnya amat ramah sehingga mereka mulai makan minum sambil bercakap-cakap, atau lebih tepat lagi Wi Hong yang terus menerus bercakap sedangkan dua orang muda itu hanya lebih banyak mendengarkan saja.

“Saya sendiri bukan orang kota raja asli,” antara lain Wi Hong bercerita memperkenalkan dirinya, “saya tinggal di Tai-goan, akan tetapi saya sering berpesiar di kota raja, di mana ayah mempunyai sebuah rumah dan memiliki sebuah cabang toko di kota raja ini. Apakah ji-wi datang dari utara? Logat bicara ji-wi seperti orang utara…”

“Kami datang dari dusun, di utara kota raja…”

“Ah, agaknya pelajar-pelajar yang hendak menempuh ujian tahun ini, ya? Jangan khawatir kalau memang demikian, saya memiliki kenalan baik yang duduk sebagai anggota panitia ujian…”

“Ahhh, sama sekali bukan!” kata Han Tiong dan mukanya menjadi agak merah. Dia dan Thian Sin disangka pelajar-pelajar yang akan menempuh ujian siucai (sasterawan)! “Kami hanya melancong saja, hendak pergi ke rumah bibi kami di Lok-yang dan hanya singgah untuk melihat-lihat di kota raja ini.”

“Ji-wi kongcu, harap jangan sungkan, makanlah daging berikut sayurnya. Marilah, jangan malu-malu!” Dengan gaya sangat memikat wanita itu kemudian menggunakan sumpitnya untuk mengambilkan daging dan sayur, lalu diletakkan ke dalam mangkok Thian Sin dan Han Tiong.

Dua orang pemuda itu tersipu-sipu, akan tetapi tidak mampu menolak dan mengucapkan terima kasih. Melihat sikap dua orang muda itu demikian malu-malu, Siangkoan Wi Hong tertawa.

“Ha-ha-ha, Thian-lote dan Cia-lote, harap jangan malu-malu. Dia ini adalah kembangnya daerah hiburan di kota raja. Bahkan pembesar-pembesar tinggi dan para pangeran pun merindukannya sehingga sering kali dia dipanggil ke istana untuk memberi hiburan. Suara nyanyiannya seperti burung hong dan kalau dia menari, wah, seperti bidadari baru turun dari sorga!”

“Ih, Siangkoan-kongcu terlalu memuji orang. Jangan terlalu tinggi mengangkatku, kongcu, kalau terlepas dan jatuh, maka aku bisa remuk!” kata wanita itu sambil tersenyum lebar, menunjukkan deretan gigi yang putih indah dan sekilas nampak ujung lidah yang merah.

Thian Sin ikut tertawa. Senang hatinya karena di samping ramah, ternyata wanita itu juga pandai bicara. Akan tetapi Han Tiong beberapa kali menengok ke kanan kiri, memandang ke arah para tamu lainnya dengan hati kurang enak. Dia merasa yakin bahwa tentu ada udang di balik batu, ada apa-apanya di balik undangan makan pemuda kaya dan royal ini. Dan hatinya semakin merasa tidak enak melihat betapa pandang mata para tamu lain, hanya melalui kerlingan, mengandung iri hati!

Tiba-tiba saja semua orang tertarik oleh bunyi gaduh kaki orang melangkah dengan kasar menaiki tangga yang menuju ke loteng.

“Tak peduli dia bersama siapa, aku harus bertemu dengan dia!” terdengar suara seorang laki-laki, suara yang kasar dan mengandung kemarahan.

Mendengar suara ini, Siang Hwa kelihatan ketakutan dan wajahnya yang cantik manis itu berubah pucat. “Celaka, Siangkoan-kongcu, dia benar-benar datang menyusul!” katanya kepada Siangkoan Wi Hong.

“Tenanglah, biar saja, hendak kulihat dia akan berbuat apa,” kata Siangkoan Wi Hong dan melihat sikap pemuda hartawan ini yang demikian tenang, diam-diam dua orang pemuda dari Istana Lembah Naga itu merasa kagum juga.

Mereka menduga bahwa tentu pemuda yang mempunyai alat musik yang-kim ini agaknya pandai pula ilmu silat, maka menghadapi ancaman orang dia kelihatan tenang saja. Apa lagi kalau diingat bahwa alat musik itu bentuknya seperti senjata, maka dua orang muda itu makin yakin akan dugaan mereka dan diam-diam mereka ingin sekali melihat apa yang akan terjadi.

Mereka tidak merasa khawatir karena yang akan menghadapi urusan keributan ini adalah pemuda she Siangkoan itu, bukan mereka. Mereka sama sekali tidak mencari perkara, bahkan untuk menjaga supaya jangan sampai membikin orang lain merasa tidak senang, mereka sudah menerima undangan makan dan suguhan orang she Siangkoan itu, walau pun mereka merasa tak enak sekali harus duduk makan semeja dengan seorang pelacur. Mereka tadi membayangkan dengan hati kecut, betapa akan sikap ayah dan ibu mereka kalau saja melihat mereka duduk mengobrol dan makan semeja dengan seorang pelacur, malah pelacur yang menjadi kembang pelacur di kota raja!

Lantas muncullah orang yang membuat gaduh itu. Dia seorang pria yang usianya sudah mendekati tiga puluh tahun, bermuka bopeng dan hitam, pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang yang kaya. Rambutnya mengkilap licin akibat terlalu banyak minyak, digelung dan diikat dengan sutera biru. Tubuhnya tinggi tegap dan matanya yang besar itu sedang terbelalak penuh kemarahan, agak merah karena dia agaknya terlalu banyak minum arak.

Di belakangnya nampak dua orang laki-laki yang usianya sekitar empat puluh tahun dan berpakaian seperti guru silat, dengan pedang di punggung dan sikap mereka yang serius dengan pandang mata yang membayangkan kesungguhan dan ketingglan hati.

Semua tamu menjadi panik dan ketakutan karena mereka maklum bahwa tentunya akan terjadi keributan. Apa lagi ketika mereka mengenal siapa adanya laki-laki bermuka hitam bopeng ini.

Begitu laki-laki muka bopeng itu melihat Siang Hwa yang duduk bersama tiga orang muda, dia terbelalak semakin marah kemudian dengan langkah lebar dia lalu menghampiri meja itu. Banyak di antara para tamu diam-diam turun dari loteng itu, akan tetapi yang bernyali lebih besar tidak mau turun melainkan bersembunyi di balik meja-meja sambil menonton.

“Hei, pelacur busuk, perempuan hina-dina! Berani engkau menolak Ji-siauwya (tuan muda Ji) dan melarikan diri untuk pesta dengan orang-orang di sini? Engkau telah menghinaku, keparat!” Si Muka Bopeng itu berteriak-teriak sambil telunjuknya yang besar menuding ke arah muka Siang Hwa yang sudah menggigil ketakutan.

“Sudah… sudah saya beri tahu bahwa saya tidak sempat…” Wanita itu mencoba untuk memberi alasan.

“Tidak sempat melayaniku akan tetapi ada waktu untuk pesta di sini, ya? Engkau pelacur hina, perempuan rendah! Apakah engkau belum tahu siapa aku? Berapa hargamu? Biar kepalamu pun sanggup aku membelinya! Coba kau katakan, berapa engkau disewa oleh mereka ini? Aku berani membayarmu tiga kali lipat!”

“Siauwya, harap maafkan aku…” Siang Hwa membujuk dan memperlihatkan muka manis. “Biarlah besok saya menerima kunjungan siauwya…”

“Apa kau kira hanya uang saja yang dapat kuberikan? Kau kira aku tak dapat melakukan kekerasan? Siapa berani menghalangi aku? Sekarang juga engkau harus berlutut minta ampun dan turut bersamaku. Sekarang juga, mengerti?! Kalau tidak…” Dia menghampiri sebuah meja yang telah ditinggalkan tamunya kemudian tangan kanannya yang besar itu diangkat dan ditamparkan dengan kuat-kuat ke atas meja itu.

“Brakkk…!”

Meja itu pecah dan sebuah mangkok yang masih ada kuahnya terpental, isinya muncrat hingga mengenai muka Si Bopeng itu sendiri! Si Bopeng gelagapan dan menjadi semakin marah ketika terdengar suara orang tertawa. Yang tertawa itu adalah Siangkoan Wi Hong.

Orang she Ji itu mengusap mukanya yang berlepotan kuah, matanya dikejap-kejapkannya karena agak pedas terkena kuah yang mengandung merica itu. Setelah dapat membuka mata, dia segera melotot memandang kepada Siangkoan Wi Hong.

“Bocah keparat! Kau berani mentertawakan aku? Hayo kau merangkak keluar kalau tidak ingin kuhancurkan kepalamu!” bentak pemuda bermuka bopeng itu kepada kongcu yang tampan dan yang sejak tadi tersenyum lebar itu.

“Hemm, aku masuk restoran ini dengan membayar, dan aku mengundang Siang Hwa pun tidak dengan paksa, mana bisa aku disuruh keluar dengan paksa? Siapa sih engkau ini yang bersikap begini sombong?”

“Tringgggg…!” Orang she Siangkoan itu menyentil sebuah kawat yang-kimnya dan bunyi itulah sebagai penutup kata-katanya tadi.

Si Muka Bopeng menjadi semakin marah. “Bocah setan apa engkau sudah buta sehingga tidak mengenal tuan besarmu…?”

“Tringggg…!” Yang-kim itu disentil kembali.

“Dengar baik-baik, aku adalah Ji Lou Mu kongcu…”

“Tranggg…”

“Semua orang menghormatiku, hanya engkau ini tikus kecil tak tahu diri!”

“Cringgg…!”

Karena setiap Si Muka Bopeng yang bernama Ji Lou Mu itu berhenti berbicara diselingi dengan bunyi trang-tring-trong, maka terdengar lucu seperti anak wayang sedang beraksi di panggung. Hampir saja Thian Sin tak dapat menahan ketawanya, akan tetapi dia hanya tersenyum dan dia semakin merasa suka dan kagum kepada pemuda she Siangkoan itu.

“Bocah kepar… aughhhh…!” Ketika mulut itu terbuka dan sedang memaki, tiba-tiba saja pemuda she Siangkoan itu menggunakan sumpitnya menjepit sepotong bakso ikan yang besar dan sekali dia menggerakkan tangan, maka bakso yang dijepit sumpit itu meluncur dengan kecepatan luar biasa dan tahu-tahu telah memasuki mulut Ji Lou Mu yang sedang terbuka.

Tentu saja Ji Lou Mu gelagapan dan matanya mendelik karena bakso yang tanpa permisi menyelonong ke dalam mulutnya itu tahu-tahu telah menyangkut ke tenggorokannya.

“Aahhh… aukkk… kekkk…!” Dia kebingungan, mulutnya terbuka dan matanya mendelik. Seorang di antara dua jagoan yang mengawalnya, cepat menepuk punggungnya dengan kuat.

“Blukk!” Dan bakso yang nakal itu meloncat keluar lalu menggelinding di atas lantai.

“Hajar dia! Hantam dia…!” Ji Lou Mu memaki-maki dan menuding-nuding, menyuruh dua orang jagoannya maju seperti seorang memerintahkan dua ekor anjing untuk menyerbu lawan.

Akan tetapi baru saja dua orang jagoan silat itu hendak maju, Siangkoan Wi Hong sudah menggerakkan sumpitnya dengan cepat sehingga dua potong daging basah menyambar ke arah muka dua orang jago silat itu.

“Plokk! Plokk!”

Demikian cepatnya daging ini menyambar sehingga kedua orang jagoan itu tidak sempat mengelak lagi, dan daging itu tepat mengenai mulut mereka, akan tetapi karena mulut mereka tidak sedang terbuka maka potongan daging itu tidak masuk, hanya menghantam bibir dan jatuh ke atas lantai. Muka dua orang jagoan itu berlepotan kuah kecap!

“Ha-ha-ha-ha, anjing-anjing peliharaan mengapa tidak suka daging?” Siangkoan Wi Hong kembali berkata sambil tertawa.

Dia segera melepaskan sumpitnya, tangan kanannya memainkan kawat-kawat yang-kim sedangkan yang kiri mengambil segenggam kacang goreng. Tangan kirinya lalu melontar-lontarkan kacang goreng itu ke depan, ke arah muka Ji Lou Mu.

“Plak-plak-plak…!”

“Aduhhh… auuw… aduhh…!”

Ji Lou Mu adalah seorang pemuda yang sebetulnya bertubuh dan bertenaga kuat, juga dia sudah mempelajari ilmu silat, akan tetapi pada saat itu dia tidak berdaya sama sekali karena hujan kacang goreng yang tepat mengenai mukanya itu dirasakan seperti hujan batu atau peluru yang amat keras dan kuat menghantami mukanya. Dia pun berjingkrak-jingkrak sambil menutupi kedua mata dengan tangan, dan semua gerakannya ini diiringi suara yang-kim trang-tring-trang-tring sehingga nampak semakin lucu.

Dua orang jagoan tukang pukul itu amat marah ketika mereka diserang dengan sepotong daging karena mereka merasa terhina dan malu sekali.

“Singgg…! Singgg…!” Mereka mencabut pedang mereka.

Melihat ini, si kasar Ji Lou Mu juga mencabut sebatang pedangnya, pedang yang indah dan mahal, penuh dengan ukiran-ukiran dan hiasan emas permata pada gagangnya.

Melihat betapa tiga orang itu mencabut pedang, Han Tiong dan Thian Sin masih bersikap enak-enakan saja, melanjutkan makan sambil kadang-kadang menghirup air teh mereka. Dua orang kakak beradik ini tadi sudah melihat gerakan Siangkoan Wi Hong dan tahulah mereka bahwa walau pun tiga orang kasar ini menggunakan pedang, mereka tidak perlu khawatir akan keselamatan pemuda tampan itu yang mereka tahu memiliki kepandaian yang tinggi.

Akan tetapi Siang Hwa yang ketakutan setengah mati menjerit dan hampir saja pingsan. Melihat itu, Thian Sin bangkit dan menahan tubuhnya yang hampir terguling, akan tetapi begitu ditahan oleh tangan pemuda ini, Siang Hwa langsung merangkul dengan ketatnya, membuat Thian Sin gelagapan sehingga pemuda ini cepat mendudukkan Siang Hwa di atas bangku dan dengan halus dia melepaskan diri. Seluruh bulu di tubuhnya meremang dan dia merasa panas dingin ketika dirangkul seperti itu!

“Ha-ha-ha!” Siangkoan Wi Hong masih sempat tertawa menyaksikan adegan itu.

Akan tetapi, pada saat itu pula Ji Lou Mu telah menerjangnya bersama dua orang tukang pukulnya. Pedang mereka berkilauan dan berkelebatan ketika menyerang, membuat para tamu restoran itu menjadi pucat dan ngeri karena mereka sudah membayangkan darah dan mayat!

Dua orang pemuda Lembah Naga itu memandang dengan penuh kagum melihat betapa Siangkoan Wi Hong tetap duduk di atas bangkunya dengan memegang masing-masing sebatang sumpit bambu di kedua tangannya! Dengan sepasang sumpit itulah dia hendak menyambut serangan tiga orang lawannya yang berpedang! Ini terlalu ceroboh, pikir Han Tiong dan diam-diam dia pun sudah siap untuk menyelamatkan pemuda itu kalau perlu.

Tetapi tiba-tiba kedua batang sumpit itu dipukulkan ke atas yang-kim hingga terdengarlah bunyi trang-tring-trang-tring yang sangat merdu, berlagu merdu akan tetapi kedua orang pemuda Lembah Naga itu terkejut sekali karena mereka merasakan getaran hebat pada jantung mereka oleh bunyi kawat-kawat yang-kim itu!

Tiba-tiba saja ketiga orang kasar itu juga menghentikan gerakan mereka, wajah mereka berubah pucat karena mereka diserang oleh suara itu dan pada saat itu, Siangkoan Wi Hong sudah menggerakkan dua batang sumpitnya, semua menotok ke arah tangan yang memegang pedang.

Terdengar suara berkerontangan pada waktu tiga batang pedang itu terlepas dari tangan pemegangnya masing-masing kemudian jatuh ke atas lantai! Sambil masih duduk di atas bangkunya, Siangkoan Wi Hong menggerakkan kakinya, menginjak ke arah ketiga batang pedang itu satu demi satu.

“Krek-krek-krek!” terdengar suara dan tiga batang pedang itu telah patah-patah!

Melihat ini, Ji Lou Mu beserta dua orang pembantunya memandang terbelalak dan muka mereka seketika menjadi pucat! Tahulah mereka bahwa pemuda ini sama sekali bukan tandingan mereka!

Akan tetapi Ji Lou Mu yang melihat bahwa di tempat itu terdapat banyak orang, tidak mau mengalah begitu saja. “Kau tunggulah saja di sini, pembalasanku akan segera datang!”

“Tring…! Trang…!” Siangkoan Wi Hong menjawab dengan suara yang-kimnya dan sekali ini terdengar suara ketawa di sana-sini. Agaknya para tamu restoran itu merasa lega dan timbul keberanian mereka melihat pemuda bopeng galak itu dapat dikalahkan.

Mendengar ini, sambil mendengus Ji Lou Mu berkata kepada kedua orang pembantunya. “Mari pergi!”

Akan tetapi baru saja dia dengan dua orang tukang pukulnya tiba di atas tangga, tiba-tiba saja berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Siangkoan Wi Hong telah menghadang di depan mereka sambil tersenyum. “Mengapa kalian tergesa-gesa sekali? Kalau memang tergesa-gesa, biarlah aku mempercepat kepergian kalian.”

Tangannya bergerak cepat sekali dan dia sudah menepuk punggung Ji Lou Mu dengan perlahan, akan tetapi akibatnya, pemuda bopeng itu terpelanting dan terguling-guling ke bawah loteng melalui anak tangga itu. Dan dua orang pembantunya juga mengalami hal yang sama. Tiga orang itu bergulingan ke bawah panggung, diikuti suara tawa para tamu yang berada di atas loteng. Sambil merangkak, ketiga orang itu segera pergi dari restoran itu dengan muka pucat dan tubuh babak-belur.

Pemilik restoran tergopoh-gopoh naik ke atas loteng, lantas menangis dan menjatuhkan diri di depan Siangkoan Wi Hong yang duduk kembali di atas bangkunya. “Ah, Siangkoan-kongcu, bagaimana ini… ahh, selamatkan kami dan restoran kami…”

“Aihhh, engkau ini kenapa sih?” Siangkoan Wi Hong menegurnya sambil minum arak dari cawannya.

“Kongcu belum tahu, Ji-siauwya tadi adalah putera dari Ji-ciangkun, kapten dari pasukan pengawal istana! Wah, celaka, tentu restoran ini akan diobrak-abrik, akan dibakar.”

“Hemmm, aku tidak takut.”

“Benar, kongcu memang tidak takut, akan tetapi bagaimana dengan kami? Kami tentu akan dihukum, dibunuh… ahhh…, tolonglah, kongcu!”

“Hemmm, dia itu putera kapten pasukan pengawal apakah? Pasukan Kim-i-wi (Pasukan Pengawal Baju Emas) atau pasukan Gi-lim-kun (pasukan pengawal pribadi kaisar)?”

“Bukan, akan tetapi pasukan istana bagian luar.”

“Hemm, yang dipimpin oleh Panglima Giam?”

“Benar, kongcu.”

“Jangan khawatir. Panglima Giam itu sahabatku, dan aku akan menunggu di sini sampai ayah si kerbau dungu itu datang. Bangkitlah, dan suguhkan arak berikut daging kepada semua tamu yang kini berada di loteng ini, atas namaku yang akan membayarnya. Hayo saudara-saudara, kita berpesta sebagai rasa terima kasihku atas bantuan moral saudara-saudara!” katanya dengan ramah kepada semua tamu dan belasan orang itu yang segera menyambutnya dengan sorak gembira.

“Siang Hwa, mari bernyanyilah!” Siangkoan Wi Hong mengajak pelacur cantik itu.

Akan tetapi ternyata wanita itu masih pucat sekali dan tubuhnya masih gemetar, mana mungkin dia dapat bernyanyi? Tentu suaranya akan menggigil pula! Tetapi sementara itu Siangkoan Wi Hong sudah memainkan yang-kimnya dengan jari-jari tangan yang gapah sekali hingga terdengarlah nyanyian yang-kim yang merdu. Diam-diam Thian Sin merasa kagum sekali dan dia merasa menyesal kenapa dia tidak membawa sulingnya. Tentu dia akan meniup sulingnya untuk mengimbangi bunyi yang-kim itu.

“Hayo, Siang Hwa, apakah kau masih takut?” pemuda itu membujuk, akan tetapi wanita itu masih belum sadar kembali dan masih ketakutan.

“Ha-ha-ha, penakut. Lihat, dua orang saudara muda ini tenang-tenang saja. Sungguh luar biasa mereka ini, patut dipuji dengan nyanyian,” sambil terus memainkan yang-kimnya, tiba-tiba saja pemuda itu sudah menyanyikan lagu yang dibuatnya pada saat itu juga!

Dua anak burung baru keluar dari sarang mereka
masih belum berpengalaman dan muda belia
namun demikian tenang dan gagah perkasa
pasti bukan anak burung biasa belaka
setidaknya tentu anak burung garuda!

Han Tiong dan Thian Sin terkejut dan juga kagum. Pemuda yang bernama Siangkoan Wi Hong ini tampan dan kaya, royal dan pandai bergaul, memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi mengagumkan, dan kini ternyata sangat pandai menggubah nyanyian seketika dan langsung menyanyikannya, dan nyanyian itu berisi pujian bagi mereka berdua, akan tetapi sekaligus seperti sudah mengenal rahasia mereka! Benar-benar seorang yang amat lihai dan karenanya amat berbahaya.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar