Thian Sin melanjutkan perjalanannya menuju ke selatan. Dia sudah membunuh seluruh anggota Jeng-hwa-pang. Ada sedikit kepuasan di hatinya kalau dia mengingat akan apa yang telah dilakukannya tadi. Dengan kepandaiannya dia telah membikin terpental semua senjata belasan orang itu, dan hanya ada tiga empat orang yang melakukan perlawanan agak keras karena ilmu kepandaian mereka yang lumayan.
Akan tetapi akhirnya mereka semua roboh dan dia menjambak rambut mereka satu demi satu, dengan wajah merah dan mata melotot menyeramkan dia membentak, “Siapa yang menyiksa dan membunuh Hwi Leng?!”
Akan tetapi mereka semua tidak mau mengaku, maka satu demi satu dipukulnya kepala mereka itu dengan tamparan Thian-te Sin-ciang sehingga mereka roboh dengan kepala pecah dan tewas seketika, dan setiap kali melakukan tamparan maut itu, mulutnya selalu berkata. “Ini untuk Hwi Leng!” dan….
“Prakk!” sekali tampar saja kepala itu tentu pecah!
Thian Sin berlari terus, kadang-kadang tersenyum kalau dia teringat betapa kini nyawa belasan orang itu berlutut di depan nyawa Hwi Leng! Akan tetapi dia belum puas! Sama sekali belum. Belasan orang yang dibunuhnya itu memang benar merupakan penyiksa-penyiksa dan pembunuh Hwi Leng, akan tetapi mereka itu hanya utusan-utusan belaka. Biang keladinya berada di Jeng-hwa-pang!
Dan kini dia harus pergi ke sana, harus mengobrak-abrik Jeng-hwa-pang, dan membunuh mereka semua terutama para pimpinannya. Bukan hanya untuk Hwi Leng, melainkan juga untuk ayah bundanya!
Mengingat hal ini, membayangkan betapa dia akan menghancur leburkan Jeng-hwa-pang, wajah Thian Sin yang agak pucat itu berseri-seri dan mulutnya tersenyum, hatinya terasa ringan dan senang sekali. Baru sekarang dia tahu bahwa sebetulnya itulah keinginannya yang selalu terpendam, yaitu menghancurkan Jeng-hwa-pang, membalas kematian ayah bundanya, membasmi semua penjahat di dunia ini!
Tiba-tiba di dalam benaknya muncul wajah Hong San Hwesio dan terngiang di telinganya semua nasehat hwesio itu. Terdengar pula olehnya, suara ayah angkatnya yang pernah menasehatkan betapa buruknya jika dendam disimpan di hati.
“Tidak, aku tak akan menyimpannya lagi, aku akan melaksanakannya!” demikian bibirnya bergerak dan dia pun mencari alasan untuk membela diri dan mempertahankan keinginan hatinya. “Aku adalah anak pendekar, semenjak kecil dididik menjadi pendekar. Aku adalah pembasmi penjahat-penjahat! Bukan hanya Jeng-hwa-pang, bukan hanya musuh-musuh ayah bundaku, melainkan seluruh penjahat di permukaan bumi ini! Selama masih ada penjahat di permukaan bumi, selama itu pula aku akan berusaha membasmi mereka.”
Dengan melakukan perjalanan yang amat cepat tak mengenal lelah, akhirnya pada suatu senja tiga hari kemudian tibalah Thian Sin di sarang Jeng-hwa-pang yang berada di dekat dan di luar Tembok Besar. Dia bertindak hati-hati sekali karena teringat akan cerita ayah angkatnya tentang perkumpulan ini.
Menurut cerita ayah angkatnya, Jeng-hwa-pang adalah sebuah perkumpulan yang sangat kuat, dan para anggotanya adalah ahli-ahli racun yang lihai dan berbahaya. Dahulu sekali, Jeng-hwa-pang ini mengalami masa jaya sebagai perkumpulan yang sangat ditakuti dan disegani.
Pendirinya adalah mendiang Jeng-hwa Sianjin, yaitu seorang tokoh Pek-lian-kauw yang kenamaan dan berilmu tinggi. Nama Jeng-hwa-pang diambil dari racun jeng-hwa (bunga hijau) dan sarang mereka berada di daerah Tembok Besar.
Belasan tahun yang lalu, ketuanya adalah Gak Song Kam, murid Jeng-hwa Sianjin yang saking lihai dan pandainya mengenai racun memakai julukan Tok-ong (Raja Racun). Akan tetapi Tok-ong Gak Song Kam ini tewas di tangan mendiang Ceng Han Houw dan Cia Sin Liong. Oleh karena itu terdapat dendam yang besar pada perkumpulan itu terhadap Ceng Han Houw dan Cia Sin Liong.
Dan Thian Sin sudah mengerti mengapa Jeng-hwa-pang ikut menyerbu ayah bundanya, dan sekarang dia pun tahu bahwa semua kekacauan yang dilakukan oleh Jeng-hwa-pang di dusun-dusun itu adalah untuk membalas dendam mereka kepada Cia Sin Liong. Maka tugasnya kali ini selain membalaskan kematian ayah bundanya, membalaskan kematian Hwi Leng, sekaligus untuk membasmi musuh ayah angkatnya. Dia akan bertindak dengan waspada, tidak ceroboh ketika menghadapi lawan yang dia tahu kuat dan berbahaya itu.
Akan tetapi Thian Sin tidak tahu bahwa telah terjadi perubahan besar pada perkumpulan itu. Kini perkumpulan itu dihidupkan kembali oleh seorang murid Jeng-hwa Sianjin yang lebih lihai dibandingkan dengan Gak Song Kam yang tewas di tangan ayah kandung dan ayah angkatnya.
Tokoh ini adalah murid utama Jeng-hwa Sianjin yang bernama Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam. Dari julukannya, yaitu Tok-ciang (Tangan Beracun) sudah dapat dimengerti bahwa dia pun merupakan seorang ahli racun yang berbahaya.
Dan bukan hanya tokoh ini yang kini memimpin Jeng-hwa-pang, juga dia dibantu oleh dua orang sahabatnya yang lihai sekali, yaitu dua orang tokoh Pek-lian-kauw yang memakai nama julukan Kim Thian Sengcu dan Gin Thian Sengcu, dua orang kakek berpakaian dan berambut seperti model tosu, nampaknya seperti pendeta-pendeta alim dan memiliki ilmu kepandaian yang hanya berselisih sedikit dibandingkan tingkat kepandaian Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam sendiri!
Dan mungkin karena Ciu Hek Lam sendiri adalah murid seorang tokoh Pek-lian-kauw, ada pun kedua orang pembantunya itu juga merupakan tokoh-tokoh Pek-lian-kauw, maka kini agaknya Jeng-hwa-pang condong kepada urusan politik seperti halnya Pek-lian-kauw, dan diam-diam mengadakan persekutuan dengan Raja Agahai di utara.
Thian Sin tidak mau sembarangan menyerbu ke dalam dan malam itu dia bersembunyi di dalam goa di sebuah bukit tak jauh dari sarang Jeng-hwa-pang itu. Baru pada keesokan harinya, setelah semalam suntuk dia berlatih siulian untuk mengumpulan hawa murni, dia berjalan dengan langkah lebar menuju ke pintu gerbang perkampungan Jeng-hwa-pang itu.
Udara pagi itu cerah, hawanya sejuk segar dan pemuda yang berusia tujuh belas tahun ini berjalan dengan langkah bebas, dadanya terasa lapang dan dia menghirup hawa udara yang bersih itu sampai sepenuh paru-parunya. Rasa lapar perutnya sudah lenyap oleh sarapan pagi berupa daging burung yang dijatuhkannya dengan sambitan batu kemudian dipanggang dagingnya di dalam goa.
Hatinya dan pikirannya dingin dan tidak sepanas kemarin sebelum dia membunuhi semua penjahat yang dapat disusulnya di tengah jalan. Kini dia dapat berpikir dengan jernih dan tidak terdorong oleh perasaan marah.
Dia akan membalas dendam kematian ayah bundanya, termasuk kematian Hwi Leng, dan membasmi musuh-musuh ayah angkatnya dengan pikiran yang jernih dan dingin, dengan perhitungan matang. Dia akan menghadapi lawan tangguh dan banyak, maka dia harus menggunakan kecerdikan dan tidak hanya menuruti perasaan dendam belaka.
Maka para penjaga pintu gerbang juga tidak menaruh curiga, hanya memandang heran ketika melihat munculnya seorang pemuda remaja yang sangat tampan, gagah dan sopan pada pagi hari itu di depan pintu gerbang. Tentu saja para penjaga telah menghadangnya dan memandang dengan penuh perhatian.
“Heiii, orang muda, siapakah engkau dan mau apa engkau berkeliaran sampai ke tempat ini?” tanya kepala jaga sambil memandang heran.
Dari pakaiannya, dia tahu bahwa pemuda remaja ini tentulah seorang berbangsa Han, dan dari pakaian dan sikap itu pula dia tahu bahwa pemuda ini bukanlah seorang penghuni dusun biasa, melainkan lebih patut kalau dia seorang pelajar yang halus budi.
Wajah yang ramah dan tampan itu tersenyum, lantas Thian Sin menjura dengan sikap hormat dan lemah lembut, sikap seorang pelajar tulen. “Harap cu-wi (anda sekalian) sudi memaafkan apa bila saya mengganggu. Akan tetapi saya memang sengaja datang untuk bertemu dengan yang terhormat para pimpinan Jeng-hwa-pang. Bukankah di sini adalah markas perkumpulan Jeng-hwa-pang yang terkenal dan besar?”
“Benar, akan tetapi mau apa engkau hendak bertemu dengan para pimpinan? Siapakah engkau?” Kepala jaga dan teman-temannya mulai memandang dengan sinar mata curiga.
“Nama saya Thian Sin dan saya perlu berjumpa dengan para pimpinan Jeng-hwa-pang yang terhormat karena ada sesuatu yang perlu saya sampaikan kepada mereka. Sudah lama sekali saya mendengar akan nama besar Jeng-hwa-pang, dan sudah lama saya amat mengagumi Jeng-hwa-pang. Sekarang, dengan girang saya berhasil tiba di markas Jeng-hwa-pang, maka saya harap cu-wi suka memberi kesempatan kepada saya untuk menghadap para pimpinan Jeng-hwa-pang untuk menyampaikan hal yang sangat penting itu.”
Kecurigaan para penjaga itu berkurang dan kepala jaga lalu memandang kepada pemuda remaja itu sambil tersenyum. “Orang muda, memang Jeng-hwa-pang merupakan sebuah perkumpulan yang besar sekali dan kuat. Akan tetapi tidaklah mudah bagimu untuk minta bertemu dengan para pimpinan. Apa bila ada urusan, sampaikan kepada kami maka kami akan melaporkan kepada pimpinan kami. Nah, kini katakanlah, urusan apa yang ingin kau sampaikan kepada pimpinan Jeng-hwa-pang?”
Thian Sin menggelengkan kepala. “Maaf, toako. Urusan ini menyangkut diri pribadi para pimpinan Jeng-hwa-pang dan saya hanya dapat mengatakannya kepada mereka sendiri. Urusan yang amat penting sekali.”
Para penjaga itu merasa penasaran akan tetapi juga semakin tertarik. Mereka tidak dapat marah karena sikap Thian Sin yang sopan dan baik serta ramah itu, terlebih lagi karena pemuda remaja ini mengaku datang dengan membawa berita yang sangat penting untuk disampaikan sendiri kepada para pimpinan mereka. Mereka tidak berani bersikap lancang atau ceroboh, karena siapa tahu pemuda ini benar-benar mempunyai urusan yang amat penting, maka, kalau benar demikian, tentu mereka akan menerima hukuman berat dari para pemimpin mereka apa bila mereka mengganggu pemuda ini.
“Baiklah,” akhirnya kepala jaga berkata. “Kau tunggulah di sini, biar kami melaporkannya dulu kepada pimpinan. Siapakah namamu tadi?”
“Nama saya Thian Sin…” Thian Sin tak mau memperkenalkan she-nya yang sebenarnya karena she Ceng tentu akan menimbulkan kecurigaan mereka berhubung dengan nama Ceng Han Houw, ayah kandungnya, yang tentunya sangat dikenal oleh mereka. Biarlah mereka mengira aku she Thian, pikirnya.
Dia harus berhati-hati, karena kalau dia memperkenalkan diri begitu saja lalu dikeroyok, maka tipislah harapannya untuk dapat membalaskan dendamnya terhadap para pimpinan Jeng-hwa-pang. Dia harus dapat membunuh para pimpinannya lebih dulu, karena untuk menghadapi anak buahnya amatlah mudah.
Sementara itu, Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam, tokoh Jeng-hwa-pang yang kini dapat dikatakan menjadi ketua Jeng-hwa-pang karena dialah yang sudah membangun kembali Jeng-hwa-pang yang telah dibasmi oleh mendiang Ceng Han Houw dan Cia Sin Liong itu, sedang duduk menghadapi sarapan pagi bersama dua orang pembantunya yang sangat diandalkannya, yaitu Kim Thian Sengcu dan Gin Thian Sengcu. Mereka bertiga sedang membicarakan pasukan Jeng-hwa-pang yang mereka utus ke dusun di daerah Lembah Naga untuk menjatuhkan hukuman kepada Loa Hwi Leng.
Ketua Jeng-hwa-pang ini menjadi marah sekali pada saat mendengar laporan Loa Song, kepala pasukan yang diperintahkannya untuk mengacau dusun dan yang pulang dengan lengan kiri buntung itu tentang dihajarnya pasukan itu oleh dua orang pemuda dari Istana Lembah Naga, dan mengenai pengkhianatan yang dilakukan oleh puteri Loa Song yang bernama Loa Hwi Leng.
Pasukan itu, ditambah dengan beberapa orang yang menjadi muridnya dan yang memiliki kepandaian cukup tinggi, lalu diutusnya untuk kembali ke dusun itu dan membunuh Loa Hwi Leng sebagai hukuman. Dengan perbuatan itu, maka pasukan ini diharapkan akan dapat memancing datangnya Pendekar Lembah Naga, yaitu musuh besarnya, ke markas Jeng-hwa-pang.
Pagi hari itu, dia bersama dua orang pembantunya sarapan pagi, sambil membicarakan pasukan yang mereka utus itu, karena menurut perhitungan, hari ini pasukan itu tentu tiba kembali.
Ketika datang laporan bahwa di luar ada seorang tamu, seorang pemuda ‘pelajar’ yang ramah dan sopan bernama Thian Sin hendak menyampaikan berita penting sekali kepada para pimpinan Jeng-hwa-pang, ketua Jeng-hwa-pang itu segera saling pandang dengan dua orang pembantunya. Sebagai orang-orang kang-ouw yang banyak pengalaman, tentu saja mereka tidak memandang rendah terhadap laporan adanya ‘pemuda pelajar’ itu dan mereka merasa curiga.
Akan tetapi dengan tenang Ciu Hek Lam cepat memberi perintah agar menyuruh pemuda itu masuk saja ke ruangan itu, di mana dia melanjutkan sarapan paginya bersama dua orang pembantunya. Membiarkan tamu masuk ke dalam jauh lebih menguntungkan dari pada menemui tamu di luar. Apa lagi tamunya hanya seorang pemuda remaja, yang tidak cukup pantas kiranya untuk disambut di luar.
Tidak lama kemudian, masuklah Thian Sin diantar oleh dua orang penjaga ke ruangan itu. Melihat tiga orang kakek duduk menghadapi meja santapan dan memandang kepadanya penuh perhatian, Thian Sin segera melangkah maju dan menjura dengan sikap hormat.
“Harap sam-wi locianpwe sudi memaafkan bila mana saya datang mengganggu sam-wi,” katanya dengan ramah dan sikap sopan sehingga begitu melihat wajah tampan dan ramah ini tiga orang kakek itu sudah merasa tertarik dan senang.
Diam-diam Thian Sin menyapu ketiga orang kakek itu dengan pandangan matanya. Dia melihat kakek yang duduk di kepala meja adalah seorang kakek yang usianya sudah tua, tentu ada tujuh puluh tahun, seorang kakek tinggi kurus yang mukanya pucat seperti tak berdarah, matanya sipit sekali dan jubahnya berwarna kuning. Dia pun menduga bahwa agaknya kakek inilah ketua Jeng-hwa-pang dan dugaannya memang benar karena kakek itu adalah Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam.
Kemudian dia juga memandang kepada dua orang tosu yang duduk di samping kakek pertama itu. Kim Thian Sengcu adalah seorang tosu berusia enam puluh tahun, tubuhnya kurus dan mukanya hitam, ada pun Gin Thian Sengcu, sute-nya, berusia dua tiga tahun lebih muda, tubuhnya gemuk dan bermuka kuning, wajahnya berseri.
Karena tamunya ini hanyalah seorang pemuda belasan tahun, maka tentu saja Tok-ciang Sianjin tidak bangkit dari tempat duduknya, melainkan tersenyum sambil berkata, “Orang muda, menurut laporan penjaga, engkau bernama Thian Sin dan datang hendak bertemu dengan pimpinan Jeng-hwa-pang! Nah, kini engkau sedang berhadapan dengan pimpinan Jeng-hwa-pang, katakan, apakah yang hendak kau sampaikan kepada kami?”
Thian Sin merasa jantungnya berdebar tegang, namun wajahnya masih tersenyum manis ketika dia bertanya. “Apakah saya sedang berhadapan dengan pimpinan Jeng-hwa-pang? Bolehkah saya mengetahui nama sam-wi locianpwe (tiga orang tua gagah) yang mulia?”
Karena pemuda itu mempunyai wajah yang amat tampan dan sikapnya juga amat sopan menyenangkan, Tok-ciang Sianjin mengelus-elus jenggotnya kemudian menjawab sambil tersenyum.
“Orang muda yang baik, ketahuilah bahwa aku adalah Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam, ketua Jeng-hwa-pang. Dan mereka ini adalah pembantu-pembantuku.”
“Pinto adalah Kim Thian Sengcu.”
“Pinto Gin Thian Sengcu.”
Dua orang tosu itu juga merasa amat tertarik dan suka kepada Thian Sin, maka mereka pun masing-masing memperkenalkan diri.
“Sekarang katakanlah, apa keperluanmu ingin berjumpa dengan kami,” Tok-ciang Sianjin bertanya mendesak.
“Sam-wi Locianpwe, sejak lama sekali saya telah mendengar nama besar dan kehebatan Jeng-hwa-pang sehingga saya merasa kagum bukan main dan baru hari ini saya memiliki kesempatan untuk menyaksikan dengan mata sendiri tentang kebesaran Jeng-hwa-pang. Terus terang saja, saya datang untuk mencari guru!”
“Ha-ha-ha-ha, engkau mencari guru? Maksudmu guru silat atau guru sastera?” Gin Thian Sengcu bertanya sambil tertawa. “Kalau mau belajar silat, tentu kau boleh masuk menjadi anggota Jeng-hwa-pang, akan tetapi kalau ingin belajar sastera… wah, siapa yang dapat mengajarmu?”
“Orang muda, apakah engkau ingin belajar silat?” Ketua Jeng-hwa-pang itu pun bertanya sambil tersenyum karena dia merasa suka sekali jika dapat mempunyai murid setampan ini.
“Memang benar, saya ingin mencari guru silat dan kabarnya Jeng-hwa-pang merupakan gudangnya jago silat yang lihai, maka saya mencari ke sini.”
“Ha-ha-ha, kalau begitu benar seperti yang dikatakan oleh Gin Thian Sengcu tadi, engkau boleh menjadi anggota Jeng-hwa-pang dan aku sendiri yang nanti akan melatihmu,” kata Tok-ciang Sianjin sambil mengelus jenggotnya. Bagi seorang kakek seperti dia, kini sudah agak jauh dari wanita, malah dia akan lebih senang berdekatan dengan seorang pemuda yang setampan dan sehalus itu.
“Terima kasih atas kebaikan locianpwe, akan tetapi saya telah mengambil keputusan ingin berguru kepada orang yang dapat mengalahkan saya dalam ilmu silat.”
Muka tiga orang kakek yang tadinya tersenyum-senyum itu tiba-tiba berubah dan mereka saling pandang karena timbul lagi kecurigaan hati mereka.
“Orang muda, apakah engkau pernah belajar silat?” tanya Tok-ciang Sianjin atau Dewa Bertangan Racun itu.
“Saya sudah belajar dari banyak guru silat, tetapi akhir-akhir ini banyak guru yang menipu, hanya hendak mencari uang saja tanpa mempunyai ilmu yang tulen. Oleh karena itu, saya tidak mau dikecewakan lagi, dan sekarang saya hanya akan berguru kepada orang yang dapat mengalahkan saya.”
Ketua Jeng-hwa-pang itu mengangguk-angguk. “Bagus, memang engkau sungguh cerdik. Biarlah kami juga hendak melihat sampai di mana tingkatmu sehingga lebih mudah untuk membimbingmu apa bila engkau belajar di sini.” Tok-ciang itu kemudian bertepuk tangan memanggil.
Para pengawal datang dan Tok-ciang lalu menyuruh panggil seorang murid tingkat empat dari Jeng-hwa-pang. Seorang murid datang, dan dia ini seorang pria yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, bertubuh tinggi tegap dan tampaknya kuat, gerak-geriknya gesit. Memang demikianlah, makin tinggi ilmu silat seseorang, maka makin tak kentara nampak pada dirinya, sebaliknya yang tingkat ilmunya masih rendah selalu ingin menonjolkan dan memamerkan diri dengan bermacam lagak, baik melalui langkah-langkahnya yang dibikin cepat dan gesit, mau pun melalui tonjolan-tonjolan uratnya dan sebagainya. Hanya sekali pandang saja maklumlah Thian Sin bahwa orang ini hanya mempunyai kekuatan otot saja dan tidak atau belum memiliki ilmu silat yang tinggi.
“Nah, Thian Sin, coba engkau hadapi murid Jeng-hwa-pang tingkat empat ini,” Tok-ciang berkata sambil tersenyum dan cara dia memanggil nama itu seakan-akan dia memanggil seorang murid saja.
Secara diam-diam Thian Sin merasa girang karena ternyata dia sudah dapat memperoleh kepercayaan dari ketua Jeng-hwa-pang ini. Sekarang dia akan dapat menghadapi mereka secara halus, dengan bertanding satu melawan satu sehingga akan lebih mudah baginya untuk dapat merobohkan ketiga orang ini tanpa harus menghadapi pengeroyokan banyak sekali orang.
“Baik, locianpwe,” katanya dan dia pun melangkah ke tengah ruangan yang cukup luas itu.
“Kau boleh merobohkan dia, akan tetapi jangan sekali-kali menggunakan pukulan maut,” pesan Tok-ciang kepada murid Jeng-hwa-pang itu. Kemudian sambil tersenyum dia juga berkata kepada Thian Sin. “Orang muda she Thian, kalau engkau sampai kalah, engkau tidak harus mengangkat dia menjadi guru, melainkan engkau akan menjadi muridku kalau memang kulihat engkau berbakat. Nah, mulailah kalian!”
Murid Jeng-hwa-pang itu sudah memasang kuda-kuda dengan gaya yang sangat gagah, dengan kedua kakinya memasang kuda-kuda terpentang setengah berjongkok, tangan kiri di depan dada dan tangan kanannya di depan pusar. Otot-otot kedua lengannya menonjol dan sepasang matanya memandang ke arah Thian Sin dengan sinar mata merendahkan.
Melihat ini, Thian Sin maklum bahwa sekali gebrakan saja dia akan mampu merobohkan bahkan membunuh lawannya, tetapi dia berpura-pura gentar dan memasang kuda-kuda biasa saja, kuda-kuda dengan kaki kanan di depan dan kaki kiri di belakang, kuda-kuda seorang yang baru belajar silat.
“Haiiiiitttttt…!”
Murid Jeng-hwa-pang itu mengeluarkan bentakan nyaring dan tubuhnya telah menyerang bagaikan seekor singa mengamuk. Dengan tenaga otot yang keras dia mengirim pukulan bertubi-tubi ke arah tubuh Thian Sin.
Pemuda remaja ini berpura-pura kewalahan dan terdesak, akan tetapi dia dapat mengelak ke sana-sini, membuat kakinya agak kacau sambil terhuyung, namun tak pernah pukulan lawan bisa mengenainya. Dia pun sambil mengelak balas memukul secara sembarangan saja, maka tentu saja pukulan-pukulannya dapat ditangkis atau dielakkan oleh lawannya. Terjadilah pertandingan yang seru karena agaknya kedua fihak sama kuat.
Pada saat ketua Jeng-hwa-pang melihat pemuda remaja itu mampu menghadapi murid ke empat dari Jeng-hwa-pang, biar pun kedudukan kakinya masih kurang kuat dan gerakan-gerakannya masih kaku, hati ketua ini cukup puas. Pemuda itu bukan seorang lemah dan dapat menjadi murid Jeng-hwa-pang yang baik, pikirnya.
Setelah lewat lima puluh jurus, Thian Sin pun merasa cukup. Apa lagi dia mulai tidak kuat menahan bau keringat lawannya sungguh melebihi bau cuka yang paling keras dan kalau dia tak bertahan, tentu dia sudah terbangkis-bangkis. Maka, pada saat lawannya kembali menyerang sambil mengeluarkan bentakan nyaring, dia telah siap sedia untuk mengakhiri pertandingan itu.
“Haiiii… ekkk…!”
Bentakan orang tinggi tegap itu terpaksa berhenti di tengah jalan karena perutnya kena disodok pukulan Thian Sin, ada pun pemuda itu membiarkan pukulan lawan menyerempet pundaknya sehingga membuat dirinya terdorong mundur sampai lima langkah akan tetapi lawannya telah berjongkok sambil menyeringai kesakitan, menekan-nekan perutnya yang menjadi mulas!
Terdengar Gin Thian Sengcu tertawa. Tosu ini memang berwatak gembira dan melihat murid tingkat empat itu menekan-nekan perut sambil menyeringai, maka dia tidak mampu menahan geli hatinya dan dia pun berkata, “Wah, usus buntumu terkena agaknya. Sudah, pergi sana, kau sudah kalah!”
Murid itu bangkit berdiri dengan kedua tangan masih menekan perut, lalu mundur dengan muka penuh keringat dingin.
“Bagus! Kau sudah menang, maka kau boleh menjadi murid Jeng-hwa-pang, Thian Sin!” kata Tok-ciang dengan girang. Biar pun gerakan pemuda itu masih kaku, namun jelas dia masih menang sedikit dibandingkan dengan murid tingkat ke empat tadi.
“Akan tetapi, locianpwe. Saya sudah mengambil keputusan hanya akan berguru bila saya telah dikalahkan,” kata Thian Sin dengan sikap bandel, bagai sikap seorang pemuda yang masih hijau dan bodoh.
“Hemm, mengapa engkau berkeras harus dikalahkan dulu? Bukankah dikalahkan itu tidak enak dan menyakitkan? Melawan murid tingkat ke empat tadi pun engkau sudah nyaris kalah dan hanya dapat menang dengan susah payah. Apa bila kami mendatangkan murid tingkat ke tiga, tentu engkau akan kalah.”
“Biarlah saya kalah, karena hanya kalau sudah kalah saya mau mengangkat guru,” jawab Thian Sin.
“Panggil saja murid tingkat ke tiga,” Kim Thian Sengcu memberi usul.
“Jangan,” kata Tong-ciang “Murid tingkat tiga meski pun dapat menang, akan tetapi tentu tidak mudah dan hal itu berbahaya bagi pemuda ini, mungkin dapat celaka kalau terkena pukulan yang terlampau kuat baginya. Sebaiknya suruh Lim Seng saja maju dan kalahkan dia dengan mudah agar Thian Sin yakin bahwa kepandaiannya masih jauh dan dia perlu berguru di tempat ini.”
Yang disebut Lim Seng adalah murid kelas pertama dari Jeng-hwa-pang, yang tentu saja mempunyai kepandaian yang sudah tinggi karena dia adalah murid dari ketua sendiri, dan kedudukannya hanya di bawah dua orang tosu pembantu itu. Lim Seng segera dipanggil dan seorang kakek berusia hampir lima puluh tahun tiba di tempat itu.
“Lim Seng, anak itu adalah calon muridku. Kau boleh mengujinya, dan boleh merobohkan dia, akan tetapi jangan sampai dia terluka parah apa lagi tewas. Ingat, dia adalah calon sute-mu yang termuda,” kata Ketua Jeng-hwa-pang itu kepada muridnya.
Lim Seng yang bertubuh tinggi kurus itu memandang kepada Thian Sin dan alisnya pun berkerut. Mengapa gurunya menerima seorang murid baru secara langsung seperti ini? Akan tetapi sesudah melihat betapa pemuda remaja itu amat tampan, dengan kulit halus putih seperti kulit wanita, dengan wajah yang berseri dan ramah, mengertilah dia dan dia pun tidak mau banyak cerewet lagi.
“Baik, suhu,” Dan dia pun menghampiri Thian Sin yang sudah berada di tengah ruangan itu. “Orang muda, kau jagalah dirimu baik-baik dan lihat, aku sudah mulai menyerangmu!” Berkata demikian, Lim Seng sudah melangkah maju lantas tangannya menampar dari kiri, dan tamparan ini mendatangkan angin pukulan yang cukup kuat.
Maka tahulah Thian Sin bahwa sekali ini dia menghadapi seorang lawan yang ‘berisi’, dan bukan pemamer otot seperti lawannya yang tadi. Cepat dia pun mengelak sambil kakinya melangkah mundur dan balas memukul ke arah dada lawan agar tampak bahwa dia pun telah melawan dengan ‘sungguh-sungguh’. Padahal seperti tadi, tentu saja dia pun hanya main-main saja, mengatur agar perlawanannya terhadap murid Jeng-hwa-pang itu terlihat seimbang!
Para murid Jeng-hwa-pang, sejak tingkat paling rendah, sudah mulai mempelajari racun yang merupakan keistimewaan dari perkumpulan itu, terutama racun bunga hijau. Akan tetapi, mereka itu hanya mulai mempelajari cara mempergunakan racun-racun itu, seperti dalam mencampurkannya dengan makanan, minuman, sebagai asap beracun atau bubuk beracun, atau cara merendam senjata dengan racun.
Bahkan sampai murid tingkat dua pun baru mempelajari cara penggunaan luar ini karena tingkat sinkang mereka dianggap belum cukup untuk mempelajari ilmu pukulan beracun dengan jalan merendam dan melatih tangan di dalam racun sehingga dapat dipergunakan untuk melakukan serangan dengan pukulan yang mengandung hawa beracun.
Akan tetapi Lim Seng, sebagai murid tingkatan pertama, atau boleh dibilang murid kepala dari Jeng-hwa-pang, tentu saja dia pun telah mempelajari ilmu pukulan beracun yang oleh ketuanya dinamakan Jeng-hwa-ciang (Tangan Bunga Hijau). Ilmu pukulan ini sangat lihai, karena sepasang tangan sudah dilatih secara bertahun-tahun direndam dalam sari racun bunga hijau. Jangankan tangan itu sampai berhasil mengenai sasaran tubuh lawan, baru hawa pukulannya saja sudah mampu meracuni lawan!
Dilihat dari tingkatnya ini, sesungguhnya Lim Seng sudah merupakan tokoh yang sangat lihai, tetapi karena dia dipesan oleh suhu-nya agar merobohkan pemuda tampan ini tanpa melukainya sampai parah apa lagi menewaskannya, maka dia bersilat dengan hati-hati dan tentu saja tidak mengeluarkan ilmu pukulan Jeng-hwa-ciang itu.
Betapa pun lihainya Lim Seng, dia bukanlah tandingan Thian Sin. Apa lagi dia tidak berani mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Andai kata dia mengeluarkan seluruh kelihaiannya sekali pun, mana mungkin dia melawan murid tersayang dari pendekar sakti Cia Sin Liong yang terkenal sebagai Pendekar Lembah Naga?
“Hyaaaattt…!” Tiba-tiba Lim Seng membentak dengan nyaring, kedua tangannya sudah menyerang dengan cepat sekali, tangan kanan menyambar ke arah telinga kiri lawan, ada pun tangan kiri mencengkeram ke arah pusar.
Serangan ini memang hebat dan cepat sekali, akan tetapi Thian Sin pun mengerti bahwa serangan yang nampak hebat itu hanyalah gertakan belaka dan maklum bahwa serangan susulanlah yang menjadi inti serangan lawan. Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu akan hal itu. Karena itu, melihat serangan kedua tangan lawan itu, cepat dia mengelak dengan melangkah ke belakang persis seperti yang dikehendaki oleh Lim Seng.
Melihat pemuda itu mengelak dengan kaget, Lim Seng tersenyum dan tiba-tiba saja kaki kanannya sudah menyambut dengan sapuan keras dan cepat. Sapuan kakinya itu tepat mengenai kedua kaki Thian Sin dan pemuda remaja ini pun terpelanting. Sebelumnya Lim Seng sudah dapat membayangkan betapa pemuda itu akan roboh terguling dan dia akan memperoleh kemenangan mudah, akan tetapi sungguh tak diduganya bahwa tubuh yang terpelanting itu dapat berjungkir balik membuat salto dua kali dan turun lagi ke atas tanah dengan ringan, bahkan lalu mengirim tendangan berantai kepadanya sehingga membuat dia terhuyung lantas berusaha menghindarkan diri dari tendangan-tendangan itu dengan mengelak dan berloncatan ke belakang. Dengan demikian, bukan Thian Sin yang roboh kalah, melainkan Lim Seng yang kena didesak!
Melihat ini, Tok-ciang Sianjin gembira bukan main, dan juga kagum. Bocah yang hendak menjadi muridnya itu ternyata hebat dan lincah sekali! Maka tahulah dia sekarang bahwa dia sudah mendapatkan seorang calon murid yang baik sekali, bukan hanya masih muda remaja dan amat tampan seperti wanita cantik, akan tetapi juga memiliki bakat yang amat menonjol dalam ilmu silat!
“Bagus…!” dia memuji kagum ketika melihat betapa sebuah tendangan kaki kiri pemuda itu berhasil mencium pangkal paha sebelah kiri Lim Seng, membuat murid pertama dari Jeng-hwa-pang itu terhuyung.
Pujian ini mengingatkan Thian Sin, sebab itu dia pun menahan diri dan membiarkan lawan mengirim serangan-serangan bertubi-tubi sehingga kini dialah yang didesak. Dia teringat bahwa dia tak boleh tergesa-gesa memenangkan pertandingan ini agar dia tidak dicurigai dan akhirnya dia pun bisa berhadapan dengan musuh-musuh besarnya itu secara leluasa, melalui pertandingan.
Terkena tendangan itu, walau pun tidak membuatnya menderita terlalu nyeri, akan tetapi membuat Lim Seng penasaran sekali. Belum ada sepuluh jurus namun dia sudah terkena tendangan balasan sebagai hasilnya menyapu kaki tadi!
Dengan demikian, keadaan mereka berdua masih sama kuatnya, belum ada yang roboh akan tetapi juga keduanya telah berhasil mengenai lawan masing-masing satu kali! Kalau dia tidak ingat pesan gurunya, tentu sudah dikeluarkan ilmu pukulannya yang beracun.
Agaknya Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam menjadi semakin tertarik ketika lewat tiga puluh jurus, pemuda remaja itu ternyata masih saja mampu menandingi murid kepala itu! Saking pandainya Thian Sin membawa diri, ketua Jeng-hwa-pang ini sampai tidak sadar betapa anehnya melihat pemuda yang tadi hanya mampu mengalahkan murid ke empat dengan selisih sedikit saja itu kini mampu menandingi murid utama sampai begitu lamanya! Begitu gembira dia sampai dia lalu berseru kepada Lim Seng, menganjurkan murid pertama ini untuk mempergunakan ilmu silat paling tinggi yang pernah diajarkannya kepada murid ini.
“Lim Seng, pergunakan jurus-jurus Hui-liong Sin-kun!”
Ilmu silat ini adalah hasil ciptaan Ciu Hek Lam sendiri dan melihat namanya saja Hui-liong Sin-kun (Silat Sakti Naga Terbang) dapat dibayangkan betapa hebatnya ilmu silat ini! Dan hati Lim Seng gembira sekali mendengarkan ucapan suhu-nya karena tadinya dia merasa ragu-ragu untuk mempergunakan ilmu simpanan itu, apa lagi karena ilmu itu mengandung daya serangan yang amat dahsyat, padahal dia tak berani untuk melukai murid baru yang agaknya disayang oleh gurunya itu.
Akan tetapi kini gurunya sendiri yang memerintahkan. Maka, andai kata sampai bocah itu terkena pukulan dahsyat dan terluka, gurunya tidak dapat menyalahkan dia!
“Baik, suhu!” jawabnya.
Tanpa membuang waktu lagi, dia pun lalu merubah gerakannya dan kini dia melakukan serangan yang amat keras dan dahsyat sehingga tiap kali lengannya bergerak memukul, didahului oleh angin pukulan yang berdesir dahsyat, sedangkan tubuhnya berloncatan ke atas seperti seekor naga yang hendak terbang ke langit!
Melihat ini, Thian Sin sengaja mengeluarkan seruan-seruan kaget dan membiarkan dirinya terdesak hebat, bahkan dia membiarkan dirinya terhuyung-huyung, seakan-akan gerakan lawan amat membingungkannya.
Ciu Hek Lam memandang dengan dua mata terbelalak. Dia memang menyuruh muridnya mempergunakan ilmu itu, bukan hendak mencelakai Thian Sin, melainkan dia sendiri juga merasa penasaran dan kagum, maka dia ingin tahu sampai di mana tingkat murid baru itu. Selain itu diam-diam dia pun merasa heran dan penasaran sekali, mengapa sampai sekarang dia belum juga mampu mengenal dasar ilmu silat yang dimainkan oleh pemuda remaja itu!
Sekarang pertandingan itu menjadi semakin hebat dan seru karena makin cepat Lim Seng bergerak, makin cepat pula Thian Sin mengimbanginya, dan anehnya, hal ini hanya terasa oleh Lim Seng, betapa makin besar dia mempergunakah tenaga, ternyata semakin besar pula tenaga bocah itu ketika menangkisnya! Dan dengan ilmu yang sangat diandalkannya ini, yaitu dengan Hui-liong Sin-kun, setelah melewatkan dua puluh jurus lagi, tetap saja dia belum mampu mengalahkan Thian Sin!
Sementara itu, mengingat bahwa sudah cukup lama dia mempermainkan lawannya, maka Thian Sin mulai mencari kesempatan untuk keluar sebagai pemenang. Sesudah dia tadi menghadapi serangan-serangan Lim Seng, dia segera tahu bahwa bila dia menghendaki, maka dalam beberapa jurus saja dia tentu dapat merobohkan lawan!
Dia lantas mempergunakan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang sengaja dia campur-campur dengan gerakan lain untuk menyembunyikan keaslian ilmunya, maka tidak mengherankan kalau ketua Jeng-hwa-pang itu tidak dapat mengenal ilmu silatnya. Andai kata dia terang-terangan mainkan Thai-kek Sin-kun sekali pun, belum tentu Tok-ciang mengenal ilmu itu, apa lagi kalau dicampur-campur seperti itu!
“Plakk!”
Pipi kanan Lim Seng ditampar oleh tangan Thian Sin, cukup keras sehingga terasa panas dan pipi itu menjadi merah kehitaman.
Tentu saja Lim Seng menjadi amat marah dan malu, sedangkan Tok-ciang dan dua orang pembantunya terbelalak keheranan. Murid kepala itu kena ditampar! Dan melihat betapa yang ditampar itu tidak roboh, dapat diketahui bahwa tenaga tamparan itu tidaklah besar, akan tetapi yang membuat mereka terheran, mengapa Lim Seng sampai kena ditampar? Padahal kalau melihat gerakan-gerakannya, jelas bahwa Lim Seng masih menang cepat dan menang kuat pula!
“Plakk!”
Kembali tamparan Thian Sin mengenai pipi Lim Seng sehingga kedua pipi orang itu kini menjadi merah dan bengkak! Bukan tamparan Thian-te Sin-ciang tentu saja, karena kalau Thian Sin menggunakan ilmu pukulan itu, sekali tampar saja tentu kepala itu akan pecah! Betapa pun juga, tamparan itu sudah cukup memanaskan, terutama sekali memanaskan hati dan inilah yang dikehendaki oleh Thian Sin. Lawannya menjadi marah bukan main.
Dengan suara menggereng hebat, Lim Seng memandang kepada lawannya dengan mata melotot. Dia merasa malu sekali, apa lagi karena secara diam-diam tempat itu sekarang ternyata telah penuh dengan murid-murid Jeng-hwa-pang yang merasa tertarik untuk turut menonton pertandingan itu. Dia dihina di hadapan gurunya, juga di hadapan banyak murid Jeng-hwa-pang!
Maka dengan kemarahan meluap-luap, dia menubruk ke depan dan menyerang Thian Sin dengan pukulan Jeng-hwa-ciang! Nama pukulan ini indah, yaitu Jeng-hwa-ciang (Tangan Bunga Hijau) akan tetapi sesungguhnya amat keji karena kedua tangan itu mengandung racun bunga hijau yang sangat jahat. Kedua tangannya berubah menjadi hijau warnanya dan begitu tangan menyambar, tercium bau harum bercampur amis menyambar ke arah kepala Thian Sin!
“Lim Seng, jangan kau bunuh dia!” Tok-ciang Sianjin berseru kaget melihat muridnya itu menggunakan pukulan beracun.
Akan tetapi seruannya itu terlambat sudah, karena pukulan telah dilakukan dengan amat dahsyatnya. Semua orang menyangka bahwa Thian Sin akan terkena pukulan itu, lantas akan roboh dan terluka hebat yang akan dapat disembuhkan oleh ketua Jeng-hwa-pang kalau belum mati oleh pukulan itu.
“Desssss…!”
Pemuda remaja itu terhuyung ke belakang, akan tetapi tubuh Lim Seng sendiri terlempar ke belakang lalu terbanting keras. Dia mencoba untuk bangkit, akan tetapi roboh lagi dan hanya dapat bangkit duduk kemudian mengeluh panjang pendek dan memegangi lengan kanannya yang ternyata menjadi salah urat dan menggembung di pergelangan tangannya. Agaknya keseleo.
Semua orang menjadi bengong, malah Tok-ciang juga terbelalak. Mana mungkin ini? Jelas bahwa muridnya menggunakan pukulan Jeng-hwa-ciang, akan tetapi kenapa hanya sekali tangkis saja muridnya malah terlempar dan pergelangan tangannya terkilir atau terlepas sambungan tulangnya? Ilmu apa yang digunakan oleh pemuda remaja itu dan mengapa pemuda remaja itu sama sekali tidak nampak terluka oleh hawa beracun dari Jeng-hwa-ciang?
Saat dia masih terheran-heran, lima orang pria berusia sekitar tiga puluh lima tahun sudah berloncatan ke depan dan melihat gerakan mereka yang sama dan teratur, dapat diduga bahwa mereka itu merupakan orang-orang yang berilmu tinggi. Dan mereka itu memang merupakan adik-adik seperguruan Lim Seng dan tingkat kepandaian mereka biar pun tak setinggi Lim Seng namun tidak berselisih banyak dan mereka berlima itu terkenal dengan ilmu silat bersama yang dinamakan Ngo-heng-tin, yaitu semacam ilmu silat berlima yang teratur dengan sangat baiknya.
“Suhu, biarkanlah teecu berlima menghadapinya!” kata orang pertama dari mereka.
Tok-ciang Sianjin memandang kepada Thian Sin, kemudian bertanya, “Thian Sin, apakah engkau tidak terluka?”
Thian Sin melangkah maju lantas menjura dengan hormatnya. “Saudara Lim tadi memang hebat dan sungguh baik hati sekali suka mengalah.”
“Thian Sin, engkau hebat dan aku suka menerimamu menjadi murid. Sudahlah, tak perlu diadakan percobaan lagi,” kata Ketua Jeng-hwa-pang itu, dan diam-diam merasa kagum sekali.
Thian Sin menggelengkan kepalanya. “Maaf, locianpwe. Saya tak biasa menarik kembali keputusan atau janji saya. Saya tidak akan berguru kalau belum dikalahkan.”
“Hemm, jadi apa bila aku ingin mengambilmu sebagai murid, aku harus mengalahkanmu lebih dulu?” Ketua Jeng-hwa-pang itu memandang tajam dan mengerutkan alisnya.
“Kalau locianpwe sudah mengalahkan saya, tentu dengan sepenuh hati saya akan tunduk kepada locianpwe dan tidak ragu-ragu lagi untuk mengangkat locianpwe sebagai guru.”
“Hemm, engkau sungguh berhati baja. Bagaimana jika aku kesalahan tangan dan dalam pertandingan membunuhmu?”
“Kalau sudah begitu, apa yang perlu disesalkan? Barangkali nasib saya saja yang buruk.”
Sementara itu, Lim Seng sudah mampu berdiri lagi. Dengan muka yang masih merah dan agak bengkak akibat tamparan-tamparan tadi, dan masih sambil memegangi pergelangan tangannya yang salah urat, dia lalu berkata, “Suhu, dia itu mencurigakan sekali!”
Akan tetapi Tok-ciang Sianjin yang sudah merasa suka kepada Thian Sin menghardiknya, “Masuklah dan obati tanganmu!”
“Suhu, biarlah teecu berlima mencobanya sebelum suhu sendiri turun tangan!” kata pula pimpinan dari Ngo-heng-tin.
Mendengar ini Tok-ciang Sianjin tersenyum dan mendapat pikiran baik. Dia masih belum percaya benar bahwa Thian Sin mampu mengalahkan Lim Seng karena ilmunya menang tinggi. Mungkin saja hanya karena kebetulan atau karena Lim Seng keliru menggunakan tenaganya.
Ngo-heng-tin adalah ilmu yang amat kuat, apa lagi dimainkan oleh lima orang. Jauh lebih kuat jika dibandingkan dengan kepandaian Lim Seng. Sedangkan dia sendiri tidak begitu gampang untuk melumpuhkan tin atau barisan itu pada waktu melatih mereka dan harus menghadapi Ngo-heng-tin yang diciptakannya sendiri itu. Sebab itu dia yakin bahwa kalau Ngo-heng-tin maju, tentu seorang pemuda remaja seperti Thian Sin tak akan berdaya dan sekali telah terkurung, maka tidak akan mampu melepaskan diri lagi sehingga tentu dapat diringkus dan dikalahkan.
“Thian Sin, sebelum menghadapi aku sendiri, cobalah kau hadapi Ngo-heng-tin dari lima orang muridku ini. Beranikah engkau?”
“Kalau locianpwe menghendaki, mengapa tidak berani? Saya datang untuk mencari guru yang pandai dan meyakinkan.”
Tok-ciang mengangguk-angguk lalu memberi isyarat dengan gerakan kepala, menyuruh kelima orang murid itu maju menghadapi Thian Sin. Pemuda ini tahu bahwa menghadapi pengeroyokan lima orang bukan hal yang boleh dipandang ringan, maka telah mengambil keputusan untuk memperlihatkan kepandaiannya yang sejati.
Lima orang anggota Ngo-heng-tin itu pun sudah berloncatan ke depan, kemudian dengan gerakan kaki lincah mereka segera berdiri mengurung Thian Sin dalam bentuk segi lima. Oleh karena namanya juga Ngo-heng-tin (Barisan Lima Unsur), maka mereka berlima itu mewakili kedudukan Air, Api, Angin, Kayu dan Logam.
Mereka bisa bergerak serentak dan saling membantu dan melindungi dengan baik sekali. Sesuai dengan isyarat yang diberikan oleh Tok-ciang, mereka berlima tidak mengeluarkan senjata dan hanya mempergunakan tangan kosong untuk mengalahkan pemuda remaja ini.
Lima orang anggota Ngo-heng-tin itu tidak membuang banyak waktu lagi. Setelah mereka mengurung, mereka langsung mulai melakukan penyerangan yang bertubi-tubi dan saling susul, saling bantu dengan kecepatan yang hebat! Thian Sin terkejut juga.
Biar pun dia sudah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, namun dia kurang pengalaman sehingga ketika mengalami pengeroyokan teratur dalam bentuk tin ini, dia menjadi kaget dan merasa kerepotan juga. Dia mengelak dan berloncatan ke sana-sini, mencoba untuk menerobos keluar, akan tetapi ke mana pun dia meloncat, tetap saja lima orang itu terus-menerus membentuk segi lima yang mengurungnya dan terus menyerangnya dari segala jurusan.
Selagi Thian Sin hendak mengeluarkan kepandaiannya untuk balas menyerang, tiba-tiba terdengar suara teriakan orang,
“Benar dialah itu! Dia adalah seorang di antara dua pemuda dari Istana Lembah Naga! Dialah yang membuntungi lenganku!”
Yang berteriak ini adalah Loa Song, anggota Jeng-hwa-pang yang dulu pernah memimpin orang-orang untuk membuat kekacauan di dusun daerah Lembah Naga, ayah tiri Hwi Leng yang lengan kirinya sudah buntung pada waktu melawan Thian Sin itu! Semua anak buahnya sudah turut bersama rombongan baru yang pergi menyiksa dan membunuh Hwi Leng dan Loa Song ini karena buntung lengannya dan masih dalam perawatan, maka dia tidak ikut.
Seperti kita ketahui, seluruh rombongan yang membunuh Hwi Leng itu dapat disusul oleh Thian Sin dan semuanya dibunuh oleh pemuda ini. Karena tidak ikut di dalam rombongan itulah maka Loa Song tidak ikut terbunuh. Tadi dia masih berada dalam kamarnya karena buntungnya lengan itu tidak hanya membuatnya merasa sakit badannya, akan tetapi juga membuatnya berduka sekali.
Ketika mendengar ribut-ribut bahwa ada seorang pemuda yang sedang dicoba oleh ketua Jeng-hwa-pang dan bahwa pemuda itu lihai bukan main, sudah mengalahkan Lim Seng, dia merasa curiga dan tertarik, lalu sambil menahan rasa sakit, dia keluar dari kamarnya untuk ikut nonton. Dapat dibayangkan betapa terkejut dan marahnya ketika dia mengenal pemuda itu, maka dia pun lalu berteriak.
Di lain fihak, ketika Thian Sin melihat siapa adanya orang yang berteriak itu, kemarahan membuat mukanya berubah menjadi merah. Inilah ayah tiri Hwi Leng yang jahat itu dan orang inilah yang menjerumuskan Hwi Leng sampai dara itu tewas.
“Ha-ha-ha, babi buntung, sekarang aku tidak dapat mengampunimu lagi!”
Tiba-tiba tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu dia sudah terlepas dari kurungan lima orang anggota Ngo-heng-tin yang tidak dapat berbuat apa-apa karena sekali berkelebat pemuda itu telah lenyap! Maka terdengarlah teriakan dan orang hanya melihat betapa tubuh Loa Song telah terlempar ke atas dan kedua kakinya tahu-tahu telah dipegang oleh Thian Sin!
Orang yang buntung lengan kirinya ini langsung berteriak-teriak minta tolong! Sedangkan Ngo-heng-tin cepat mencabut senjata masing-masing ketika ketua mereka sudah bangkit berdiri dan berteriak marah.
“Bunuh dia!” Tok-ciang marah sekali karena sama sekali dia tidak mengira bahwa pemuda remaja yang amat disuka dan dikaguminya itu ternyata adalah musuh besar, pemuda dari Istana Lembah Naga. Dia kecewa sekali dan menjadi marah bukan main!
Akan tetapi Thian Sin yang sudah marah itu kini tak mau berpura-pura lagi. Dengan tubuh Loa Song sebagai ‘senjata’ dia langsung menyerbu, memutarkan tubuh yang dia pegang kedua kakinya itu menyambut Ngo-heng-tin.....!