Pendekar Lembah Naga Jilid 53

Tak lama kemudian tampak kakek itu berjalan keluar sambil membawa sebuah peti hitam. Akan tetapi ketika dari tempat gelap kakek itu memandang wajah sute-nya dan melihat sinar mata sute-nya, tiba-tiba dia berhenti melangkah dan nampak terkejut.

Pada saat itu pula terdengarlah suara orang dari jauh, "Ouwyang locianpwe, kami datang memenuhi undangan!"

"Celaka, ada orang datang! Kita tunda dahulu urusan kita ini!" kata kakek itu dan bagaikan setan dia sudah menghilang lagi ke dalam goa yang gelap.

Dengan cepat Han Houw membalikkan tubuhnya memandang ke arah datangnya suara, akan tetapi orang yang datang belum nampak olehnya. Ia merasa ada angin menyambar dari dalam goa dan cepat dia menoleh. Kiranya suheng-nya telah berada di sampingnya.

"Dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang sudah datang, mari kita temui mereka lebih dulu!" kata Ouwyang Bu Sek.

Mendengar disebutnya dua orang ini, Han Houw terkejut dan wajahnya berseri karena dia teringat akan Lie Ciauw Si, wanita yang telah menjatuhkan hatinya itu, yang ditemuinya di rumah dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu sebelum dia pergi untuk menemui suheng-nya ini beberapa bulan yang telah lalu. Maka tanpa banyak cakap dia mengikuti suheng-nya, kembali menuju ke puncak, yaitu ke tempat pertapaan suheng-nya di mana banyak terdapat goa-goa itu.

Mereka tidak perlu menanti lama karena kembali terdengar suara, kini lebih dekat lagi dari tempat itu, "Ouwyang locianpwe, kami dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang sudah menghadap!"

Ouwyang Bu Sek lalu membuka mulutnya yang lebar, "Aku telah menunggu di sini, harap ji-wi pangcu naik saja dan jangan sungkan-sungkan!"

Dari bawah puncak tampaklah bayangan dua orang berlari naik dan dari gerakan mereka saja mudah diketahui bahwa kedua orang itu mempunyai kepandaian yang lumayan dan setelah dekat dengan Han Houw dapat mengenal dua orang itu. Mereka adalah Sin-ciang Gu Kok Ban dan Tiat-thouw Tong Siok, dua orang pimpinan dari perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang di kota Yen-ping.

Ketika dua orang gagah itu melihat Han Houw berada di situ, berdiri di samping Ouwyang Bu Sek, mereka terkejut, heran akan tetapi juga girang. Cepat mereka itu memberi hormat kepada pangeran yang telah dikenalnya baik itu. Akan tetapi kedua orang ini pun merasa khawatir juga karena mereka teringat bahwa bagaimana pun baiknya, pangeran ini adalah adik kaisar, dan mereka berdua ingat bahwa mereka telah melakukan kesalahan terhadap kerajaan ole karena melindungi dan menyembunyikan empat orang pendekar Cin-ling-pai yang menjadi buronan.

Saat melihat dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang gagah perkasa itu berlutut di hadapannya, Han Houw tersenyum dan mengangguk-angguk. Kemudian, dia menoleh kepada Ouwyang Bu Sek sambil berkata,

"Kalau suheng ada urusan dengan mereka, silakan."

Sejak tadi Ouwyang Bu Sek sudah melotot memandang kepada dua orang yang berlutut itu, kemudian dia membentak, "Kalian berdua berdirilah!"

Dua orang ketua itu lalu bangkit berdiri dengan sikap hormat, kemudian Sin-ciang Gu Kok Ban berkata, "Semalam locianpwe sudah mengundang kami berdua untuk datang ke sini, nah, kami sudah datang menghadap, tidak tahu ada urusan apakah locianpwe memanggil kami?"

Suara Ouwyang Bu Sek terdengar bengis pada saat dia membentak, "Ji-wi pangcu adalah orang-orang gagah dan sudah semenjak dulu Sin-ciang Tiat-thouw-pang terkenal sebagai perkumpulan orang gagah, maka harap suka bersikap jujur dan tidak membohong!"

Dua orang setengah tua yang gagah perkasa itu saling memandang, kemudian Tiat-thouw Tong Siok yang bertubuh tinggi besar, berkepala botak dan muka bopeng, menggerakkan sebatang toya besinya yang berat itu sambil menegakkan kepalanya, menjawab dengan suaranya yang besar,

"Ouwyang locianpwe harap jangan memandang rendah kepada kami. Belum pernah kami membohong, apa lagi bersikap tidak jujur!"

"Bagus, bagus! Nah, kalau begitu lekas katakan ke mana larinya Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw bersama isteri-isteri mereka?"

Seketika pucatlah wajah dua orang ketua itu. Mereka menatap wajah Ouwyang Bu Sek dan sejenak mereka tidak mampu menjawab.

"Kami... kami tidak tahu..." Akhirnya Sin-ciang Gu Kok Ban berkata.

"Ha-ha-ha-ha, sudah berbulan-bulan mereka tinggal di sarang Sin-ciang Tiat-thouw-pang, dan kini kalian menyatakan tidak tahu di mana adanya mereka. Aha, semenjak kapankah Sin-ciang Tiat-thouw-pang menjadi pelindung para pemberontak buronan?" kata kakek itu dengan nada mengejek.

Dua orang itu terkejut lantas keduanya otomatis memandang kepada Pangeran Ceng Han Houw. Pangeran muda itu pun memandang kepada mereka dengan sinar matanya yang demikian tajam mencorong sehingga amat menyeramkan. Maka kini jawaban yang keluar dari mulut Gu Kok Ban bukan lagi ditujukan kepada Ouwyang Bu Sek, melainkan kepada sang pangeran itu.

"Tidak, mereka bukan pemberontak atau buronan. Bagi kami mereka adalah orang-orang gagah perkasa, pendekar-pendekar budiman dari Cin-ling-pai!"

"Hemmm, dan sejak kapan kalian bersahabat dengan orang-orang Cin-ling-pai?" kakek itu mendesak dengan suara mengandung kemarahan.

Kini Tiat-thouw Tong Siok yang menjawab, "Ouwyang locianpwe, kami bersahabat dengan orang-orang gagah di dunia kang-ouw, siapakah yang boleh mengatur dan menentukan? Apa salahnya kalau kami bersahabat dengan mereka?"

Mata yang lebar itu makin terbelalak. "Hayo jawab, sejak kapan kalian bersahabat dengan orang-orang Cin-ling-pai?" Ouwyang Bu Sek mengulang pertanyaannya dan kini suaranya terdengar lambat-lambat penuh ancaman.

Sin-ciang Gu Kok Ban adalah seorang yang cerdik. Dalam saat terdesak itu dia segera memperoleh akal, maka dengan wajah tenang dia lalu menjawab, "Ouwyang locianpwe, ketahuilah bahwa kami menganggap keluarga Cin-ling-pai sebagai sahabat-sahabat baik sejak kami menerima pertolongan dari nona pendekar Lie Ciauw Si, cucu dari mendiang ketua Cin-ling-pai. Di antara empat orang itu, nyonya Yap Kun Liong adalah ibu kandung nona Lie Ciauw Si! Sesudah kami menerima budi Lie-lihiap yang pernah menyelamatkan kami, tentu saja kami menganggap keluarganya sebagai sahabat-sahabat kami." Ucapan ini tentu saja ditujukan kepada Pangeran Ceng Han Houw.

Ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini tentu saja dapat menduga bahwa ada hubungan cinta kasih mesra di antara pangeran itu dengan Lie Ciauw Si, maka dia sengaja menyinggung-nyinggung nama nona itu di depan sang pangeran, Dan benar saja, sepasang matanya yang berpengalaman itu sudah dapat melihat perubahan pada wajah pangeran itu ketika dia menyebut nama Lie Ciauw Si.

Akan tetapi Ouwyang Bu Sek langsung membanting kakinya yang telanjang. "Kalian telah bersahabat dan melindungi orang-orang Cin-ling-pai! Namun sebaliknya, aku memusuhi orang-orang Cin-ling-pai, mereka semua itu adalah musuh-musuh besarku! Dan karena kalian melindungi musuh-musuhku, berarti kalian juga menjadi musuhku!"

"Ouwyang locianpwe..."

"Hayo cepat katakan, di mana adanya keluarga Cin-ling-pai itu sekarang?"

"Kami tidak tahu, locianpwe, malah andai kata kami tahu juga, kami takkan mengatakan kepada siapa pun juga. Kami bukanlah semacam kaum pengkhianat yang suka membikin celaka orang-orang gagah, apa lagi kami telah berhutang budi. Lebih baik mati dari pada mengkhianati mereka!" jawab Gu Kok Ban dengan sikap gagah.

Kakek yang cebol seperti kanak-kanak itu berjingkrak marah. "Setan! Kalau begitu kalian sudah bosan hidup!" Kakek itu melangkah maju dengan sikap mengancam.

Dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu tentu saja sudah siap-siap untuk membela diri. Biar pun mereka maklum bahwa mereka berdua bukan tandingan kakek Ouwyang Bu Sek yang mereka tahu sangat lihai itu, namun tentu saja mereka tidak mau mati konyol begitu saja tanpa melawan. Sin-ciang Gu Kok Ban sudah melolos siang-kiam dari sarung pedangnya, lalu melintangkan sepasang pedang itu di depan dada, sedangkan Tiat-thouw Tong Siok juga sudah melintangkan toya besinya dengan sikap gagah.

"Bagus, ha-ha-ha, memang aku ingin melihat kalian melawan, aku tidak suka membunuh orang yang sama sekali tidak melawan!" Kakek cebol itu tertawa dan tiba-tiba tubuhnya sudah menerjang ke depan.

Tiat-thouw Tong Siok memapaki tubuh kakek cebol ini dengan toya besinya yang segera dihantamkannya ke arah kepala yang besar itu. Pukulan toyanya ini mendatangkan angin dahsyat dan jangankan hanya kepala orang, biar batu gunung yang keras pun pasti akan hancur bila mana tertimpa toya besi yang digerakkan dengan kekuatan gajah itu. Namun, kakek cebol itu sama sekali tak mengelak atau menangkis dan agaknya memang sengaja menerima hantaman toya itu dengan kepalanya yang besar den botak kelimis.

"Takkkk!"

Toya besi itu terpental, seakan-akan mengenai bola baja yang jauh lebih keras dari pada toya itu! Dan si cebol itu hanya terkekeh memperlihatkan mulutnya yang ompong dan dua buah giginya di bagian atas.

Tong Siok kaget dan juga penasaran, toyanya diputar lebih cepat dan mengirim serangan bertubi-tubi ke arah tubuh lawan. Terdengarlah suara bak-bik-buk seperti orang memukuli kasur yang dijemur ketika beberapa kali toya itu menghantam ke tubuh Ouwyang Bu Sek, akan tetapi kakek itu enak-enak saja dan setiap hantaman toya selalu membuat toya itu sendiri terpental!

"He-he-he, terima kasih untuk pijatan-pijatan itu, memang tubuhku beberapa hari ini agak pegal-pegal minta dipijati!" Ouwyang Bu Sek berkata.

Pada waktu toya itu terpental, Sin-ciang Gu Kok Ban langsung menerjang dengan siang-kiamnya. Nampak cahaya berkilat ketika sepasang pedang itu menggunting ke arah leher dan pinggang.

"Ehh... ohhh... pedangmu bisa merusak pakaianku!" Ouwyang Bu Sek berseru.

Tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas sehingga terbebas dari guntingan sepasang pedang itu, kemudian dari atas dia menukik dengan kepala di bawah dan dua kali dia membuang ludah.

"Cuhh! Cuhhh!" Dua sinar putih menyambar ke bawah cepat sekali.

Biar pun Sin-ciang Gu Kok Ban sudah mengelak, tetap saja pundaknya terkena ludah dan bajunya berlubang dan kulit pundaknya terasa nyeri sekali karena lecet dihantam air ludah itu! Hal ini tentu saja mengejutkan Gu Kok Ban yang cepat memutar sepasang pedangnya dibantu oleh Tong Siok yang menggerakkan toya besinya.

Terjadilah perkelahian yang amat hebat dan seru, akan tetapi juga lucu. Dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu bukanlah orang-orang sembarangan. Nama mereka sudah amat terkenal di dunia kang-ouw dan keduanya pun merupakan orang-orang pandai yang ditakuti karena memang mereka sudah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Namun, kali ini mereka berdua merasa dipermainkan oleh Ouwyang Bu Sek!

Biar pun keduanya memainkan senjata-senjata andalan mereka dan mengeroyok kakek cebol itu, namun si kakek cebol sama sekali tidak pernah terdesak, bahkan tertawa-tawa sambil mengelak ke sana-sini, kadang kala berloncatan seperti kera menari-nari, kadang-kadang menggelinding dan bergulingan ke sana sini, kemudian meloncat dan membalas dengan tangkisan atau tamparan-tamparan yang membuat dua orang lawannya itu repot karena setiap tangkisan tentu membuat senjata mereka langsung terpental ada pun setiap tamparan harus mereka elakkan karena tak mungkin ditangkis tanpa membahayakan diri mereka!

Sesudah lewat lima puluh jurus yang penuh dengan main-main di fihak Ouwyang Bu Sek, tiba-tiba kakek itu meloncat jauh ke belakang sambil berkata, "Nah, cukuplah bagi kalian sehingga kalian akan mati sebagai orang-orang gagah yang mempertahankan diri! Kini bersiaplah untuk mampus!"

Tiba-tiba saja tubuh pendek kecil itu lenyap berubah menjadi bayangan yang cepat bukan main. Dua orang ketua itu cepat menyambut bayangan ini dengan senjata mereka.

"Plakkk!”

“Wuuuttt...! Cring-cringgg!" Tahu-tahu toya besi itu sudah dirampas, demikian pula dengan sepasang siang-kiam itu!

Dengan lagak seperti anak kecil sedang main-main, Ouwyang Bu Sek saling mengadukan kedua pedang itu. Terdengar bunyi nyaring dan sepasang pedang itu patah menjadi empat potong lalu dilemparkan ke arah kaki Gu Kok Ban. Ada pun toya besi itu dia belit-belitkan ke lengan kirinya sampai melingkar-lingkar seperti ular, kemudian dilemparkannya pula di atas tanah, depan kaki Tong Siok. Kakek cebol itu lalu menyeringai, memandang mereka berdua yang berdiri dengan muka pucat.

"Heh-heh-heh, kalian masih tetap belum mau memberi tahu di mana adanya orang-orang Cin-ling-pai itu?" tanya Si Cebol yang amat lihai ini.

Dua orang ketua itu saling pandang, kemudian terdengarlah Gu Kok Ban berkata dengan tarikan napas panjang.

"Kami sudah kalah, mau bunuh lakukanlah!"

"Kami lebih baik mati dari pada mengkhianati mereka!" sambung Tong Siok.

Biar pun mereka sudah merasa kalah, namun keduanya masih memasang kuda-kuda dan siap untuk membela diri sampai napas terakhir.

"Hemm, tolol kalian! Kalau tidak mengingat kegagahan kalian, apakah sekarang ini kalian belum menjadi bangkai? Kalian masih berkeras, terpaksa aku orang tua minta kalian yang muda-muda mendahului aku untuk mati!" Ouwyang Bu Sek sudah mengepal dua tinjunya dan alisnya berkerut, sikapnya mengancam.

"Tidak ada pilihan lain bagi kami!" kata Gu Kok Ban dengan sikap gagah.

"Keparat, kalau begitu mampuslah!"

Kembali tubuh kakek itu menerjang dengan cepat bukan kepalang. Gu Kok Ban dan Tong Siok telah siap-siap untuk membela diri secara mati-matian, akan tetapi tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tubuh kakek cebol itu terhenti di tengah-tengah, malah terpental kembali ke belakang karena dorongan tangan Han Houw yang sudah menghadang.

"Suheng, jangan bunuh mereka!" teriak pemuda ini sambil bertolak pinggang dan berdiri di antara mereka menghadapi kakek cebol itu.

Sejenak Ouwyang Bu Sek memandang terbelalak kepada sute-nya itu. Sute-nya itu telah berani menentangnya, bahkan tadi mendorongnya sehingga dia terjengkang ke belakang! Hampir dia tidak dapat percaya akan hal ini! Pangeran itu yang telah diterimanya sebagai sute, yang telah dibimbingnya dengan susah payah untuk bisa menguasai ilmu-ilmu tinggi dari Bu Beng Hud-couw, kini berani mencampuri urusannya!

"Sute! Biar pun engkau seorang pangeran, tetapi engkau tidak boleh mencampuri urusan pribadiku!" bentaknya dengan penuh rasa penasaran melihat sikap sute-nya yang berdiri tegak dan tenang penuh keangkuhan itu.

"Bukan urusan pribadimu lagi, suheng!" Han Houw menjawab dengan tenang dan tegas, sikapnya penuh wibawa dan sepasang matanya mencorong, mengeluarkan cahaya aneh yang bahkan Ouwyang Bu Sek sendiri menjadi terkejut melihatnya. "Aku adalah seorang pangeran, karena itu tak mungkin aku membiarkan saja rakyatku dibunuh oleh siapa pun, termasuk engkau!"

"Eh, sute...!" Ouwyang Bu Sek hampir tak percaya sute-nya akan berani menentangnya, kemudian dia melanjutkan, "Ingatlah, justru karena engkau pangeran maka engkau harus tahu bahwa musuh-musuhku, yaitu orang-orang Cin-ling-pai itu, adalah musuh-musuhmu juga, musuh negara, pemberontak-pemberontak buronan!"

"Diam! Tentang pendirianku dalam menilai seseorang, tidak perlu dengan nasehatmu!"

"Sute! Bagaimana engkau berani blcara seperti itu terhadap aku? Aku suheng-mu, juga aku pembimbingmu..."

"Engkau seorang kakek tua bangka, dan aku pangeranmu, engkau harus taat kepadaku!" bentak Han Houw.

Kini marahlah Ouwyang Bu Sek. Selamanya belum pernah dia dihina orang seperti itu, apa lagi yang menghinanya itu adalah sute-nya, bahkan seperti juga muridnya sendiri!

"Keparat, engkau murid murtad! Hayo kembalikan semua ilmu yang pernah kau pelajari dariku! Aku harus membuntungi kedua tanganmu agar engkau tak dapat mempergunakan ilmu-ilmu itu!" bentak Ouwyang Bu Sek dan bagaikan seekor katak melompat, dia sudah menyerang Han Houw.

Hebat bukan main serangan Ouwyang Bu Sek ini! Dari kedua tangannya yang dipentang itu langsung menyambar hawa pukulan yang sangat dahsyat dan angin pukulan berputar menggerakkan daun-daun pohon, bahkan banyak pula daun pohon yang rontok, ada pun dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu terpaksa harus cepat-cepat mundur karena mereka merasakan sambaran angin yang dingin dan seperti dapat mengiris kulit mereka! Angin yang berputar ini mengelilingi Han Houw seakan-akan menutup semua jalan keluar pemuda ini yang dipaksa harus menghadapi serangan langsung dari kakek yang sakti itu.

Han Houw terkejut bukan main. Dia terlalu mengandalkan kepandaiannya sendiri sesudah dia berhasil menguasai ilmu-ilmu dari dalam kitab-kitab itu dan menyaksikan kedahsyatan serangan kakek itu, dia merasa ngeri juga. Cepat dia mempergunakan ginkang-nya untuk mengelak ke kiri, akan tetapi ‘pagar’ hawa pukulan itu menahannya dan terpaksa dia lalu menggerakkan kedua tangannya, mendorong ke depan menyambut kedua tangan kakek itu yang sudah bergerak menghantam ke depan.

"Dessss...!"

Pertemuan dua tenaga dahsyat ini membuat tubuh Ouwyang Bu Sek terpelanting ada pun tubuh Han Houw terlempar dan terjengkang ke belakang sampai beberapa kaki jauhnya! Dada pemuda itu terasa sesak, akan tetapi dia dapat segera melompat bangun kembali, lalu dengan kepala agak pening dia menghadapi kakek itu.

Ouwyang Bu Sek juga terbelalak karena tidak menyangka bahwa pemuda itu selain dapat menahan serangannya, bahkan sudah bisa membuat tubuhnya terpelanting, tanda bahwa pemuda itu sudah memperoleh tenaga dahsyat dan tidak kalah kuat olehnya! Tahulah dia bahwa pemuda ini sudah berhasil pula, seperti juga Sin Liong, mewarisi ilmu sakti dari Bu Beng Hud-couw. Dia merasa menyesal bukan main. Menyesal mengapa dia mempercaya pemuda bangsawan ini yang baru saja selesai belajar sudah berani menentangnya!

Kemarahan membuat wajah kakek itu menjadi merah sekali bagaikan udang direbus, dan kedua matanya yang lebar itu mengeluarkan sinar mengerikan, wajahnya menjadi berubah menyeramkan. Biasanya kakek ini tertawa-tawa dengan lucu jenaka, menganggap segala peristiwa seperti lelucon saja, akan tetapi sekali ini dia benar-benar marah sehingga sinar matanya mengandung ancaman maut bagi Han Houw.

"Sekarang aku akan membunuhmu!" bentaknya dan suaranya yang sedikit parau saking marahnya itu mengandung getaran dahsyat hingga membuat dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang menggigil.

Dua orang ketua yang gagah perkasa ini masih berdiri di situ seperti patung, tidak kuasa untuk bergerak karena merasa tegang dan khawatir terhadap pangeran itu, juga mereka merasa terheran-heran bagaimana pangeran ini tiba-tiba menjadi sute kakek sakti itu, dan sekarang bahkan berani pula menentang suheng-nya. Mereka merasa bahwa sepatutnya mereka membantu pangeran itu untuk mengeroyok Ouwyang Bu Sek, akan tetapi karena pertentangan itu adalah urusan antara suheng dan sute, berarti merupakan urusan dalam kekeluargaan perguruan mereka, tentu saja mereka tak berani lancang mencampuri, apa lagi sekarang mereka pun tahu bahwa kakek itu luar biasa lihainya dan bahwa kalau tadi dikehendaki, maka dalam beberapa jurus saja mereka tentu sudah roboh dan tewas, oleh karena itu bantuan mereka pun takkan banyak gunanya. Maka, mereka kini hanya berdiri memandang saja dengan hati penuh ketegangan.

Dapat dibayangkan betapa ngeri rasa hati mereka ketika mereka melihat kakek cebol itu sudah mengangkat sebongkah batu gunung yang besar sekali, kemudian dengan gerakan dahsyat kakek itu sudah menerjang maju dan menimpakan batu sebesar gajah itu ke arah kepala sang pangeran yang masih tetap berdiri dengan sikap tenang. Mereka terbelalak dan membayangkan betapa tubuh pangeran itu akan remuk-remuk, karena selain batu itu besar dan amat berat, juga ditambah lagi dengan tenaga kakek itu yang amat kuat.

"Blarrrrr...!"

Debu mengepul tebal sehingga menutupi pandangan mata. Setelah debu lenyap, nampak oleh dua orang ketua itu bahwa batu besar itu sudah hancur berantakan, akan tetapi sang pangeran masih tetap berdiri tenang seperti tadi! Ternyata hantaman batu besar itu telah disambut dengan pukulan kedua tangannya yang menghancurkan batu!

Hampir saja kedua orang itu bersorak saking gembira dan kagumnya. Mereka tahu bahwa pangeran ini memang seorang pemuda yang lihai, akan tetapi sama sekali mereka tidak pernah membayangkan bahwa pemuda itu ternyata adalah sute dari Ouwyang Bu Sek dan memiliki kehebatan seperti itu!

Kini Ouwyang Bu Sek menjadi makin marah. Banyak batu-batu dilontarkan dan ditendang ke arah sute-nya, akan tetapi dengan sikap sangat tenang Han Houw memapaki semua serangan batu-batu besar itu, baik dengan tendangan atau pun hantaman dua tangannya sehingga batu-batu itu ada yang pecah berantakan ada pula yang terlempar kembali ke arah penyerangnya. Kemudian dengan lengking parau yang menggetarkan, Ouwyang Bu Sek menerjang ke depan, mulai menyerang dengan pukulan-pukulan beruntun dari kedua tangannya yang pendek namun yang mendatangkan desir angin bercuitan mengerikan.

Han Houw juga bergerak dan pemuda ini mainkan ilmu sliat yang aneh, dengan langkah-langkah panjang dan kedua kaki ringan sekali sebab dia hanya menggunakan ujung-ujung jari kakinya untuk melangkah, dengan tumit terangkat bagaikan seorang penari. Gerakan-gerakannya aneh, tetapi selalu dapat membawa tubuhnya terhindar dari pukulan-pukulan kakek itu, bahkan dia pun lalu membalas dengan pukulan-pukulan yang berupa tamparan-tamparan dengan lengan dilengkungkan. 

"Bukk! Bukk!"

Dua kali kedua tangan pemuda itu tepat mengenai sasaran, pukulan pertama mengenai lambung dan pukulan kedua mengenai dada. Akan tetapi kakek itu agaknya sama sekali tidak merasakan pukulan itu, padahal Han Houw telah mengerahkan tenaganya memukul tadi! Tentu saja Han Houw terkejut bukan main dan barulah dia tahu bahwa suheng-nya itu memiliki ilmu kekebalan yang amat luar biasa dan dapat diandalkan.

Ouwyang Bu Sek malah tertawa mengerikan ketika menerima pukulan-pukulan itu dan dia menubruk ke depan. Han Houw yang agak terperanjat ketika melihat pukulannya seperti tak terasa oleh lawan, menjadi gugup sehingga kurang cepat bergerak, maka pundaknya kena disambar. Hanya keserempet saja, namun akibatnya membuat dia terpelanting dan pundaknya terasa nyeri bukan kepalang, hingga menyusup ke tulang-tulang rasa nyeri itu! Namun, dia sudah dapat meloncat memperbaiki kedudukannya sehingga desakan kakek itu dapat dipatahkannya.

Han Houw memainkan ilmu silat yang dilatihnya dari kitab pertama, ilmu silat aneh yang dimainkan dengan sepasang kaki berdiri di atas jari-jari kaki dengan tumit terangkat, dan karena kitab-kitab itu masih belum memiliki nama, maka Han Houw memilih sendiri dan menamakan ilmu silat ini Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Menalukkan Naga), sebab dia menganggap dirinya lebih lihai dari pada naga!

Dialah Pendekar Lembah Naga, dan teringat akan Sin Liong yang namanya berarti Naga Sakti, maka dia pun memilih nama itu untuk ilmu silatnya yang baru, tentu saja dengan maksud supaya ilmu ini dapat mengalahkan Sin Liong! Dari kitab ke dua dia memperoleh ilmu bersemedhi dan melatih pernapasan untuk mengumpulkan tenaga sakti, dan dari kitab ke tiga dia mendapatkan ilmu yang aneh, yang dimainkan dengan kepala di bawah, dan dia memberi nama Hok-te Sin-kun (Ilmu Silat Membalikkan Bumi) kepada ilmu ini.

Dengan ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang dia sudah menghadapi suheng-nya itu selama lima puluh jurus dan ilmu ini ternyata cukup tangguh sehingga dengan ilmu ini dia selalu dapat menghindarkan semua serangan Ouwyang Bu Sek. Akan tetapi semua pukulannya yang mengenai tubuh lawan tidak mampu membuat lawannya roboh, bahkan agaknya kakek itu tidak merasakan sama sekali! Dan dia malah terancam, karena dia tahu bahwa dalam hal tenaga sinkang, dia masih kalah jauh dan sekali dia terkena pukulan yang tepat, dia akan roboh!

Maka dicarinyalah akal, dan pemuda bangsawan yang cerdik ini mendadak meloncat jauh ke belakang sambil berseru, "Tua bangka, kalau engkau berani hayo kau kejar aku!"

Ouwyang Bu Sek sudah hampir tidak dapat menahan kemarahannya. Sampai lima puluh jurus dia tidak mampu merobohkan sute-nya ini! Sungguh sebuah hal yang mengejutkan dan memalukan sekali, apa lagi pertandingan itu ditonton oleh dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang! Rusaklah nama besarnya, apa lagi kalau didengar oleh Lam-hai Sam-lo yang menjadi musuh lamanya, tentulah dia akan ditertawakan karena ketololannya, yaitu selain menerima sute yang durhaka, juga kini malah tidak mampu mengalahkan sute-nya sendiri itu!

Maka, begitu pangeran itu melarikan diri, tanpa banyak cakap lagi dia sudah melakukan pengejaran! Mereka berdua itu bergerak cepat sekali hingga sebentar saja mereka telah lenyap dan hanya nampak bayangan mereka berkejaran ke puncak bukit di sebelah barat.

Gu Kok Ban dan Tong Siok saling pandang, menghapus keringat dingin dan mereka itu merasa tertarik sekali. Tanpa bicara mereka seperti sudah tahu dan keduanya pun lalu lari mengejar pula sebab mereka ingin sekali melihat bagaimana kesudahan dari pertandingan yang amat seru dan hebat itu.

Ketika dua orang itu tiba di atas puncak di tepi sebuah jurang yang amat dalam, mereka melihat pangeran itu sudah bertanding lagi dengan sangat seru dan hebatnya melawan kakek cebol itu. Dua orang ketua itu melongo saking herannya melihat cara pangeran itu bersilat karena kini pangeran itu sudah berdiri jungkir balik dengan kepala di bawah dan kedua kakinya di atas! Kedua kakinya itu melakukan gerakan tendangan dan tangkisan, dibantu oleh kedua tangan dari bawah yang menyerang ke arah kaki dan perut Ouwyang Bu Sek.

Itulah ilmu silat aneh yang diberi nama Hok-te Sin-kun (Silat Sakti Membalikkan Bumi) oleh Han Houw. Dan memang ilmu ini aneh dan dahsyat bukan kepalang. Setelah dalam keadaan jungkir balik seperti itu, ternyata tenaga yang keluar dari kaki mau pun tangan pangeran itu jauh lebih besar dari pada tadi sehingga Ouwyang Bu Sek sendiri merasa amat terkejut karena setiap kali tangannya bertemu dengan kaki pemuda itu, dia merasa tubuhnya tergetar hubat. Namun, biar dia lebih sering menerima tendangan aneh dari kaki yang berada di atas itu, dengan mengandalkan kekebalannya yang luar biasa, dia selalu dapat menahan diri sehingga tidak sampai terluka, biar pun kini kekuatan aneh dari kedua kaki itu dapat membuatnya terhuyung, bahkan kadang-kadang terpelanting.

Perkelahian itu seru bukan kepalang. Terdengar kakek tua renta itu telah terengah-engah karena dia merasa lelah sekali. Betapa pun juga, dia harus mengakui bahwa sute-nya ini mempunyai ilmu-ilmu aneh dari kitab-kitab yang hanya dia ketahui teorinya belaka, namun dia sama sekali tidak pernah ikut melatih ilmu itu sehingga sekarang pada saat sute-nya menggunakan ilmu-ilmu itu untuk menyerangnya, dia menjadi repot sekali. Lebih dari itu, usianya yang amat tua membuat daya tahannya telah banyak berkurang, terutama sekali napasnya.

Dia sudah mandi keringat dan napasnya memburu sedangkan sute-nya itu masih segar dan serangan-serangannya semakin hebat saja. Akan tetapi, dengan mengandalkan ilmu kekebalannya, kakek itu masih terus dapat mendesak Han Houw dan sudah beberapa kali pemuda ini terkena pukulannya sehingga pemuda itu pun menderita luka-luka yang biar pun tidak berbahaya namun cukup membuat gerakannya semakin lemah.

Setiap pukulan pemuda itu tidak mendatangkan bahaya bagi kakek cebol yang terlindung kekebalan hebat itu, sebaliknya pukulan kakek itu selalu membuat Han Houw menderita. Karena itu, apa bila dilanjutkan agaknya Han Houw yang akhirnya akan harus mengakui keunggulan lawan.

Hal ini pun diketahui dengan baik oleh pangeran itu sebelum dia melarikan diri ke puncak ini tadi. Maka pangeran yang cerdik itu sengaja memancing suheng-nya sehingga mereka mengadakan pertempuran di tepi jurang yang amat dalam, di mana tadi dia menyebarkan robek-robekan kitab terjemahannya. Semenjak tadi dia memang sudah mengatur siasat dan tidak cepat-cepat menjalankan siasatnya itu agar kakek itu lengah.

Sesudah di tempat ini mereka melakukan perkelahian mendekati seratus jurus lamanya, barulah diam-diam Han Houw menanti kesempatan baik. Dengan ilmu silat aneh Hok-te Sin-kun, dia masih terus melakukan perlawanan dan diam-diam dia mendesak kakek itu mendekati jurang.

Sesudah memperhitungkan dengan matang, tiba-tiba terdengar pemuda itu mengeluarkan seruan lengkingan panjang dan menggetarkan, sehingga dua orang ketua dari Sin-ciang Tiat-touw-pang yang menonton sambil bersembunyi di balik batu terkejut bukan main dan otomatis mereka cepat menutupi dua telinga dengan telapak tangan sambil memandang dengan mata terbelalak.

Dan tiba-tiba saja tubuh yang berjungkir balik dari pangeran itu membuat loncatan kilat ke samping! Dengan gerakan indah, kakinya meluncur dan selagi tubuhnya masih melayang, kaki kirinya menendang secepat kilat, tepat mengenai dada Ouwyang Bu Sek yang berdiri membelakangi jurang.

"Blukkk!"

Kaki itu mengenai dada sedemikian kerasnya sehingga tubuh kakek itu terjengkang.

"Hukkkk...! Crotttt...!"

Dari mulut kakek yang terbuka itu menyembur darah segar. Kakek itu terkejut dan dengan tubuh terjengkang dia menggunakan kakinya yang pendek dan telanjang untuk melangkah mundur dan tentu saja tubuhnya terguling ke belakang karena kakinya menginjak tempat kosong. Terdengar teriakan mengerikan dan menyayat hati ketika tubuh kakek cebol itu melayang ke dalam jurang yang luar biasa dalamnya itu.

Han Houw cepat lari mendekati tepi jurang dan menjenguk ke bawah. Dia masih sempat melihat tubuh suheng-nya itu sudah terbanting ke dasar jurang, terguling-guling makin ke bawah, lalu diam menelungkup. Walau pun dari tempat yang tinggi itu tidak dapat dilihat jelas, namun tak dapat disangsikan lagi bahwa tubuh itu tentu telah remuk-remuk terjatuh dari tempat setinggi itu.

Han Houw menarik napas lega. Baru terasa olehnya betapa seluruh tubuhnya sakit-sakit sebagai akibat hantaman-hantaman yang telah diterimanya dalam perkelahian yang amat seru itu tadi.

"Pangeran, kepandaian paduka sungguh amat hebat mengagumkan!"

"Dan hamba berdua berterima kasih atas pertolongan paduka tadi."

Han Houw lantas membalikkan tubuhnya memandang. Dua orang ketua itu telah berlutut menghadapnya dengan sikap sangat hormat dan memandang dengan penuh kekaguman. Sejenak dia merasa bangga sekali. Memang patut dibanggakan bahwa dia telah berhasil mengalahkan Ouwyang Bu Sek yang dianggap orang sebagai manusia sakti sukar dicari tandingannya, malah Lam-hai Sam-lo sendiri pun pernah dikalahkan oleh kakek itu. Akan tetapi tiba-tiba dia mengerutkan alisnya, lalu dia melangkah maju.

"Gu-pangcu dan Tong-pangcu, berdirilah, aku ingin bertanya kepada kalian."

Dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu bangkit berdiri dan memandang pangeran itu dengan wajah berseri dan penuh kagum. Mereka sama sekali tidak menduga, bahkan hampir tidak dapat percaya betapa seorang pemuda bangsawan seperti ini sudah berhasil mempunyai ilmu kepandaian sehebat itu sehingga sanggup mengalahkan seorang datuk persilatan seperti Ouwyang Bu Sek.

Setelah dua orang itu berdiri di depannya, Han Houw lalu bertanya, "Bagaimana kabarnya dengan nona Lie Ciauw Si? Di manakah dia sekarang?"

Berserilah wajah dua orang ketua itu. Memang mereka sudah dapat menduga apa yang terjadi antara pangeran yang tampan ini dengan pendekar wanita muda yang cantik itu.

"Sudah lama hamba tak berjumpa dengan Lie-lihiap, pangeran. Akan tetapi yang terakhir hamba mendengar bahwa Lie-lihiap hendak pergi ke kota raja untuk mencari dan ingin menghadap paduka," kata Gu Kok Ban sambil tersenyum.

Senang hati Han Houw mendengar kata-kata ini, kemudian dia bertanya, "Dan benarkah seperti yang dikatakan oleh Ouwyang Bu Sek bahwa empat orang pendekar Cin-ling-pai bersembunyi di tempat kalian?"

Mendengar pertanyaan ini, hati dua orang itu sangat terkejut. Akan tetapi ketika mereka memandang wajah pangeran itu, nampak pangeran itu bersikap biasa saja, tidak terlihat marah sehingga hati mereka menjadi besar kembali.

"Memang benar, pangeran. Untuk beberapa bulan mereka menjadi tamu hamba, karena isteri dari Cia Bun Houw taihiap sedang mengandung dan setelah melahirkan, mereka itu lalu pindah."

"Tidak tahukah kalian bahwa mereka adalah orang-orang yang dianggap pemberontak-pemberontak yang menjadi buruan pemerintah?"

Gu Kok Ban memandang kepada Tong Siok dengan muka pucat, namun kemudian dia menghadapi pangeran itu sambil berkata cepat, "Hamba tahu... akan tetapi sesungguhnya mereka itu bukanlah pemberontak, pangeran. Justru untuk inilah maka Lie-lihiap pergi ke kota raja untuk menghadap paduka, untuk mohon kebijaksanaan paduka untuk menolong empat orang pendekar itu supaya terbebas dari tuduhan memberontak. Mereka itu hanya difitnah, sebab semua orang kang-ouw pun tahu belaka betapa semenjak dulu, semenjak ketua Cin-ling-pai mendiang pendekar sakti Cia Keng Hong, Cin-ling-pai merupakan suatu perkumpulan orang-orang gagah yang selalu membantu pemerintah dalam membasmi para pemberontak."

Disebutnya nama Lie Ciauw Si membuat wajah Han Houw kembali nampak berseri-seri sehingga melegakan hati kedua orang itu. Kini dengan suara halus Han Houw bertanya, "Sekarang di manakah adanya empat orang pendekar itu?"

Kembali Gu Kok Ban memandang dengan hati khawatir. "Pangeran... seorang di antara mereka adalah... ibu kandung dari Lie-lihiap..."

Han Houw mengerutkan alisnya dan berkata tidak sabar. "Aku tahu, dan aku pun bertanya untuk pergi menemui mereka secara baik-baik agar bisa mengusahakan kebebasan untuk mereka..."

"Ahh, terima kasih, pangeran...!" Mereka berdua berkata dengan girang sekali.

"Katakanlah, di mana adanya mereka kini?"

"Tadinya mereka meninggalkan tempat hamba untuk pindah ke dalam sebuah dusun di lereng sebuah bukit, tidak jauh dari tempat kami. Akan tetapi, entah bagaimana, sebulan kemudian ada pasukan menyerbu tempat mereka sehingga mereka itu terpaksa kembali melarikan diri lagi...," ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu kelihatan berduka.

"Ke mana mereka melarikan diri? Di mana mereka sekarang?"

"Tadinya hamba juga tidak mengetahuinya, pangeran. Akan tetapi dari para penyelidik, yaitu para anggota yang hamba suruh mencari keterangan, hamba..."

"Suheng...!" Tiba-tiba saja terdengar Tong Siok memanggil kakaknya dengan nada suara memperingatkan sehingga Gu Kok Ban tidak berani melanjutkan keterangannya, namun memandang kepada pangeran itu dengan keraguan yang mulai timbul.

Han Houw mengerutkan alisnya, lantas menoleh kepada Tong Siok, sepasang matanya mencorong mengeluarkan sinar berkilat.

"Ji-wi pangcu! Apakah kalian masih tak percaya kepadaku? Aku telah membunuh suheng sendiri karena dia memusuhi mereka! Aku ingin melindungi ibu kandung nona Lie Ciauw Si!"

Dua orang ketua itu saling pandang, kemudian Gu Kok Ban melanjutkan keterangannya, sekarang tak peduli lagi akan pandangan mata sute-nya yang masih merasa khawatir itu. "Menurut keterangan dari para penyelidik, mereka melarikan diri ke Propinsi Ce-kiang dan tinggal di kota Bun-cou..."

Tiba-tiba sepasang mata Gu Kok Ban terbelalak lebar, mukanya pucat melihat sepasang mata yang mencorong aneh itu dan begitu tangan Han Houw bergerak memukul, Gu Kok Ban yang mencoba menangkis itu masih tidak mampu menghindarkan hantaman itu.

"Desss...!"

Dadanya terpukul dan tubuhnya terlempar ke dalam jurang. Teriakannya yang menyayat hati bergema sampai lama ketika tubuhnya melayang turun ke bawah seperti yang dialami oleh Ouwyang Bu Sek tadi.

Wajah Tong Siok berubah menjadi pucat sekali, akan tetapi perlahan-lahan kulit mukanya yang bopeng itu berubah merah, matanya mengeluarkan sinar kebencian dan telunjuknya menuding ke arah muka Han Houw, "Kau manusia iblis berhati keji, ternyata kecurigaanku benar, engkau adalah seorang manusia laknat! Engkau bukan hanya membunuh suheng sendiri, akan tetapi juga membunuh suheng-ku dan hatimu palsu. Orang macam engkau ini kelak akan menjadi hantu neraka...!"

Han Houw tersenyum. "Engkaulah yang lebih dulu akan pergi ke neraka!" katanya sambil melangkah maju hendak memukul.

Akan tetapi Tiat-thouw Tong Siok sudah nekat, karena itu dia sudah mendahului gerakan pangeran itu. Sambil berteriak dahsyat dia lalu menerjang ke depan dengan kepala lebih dahulu, seperti seekor lembu jantan yang marah menyerang harimau.

Serudukan kepala ini tak boleh dipandang ringan, sebab ini merupakan serangan andalan ketua nomor dua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini. Julukannya adalah Tiat-thouw atau Si Kepala Besi dan serudukan kepalanya itu dapat menghancurkan batu!

Namun Han Houw yang percaya akan kepandaian dan kekuatannya sendiri tidak menjadi gentar, bahkan tidak mengelak melainkan tetap berdiri tegak sambil tersenyum mengejek, kemudian tangan kirinya meluncur ke depan, menyambut kepala botak yang menyeruduk ke arah perutnya itu.

"Desss...!"

Terdengar suara keras seperti benda keras pecah, kemudian tubuh Tiat-thouw Tong Siok itu terlempar ke belakang dan langsung melayang turun ke dalam jurang dengan kepala retak-retak sehingga sebelum tubuhnya terbanting di dasar jurang, dia sudah tewas dan tidak terdengar jeritan mengerikan ketika dia terpelanting itu.

Sejenak Pangeran Ceng Han Houw berdiri dan memandang ke bawah jurang. Dia tidak merasa menyesal telah membunuh tiga orang itu. Pertama, dia memang ingin membunuh Ouwyang Bu Sek untuk menguasai kitab-kitab peninggalan Bu Beng Hud-couw itu. Ke dua, dia harus membunuh dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang karena mereka ini sudah menyaksikan betapa dia sudah membunuh suheng sendiri sehingga kelak mereka dapat menyebar berita yang sangat tidak baik untuknya itu ke dunia kang-ouw, dan selain dari itu, dua orang itu telah memperlihatkan sikap tidak setia kepada pemerintah sehingga berani melindungi orang-orang buruan pemerintah. Mereka itu patut dihukum!

Setelah merasa yakin bahwa tiga tubuh yang rebah di dasar jurang itu sudah tewas dan tidak bergerak-gerak lagi, Han Houw baru membalikkan tubuhnya, meninggalkan puncak bukit itu menuju ke goa di mana Ouwyang Bu Sek menyimpan peti hitam tempat tiga buah kitab yang ingin diambilnya agar jangan sampai terjatuh ke tangan orang lain itu.

Goa yang besar dan gelap itu nampak menyeramkan, seolah-olah di dalamnya terdapat bahaya yang mengintai keselamatan siapa saja yang berani memasukinya. Tetapi dengan kepandaiannya yang amat tinggi, Ceng Han Houw tidak ragu-ragu lagi melangkah masuk kemudian dengan sangat hati-hati dia menggerakkan kedua kakinya, perlahan-lahan dan berindap-indap penuh kewaspadaan memasuki sebelah dalam yang amat gelap. Apa bila suheng-nya dapat memasuki goa itu untuk mengambil peti hitam, mengapa dia tidak?

Tiba-tiba saja dia mendengar suara mendesir dari kanan kiri, maka secepat kilat dia pun menggerakkan kedua tangannya ke kanan kiri untuk melindungi diri sambil mengerahkan sinkang pada tubuhnya. Bagaikan bermata, kedua tangannya itu dengan cekatan sudah menangkap dua batang anak panah yang menyambar dari kanan kiri dan mengeluarkan suara mendesir tadi! Kiranya dia sudah menginjak alat rahasia yang dipasang sehingga anak panah dari kanan kiri itu meluncur sendiri menyerang siapa saja yang berani masuk goa dan menginjak jebakan yang tidak nampak itu!

Han Houw mendengus dan melemparkan dua batang anak panah itu keluar, kemudian dia melangkah terus dengan beraninya. Setelah agak dalam, nampak cahaya menembus dari celah terbuka di atas goa. Remang-remang nampaklah olehnya sebuah peti hitam di sudut ruangan goa itu setelah berbelok ke kiri. Hatinya girang sekali, akan tetapi dia tetap berhati-hali, tidak mau menjadi lengah karena kegirangannya. Dengan waspada dia terus melangkah mendekati tempat peti itu tergeletak.

Han Houw kemudian menggosok-gosok kedua telapak tangannya. Kedua telapak tangan itu mengeluarkan hawa panas sampai mengepulkan uap, barulah dia mengambil peti itu dengan kedua tangannya. Ternyata tidak terjadi sesuatu dan cepat dia membawa peti itu ke luar goa.

Setelah tiba di luar, di tempat yang terang, dia menurunkan peti dan melihat betapa kedua telapak tangannya penuh hangus. Untung bahwa tadi dia telah melindungi kedua telapak tangannya dengan hawa panas dari pengerahan sinkang-nya, apa bila tidak tentu kedua telapak tangannya akan terkena racun jahat yang dioles-oleskan pada peti itu. Kini racun itu menjadi hangus sebab hawa panas yang melindungi kedua telapak tangannya. Setelah membersihkan kedua telapak tangannya, Han Houw lalu membuka tutup peti itu.

"Sssssttt...!"

Nampak segaris sinar merah menyambar dan seekor ular merah sudah meloncat keluar dan langsung menyerang ke arah lehernya! Namun, dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kirinya, dia sudah menyumpit leher ular itu, lalu mengerahkan tenaga pada kedua jari itu.

“Krekkk!”

Terdengar suara dan tulang leher ular itu pun patah. Dia melemparkan bangkai ular yang masih berkelojotan dan melingkar-lingkar, kemudian memandang ke dalam peti yang baru saja dibukanya.

"Jahanam!" Dia mengutuk karena ternyata peti sama sekali kosong!

Dia merasa tertipu dan dengan marah dia masuk lagi ke dalam goa, mencari-cari. Namun goa itu kosong tak ada apa-apanya lagi. Dengan hati penasaran Han Houw lalu membuat obor dan memeriksa seluruh bagian dalam goa. Namun hasilnya nihil, tidak ada apa pun di dalam goa itu. Dia memeriksa peti, menghantamnya sampai berkeping-keping, namun juga selain ular merah yang kini telah mati, peti itu tidak berisi apa-apa lagi.

"Ouwyang Bu Sek tua bangka keparat!" Dia memaki-maki dan mencari-cari keluar masuk semua goa di tempat itu. Tetap tidak ada hasilnya. Tiga buah kitab kuno itu ternyata telah hilang! Tentu disembunyikan oleh Ouwyang Bu Sek di suatu tempat, akan tetapi setelah kakek itu tewas, siapa pula yang mengetahui di mana adanya kitab-kitab itu?

Sampai sore dia mencari-cari tanpa hasil dan menjelang senja dia melihat beberapa belas orang menuruni jurang di mana terdapat mayat Ouwyang Bu Sek, Gu Kok Ban dan Tong Siok. Dari tempat yang tidak kelihatan oleh mereka, Han Houw mengintai dan mendapat kenyataan bahwa mereka itu adalah para anggota Sin-ciang Tiat-thouw-pang.

Diam-diam dia tersenyum mendengar kata-kata mereka. Mereka itu tentu mengira bahwa dua orang ketua mereka telah bertanding melawan Ouwyang Bu Sek sehingga akibatnya mereka bertiga tewas semua atau mati sampyuh. Lebih baik begitu saja, pikirnya lantas diam-diam dia meninggalkan puncak pegunungan itu…..

********************
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar