Pendekar Lembah Naga Jilid 52

Dahulu dia pernah berhadapan dengan ketua Cin-ling-pai, yaitu pendekar sakti Cia Keng Hong yang amat sakti, dan kini puteranya ini ternyata mempunyai kelihaian yang agaknya tidak kalah oleh ayahnya itu! Celaka, pikirnya, mengapa dia begini ceroboh, berani datang sendirian saja menghadapi orang-orang yang sakti seperti ini? Belum lagi kalau muncul pendekar Yap Kun Liong dan isterinya!

Maka dia pun segera menggerakkan kaki tangannya dan menghadapi desakan Cia Bun Houw sambil mengeluarkan semua kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya, mengandalkan keampuhan sarung tangan yang melindungi kedua tangannya. Memang, tanpa perlindungan sarung tangan itu, tentu kedua tangannya tak akan kuat menghadapi sepasang tangan Cia Bun Houw yang ampuh.

Sementara itu, pada saat melihat suaminya muncul tadi, Yap In Hong yang tadinya masih bergulingan, lalu bangkit duduk dan bersila, mengatur napas mengumpulkan hawa murni, selain untuk menjaga supaya di sebelah dalam tubuhnya tidak sampai terluka, juga untuk memulihkan tenaganya. Oleh karena dia memang belum pernah terkena pukulan secara langsung, maka dia tidak menderita luka sehingga sebentar saja keadaannya sudah pulih kembali.

Dia membuka mata, melihat betapa suaminya mendesak wanita iblis itu. Dia tahu bahwa tidak lama lagi suaminya tentu akan mampu merobohkan Kim Hong Liu-nio. Kini timbullah perasaan marah di hatinya.

Wanita itu tadi nyaris membunuhnya, menggunakan kesempatan saat dia dalam keadaan tidak sehat. Hal ini dianggapnya sebagai penghinaan sehingga menimbulkan kemarahan di hatinya. Dia lalu bangkit dan menghampiri tempat perkelahian itu.

"Jangan bunuh dia dulu, aku harus memberi satu dua pukulan dahulu kepada iblis betina ini!" katanya dan nyonya muda ini lalu ikut menerjang ke depan, menghantamkan kedua tangannya dengan pengerahan Thian-te Sin-ciang, akan tetapi tentu saja dia tidak berani mempergunakan seluruh tenaga, hanya seperempat bagian saja.

Kim Hong Liu-nio tentu saja makin terdesak. Baru melawan sang suami itu saja dia telah kewalahan, apa lagi kini sang isteri maju mengeroyoknya! Dia berusaha untuk menangkis, tahu akan kelemahan Yap In Hong, akan tetapi tangkisannya itu terhenti oleh tangan Bun Houw dan pukulan In Hong datang menuju ke dadanya. Dia miringkan tubuh tetapi tidak mampu menghindarkan diri.

"Bukkk!"

Pundaknya kena pukulan In Hong itu. Memang tidak dengan tenaga sepenuhnya, namun cukup hebat tenaga Thian-te Sin-ciang yang hanya seperempat bagian itu dan Kim Hong Liu-nio merasa dadanya sesak, tubuhnya terjengkang!

Akan tetapi dia sudah meloncat lagi dan ketika dia hendak melarikan diri, Cia Bun Houw sudah menghadangnya! Agaknya pendekar ini yang tahu akan kemarahan isterinya, ingin memuaskan hati isterinya itu, karena itu dia tidak merobohkan wanita ini dan kembali dia menahan dengan tangannya ketika isterinya melakukan tamparan keras.

Kim Hong Liu-nio berusaha mengelak, namun kembali gerakannya tertahan oleh tangan Bun Houw sehingga dia tidak mampu menghindarkan diri ketika tamparan nyonya muda itu mengenai punggungnya.

"Plakkk!"

Kim Hong Liu-nio kembali terpelanting dan sekali ini dia muntahkan darah segar, lalu dia bangkit sambil mengeluarkan teriakan melengking berkali-kali dan menggunakan seluruh tenaganya untuk menangkis pukulan-pukulan suami isteri yang terus mendesaknya itu. Dia tahu bahwa kalau tidak segera datang bala bantuan yang sudah dipanggilnya melalui suara lengkingan tadi, tentu dia akan binasa. Melarikan diri pun tidak ada gunanya karena pendekar Cia Bun Houw itu benar-benar hebat!

Kembali suami isteri itu memukul dari depan. Kim Hong Liu-nio segera menyilangkan dua tangannya, hendak mengandalkan gelang-gelangnya untuk menangkis. Pada saat itu juga terdengar teriakan,

"Jangan bunuh dia...!" Dan nampaklah seorang pemuda remaja datang berlari-lari dengan cepat sekali ke tempat itu. Pemuda ini bukan lain adalah Sin Liong!

Seperti kita ketahui, Sin Liong yang ingin melindungi Bi Cu terpaksa mengantar Ceng Han Houw bertemu dengan Ouwyang Bu Sek sesuai dengan janjinya. Dan setelah suheng-nya menerima pangeran itu, Sin Liong segera meninggalkannya dan pemuda ini pergi mencari musuh besarnya, yaitu Kim Hong Liu-nio.

Dia mendengar bahwa musuh besarnya itu sekarang memimpin pasukan dan melakukan pencarian untuk memburu keluarga Cin-ling-pai yang dituduh memberontak. Maka tidak begitu sukar baginya untuk mengikuti jejak wanita itu dan akhirnya dia mendengar bahwa wanita itu berada di pegunungan dekat Sungai Min-kiang Propinsi Hok-kian itu.

Saat dia tiba di luar dusun dan melihat betapa Kim Hong Liu-nio dikeroyok oleh pendekar Cia Bun Houw dan isterinya, dan keadaan wanita iblis yang menjadi musuh besarnya itu terdesak hebat dan robohnya sudah boleh dipastikan akan terjadi tak lama lagi, terjadi hal aneh dalam hati Sin Liong yang mendorongnya untuk berteriak mencegah suami isteri itu membunuh wanita iblis itu! Ada dua hal yang menimbulkan perasaan ini di hati Sin Liong.

Pertama-tama, ketika melihat wanita itu dikeroyok dan didesak hebat, teringatlah dia akan peristiwa beberapa tahun yang lalu ketika dia, Bi Cu dan Tiong Pek putera mendiang Na Ceng Han terancam bahaya didesak oleh musuh-musuh yang menyerbu rumah keluarga Na itu. Pada waktu itu muncul pula Kim Hong Liu-nio ini yang membunuh para musuh itu sehingga bagaimana pun juga, wanita iblis ini pernah menyelamatkan nyawanya. Teringat akan hal itu, timbullah niatnya untuk sekali ini menolongnya pula dari ancaman kematian sebagai pembalasan atau pertolongannya dahulu itu!

Dan ke dua, ada rasa tidak rela di hatinya melihat wanita iblis ini akan terbunuh orang lain, biar pun orang lain itu adalah ayah kandungnya sendiri dan ibu tirinya! Dia ingin agar kematian wanita pembunuh ibu kandungnya dan pembunuh kakeknya itu di tangannya, bukan di tangan orang lain. Dialah yang harus menuntut balas kepada Kim Hong Liu-nio. Inilah sebabnya mengapa Sin Liong berteriak melarang mereka membunuh wanita iblis itu.

Akan tetapi Bun Houw dan In Hong yang tidak ingat lagi siapa adanya pemuda remaja itu, melihat pemuda itu berlari cepat sekali, mereka maklum bahwa pemuda itu mempunyai kepandaian pula dan menyangka bahwa pemuda itu tentulah kawan dari wanita iblis ini. Karena itu, maka Bun Houw dan In Hong memperhebat desakannya sehingga ketika Kim Hong Liu-nio menangkis dengan kedua tangannya dia terjengkang!

Melihat ini, Bun Houw segera menggerakkan tangannya, melakukan pukulan maut untuk membunuh wanita yang menjadi musuh keluarganya itu.

"Dukkk!"

Tangan pendekar itu bertemu dengan tangan Sin Liong dan Bun Houw merasa betapa lengannya tergetar keras. Dia terkejut, namun dia menggerakkan tangan kirinya, memukul lagi ke arah Kim Hong Liu-nio.

"Desss!"

Kembali Sin Liong menangkis dan sekali ini pertemuan tenaga antara mereka sedemikian kuatnya sehingga keduanya terdorong ke belakang! Kim Hong Liu-nio mempergunakan kesempatan ini untuk meloncat ke belakang dan melarikan diri!

Bukan main marahnya hati Bun Houw pada waktu dia memandang kepada Sin Liong dan mengenal pemuda remaja ini sebagai anak yang dulu pernah dipelihara dan dididik oleh mendiang ayahnya di Cin-ling-san.

"Engkau...?!" bentaknya. "Engkau melindungi iblis itu...?"

"Aku tidak ingin orang lain membunuhnya...," jawab Sin Liong.

Sejenak kedua orang ini saling pandang dengan sinar tajam. Jantung Sin Liong berdebar rasanya. Inilah ayah kandungnya! Namun Bun Houw sama sekali tidak tahu akan hal ini dan dia hanya menganggap pemuda ini seorang yang tak tahu diri, yang sekarang malah membela musuh padahal anak ini tahu bahwa wanita tadi adalah biang keladi kematian ketua Cin-ling-pai!

"Bocah keparat, kau harus dihajar!" bentaknya dan dia sudah mengirim pukulan ke arah dada Sin Liong.

"Desss...!" Tubuh Sin Liong terlempar bergulingan.

"Houw-ko, jangan...!" In Hong berseru kaget.

Dia pun mengenal Sin Liong sebagai anak yang dahulu dicinta oleh mendiang Cia Keng Hong dan karena pernah menjadi murid ketua Cin-ling-pai itu, maka sebetulnya dia masih terhitung sute dan masih saudara seperguruan. Dia merasa khawatir kalau-kalau pukulan tadi menewaskan Sin Liong, karena dia tahu betapa hebatnya pukulan dari suaminya.

Akan tetapi, Sin Liong sama sekali tidak mati, bahkan tidak terluka oleh pukulan tadi. Dia tadi sudah mengerahkan sinkang-nya untuk melindungi dada sehingga tubuhnya menjadi seperti sebuah bola penuh hawa saja yang bisa dipukul hingga terpental dan bergulingan, namun tidak sampai melukainya, baik luka di luar mau pun di dalam.

Kini Sin Liong sudah meloncat bangun dan sepasang matanya memandang tajam, penuh rasa penasaran kepada Bun Houw. Ayah kandungnya ini sudah memukulnya, memukul anak kandung sendiri! Betapa kejamnya!

Bun Houw menjadi semakin marah dan penasaran ketika melihat betapa pukulannya tadi tidak merobohkan Sin Liong. Dia adalah seorang pendekar besar dan tentu saja hatinya tidak kejam. Dia tadi memukul dengan perhitungan yang masak sehingga pukulan itu tak akan membunuh dan yang dipukulnya bukanlah tempat berbahaya, namun cukup untuk merobohkan bocah itu.

Akan tetapi nyatanya bocah itu sama sekali tidak roboh bahkan terluka sedikit pun tidak. Dengan marah dia lalu menerjang kembali dan sekali ini dia memperkuat tenaga dalam pukulannya.

"Dukkk!"

Sekali ini Sin Liong menangkis dengan pengerahan tenaga pula, dan karena dia sudah mengerahkan tenaga yang lebih besar, maka akibatnya tubuh Bun Houw yang terjengkang ke belakang! Baiknya pendekar ini sudah cepat berjungkir balik sehingga tidak sampai terbanting roboh. Matanya terbelalak karena dia tidak menyangka bahwa Sin Liong akan memiliki tenaga sekuat itu!

"Bocah setan...!" Dia memaki dan menyerang lagi.

Sin Liong cepat menggerakkan kaki mengelak dan menangkis. "Aku tidak ingin berkelahi denganmu!" katanya berkali-kali sambil terus mengelak dan menangkis, main mundur.

Bun Houw menjadi makin penasaran. Bocah ini hebat benar, semua serangannya dapat dilumpuhkan dengan elakan cepat dan tangkisan kuat!

Pada saat itu pula datang Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng berlari-larian.

"Tahan, jangan berkelahi...!" Yap Kun Liong langsung berseru sesudah dia mengenal Sin Liong sebagai anak yang pernah diambil murid oleh ayah mertuanya.

Dia pun mengenal gerakan kaki anak itu yang bergerak dengan langkah-langkah Thai-kek Sin-kun, akan tetapi dia tidak mengenal gerakan tangannya saat melancarkan tangkisan-tangkisan itu. Dia merasa amat heran melihat betapa Bun Houw yang telah mengerahkan tenaga sepenuhnya itu ternyata tak mampu merobohkan Sin Liong, dan setiap kali kedua tangan mereka saling bertemu, keduanya tergetar dan sama sekali tidak kelihatan anak itu kalah kuat!

Karena penasaran dan marah, Bun Houw tidak menghentikan serangan-serangannya biar pun sudah diteriaki oleh Kun Liong. Pada saat itu pula terdengar bunyi gemuruh kemudian datanglah pasukan besar yang dipimpin oleh Kim Hong Liu-nio!

Melihat munculnya pasukan besar ini, empat orang pendekar itu terkejut bukan main dan otomatis Bun Houw menghentikan serangannya dan Sin Liong juga sudah melompat jauh ke belakang. Bagaikan banjir yang datang mengamuk, pasukan itu langsung menerjang, dipimpin oleh Kim Hong Liu-nio sendiri yang tadi merasa terheran-heran melihat Sin Liong bertanding melawan Cia Bun Houw.

"Larilah kalian! Lekas, larilah!" tiba-tiba Sin Liong berseru, seruan yang ditujukan kepada empat orang pendekar itu dan dia sendiri lantas berlari ke depan, menyambut datangnya para prajurit yang menyerbu!

Sejenak empat orang pendekar itu tertegun menyaksikan pemuda remaja itu mengamuk seperti seekor naga sakti. Sekali bergerak, kedua kakinya telah merobohkan empat orang prajurit dan kedua tangannya menangkap masing-masing seorang prajurit, lantas diputar-putarnya dan dilemparkan kepada para prajurit yang datang bagai air bah menyerang itu.

"Mari kita cepat pergi!" Yap Kun Liong berkata.

Keempat orang itu lalu berlari cepat memasuki dusun untuk mengambil anak bayi putera Bun Houw yang dititipkan kepada seorang wanita tua petani ketika ibunya pergi ke pasar tadi. Kemudian, In Hong menggendong anaknya dan melarikan diri keluar dari dusun itu dikawal oleh suaminya dan oleh Yap Kun Liong bersama isterinya.

Berkat ilmu kepandaian mereka yang tinggi, mereka dapat berlari cepat sekali dan tentu saja pasukan itu tidak mampu menyusul mereka, sedangkan Kim Hong Liu-nio yang juga memiliki ginkang yang tinggi tidak berani melakukan pengejaran seorang diri saja karena empat orang buruan itu terlalu lihai baginya dan dia sendiri tidak mempunyai pembantu yang cukup pandai. Diam-diam dia menyesal mengapa dia tidak mengajak subo-nya.

Sementara itu Sin Liong terus saja mengamuk sampai lama untuk mencegah pasukan itu melakukan pengejaran. Setelah merasa cukup lama dan dia pun sudah terlampau banyak merobohkan prajurit tanpa membunuh mereka, Sin Liong lalu meloncat jauh dan hendak melarikan diri. Akan tetapi, Kim Hong Liu-nio menghadangnya bersama beberapa orang perwira yang memiliki kepandaian lumayan.

"Engkau hendak lari ke mana?" Kim Hong Liu-nio menubruk sambil menggunakan kedua tangannya menyerang.

"Plakk! Plakk!"

Tubuh Kim Hong Liu-nio terpelanting. Para perwira cepat menyerang dan menghujankan senjata mereka kepada Sin Liong sehingga pemuda remaja itu tidak memiliki kesempatan untuk melanjutkan serangannya terhadap wanita iblis yang menjadi musuh besarnya itu. Dia lalu meloncat lagi dan dengan beberapa kali loncatan jauh dia lalu menghilang di balik hutan yang lebat.

Kim Hong Liu-nio bangkit berdiri dan memandang ke arah hutan itu, alisnya berkerut dan dia terheran-heran. Bocah itu kini lihai bukan main, pikirnya. Akan tetapi dia tak mengerti bagaimana pendirian anak itu! Ketika dia terancam bahaya maut di tangan Cia Bun Houw dan Yap In Hong tadi, jelas bahwa anak itu sudah melindungi dan bahkan menyelamatkan dirinya dari ancaman maut, sampai anak itu bertanding melawan pendekar sakti Cia Bun Houw.

Padahal, menurut pengakuan anak itu dahulu, bukankah anak itu adalah putera kandung dari pendekar Cia Bun Houw? Mengapa anak itu menyelamatkan dia dan melawan ayah sendiri? Dan yang lebih aneh lagi, sesudah bocah itu melakukan hal yang luar biasa itu, mengapa tiba-tiba anak itu berbalik melindungi keempat orang pendekar buronan itu dan mengamuk, melawan pasukan kerajaan? Sungguh anak yang amat luar biasa sekali!

"Aku harus waspada terhadap dia... bocah itu berbahaya...!" Kim Hong Liu-nio mengepal tinju dan dia terpaksa lalu memerintahkan pasukannya untuk kembali dan tetap menyebar mata-mata untuk mengikuti jejak empat orang pendekar yang lolos itu…..

********************

Sementara itu, Bun Houw, In Hong, Kun Liong dan Giok Keng yang melarikan diri juga terheran-heran melihat sikap Sin Liong. Kini mereka telah berhasil membebaskan diri dari pengejaran, dan sekarang sedang berjalan biasa karena In Hong masih terlampau lemah untuk melakukan perjalanan jauh sambil berlari cepat terus.

"Sungguh aku tidak mengerti anak itu!" kata Bun Houw sambil menggelengkan kepalanya. "Mula-mula dia melindungi iblis betina itu dan melawan kami, tapi kemudian dia berbalik melindungi kita dan melawan pasukan yang mengepung kita."

Yap Kun Liong menarik napas panjang. "Anak itu luar biasa sekali. Sekecil dia telah dapat memainkan Thai-kek Sin-kun dengan begitu baiknya, dan gerakan tangannya amat aneh, entah ilmu apa yang digunakannya ketika menangkis pukulan-pukulanmu tadi, Houw-te."

"Dia memiliki tenaga yang amat hebat pula...! Rasanya... rasanya... aku sendiri tidak akan mampu menandingi kekuatannya!"

Kata-kata Bun Houw ini membuat yang lain-lainnya terbelalak keheranan. Mereka semua tahu bahwa Bun Houw memiliki tenaga yang amat dahsyat dan pada jaman itu sukarlah mencari tokoh kang-ouw yang akan dapat menandinginya, akan tetapi sekarang pendekar ini mengaku bahwa dia kalah oleh seorang pemuda remaja! Tentu saja mereka menjadi terheran-heran akan tetapi juga bukan tidak percaya karena Bun Houw berbicara dengan serius.

"Betapa pun juga, kita harus berhati-hati kalau lain kali berjumpa dengan Sin Liong. Anak itu aneh dan kita tidak tahu bagaimana isi hatinya, sebentar menjadi lawan dan sebentar menjadi kawan," kata Yap In Hong.

Empat orang ini lalu berangkat menuju ke Propinsi Ce-kiang. Atas usul Yap In Hong dan suaminya, mereka akan bersembunyi di Bun-cou, yaitu di kota yang dulu menjadi tempat tinggal dia dan suaminya semenjak mereka berdua meninggalkan Cin-ling-san. Mereka pergi melakukan perjalanan seenaknya karena di antara mereka terdapat Cia Kong Liang, bayi yang baru berusia sebulan itu, putera dari Cia Bun Houw dan Yap In Hong.

Biar pun sikap Sin Liong yang aneh itu mendatangkan keheranan dan dugaan-dugaan di dalam hati empat orang pendekar ini, tetapi diam-diam mulai tumbuh kebencian terhadap pemuda remaja itu. Terutama sekali dalam hati Bun Houw dan In Hong, karena bukankah anak itu yang mencegah mereka membunuh Kim Hong Liu-nio, musuh besar mereka, dan perbuatan anak itu mengakibatkan mereka harus kembali lari dari tempat tinggal mereka, karena Kim Hong Liu-nio masih hidup dan masih mengerahkan pasukan untuk mengejar mereka?

Sin Liong dianggap sebagai anak yang selain aneh akan tetapi juga merugikan, bahkan di lubuk hatinya, Bun Houw masih saja berpendapat bahwa gara-gara Sin Liong inilah maka ayahnya sampai meninggal dunia. Maka, sungguh pun kini di dalam sikap dan perbuatan Sin Liong itu terdapat dua hal yang berlawanan, di satu fihak merugikan karena pemuda itu menyelamatkan Kim Hong Liu-nio dan di lain fihak menguntungkan karena pemuda itu telah melindungi mereka dengan melawan pasukan, namun segi buruknya lebih menonjol dan ini menimbulkan rasa tidak suka kepada anak itu. Terutama sekali karena dalam diri pemuda remaja itu Bun Houw melihat seorang lawan yang amat berbahaya…..

********************

Kita tinggalkan dulu empat orang pendekar bersama bayi yang melarikan diri dan mencari tempat persembunyian baru itu, dan meninggalkan Sin Liong yang kini mulai membayangi Kim Hong Liu-nio lagi untuk mencari kesempatan menemui wanita itu sendirian saja tanpa adanya pasukan yang melindunginya, untuk diajak bertanding dan membuat perhitungan. Sekarang mari kita ikuti perjalanan Ceng Han Houw, pangeran berdarah campuran yaitu ibunya Puteri Khamila adalah seorang puteri berbangsa Khitan sedangkan ayahnya, ayah kandungnya adalah mendiang Kaisar Ceng Tung.

Seperti sudah kita ketahui, Pangeran Ceng Han Houw atau yang oleh ayahnya yang sah, yaitu Raja Sabutai, diberi nama Pangeran Oguthai, atas bantuan Sin Liong telah berhasil menarik hati orang aneh yang sakti Ouwyang Bu Sek hingga diangkat menjadi sute-nya, menjadi murid Bu Beng Hud-couw yang dianggap sebagai guru besar di Himalaya, guru Ouwyang Bu Sek yang menulis kitab-kitab pelajaran ilmu silat tinggi itu.

Dengan sangat tekunnya Ceng Han Houw membantu Ouwyang Bu Sek menterjemahkan kitab-kitab kuno yang tiga jilid banyaknya itu, menuliskannya menjadi belasan jilid dalam bahasa sekarang, kemudian di bawah bimbingan Ouwyang Bu Sek mulailah Han Houw mempelajari kitab-kitab itu yang ternyata memang mengandung pelajaran ilmu-ilmu yang aneh dan mukjijat. Berkat otaknya yang cerdas, sebentar saja Han Houw sudah berhasil menghafal isi kitab-kitab itu dan kini dia tekun sekali bersemedhi menurutkan petunjuk kitab-kitab itu, di dalam sebuah goa besar yang kosong.

Sesudah Han Houw mulai melatih diri dengan isi kitab-kitab itu, maka Ouwyang Bu Sek sendiri tak mampu lagi membimbingnya. Seperti diketahui, kakek ini hanya membimbing teorinya saja, sedangkan untuk membimbing prakteknya tentu saja dia tidak mampu lagi. Kakek ini sudah terlalu tua untuk melatih diri dengan ilmu-ilmu yang amat sukar itu, maka untuk latihan prakteknya, dia menyerahkan sang sute itu bergantung kepada semangat dan kemauannya sendiri karena dia sama sekali tidak mampu memberi petunjuk lagi.

"Suheng," pada suatu hari, setelah dia benar-benar sudah hafal dengan isi seluruh kitab yang belasan jilid banyaknya sebagai terjemahan dari tiga kitab asli itu, "aku telah menjadi murid dari suhu Bu Beng Hud-couw, akan tetapi bagaimana aku dapat bertemu dengan beliau? Apakah suheng mengetahui di mana beliau tinggal sehingga aku pun dapat pergi mencarinya di Himalaya sana?"

Ouwyang Bu Sek, si kakek cebol yang mempunyai tubuh seperti kanak-kanak akan tetapi kepalanya besar seperti orang dewasa itu terkekeh genit. "He-he-heh-heh, sute, engkau ini lucu bukan main! Mencari tempat tinggal suhu kita adalah hal yang mustahil selama kita masih hidup! Engkau harus mati lebih dulu untuk dapat mencari tempat tinggal suhu, heh-heh-heh!"

Tentu saja hati pangeran itu sebal sekali mendengar ucapan ini. Kebenciannya terhadap sang suheng itu masih menebal, apa lagi karena sikap suheng-nya yang sama sekali tak menghargai atau menghormatinya itu membuat dia bertambah benci.

Semua orang selalu menghormatinya dan menyembah-nyembahnya. Biar pun Sin Liong tidak menyembahnya, namun pemuda itu sedikitnya masih bersikap halus dan jujur, tidak seperti kakek ini yang kadang-kadang sikapnya menghina sekali! Hanya karena maklum akan kelihaian Ouwyang Bu Sek dan karena kecerdikannya saja, maka Han Houw selalu bersikap lembut dan taat kepada suheng-nya ini.

"Akan tetapi, suheng. Bukankah suheng sendiri dapat berhubungan dengan beliau? Andai kata kita memang tidak dapat mencari beliau di tempat tinggalnya, tetapi aku ingin sekali dapat berhubungan dengan beliau dan berjumpa dengan beliau."

"Heh-heh-heh, orang setingkat engkau ini mana mampu untuk berjumpa dengan beliau? Hanya orang setingkat akulah yang dapat bertemu dengan beliau."

"Harap suheng sudi memberikan petunjuk, dan aku akan berusaha untuk memungkinkan perjumpaanku dengan beliau."

"Guru kita itu sewaktu-waktu dapat saja berhubungan dengan kita apa bila memang kita mampu mengirim getaran yang kuat, sute. Akan tetapi, untuk apa engkau ingin bertemu dengan suhu?"

"Supaya hatiku tenang dan puas, suheng, dan juga aku ingin bertanya sesuatu mengenai pelaksanaan latihan ilmu-ilmu yang kuterima dari kitab-kitab suhu."

"Hemm... tidak mudah, dan kalau batinmu tidak kuat, dalam usaha mendatangkannya itu salah-salah engkau bisa gila atau mampus!"

Akan tetapi Ceng Han Houw adalah seorang pemuda yang berhati keras seperti baja, dan memiliki keberanian yang sangat luar biasa. Maka, ancaman mati itu sama sekali tidak membuat dia jeri, tidak membuat dia mundur. "Aku akan menghadapi bahaya itu apa bila suheng sudi memberi petunjuk."

"Heh-heh, kalau gila atau mati jangan salahkan aku, ya?"

Kalau saja dia tidak merasa yakin bahwa ilmunya belum dapat mengatasi kakek itu, tentu Han Houw sudah memakinya atau menyerangnya. Namun, dengan tenang dia berkata. "Aku tidak akan menyalahkan siapa-siapa, juga tidak menyalahkan suheng."

Kini kakek itu kelihatan serius. Sejenak dia menentang tajam pandang mata sute-nya, lalu berkata, "Bila mana engkau sampai bisa berjumpa dengan suhu, hal itu sungguh sangat menguntungkanmu, sute. Ketahuilah bahwa sute Sin Liong sendiri tidak pernah bertemu dengan suhu."

Mendengar ini tentu saja hati Han Houw merasa girang bukan main, maka makin besar keinginan hatinya untuk bisa bertemu dengan orang tua yang disebut Bu Beng Hud-couw itu. "Aku akan berterima kasih sekali kepada suheng apa bila aku sampai dapat bertemu dengan suhu."

"Dengarkan baik-baik, sute. Untuk dapat berjumpa dengan suhu, pertama-tama engkau harus mengenal baik bagaimana bentuk bayangan beliau. Beginilah gambaran suhu itu. Beliau itu sudah tua sekali, tidak dapat ditaksir berapa usianya, mungkin tiga ratus tahun atau lebih. Rambutnya serta jenggotnya sudah putih semua, panjang sekali sampai ke pinggul dan perut, wajahnya penuh wibawa, pakaiannya serba putih dan amat sederhana, kakinya selalu telanjang, juga beliau selalu memegang sebatang tongkat bambu kuning. Nah, itulah gambaran beliau. Kalau engkau ingin bertemu, engkau harus bersemedhilah menurut petunjuk di dalam kitab itu, akan tetapi tujukan seluruh panca inderamu kepada bayangan beliau dan sebutlah namanya terus menerus hingga beliau datang. Jangan lupa buat api unggun di dalam goa, karena beliau biasanya datang melalui api dan asap. Nah, aku tidak bisa memberi penjelasan lebih jauh, lakukan saja apa yang kukatakan tadi, sute." Setelah berkata demikian, Ouwyang Bu Sek meninggalkan sute-nya.

Ceng Han Houw menjadi girang bukan main. Cepat dia membuat persiapan, memasuki goa kecil dimana dia biasa berlatih semedhi, membawa semua kitab-kitab terjemahannya, meletakkan kitab-kitab itu di dekatnya dan membuka halaman-halaman dimana dia masih merasa kurang mengerti dan hendak ditanyakannya secara langsung kepada suhu-nya karena suheng-nya sama sekali tidak mampu memberi petunjuk kepadanya dalam latihan praktek.

Dia membuat api unggun kecil di depannya, kemudian mulailah dia bersemedhi menurut petunjuk kitab, mengatur pernapasannya dan menyatukan panca indera merangkap kedua tangannya seperti menyembah di depan dada.

Karena sudah biasa berlatih semedhi seperti ini menurut petunjuk kitab-kitab yang sedang dipelajarinya, maka sebentar saja Han Houw telah tenggelam dan pikirannya sudah dapat dikumpulkan menjadi satu dengan panca inderanya, lalu bibirnya berbisik-bisik menyebut nama Bu Beng Hud-couw berulang-ulang.

Suara bisikan menyebut nama ini perlahan sekali sehingga hampir tidak terdengar di luar dirinya, namun suara itu terdengar jelas oleh telinganya dan suara ini terdengar aneh dan bergulung-gulung, seakan-akan merupakan sesuatu yang sambung menyambung lantas membubung ke atas, berupa tangga yang menuju ke tempat yang tak pernah dikenalnya.

Suara yang berulang-ulang ini membuat dia merasa seperti melayang-layang, terdengar makin lama semakin aneh. Dia tidak tahu lagi berapa lama dia sudah tekun bersemedhi seperti itu. Dia tak merasakan apa-apa lagi, tak mendengar apa-apa lagi kecuali suaranya yang terus menyebut-nyebut nama Bu Beng Hud-couw, yang seolah-olah bukan suaranya sendiri lagi, seolah-olah merupakan sesuatu yang terpisah darinya. Dia sama sekali tidak tahu apakah dia bersemedhi sudah satu jam, satu hari ataukah sudah sebulan!

Tiba-tiba saja tubuhnya terasa tergetar hebat dan dia merasa seperti membuka matanya karena ada sesuatu di depannya. Han Houw terkejut melihat bahwa di depannya, atau di atas api unggun yang masih bernyala kecil dan mengeluarkan asap putih, kini telah berdiri seorang kakek tua renta, persis seperti yang tergambar di dalam otaknya berdasarkan penuturan Ouwyang Bu Sek!

Kakek tua renta itu berdiri tak bergerak, tangan kanannya memegang sebatang tongkat bambu kuning, persis seperti yang digambarkan oleh suheng-nya. Dalam kagetnya, Han Houw girang bukan main dan dia masih duduk bersila dengan kedua tangan dirangkap di depan dada, kemudian dia berkata dengan suara halus.

"Suhu, teecu mohon petunjuk...!" Ia lalu menyebutkan soal-soal dalam praktek latihannya yang mengalami kesukaran.

Kakek yang seperti bayangan, yang berdiri seperti menjadi sambungan asap putih yang mengepul dari api unggun itu, kelihatan diam saja. Han Houw mengulang kata-katanya sampai tiga kali. Kini kakek itu mengangkat tangan kirinya ke atas, seperti orang yang mempersilakan, mengangguk-angguk dan perlahan-lahan lenyap membuyar seperti asap tertiup angin.

Han Houw terkejut dan gelagapan seperti orang yang baru bangun dari tidur dan mimpi. Matanya mencari-cari namun kakek itu tidak kelihatan lagi, padahal tadi kakek itu berdiri jelas di depannya.

Dia menegok ke arah kitab-kitabnya dan cepat dia mengamati halaman-halaman kitab di mana terdapat bagian-bagian yang sukar baginya. Di bawah sinar api unggun dia meneliti dan membaca dan... betapa girang hatinya ketika dia mendapatkan kenyataan bahwa kini dia dapat mengerti hal-hal itu dengan jelasnya!

Keadaan seperti yang dialami oleh Han Houw ini bukan dongeng kosong belaka. Kiranya setiap orang pun akan dapat memperoleh pengalaman seperti itu, kalau saja dia memang percaya penuh dan tekun.

Orang yang mengosongkan pikiran dengan jalan mengulang-ulang kata-kata yang terus diucapkan dengan penuh pujaan akan berada dalam keadaan tersihir atau terpesona. Suara sendiri yang diulang-ulang itu mendatangkan pengaruh yang amat kuat menyihir diri-sendiri dan mengikat seluruh perhatian sendiri hingga dirinya dalam keadaan ‘kosong’ sungguh pun kekosongan yang dipaksakan. Di dalam keadaan seperti ini, maka sesuatu yang dipujanya, yang diharapkan dan dipercayanya, tidak mengherankan bila betul-betul muncul di depannya, merupakan bayangan yang bukan lain adalah pantulan dari dalam batinnya sendiri.

Orang yang memuja Sang Buddha mungkin saja dapat berjumpa dengan bayangan yang sebenarnya merupakan pemantulan dari dalam hatinya, karena kepercayaan yang penuh, karena pemujaan yang tulus ikhlas ini membentuk bayangan atau gambaran dalam batin. Bayangan apa pun yang nampak oleh manusia, baik bayangan yang dinamakan setan mau pun bayangan dewa, nabi dan sebagainya, adalah bayangan yang terpantul dari dalam batin sendiri yang membentuk dan menyimpan gambaran bayangan itu. Hal ini amat jelas dan mudah dimengerti.

Seseorang yang mengaku pernah melihat setan umpamanya, pasti melihat setan seperti yang pernah didengarnya dari dongeng, dari buku dan dari cerita orang lain, atau pun dari khayalnya sendiri tentang setan. Begitu pula seseorang yang mengaku pernah ‘bertemu’ dengan orang suci atau nabi, sudah pasti yang ditemuinya itu adalah orang suci atau nabi dari agamanya, atau dari kepercayaannya, seperti yang sudah pernah didengarnya dari dongeng, atau dilihatnya dalam gambar, dan sebagainya lagi. Tapi kita, yang haus hal-hal yang aneh, yang haus akan sesuatu yang dapat dijadikan pegangan, merasa sayang dan enggan melepaskan kepercayaan ini dan tidak mau atau tidak berani melihat kenyataan ini!

Sesudah merasa ‘berjumpa’ dengan gurunya. Han Houw dengan mudah dapat mengerti pelajaran yang sedang dilatihnya. Hal ini pun tidaklah aneh karena pikiran yang kosong memang amat mudah menerima sesuatu dan pada saat itu Han Houw benar-benar dalam keadaan kosong sehingga begitu dia melihat halaman-halaman pelajaran yang tadinya dianggap sukar dimengerti itu, sekarang amat jelas dan mudah baginya.

Tentu saja dia menghubungkan ini dengan ‘kemunculan’ bayangan suhu-nya yang secara gaib telah membimbingnya! Dia tidak sadar bahwa ‘bayangan’ Bu Beng Hud-couw yang dijumpainya itu belum tentu sama dengan ‘bayangan’ yang dilihat oleh Ouwyang Bu Sek, karena batin masing-masing membentuk bayangan yang tentu saja berbeda menurut selera masing-masing.

Keinginan akan sesuatu, betapa pun ‘sesuatu’ itu dapat diberi sebutan luhur, suci, tinggi, sempurna dan sebagainya, tetap saja merupakan suatu keinginan yang timbul dari pikiran atau si aku yang ingin senang, ingin selamat, ingin terjamin dan tercapai keinginannya, baik keinginan dalam bentuk keenakan badan mau pun keenakan batin! Keinginan tetap merupakan keinginan dan keinginan ini lahir bermacam hal yang menjadi sumber segala konflik.

Keinginan berpusat pada pementingan diri, penonjolan si aku dan karenanya merupakan pengasingan diri yang amat picik. Semenjak kecil hingga tua kita selalu diperhamba oleh keinginan-keinginan kita. Yang berbeda hanya obyek dari keinginan-keinginan itu, ketika masih muda tentu keinginannya tertuju pada benda-benda duniawi untuk menyenangkan jasmani, lalu setelah tua dan bosan dengan semua kesenangan duniawi atau kenikmatan jasmani lalu berpindah kepada tujuan yang dinamakannya lebih tinggi, yaitu benda-benda rohani untuk menyenangkan batin, untuk menenteramkan batin, untuk keselamatan jiwa.

Namun, pada hakekatnya sama, yaitu si aku yang senang, ingin tenteram, ingin enak dan ingin terjamin! Dan selama batin masih dipenuhi keinginan ini, padahal keinginan ini hidup di alam khayal, sedangkan hidup ini berada di alam nyata maka kita akan terbuai terus oleh keinginan-keinginan itu yang melahirkan bermacam-macam khayal. Yang akan kita jumpai hanyalah bayangan-bayangan khayal kita sendiri belaka dan kita tak akan pernah dapat bersua dengan kenyataan yang suci murni!

Seorang tua akan mengatakan, "Aku tak butuh lagi dengan kesenangan dunia, aku ingin ketenangan batin, aku ingin kesempurnaan jiwa, aku tidak membutuhkan apa-apa lagi!" kata-katanya demikian, akan tetapi sesungguhnya pada dasarnya, keinginan itu masih menebal di dalam batin, yang berubah hanyalah tujuan keinginan itu saja.

Kalau dahulu yang dikejar adalah uang, kedudukan, kemuliaan, kesenangan jasmani, kini yang dikejar adalah kesenangan rohani atau apa yang dinamakan ‘sesuatu yang lebih tinggi’. Hasilnya pun akan sama saja!

Pada waktu mengejar uang, kedudukan dan sebagainya itu dia selalu bertemu dengan konflik, permusuhan, kepalsuan, kekecewaan, dan keserakahan yang tak kunjung habis, sekarang pun dia akan tetap berjumpa dengan semua itu! Karena yang dikejar adalah bayangannya sendiri!

Oleh karena itu, pertanyaan yang amat gawat dan penting perlu kita ajukan kepada diri sendiri masing-masing, yaitu: Dapatkah kita hidup bebas, dari segala macam keinginan? Dapatkah kita menghadapi apa adanya tanpa menginginkan hal-hal atau benda-benda yang tidak atau belum ada?

Segala sesuatu sudah ada pada apa adanya, namun mata kita seolah-olah buta, tidak melihat semua itu karena mata kita selalu ditujukan kepada hal-hal atau benda-benda yang tidak ada, kepada khayal-khayal kita, kepada gambaran-gambaran dari keinginan kita! Sama butanya dengan seorang penduduk di pegunungan yang tidak dapat melihat keindahan pada pegunungan karena dia gandrung akan bayangan keindahan lautan, dan sebaliknya seorang penduduk tepi laut yang tidak dapat melihat keindahan pemandangan tepi laut karena dia gandrung akan bayangan keindahan pemandangan di pegunungan! Sama butanya seperti seorang pemilik apel yang tidak dapat menikmati kelezatan buah apel itu karena dia membayangkan kenikmatan buah jeruk, dan pemilik jeruk yang tidak dapat menikmati kelezatan buah jeruknya karena dia membayangkan kelezatan buah apel!

Kita hidup dibuai lamunan, dibuai khayal belaka sehingga keadaan nyata tak tampak lagi, tak dapat dinikmati lagi, dan inilah yang menyebabkan mengapa kita selalu mengeluh dan mengatakan bahwa hidup adalah penuh derita dan kesengsaraan! Maka, dapatkah kita bebas dari segala macam keinginan itu kemudian hidup dalam saat ini, saat demi saat, menghadapi apa adanya dari saat ke saat penuh kewaspadaan?

Semenjak ‘pengalamannya’ yang dianggapnya amat membahagiakan itu, Han Houw lalu berlatih amat tekunnya dan setiap kali menemui kesulitan dia lalu ‘memanggil’ datangnya sang guru sehingga lama-kelamaan dia sudah menjadi terbiasa. Karena ketekunannya inilah maka tak lama kemudian, hanya dalam waktu beberapa bulan saja Han Houw telah dapat menguasai latihan ilmu-ilmu silat dari kitab-kitab yang diterimanya dari Ouwyang Bu Sek itu.

Dan memang hebat sekali hasilnya! Bukan saja pemuda bangsawan ini telah menguasai ilmu-ilmu silat tinggi yang amat aneh, tapi dengan latihan-latihan siulian dan menghimpun tenaga sakti yang amat kuat, jauh lebih kuat dari pada sebelum dia tekun belajar di dalam goa itu!

Berbedalah pemuda bangsawan ini dengan keadaannya beberapa bulan yang lalu ketika akhirnya dia mengambil keputusan untuk keluar dari goa tempat pertapaannya itu, dengan wajah yang agak pucat akibat banyak berpuasa, akan tetapi dengan sepasang mata yang mencorong aneh penuh kewibawaan, kekuatan! Berjilid-jilid kitab salinan dari tiga buah kitab itu dikempitnya dan dia lalu mencari-cari dengan matanya, karena dia ingin menemui suheng-nya Ouwyang Bu Sek.

Namun sunyi sekali di sekitar puncak Bukit Tai-yun-san itu. Goa-goa yang banyak berjajar di tempat itu, seperti mulut ternganga yang hitam gelap, atau seperti sarang lebah besar, tidak menampakkan kehidupan sama sekali. Sunyi dan mati.

Han Houw menggunakan tangannya melindungi kedua matanya dari sinar matahari yang menyilaukan. Setelah terlalu lama berada di dalam goa yang gelap, maka matanya tidak biasa menghadapi cahaya kemilauan yang amat terang itu sehingga menjadi silau.

Dengan mata setengah terpejam dia meneliti ke seluruh penjuru. Tidak nampak bayangan suheng-nya. Han Houw merasa jengkel sekali. Mendadak dia menggerakkan tubuhnya ke kiri, tangan kirinya menghantam, otomatis dia mengeluarkan jurus yang telah dilatihnya di dalam goa.

"Cuiiittt...!" Angin yang keluar dari tangan kirinya itu hebat bukan main, sampai dia sendiri terkejut mendengar suara bercuit nyaring itu.

"Byarrrr...!"

Batu besar yang berada di sebelah kirinya ambyar dan hancur lebur terkena pukulannya yang ampuh itu. Debu beterbangan dan Han Houw memandang dengan mata terbelalak, namun wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum. Bukan main girangnya.

Dia lalu bersilat, mengeluarkan jurus-jurus yang selama ini dilatihnya, dan akibatnya hebat bukan main. Bukan hanya terdengar suara bercuitan nyaring, namun muncul pula angin menyambar-nyambar, menggerakkan daun-daun pohon yang jauh, dan beberapa batang pohon sebesar orang, batu-batu sebesar kerbau, tumbang dan pecah terkena hantaman kedua tangannya yang menggunakan tenaga dahsyat itu. Makin tebal debu beterbangan di tempat sunyi itu.

"Desss...!"

Sebongkah batu sebesar kerbau bunting ditendangnya sehingga batu besar itu terlempar hingga jauh kemudian terbanting dan menggelundung turun ke dalam jurang. Sampai lama sunyi ketika batu ini meluncur ke bawah, kemudian terdengar suara keras sekali di bawah jurang ketika batu itu menimpa dasar jurang. Suara keras ini disusul gema suara panjang, seolah-olah setan penjaga gunung menjadi marah oleh gangguan manusia itu.

Han Houw merasa gembira dan bangga bukan main. Dia lalu mempergunakan ilmunya meringankan tubuh, mengerahkan tenaga yang selama ini dihimpunnya dalam semedhi menurut petunjuk ilmu-ilmu dalam kitab, dan tubuhnya lalu melesat dengan cepatnya ke depan. Han Houw terus berlari cepat ke arah puncak gunung yang tertinggi, kemudian dia sudah berdiri di atas batu besar di puncak gunung itu, dengan penuh kebanggaan dan dengan dada dibusungkan dia memandang jauh ke bawah.

Dia merasa seolah-olah dirinya telah menjadi seorang raja besar, atau menjadi dewa yang berkuasa penuh di gunung itu sedang memandang ke bawah, ke dunia yang akan berlutut di hadapan kakinya! Dia membayangkan betapa dia telah menjadi jagoan nomor satu di dunia ini dan seluruh dunia kang-ouw akan menyembahnya, seluruh dunia kang-ouw yang dianggap sebagai datuk-datuk persilatan, baik dari golongan hitam mau pun putih, berlutut menyembahnya sebagai jagoan nomor satu!

Bangga bukan main rasa hatinya, merasa seolah-olah dia menjadi seekor naga sakti yang beterbangan di atas bumi yang penuh dengan orang-orang yang ilmu kepandaiannya jauh berada di bawahnya! Akan tetapi dia harus lebih dulu membuktikan keunggulannya, dan dia akan menghadapi setiap orang yang dianggap terpandai di dunia ini!

Mendadak dia tertawa bergelak, wajahnya yang tampan dan agak pucat itu menentang langit, kedua tangannya dikepal dan kedua kakinya terpentang lebar di atas batu itu.

"Ha-ha-ha-ha! Sin Liong, aku akan membuktikan bahwa engkau pun tidak akan mampu menandingiku! Ha-ha-ha-ha!" Suara tawanya mengandung kekuatan khikang yang amat hebat sehingga bergema di bawah puncak.

Pada saat itu wajah yang tampan ini nampak mengerikan sekali, yang agak pucat dengan sepasang mata mencorong liar, seperti bukan mata orang waras lagi! Dia sudah memakai topinya, topi bulu yang indah, dan bulu burung penghias topinya itu bergerak-gerak tertiup angin.

Tiba-tiba saja wajah yang berseri itu nampak berubah. Matanya menjadi liar, alisnya yang tebal hitam itu berkerut dan bergerak-gerak, mulutnya yang manis itu cemberut dan dia menoleh ke belakang. Han Houw teringat akan tiga buah kitab itu!

Tiga buah kitab masih berada di tangan Ouwyang Bu Sek! Padahal, seluruh ilmu yang dipelajarinya adalah ilmu-ilmu yang terkandung di dalam tiga buah kitab itu. Selama ini dia hanya membawa kitab-kitab terjemahan dari tiga buah kitab aslinya. Dan ini berarti bahwa seluruh kepandaiannya berada di tangan suheng-nya! Kalau ada orang lain yang kelak mempelajari ilmu-ilmu dari kitab itu, berarti kepandaiannya dapat ditandingi lain orang! Dia harus merampas kitab-kitab itu, dan menghancurkannya supaya tidak ada orang lain yang akan dapat mengetahui rahasia dari ilmu-ilmunya.

Teringat ini, dia lalu mengambil kitab-kitab terjemahan yang tadi dibawanya lari ke puncak gunung itu, dan satu demi satu kitab-kitab itu dicengkeramnya dengan kedua tangan dan dengan pengerahan sedikit tenaga saja kitab-kitab itu robek-robek dan remuk! Pecahan-pecahan kecil diterbangkan angin sesudah Han Houw melemparkan remukan kitab itu ke udara, tersebar ke mana-mana dan andai kata ada orang menemukan secuwil robekan, tak mungkin dia dapat membacanya.

Setelah mengikuti cuwilan-cuwilan kertas terakhir dengan pandang matanya dan merasa puas, Han Houw lantas melompat turun dari batu itu dan berlari seperti terbang cepatnya menuruni puncak tertinggi itu untuk kembali ke puncak di mana suheng-nya tinggal.

"Suheng...!" Han Houw berteriak. Suaranya melengking tinggi, penuh getaran, disambut oleh gema suara di empat penjuru.

"Suheng Ouwyang Bu Sek...!" Untuk kedua kalinya suaranya mendatangkan gelombang udara yang besar dan mencapai tempat jauh sekali.

Tidak lama kemudian, sebelum gelombang suara itu habis, terdengar jawaban dari jauh, namun suara itu terdengar dekat sekali, "Aku datang, sute...!"

Han Houw merasa girang karena dia mengenal suara kakek cebol itu. Dia lalu menunggu sambil berdiri tegak dan memasang wajah gelisah. Tidak lama kemudian, berbarengan dengan menyambarnya angin, muncullah kakek cebol lucu itu di hadapan Han Houw.

Ouwyang Bu Sek sejenak memandang sute-nya, dan melihat wajah yang agak pucat itu diam-diam dia terkejut dan kagum, karena dari wajah agak pucat kehijauan itu dia sudah dapat melihat adanya tenaga mukjijat di dalam diri sute-nya ini. Maka sambil tersenyum menyeringai sehingga memperlihatkan dua buah gigi besar di bagian atas mulutnya, dia bertanya,

"Bagaimana, sute? Engkau sudah berhasil...?"

Han Houw adalah seorang pemuda yang cerdik sekali. Dia maklum bahwa suheng-nya ini bukan seorang bodoh dan sudah memiliki ilmu yang tinggi sekali sehingga tidak mungkin dapat membohonginya dengan mengatakan bahwa dia tidak berhasil. Maka dia menarik napas panjang dan berkata,

"Dengan petunjuk suhu yang mulia, aku telah berhasil, suheng. Akan tetapi ada beberapa bagian yang masih memusingkan aku, dan aku ingin sekali melihat catatan dalam kitab aslinya karena aku khawatir kalau-kalau terjemahan itu kurang cocok. Aku harap suheng suka memperlihatkan kitab aslinya sekali lagi kepadaku untuk dapat kuperiksa kembali agar dapat kuatasi kesukaran itu, suheng."

Kakek itu terkekeh girang. "Aha, dari cahaya di wajahmu dan sinar matamu saja aku telah melihat perubahan besar pada dirimu, sute. Akan tetapi apa bila memang ada kesukaran, sebaiknya sekali lagi meneliti isi kitab, akan tetapi ingat, hanya satu kali lagi saja, sute. Mari kuambilkan..."

"Aku tidak mau membuat engkau lelah, suheng. Biarlah aku yang mengambilnya sendiri, katakan saja di mana suheng menyimpan kitab-kitab itu."

"Oho-ho, kalau tidak aku sendiri yang mengambil, siapa pun tidak boleh, sute, dan pula terlalu berbahaya untukmu... heh-heh, mari kau ikut..."

Han Houw tidak mau membantah lagi dan dia mempergunakan kekuatan batinnya untuk menekan kelegaan dan kegirangan hatinya sehingga pada wajahnya yang tampan itu tak nampak perubahan sesuatu.

Namun Han Houw terlalu memandang rendah kepada suheng-nya itu. Sedikit kilatan sinar matanya sudah cukup bagi kakek itu untuk menaruh curiga terhadap sute-nya ini. Akan tetapi kakek itu tidak berkata apa-apa, melainkan menyeringai dan berlari terus, cepat sekali dengan langkah-langkah kecil dari dua buah kakinya yang kecil telanjang itu.

Han Houw mengikuti dari belakang dan dengan girang dia memperoleh kenyataan bahwa dia dapat mengikuti suheng-nya itu dengan sangat mudahnya, berloncatan dari batu ke batu, melewati jurang-jurang menuju ke sebuah goa yang berada di lereng. Di depan goa besar sekali, kakek itu berhenti dan berkata,

"Di dalam goa inilah kusembunyikan kitab-kitab itu."

"Biar aku yang mengambilnya, suheng!"

"Ihhh, jangan! Berbahaya sekali. Kau tunggu di sini, biar aku yang mengambilnya." Tanpa menanti jawaban, kakek itu menyelinap masuk ke dalam goa.

Han Houw menanti di luar goa sambil menahan senyum. Peduli amat dia, malah sangat kebetulan kalau kakek itu yang mengambilkan untuknya, pikirnya.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar