Karena memang mengharapkan perlindungan di dalam rumah keluarga itu, Sin Liong lalu dengan singkat akan tetapi jelas menuturkan keadaannya tanpa menyebut-nyebut tentang hubungannya dengan pemberontak Cia Bun Houw, bahkan dia tak menyinggung tentang kepandaiannya. Akan tetapi karena dia tahu bahwa Kui Hok Boan sudah mengenal Kim Hong Liu-nio, bahkan menjadi musuh besarnya sebab Kim Hong Liu-nio adalah pembunuh ibu kandungnya, juga ibu kandung Lan Lan dan Lin Lin, maka dia tidak menyembunyikan tentang wanita iblis itu.
"Ketika saya sedang bekerja di rumah makan itu, tiba-tiba saja muncul iblis betina musuh besar kita itu, paman, dan dia berteriak menuduh saya sebagai pemberontak. Saya lalu melarikan diri dan dikejar-kejar oleh pasukan. Untung ada nona Bhe Bi Cu ini yang telah menolong saya dan menyembunyikan saya sehingga pasukan itu tidak menemukan saya, kemudian saya mengajaknya untuk melarikan diri ke sini dengan harapan paman akan suka menolong kami dan memberi perlindungan di sini sampai keadaan menjadi aman."
Diam-diam Kui Hok Boan terkejut dan gentar bukan main mendengar penuturan Sin Liong itu. Baru mendengar bahwa wanita iblis itu muncul di kota raja dan melakukan pengejaran terhadap Sin Liong saja sudah mendatangkan rasa ngeri di dalam hatinya, apa lagi ketika mendengar bahwa Sin Liong sekarang dianggap pemberontak sehingga dikejar-kejar oleh pasukan pemerintah.
Tentu saja dia merasa gentar, takut kalau-kalau wanita itu akan terus mengejar sehingga sampai ke situ, apa lagi kalau sampai pasukan pemerintah tahu bahwa Sin Liong tinggal di rumahnya, tentulah dia akan dituduh sebagai orang yang melindungi pemberontak dan akan menerima hukuman berat! Akan tetapi di wajahnya tidak kelihatan tanda sesuatu.
"Ayah, kita harus melindungi Liong-koko!" tiba-tiba Lan Lan berkata.
"Betul, ayah. Liong-ko dan enci Bi Cu biar tinggal dan bersembunyi dulu di sini!" sambung Lin Lin.
Kui Hok Boan memandang kedua orang puterinya itu dan dia semakin merasa tidak enak untuk menolak permintaan Sin Liong tadi. Dia sendiri memang tidak mempunyai perasaan apa pun terhadap Sin Liong karena memang anak ini bukan apa-apanya, hanya anak tiri, akan tetapi bagi Lan Lan dan Lin Lin, Sin Liong merupakan saudara seibu dan sekandung, biar pun berlainan ayah.
"Hemm, tentu saja aku tidak keberatan dan suka melindungimu, Sin Liong, hanya kita harus pikirkan baik-baik akan bahayanya kalau sampai wanita iblis itu mengejar ke sini."
"Kita akan lawan bersama!" teriak Lan Lan. "Apa lagi di sini ada enci Bi Cu. Ayah, enci Bi Cu ini lihai bukan main, tadi kami salah sangka menyerang Liong-koko, akan tetapi hanya dengan sebatang ranting saja enci Bi Cu dapat menangkis pedang kami!"
Bi Cu tersenyum dan dia tak pernah bosan memandang dua orang dara kembar itu yang dianggapnya sangat manis dan juga demikian serupa bentuk wajah serta gerak-geriknya sehingga biar pun dia tadi sudah diperkenalkan, dia tetap saja tidak mampu membedakan dan tidak dapat mengenal lagi yang mana Lan Lan dan yang mana Lin Lin.
Akan tetapi, tentu saja bagi Sin Liong tidak sukar untuk membedakan kedua adiknya itu karena dia tahu bahwa Lan Lan mempunyai titik kecil merah pada leher kirinya, dan yang sikapnya terbuka, lincah dan gembira adalah Lan Lan, sedangkan Lin Lin lebih pendiam.
Mendengar ucapan Lan Lan itu, Kui Hok Boan semakin tertarik kepada Bi Cu, maka dia memandang penuh perhatian. Kini sinar kekaguman terpancar dari kedua matanya tanpa disembunyikan lagi sehingga Bi Cu merasa makin kikuk.
"Ahh, kiranya nona mempunyai kepandaian silat yang tinggi? Kalau boleh saya bertanya, siapakah nama guru nona?" Laki-laki yang usianya kurang lebih empat puluh lima tahun itu tersenyum seramahnya kepada dara remaja yang cantik manis itu.
Bi Cu hanya memandang sebentar lalu menunduk kembali, mengerutkan alisnya karena dia merasa ragu untuk mengaku. Akan tetapi Sin Liong maklum akan kekerasan hati ayah tirinya, dan ketidak terus terangan Bi Cu akan menimbulkan curiga. Maka dia lalu cepat menerangkan,
"Paman Kui, Bi Cu adalah murid dari mendiang Hwa-i Sin-kai."
"Ahhhh...!" Kui Hok Boan benar-benar terkejut bukan main mendengar disebutnya nama ini. Siapa orangnya yang tidak mengenal nama ketua Hwa-i Kaipang yang tersohor di kota raja dan sekelilingnya itu? Apa lagi sesudah perkumpulan itu dianggap pemberontak dan dimusuhi oleh pemerintah!
"Hwa-i Kaipangcu...? Bukankah... bukankah perkumpulan itu...?" Dia tidak melanjutkan dan menatap wajah dara itu dengan tajam.
Bi Cu yang merasa bahwa sekarang dia tak perlu merahasiakannya lagi setelah Sin Liong menceritakan siapa gurunya, dan pula terhadap keluarga ayah tiri Sin Liong memang tak perlu merahasiakan hal itu karena bukankah dia dan Sin Liong hendak berlindung di sini? Maka dia mengangguk.
"Benar, paman. Guruku adalah mendiang ketua perkumpulan Hwa-i Kaipang yang dituduh pemberontak pula. Akan tetapi semuanya itu hanyalah fitnah, Hwa-i Kaipang yang sudah dimusuhi dan kini terpaksa dibubarkan itu tidak pernah memberontak, dan aku pun sama sekali tidak ada hubungannya dengan Hwa-i Kaipang, bahkan bukan menjadi anggotanya biar pun aku menjadi murid mendiang suhu yang menjadi ketua perkumpulan itu."
Selama Bi Cu bicara yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Hok Boan, orang ini sudah dapat menekan hatinya yang terkejut tadi dan kini dia tersenyum dan memandang kagum. "Ah, kiranya nona adalah murid seorang sakti! Tentu ilmu kepandaian nona amat tinggi. Mengingat akan bahaya yang mengancam kalian berdua, biarlah untuk sementara waktu kalian boleh bersembunyi di sini, akan tetapi kuharap kalian tidak memperlihatkan diri keluar karena kalian sendiri tahu bahwa kalau pasukan pemerintah menemukan kalian di sini, berarti keluarga kami akan binasa."
"Baiklah, paman dan banyak terima kasih kami haturkan atas kebaikan paman menolong kami. Kami pun hanya akan bersembunyi sampai keadaan mereda sehingga kami dapat melanjutkan perjalanan kami menuju ke utara."
"Apa? Engkau hendak ke sana...? Ke Lembah Naga...?" Hok Boan bertanya kaget.
Sin Liong menggelengkan kepala. "Bukan ke Lembah Naga, paman, melainkan ke dusun Pek-hwa-cung di kaki Pegunungan Khing-an-san..." Sin Liong berhenti dan memandang wajah ayah tirinya karena dia melihat perubahan pada wajah itu yang menjadi agak pucat dan matanya terbelalak, tanda bahwa ayah tirinya itu terkejut dan heran bukan kepalang mendengar disebutnya nama dusun itu.
"Pek-hwa-cung...?" Khi Hok Boan mengulang nama dusun itu dan matanya memandang jauh.
"Benar, paman, dan Bi Cu ingin menanyakan sesuatu kepada paman, mengingat bahwa paman sudah banyak menjelajah di sekitar daerah utara."
Ucapan ini memberi kesempatan kepada Kui Hok Boan untuk menenangkan jantungnya yang berdebar akibat kaget mendengar nama dusun yang mendatangkan kembali kenang-kenangan hebat yang pernah dialaminya di dusun itu. Dia tersenyum kembali dengan sikap tenang, menoleh ke arah Bi Cu dan memandang gadis itu dengan sikap ramah, lalu bertanya, suaranya biasa lagi.
"Nona, apakah yang hendak kau tanyakan padaku? Memang banyak juga aku mengenal tempat-tempat di sana, dan dusun Pek-hwa-cung tidak asing bagiku."
Berdebar jantung dalam dada Bi Cu, penuh ketegangan dan harapan. Siapa tahu dia akan berhasil memperoleh keterangan tentang ayahnya dari orang ini.
"Paman Kui, sebelumnya terima kasih atas kebaikanmu. Kami hanya ingin mengetahui apakah paman mengenal seorang laki-laki yang bernama Bhe Coan dan pernah tinggal di dusun Pek-hwa-cung sana?"
Kembali Kui Hok Boan mengalami guncangan batin hebat, akan tetapi kini dia sudah siap menghadapi segala sesuatu, maka wajahnya tidak memperlihatkan perubahan meski pun dia hampir terlonjak saking kagetnya. Sin Liong yang sejak tadi mengawasi ayah tirinya itu, diam-diam merasakan kekagetan ayah tirinya yang ditekan-tekan itu, namun dia diam saja.
"Bhe Coan...?" Kui Hok Boan pura-pura mengingat-ingat dan mengerutkan alisnya sambil menekan perasaannya yang terlontar melalui pengulangan nama yang sangat dikenalnya itu sehingga suaranya tadi terdengar agak sumbang dan gemetar.
"Ya, Bhe Coan, seorang pandai besi, seorang ahli pembuat pedang!" Bi Cu yang sedang dilanda ketegangan serta harapan itu tidak mendengar getaran suara itu dan cepat-cepat melengkapi keterangannya sambil memandang kepada wajah Hok Boan penuh perhatian dan pengharapan.
"Ahh, Bhe Coan...? Bhe Coan si pandai besi, ahli pembuat pedang itu? Tentu saja aku mengenal mendiang Bhe Coan! Dia telah meninggal dunia..."
Wajah Bi Cu gembira bukan main. "Memang dia sudah meninggal dunia, paman Kui. Aku tahu bahwa ayahku telah meninggal dunia dan karena itulah maka aku bertanya kepada paman..."
"Ayahmu...? Ahh, sungguh tak terduga! Jadi engkau ini anaknya...?" Hampir saja Kui Hok Boan kelepasan bicara.
Memang dahulu dia pernah mendengar dari Bhe Coan bahwa ahli pembuat pedang itu mempunyai seorang anak perempuan yang dititipkannya pada seorang sahabat baiknya ketika dia menikah dengan janda yang bernama Leng Ci. Menurut penuturan mendiang Bhe Coan, sahabatnya itu ialah seorang piauwsu she Na yang tinggal di kota Shen-yang di Propinsi Liao-ning. Tentu saja dia tidak tahu bahwa Na-piauwsu semenjak menerima Bi Cu sebagai anak angkat atau muridnya, telah pindah ke kota Kun-ting di Propinsi Ho-pei, sebelah selatan kota raja. Dia tidak tahu pula mala petaka yang menimpa keluarga Na itu.
"Benar, paman Kui. Aku adalah anak tunggal dari mendiang ayahku itu, dan yang hendak kutanyakan kepada paman adalah tentang kematian ayahku. Paman mengenalnya, tentu paman mendengar pula bagaimana ayah meninggal dunia." Sepasang mata yang jernih itu memandang dengan penuh perhatian dan juga penuh harapan kepada Kui Hok Boan yang tentu saja amat terguncang batinnya.
Segera terbayang semua peristiwa yang dialaminya di dalam rumah Bhe Coan, belasan tahun yang lalu itu. Seperti telah dituturkan di bagian depan dari cerita ini, Kui Hok Boan yang ketika itu masih merupakan seorang pria berusia tiga puluh tahun yang tampan dan gagah, berpakaian sasterawan dan gerak-geriknya halus, datang bertamu ke rumah ahli pembuat pedang atau pandai besi yang terkenal itu untuk memesan sebatang pedang. Karena pandainya bersikap manis, Bhe Coan yang jujur tertarik dan mempersilakan Kui Hok Boan untuk bermalam dan tinggal di rumahnya selagi dia membuatkan pedang yang dipesannya.
Dalam kesempatan ini, Kui Hok Boan yang terkenal mata keranjang itu tentu saja tidak dapat melewatkan seorang wanita cantik seperti isteri Bhe Coan begitu saja. Dirayunya isteri Bhe Coan, bekas janda Leng Ci yang cantik genit itu dan mereka lalu mengadakan hubungan perjinahan di dalam rumah Bhe Coan sendiri!
Akhirnya, sesudah pedang selesai, Bhe Coan menangkap basah dua orang yang sedang berjinah di dalam kamarnya itu. Dengan kemarahan meluap-luap Bhe Coan menusukkan pedang yang baru selesai dibuatnya itu ke arah Hok Boan.
Hok Boan mengelak dan pedang itu menembus dada Leng Ci! Kemudian, terpaksa Hok Boan mempergunakan kepandaiannya untuk membunuh Bhe Coan, dan tanpa diketahui siapa pun dia meninggalkan dua jenazah itu dalam kamar dan melarikan diri!
"Bagaimana, paman Kui? Apakah paman dapat menceritakan kepadaku tentang kematian ayahku itu?" Bi Cu mengulangi pertanyaannya pada waktu dia melihat tuan rumah duduk termenung seperti tidak pernah mendengar pertanyaannya yang pertama tadi.
"Ohh? Tidak... aku tidak tahu, aku hanya mendengar bahwa dia meninggal dunia. Sudah lama aku tidak bertemu lagi dengan dia semenjak aku memesan pedang kepadanya, kau tunggu... pedang itu masih kusimpan sampai sekarang..." Kui Hok Boan segera bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan itu melalui pintu sebelah dalam.
Melihat sikap tuan rumah yang seolah-olah tergesa-gesa itu, diam-diam Sin Liong merasa heran sekali. Dia melihat seakan-akan ayah tirinya menjadi gugup dan bingung pada saat ditanya tentang kematian ayah kandung Bi Cu!
Sementara itu, begitu menutupkan daun pintu yang menembus ke ruangan itu, Kui Hok Boan cepat berlari memasuki kamarnya dengan napas agak memburu. Celaka, pikirnya, siapa sangka bahwa dia akan bertemu muka dengan puteri Bhe Coan yang dibunuhnya itu! Dan lebih celaka lagi, dara itu justru bertanya kepadanya tentang kematian ayahnya! Ini berbahaya! Kalau dia tidak cepat bertindak dan rahasia itu sampai terbuka, berarti dara itu merupakan musuh besar yang tentu akan selalu berusaha untuk membalas kematian ayahnya.
Dia menduga-duga sampai berapa jauh dara itu mengetahui tentang kematian ayahnya. Sementara itu, otaknya bekerja cepat dalam usahanya merencanakan suatu siasat untuk menyelamatkan dirinya dan menghancurkan orang-orang yang tidak disenanginya.
Di lain saat Kui Hok Boan telah menulis sehelai surat dalam kamarnya. Jari-jari tangannya yang memang cekatan dan pandai menulis itu kemudian bergerak cepat menyelesaikan sebuah surat yang dimasukkannya dalam sampul dan ditutupnya rapat-rapat. Setelah itu, dengan tergesa-gesa dia mengantongi surat itu dan mengeluarkan seguci arak dari dalam almari, berikut sebungkus obat putih dari saku bajunya. Dituangkannya sedikit bubuk putih ke dalam guci arak, kemudian setelah menyimpan kembali bungkusan obat bubuk itu, dia memanggil pelayan.
"Sediakan makanan untuk dua orang dan juga arak ini, lalu hidangkan ke kamar tamu!" perintahnya kepada pelayan wanita yang segera datang memenuhi panggilannya. "Dan coba panggil dulu kedua orang nona ke sini!"
Pelayan itu cepat-cepat berlalu menuju ke depan, ke ruangan di mana Lan Lan dan Lin Lin sedang bercakap-cakap dengan gembira bersama Sin Liong dan Bi Cu.
"Ehhh, Lan-moi, di mana adanya Siong Bu dan Beng Sin? Mengapa aku tidak melihat mereka?" tanya Sin Liong.
"Mereka disuruh oleh ayah untuk menagih uang sewa tanah, dan sore nanti baru akan pulang," jawab yang ditanya.
Pada saat itu muncullah pelayan yang menyampaikan panggilan Kui Hok Boan kepada dua orang puterinya. Dua orang dara kembar itu merasa agak heran, akan tetapi mereka segera minta maaf dan meninggalkan dua orang tamunya, langsung pergi ke kamar ayah mereka bersama pelayan yang juga kembali ke dalam untuk mengambil guci arak dan mempersiapkan hidangan untuk dua orang tamu seperti dipesan oleh majikannya.
"Ayah memanggil kami?" tanya Lan Lan.
"Ya, ayah mempunyai urusan yang amat penting. Kalian cepat pergilah kepada komandan Kwan di kota raja dan serahkan suratku ini kepadanya. Pergilah cepat-cepat dan kembali cepat."
"Tapi, ayah, di sini ada Liong-koko. Mengapa ayah tidak menyuruh seorang pelayan saja, atau menanti sampai Bu-ko atau Sin-ko pulang?" Lan Lan membantah.
"Urusan ini penting sekali, kalian harus cepat serahkan surat ini dan jangan membantah!" bentak Kui Hok Boan sambil menyerahkan surat itu. "Kalian naik kuda saja agar cepat!"
"Biar aku sendiri yang mengantar surat itu, biar enci Lan menemani Liong-ko dan enci Bi Cu," kata Lin Lin.
"Tidak! Tidak baik seorang gadis pergi sendirian saja. Kalian pergi berdua, jangan kalian khawatir tentang Sin Liong dan Bi Cu, aku yang akan menemani mereka. Aku masih ingin bicara banyak dengan mereka."
Dua orang gadis kembar itu saling pandang. Lin Lin adalah seorang gadis pendiam, lebih pendiam dibandingkan dengan watak Lan Lan yang lincah dan jenaka, akan tetapi karena pendiam ini dia lebih cerdas.
"Ayah, Liong-ko dan enci Bi Cu sedang dicari-cari pasukan pemerintah. Sekarang ayah mengirim surat kepada komandan Kwan, seorang komandan pengawal istana. Apakah ada hubungannya dengan kedatangan Liong-ko?"
Kui Hok Boan memandang wajah puterinya ini dan mengangguk-angguk. "Engkau cerdas sekali, Lin Lin. Memang benar sekali dugaanmu itu. Kalian tahu, mereka berdua itu harus bersembunyi di sini untuk beberapa pekan lamanya sampai keadaan mereda. Bagaimana kalau tiba-tiba Kwan-ciangkun berkunjung ke sini seperti biasanya? Oleh karena itu, aku mengirim surat kepadanya, memberi tahu bahwa hari ini aku hendak berangkat pergi ke selatan selama satu bulan sehingga dengan demikian, sebelum lewat satu bulan dia tentu tidak akan datang ke sini. Nah, cepat kalian sampaikan surat ini kepadanya!"
Mendengar ini, Lan Lan dan Lin Lin tidak banyak cakap lagi, lalu mereka berganti pakaian dan segera berangkat meninggalkan rumah mereka, menunggang dua ekor kuda pilihan. Sementara itu, Kui Hok Boan mengambil sebatang pedang dari dalam almari, kemudian membawa pedang itu ke luar kamar, kembali ke ruangan tamu di mana Sin Liong dan Bi Cu menanti tuan rumah yang pergi begitu lama, dan juga Lan Lan dan Lin Lin yang tidak nampak kembali, bahkan mereka tadi dengan jelas mendengar derap kaki dua ekor kuda membalap meninggalkan rumah itu.
"Sin Liong, perasaanku tidak enak sekali... aku... aku tidak kerasan tinggal di sini," bisik Bi Cu.
"Ssttt, kita terpaksa, Bi Cu. Hanya untuk beberapa hari sampai keadaan mereda. Jangan kahwatir, andai kata ayah tiriku itu kurang begitu suka kepadaku, tapi jelas bahwa kedua orang adikku Lan Lan dan Lin Lin itu amat sayang kepadaku."
Mendengar jawaban ini, legalah hati Bi Cu karena dia pun dapat melihat sendiri betapa sikap kedua orang dara kembar itu amat baik dan ramah. Mereka segera diam pada saat mendengar langkah kaki, kemudian muncullah Kui Hok Boan dengan wajah berseri dan tangannya membawa sebatang pedang yang sarungnya terukir indah.
"Maaf, karena ada keperluan lain, maka terpaksa agak lama aku meninggalkan kalian di sini," katanya.
"Paman, di manakah adik Lan dan Lin?" Sin Liong bertanya, teringat akan bunyi derap kaki dua ekor kuda tadi.
"Ahh, mereka sedang pergi, kusuruh menyusul Siong Bu dan Beng Sin," jawab Hok Boan yang memang sudah siap-siap menghadapi pertanyaan itu. Sin Liong menjadi girang dan hilanglah kecurigaannya.
"Nona Bhe, inilah pedang buatan mendiang saudara Bhe Coan itu. Dan hanya satu kali itulah aku berjumpa dengan dia ketika aku berkunjung dan memesan pedang ini," Hok Boan mengulurkan tangan yang memegang pedang kepada Bi Cu.
Dara remaja ini segera menerima pedang, lalu menghunus pedang itu. Sebatang pedang yang amat baik. Tiba-tiba saja keharuan dan kedukaan menyerang hati Bi Cu dan dara ini tersedu sambil mendekap pedang dan mencium mata pedang buatan ayahnya, merasa seakan-akan dia sedang mencium tangan ayahnya. Sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa pedang yang diciumnya itu dahulu pernah digunakan oleh ayah kandungnya untuk menyerang tuan rumah ini dan pedang itu menembus dada ibu tirinya. Akan tetapi hanya sebentar dia menangis karena Bi Cu sudah dapat mengusai guncangan batinnya kembali, lalu mengembalikan pedang itu kepada pemiliknya.
Pada saat itu, Lan Lan dan Lin Lin sudah pergi jauh dengan kuda mereka yang mereka balapkan menuju ke kota raja. Debu mengepul tinggi di belakang kaki kuda mereka yang lari kencang. Akan tetapi ketika mereka berada di jalan di antara sawah ladang yang sepi, tiba-tiba Lin Lin berseru kepada enci-nya agar berhenti.
"Ada apakah?" Lan Lan bertanya setelah dia menahan kendali kudanya dan kedua ekor kuda itu berhenti di tengah jalan.
"Enci Lan, hatiku sungguh merasa tidak enak," kata si adik yang biasanya pendiam itu.
"Aih, jangan bilang bahwa engkau takut untuk melewati hutan di depan itu, Lin-moi. Sudah beberapa ratus kali kita lewat di situ dan tak pernah terjadi sesuatu. Pula, siapakah yang akan berani mengganggu kita? Andai kata ada yang berani mengganggu kita, kita pun tak usah takut! Pedang kita akan menghadapi dan menghajar siapa yang berani mengganggu kita!" Lan Lan menepuk pedang yang tergantung di pinggangnya.
Lin Lin menggeleng kepala. "Hatiku merasa tidak enak bukan mengkhawatirkan diri kita, enci, melainkan diri Liong-koko."
Lan Lan membelalakkan mata dengan heran. "Ehh, apa maksudmu, Lin Lin?"
"Surat yang kau bawa itu, enci. Liong-koko dituduh pemberontak dan kini berada di dalam rumah kita. Namun sekarang ayah mengirim surat kepada Kwan-ciangkun. Benar-benar aneh dan mengkhawatirkan."
"Kau mencurigai ayah?"
"Aku tahu bahwa mencurigai ayah sendiri adalah hal tidak baik, akan tetapi aku pun tahu betapa ayah tidak suka kepada Liong-ko, kalau bukannya membenci malah. Lupakah kau akan sikap ayah terhadap Liong-ko dahulu? Aku khawatir sekali, enci."
Lan Lan juga menjadi bimbang. Diambilnya surat bersampul tertutup rapat itu dari dalam saku bajunya dan ditimang-timangnya. "Habis, bagaimana?" tanyanya bingung.
"Kita buka dan baca dulu isinya!"
"Ahhh...!" Lan Lan meragu. "Surat ini bersampul dan tertutup rapat..."
"Aku sengaja membawa perekat dari rumah, enci. Kita buka, baca dan tutup lagi dengan perekat ini." Lin Lin lalu mengeluarkan sebungkus perekat. Kiranya sejak dari rumah tadi gadis ini sudah menaruh curiga dan telah merencanakan untuk membuka surat ayahnya itu kemudian membaca isinya.
"Engkau benar, adikku. Sungguh pun perbuatan kita ini tidak patut, akan tetapi kita harus mencegah ayah melakukan hal yang jahat."
Mereka berdua segera turun dari punggung kuda, bersama-sama mereka lalu membuka sampul surat itu dengan hati-hati agar jangan sampai terobek, kemudian bersama-sama pula mereka membaca isi surat dalam sampul.
Kwan-ciangkun yang terhormat
Harap segera membawa pasukan untuk menangkap pemberontak-pemberontak Cia Sin Liong dan Bhe Bi Cu yang berada di rumah saya. Cepat agar jangan terlambat!
Hormat saya.
yang setia kepada negara,
Kui Hok Boan
Harap segera membawa pasukan untuk menangkap pemberontak-pemberontak Cia Sin Liong dan Bhe Bi Cu yang berada di rumah saya. Cepat agar jangan terlambat!
Hormat saya.
yang setia kepada negara,
Kui Hok Boan
Wajah kedua orang dara kembar itu menjadi pucat seketika. "Celaka, kiranya dugaanmu benar sekali, Lin-moi!" seru Lan Lan dengan gemas. "Ayah sudah mengkhianati mereka! Ahhh, sungguh celaka!"
Lin Lin juga menjadi bingung sejenak, akan tetapi gadis yang cerdik ini lalu berkata, "Kita harus menggunakan akal, enci."
"Bagalmana akalnya? Ahh, betapa jahatnya ayah...!"
"Ssst, jangan berkata demikian, enci! Mungkin ayah melakukan hal itu terdorong oleh rasa setia kepada negara, atau juga karena rasa tidak sukanya terhadap Liong-koko. Betapa pun juga, kita harus menolong Liong-ko."
"Engkau benar, akan tetapi bagaimana caranya? Kalau kita tidak menyampaikan surat ini, tentu ayah akan marah sekali kepada kita dan hal itu pun bukan berarti sudah menolong Liong-ko terbebas dari ancaman bahaya."
"Kita harus cerdik, enci Lan. Surat itu tetap harus kita sampaikan kepada alamatnya, akan tetapi tidak perlu kita berdua yang ke kota raja. Sebaiknya engkau sendiri saja yang melanjutkan perjalanan ke kota raja dan menyampaikan surat ini kepada Kwan-ciangkun, dan aku sendiri akan kembali ke rumah dan aku akan memberi tahu kepada Liong-ko agar dia dan enci Bi Cu dapat melarikan diri sebelum pasukan itu datang."
"Bagus! Akan tetapi bagaimana jika ayah curiga kemudian marah melihat engkau pulang sendiri dan tidak menemaniku ke kota raja?"
"Jangan khawatir, hal itu dapat kuatur. Lagi pula, setelah tiba di rumah, tentu malam telah tiba dan aku dapat secara diam-diam melakukan hal itu. Engkau sendiri harap melakukan perjalanan lambat saja, semakin lambat semakin baik, enci Lan. Atau, dapat pula engkau menyerahkan surat itu besok pagi-pagi saja, dengan alasan bahwa malam-malam tidak enak datang berkunjung ke rumah Kwan-ciangkun. Sementara itu, malam ini Liong-koko dan enci Bi Cu sudah dapat menyelamatkan diri."
Lan Lan merangkul dan mencium pipi adik kembarnya. "Engkau hebat! Nah, kita berpisah di sini dan membagi tugas masing-masing."
"Surat itu harus direkat kembali lebih dulu, enci," kata Lin Lin.
Mereka berdua lalu merapatkan kembali sampul surat dan setelah Lan Lan memasukkan sampul surat itu ke dalam sakunya, keduanya lantas meloncat ke atas punggung kuda masing-masing, akan tetapi mereka berpisah jalan. Lan Lan terus melanjutkan perjalanan ke kota raja sedangkan Lin Lin kembali ke dusun. Lan Lan menjalankan kudanya lambat-lambat, akan tetapi Lin Lin membalap.
Di sepanjang perjalanan, Lan Lan termenung sedih. Biar pun ada kemungkinan ayahnya melakukan pengkhianatan terhadap Sin Liong itu karena terdorong oleh keinginan berbakti kepada negara dan membantu penangkapan orang yang dituduh pemberontak, akan tetapi perbuatan itu kejam dan jahat. Betapa pun juga, Sin Liong adalah putera ibu kandungnya, dan anak tiri dari ayahnya, semenjak kecil tinggal serumah. Kenapa ayahnya begitu tega dan kejam untuk melakukan siasat penangkapan terhadap Sin Liong itu?
Lagi pula, siapa mau percaya bahwa Sin Liong adalah seorang pemberontak? Itu hanya tuduhan keji, fitnah keji. Tanpa terasa lagi sepasang mata Lan Lan menjadi basah karena hatinya amat sedih melihat kenyataan betapa ayahnya adalah seorang yang kejam dan jahat.
Kenyataan ini membuat dia semakin rindu kepada ibu kandungnya, dan teringat olehnya betapa ibu kandungnya adalah seorang wanita yang gagah perkasa. Dan hal ini membuat dia teringat pula akan kematian ibunya itu sehingga membuat hatinya semakin sakit dan mendendam kepada wanita iblis yang telah membunuh ibunya.
"Kim Hong Liu-nio iblis betina! Sekali waktu aku pasti akan memenggal batang lehermu!" teriaknya.
Dia lalu mencabut pedangnya, diputar-putar di atas kepalanya sehingga kudanya menjadi terkejut dan berlari kencang. Peluapan rasa marah dan dendam di hati Lan Lan ini sedikit banyak menghapus kedukaan dan kekecewaan hatinya melihat sikap ayahnya yang amat kejam terhadap Sin Liong.
Malam itu Lan Lan menginap dalam kamar sebuah hotel di kota raja dan pada keesokan harinya, sesudah matahari naik tinggi, barulah dia mengunjungi rumah komandan Kwan yang telah dikenalnya sebab komandan itu merupakan sahabat ayahnya. Telah beberapa kali dia mengunjungi rumah keluarga komandan Kwan itu, bahkan sering pula komandan Kwan datang berkunjung ke rumah mereka.
Kwan-ciangkun sendiri yang menyambut kedatangannya, dan kebetulan Kwan-ciangkun bertemu dengan dara ini di depan rumah karena komandan itu hendak pergi ke tempat kerjanya.
"Ehh, nona Kui Lin..."
"Aku Kui Lan, ciangkun."
"Ahh, ha-ha-ha-ha, maaf, sudah beberapa tahun berkenalan, tetap saja aku masih belum mampu membedakan di antara kalian berdua." Komandan yang bertubuh tinggi besar itu tertawa. "Dengan siapa nona datang? Dan bagaimana kabar ayahmu?"
"Aku datang sendirian saja, ciangkun. Aku disuruh oleh ayah untuk mengantarkan sebuah surat untuk Kwan-ciangkun."
"Ahh, agaknya penting. Untung aku belum pergi, mari silakan duduk di dalam nona."
"Terima kasih, ciangkun. Aku hanya mengantar surat saja dan akan terus kembali, karena banyak pekerjaan menanti di rumah."
"Kalau begitu, biar kubaca dulu surat ayahmu, barang kali membutuhkan balasan."
Komandan itu lalu merobek sampul dan mengeluarkan isinya, cepat membaca surat itu. Wajahnya berubah, matanya terbelalak lantas dia memandang kepada Kui Lan dengan mata bersinar-sinar. "Ahh, ternyata urusan yang sangat penting sekali! Aku harus segera melaporkan ke atasan dan mengumpulkan pasukan! Dan kebetulan sekali dia berada di kota raja..."
"Kwan-ciangkun, kalau tidak ada balasannya, aku minta pamit sekarang saja."
"Baik, baik... tidak perlu balasan, hanya katakan saja kepada ayahmu bahwa aku sudah menerima suratnya dan semua akan beres! Begitu saja...!" Perwira itu nampak gugup dan tergesa-gesa.
Lan Lan juga tidak mau ambil pusing lagi siapa yang dimaksudkan ‘dia’ oleh perwira itu. Dia memberi hormat lalu keluar dari pekarangan rumah itu, kembali ke hotelnya dan tak lama kemudian dia sudah membedal kudanya keluar kota raja, kembali menuju ke dusun tempat tinggalnya.
Kwan-ciangkun itu adalah seorang kepala atau komandan dari pasukan pengawal istana. Dia bersahabat dengan sasterawan she Kui yang merupakan orang terkaya di dusunnya, dan di samping itu, juga komandan ini tahu bahwa Kui Hok Boan adalah seorang hartawan yang mempunyai ilmu silat tinggi. Persahabatan di antara kedua orang itu mendatangkan keuntungan timbal balik.
Bagi Kwan-ciangkun tentu saja dia mendapat untung berupa pemberian hadiah-hadiah di samping dia pun mendapatkan seorang kawan yang pandai dalam ilmu silat mau pun ilmu surat sehingga enak untuk diajak berbincang-bincang, malah dalam ilmu silat, dia banyak memperoleh petunjuk dari hartawan she Kui itu.
Di fihak Kui Hok Boan, tentu saja dia merasa amat bangga mempunyai seorang sahabat yang menjadi komandan pasukan pengawal di istana karena selain hal ini mendatangkan kehormatan baginya, juga dia akan mudah memperoleh bantuan seorang ‘dalam’ apa bila terjadi sesuatu atau apa bila dia membutuhkan sesuatu dari fihak yang berkuasa.
Maka, begitu menerima surat dari sahabatnya itu, Kwan-ciangkun percaya sepenuhnya dan dia merasa girang sekali karena dengan menangkap pemberontak buronan itu, atau lebih tepat lagi putera dari pemberontak terkenal Cia Bun Houw, berarti dia akan membuat jasa yang besar.
Segera dia berlari-lari melapor ke atasannya, yaitu panglima pasukan keamanan di kota raja dan gegerlah keadaan di dalam benteng itu. Panglima itu segera menghubungi Kim Hong Liu-nio karena wanita ini yang pertama kali menyiarkan bahwa bocah yang tadinya bekerja sebagai pelayan di rumah makan itu adalah putera pendekar sakti Cia Bun Houw yang menjadi buronan dan bocah itu bernama Cia Sin Liong.
Pemilik rumah makan telah ditangkap, disiksa untuk mengaku dan menceritakan keadaan Sin Liong, akan tetapi majikan rumah makan yang sial itu dalam keadaan setengah mati tetap mengatakan bahwa dia mengenal pemuda itu sebagai A-sin.
Pasukan besar yang dipimpin sendiri oleh Kwan Heng Lai atau Kwan-ciangkun, ditemani pula oleh Kim Hong Liu-nio, langsung berangkat melakukan pengejaran ke dusun kecil itu dengan menunggang kuda. Orang-orang pada sepanjang perjalanan memandang dengan takut-takut dan hati heran melihat pasukan yang bersenjata lengkap, berwajah serius dan melakukan perjalanan tergesa-gesa ini. Tentu ada sesuatu yang tidak beres, pikir mereka dan mereka merasa ngeri membayangkan dusun yang dijadikan sasaran oleh pasukan itu. Biasanya, tiap kali ada pasukan melakukan pembersihan di suatu dusun, akan terjadi hal-hal yang mengerikan…..
********************
Apakah yang terjadi dengan Sin Liong dan Bi Cu di rumah keluarga Kui? Seperti sudah kita ketahui, setelah Lan Lan dan Lin Lin pergi memenuhi perintah ayah mereka untuk menyerahkan surat malam itu juga kepada komandan Kwan di kota raja, Sin Liong dan Bi Cu dilayani oleh Kui Hok Boan sendiri yang memperlihatkan pedang buatan mendiang Bhe Coan kepada Bi Cu.
Selagi mereka bercakap-cakap itu, muncullah pelayan wanita yang membawa hidangan. Melihat ini, Sin Liong dan Bi Cu menjadi sungkan dan kikuk.
"Ahh, harap paman tidak usah repot-repot," kata Sin Liong melihat betapa Kui Hok Boan sendiri yang menemani mereka untuk makan minum.
"Sama sekali tidak. Hari sudah malam, sudah tiba waktunya makan malam. Mari silakan, aku sendiri sudah makan tadi. Mari silakan, nona Bhe."
Melihat kedua orang muda itu kelihatan sungkan-sungkan dan kikuk, Kui Hok Boan lalu bangkit berdiri dan berkata, "Harap kalian berdua makan yang enak, aku akan pergi dulu melakukan sesuatu di dalam. Silakan dan harap makan secukupnya, yang kenyang dan jangan malu-malu. Itu araknya harap diminum, arak wangi yang tidak keras."
Dengan ramah Kui Hok Boan mempersilakan dua orang tamunya, lantas dia mengangguk dan meninggalkan dua orang muda remaja itu. Sesudah Kui Hok Boan pergi, barulah Sin Liong dan Bi Cu tidak merasa kikuk lagi dan karena perut mereka memang sudah lapar, mereka berdua lalu mulai makan.
"Kau suka minum arak?" tanya Sin Liong sambil mengangkat guci untuk dituangkan ke dalam cawan yang tersedia. Bi Cu menggelengkan kepalanya.
"Kami kaum pengemis, mana biasa minum arak?" kata Bi Cu sambil tersenyum. "Pula, mendiang suhu mengatakan bahwa arak berhawa panas, hanya tepat untuk orang-orang tua yang memerlukan bantuan hawa panas supaya memperlancar jalan darah mereka. Tidak, aku tidak biasa minum."
Sin Liong meletakkan kembali guci arak itu ke atas meja. "Aku sendiri juga tidak begitu suka minuman arak. Terlalu banyak arak bisa memabukkan, dan saat-saat seperti ini kita berdua perlu selalu waspada dan sadar."
Mereka lalu makan secukupnya dan minum air teh, sama sekali tidak menyentuh arak di dalam guci. Selagi makan minum, dengan diam-diam Sin Liong memperhatikan ke arah pintu yang menembus ke dalam. Walau pun matanya tidak dapat menembus daun pintu, tapi pendengarannya yang amat tajam berkat kepandaiannya yang tinggi dan sinkang-nya yang kuat, dapat menangkap suara orang di balik daun pintu.
Mula-mula dia menduga bahwa tentu orang itu adalah pelayan yang siap untuk melayani mereka, akan tetapi makin lama dia semakin merasa curiga. Kalau dia pelayan, mengapa bersembunyi di balik pintu? Dan orang itu mempunyai kepandaian tinggi, saat mendekati pintu, langkah kakinya demikian ringan dan sesudah kini bersembunyi di balik pintu, tidak mengeluarkan suara apa-apa kecuali pernapasannya. Suara pernapasan ini sudah cukup bagi pendengaran Sin Liong untuk mengetahui bahwa di balik pintu itu ada orang sedang bersembunyi, agaknya mengintai dan mendengarkan.
Akan tetapi ia pura-pura tidak melihatnya dan melanjutkan makan minum dengan tenang. Bi Cu yang tidak begitu banyak makannya telah meletakkan mangkok dan sumpit di atas meja ketika Sin Liong masih melanjutkan makan. Pada saat itu, pintu terbuka dan sambil makan bakso dari mangkoknya Sin Liong melirik. Ternyata orang yang bersembunyi di balik daun pintu tadi adalah Kui Hok Boan sendiri!
Orang ini masuk sambil mencoba tersenyum, akan tetapi pandang matanya jelas nampak kecewa. "Silakan makan sekenyangnya, nona. Mengapa nona tidak makan?" Dia berkata mempersilakan sambil menghampiri meja.
"Terima kasih, aku sudah makan cukup," Bi Cu berkata, sedangkan Sin Liong masih terus melanjutkan makannya.
Kui Hok Boan duduk. "Ah, nona Bhe, kenapa makan hanya sedikit? Dan ini... ah, kenapa arak dalam guci masih penuh? Apakah kalian tidak mau minum arak yang kusuguhkan?"
"Terima kash paman, kami berdua tidak biasa minum arak," Sin Liong menjawab sambil meletakkan sumpit dan mangkoknya yang kini telah kosong.
"Ahh, bila terlalu banyak minum arak memang bisa mabuk dan tak baik untuk kesehatan. Akan tetapi kalau hanya dua tiga cawan saja, bahkan sangat baik bagi kesehatan. Orang bijaksana selalu berkata bahwa sedikit arak menjadi obat, terlampau banyak arak menjadi racun. Nah, sekarang, mengingat akan kegembiraan pertemuan antara kita, apa salahnya kalian minum barang dua tiga cawan? Nona, engkau adalah seorang murid dari mendiang Hwa-i Sin-kai yang sejak dahulu kukagumi. Kini, bertemu dengan muridnya, perkenankan aku mengucapkan selamat datang dan hormatku kepada mendiang gurumu dan engkau sebagai wakil beliau!" Kui Hok Boan menuangkan arak ke dalam cawan di hadapan dara remaja itu.
Bi Cu merasa bingung akan tetapi tentu saja sulit baginya untuk menolak. Menolak berarti tidak menghormati tuan rumah yang sudah begitu baik hati.
"Aku tidak biasa minum arak, paman, tapi jika hanya secawan saja bolehlah," jawabnya. Ia kemudian mengangkat cawan itu dan meneguk arak dalam cawan sedikit demi sedikit, khawatir tersedak. Akhirnya arak itu pun habis dan Kui Hok Boan tertawa gembira.
"Secawan tadi adalah untuk selamat datang, kini secawan arak penghormatanku kepada mendiang suhu-mu belum kau minum." Dia menuangkan lagi secawan.
Bi Cu tersenyum. "Ahh, paman terlampau mendesak. Akan tetapi aku hanya mau minum secawan lagi kalau paman berjanji tidak akan menambahkan lagi. Yang secawan ini tadi saja sudah membuat perut terasa panas."
"Baik, cukup secawan lagi, minumlah, nona Bhe."
Bi Cu menerima secawan arak itu dan meminumnya lagi. Sin Liong memandang penuh perhatian ketika Bi Cu minum arak itu dan hatinya merasa lega sesudah dara remaja itu menghabiskan dua cawan arak tanpa ada terjadi sesuatu yang mencurigakan. Wajah yang manis dan berkulit halus putih itu sekarang mulai menjadi kemerahan, menambah cantiknya Bi Cu.
"Dan kini untuk kembalimu kepada keluarga kita, Liong-ji, untuk pertemuan yang sungguh menggembirakan ini, aku ingin memberikan selamat kepadamu dengan tiga cawan arak, harap kau suka menerimanya!"
Kui Hok Boan segera menuangkan arak ke dalam cawan Sin Liong sampai tiga kali, dan tanpa ragu-ragu Sin Liong meneguk tiga cawan arak itu ke dalam kerongkongannya. Dia merasa ada hawa aneh bersama arak itu, dan cepat dia lalu mengerahkan sinkang Thi-khi I-beng, Dengan hawa Thi-khi I-beng yang amat kuat dia dapat menekan dan menguasai hawa asing di dalam perutnya itu sehingga hawa itu tak sampai menjalar ke mana-mana! Penggunaan ilmu yang luar biasa ini tentu saja tidak diketahui oleh Bi Cu atau Kui Hok Boan sendiri.
Tak lama kemudian Bi Cu kelihatan mengantuk sekali, beberapa kali dia menutupi mulut dengan punggung tangan ketika dia menahan kuapnya.
"Ahh, nona Bhe kelihatan sudah lelah. Kalau mau tidur, silakan, nona, telah dipersiapkan dua buah kamar untuk kalian. Mari ikut bersamaku, mari Sin Liong, engkau pun agaknya perlu mengaso."
Sebetulnya Sin Liong belum merasa lelah atau mengantuk, akan tetapi melihat keadaaan Bi Cu dia pun berpura-pura mengantuk dan menguap. Dua orang muda itu lalu mengikuti Hok Boan masuk ke dalam dan diam-diam Sin Liong memperhatikan Bi Cu.
Sungguh tidak wajar jika Bi Cu demikian mengantuk dan lelah, padahal tadi masih segar-bugar. Sekarang dara remaja itu hampir tidak kuat melangkah lagi sehingga terpaksa dia memegangi tangannya.
Begitu sampai di depan pintu kamar dan ditunjukkan oleh Kui Hok Boan bahwa itu adalah kamar untuknya, Bi Cu langsung berlari masuk dan menjatuhkan diri di atas pembaringan, dan terus saja dia pulas! Melihat ini, Kui Hok Boan tertawa.
"Ahh, kasihan, dia sudah sangat lelah," katanya sambil menutupkan daun pintunya. "Kau pun tentu amat lelah, Sin Liong."
Sin Liong mengangguk, masih terheran-heran melihat keadaan Bi Cu tadi. "Aku mengaso juga, paman," katanya sambil memasuki kamarnya yang berada di sebelah kamar Bi Cu.
Dia mendengar betapa langkah kaki pamannya meninggalkan kamar itu, maka Sin Liong cepat menutupkan pintu kamarnya, duduk bersila dan mengerahkan hawa sakti di dalam tubuhnya yang telah menekan dan menguasai hawa aneh yang masuk melalui arak tadi, kini memaksa hawa itu keluar dari mulutnya. Setelah semua hawa asing itu habis, barulah dia berani bernapas seperti biasa dan dia mencium bau harum yang aneh.
Diam-diam dia terkejut dan curiga sekali. Benarkah dugaannya bahwa pamannya bermain curang dan membius dia dan Bi Cu melalui arak tadi? Melihat keadaan Bi Cu, sudah jelas tentulah demikian, dan hawa aneh tadi tentu akan membuat dia pulas pula seperti Bi Cu kalau saja tidak dikuasainya dengan Thi-khi I-beng.
Dia segera menghampiri dinding pemisah kamarnya dan kamar Bi Cu, lalu menempelkan telinganya pada dinding itu dan mengerahkan tenaga saktinya untuk mendengarkan. Dia dapat menangkap lapat-lapat suara pernapasan Bi Cu maka tahulah dia bahwa gadis itu masih tidur pulas. Hatinya merasa lega dan dia pun lalu duduk bersila, sama sekali tidak berani tidur, hanya mendengarkan keadaan di sekitarnya, terutama dari arah kamar Bi Cu.
Kurang lebih satu jam kemudian dia mendengar ada suara bisik-bisik dari luar kamarnya, suara bisik-bisik dari tiga orang laki-laki. Dia tidak mampu menangkap kata-kata mereka karena mereka itu berbisik-bisik lirih sekali, akan tetapi dia tahu bahwa yang berbicara itu adalah Kui Hok Boan bersama dua orang laki-laki yang tidak dikenalnya. Mendengar nada suara mereka, tentu dua orang itu adalah laki-laki yang masih muda.
Akan tetapi sebentar saja mereka itu berbisik-bisik, lalu keadaan menjadi sunyi lagi dan terdengarlah bunyi langkah seorang di antara mereka menjauh. Hanya seorang saja yang pergi! Berarti bahwa ada dua orang lain yang tadi datang bersama Kui Hok Boan, tinggal di sekitar luar kamarnya dan kamar Bi Cu! Hati Sin Liong terguncang dan dia pun makin bercuriga. Apakah artinya semua ini?
Sin Liong tetap duduk bersila dengan penuh perhatian ke arah sekelilingnya, namun tidak terjadi sesuatu. Menjelang tengah malam, tiba-tiba saja seluruh urat syaraf pada tubuhnya menegang.
Terdengar suara langkah orang berindap-indap ke arah jendela kamarnya yang berada di belakang, berlawanan dengan pintu kamar. Kemudian, langkah orang ini berhenti di luar jendela kamarnya, kemudian terdengar daun jendela kamar itu bergerak dibuka orang dari luar!
Sin Liong tetap diam saja, menunggu sampai daun jendela itu terbuka dan orang yang membongkar daun jendela itu masuk. Begitu dia melihat bayangan hitam meloncat dan berkelebat masuk dari jendela yang sudah terbuka, dia pun meloncat dan sebelum orang itu mampu bergerak, dia sudah menangkap lengannya. Lengan yang kecil halus!
"Siapa kau...?"
"Sssttt... Liong-ko, aku Lin Lin...!" bisik orang itu yang menyeringai karena lengannya yang dipegang itu terasa nyeri sekali.
"Ehh, adik Lin...? Mengapa kau...?"
"Ssttt, jangan keras-keras... dengarlah baik-baik, Liong-ko. Kau harus cepat pergi dari sini bersama enci Bi Cu, sekarang juga. Cepat... segera akan datang pasukan dari kota raja untuk menangkap kalian...!" suara itu terisak dan ditahannya.
"Hemm, dari mana kau tahu? Siapa yang memberi tahu kepada pasukan kota raja bahwa kami berada di sini?" Sin Liong berbisik dan masih memegang lengan adik tirinya itu akan tetapi dia tidak mempergunakan tenaga lagi.
"...ayah..."
Sin Liong melepaskan pegangannya dan melangkah mundur, menatap wajah adik tirinya dalam kegelapan remang-remang itu. "Dan kalian disuruh ke kota raja untuk melaporkan kehadiran kami...?" Dia berhenti sebentar masih tidak mau percaya. "Mengapa kau... kau sekarang memberi tahu kepadaku...?"
Lin Lin menjadi tak sabar atas sikap Sin Liong yang tak mau cepat-cepat pergi melarikan diri itu. "Dengar, Liong-ko," bisiknya sambil mendekat. "Kami disuruh antar surat kepada Kwan-ciangkun di kota raja. Karena curiga, kami membukanya di jalan dan baru kami tahu bahwa ayah melaporkan engkau. Kami tidak berani membangkang, maka enci Lan melanjutkan perjalanan ke kota raja sedangkan aku diam-diam kembali untuk memberi tahu kepadamu. Nah, kau cepat ajak enci Bi Cu pergi sebelum terlambat!"
"Bi Cu... ahh, kami pun tadi telah disuguhi arak yang agaknya mengandung obat bius..."
"Ahhh... aku menyesal sekali, Liong-ko, ayahku..." Lin Lin tak melanjutkan kata-katanya.
Sin Liong merangkulnya kemudian mencium pipinya. "Lin Lin, kalian baik sekali, aku cinta kepadamu dan kepada Lan-moi..." Dia melepaskan rangkulannya. "Sekarang juga aku akan pergi, akan kuambil Bi Cu dari kamarnya." Dia lalu melangkah hendak keluar melalui jendela itu.
"Liong-ko...!" Lin Lin berbisik.
Sin Liong menoleh."Kau... harap kau maafkan ayahku...!"
"Hemmm...!" Sin Liong mendengus marah, teringat akan pengkhianatan ayah tirinya.
"Demi aku, demi enci Lan...!"
Hening sejenak, kemudian terdengar Sin Liong menarik napas panjang. "Baiklah, Lin-moi, jangan khawatir, akan kulupakan saja apa yang diperbuat oleh ayahmu malam ini."
"Nanti dulu, Liong-ko. Di depan pintu kamar enci Bi Cu dan di depan kamar ini terdapat penjaga-penjaga, mungkin Bu-ko dan Sin-ko juga diperintah oleh ayah untuk melakukan penjagaan. Biarlah kupancing mereka agar melepaskan perhatian dari kamar enci Bi Cu. Kalau engkau nanti sudah mendengar suara kami bercakap-cakap, nah, kau baru boleh memasuki kamar enci Bi Cu dari jendela belakang."
"Baik, Lin-moi, dan terima kasih."
"Akan tetapi, bagaimana selanjutnya engkau akan melarikan diri membawa enci Bi Cu? Bagaimana jika engkau dikejar-kejar kemudian tertawan?" Suara Lin Lin terdengar penuh kegelisahan.
"Serahkan saja kepadaku...!" Sin Liong lalu ke luar dari jendela, didahului oleh Lin Lin.
Dara itu kemudian menyelinap melalui jalan memutar, ada pun Sin Liong berindap-indap mendekati kamar Bi Cu. Memang benar, dia melihat beberapa bayangan orang bergerak dan menjaga di sekitar kamarnya dan kamar Bi Cu, maka dia mendekam di tempat gelap, mendengarkan.....