Pendekar Lembah Naga Jilid 35

Gegerlah keadaan di tempat itu! Tidak ada yang mengira bahwa kini malah muncul guru dari Raja Sabutai sendiri yang menyebar maut di antara mereka yang hendak memasuki sayembara pemilihan guru!

Orang-orang kang-ouw itu menjadi penasaran, terlebih lagi rombongan tosu dan pendeta Lama. Mereka semuanya telah memandang ke atas panggung, akan tetapi pasukan Raja Sabutai telah menjaga dengan rapi dan teratur, menjaga kalau-kalau terjadi keributan dan pengeroyokan.

Akan tetapi nenek keriput itu masih tetap tenang-tenang saja sambil tersenyum-senyum mengerikan. Mulut ompong keriput itu tersenyum, akan tetapi bukan seperti senyum lagi jadinya.

"Hayo, masih ada lagi yang ingin menjadi guru pangeran? Naiklah, siapa yang sanggup melangkahi mayatku, baru boleh menjadi guru pangeran!" tantangnya.

Semua orang kang-ouw saling pandang dengan alis berkerut. Di antara mereka yang tadinya datang untuk mencoba-coba, tentu saja kini mundur teratur. Siapa orangnya yang mau mempertaruhkan nyawa hanya untuk menjadi guru, biar pun guru seorang pangeran? Apa lagi kalau harus bertanding mati-matian melawan nenek yang mengerikan dan yang lihai seperti iblis itu.

Mereka merasa penasaran sekali. Raja Sabutai mengumumkan pemilihan guru silat, lalu jauh-jauh mereka datang dari balik tembok besar, menempuh bahaya dan kelelahan, akan tetapi setelah sampai di sini mereka hanya dihadapkan kepada Hek-hiat Mo-li, datuk yang sudah amat terkenal tinggi ilmunya itu. Kalau mereka tahu akan begini jadinya, tentu saja mereka tak sudi menempuh jarak sejauh itu hanya untuk dihina! Maka, sambil bersungut-sungut mereka memandang Raja Sabutai, biar pun mulut mereka tak berani menyatakan sesuatu, namun pandang mata mereka mengandung protes.

"He-he-he-ha-ha, hayo, siapa yang berani lagi melawan Hek-hiat Mo-li? Majulah, majulah kalian pengecut-pengecut yang mengejar kedudukan, majulah!" Hek-hiat Mo-li seperti gila menantang-nantang, berjingkrak-jingkrak, menari-nari, dan tertawa-tawa di atas panggung sambil mengayun-ayunkan tongkatnya dan berputaran seperti anak kecil yang kegirangan dan merasa bangga sekali.

Raja Sabutai mengerutkan alisnya dan telah bangkit berdiri untuk menegur subo-nya dan mencegah nenek itu bersikap seperti itu, akan tetapi Han Houw yang melihat kemarahan ayahnya sudah berkata, "Ayah, biarkanlah. Aku pun tidak ingin mencari guru baru karena aku sudah memperoleh seorang guru yang hebat. Biarkan subo supaya dia tidak marah-marah."

Sementara itu, pada saat melihat sikap nenek itu, di antara para tamu ada sebagian yang merasa jeri akan tetapi sebagian lagi merasa muak, maka berturut-turut pergilah mereka meninggalkan tempat itu tanpa pamit lagi! Melihat ini, Hek-hiat Mo-li terkekeh dan terus menantang-nantang,

"He-heh-heh, pengecut-pengecut hina. Siapa berani melawanku? Heh-heh, agaknya tidak ada seorang pun yang berani melawan Hek-hiat Mo-li!"

Rombongan tosu dan rombongan Lama telah mengangkat jenazah kawan masing-masing dan siap pergi pula dari tempat yang mulai kosong itu, sama sekali tidak mempedulikan ulah nenek gila di atas panggung.

"Hayo, siapa yang berani, siapa berani melawan Hek-hiat Mo-li! Apakah tak seorang pun di dunia ini yang berani melawanku?"

"Aku yang berani! Aku berani melawanmu!"

Semua orang yang masih belum meninggalkan tempat itu terkejut bukan main dan cepat memandang ke arah panggung di mana seorang pemuda telah berdiri tegak menghadapi nenek gila itu. Pemuda ini bukan lain adalah Sin Liong!

Semenjak tadi pemuda ini sudah terbakar hatinya melihat musuh besarnya itu, lebih lagi menyaksikan kekejamannya. Kemudian, pada saat melihat kesombongannya menantang-nantang semua orang itu, dia tidak tahan lagi dan di luar kesadarannya dia telah meloncat ke hadapan nenek itu dari menyambut tantangannya.

Bukan hanya para sisa tamu yang memandang dengan hati terkejut dan heran, juga Raja Sabutai, keluarga beserta panglima-panglimanya terkejut sekali dan memandang dengan mata terbelalak ke arah pemuda tanggung yang begitu berani mati menyambut tantangan Hek-hiat Mo-li yang sedang keranjingan itu.

"Liong-te, jangan...!" Han Houw juga terkejut sekali lantas berteriak, akan tetapi terlambat karena pada saat itu pula nenek Hek-hiat Mo-li sudah melakukan serangan maut setelah sesaat dia terbelalak kaget dan heran.

"Heh-heh, mampuslah, bocah!" bentaknya.

Tongkatnya sudah menyambar, disusul tamparan tangan kirinya. Dua serangan ini hebat sekali, keduanya mengandung hawa panas dari pukulan Hwi-tok-ciang (Tangan Racun Api) dan bahkan lebih hebat dari pada ketika nenek tadi menyerang tosu dan Lama. Hal ini adalah karena nenek itu marah sekali ditantang oleh seorang bocah, suatu hal yang dianggap sangat merendahkan dan menghinanya di hadapan orang banyak. Sebab itu dia menyerang hebat, dengan maksud untuk menghancurkan kepala dan memecahkan dada bocah yang lancang dan berani menghinanya itu.

"Krekk...! Plakk...!"

Pertemuan dua pasang tangan dan lengan itu akibatnya cukup mengejutkan. Keduanya terdorong ke belakang, bahkan nenek itu terhuyung dan tongkat bututnya patah menjadi dua potong! Pada waktu itu, Han Houw sudah meloncat dan menghadang di depan Sin Liong sambil berkata kepada Hek-hiat Mo-li yang masih terbelalak memandang kepada tongkatnya yang patah.

"Subo... tahan... jangan serang dia, dia adalah adik angkatku sendiri!"

Hek-hiat Mo-li tercengang. Dia merasa bagaikan mimpi. Ada bocah yang masih ingusan bukan saja sudah berani dan kuat menahan pukulan-pukulannya, bahkan mematahkan tongkatnya lantas membuatnya terdorong mundur dan terhuyung. Dadanya terasa sesak tanda bahwa lawan itu memiliki sinkang yang luar biasa kuatnya!

"Adik angkatmu...? Heh, adik angkat macam apa ini...!" Dia mengomel, akan tetapi nenek itu meloncat jauh dan sebentar saja dia sudah lenyap dari pandangan mata, entah pergi ke mana.

"Maaf, Houw-ko, kesombongannya membuat aku lupa diri...," Sin Liong berkata kepada Han Houw, tidak peduli dengan pandang mata pangeran itu yang penuh kekaguman dan keheranan.

"Oguthai, siapakah dia itu?" Mendadak terdengar suara keras dan ternyata Raja Sabutai telah berdiri di belakang pangeran itu.

"Ayah, ini adalah Liong Sin Liong, adik angkatku."

"Adik angkat? Dia... dia hebat sekali..." Raja Sabutai memandang penuh keheranan dan kekaguman.

Sebagai murid tersayang dari Hek-hiat Mo-li dan mendiang Pek-hiat Mo-ko, tentu saja dia mengenal pukulan subo-nya tadi. Melihat betapa pemuda tanggung ini tidak hanya kuat bertahan terhadap pukulan itu, bahkan dapat menangkis hingga tongkat subo-nya patah dan subo-nya terdorong mundur, dia betul-betul merasa amat takjub. Dan kini mendengar bahwa bocah luar biasa ini adalah adik angkat dari puteranya, dia makin terheran-heran.

"Memang hebat dia, ayah. Dia adik angkatku dan juga suheng-ku."

"Hee? Bagaimana ini?" Raja itu bertanya heran.

"Kami sudah mengangkat saudara, dan karena dia lebih muda, maka dia adalah adik angkatku, akan tetapi karena aku akan belajar kepada gurunya, seperti kukatakan tadi bahwa aku telah mendapatkan seorang guru, maka dia pun terhitung suheng-ku."

"Ahh, begus sekali!" raja itu berseru girang. Melihat kelihaian pemuda tanggung itu yang sudah kuat melawan subo-nya, dia percaya bahwa guru yang didapatkan oleh puteranya itu tentu seorang yang sakti luar biasa. "Siapakah gurumu itu?"

"Aku belum diterima menjadi muridnya, akan tetapi aku ingin berguru kepadanya, ayah. Namanya adalah Bu Beng Hud-couw..."

"Ahh...?!" Raja Sabutai terbelalak kemudian memandang kepada puteranya seperti orang melihat setan di tengah hari. "Bu Beng Hud-couw? Akan tetapi itu... itu adalah nama tokoh dalam dongeng..."

"Akan tetapi buktinya, Liong-te sudah memperoleh ilmu yang hebat, bukan?" bantah Han Houw.

"Orang muda, benarkah..., benarkah engkau murid tokoh dongeng Bu Beng Hud-couw?" Raja Sabutai bertanya, suaranya mengandung ketidakpercayaan.

Sin Liong menjura. "Begitulah menurut keterangan suheng Ouwyang Bu Sek, sri baginda. Akan tetapi terus terang saja, saya sendiri belum pernah jumpa dengan suhu." Kemudian dia menoleh kepada Han Houw lantas berkata, "Houw-ko, maafkan aku, apa bila engkau masih banyak urusan di sini, aku hendak kembali dulu ke selatan."

"Ah, kenapa begitu tergesa-gesa, Liong-te? Aku mau minta bantuanmu," kata Han Houw sambil memegang lengan adik angkatnya.

"Bantuan apakah itu, Houw-ko?"

"Engkau tentu tahu bahwa selama ketua Jeng-hwa-pang masih berkeliaran maka nyawa dan keselamatanku terancam. Karena itu aku sendiri akan mencarinya dan harap engkau suka membantuku."

"Hemmm... kalau begitu baiklah," kata Sin Liong yang tidak mampu menolak karena dia juga tahu bahwa ketua Jeng-hwa-pang adalah seorang manusia keji, tidak kalah kejinya dibandingkan dengan Hek-hiat Mo-li atau Kim Hong Liu-nio, dan bahwa kegagalan utusan tadi tentu membuat ketua Jeng-hwa-pang itu penasaran dan akan turun tangan sendiri.

Terpaksa malam itu Sin Liong bermalam di Istana Lembah Naga, membiarkan Han Houw bertemu dengan ayah bundanya dan menceritakan segala pengalamannya. Raja Sabutai, dan terutama sekali permaisurinya, Ratu Khamila, merasa girang dan bangga bukan main mendengar bahwa Ceng Han Houw kini secara resmi sudah menjadi pangeran Kerajaan Beng-tiauw, menjadi saudara yang terkasih dari kaisar yang baru, yaitu Kaisar Ceng Hwa. Bahkan putera mereka itu menjadi utusan pribadi kaisar untuk mengadakan pemeriksaan ke daerah selatan dengan kekuasaan penuh!

Akan tetapi, lebih girang lagi hati Raja Sabutai setelah mendengar bahwa putera mereka akan dapat berguru kepada seorang tokoh dongeng yang memiliki kepandaian demikian hebatnya, terbukti dari kelihaian Sin Liong yang masih begitu muda.

Dua hari kemudian, berangkatlah Han Houw dan Sin Liong meninggalkan Lembah Naga untuk pergi mencari Tok-ong Gak Song Kam, ketua dari Jeng-hwa-pang. Pada saat Raja Sabutai hendak memberi pengawal sepasukan tentara, Han Houw segera menolak dan mengatakan bahwa dia, dengan bantuan Sin Liong, sudah cukup kuat untuk menghadapi Jeng-hwa-pang. Dia hanya memilih dua ekor kuda yang amat baik untuk mereka berdua, kemudian setelah membawa bekal secukupnya, berangkatlah dua orang muda ini menuju ke selatan kembali karena Han Houw tahu bahwa Jeng-hwa-pang selalu bersarang di daerah perbatasan tembok besar.

Lega rasa hati Sin Liong telah dapat meninggalkan tempat yang banyak menimbulkan kenangan sedih itu. Akan tetapi diam-diam dia masih merasa penasaran bahwa dia belum sempat menjumpai Hek-hiat Mo-li sendirian saja untuk dilawan sebagai musuhnya yang telah menyebabkan tewasnya Cia Keng Hong, kakek dan gurunya yang disayangnya itu.

Dan dia pun masih penasaran tidak melihat adanya Kim Hong Liu-nio, wanita iblis yang menjadi musuh besarnya pula, pembunuh dari ibu kandungnya. Di dalam hati dia berjanji bahwa kalau dia sudah dapat memisahkan diri dari Han Houw, maka dia akan kembali dan mencari kedua orang musuh besar itu…..

********************

Di sebuah rumah besar yang sederhana di kota Leng-kok, terdapat suatu perayaan pesta pernikahan yang cukup sederhana, namun sangat meriah karena banyaknya tamu yang berdatangan. Tidaklah mengherankan kalau yang datang banyak terdiri dari orang-orang kang-ouw, bahkan wakil-wakil dari perkumpulan-perkumpulan besar, karena yang punya kerja adalah seorang pendekar yang namanya sudah terkenal di seluruh dunia kang-ouw, seorang pendekar sakti yang pernah menggegerkan dunia persilatan. Pendekar itu bukan lain adalah Yap Kun Liong.

Walau pun pendekar ini tidak pernah menonjolkan diri dan tidak pernah memperlihatkan kepandaian silatnya yang amat tinggi kalau keadaaan tidak memaksanya, namun setiap orang mengenal belaka siapa adanya pendekar sakti Yap Kun Liong. Di dalam cerita Petualang Asmara dan Dewi Maut, kita sudah cukup lama berkenalan dengan Yap Kun Liong, mengikuti riwayat hidupnya yang penuh suka duka seperti juga riwayat hidup setiap manusia!

Akhirnya, dengan berkah serta restu dari mendiang Cia Keng Hong, pendekar ini berani menempuh hidup berdua bersama wanita yang dikasihinya, yaitu puteri ketua Cin-ling-pai itu, Cia Giok Keng. Mereka hidup sebagai suami isteri yang saling mencinta, dua orang yang keadaannya tidak jauh bedanya.

Yap Kun Liong adalah seorang duda yang sudah ditinggal mati oleh isterinya, sedangkan Cia Giok Keng adalah seorang janda pula, ditinggal mati suaminya dan keadaan kematian isteri dan suami mereka pun sama, yaitu dibunuh orang. Biar pun Yap Kun Liong tidak mendapatkan anak dari isterinya yang terbunuh itu, yaitu Pek Hong Ing, akan tetapi dia mempunyai seorang puteri dari wanita lain sebelum dia menikah dengan Pek Hong Ing, yaitu Yap Mei Lan yang lahir dari ibunya yang bernama Liem Hwi Sian. Ada pun Cia Giok Keng ditinggal mati oleh suaminya dengan dua orang anak, yaitu yang pertama adalah Lie Seng, sedangkan yang ke dua adalah Lie Ciauw Si.

Pesta pernikahan siapakah yang dirayakan di rumah pendekar Yap Kun Liong itu? Pesta pernikahan yang sesungguhnya telah ditunda sampai tiga tahun berhubung dengan masa perkabungan atas kematian kakek Cia Keng Hong, yaitu pernikahan antara Yap Mei Lan dan Souw Kwi Beng!

Antara dua orang muda yang sudah cukup dewasa ini, bahkan sudah terlampau dewasa, timbul perasaan saling cinta yang mendalam dan Souw Kwi Eng, yaitu janda Tio Sun, yang menyampaikan permohonan saudara kembarnya itu untuk meminang Yap Mei Lan kepada Yap Kun Liong. Karena memang sudah ada kontak di antara kedua orang itu, Yap Kun Liong langsung menerimanya dengan baik, akan tetapi pesta pernikahan itu terpaksa harus diundur sampai selesai masa perkabungan atas kematian kakek Cia Keng Hong, yaitu selama tiga tahun.

Sepasang pengantin itu memang sudah agak kasep. Umur Souw Kwi Beng sudah tiga puluh tiga tahun, sedangkan umur Yap Mei Lan sudah dua puluh sembilan tahun! Akan tetapi, cinta tidak mengenal usia, dan bahkan dalam usia sedemikian itu keduanya sudah cukup matang, sudah hilang sifat kekanak-kanakan mereka lagi.

Pendekar Yap Kun Liong sudah berusia lima puluh dua tahun, namun dia masih nampak gagah dan tampan dalam pakaiannya yang baru ketika dia kelihatan menyambut para tamu dengan wajah berseri gembira. Hati siapa yang tak akan gembira menghadapi pesta pernikahan puterinya, untuk pertama kali?

Dalam keadaan seperti itu, seorang pria akan merasakan sesuatu yang istimewa, yang memberi tahu kepadanya bahwa dia sudah memasuki lapisan usia yang tertentu, yaitu mulai mempunyai mantu dan besar kemungkinan dalam waktu satu atau dua tahun dia akan menjadi kakek, mempunyai cucu! Melihat pria ini menyambut tamu dengan senyum ramah dan sikap lembut, tentu tidak akan ada yang menduga bahwa dia adalah seorang pendekar yang sukar dicari bandingnya di waktu itu!

Di sampingnya, nampak seorang wanita cantik sekali juga menyambut para tamu dengan ramah. Wanita ini adalah isteri pendekar itu, Cia Giok Keng, yang sesungguhnya sudah berusia lima puluh satu tahun, akan tetapi sulit dipercaya bila dia sudah berusia setengah abad lebih sebab melihat wajahnya yang cantik dan bentuk tubuhnya yang masih ramping padat, orang akan menyangka bahwa usianya tentu jauh kurang dari empat puluh tahun.

Walau pun Yap Mei Lan hanya anak tirinya, namun nyonya yang pada waktu mudanya merupakan seorang gadis yang berhati baja dan berkepala batu ini menganggap Mei Lan sebagai seorang anak sendiri. Memang terjadi perubahan besar sekali setelah Cia Giok Keng menjadi isteri Yap Kun Liong.

Suami isteri ini amat terkenal. Sang suami adalah pendekar besar di masa itu sedangkan sang isteri juga seorang pendekar wanita, puteri dari kakek Cia Keng Hong, yakni ketua Cin-ling-pai yang ditakuti lawan dan disegani kawan. Maka, para tamu yang menerima penyambutan mereka semua tersenyum ramah, menghaturkan selamat dan memandang kagum kepada pasangan ini.

Di antara para penyambut, yang sibuk membantu fihak tuan rumah yang punya kerja, nampak terutama sekali Cia Bun Houw dan Yap In Hong. Suami isteri yang berbahagia ini, yang sesungguhnya baru beberapa tahun saja menjadi suami isteri dalam arti yang sesungguhnya, tak kalah terkenalnya dibandingkan dengan Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng.

Pada waktu itu, Cia Bun Houw sudah berusia tiga puluh enam tahun dan Yap In Hong berusia tiga puluh lima tahun dan keduanya merupakan adik-adik kandung dari tuan dan nyonya rumah. Cia Bun Houw adalah adik kandung Cia Giok Keng, sedangkan Yap In Hong adalah adik kandung Yap Kun Liong!

Dalam hal kepandaian silat, kedua orang suami isteri ini bahkan tidak kalah dibandingkan dengan Yap Kun Liong dan isterinya! Apa lagi setelah pasangan suami isteri ini berhasil menggabungkan tenaga Thian-te Sin-ciang, mereka sudah mencapai tingkat yang sangat hebat dalam tenaga sakti peninggalan dari Kok Beng Lama itu. Para tokoh kang-ouw yang datang juga memandang kepada suami isteri muda itu dengan sinar mata kagum.

Selain Cia Bun Houw dan isterinya, masih terdapat pula Souw Kwi Eng, janda Tio Sun yang merupakan adik kembar dari mempelai pria, serta Lie Seng, yaitu putera Cia Giok Keng yang masih sute dari mempelai wanita. Sebagai murid mendiang Kok Beng Lama, tentu saja Lie Seng juga merupakan seorang pemuda yang amat lihai, seperti suci-nya yang kini duduk sebagai mempelai wanita.

Pendeknya, yang punya kerja dan yang menikah merupakan keluarga pendekar-pendekar yang memiliki tingkat kepandaian sangat tinggi, tergolong pendekar-pendekar kelas satu! Maka tidaklah mengherankan apa bila pesta perayaan itu walau pun sederhana namun menjadi amat meriah dengan hadirnya tokoh-tokoh kang-ouw yang kenamaan dan bahkan wakil-wakil dari partai-partai persilatan yang besar.

Hanya ada satu hal yang merupakan ganjalan di dalam hati keluarga itu, terutama dalam hati Cia Giok Keng, yaitu tidak hadirnya Lie Ciauw Si. Seperti telah diceritakan di bagian depan dara ini meninggalkan Cin-ling-san untuk pergi menyusul pamannya, Cia Bun Houw yang kepergiannya mendukakan hati kongkong-nya. Dan semenjak dara itu pergi, sampai sekian lamanya belum juga kembali dan tidak diketahui ke mana perginya. Inilah yang merupakan ganjalan di hati keluarga itu.

Para tamu mulai memenuhi ruangan tamu yang dihiasi dengan bunga-bunga, kertas dan kain beraneka warna, sebagian besar yang diutamakan adalah warna merah, sedangkan meja-meja mulai penuh dikelilingi tamu yang semua memperlihatkan senyum dan wajah berseri-seri seperti yang biasa nampak dalam suatu pesta pernikahan. Suasana gembira mempengaruhi semua orang dan hampir semua tamu membicarakan keluarga tuan rumah dan memuji ketampanan mempelai pria yang berdarah campuran barat itu.

Sekarang tamu yang berdatangan mulai berkurang dan ruangan itu sudah hampir penuh. Tiba-tiba Souw Kwi Eng yang sedang sibuk mengurus dan mengepalai para pelayan itu menahan seruannya, dan matanya yang bersinar tajam dan agak kebiruan itu terbelalak memandang ke depan, ke arah seorang tamu tua yang masuk diiringkan dua orang lagi, dan wajah nyonya muda ini menjadi marah, matanya berkilat-kilat tanda bahwa hatinya menjadi panas dan marah sekali.

Melihat keadaan nyonya janda ini, Lie Seng cepat memandang dan terkejutlah dia ketika mengenal siapa orangnya yang datang itu. Pantas nyonya janda Tio Sun itu kelihatan marah karena yang muncul sebagai tamu dan diiringkan oleh dua orang pembantunya itu, bukan lain adalah seorang kakek yang berpakaian tambal-tambalan akan tetapi semua tambalannya terbuat dari kain baru, kakek yang usianya enam puluh tahun lebih, bertubuh pendek kurus dan mukanya sempit kaya muka tikus, kakek yang bukan lain adalah Hwa-i Sin-kai, ketua dari Hwa-i Kaipang! Kakek yang dituduh sebagai pembunuh suami nyonya janda ini!

Alanglah beraninya Hwa-i Sin-kai datang ke sini, pikir Lie Seng yang juga memandang penuh perhatian ke arah ketua Hwa-i Kaipang yang diikuti oleh dua orang kakek tokoh Hwa-i Kaipang tingkat dua itu.

"Bedebah... kubunuh dia...," desis Souw Kwi Eng, akan tetapi Lie Seng cepat menyentuh lengan janda muda ini.

"Enci... harap tenang dan sabarlah," bisiknya pelan. "Serahkan saja kepada ibu dan ayah sebagai tuan rumah, tidak baik kalau kita membikin kacau pada hari baik ini. Ingat, hari ini adalah hari pernikahan saudaramu, yaitu suami dari suci-ku."

Souw Kwi Eng mengangguk dan menggunakan punggung lengan baju untuk menghapus dua titik air mata dengan cepat, kemudian cepat menyibukkan dirinya dengan pekerjaan, sungguh pun perhatiannya tak pernah lepas dari kakek pengemis yang disambut oleh Yap Kun Liong dan isterinya.

Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng menyambut dengan wajah berseri dan bibir tersenyum ramah seperti ketika menyambut para tamu lainnya, akan tetapi mereka saling bertukar pandang dengan cepat dan sebagai suami isteri yang saling mencinta, yang seolah-olah mempunyai hubungan yang lebih mesra dan lebih dekat dibandingkan pandang mata dan kata-kata biasa, mereka pun telah saling mengerti.

Keduanya merasa heran akan kunjungan ketua perkumpulan pengemis ini. Mereka telah mendengar penuturan Cia Bun Houw, bahkan penuturan mantu mereka mengenai ketua pengemis ini yang disangka adalah pembunuh dari Tio Sun. Mengapa sekarang kakek ini berani datang?

Akan tetapi Yap Kun Liong adalah seorang pendekar yang luas pengetahuannya dan juga tajam pandangannya. Melihat pandang mata dan sikap pengemis tua itu, Yap Kung Liong segera mengerti bahwa kedatangan kakek ini bukan semata-mata untuk menghadiri pesta perayaan, melainkan mengandung maksud lain yang mendalam. Oleh karena itu, ketika menerima ucapan selamat, dia berbisik,

"Apakah pangcu mempunyai sesuatu untuk disampaikan kepada kami secara rahasia?"

Kakek pengemis itu tersenyum dan memandang kagum. "Ah, Yap-taihiap memang hebat, saya akan senang sekali kalau dapat terpenuhi keinginan saya itu."

"Silakan, pangcu, silakan...!" Yap Kun Liong kemudian mendahului tamunya itu, bersama isterinya memasuki ruangan dalam.

Dengan isyarat matanya Yap Kun Liong menyuruh isterinya serta Yap In Hong adiknya untuk mewakilinya menyambut para tamu, kemudian dia bersama tamunya itu memasuki ruangan dalam. Tak lama kemudian muncul pula Souw Kwi Eng, Lie Seng, dan Cia Bun How. Dua orang kakek pengemis tingkat dua sudah dipersilakan duduk di ruangan tamu, karena kalau mereka dibiarkan ikut masuk, akan terlalu menarik perhatian orang.

Melihat wajah Souw Kwi Eng yang merah serta matanya yang memandang dengan sinar mata penuh kebencian kepadanya, ketua Hwa-i Kaipang langsung menjura dan berkata kepada nyonya janda muda itu, "Percayalah, nyonya muda, kegelisahan dan kedukaanku tidak lebih kecil dari pada yang kau derita. Kedatanganku ini untuk menceritakan keadaan yang sebenarnya."

"Duduklah, pangcu, mari kita bicara dengan terbuka," kata Yap Kun Liong mempersilakan semua orang duduk.

"Saya tidak akan mengganggu terlalu lama karena taihiap sekeluarga sedang sibuk, dan maafkan kedatanganku mengganggu. Memang saya sengaja datang pada saat ini supaya tidak menarik perhatian orang. Nah, sekarang harap taihiap sekalian suka mendengarkan penuturanku baik-baik."

Hwa-i Sin-kai lalu mulai menceritakan tentang asal mula sebab permusuhan antara Hwa-i Kaipang dan seorang wanita yang bernama Kim Hong Liu-nio. "Seorang anggota kami, pengemis she Tio yang berada di Hua-lai telah dibunuh oleh wanita iblis itu tanpa sebab, tanpa kesalahan. Oleh karena itu, fihak kami terus membayanginya sampai dia berada di kota raja dan di sana para tokoh perkumpulan kami lalu minta pertanggungan jawabnya karena telah membunuh seorang anggota kami tanpa sebab. Tetapi wanita iblis itu tidak mempertanggung jawabkan, bahkan merobohkan beberapa orang di antara kami. Itulah asal mula permusuhan antara kami dengan Kim Hong Liu-nio." 

Kemudian dia menceritakan tentang kekalahan berturut-turut dari para pembantunya, dan betapa ketika mereka berhasil mengepung wanita itu di luar kota raja, muncul Panglima Lee Siang yang menyelamatkan wanita itu dan membawanya ke gedungnya.

"Oleh karena wanita itu bersembunyi di dalam gedung Lee-ciangkun, maka saya terpaksa menantangnya. Dan ternyata wanita itu menjawab bahkan menantang supaya saya suka datang ke gedung itu pada waktu malam yang ditentukan untuk bertanding. Tentu saja saya penuhi permintaannya itu, dan ketika saya tiba di sana pada malam hari itu, yang muncul bukan wanita iblis itu melainkan Panglima Lee yang langsung menyerang saya. Kemudian, dan sungguh di luar dugaan saya, muncul pula Tio Sun taihiap yang agaknya membela Lee-ciangkun. Padahal Lee-ciangkun adalah orang yang melindungi wanita iblis itu, maka saya menjadi marah hingga terjadi perkelahian antara saya dan Tio-taihiap. Dan di dalam pertandingan itu, entah bagaimana, tahu-tahu Tio-taihiap roboh dan tewas! Saya terkejut sekali, apa lagi ketika muncul wanita itu dan Lee-ciangkun juga mempersiapkan penjaga-penjaga, maka saya lalu melarikan diri membawa keheranan kenapa Tio-taihiap tewas dalam perkelahian melawan saya, padahal saya tidak merasa menjatuhkannya."

"Seorang gagah tidak akan mengelak dari akibat perbuatannya!" Tiba-tiba Souw Kwi Eng berseru. "Sudah jelas bahwa kematian suamiku adalah dalam pertandingan melawanmu, padahal dia bukan hendak memusuhimu, hanya hendak mendamai ciangkun kepadanya. Akan tetapi kau... kau membunuhnya, tentu dengan kecurangan."

"Tenanglah, dan biarkan pangcu menjelaskan dahulu. Bagaimana selanjutnya, pangcu?" tanya Yap Kun Liong.

Kakek pengemis itu menarik napas panjang, lalu melanjutkan. "Telah puluhan tahun saya malang melintang di dunia kang-ouw, meski pun menjadi pengemis namun belum pernah melakukan hal-hal yang memalukan dan pengecut. Juga saya belum pernah menghadapi urusan yang begini memusingkan dan mendatangkan duka, karena saya dituduh sudah membunuh seorang pendekar tanpa sebab. Memang betul saya telah membunuh banyak orang, akan tetapi tidak pernah tanpa sebab seperti yang terjadi atas diri Tio-taihiap. Saya merasa penasaran, apa lagi setelah tempat kami diserbu oleh sepasang suami isteri yang sekarang menjadi pengantin, oleh janda Tio-taihiap dan oleh pendekar muda yang lihai ini. Mulailah saya melakukan penyelidikan dan akhirnya terbuka juga semua rahasia itu."

"Apa yang sesungguhnya terjadi?" Yap Kun Liong bertanya, merasa tertarik.

"Semuanya adalah gara-gara perempuan iblis busuk itu! Dia bukan hanya bersembunyi di dalam gedung Lee-ciangkun, malah dia juga menjadi kekasih gelapnya. Celakanya, selain menjadi kekasih Lee-ciangkun, juga wanita itu pernah berjasa terhadap kaisar sehingga dilindungi oleh istana kaisar. Menurut penyelidikan yang saya peroleh dengan menyebar mata-mata di luar dan dalam gedung Lee-ciangkun, dengan menyogok pelayan-pelayan dan prajurit-prajurit pengawal, saya bisa memperoleh keterangan yang amat jelas bahwa ketika saya datang ke sana memenuhi tantangan wanita iblis itu, memang sebelumnya Lee-ciangkun telah menghubungi Tio-taihiap dan memang hal itu merupakan jebakan bagi Tio-taihiap. Wanita iblis itu memang ingin membunuh Tio-taihiap dan untuk keperluan itu saya dijebak pula agar kelihatannya saya yang menjadi pembunuhnya."

"Tidak masuk akal," Souw Kwi Eng membantah. "Suamiku tidak pernah mengenal wanita bernama Kim Hong Liu-nio itu, mengapa dia hendak membunuh suamiku?"

"Harap nyonya muda berlaku tenang dan sabar," pengemis tua itu berkata, "tadinya saya pun beranggapan demikian, akan tetapi kemudian setelah saya selidiki, saya teringat pula bahwa wanita itu ke mana pun dia pergi selalu membawa salib kayu yang bertuliskan tiga huruf, yaitu nama keturunan tiga keluarga, keluarga Cia, Yap dan Tio. Dan dia pun pernah mengaku bahwa pada waktu dia membunuh anggota kami yang she Tio di Huai-lai, yang dimusuhinya bukanlah Hwa-i Kaipang, melainkan she Tio itulah. Jadi anggota kami pun dibunuh karena she Tio. Jelas bahwa itulah sebab pembunuhan atas diri Tio-taihiap dan dalam hal ini dibantu oleh Lee-ciangkun yang sengaja memancing datangnya Tio-taihiap bersamaan waktunya dengan kedatanganku memenuhi tantangan Kim Hong Liu-nio."

"Ahh, keteranganmu ini memang cocok sekali, pangcu! Kini mengertilah aku!" Bun Houw berkata sambil mengepal tinjunya. "Kiranya nenek tua bangka itu juga memasukan nama Tio-twako dalam daftar musuh-musuhnya! Jelas bahwa she Cia itu dimaksudkan adalah aku sendiri, she Yap tentu Yap-twako dan isteriku. Karena memang tiga she itulah yang pernah menggempur Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko di Lembah Naga! Dan Kim Hong Liu-nio itu adalah murid Hek-hiat Mo-li, maka tentu saja dia sengaja hendak membunuh Tio-twako atas perintah gurunya, dan untuk melaksanakan hal itu dia sudah dibantu oleh Lee-ciangkun, bahkan kemudian melemparkan kesalahannya kepada Hwa-i Sin-kai yang juga menjadi musuhnya, untuk mengadu domba!"

Semua orang mengangguk-angguk mendengar ini, dan Souw Kwi Eng terisak. "Aku harus membalas dendam! Iblis betina itu tidak saja telah membunuh suamiku, akan tetapi juga menyebabkan kematian Cia-locianpwe..."

"Tidak, aku sendiri yang harus mencarinya, membunuh iblis betina itu dan gurunya!" kata Bun Houw marah.

"Dan pembesar Lee yang sangat curang dan pengecut itu pun harus diberi hukuman yang setimpal!" kata pula Lie Seng.

"Pembesar Lee itu amat berpengaruh dan kekuasaannya di kota raja cukup besar maka akan sulitlah untuk mengganggunya," kata Hwa-i Sin-kai. "Bila kita menyerang rumahnya, tentu dapat dicap pemberontak, maka sebaiknya harus memancing keluar iblis betina itu. Panglima Lee Siang adalah adik Panglima Lee Cin, kepala Kim-i-wi, pasukan pengawal kaisar yang terkenal..."

"Ah, adik dari Panglima Lee Cin?" Bun Houw dan Kun Liong berseru kaget. Tentu saja mereka mengenal Lee Cin, kepala pasukan yang memimpin pasukan ke Lembah Naga belasan tahun yang lalu itu.

"Lebih baik lagi kalau begitu," Yap Kun Liong berkata, "biar nanti kutemui Panglima Lee Cin yang kita kenal sebagai seorang panglima yang gagah dan jujur, dan kita ceritakan tentang perbuatan adiknya agar dia yang memaksa Kim Hong Liu-nio keluar."

"Akan tetapi, hal ini kiranya tidak perlu merepotkan Yap-twako. Biarlah aku sendiri pergi bersama isteriku, kami berdua kiranya sudah cukup untuk membasmi iblis semacam Kim Hong Liu-nio dan gurunya." kata Bun Houw dan Yap Kun Liong mengangguk menyetujui karena dia pun maklum akan kelihaian Bun Houw dan In Hong yang pernah mengalahkan Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko.

Tiba-tiba saja terdengar suara hiruk-pikuk di sebelah luar. Suara gaduh dari banyak sekali orang, bahkan terdengar pula derap kaki kuda yang banyak sekali dan suara bentakan-bentakan nyaring. Mereka yang sedang bercakap-cakap di dalam ini menjadi terkejut dan heran, akan tetapi tiba-tiba Cia Giok Keng dan Yap In Hong menerobos masuk ke dalam kamar itu, wajah mereka membayangkan ketegangan den kekhawatiran.

"Ada pasukan pemerintah datang untuk menangkap kita!" berkata Cia Giok Keng kepada suaminya.

"Ahh, apa sebabnya?"

"Entah, akan tetapi komandannya membawa surat perintah untuk menangkap kita berdua, Bun How, dan In Hong!" jawab Giok Keng, mukanya menjadi pucat.

"Kita serbu saja dan usir mereka!" kata Yap In Hong, akan tetapi suaminya memegang lengannya, menyuruh isterinya bersikap sabar.

Mendadak terdengar suara lantang di luar, "Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng, atas nama kaisar, menyerahlah kalian berempat dan ikut bersama kami ke kota raja sebagai tawanan!"

Yap Kun Liong mengerahkan khikang-nya dan berseru dari dalam ruangan itu. "Apakah alasannya kami hendak ditangkap?"

Suaranya mengatasi semua kegaduhan dan terdengar bergema sampai di luar ruangan pesta.

Suasana menjadi sunyi sekali sesudah terdengar bentakan nyaring ini, dan semua tamu yang tadinya gaduh dan merasa tegang dan khawatir, kini mendengarkan dengan penuh perhatian. Semua mata memandang keluar, hampir semua pandang mata membayangkan penentangan terhadap pasukan pemerintah itu.

Kemudian terdengar suara nyaring menjawab, sungguh pun getaran dan gemanya tidak sekuat suara Yap Kun Liong tadi, namun suara ini pun cukup nyaring melengking karena didorong oleh tenaga khikang yang kuat.

"Kami membawa perintah dari Sri baginda Kaisar untuk menangkap Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng yang dituduh telah bersekutu dengan para pemberotak Hwa-i Kaipang dan Pek-lian-kauw. Karena itu menyerahlah kalian berempat dengan baik-baik sebelum kami serbu!"

"Keparat!" Hwa-i Sin-kai berteriak dan tubuhnya sudah melesat keluar.

Kakek ini marah sekali mendengar bahwa Hwa-i Kaipang dituduh sebagai pemberontak, disamakan dengan Pek-lian-kauw. Memang dia dan anak buahnya tidak pernah merasa tunduk dan suka kepada pemerintah karena melihat para pembesarnya hampir sebagian besar terdiri dari pemeras-pemeras rakyat dan orang-orang yang korup, namun mereka tidak pernah memberontak.

Kini, ketika mendengar ada pasukan hendak menangkap para pendekar dengan tuduhan bersekutu dengan Hwa-i Kaipang yang dicap sebagai pemberontak, tahulah dia bahwa tentu perkumpulannya di kota raja sudah diserbu dan dibasmi oleh pasukan pemerintah. Dia pun dapat menduga bahwa hal ini tentu ada hubungannya dengan Kim Hong Liu-nio dan Lee-ciangkun. Karena itu, kemarahannya meluap dan dia telah berlari keluar lantas mengamuk, merobohkan beberapa orang prajurit dengan tongkatnya yang digerakkannya secara lihai bukan main.

Maka gegerlah para prajurit yang mengepung tempat itu. Kakek yang berpakaian tambal-tambalan itu adalah ketua Hwa-i Kaipang dan dia adalah seorang tokoh yang terkenal memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi. Maka ketika kakek ini mengamuk, dalam waktu singkat robohlah dua puluh orang lebih kena disambar tongkatnya yang berubah menjadi sinar berkelebatan itu.

Akan tetapi, komandan pasukan segera memberi aba-aba dan kakek ini pun dikeroyok oleh banyak sekali prajurit. Juga sang komandan berikut para pembantunya yang memiliki kepandaian silat lumayan sudah bergerak pula ikut mengepung.

Bagaikan seekor jangkerik yang dikeroyok ratusan ekor semut, Hwa-i Sin-kai mengamuk. Makin banyak lagi prajurit roboh akibat amukan tongkatnya, akan tetapi kini para prajurit menggunakan senjata panjang, yaitu tombak dan bahkan mulai melepaskan anak panah.

Dihujani serangan tombak dan anak panah, walau pun pada mulanya Hwa-i Sin-kai dapat menangkis runtuh semua senjata, namun lambat-laun tenaganya yang sudah tua itu pun berkurang dan mulai ada anak panah yang mengenai tubuhnya dan menancap menembus kulit dagingnya.

Kalau saja dia menghendaki, agaknya kakek ini masih akan mampu untuk melarikan diri mempergunakan ginkang-nya. Akan tetapi agaknya dia sudah terlampau marah. Selama tiga tahun lebih dia menanggung dendam terhadap Kim Hong Liu-nio karena perbuatan wanita itu beserta Lee Siang telah menempatkan dia dalam kedudukan tidak enak sekali, yaitu bermusuhan dengan keluarga pendekar Tio, Cia dan Yap, bahkan anak buahnya banyak yang menjadi korban dalam pertempuran dan dia sendiri selalu menyembunyikan diri, khawatir bertemu dengan keluarga pendekar itu.

Sekarang, sesudah dia berhasil membongkar rahasia Kim Hong Liu-nio dan Lee Siang, sesudah dia mulai akan berbaik kembali dengan keluarga pendekar itu, tiba-tiba muncul pasukan pemerintah yang hendak menangkap para pendekar dan menuduh bahwa Hwa-i Kaipang memberontak. Kemarahan yang meluap-luap membuat kakek ini tak ingin untuk lari menyelamatkan diri, malah mendorongnya untuk mengamuk dan membasmi pasukan yang amat kuat dan besar jumlahnya itu.

Akhirnya kakek itu roboh juga dengan tubuh penuh luka. Dia telah merobohkan lebih dari empat puluh orang, ada yang tewas dan ada pula yang terluka, akan tetapi untuk itu dia sendiri harus menebus dengan nyawanya!

Para tamu tidak ada yang berani turut mencampuri, apa lagi mendengar bahwa pasukan itu datang untuk menangkap tuan rumah dan melihat bahwa yang mengamuk itu adalah Hwa-i Sin-kai yang dicap pemberontak oleh pemerintah! Urusan pemberontakan bukan urusan kecil dan mereka tidak berani tersangkut.

Sesudah Hwa-i Sin-kai roboh dan tewas, komandan pasukan berteriak lagi dengan suara nyaring, "Yap Kun Liong! Kalau engkau dan tiga orang lain tidak menyerah, terpaksa kami akan menyerbu!"

Yap Kun Liong bersama keluarganya sudah keluar semua. Akan tetapi dengan isyarat tangannya Kun Liong mencegah keluarganya untuk melakukan kekerasan, malah dia lalu mengangkat tangan kanan ke atas, lalu berkata kepada komandan yang sudah turun dari kudanya dan menghampirinya, suaranya lantang dan tenang, namun berwibawa,

"Siapakah yang memimpin pasukan ini?"

"Saya Ma Kit Su adalah panglima yang menjadi komandan pasukan ini."

"Harap Ma-ciangkun suka memperlihatkan tanda kekuasaan dan surat perintah itu!" kata pula Yap Kun Liong.

Seorang perwira maju, lantas mengangkat tinggi sebuah bendera leng-ki, yaitu bendera kekuasaan seperti yang biasa dibawa oleh utusan kaisar, lalu komandan yang bertubuh gemuk pendek itu mengeluarkan pula segulung kain bertuliskan perintah penangkapan itu, dibubuhi cap dari istana kaisar. Setelah melihat semua itu, Yap Kun Liong menarik napas panjang, tidak sangsi lagi bahwa memang kaisar mengutus pasukan itu untuk menangkap dia berempat.

"Baiklah, kami berempat akan menyerah dan ikut sebagai tawanan ke kota raja untuk minta keadilan, akan tetapi hanya dengan jaminan bahwa kalian tidak akan mengganggu pernikahan anakku," kata Yap Kun Liong dengan suara lantang.

"Kami setuju! Memang kami hanya diperintahkan untuk menangkap kalian berempat, dan bukan untuk mengganggu pesta pernikahan!" jawab Ma-ciangkun.

"Ayah...!" Yap Mei Lan, pengantin wanita itu, menangis dan memegangi lengan ayahnya. "Mengapa begitu? Apa sukarnya melawan pasukan ini?" isaknya.

"Ssttt, jangan, anakku. Kalian lanjutkan pernikahan ini dan jangan membikin rusak pesta pernikahanmu. Kami berempat akan minta keadilan dan percayalah, karena kami tidak berdosa, maka sri baginda kaisar akan dapat melihat kenyataan dan akan membebaskan kami. Kau dan suamimu kembalilah duduk di tempat kalian."

Sambil menangis Yap Mei Lan dituntun oleh Souw Kwi Beng, kembali ke tempat duduk mempelai, sedangkan Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong membiarkan diri mereka dibelenggu, kemudian mereka berempat dinaikkan ke atas kereta kerangkeng yang kokoh kuat, lalu dibawa pergi meninggalkan tempat itu.

Yap Mei Lan menangis terisak-isak, sementara itu Souw Kwi Beng memandang isterinya dengan muka pucat. Lie Seng mendekati suci-nya, menghibur dan berbisik. "Harap suci tenangkan diri agar tidak membikin canggung para tamu dan lanjutkan pesta ini. Jangan khawatir, aku akan membayangi pasukan itu dan aku akan menjaga dan menolong kalau sampai mereka berempat itu terancam. Jangan kau gelisah, suci, yang ditawan adalah ibuku dan ayahku sendiri, aku akan melindungi mereka dengan taruhan nyawaku."

Yap Mei Lan menghapus air matanya dan memegang lengan adiknya, adik seperguruan dan juga adik tiri itu dengan erat-erat, lalu bisiknya, "Sute, terima kasih dan hati-hatilah."

Lie Seng mengangguk, kemudian dia memberi hormat kepada cihu-nya (kakak ipar) yang juga memesan agar dia berlaku hati-hati, kemudian pemuda ini meninggalkan rumah itu melalui pintu belakang. Pesta pernikahan dilanjutkan akan tetapi tentu saja suasananya sudah tidak lagi meriah seperti tadi, bahkan para tamu kelihatan sangat gelisah, merasa terheran-heran mengapa keluarga pendekar itu ditangkap dengan tuduhan memberontak, padahal keluarga pendekar itu selalu menentang para penjahat dan pemberontak.

Karena suasananya sudah tidak menyenangkan dan menegangkan, maka akhirnya para tamu minta diri dan pesta itu pun bubar sebelum waktunya. Pengantin pria lalu membawa pengantin wanita pulang ke Yen-tai, kota tempat tinggal Souw Kwi Beng, di pantai Lautan Po-hai di timur.

Pada sepanjang perjalanan, mempelai wanita menangis terus, dan kalau saja tidak ingat bahwa dia adalah seorang pengantin yang tidak pantas untuk meninggalkan suami lantas melakukan perjalanan, tentu dia sudah pergi menyusul ayahnya yang tertawan. Kwi Beng berusaha menghiburnya dan orang muda ini memang sudah menyuruh beberapa orang untuk memata-matai keadaan keempat orang yang tertawan itu, sekalian membantu Lie Seng dan secepatnya memberi kabar ke Yen-tai kalau para tawanan sudah tiba di kota raja.

Sesungguhnya, apakah yang terjadi di kota raja dan mengapa kaisar mengutus pasukan untuk menangkap empat orang itu? Untuk mengetahui rahasia ini, maka sebaiknya kita mengikuti dulu perjalanan Kim Hong Liu-nio, wanita cantik murid Hek-hiat Mo-li dan orang kepercayaan yang juga menjadi sumoi dari Raja Sabutai itu.

Telah diceritakan di bagian depan bahwa biar pun sejak muda Kim Hong Liu-nio dididik oleh Hek-hiat Mo-li, seorang nenek iblis, dan dia menjadi seorang wanita yang berhati dingin dan kejam, namun betapa pun juga Kim Hong Liu-nio hanyalah seorang wanita biasa saja dari darah dan daging yang tidak terlepas dari nafsu-nafsu dan ingin menikmati kesenangan dalam hidupnya.

Maka ketika dia berjumpa dengan Panglima Lee yang tampan, gagah perkasa dan sudah berpengalaman, juga pandai merayu wanita itu, mencairlah kebekuan dan kedinginan hati wanita ini, hatinya tertarik dan dia jatuh kepada Lee-ciangkun. Rayuan maut dari panglima yang belum tua itu menjatuhkan hatinya, akan tetapi dia belum bisa menyerahkan dirinya karena ancaman subo-nya, Hek-hiat Mo-li bahwa kalau dia menyerahkan diri kepada pria sebelum melaksanakan tugasnya membasmi musuh-musuh besar gurunya itu, dia akan dihukum mati oleh Hek-hiat Mo-li dan ancaman ini akan dilanjutkan oleh Raja Sabutai sendiri.

Sesudah mendengar sumpah itu, Panglima Lee Siang lalu membantu Kim Hong Liu-nio untuk membasmi musuh-musuh itu dan seperti sudah kita ketahui, musuh pertama yang menjadi korban adalah Tio Sun! Semakin mendalam rasa cinta Kim Hong Liu-nio kepada Panglima Lee Siang dan boleh dibilang hampir setiap hari dan setiap malam dia selalu berpacaran dengan panglima itu, walau pun dia masih belum berani menyerahkan dirinya karena masih banyak musuh yang belum dibasmi, yaitu Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng!

Lee Siang atau Lee-ciangkun adalah seorang pria yang usianya empat puluh tahun dan sekali ini dia betul-betul jatuh cinta kepada Kim Hong Liu-nio yang memang cantik jelita. Dia melihat bahwa dalam diri wanita yang kelihatannya dingin ini terdapat api yang panas dan gairah yang menyala-nyala, yang dapat dirasakannya saat mereka saling berpelukan dan berciuman.

Oleh karena itu, mana mungkin dia mampu menunggu sampai semua musuh wanita itu habis? Akan berapa lamakah hingga wanita itu selesai membunuh semua musuhnya yang terdiri pendekar-pendekar sakti yang ilmunya amat tinggi itu?

Maka, Lee Siang tidak dapat bertahan lagi dan pada suatu malam, dengan rayuan-rayuan yang membuat Kim Hong Liu-nio hampir gila, akhirnya Lee Siang pun dapat meruntuhkan pertahanan wanita itu yang manyerahkan diri pada malam yang dingin itu. Dengan birahi yang memuncak keduanya bermain cinta, dengan gairah yang tak kunjung padam sampai pagi mereka melampiaskan gairah nafsu masing-masing.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar