Pendekar Lembah Naga Jilid 32

Tadinya, Tong Siok merasa betapa kepalanya terjepit dan terasa sangat panas, namun tepukan pada punggung itu mendatangkan hawa dingin yang menembus kepala lantas menyerang perut sehingga Hek-liong-ong kaget bukan kepalang, maklum bahwa pemuda remaja itu sedang main gila, dia lalu menggerakkan golok yang sudah dicabutnya lagi dari punggungnya.

Akan tetapi, Sin Liong mendorong lagi pinggul Tong Siok maka akibatnya, Hek-liong-ong mengeluarkan seruan keras, jepitan perutnya pada kepala itu terlepas dan dia terhuyung lalu roboh pingsan di atas panggung, goloknya tidak tercabut.

"Terima kasih...!" Tong Siok berkata kepada Sin Liong dan terhuyung dia turun dari atas panggung, dipapah dan dibantu oleh suheng-nya.

Pada saat itu juga Hai-liong-ong Phang Tek dan adiknya, Kim-liong-ong Phang Sun telah melayang naik ke atas panggung. Mereka berdua menghadang Sin Liong dari depan dan belakang.

Hai-liong-ong Phang Tek cepat memeriksa sute-nya dan merasa lega bahwa sute-nya itu hanya terguncang saja oleh kekuatan luar biasa sehingga pingsan tanpa mengalami luka parah, maka setelah ditotok beberapa kali, Hek-liong-ong telah bangkit kembali.

"Siapakah engkau, bocah setan?" bentak Kim-liong-ong Phang Sun sambil mendekati Sin Liong dengan sikap mengancam.

"Hemm, Lam-hai Sam-lo memang amat jahat dan selalu mendatangkan keributan, hendak merebut kedudukan bengcu juga secara curang," kata Sin Liong dengan marah.

"Ahhh, bukankah dia ini bocah yang bersama Ouwyang Bu Sek dahulu?" Hai-liong-ong Phang Tek berteriak, lalu menoleh ke kanan kiri, kemudian menantang, "Keluarlah kau, Ouwyang Bu Sek dan lawanlah kami!"

Sin Liong tersenyum, "Suheng telah mewakilkan aku untuk mengamati jalannya pemilihan ini agar jangan dicurangi lagi oleh kalian Lam-hai Sam-lo."

"Keparat!" Hai-liong-ong Phang Tek sudah menubruk dengan kecepatan bagaikan kilat ke arah kepala Sin Liong, kecepatannya luar biasa sekali karena memang orang pertama dari Lam-hai Sam-lo ini memiliki ginkang yang luar biasa. Selain cepat, juga tubrukannya itu mendatangkan sambaran hawa yang amat kuat dan tahu-tahu kedua tangannya telah mengancam kepala dan dada Sin Liong!

Kini Sin Liong tak berani main-main lagi seperti saat dia menghadapi tokoh Pek-lian-kauw tadi, karena dia pun maklum alangkah lihainya ketiga orang kakek pertama dari Lam-hai Sam-lo yang telah menyerangnya secara demikian hebatnya.

Menghadapi serangan itu, reaksinya cepat sekali. Dia menarik kepalanya ke belakang untuk menghindarkan cengkeraman ke arah kepala, dan ketika jari tangan lawan sudah menyentuh dada, cepat dia mengerahkan tenaga Thi-khi I-beng sepenuhnya.

"Plakk...!”

“Aihhhhh...!" Orang pertama dari Lam-hai Sam-lo itu mengeluarkan suara teriakan kaget ketika tiba-tiba jari tangannya yang menyentuh dada pemuda remaja itu melekat lantas sinkang-nya membanjir keluar keluar.

Pengalaman seperti ini pernah dialami mereka bertiga tiga tahun yang lalu ketika dia dan adik-adiknya menyerang Ouwyang Bu Sek dan kakek cebol itu dibantu oleh bocah ini, dan dia bersama dua orang saudaranya sudah mempelajari serta menyelidiki hal itu penuh keheranan.

Sekarang dia cepat menggetarkan tangannya dan dengan kecepatan kilat, kuku jarinya menyentil jalan darah pada dada Sin Liong sehingga anak itu merasa tergetar seluruh tubuhnya dan pada saat itulah Hai-liong-ong Phang Tek berhasil menarik jari tangannya terlepas dari sedotan tenaga sakti Thi-khi I-beng!

"Bocah setan! Apa hubunganmu dengan si keparat Cia Keng Hong?" Mendadak orang pertama dari Lam-hai Sam-lo itu membentak dan memandang kepada Sin Liong dengan mata melotot penuh kebencian.

Sin Liong terheran mendengar ini, akan tetapi juga marah sekali karena kakeknya dimaki keparat. Dia tidak menjawab, akan tetapi kini pemuda remaja ini segera bergerak dan kedua tangannya sudah bergerak perlahan, kelihatannya seenaknya saja kedua tangan itu menampar dengan tangan kiri ke arah dada Hai-liong-ong Phang Tek, ada pun tangan kanannya sudah menotok dengan satu jari ke arah lambung Kim-liong-ong Phang Sun.

Serangannya terhadap dua orang kakek sakti itu dilakukan dengan lambat dan perlahan, seperti main-main saja. Akan tetapi sesungguhnya tidaklah demikian. Pemuda remaja ini telah mewarisi tenaga sakti dari Kok Beng Lama dan mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari kakeknya, bahkan selama tiga tahun terakhir sudah digembleng oleh Ouwyang Bu Sek yang menjadi ‘suheng-nya’ dan mempelajari ilmu-ilmu yang ajaib dari kitab-kitab aneh yang katanya diturunkan oleh manusia dewa Bu Beng Hud-couw dari Himalaya.

Maka selama ini, tanpa diketahui orang, Sin Liong sudah mencapai tingkat tinggi sekali, tingkat di mana kekerasan dan kekasaran sudah tak nampak lagi dan tenaga yang besar tertutup oleh gerakan halus. Oleh karena itu, walau pun dia hanya menggerakkan kedua tangan seenaknya saja, namun sebenarnya gerakannya itu mengandung hawa pukulan sakti yang kuat, bahkan terasa oleh dua orang kakek itu angin menyambar dahsyat dan panas dibarengi suara mencicit nyaring!

"Aihhhh!"

"Ohhhh...!"

Dua orang kakek itu mengelak dan menangkis, akan tetapi tetap saja mereka terhuyung oleh dorongan hawa pukulan ajaib itu. Maka marahlah mereka dan cepat mereka balas menyerang, bukan dengan pukulan biasa, melainkan serangan maut karena Hai-liong-ong Phang Tek telah menusukkan tongkatnya ke arah ubun-ubun kepala Sin Liong sedangkan Kim-liong-ong Phang Sun sudah memukul dengan pukulan beracun. Orang ke dua dari Lam-hai Sam-lo ini memang ahli dalam mempergunakan pukulan beracun dan kini tangan kirinya yang melancarkan pukulan itu sudah mengandung hawa yang berwarna kehijauan yang menyambar ke arah lambung Sin Liong.

Sin Liong mengerti bahwa dua orang kakek itu agaknya telah menguasai ilmu yang dapat membebaskan mereka dari pengaruh sedotan tenaga Thi-khi I-beng, yaitu dengan jalan menggetarkan bagian yang tersedot, maka dia pun tak mau lagi mempergunakan Thi-khi I-beng yang memang tidak boleh sembarangan dipergunakan itu.

"Manusia-manusia curang!" bentaknya ketika dia melihat betapa kejam pukulan-pukulan itu.

Dia kemudian membuat gerakan memutar dengan tangan kirinya. Tangan kirinya yang membuat gerakan memutar itu menerbitkan angin atau hawa pukulan yang melingkar dan hawa ini demikian kuatnya mengurung atau meringkus serangan dua orang itu sehingga kembali kedua orang kakek itu terhuyung seperti terbawa oleh pusaran angin yang kuat!

Hai-liong-ong Phang Tek kembali menjadi kaget setengah mati. Dia meloncat ke belakang diikuti oleh adiknya, dan kini Hek-liong-ong Cu Bi Kun juga telah pulih kembali tenaganya, lalu dengan golok di tangan kakek tinggi besar ini juga ikut mengurung.

"Bocah setan, hayo cepat katakan, apa hubunganmu dengan Cia Keng Heng?!" bentak Hai-liong-ong Phang Tek.

Sin Liong yang berdiri di tengah-tengah dan dikurung, sejenak memandangi wajah mereka dengan sinar mata mencorong seperti mata naga, kemudian dia mengedikkan kepalanya lantas menjawab lantang. "Pendekar sakti Cia Keng Hong adalah orang yang kujunjung tinggi, sangat kuhormati dan namanya akan kubela sampai akhir jaman dengan taruhan nyawaku. Kalian ini tiga orang tua kotor tidak ada harganya untuk menyebut namanya!"

Tentu saja anak itu sama sekali tidak tahu mengapa tiga orang kakek ini kelihatan amat benci kepada Cia Keng Hong dan dia tidak tahu pula apa hubungan mereka ini dengan kakeknya.

Seperti telah diceritakan dalam rangkaian cerita Pedang Kayu Harum, pendekar sakti Cia Keng Hong berjodoh dengan seorang wanita gagah bernama Sie Biauw Eng, dan wanita itu di waktu masih gadis adalah puteri datuk kaum sesat di selatan, yaitu Lam-hai Sin-ni! Karena Lam-hai Sam-lo itu adalah pewaris ilmu-ilmu dari mendiang Lam-hai Sin-ni, maka dengan sendirinya mereka menganggap Sie Biauw Eng sebagai suci (kakak seperguruan) mereka dan tentu saja mereka membenci pendekar Cia Keng Hong yang dianggap telah menarik dan menyelewengkan suci mereka sehingga suci itu meninggalkan dunia hitam.

Akan tetapi, ketika mendengar betapa lihainya Cia Keng Hong yang telah menjadi ketua Cin-ling-pai, apa lagi ilmunya yang disebut Thi-khi I-beng, juga karena merasa sungkan memusuhi suami suci mereka, sebegitu jauh Lam-hai Sam-lo tidak pernah mencari atau memusuhi Cia Keng Hong yang mereka benci.

Akan tetapi kini, melihat pemuda remaja yang mahir ilmu seperti Thi-khi I-beng itu, tentu saja mereka teringat akan musuh besar mereka dan membentak. Kini, mendengar betapa anak ini benar-benar ada hubungannya dengan musuh mereka, tiga orang kakek itu tanpa malu-malu lagi lalu menggerakkan tangan dan senjata masing-masing, dan mengepung serta mengeroyok Sin Liong dengan serangan-serangan maut yang amat dahsyat.

Harus diakui bahwa pada waktu itu, mungkin sukar mencari seorang yang telah mewarisi ilmu-ilmu yang demikian hebatnya seperti yang diwarisi oleh Sin Liong. Apa lagi dia telah secara langsung mengoper tenaga sinkang milik Kok Beng Lama dan secara langsung pula dilatih oleh kakeknya, Cia Keng Hong, kemudian sudah mempelajari isi kitab-kitab ajaib dari Himalaya di bawah petunjuk suheng-nya, Ouwyang Bu Sek.

Akan tetapi, usianya masih terlalu muda, baru enam belas tahun dan biar pun di dalam tubuhnya sudah mengeram tenaga yang amat hebat, namun dia belum dapat menguasai tenaga itu sepenuhnya dan juga harus diakui bahwa dia masih kurang matang dalam hal latihan.

Padahal, ketiga orang kakek yang mengeroyoknya adalah datuk-datuk dari selatan yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, yang memang mempunyai ilmu kepandaian tinggi dan banyak sekali pengalaman dalam pertempuran besar.

Maka, walau pun dengan gerakannya yang aneh Sin Liong mampu sekaligus menangkis tiga serangan lawan itu sehingga ketiga orang kakek itu terhuyung ke belakang dengan kaget seperti disambar halilintar, namun tetap saja Sin Liong juga terpelanting dan hampir saja terjungkal dari atas panggung kalau dia tidak cepat berpegang pada pinggiran papan panggung lantas meloncat naik ke atas, berjungkir-balik beberapa kali dan kembali berdiri dengan tegak, sudah dikepung pula oleh tiga orang kakek itu.

Lam-hai Sam-lo berdiri dengan mata terbelalak, wajah mereka agak pucat dan terdapat rasa ngeri dan takjub pada pandang mata mereka. Belum pernah selama hidup mereka yang menjelajahi dunia selatan mereka bertemu dengan lawan seperti pemuda remaja ini!

Hai-liong-ong Phang Tek yang merupakan orang pertama yang paling lihai, tadi melihat betapa hantaman tongkatnya pada leher anak remaja itu membalik, kemudian tongkatnya itu terpental menghantam dirinya sendiri sebelum tongkat itu menyentuh leher lawan. Dia pun maklum bahwa entah secara bagaimana, anak ini telah memiliki sinkang yang sukar dipercaya kehebatannya, yang dapat bergerak otomatis melindungi tubuh dan membuat tongkatnya membalik tadi. Maka dia bersikap lebih hati-hati dan mengurung bersama dua orang adiknya.

Sementara itu, kini keadaan menjadi geger karena semua orang yang berada di situ baru tahu, seolah-olah baru terbuka mata mereka bahwa pemuda remaja yang kelihatan tolol tadi sesungguhnya adalah seorang manusia luar biasa sehingga Lam-hai Sam-lo sendiri terpaksa dan tidak malu-malu lagi untuk mengeroyoknya!

Sin-ciang Gu Kok Ban yang segera menolong sute-nya dan menyambung pergelangan tangannya yang patah-patah serta memberinya obat, kini hanya menonton dengan penuh takjub. Dia tadi pun tidak berdaya menyaksikan keadaan sute-nya, dan dia tahu bahwa pemuda remaja yang luar biasa itu sudah menyelamatkan nyawa sute-nya. Akan tetapi, melihat pemuda itu dikeroyok oleh Lam-hai Sam-lo, tentu saja dia tak berani mencampuri, sungguh pun di dalam hatinya dia mengharap pemuda remaja itu dapat lolos.

Pertandingan di atas panggung itu benar-benar hebat bukan kepalang dan semua orang menonton dengan jantung berdebar penuh ketegangan karena mereka tahu bahwa tiga orang kakek itu sekarang sama sekali tidak main-main, melainkan berusaha keras untuk membunuh pemuda remaja yang tadi mengaku sebagai murid Cin-ling-pai itu.

Yang hadir di tempat itu sebagian besar adalah golongan hitam dan mereka ini rata-rata memang tidak suka kepada Cin-ling-pai yang dianggap sebagai perkumpulan fihak lawan. Akan tetapi sikap pemuda remaja itu tadi menarik rasa suka di hati mereka sehingga biar pun mereka tidak memihak secara terang-terangan, juga seperti Sin-ciang Gu Kok Ban, mereka itu kebanyakan mengharapkan kemenangan di fihak pemuda remaja itu, sesuatu hal yang agaknya tidak mungkin sama sekali.

Sementara itu, para tamu yang terdiri dari wakil-wakil dari Kong-thong-pai, Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai dan lain-lain saling pandang, dan mereka juga menonton dengan hati penuh takjub. Mereka tidak berani turun tangan mencampuri karena selain tiga orang Lam-hai Sam-lo itu merupakan tokoh-tokoh terkenal, juga pertandingan itu agaknya merupakan urusan pribadi antara mereka dengan pemuda remaja luar biasa yang mengaku sebagai murid Cin-ling-pai itu.

Tadinya, orang-orang gagah, seperti para wakil Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai, memang sudah bersiap-siap untuk menolong pemuda itu karena sebagai orang-orang yang berjiwa pendekar, tentu saja mereka tidak akan membiarkan seorang pemuda remaja dikeroyok oleh tiga orang datuk hitam secara curang itu. Akan tetapi ketika menyaksikan gerakan-gerakan Sin Liong, mereka melongo dan memandang dengan mata terbelalak, maklum bahwa pemuda remaja itu adalah seorang yang memiliki kepandaian luar biasa sekali dan sama sekali tidak pantas apa bila dibantu oleh mereka yang hanya memiliki kepandaian terbatas dan masih rendah dibandingkan dengan kepandaian pemuda itu atau tiga orang pengeroyoknya.

"Hyaaaaattt... aihhh!" Seruan yang keluar dari kerongkongan Kim-liong-ong Phang Sun ini hebat bukan main.

Orangnya sih kecil pendek saja, akan tetapi ternyata ketika dia mengeluarkan pekik itu, terdengar lengking yang lantang besar dan amat nyaring memekakkan telinga dan papan panggung seolah-olah tergetar oleh lengkingannya. Orang ke dua dari Lam-hai Sam-lo ini telah menerjang dengan cara meloncat tinggi, kemudian dari atas dia melayang turun dan menyambar ke arah Sin Liong seperti seekor naga terbang. Dua tangannya diputar-putar secara aneh, yang kiri mengeluarkan pukulan beruap hitam yang berbau amis, sedangkan yang kanan mendorong dengan tenaga dahsyat ke arah kepala Sin Liong.

Biar pun Sin Liong selama beberapa tahun ini digembleng oleh orang-orang sakti dengan ilmu-ilmu pilihan yang amat tinggi, namun selama ini dia hanya mempelajari teori-teori dan latihan-latihan belaka, belum pernah dia mempergunakan ilmu-ilmu itu untuk menghadapi bahaya serangan lawan. Maka sekali ini, dia sungguh-sungguh diuji serta dituntut untuk membuktikan sampai di mana kemampuannya selama dia dilatih secara tekun dan tidak mengenal lelah itu.

Memang anak ini semenjak kecil sudah digembleng oleh keadaan alam, sering kali hidup dalam keadaan liar dan menghadapi tantangan-tantangan alam yang mengerikan, maka dia mempunyai keberanian hebat dan tidak mudah gugup. Oleh karena itu, biar pun kini menghadapi serangan demikian dahsyatnya, dia tidak merasa gentar atau gugup, bahkan dapat mempergunakan otaknya dengan baik, mengikuti gerak otomatis yang timbul dari kewaspadaannya.

"Hemmm...!" Dia mengeluarkan suara dari dada, suara yang langsung keluar dari pusar dan sekaligus dengusan suara itu membuyarkan kekuatan khikang yang menggetarkan dari teriakan Kim-liong-ong, kemudian tangannya mengebut ke atas, disusul totokan jari telunjuk ke arah pergelangan kaki lawan yang menubruknya.

"Aihhhh...!" Kim-liong-ong menjerit karena terkejut bukan main.

Kebutan tangan anak itu membuyarkan uap hitam yang menghantam mukanya sendiri, ada pun tangannya yang tadi mendorong, bertemu dengan jari telunjuk lawan, membuat seluruh lengannya kesemutan dan jari tangan anak itu masih saja terus meluncur ke arah pergelangan kakinya secara aneh. Selama hidupnya dia belum pernah menyaksikan jurus seperti itu dan biar pun dia hendak merubah gerakannya, namun terlambat sebab totokan itu meluncur terus, agaknya tak akan dapat dielakkannya lagi.

"Celaka!" teriaknya. Dia tidak tahu bahwa pemuda remaja itu tadi ternyata telah mencoba mengeluarkan satu jurus dari kitab ajaib yang dipelajarinya dari kitab-kitab lama di bawah bimbingan suheng-nya, yaitu Ouwyang Bu Sek.

Dari kitab-kitab yang menurut Ouwyang Bu Sek merupakan pemberian seorang manusia dewa yang disebut Bu Beng Hud-couw itu, Sin Liong telah dapat meringkas semua ilmu itu menjadi semacam rangkaian jurus yang aneh sekali, yang oleh Ouwyang Bu Sek diberi nama Hok-mo Cap-sha-ciang (Tiga Belas Jurus Penakluk Iblis), yang berupa tiga belas rangkaian gerakan-gerakan yang bisa berkembang secara luas sekali dan demikian aneh lika-likunya, penuh rahasia mukjijat sehingga Ouwyang Bu Sek sendiri pun tidak sanggup mempelajarinya!

Melihat adiknya menjadi pucat dan tubuhnya melayang turun dalam keadaan terancam oleh totokan anak itu, Hai-liong-ong Phang Tek bergerak cepat dan berteriak keras sambil mengayunkan tongkatnya, membabat ke arah jari tangan pemuda remaja itu yang terus mengancam pergelangan kaki adiknya. Juga dari samping, Hek-liong-ong Cu Bi Kun yang merasa penasaran karena tadi sampai pingsan oleh pemuda itu, sudah mengayun golok besarnya membacok ke arah pergelangan tangan Sin Liong dengan pengerahan tenaga sekuatnya.

"Wuutttt...! Singggg...!" Tongkat dan golok itu menyambar dengan dahsyat sekali, lenyap bentuknya berubah menjadi sinar-sinar yang menyilaukan mata.

"Krekkk...! Takkk...!"

"Ahhhh...!"

"Heiii...!"

Kim-liong-ong dapat meloncat ke belakang dan terhindar dari mala petaka, akan tetapi tubuh Hai-liong-ong dan Hek-liong-ong terdorong ke belakang, muka mereka pucat sekali. Hai-liong-ong memandang tongkat di tangannya yang sekarang telah patah menjadi dua potong, sedangkan Hek-liong-ong juga memandang kepada golok di tangannya dengan dua mata terbelalak dan tidak percaya karena baru saja golok yang amat diandalkan dan dibanggakannya itu dengan tepat mengenai lengan pemuda remaja itu namun terpental sama sekali, tidak melukai lengan itu!

Kiranya, totokan jari telunjuk Sin Liong yang mempergunakan tenaga Thian-te Sin-ciang, yaitu tenaga yang dia peroleh dari ‘pengoperan’ Kok Beng Lama secara luar biasa, telah berhasil mematahkan tongkat, dan pada saat golok Hek-liong-ong mengenai lengannya, lengan itu telah penuh dengan tenaga Thian-te Sin-ciang sehingga golok itu terpental dan membalik. Tenaga Thian-te Sin-ciang dari Kok Beng Lama memang merupakan tenaga sinkang dahsyat dan ajaib sekali yang dapat membuat tubuh menjadi kebal dan bertahan terhadap bacokan senjata tajam.

Tiga orang Lam-hai Sam-lo itu menjadi pucat dan mata mereka terbelalak memandang kepada Sin Liong yang masih berdiri dengan tenang di depan mereka. Mereka sekarang merasa gentar sekali.

Pada saat itu pula terdengar bunyi terompet dan tambur, disusul suara nyaring, "Hentikan semua pertempuran! Beri tempat untuk sang pangeran...!"

Semua orang terkejut dan menengok. Mereka menjadi makin kaget ketika melihat bahwa tempat itu telah dikurung oleh ratusan orang tentara yang berpakaian seragam, indah dan berwibawa, dan nampak beberapa orang komandan memimpin pasukan dan banyak pula bendera-bendera, tanda bahwa yang datang adalah seorang yang berpangkat besar.

Beberapa orang penunggang kuda mendekatkan kuda mereka ke panggung dan di antara mereka terdapat seorang pemuda yang sangat tampan dan gagah, berusia kurang lebih delapan belas tahun, menunggang seekor kuda yang terbesar dan terbaik.

Pemuda ini gagah sekali, pakaiannya sangat indah gemerlapan dan sepasang matanya seperti mata harimau, tajam dan bersinar-sinar. Bajunya terhias sulaman benang emas gemerlapan dan kepalanya memakai sebuah topi yang dihias bulu burung dewata amat indahnya, menambah tampan dan gagah wajahnya.

Dengan sikap seorang ahli, dia memegang kendali kudanya yang terus meringkik-ringkik. Mulutnya tersenyum dan matanya menyapu ke sana-sini, akhirnya sepasang mata yang tajam itu memandang ke atas panggung di mana Sin Liong masih berhadapan dengan Lam-hai Sam-lo.

"Sam-lo, apa yang kalian lakukan? Apa yang telah terjadi?" Tiba-tiba pemuda tampan itu bertanya.

Tiba-tiba terkejut dan kagumlah semua orang karena pemuda tampan itu melayang dari atas kudanya seperti terbang saja, dengan gaya yang amat indah telah meloncat naik ke atas panggung. Meloncat bukanlah ilmu yang luar biasa, akan tetapi kalau orang duduk di atas kuda dan tahu-tahu melayang ke atas, hal itu benar-benar hebat bukan main. Maka di sana-sini terdengarlah tepuk tangan memuji karena orang-orang merasa gembira sekali melihat betapa hari ini muncul banyak orang muda yang sangat hebat.

Akan tetapi keheranan demi keheranan menimpa orang-orang itu ketika tiba-tiba mereka melihat Lam-hai Sam-lo menjatuhkan diri berlutut di hadapan pemuda tampan itu dengan sikap sangat menghormat! Dan terkejutlah mereka ketika mendengar suara Hai-liong-ong Phang Tek berkata,

"Mohon paduka sudi mengampuni hamba, pangeran. Pemilihan bengcu ternyata sudah mendapat gangguan dari pemuda ini."

Ributlah keadaan di sana ketika mendengar betapa Hai-liong-ong menyebut pemuda itu ‘pangeran’. Mendengar ini, tiba-tiba komandan pasukan berseru dengan suara lantang.

"Paduka yang mulia Pangeran Ceng telah hadir, hendaknya semua orang cepat memberi hormat!"

Pada waktu mendengar bahwa pemuda itu adalah seorang pangeran, berarti saudara dari kaisar, tentu saja semua orang menjadi terkejut dan cepat mereka semua menjatuhkan diri bertutut di tempat masing-masing, menghadap ke atas panggung di mana pangeran itu masih berdiri. Juga para hwesio Siauw-lim-pai, para tosu Kun-lun-pai, cepat memberi hormat menurut caranya masing-masing seperti kebiasaan mereka menghormati seorang pangeran agung.

Pangeran itu tersenyum dan berdiri mengangkat dada, memandang ke sekeliling dengan bangga, melihat semua orang berlutut dan bersujud kepadanya. Tetapi dia mengerutkan alisnya ketika melihat ada seorang yang sama sekali tidak berlutut kepadanya, dan orang ini adalah seorang pemuda remaja yang berdiri di sudut panggung itu! Pemuda yang oleh Hai-liong-ong dikatakan mengganggu pemilihan bengcu tadi!

Pemuda itu adalah Sin Liong yang memang tidak berlutut, hanya berdiri dan memangku kedua tangan dan memandang semua itu seperti orang yang sedang nonton pertunjukan wayang.

Pangeran itu mengangkat kedua tangan ke atas lantas terdengar suaranya yang lantang, "Aku sudah menerima penghormatan kalian. Cukup dan kalian diperbolehkan bangkit lagi. Ehh, Sam-lo, mengapa pemilihan bengcu menjadi ribut seperti ini? Apakah kalian kalah dalam memperebutkan kedudukan bengcu?"

"Ampun, pangeran. Sebenarnya hamba bertiga sudah berhasil memenangkan kedudukan bengcu, akan tetapi anak ini... datang mengacau...!" Hai-liong-ong memandang kepada Sin Liong yang masih berdiri tegak.

Pangeran muda itu memutar tubuhnya menghadapi Sin Liong, lantas sinar matanya yang tajam itu menyambar-nyambar, menyapu Sin Liong dari atas sampai ke bawah bagaikan orang yang kurang percaya.

"Dia ini? Bocah ini mampu mengacaukan kalian bertiga?" Mulutnya tersenyum-senyum, manis dan tampan, sikapnya juga halus sekali akan tetapi sinar matanya tajam seperti pedang. "Tadi kulihat dia berani menghadapi kalian bertiga. Bukan main! Ingin sekali aku mencobanya!"

Pangeran muda itu melangkah menghampiri Sin Liong yang tetap bersikap tenang-tenang saja dan tiba-tiba pangeran itu membuka mulutnya. Dari dalam mulut itu menyambar sinar putih seperti perak dan itu adalah jarum-jarum halus yang menyambar ke arah jalan darah di tubuh bagian depan dari Sin Liong, dari muka sampai ke pusar!

Melihat betapa jarum-jarum itu hanya tampak sebagai sinar-sinar putih berkeredepan saja dan semua mengarah jalan-jalan darah yang sangat berbahaya, maka dapat dibayangkan betapa hebat dan berbahayanya serangan gelap yang tiba-tiba dan dilakukan dari jarak dekat ini.

Hwesio dari Siauw-lim-pai dan tosu dari Kun-lun-pai menahan napas sambil mengeluarkan keringat dingin karena mereka merasa yakin bahwa pemuda remaja itu, bagaimana pun lihainya, tentu akan sulit meloloskan diri dari serangan hebat oleh pangeran yang ternyata memiliki kepandaian tinggi pula itu.

Akan tetapi, semenjak melihat munculnya pangeran yang tampan ini, Sin Liong telah siap siaga dan waspada. Ia mengenal siapa pangeran ini, maka begitu pangeran itu membuka mulut kemudian meniupkan segenggam jarum-jarum putih dari mulutnya, Sin Liong sudah mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang dan dengan kedua tangannya dia lalu membuat gerakan mencengkeram ke depan sehingga jarum-jarum itu telah dapat ditangkap dalam genggaman kedua tangannya!

"Ceng Han Houw, engkau selalu kejam dan curang!" katanya, kemudian dengan gerakan sembarangan dia melempar jarum-jarum halus itu ke atas papan panggung sambil terus memandang tajam wajah yang tampan itu.

"Ehhh...?!" Pangeran itu yang bukan lain adalah Ceng Han Houw, terkejut bukan hanya karena melihat Sin Liong mampu menggagalkan serangan jarum-jarumnya, tetapi karena mendengar teguran Sin Liong. "Kau... siapakah kau…?" Kemudian pada wajahnya yang tampan itu nampak seri gembira, ketika dia mengenal Sin Liong.

"Ahhh...! Sin Liong... engkau Sin Liong! Kiranya engkaukah ini? Bukan main, kau hebat sekali!" Pangeran Ceng Han Houw tertawa merdu dan halus lalu berkata kepada Lam-hai Sam-lo yang sudah siap untuk mengeroyok Sin Liong lagi, "Sam-lo, dia adalah sahabatku sendiri! Dia bocah luar biasa, raja monyet..., ha-ha-ha-ha! Tak kusangka dapat bertemu denganmu di sini!" Dengan sikap ramah dan bersahabat Ceng Han Houw lalu merangkul pundak Sin Liong!

Sebetulnya, tidak ada sedikit pun juga perasaan di dalam hati Sin Liong untuk bersahabat atau berbaik dengan Ceng Han Houw yang ternyata sudah menjadi pangeran ini. Akan tetapi karena sikap Han Houw betul-betul amat ramah kepadanya dan sama sekali tidak mengandung niat membujuk atau curang, maka tentu saja dia pun merasa tak enak untuk menolak rangkulan mesra bersahabat itu. Akan tetapi, karena Sin Liong adalah seorang yang jujur dan terbuka, sesuai dengan watak bawaannya sebagai anak yang diasuh oleh monyet di alam terbuka, dia lalu berkata.

"Ceng Han Houw, aku tidak mengerti bagaimana engkau bisa menganggap aku sebagai sahabatmu."

"Eh? Kau lupa lagikah? Ketika engkau berada di dalam kereta bersamaku itu, bukankah aku katakan bahwa aku suka kepadamu, aku kagum akan keberanian dan kegagahanmu, dan aku suka bersahabat denganmu?"

Sin Liong ingat akan ucapan itu. "Akan tetapi, suci-mu berdaya upaya dengan keras untuk membunuhku!"

"Ah, suci adalah suci dan aku adalah aku. Aku dan suci tidak sama, bukan? Kami adalah dua orang dengan dua selera dan dua pendapat, dan aku adalah pangeran, adik kaisar! Kau tunggu dulu, Sin Liong, aku ingin banyak bicara denganmu, tetapi biar kuselesaikan dulu urusan di sini!" Ceng Han Houw lalu mengangkat kedua tangannya ke atas dan dia sudah menghadap ke empat penjuru, suaranya terdengar lantang,

"Aku, Pangeran Ceng Han Houw, menyatakan bahwa urusan pemilihan bengcu selesai sampai di sini dan biar Lam-hai Sam-lo yang diangkat menjadi bengcu di selatan. Kalian semua orang-orang gagah segolongan harap tidak saling bermusuhan, bersatu padu dan tunduk terhadap pimpinan. Pemerintah tentu akan menganggap kalian sebagai golongan baik-baik, dan segala urusan bisa diselesaikan oleh bengcu. Siapa yang berani membuat kekacauan, bukan hanya dianggap memberontak terhadap golongan kang-ouw di selatan, akan tetapi juga dianggap pemberontak dan pengacau oleh pemerintah, dan karena itu akan dibasmi!"

Biar pun ucapan itu halus, akan tetapi sikap pangeran ini ramah dan berwibawa, maka semua orang yang berada di situ lalu menjatuhkan diri berlutut tanda bahwa mereka akan mentaati perintah ini! Apa lagi pasukan yang mengawal pangeran itu kelihatan siap dan penuh wibawa untuk bertindak begitu ada perintah dari atasan mereka.

Sungguh pun di antara para tokoh kang-ouw dan liok-lim banyak yang tidak suka kepada pemerintah, namun tentu saja rasa tidak suka itu hanya dipendam di dalam hati saja dan tak ada yang berani menentang pemerintah secara terang-terangan karena hal itu berarti bunuh diri.

"Sam-lo, sekarang aku akan pergi bersama saudara Sin Liong ini. Aku tak perlu pengawal lagi dan kalau aku memerlukannya, dapat kuminta kepada para pembesar di mana saja. Sediakan seekor kuda lain yang baik untuk saudaraku Sin Liong!"

Komandan pasukan yang sangat bersemangat untuk mengambil hati pangeran itu segera menyerahkan kudanya sendiri, seekor kuda yang biar pun tidak sehebat kuda tunggangan pangeran itu, namun merupakan kuda terbaik di antara kuda pasukan yang berada di situ.

"Pakailah kuda itu, Sin Liong, dan marilah kita pergi. Aku hendak mengajakmu melakukan perjalanan dan bercakap-cakap!" kata Pangeran Ceng Han Houw.

Sin Liong sendiri yang merasa bahwa dia tidak mempunyai banyak sahabat di tempat itu, tidak membantah, segera dia meloncat ke atas kuda besar itu dan menjalankan kudanya mengikuti sang pangeran yang sudah lebih dulu membedal kudanya pergi meninggalkan tempat itu, bukan memasuki kota Yen-ping, bahkan meninggalkan kota menuju ke utara.

"Sin Liong, mari kita berpacu, kau boleh mengejarku kalau mampu!" Han Houw berseru dengan wajah gembira setelah mereka tiba di tempat sunyi, dan pangeran itu kemudian menggunakan cambuk kudanya yang terbuat dari bulu halus itu, langsung membalapkan kudanya yang besar dan gagah.

Melihat kegembiraan itu, Sin Liong tersenyum dan dia pun cepat membalapkan kudanya mengejar. Melihat ini, Han Houw tertawa gembira dan kedua orang muda ini pun berpacu dengan cepatnya. Akan tetapi karena betapa pun juga kuda tunggangan Sin Liong tidak sebaik kuda tunggangan pangeran itu, Sin Liong akhirnya tertinggal jauh hingga akhirnya kuda pangeran itu lenyap di tikungan luar hutan.

Ketika akhirnya Sin Liong dapat melihat lagi pangeran itu, dia melihat kuda besar itu telah berhenti di tepi hutan dan Han Houw duduk di atas kuda berhadapan dengan tujuh orang yang mengepungnya dengan bentuk setengah lingkaran. Sin Liong membedal kudanya dan ketika dia sudah datang dekat, dia terkejut mengenal bahwa tujuh orang itu adalah orang-orang dari Pek-lian-kauw yang dipimpin oleh Kiu-bwee-houw Bhe Toa Bhi, raksasa sombong yang pernah dihajarnya di atas panggung tadi.

Pada saat itu, Kiu-bwee-houw berteriak keras dan tujuh orang itu sudah bergerak dengan senjata masing-masing, menyerang Han Houw yang tetap duduk di atas kudanya dengan sikap angkuh. Karena Sin Liong merasa tidak ada hubungan dengan pangeran itu, dan juga pada dasarnya dia tidak dapat dibilang suka kepada pangeran itu, maka dia hanya menjalankan kudanya perlahan menuju tempat itu sambil memandang penuh perhatian. Dia tahu betul bahwa pangeran yang tampan dan gagah itu bukanlah seorang muda yang demikian mudah untuk diganggu begitu saja oleh gerombolan itu, maka dia pun sama sekali tidak khawatir kalau pangeran itu akan celaka.

"Bunuh pembesar lalim!"

"Basmi penindas rakyat!"

Tujuh orang itu berteriak-teriak bising dan mereka menjadi semakin ribut dan mencari-cari orang yang dikepungnya karena tiba-tiba saja pangeran itu telah lenyap, sedang kudanya meloncat sambil meringkik keras, menyepak-nyepak serta menjauhi mereka. Akan tetapi pangeran itu tidak berada lagi di tempat itu, padahal tadi mereka sudah mengepung dan mulai menyerang.

Dari tempat agak jauh, Sin Liong memandang sambil tersenyum mengejek. Dia kagum menyaksikan ginkang yang indah dari Han Houw yang tadi digunakannya ketika kudanya meringkik-ringkik itu. Dia telah meloncat ke atas dan tentu saja lenyap karena dia telah menyusup ke dalam pohon yang tinggi di atas mereka!

Sin Liong tak dapat menahan tawanya saat dia melihat betapa tujuh orang itu celingukan ke sana-sini mencari-cari, dan mendadak Han Houw tertawa berkata, "Hei, kalian semua orang-orang dari Pek-lian-kauw, lekas bersembahyang lebih dulu untuk menyembahyangi arwah kalian sendiri yang sebentar lagi akan melayang!"

Kiu-bwee-houw serta teman-temannya terkejut, dan ketika mereka melihat bahwa orang yang mereka cari-cari itu berada di atas pohon, mereka marah dan siap untuk meloncat naik pohon. Akan tetapi pada saat itu, Han Houw telah melayang turun dengan gaya yang indah dan pemuda bangsawan ini telah berdiri di atas tanah sambil menghadapi mereka dengan senyum mengejek.

"Hayo kalian cepat berlomba, siapa yang lebih dulu bisa merobohkan aku!" Dia mengejek dan tujuh orang itu yang merasa sangat penasaran kini menerjang dengan cepat, seperti sungguh-sungguh berlomba untuk merobohkan sang pangeran.

Sin Liong menonton dengan penuh kagum. Dia melihat betapa kedua kaki pangeran itu bergerak seperti menari-nari, melangkah ke sana-sini dengan ringan dan indahnya namun sedemikian cepat, teratur dan tepat sehingga tubuhnya dapat menyelinap ke sana-sini di antara terjangan tujuh orang pengeroyok itu dan semua serangan tidak ada yang pernah menyentuh tubuhnya.

Sin Liong mengerti bahwa pangeran itu menggunakan langkah-langkah sakti yang sangat lihai dan memang dugaannya benar. Ceng Han Houw telah menggunakan Ilmu Langkah Pat-kwa-po dan dengan langkah-langkah ini, jangankan baru dikeroyok oleh tujuh orang anggota Pek-lian-kauw saja, walau pun dikeroyok oleh lebih banyak lawan yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi pun jangan harap akan sanggup menangkap atau menyerang pemuda bangsawan itu dengan mudah!

"Ha-ha-ha, Sin Liong, kau lihat lalat-lalat busuk ini, betapa menjemukan!" kata pangeran itu dan tiba-tiba dia merubah gerakannya kalau tadi dia hanya melangkah ke sana-sini seperti orang menari-nari, kini kedua tangannya bergerak menampar ke kanan kiri dan terdengarlah jerita-jeritan mengerikan disusul robohnya tujuh orang berturut-turut.

Tujuh orang Pek-lian-kauw itu roboh dan tak dapat bergerak kembali karena mereka telah tewas oleh tamparan-tamparan Ceng Han Houw yang amat lihai! Ngeri juga rasa hati Sin Liong menyaksikan betapa pangeran itu membunuh mereka demikian mudahnya dan alisnya berkerut. Betapa kejamnya pemuda bangsawan itu!

"Salah kalian sendiri kalau tadi tidak mau bersembahyang bagi arwah kalian sehingga kini arwah kalian menjadi setan-setan berkeliaran!" kata Ceng Han Houw sambil menghampiri kudanya dan dengan tenang saja dia meloncat ke atas kudanya, lalu menghampiri Sin Liong seolah-olah tidak pernah ada terjadi apa pun.

Wajah Sin Liong masih membayangkan kengerian dan sepasang alisnya masih berkerut. Dia menyambut kedatangan pangeran itu dengan kata-kata yang mengandung teguran. "Kau... kau membunuh mereka?"

Mendengar suara yang mengandung teguran itu Han Houw memandang dan tersenyum. "Mengapa tidak? Apa kau lebih menghendaki kalau mereka itu berhasil membunuh aku?"

Wajah Sin Liong berubah agak merah dan dia cemberut. "Tentu saja tidak. Akan tetapi perlukah mereka semua itu dibunuh begitu saja?"

Pangeran itu tertawa dan memegang tangan Sin Liong sebentar, lalu melepaskannya lagi. "Engkau berwatak lembut sekali, Sin Liong, sungguh tidak sesuai dengan kegagahanmu. Hidup memang demikianlah, bergelimang dengan kekerasan, apa lagi hidup seperti aku ini, seorang pangeran yang selalu diincar musuh yang akan senang sekali kalau berhasil membunuhku. Persoalannya hanyalah mereka atau aku, Sin Liong, akan tetapi dalam hal kematian, tentu saja aku memilih lebih baik mereka yang mati dari pada aku. Apa artinya tujuh orang pemberontak itu? Ha-ha, kalau engkau melihat betapa aku pernah sekaligus membunuh dua ratus orang lebih anggota pemberontak yang merencanakan pembunuhan terhadap kaisar. Aku kurung mereka di dalam kuil dan kubakar kuil itu. Tidak ada seorang pun yang lolos!"

"Betapa kejam!"

Pangeran itu tertawa. "Engkau belum mengerti benar apa itu yang kau namakan kejam. Kalau saja sri baginda terjatuh ke tangan mereka, atau jika aku tadi tak mampu melawan dan aku terjatuh ke tangan mereka, tentu engkau akan turun tangan menolongku, tentu engkau akan mengatakan mereka yang kejam. Sin Liong, aku bernama Han Houw, dan aku seperti seekor harimau yang dikeroyok oleh tujuh ekor anjing srigala. Anjing-anjing itu mati olehku, maka engkau menganggap sang harimau kejam, akan tetapi andai kata sang harimau yang habis dikeroyok dan dagingnya digerogoti oleh kawanan srigala itu, tentu engkau akan menganggap anjing-anjing itu yang kejam. Ha-ha, engkau sungguh masih bodoh dan kurang pengalaman!"

Sin Liong tidak mampu menjawab. Dia membayangkan betapa pangeran ini seorang yang lemah dan tadi diancam oleh tujuh orang Pek-lian-kauw itu. Apakah dia akan turun tangan menolong? Tentu saja! Dia memang kagum dan tertarik kepada pangeran yang tampan dan memang gagah dan pemberani ini, mungkin saja ada rasa suka di hatinya, rasa suka yang terbendung karena mengingat bahwa pangeran ini merupakan sute dari Kim Hong Liu-nio yang selalu memusuhinya.

"Mereka memang jahat dan menyerangmu, akan tetapi perlukah dibunuh? Mengalahkan mereka tanpa membunuh bukan merupakan hal yang sukar bagimu," dia mencoba untuk membantah.

"Ha-ha-ha, melepaskan mereka supaya mereka mengumpulkan teman-teman yang lebih banyak dan kembali menghadangku di tempat lain? Itu bodoh sekali Sin Liong! Sudahlah, mari kita lanjutkan perjalanan kita yang menggembirakan, apa perlunya bicara mengenai para pemberontak itu? Pek-lian-kauw memang merupakan gerombolan pemberontak, dan karena itu pula maka aku mengadakan perjalanan ke selatan dan mendukung Lam-hai Sam-lo menjadi bengcu di selatan."

Mereka menjalankan kuda mereka perlahan-lahan dan pergi meninggalkan hutan itu. Sin Liong agak heran mendengarkan pengakuan itu.

"Ahh, kiranya Lam-hai Sam-lo adalah orang-orangnya pemerintah?"

Han Houw tertawa. "Bukan sekasar itu, Sin Liong. Mereka tetap saja merupakan tokoh kang-ouw, akan tetapi mereka termasuk orang-orang yang tidak menentang pemerintah. Tentu saja fihak pemerintah menghendaki agar bengcu dipegang oleh orang yang tidak menentang pemerintah seperti Pek-lian-kauw. Dan untuk keperluan itu maka sri baginda mengutus aku pergi ke selatan."

"Ahh... jadi engkau adalah utusan sri baginda kaisar?"

Han Houw tersenyum dan mengangguk. "Tidak resmi benar. Aku sekalian hendak pesiar. Sesudah mendengar bahwa hanya Lam-hai Sam-lo yang boleh dipercaya, aku kemudian menghubungi mereka dan akulah yang menjagokan mereka supaya memasuki pemilihan bengcu itu. Sengaja datang belakangan untuk melihat keadaan."

Sin Liong mengangguk-angguk. "Dan kau sudah siap di belakang bersama pasukan itu?"

"Ha-ha-ha-ha, kau cerdik!" Han Houw menepuk pundak temannya karena pemuda remaja itu menyenangkan hatinya dan sudah dianggap sebagai seorang sahabatnya. "Aku jemu dengan semua itu, Sin Liong. Ke mana pun aku pergi, orang menyembah-nyembahku sebagai pangeran dan sebagai utusan kaisar. Maka ketika aku bertemu dengan engkau yang menyebut namaku begitu saja, yang tidak berlutut kepadaku, barulah aku gembira, merasa hidup wajar kembali. Dan kepandaianmu sekarang hebat! Benarkah seperti yang kudengar tadi bahwa engkau mewakili tokoh yang bernama Ouwyang Bu Sek dan yang menjadi musuh Lam-hai Sam-lo? Apakah engkau berambisi menjadi bengcu?"

“Ah, sama sekali tidak. Juga suheng-ku Ouwyang Bu Sek sama sekali tidak ingin menjadi bengcu, hanya kami ingin melihat agar pemilihan bengcu terjadi dengan jujur dan bersih.”

“Ha-ha-ha, engkau sungguh lucu. Mana ada perebutan kedudukan yang bersih di dunia ini? Kau masih harus belajar banyak, Sin Liong. Sekarang, setelah kita bertemu, mari kita bergembira. Aku sudah melepaskan diri dari segala ikatan upacara itu, sekarang aku ingin mengadakan perjalanan ke utara secara bebas bersamamu. Kita masih muda, Sin Liong, mari kita mencari pengalaman. Perjalanan dari sini ke utara tentu amat menggembirakan, penuh dengan bahaya, penuh pengalaman yang aneh-aneh dan akan kita hadapi berdua. Bagaimana?”

Sin Liong merasa tertarik sekali. Dia memang telah mendapat perkenan dari suheng-nya untuk berkelana meluaskan pengetahuan dan mencari pengalaman, karena semua ilmu dari kitab-kitab lama itu telah habis dipelajarinya, bahkan semua kitab itu oleh suheng-nya telah dibakar, sesuai dengan ‘perintah halus’ yang diterima melalui getaran dari apa yang disebut Bu Beng Hud-couw.

Dia sendiri pun belum tahu ke mana dia harus pergi merantau, karena setelah kakeknya meninggal dunia, dan ayah kandungnya ternyata telah mempunyai seorang isteri dan dia sama sekali tidak mau bertemu dengan ayahnya itu atau mengaku sebagai puteranya, dia tidak mempunyai tujuan.

“Apakah engkau sudah lupa akan Lembah Naga? Apakah tak ingin kembali ke sana, tidak rindu kepada tempat indah itu?” tiba-tiba terdengar suara halus pangeran itu.

Mata Sin Liong bersinar-sinar. “Lembah Naga…!” katanya dengan perlahan dan di depan matanya membayang semua kehidupannya pada waktu dia masih kecil, di lembah yang tentu saja tak pernah dapat dilupakannya itu.

“Ya, bukankah engkau berasal dari Lembah Naga? Namamu Sin Liong, hemmm…, naga sakti. Engkau naga sakti dari Lembah Naga!” Pangeran itu tertawa gembira.

Hampir Sin Liong terseret oleh kegembiraan ini karena betapa pun juga, ada rasa rindu di dalam hatinya terhadap tempat itu, kepada monyet-monyet di dalam hutan, kepada ibu kandungnya. Akan tetapi, baik ibu kandungnya mau pun biang monyet yang merawatnya, telah mati semua, dan juga keluarga Kui Hok Boan, ayah tirinya, tentu sudah tidak berada di sana lagi. Hal ini membuatnya lemas kembali, kehilangan gairah.

“Mau apa aku ke tempat itu?” katanya lirih, sementara matanya memandang jauh dengan kosong.

“Mau apa? Tentu melihat tempat-tempat lama. Tidakkah engkau rindu akan tempat lama pada waktu engkau bermain-main dahulu? Eh, Sin Liong, mari kau ikut bersamaku, aku akan pergi ke Lembah Naga di mana akan diadakan keramaian untuk memilih guru. Ayah mengundang seluruh orang sakti di dunia ini untuk dipilih menjadi guruku, di Lembah Naga.”

“Ehhh…?” Sin Liong terkejut.

“Tidak tahukah engkau bahwa Lembah Naga telah dibangun oleh ayah…”

“Ayahmu? Siapakah dia?”

“Raja Sabutai…”

“Bukankah engkau adalah pangeran adik kaisar…?” Sin Liong menjadi bingung.

Han Houw mengangguk. “Aku memang adik Kaisar Ceng Hwa, aku adalah anak kandung mendiang Kaisar Ceng Tung!” katanya gagah. “Akan tetapi semenjak kecil aku dititipkan pada ayah angkatku, yaitu Raja Sabutai yang gagah perkasa. Dan tahun depan, setelah ditunda bertahun-tahun, aku harus menghadiri pemilihan guru sebagai orang paling sakti di dunia ini yang diangkat oleh ayah angkatku itu sebagai guruku. Ayah angkatku, Raja Sabutai, ingin agar aku menjadi orang yang paling gagah di dunia ini.”

“Hemmm…, kulihat kepandaianmu sudah hebat, Han Houw. Dengan mudah saja engkau membunuh tujuh orang Pek-lian-kauw tadi.”

“Ahh, masih belum seberapa, Sin Liong. Ayah angkatku menghendaki agar aku menjadi orang yang paling pandai di dunia ini sehingga kelak aku akan dapat mengalahkan orang yang paling dibenci oleh ayah…”

“Siapa orang itu?”

“Cia Keng Hong…!”

“Ahhh…!”

“Sayang ketua Cin-ling-pai itu sudah meninggal dunia, akan tetapi masih ada puteranya yang bernama Cia Bun Houw, yang kabarnya lebih lihai lagi dari pada Cia Keng Hong. Nah, aku harus belajar ilmu setinggi-tingginya untuk pada suatu hari aku mengalahkan Cia Bun Houw.”

“Mengapa ayahmu, Raja Sabutai begitu membencinya?”

"Karena Cia Keng Hong itu telah banyak memusuhi ayah, dan juga karena subo sendiri sudah menjadi musuh besarnya. Ayah merasa marah karena subo telah berkali-kali kalah oleh Cia Keng Hong, bahkan beberapa tahun yang lampau ini, sebelum Cia Keng Hong meninggal dunia, subo Hek-hiat Mo-li yang dibantu dengan Kim Hong Liu-nio juga tidak mampu mengalahkannya. Memang pendekar itu sangat hebat. Aku merasa kagum sekali mendengar betapa subo dan suci masih kalah dan karena kagum inilah maka aku ingin sekali memenuhi keinginan ayah. Suatu saat aku harus mampu mengalahkan putera Cia Keng Hong yang bernama Cia Bun Houw itu, dan untuk itu, tahun depan ayah hendak mengumpulkan semua orang pandai untuk dipilih dan diangkat menjadi guruku."

Sin Liong termenung. Pangeran ini memusuhi kakeknya yang telah meninggal dunia, dan memusuhi ayah kandungnya! Kalau saja dia tahu bahwa cucu musuh besarnya berada di depannya…!

Akan tetapi Sin Liong mengusir perasaan tidak enak di hatinya. Dia tidak mempedulikan lagi ayah kandungnya. Ayah kandungnya itu bukanlah manusia baik-baik. Buktinya sudah membikin sengsara kehidupan ibu kandungnya dan ingin sekali dia mengunjungi kuburan ibu kandungnya.

"Baik, aku ikut bersamamu ke Lembah Naga!" Tiba-tiba dia berkata.

"Bagus, dengan begitu baru engkau seorang sababatku yang baik!"

"Maaf, aku hanya menjadi teman seperjalananmu, bukan berarti aku menjadi sahabatmu, pangeran," jawab Sin Liong dengan suara dingin.

"Ehh? Mengapa tiba-tiba menyebut pangeran? Aihh, apakah engkau pun akan ketularan penyakit umum dan bersikap hormat kepadaku? Akan memuakkan sekali kalau begitu, Sin Liong. Engkau lebih muda dariku, maka selanjutnya cukup kalau engkau menyebutku twako saja, dan aku akan menyebutmu Liong-te. Kita patut menjadi kakak beradik, bukan, walau pun hanya kakak beradik angkat saja."

Melihat sikap yang amat ramah dan mesra itu, mau tidak mau Sin Liong harus mengakui bahwa pangeran ini sangat baik kepadanya dan menarik hatinya, membuat dia merasa sukar untuk bersikap dingin. Dia menarik napas panjang dan berkata, "Baiklah, Houw-ko."

Wajah yang tampan itu berseri gembira dan diam-diam Sin Liong harus mengaku betapa gagah dan tampannya pangeran ini. Sepasang mata itu demikian jernih dan tajam, dan raut muka itu demikian gagahnya. Sayang bahwa seorang pria segagah dan setampan ini dapat memiliki watak yang kejam, membunuh orang seperti membunuh semut saja.

"Liong-te, mari kita cepat menuju ke benteng di depan itu!" katanya sambil menuding ke arah tembok yang agak jauh akan tetapi sudah nampak dari situ.

"Ke benteng? Mau apa pergi ke benteng?" tanyanya heran.

Han Houw tertawa. "Kita perlu dengan busur dan anak panah. Di dalam pegunungan di sebelah sana benteng terdapat hutan yang banyak dihuni oleh ayam hutan dan binatang-binatang lainnya. Senang sekali berburu di sana, Liong-te. Kita berburu di sana beberapa hari, setelah kenyang makan panggang ayam hutan, daging kijang dan mungkin kita bisa mendapatkan kulit harimau, baru kita melanjutkan perjalanan ke utara. Senang, bukan?"

Sin Liong tersenyum dan segera bangkit kegembiraannya. Hidup di samping pangeran ini agaknya selalu dikelilingi dengan kesenangan dan kegembiraan. Dia mengangguk.

"Baiklah."

Keduanya lalu membalapkan kuda menuju ke benteng. Mula-mula para penjaga dengan penuh curiga menghadang dua orang pemuda itu dan muncullah komandan jaga. Akan tetapi sesudah Ceng Han Houw mengeluarkan kim-pai, yaitu lencana terbuat dari pada emas yang menjadi tanda kuasa atau tanda utusan kaisar, komandan itu menjatuhkan diri berlutut dan semua pasukan cepat memberi hormat.

Akan tetapi Han Houw yang tidak suka atau sudah sangat bosan dengan segala macam penghormatan itu, dengan singkat menyatakan bahwa dia hanya ingin minta dua batang busur yang baik berikut anak-anak panah yang baik pula. Tentu saja permintaan ini cepat dipenuhi.

Tak lama kemudian, setelah memperoleh apa yang dikehendakinya, Han Houw bersama Sin Liong cepat membalapkan kuda meninggalkan pintu gerbang benteng, diikuti pandang mata para anak buah pasukan yang masih merasa terheran-heran seperti dalam mimpi karena tidak menyangka sama sekali bahwa hari itu ada seorang pangeran yang datang berkunjung…..!

********************
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar