Pendekar Lembah Naga Jilid 21

"Begini, taihiap. Saya hanya mohon kepada taihiap sudilah kiranya menerima kedatangan ketua Hwa-i Kaipang itu dan mendamaikan. Mungkin melihat taihiap, apa lagi kalau tahu bahwa taihiap adalah putera mendiang Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, saya percaya bahwa ketua Hwa-i Kaipang itu mau menyudahi saja urusan permusuhan yang tak berarti itu."

Tio Sun mengerutkan alisnya, berpikir-pikir. Permintaan itu sudah sepatutnya. Mendadak dia merasa tertarik dan sebagai orang penengah tentu saja dia tidak berkeberatan, tetapi sebagai penengah dia harus mengetahui pula apakah yang menimbulkan permusuhan itu.

"Mengapa Kim Hong Liu-nio sampai bermusuhan dengan Hwa-i Kaipang?"

Mendengar pertanyaan yang tiba-tiba ini, Lee Siang agak kaget juga. Akan tetapi urusan ini memang sebelumnya telah dia rencanakan, maka untuk itu dia pun telah menyediakan jawabannya. Dia menarik napas panjang dan kemudian berkata,

"Ahh, sesungguhnya hanya urusan sepele saja, taihiap. Dan bersumber kepada pangeran dari utara itu. Terjadinya di kota Huai-lai ketika Kim Hong Liu-nio mengantarkan Pangeran Ceng Han Houw ke kota raja. Di kota itu, mereka berjumpa dengan seorang pengemis kotor yang minta sedekah ketika mereka sedang makan di restoran. Pangeran Ceng Han Houw merasa jijik melihat pengemis yang kakinya luka dan dirubung lalat itu, maka Kim Hong Liunio segera mengusirnya. Akan tetapi ternyata pengemis itu adalah seorang yang memiliki kepandaian dan dia malah mengeluarkan kata-kata menghina sehingga terjadilah pertempuran antara mereka. Dan engkau tahu, taihiap, jika dua orang yang memiliki ilmu silat sudah bertanding dengan marah, maka tentu seorang di antaranya menjadi korban. Pengemis itu pun roboh dan tewas. Kim Hong Liu-nio kemudian mengajak sang pangeran cepat-cepat ke kota raja, menyangka bahwa urusan itu sudah tidak berekor lagi karena pengemis itu tidak mengenakan pakaian sebagai anggota Hwa-i Kaipang. Tetapi ternyata ada tiga orang tokoh Hwa-i Kaipang yang mengejar dan membikin ribut, minta kepada Kim Hong Liu-nio untuk menyerahkan tangannya. Terjadilah lagi pertempuran dan ketiga orang pengemis itu dapat diusir. Lalu panjanglah akibatnya sampai wanita itu dikepung di luar kota raja dan saya kebetulan lewat lalu melerai. Nah, itulah sebabnya sehingga kini ketuanya mengirim surat tantangan itu."

Tio Sun menarik napas panjang. Biasa sudah, urusan orang kang-ouw yang semuanya didasari keangkuhan, tidak mau saling mengalah, mengandalkan kepandaian, lalu kalau sudah ada yang menjadi korban, timbul dendam dan balas-membalas! Betapa dia sudah bosan dengan semua itu dan karena itu pulalah maka dia dengan isterinya, sungguh pun keduanya merupakan pendekar-pendekar lihai, semenjak menikah sudah mengundurkan diri dan tidak mau mencampuri urusan kang-ouw.

Melihat pendekar itu termenung, Panglima Lee Siang cepat berkata, "Bagaimana, taihiap? Harap taihiap sudi menaruh kasihan kepada kami dan sudi menolong kami."

"Lee-ciangkun, sesungguhnya hal ini tidak ada sangkut-pautnya dengan saya, akan tetapi apa bila hanya menjadi seorang penengah saja, tentu saya tidak keberatan. Akan tetapi, bagaimana kalau dia, ketua Hwa-i Kaipang itu, tidak mau didamaikan?"

"Kalau begitu, terserah kepada mereka berdua, hanya saya harap taihiap sudi melindungi saya karena siapa tahu ketua pengemis itu, kalau-kalau mendendam pula kepada saya yang menyelamatkan Kim Hong Liu-nio pada waktu dikeroyok. Saya tidak mungkin dapat menggunakan pasukan untuk urusan pribadi ini, taihiap. Dan pula... saya minta dengan hormat sudilah kiranya taihiap merahasiakan urusan pribadi saya dan Kim Hong Liu-nio! Saya tidak ingin didesas-desuskan, sesungguhnya saya mengharapkan dia menjadi calon isteri saya kelak."

Tio Sun tersenyum dan mengangguk. "Baiklah, ciangkun."

Lee Siang cepat bangkit berdiri dan menjura sampai dalam, sehingga Tio Sun juga segera membalasnya. "Terima kasih, Tio-taihiap, terima kasih. Saya harap sesudah lewat senja taihiap benar-benar datang ke gedung saya, dan kepada hujin (nyonya) sekali pun, harap taihiap jangan menceritakan urusan pribadi saya itu. Saya malu..."

"Saya mengerti, ciangkun. Nanti begitu malam tiba, saya mengunjungi ciangkun."

Panglima itu kemudian berpamit dengan wajah girang, dan Tio Sun lalu masuk ke dalam rumahnya. Isteri dan puterinya menyambutnya dan Tio Sun lantas memondong puterinya yang sudah berusia sembilan tahun itu. Pek Lian tertawa girang dan isterinya mengomel,

"Ihhh, anak sudah begini besar dipondong, bikin dia tambah manja saja!"

"Ah, Pek Lian tidak manja, ya? Ayah menggendong karena sayang, bukan memanjakan!"

Pek Lian mengangguk-angguk dan mengerling kepada ibunya. "Aku tak minta dipondong, ibu. Ayah sendiri yang memondongku, apa tidak boleh?"

Dikeroyok dua begini, Souw Kwi Eng atau nyonya Tio Sun itu tersenyum saja, lalu dia bertanya, "Siapa sih orang tadi? Kulihat dia bukan seorang pedagang langganan atau pun kenalan kita, akan tetapi kalian bicara demikian serius!"

"Ohh, dia? Dia adalah Panglima Lee Siang, adik dari Panglima Kim-i-wi Lee Cin. Masih ingatkah kau kepada Panglima Lee Cin?"

"Ahh, Panglima? Kenapa dia berpakaian preman, dan apa pula maksudnya mengunjungi kita?" tanya Kwi Eng dengan curiga. Selama ini mereka hanya mengurus perdagangan, kenapa ada Panglima Kim-i-wi mengunjungi suaminya dan bicara demikian serius?

Diam-diam Tio Sun memasukkan surat tantangan yang tadi lupa tidak dibawa pergi oleh Lee Siang dan masih digenggamnya itu ke dalam saku bajunya tanpa sepengetahuan isterinya, kemudian sambil duduk memangku Pek Lian dia berkata,

"Dia datang minta tolong kepadaku untuk mendamaikan urusan. Dia mempunyai sedikit salah paham dengan ketua Hwa-i Kaipang dan minta tolong kepadaku agar mendamaikan urusan itu."

"Ketua Hwa-i Kaipang? Ihhh, perkumpulan pengemis itu tidak berbau harum. Suamiku, urusan apakah yang perlu kau damaikan itu?"

Tio Sun sudah menduga bahwa tentu isterinya akan mendesak terus sehingga tidak ada gunanya bagi dia untuk berbohong. Maka dia lalu menceritakan urusan itu, yaitu betapa ketua Hwa-i Kaipang merasa tidak senang karena Panglima Lee Siang sudah menolong seorang musuh Hwa-i Kaipang ketika ribut dengan para pengemis di luar pintu gerbang. Dan kini ketua Hwa-i Kai-ipang mengancam, maka Panglima Lee Siang yang tidak ingin menimbulkan keributan lalu minta kepada dia untuk menjadi orang penengah.

"Mengapa justru engkau yang dimintainya tolong? Bukankah dia itu panglima dan banyak mengenal orang pandai di sini?"

"Dia adalah pengagum mendiang ayah. Maklumlah sama-sama panglima pengawal. Dan kukira tidak ada jahatnya bila hanya menjadi penengah saja, isteriku. Urusan kecil ini tidak perlu kau khawatirkan." hatinya merasa lega karena isterinya tidak tertarik tentang orang yang dikeroyok oleh para pengemis dan yang menjadi biang keladi urusan itu.

Setelah mandi, tukar pakaian dan makan malam, Tio Sun lalu berpamit kepada isterinya dan dengan tenang dia lalu pergi ke rumah gedung Panglima Lee Siang yang mudah saja ditemukannya di antara rumah-rumah para pembesar istana. Rumah itu sunyi saja dan lampu-lampu telah menyambut datangnya malam.

Panglima Lee Siang sendiri menyambut kedatangannya dan agaknya memang panglima itu sudah menunggu di rumah depan. Dari wajahnya nampak betapa panglima itu sedang gelisah dan begitu menyambut Tio Sun, dia lalu menggandeng tangan pendekar itu dan diajaknya masuk ke dalam, langsung memasuki sebuah ruangan yang agaknya sengaja dikosongkan, dan di sana hanya terdapat sebuah meja dengan dua bangku untuk mereka berdua.

Ketika Lee Siang menyuruh pelayan mengeluarkan hidangan, Tio Sun cepat mencegah dengan mengatakan bahwa dia sudah makan malam sebetum berangkat. Panglima Lee Siang lalu menyuruh pelayannya mengambilkan dua cawan dan seguci arak.

"Ah, hati saya lega bukan main, Tio-taihiap!" kata panglima itu sambil menuangkan arak ke dalam cawan dengan tangan gemetar.

Melihat ini, Tio Sun yang bersikap tenang itu tersenyum menghibur, "Tenanglah, ciangkun, kenapa harus gelisah? Bukankah kita akan menawarkan perdamaian dan bukan hendak menyambut orang dengan kekerasan? Akan tetapi sunyi benar gedungmu ini?"

"Memang saya sengaja menyuruh para pelayan menyingkir supaya percakapan kita nanti tidak sampai terdengar oleh orang. Akan tetapi jangan khawatir, diam-diam saya sudah mempersiapkan pasukan pengawal, kalau-kalau tamu kita nanti menggunakan kekerasan. Akan tetapi talhiap berjanji akan melindungi saya, bukan?"

Tio Sun mengangguk dan menerima cawan arak yang disuguhkan tuan rumah, kemudian meminumnya. "Saya kira tidak perlu, karena saya yakin ketua itu tak akan menggunakan kekerasan kepadamu, ciangkun. Akan tetapi... ehh, mana dia wanita pengawal dari utara itu? Bukankah dia yang dicari?"

"Ah, saya suruh dia bersembunyi dulu, taihiap. Jika melihat dia, salah-salah urusan akan menjadi panas dan sukar didamaikan. Kalau sudah buntu jalan, barulah dia akan muncul. Sebaiknya tidak mempertemukan dahulu dua orang yang saling marah dan mendendam, bukan?"

Tio Sun mengangguk, setuju. Lee Siang yang nampaknya selalu gelisah itu lalu hendak menutupi kegelisahannya dengan membicarakan urusan masa lalu, waktu Tio Sun masih terjun di dunia kang-ouw bersama-sama dengan pendekar-pendekar sakti seperti Cia Bun Houw, Yap Kun Liong, Yap In Hong, dan yang lain-lain. Secara cerdik dan sepintas lalu seakan-akan tidak sengaja dan hanya ingin mengisi waktu yang menegangkan itu dengan percakapan, Lee Siang mencari keterangan tentang pendekar-pendekar yang lainnya itu.

Mula-mula dia menanyakan mengenai pendekar tua Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai. Kemudian dengan hati-hati dia menanyakan di mana adanya putera ketua Cin-ling-pai itu, yaitu pendekar Cia Bun Houw dan pendekar Yap Kun Liong!

"Setahu saya, Yap Kun Liong taihiap tinggal di Leng-kok, akan tetapi tentang Cia-taihiap, entah dia berada di mana. Semenjak kembali dari utara, dia menghilang bersama Yap In Hong lihiap, entah mereka berada di mana."

Diam-diam giranglah hati Lee Siang karena dia sudah mendapatkan keterangan di mana adanya Yap Kun Liong, salah seorang di antara musuh-musuh yang harus dibasmi oleh kekasihnya! Dan pada saat itu pula, Tio Sun menaruh telunjuk di depan bibirnya nambil memasang telinga dan matanya yang sipit itu seperti terpejam, seluruh panca inderanya ditujukan ke bagian atas karena pendengarannya yang terlatih dan lebih tajam dari pada pendengaran tuan rumah itu menangkap suara yang tidak wajar.

Wajah Lee Siang menjadi pucat. Jelas bahwa dia kelihatan gelisah sekali! Diam-diam Tio Sun pun merasa heran mengapa tuan rumah ini, adik dari Panglima Lee Cin yang gagah berani, juga seorang Panglima Kwi-i-wi, ternyata demikian kecil nyalinya!

Dan pada saat itu pula terdengarlah suara dari atas, suara yang jelas sekali akan tetapi perlahan, seolah-olah orangnya yang bicara itu berada dekat di dalam kamar itu! Seperti setan tidak kelihatan yang bicara!

Akan tetapi Tio Sun terkejut karena dia maklum bahwa orang itu telah menggunakan ilmu Coan-im-jip-bit, yaitu ilmu khikang, dengan tenaga sakti di dalam pusar sudah mendorong keluar suara hingga menjadi getaran yang mampu menempuh jarak jauh biar pun hanya diucapkan secara lirih!

"Kim Hong Liu-nio, lekaslah keluar dan jangan bersembunyi di balik perlindungan seorang panglima!"

Tio Sun mengerutkan alisnya. Dari suaranya saja sudah dapat diduga bahwa orang yang mengeluarkan suara itu adalah seorang yang tinggi hati, angkuh dan merasa tidak perlu menghormati seorang panglima istana! Bahkan terdapat nada mengejek di dalam suara itu terhadap Lee-ciangkun tanpa menyebut nama!

Akan tetapi dia diam saja, menanti perkembangan lebih lanjut, karena bukankah tugasnya hanya melerai dan menengahi, apa bila mungkin mendamaikan kedua fihak yang sedang bersengketa?

Mendadak terdengar Lee Siang berkata, suaranya cukup nyaring, tidak nampak lagi sisa ketegangan mau pun kegelisahannya yang tadi, "Apakah yang datang itu adalah Hwa-i Kaipangcu?" Suaranya nyaring dan sudah pasti terdengar oleh orang yang berada di atas.

Kembali terdengar suara lirih tadi, namun jelas sekali, penuh dengan kewibawaan, "Kami adalah ketua Hwa-i Kaipang, dan kami datang hanya untuk berurusan dengan seorang wanita yang bernama Kim Hong Liu-nio!"

Sebelum Tio Sun dapat memikirkan harus berkata apa, kembali Lee Siang sudah berkata nyaring. "Pangcu, harap kau turun saja. Kami sudah menanti di ruangan ini! Marilah kita bicara!" Suara panglima itu kini terdengar keras, tegas dan galak, bahkan seperti orang menantang.

Tio Sun kembali merasa heran dan ketika dia mengerling, dia melihat panglima itu sama sekali tidak kelihatan takut lagi! Diam-diam dia merasa geli juga. Tadi sebelum orangnya datang panglima itu nampaknya begitu ketakutan, akan tetapi sekarang setelah orangnya datang dan sudah memperlihatkan Ilmu Coan-im-jip-bit yang membayangkan kepandaian tinggi, panglima ini malah berkaok-kaok menantang! Sungguh tak tahu diri!

Akan tetapi dia tidak memperhatikan lagi kepada panglima itu sebab seluruh perhatiannya dicurahkan untuk menangkap gerakan yang kini terdengar. Angin menyambar dan seperti seekor burung saja, sesosok bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di dalam ruangan itu telah berdiri seorang kakek.

Aneh sekali kakek ini, terutama pakaiannya sebab dia memakai pakaian baru yang penuh tambal-tambalan belang-bonteng serta berkembang-kembang, sungguh menyolok sekali. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat butut. Pakaiannya yang penuh tambalan itu masih baru, yang memang sengaja ditambal-tambal, juga sepatunya baru. Tubuhnya pendek kecil, rambutnya digelung ke atas dan mukanya seperti muka tikus karena selain kecil sempit juga agak meruncing ke depan, di bagian mulutnya merupakan ujungnya, dan sepasang matanya yang kecil itu tiada hentinya bergerak-gerak.

Berbeda dengan tokoh-tokoh Hwa-i Kaipang lain yang menandai kedudukan atau tingkat mereka di dalam perkumpulan itu dengan banyaknya buntalan di punggungnya, kakek ini sama sekali tidak menggendong buntalan. Justru inilah tanda bahwa dia merupakan tokoh nomor satu atau ketua dari Hwa-i Kaipang! Seperti semua ketua Hwa-i Kaipang, setelah menjadi ketua maka dia meninggalkan namanya sendiri, dan hanya menggunakan nama Hwa-i Sin-kai (Pengemis Sakti Baju Kembang). Usia kakek ini sudah enam puluh tahun lebih.

Sepasang mata yang liar dan amat tajam sinarnya itu hanya menyapu saja dua orang laki-laki yang sedang berdiri di hadapannya, karena pandang mata itu lalu mencari-cari di sekeliling ruangan itu. Dan tanpa mempedulikan dua orang pria itu, bahkan seolah-olah menganggap mereka itu tidak ada, kakek ini kemudian berseru,

"Kim Hong Liu-nio, keluarlah untuk mengadu kepandaian!"

Sikap ini memang angkuh sekali, maka diam-diam Tio Sun merasa menyesal mengapa seorang ketua perkumpulan sebesar Hwa-i Kaipang bersikap demikian congkaknya. Lee Siang melangkah maju dengan sikap marah.

"Lo-kai (pengemis tua), betapa kurang ajarnya engkau! Rumah ini adalah rumahku, dan kau sama sekali tidak memandang mata kepada tuan rumah!"

Mendengar kata-kata ini, pengemis tua itu memandang kepada Lee Siang dan sepasang alisnya berkerut, sepasang matanya mengeluarkan sinar kilat. "Lee-ciangkun, kami tidak akan datang ke rumah ini kalau engkau tidak menyembunyikan Kim Hong Liu-nio di sini! Selamanya kami tak pernah ada urusan dengan seorang Panglima Kim-i-wi, maka harap lekas kau suruh wanita iblis itu keluar, dan kami akan menganggap bahwa antara kami dan ciangkun tidak pernah ada urusan apa-apa!"

Lee Siang menjadi marah mendengar ucapan yang terus terang itu. "Kalau aku melarang kalian pengemis-pengemis jahat Hwa-i Kaipang mengganggu Kim Hong Liu-nio yang telah menjadi penyelamat kaisar, engkau mau apa?"

Pengemis yang bertubuh pendek kecil itu membusungkan dadanya dan berkata, "Kami selamanya tidak pernah menentang kaisar mau pun pasukan Kim-i-wi, akan tetapi kalau ciangkun melindungi wanita itu, berarti ciangkun secara pribadi memusuhi kami dan tentu kami tidak akan memandang pangkat ciangkun lagi!"

"Jembel tua busuk, kau sungguh kurang ajar. Kau kira aku takut kepadamu?" Sesudah berkata demikian, Lee Siang sudah menerjang maju dengan pedangnya yang memang sudah dia persiapkan lebih dulu! Dengan dahsyat panglima yang bertubuh tinggi tegap ini menyerang dan memang tenaganya besar bukan main, sehingga pedangnya berdesing dan mengeluarkan sinar kilat.

"Ciangkun, jangan...!" Tio Sun berseru kaget.

Semua itu terjadi demikian cepatnya sehingga dia yang memang berwatak pendiam dan tidak pandai bicara, tidak sempat untuk melerai. Akan tetapi Lee Siang tak mempedulikan atau tidak mendengar cegahannya tadi karena panglima itu langsung menyerang dengan tusukan pedangnya ke arah pengemis tua itu!

"Lee-ciangkun, jangan mencampuri urusan kami!" Pengemis itu membentak dan dengan mudah saja dia menghindarkan tusukan itu dengan miringkan tubuhnya.

Akan tetapi kembali Lee Siang telah menggerakkan pedangnya yang luput menusuk tadi, disabetkan ke samping mengarah leher kakek itu! Dan pada saat itu juga kakinya sudah bergerak menendang ke arah pusar lawan.

"Hemm, engkau terlalu sombong dan perlu diberi hajaran!" pengemis tua itu membentak, tongkatnya bergerak menangkis dan kakinya juga diangkat memapaki tendangan itu.

"Tranggg...! Dukkk...!"

Tubuh Lee Siang terguling dan pedangnya terlepas dari pegangan. Dia mengaduh dan terpincang karena kakinya yang digares oleh kaki kecil pengemis itu terasa nyeri seperti dipukul dengan linggis besi saja! Akan tetapi, Lee Siang menjadi semakin marah dan dia sudah menubruk ke depan, menyerang dengan kedua tangan kosong secara nekat!

Tio Sun maklum bahwa dia harus turun tangan, karena kalau tidak, panglima itu dapat terancam bahaya. Kakek pengemis itu lihai bukan main, dan juga ganas. Ketika Panglima Lee Siang menyerbu, kakek itu telah menggerakkan tongkatnya, maksudnya hanya akan menotok roboh panglima itu. Akan tetapi Tio Sun mengira lain, menyangka bahwa kakek itu akan menurunkan tangan kejam, karena itu dia langsung menerjang ke depan sambil menggunakan tangan untuk mencengkeram tongkat itu!

"Aihh...!" Hwa-i Sin-kai terkejut sekali menyaksikan gerakan Tio Sun, apa lagi dari tangan pendekar ini menyambar hawa yang sangat kuat. Kakek pengemis ini menyangka bahwa tentu orang ini adalah pengawal pribadi Lee-ciangkun, karena itu dia pun semakin marah. Kiranya panglima ini sudah bersiap untuk menghalanginya menantang Kim Hong Liu-nio dan menerimanya dengan serangan-serangan.

Dia sudah marah kepada Lee Siang ketika dilapori anak buahnya betapa Lee Siang telah menyelamatkan Kim Hong Liu-nio di luar pintu gerbang dan kini, sesudah melihat sendiri betapa panglima itu menyerangnya, bahkan dibantu seorang pengawal yang sangat lihai, kemarahannya memuncak dan tanpa bertanya lagi dia telah menggerakkan tongkat yang akan dicengkeram itu, langsung menariknya kembali sehingga tidak jadi menyerang Lee Siang melainkan menotok ke arah leher Tio Sun!

"Ahhh...!" Tio Sun terkejut sekali dan juga marah.

Totokan ke arah lehernya itu merupakan serangan maut yang mengarah nyawa! Betapa ganas dan kejamnya kakek pengemis ini! Dan memang Hwa-i Sin-kai berniat membunuh ‘pengawal’ itu walau pun dia masih berpikir dua kali untuk melukai Panglima Lee secara parah.

Hwa-i Sin-kai juga terkejut sekali saat melihat betapa pengawal itu menangkis tongkatnya dengan tangan kosong dan berhasil membuat tongkatnya menyeleweng dan luput! Inilah hebat, pikirnya! Jarang ada orang sanggup menangkis tongkatnya dengan tangan kosong saja! Di lain fihak, Tio Sun juga terkejut karena tangkisannya tadi membuat dia terdorong dan lengannya terasa nyeri bukan main, tanda bahwa kakek itu memang amat lihai.

"Bagus! Pengawal busuk, kau anjing penjilat pembesar, harus mampus!" bentak kakek itu sambil menggerakkan tongkatnya.

"Nanti dulu, pangcu! Aku tidak bermaksud memusuhimu..."

Akan tetapi dari samping, Lee Siang sudah menerjang lagi dengan marah, "Hantam dia, kakek jembel ini memang jahat!"

Melihat Lee Siang kembali terjungkal oleh tendangan kaki pengemis itu, Tio Sun menjadi marah.

"Tarr-tarrr-tarrrr…!"

Suara ledakan ini adalah ujung senjata dari pendekar ini, yaitu sabuk yang digerakkan seperti sebatang pecut dan dimainkan seperti orang memainkan joan-pian, dan tahu-tahu ujung cambuk ini sudah menotok ke arah tengkuk kakek pengemis itu.

"Bagus!" kakek itu berseru kaget dan juga kagum.

Dia memang tahu bahwa di kota raja banyak pengawal pandai, akan tetapi tidak dikiranya dia akan bertemu dengan seorang pengawal sepandai ini di gedung Panglima Lee Siang. Tongkatnya segera diputar menyambut, dan dalam belasan jurus saja Tio Sun terdesak hebat!

Kiranya kakek yang menjadi ketua Hwa-i Kaipang itu memang luar biasa lihainya. Ilmu tongkatnya yang disebut Ngo-lian Pang-hoat (Ilmu Tongkat Lima Teratai) sudah mencapai puncaknya sehingga tongkat itu lenyap bentuknya dan berubah merupakan lima gulungan sinar yang makin lama makin lebar, dan dari sinar gulungan itu kadang-kadang mencuat ujung tongkat yang menotok ke arah jalan darah yang berbahaya!

"Hebat...!" Tio Sun berseru kaget setelah baru saja dia terbebas dari totokan yang amat berbahaya. "Pangcu, tahan dulu..." Dia melompat ke belakang dan mencabut pedangnya. "Aku tidak bermaksud memusuhimu, aku hanya datang untuk menjadi orang penengah!"

"Pengawal busuk, keluarkan semua kepandaianmu kalau memang kau lihai!" kata kakek pengemis itu yang salah duga ketika melihat Tio Sun mencabut pedang pula di samping sabuknya yang amat lihai, padahal pendekar itu mencabut pedang hanya untuk menjaga diri setelah terdesak hebat oleh tongkat yang amat lihai itu.

Tio Sun menjadi marah juga, segera menggerakkan pedang menusuk setelah sabuknya menangkis dan berusaha melibat ujung tongkat.

"Prakkkk!"

Tio Sun terkejut bukan main karena kakek itu mempergunakan tangan kiri yang telanjang untuk menangkis pedangnya! Memang tadi kakek itu belum mengeluarkan ilmunya yang paling hebat, yakni Ta-houw Sin-ciang-hoat (Tangan Sakti Pemukul Harimau), dan baru sekarang kakek itu mempergunakan tangan saktinya untuk menangkis pedang dan terus memukul dan dari pukulannya itu menyambar angin dingin yang dahsyat.

Tio Sun mengeluarkan suara kaget, mengeluh dan terjengkang roboh dan tidak bergerak lagi! Kakek pengemis itu terkejut bukan kepalang. Dia tadi telah menduga bahwa Tio Sun tentu bukanlah pengawal, melainkan seorang sahabat dari panglima itu, maka dia hendak mencoba kepandaiannya saja lalu merobohkan tanpa membunuhnya. Akan tetapi kenapa orang gagah itu kini roboh terjengkang dan tidak berkutik lagi?

Dia memandang wajah orang itu dan makin terkejut mendapat kenyataan bahwa orang gagah itu benar-benar telah tewas! Padahal dia tahu benar bahwa pukulannya Ta-houw Sin-ciang-hoat tadi belum mengenai tubuh lawannya, hanya menangkis pedang saja!

"Tangkap pembunuh! Tangkap penjahat!" Tiba-tiba Lee Siang berteriak-teriak.

Maka muncullah belasan orang pengawal dari segenap penjuru gedung itu dan terutama sekali, secara tiba-tiba ada sinar merah panjang menyambar dan dalam sekali serangan saja ujung sinar merah itu telah melakukan totokan bertubi-tubi sampai tujuh kali ke arah jalan darah maut di sebelah depan tubuh Hwa-i Sin-kai!

Kakek itu kaget bukan main dan dia pun terdesak mundur, terpaksa memutar tongkatnya dan sesudah menangkis ketujuh totokan bertubi-tubi yang sangat hebat itu, bahkan yang membuat tangannya tergetar keras, dia memandang dan melihat seorang wanita cantik jelita telah berdiri di depannya sambil memegang sehelai sabuk sutera merah!

"Kau Kim Hong Liu-nio!" bentak kakek itu.

Wanita cantik itu tersenyum, manis sekali. "Dan engkau tua bangka tak tahu diri, datang mengantarkan nyawa!" bentaknya halus dan kembali dia menerjang, kini dengan kedua tangan kosong sambil mengalungkan sabuknya di lehernya, seperti seorang penari yang sedang beraksi melakukan tarian yang amat indah.

"Bedebah kau!" Hwa-i Sin-kai membentak dan tongkatnya menyambar.

"Cring-cring-cringgg...!"

Tiga kali tongkat itu bertemu dengan lengan halus yang memakai gelang, maka kakek pengemis itu semakin terkejut merasa betapa tangkisan lengan halus itu membuat kedua tangannya sampai kesemutan, tanda bahwa wanita cantik ini betul-betul amat lihai, cocok dengan laporan para anak buahnya. Pantas semua anak buahnya tak ada yang sanggup menandingi wanita ini!

"Menyerahlah kau, pembunuh kejam!" Lee Siang membentak. "Engkau telah membunuh Tio Sun taihiap, putera dari mendiang Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan. Tangkap dia!"

Bukan main kagetnya Hwa-i Sin-kai mendengar disebutnya nama itu. Dengan terbelalak dia memandang ke arah tubuh yang rebah terlentang tak bergerak dari Tio Sun itu, dan karena terkejut ini, hampir saja lambungnya kena dicengkeram oleh tangan yang halus dari wanita itu. Dia cepat meloncat ke belakang sambil mengelebatkan tongkatnya, dan dengan jantung tegang dia berkata, "Ahh, tidak...!"

Melihat semua pengawal mulai menerjangnya, dia maklum bahwa apa bila dia melawan, biar pun belum tentu dia kalah dan meski pun di situ terdapat wanita yang amat lihai itu, akan tetapi tentulah dia akan dicap sebagai pemberontak yang berani melawan pasukan pengawal! Maka sambil mengeluh panjang kakek itu lalu meloncat keluar dari ruangan itu, seperti terbang saja melalui atas kepala para pengawal yang mengepungnya, kemudian berloncatan ke atas genteng dan melarikan diri dari tempat itu.

Lee Siang memerintahkan orang-orangnya mengejar, namun sia-sia saja karena gerakan pengemis tua itu sangat cepat, sebentar saja sudah lenyap dari pandang mata. Dia lalu memeriksa Tio Sun yang ternyata sudah tewas! Maka dia lalu menyuruh para pengawal mengantarkan mayat itu pulang ke rumah keluarga Tio, sedangkan dia sendiri mengikuti dari belakang dengan wajah muram.

Dapat dibayangkan betapa terkejut rasa hati Souw Kwi Eng ketika melihat sebuah kereta dikawal oleh sepasukan pengawal berhenti di depan rumahnya. Apa lagi ketika melihat tamunya siang tadi, yang oleh suaminya dikatakan adalah Panglima Kim-i-wi Lee Siang, tiba-tiba saja memasuki rumahnya dan menjura di depannya sampai dalam sekali, penuh dengan tanda duka.

“Tio-hujin…” Suara Lee Siang terhenti oleh isak tertahan. “Saya datang dengan membawa berita duka… Tio-taihiap…”

“Ada apa? Apa yang terjadi? Mana suamiku?” Tiba-tiba saja Souw Kwi Eng bertanya dan matanya yang agak kebiruan itu memandang terbelalak, mencari-cari.

“Dia… dia… telah mati terbunuh orang… jenazahnya kami bawa dalam kereta…”

Terdengar jerit mengerikan dan nyonya muda itu terhuyung, lalu berlari menuju ke kereta, seperti orang gila dia merenggut tirai kereta hingga terbuka dan melihat jenazah suaminya menggeletak tak bergerak di dalam kereta itu. Souw Kwi Eng kembali menjerit, jerit yang melengking nyaring menyayat hati. Dia menubruk jenazah itu, memeluki suaminya sambil menangis tersedu-sedu.

Para pelayan berlarian dengan bingung dan ada yang sudah ikut menangis. Dari dalam rumah keluar Tio Pek Lian berlari-lari karena anak ini mendengar jerii ibunya yang sangat mengejutkan itu. Ketika dia melihat ibunya menangis di kereta yang berhenti di halaman rumah, dia berlari menghampiri ibunya, merangkul ibunya dari belakang, menarik-narik bajunya dan bertanya dengan suara ketakutan.

“Ibu, ada apakah ibu…? Kenapa ibu menangis?” Dia masih belum dapat melihat jenazah ayahnya karena pintu kereta itu terhalang oleh tubuh ibunya.

Mendengar suara anaknya, Souw Kwi Eng tersentak dan tangisnya tertahan, lalu perlahan dia memutar tubuh lantas memandang anaknya melalui genangan air mata, kemudian dia menubruk anaknya dan merangkulnya.

“Pek Lian, anakku… ahh, ayahmu… ayahmu…!”

Dan kalau saja dia tidak merasa bahwa ada anaknya di dalam pelukannya, tentu nyonya muda ini sudah roboh pingsan. Semua sudah kelihatan gelap dan berputar, cepat-cepat dia memejamkan mata dan menahan napas, mengerahkan kekuatan batinnya sehingga semuanya menjadi terang kembali.

“Ibu, ada apakah…? Ayah kenapa…?” Lapat-lapat terdengar suara anaknya.

Souw Kwi Eng membuka matanya. “Ayahmu…? Ahhh, ayahmu… telah meninggal dunia, anakku…” Dia terisak, lalu membalik, memasuki kereta.

Pada saat itu Lee Siang dan para pengawal mendekati kereta dan hendak mengangkat jenazah itu. Akan tetapi Souw Kwi Eng melarangnya.

“Biarkan aku yang mengangkatnya sendiri…!”

Tenang sekali wanita itu. Air matanya masih bercucuran, dia pun masih terisak-isak, akan tetapi dengan tenang dia lalu mengangkat tubuh suaminya yang masih hangat itu, segera dipondongnya, lalu dia melangkah perlahan-lahan ke dalam rumah, diikuti oleh Pek Lian yang memandang pucat dan mata terbelalak. Anak ini belum mengerti benar, bagaimana kematian itu dan mengapa ayahnya mati.

Semua orang memandang dengan sinar mata diliputi keharuan dan kekaguman, jantung mereka bagai ditusuk-tusuk saat menyaksikan nyonya muda yang cantik itu memondong jenazah suaminya, melangkah satu per satu menuju ke dalam rumah dengan sikap yang penuh khidmat. Semua orang menundukkan muka ketika jenazah yang dipondongnya itu lewat di depan mereka.

Kwi Eng meletakkan jenazah itu di atas pembaringan di kamar suaminya, kemudian dia menjatuhkan diri berlutut di dekat pembaringan, memeriksa suaminya. Tidak ada luka di tubuh suaminya, akan tetapi jelas bahwa suaminya sudah tewas. Maka dia lalu memeluk dan menangis lagi, tangis mengguguk dan akhirnya nyonya muda ini tak dapat menahan dirinya lalu terguling roboh di atas lantai.

Kwi Eng siuman mendengar tangis anaknya yang memanggil-manggil dirinya. Dia bangkit duduk dan ternyata dia telah diangkat oleh para pelayan di atas pembaringan. Dan ketika dia duduk, dia melihat jenazah suaminya rebah di atas pembaringan yang lain, karena itu kembali air matanya kembali bercucuran.

"Ibu...!"

"Pek Lian...!" Dia merangkul anaknya dan mendekap kepala anaknya.

"Tio-hujin... kami sungguh menyesal sekali..."

Kwi Eng mengangkat mukanya memandang melalui air matanya. Lalu dia memondong puterinya, turun dari pembaringan dan memandang kepada Panglima Lee Siang yang berdiri dengan muka menunduk. Sampai beberapa lama Kwi Eng memandang panglima itu, air matanya turun perlahan ke atas sepasang pipinya yang pucat dan suasana dalam kamar itu hening, kecuali suara isak tertahan dari para pelayan yang semua menangis. Kemudian terdengarlah suara nyonya muda itu, suaranya menggetar dan parau, kadang-kadang tertahan isak.

"Sekarang katakan, siapa yang membunuh suamiku? Siapa...?" Pertanyaan itu, terutama kata terakhir itu mengandung ancaman yang hebat bukan main, mengandung dendam dan kemarahan yang terasa oleh semua orang sehingga semua yang mendengarnya merasa bulu tengkuk mereka maremang.

Dengan muka pucat Lee Siang yang masih menunduk itu kemudian menjawab, "Yang membunuhnya adalah ketua dari Hwa-i Kaipang."

"Ketua Hwa-i Kaipang…?" Kwi Eng seakan-akan hendak menanamkan nama ini di dalam benaknya, kemudian dia bertanya lagi, perlahan. "Apa yang terjadi? Mengapa suamiku sampai terbunuh olehnya?" Lalu dia pun teringat akan cerita suaminya pagi tadi, maka dia menambahkan, "Bukankah suamiku ke sana hanya untuk menjadi orang penengah?"

Lee Siang menarik napas panjang. "Sesungguhnya memang begitulah. Akan tetapi, ketua Hwa-i Kaipang itu mendesaknya, mereka lalu bertanding, kami telah berusaha membantu dengan pasukan pengawal, akan tetapi terlambat. Tio-taihiap... sudah roboh dan tewas, dan... sungguh menyesal sekali kami tidak mampu mencegahnya..."

"Dan ketua Hwa-i Kaipang itu? Ke mana dia...?"

"Dia melarikan diri, kami tidak mampu melawannya, tidak mampu menangkapnya."

Souw Kwi Eng menghampiri pembaringan suaminya, lalu berlutut dan menyentuh lengan suaminya. "Tenanglah, aku bersumpah untuk membalas kematianmu!" Lalu dia kembali merangkul dan menangis lagi.

Pek Lian juga menghampiri, dengan agak takut-takut memandang pada jenazah ayahnya, kemudian sesudah memandang wajah ayahnya yang biasanya amat mencintanya itu, dia pun menubruk ayahnya dan berteriak-teriak, "Ayahhhh... ayaaaahhh..." Dan menangislah anak itu bersamanya.

Setelah mengucapkan keprihatinannya, maafnya dan hiburannya yang sama sekali tidak ada artinya, Panglima Lee Siang lalu berpamit dan meninggalkan rumah itu bersama para pengawalnya, naik kereta yang tadi dipakai untuk mengangkut jenazah Tio Sun.

Semalam itu Souw Kwi Eng dan anaknya menangisi jenazah suaminya, dan para pelayan serta pegawal sibuk mengurus keperluan sembahyang, peti mati dan sebagainya. Juga ada yang cepat-cepat malam itu juga pergi ke kota Yen-tai untuk memberi kabar kepada Souw Kwi Beng, kakak kembar dari nyonya Tio.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Souw Kwi Beng sudah berangkat meninggalkan rumahnya dengan hati penuh kedukaan ketika dia mendengar berita kematian iparnya itu. Dia membalapkan kudanya dan lewat tengah hari sampailah dia di kota raja dan langsung menuju ke rumah adiknya. Kakak beradik kembar ini berangkulan sambil menangis.

Sedapat mungkin Kwi Beng menghibur adiknya dan keduanya lalu berlutut di depan peti mati Tio Sun. Dia mendengarkan cerita adik kembarnya tentang kematian Tio Sun, sambil memangku keponakannya, Pek Lian yang sudah tidak menangis lagi.

Memang hanya anak-anak saja yang mempunyai watak yang wajar, tidak terus menerus dicengkeram oleh suka mau pun duka. Suka dan duka bagi anak-anak hanya merupakan kejadian selewat saja, tidak seperti kita orang-orang dewasa yang paling suka menyimpan suka dan duka di dalam batin sampai berlarut-larut.

Pek Lian hanya mulai menangis lagi kalau melihat ibunya begitu berduka, melihat ibunya menangis. Akan tetapi dia belum begitu merasa kehilangan atas kematian ayahnya, dan memang batin anak-anak lebih bebas dari pada batin orang dewasa yang sudah terikat oleh berbagai hal dan benda sehingga kalau sewaktu-waktu ikatan itu dicabut lepas, akan mendatangkan luka parah di dalam batin.

"Aku akan membantumu, Eng-moi. Aku akan membantumu menghadapi jambel-jembel busuk yang kejam itu!" berkali-kali Kwi Beng menghibur adiknya di depan peti mati adik iparnya…..

********************

Perkumpulan Hwa-i Kaipang sebenarnya tidak mempunyai sarang tertentu karena para anggotanya berkeliaran dan tersebar di seluruh daerah kota raja dan di seluruh Propinsi Ho-pak. Akan tetapi karena ketuanya yang sekarang, yaitu Hwa-i Sin-kai, memilih sebuah kuil tua di dalam hutan kecil di dekat pintu gerbang sebelah utara kota raja, maka tempat itu boleh dibilang menjadi sarang dari Hwa-i Kaipang.

Hal ini adalah karena para tokoh biasanya berkumpul di tempat tinggal ketuanya, maka hampir setiap hari kuil tua yang dijadikan tempat tinggal Hwa-i Sin-kai itu ramai dikunjungi oleh tokoh-tokoh dari perkumpulan itu, selain untuk melayani ketua mereka juga untuk membawa laporan-laporan mengenai perkumpulan mereka yang memiliki banyak anggota yang tersebar luas itu. Tentu saja yang berdatangan ke tempat tinggal ketuanya hanyalah tokoh-tokoh kaipang yang bertingkat tinggi, yaitu yang bertingkat lima ke atas.

Setelah terjadi peristiwa permusuhan antara mereka dan Kim Hong Liu-nio yang menjadi berkepanjangan, bahkan yang merambat kepada seorang tokoh Panglima Kim-i-wi, maka para tokoh Hwa-i Kaipang menjadi khawatir akan serbuan-serbuan, maka mereka mulai melakukan penjagaan serta mempergunakan kuil tua di dalam hutan itu sebagai tempat berkumpul dan bertahan.

Hwa-i Sin-kai merasa menyesal dan juga terkejut bukan main setelah terjadinya peristiwa kematian Tio Sun di dalam gedung Panglima Lee Siang itu. Dia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa Tio Sun yang lihai itu adalah putera mendiang Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, seorang panglima jagoan istana yang juga merupakan seorang tokoh besar di kalangan kang-ouw. Kalau dia tahu, sudah pasti dia tidak akan melawan orang muda itu sebagai musuh.

Dia menyesal mengapa dia tidak lebih dahulu bicara dengan orang muda itu, dan sudah menuruti kemarahan yang ditimbulkan oleh Panglima Lee Siang. Namun dia juga merasa heran mengapa orang muda yang segagah itu demikian mudah tewas, hanya setelah dia mengeluarkan pukulan Ta-houw Sin-ciang, padahal menurut perasaannya, pukulannya itu belum mengenai tubuh lawan!

Bagaimana pun juga, ketua Hwa-i Kaipang ini tidak merasa bersalah! Bila mana putera Ban-kin-kwi itu sampai tewas dalam pertandingan melawan dia, maka hal itu merupakan kesalahannya sendiri. Mengapa pula pendekar muda itu melindungi Lee Siang, panglima yang telah mencampuri urusan pribadi antara Hwa-i Kaipang dan iblis betina Kim Hong Liu-nio?

Sebagai ketua Hwa-i Kaipang dia hanya memiliki permusuhan pribadi dengan Kim Hong Liu-nio yang selain telah membunuh seorang anggota pengemis juga telah menghina dan melukai beberapa orang tokoh Hwa-i Kaipang. Maka dia tidak merasa salah kalau sampai dia bentrok dengan orang-orang yang membela atau melindungi iblis betina itu, seperti halnya Lee Siang dan Tio Sun!

Akan tetapi beberapa hari semenjak terjadi peristiwa di rumah gedung Panglima Kim-i-wi itu, tidak terjadi apa-apa. Tidak ada pasukan Kim-i-wi yang menyerbu ke dalam hutan itu seperti yang dikhawatirkan oleh Hwa-i Sin-kai. Yang amat dikhawatirkan hanyalah campur tangan pemerintah, karena tentu saja kalau harus melawan pasukan pemerintah, Hwa-i Kaipang tidak akan berdaya banyak, dan adalah berbahaya kalau sampai Hwa-i Kaipang dianggap sebagai pemberontak oleh pemerintah. Juga mata-mata yang disebar di dalam kota raja oleh Hwa-i Kaipang telah memberi laporan bahwa tidak terjadi gerakan apa-apa di fihak pasukan Kim-i-wi. Hal ini melegakan hati ketua Hwa-i Kaipang.

Akan tetapi suatu pagi, dua orang laki-laki dan wanita muda, yang mengenakan pakaian serba putih, pakaian orang yang sedang berkabung, berjalan dengan tenang dan sedikit pun tidak mengeluarkan suara, memasuki hutan itu. Beberapa orang tokoh Hwa-i Kaipang yang diam-diam melakukan penjagaan, lalu mengikuti gerak-gerik dua orang ini dengan penuh perhatian.

Keadaan dua orang laki-laki dan wanita itu memang amat menarik hati dan sekaligus juga mencurigakan. Hanya pakaian serta gerak-gerik mereka saja yang membedakan satu sama lain, yang membuat orang dapat membedakan bahwa mereka adalah seorang pria dan seorang wanita. Akan tetapi kecuali perbedaan jenis kelamin ini, wajah kedua orang itu benar-benar mirip satu sama lain, bahkan serupa! Wajah yang amat tampan dan amat cantik. Dan rambut mereka yang agak kekuning-kuningan, mata mereka yang berwarna agak kebiruan!

Dua orang ini bukan lain adalah Souw Kwi Beng atau Ricardo de Gama bersama adik kembarnya, Souw Kwi Eng atau Maria de Gama. Setelah mengurus pemakaman jenazah Tio Sun sampai beres, Kwi Eng lalu menitipkan puterinya pada para pelayan, kemudian dia mengajak kakak kembarnya untuk mencari sarang Hwa-i Kaipang!

Tidak sulit bagi mereka untuk menemukan sarang itu di dalam hutan di luar pintu gerbang utara dari kota raja, dan pada pagi hari itu, dengan hati penuh kegeraman kakak beradik kembar ini menuju ke hutan itu dengan hati bulat untuk membalas dendam atas kematian Tio Sun kepada ketua Hwa-i Kaipang!

Dengan cepat para tokoh pengemis itu memberi laporan kepada ketua mereka mengenai kedatangan dua orang muda itu, sedangkan Lo-thian Sin-kai, yaitu kakek pengemis kurus tokoh tingkat dua dari Hwa-i Kaipang, cepat menghadang di tengah jalan sebelum kedua orang muda ini sampai di kuil tua. Kakek ini melintangkan tongkatnya di depan tubuhnya, memandang tajam dan segera berkata,

"Maafkan, dua orang muda yang gagah perkasa. Kami dari Hwa-i Kaipang minta dengan hormat agar ji-wi sudi mengambil jalan lain kalau hendak melewati hutan ini."

Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Eng saling pandang. Melihat buntalan di punggung kakek pengemis itu, Kwi Beng tahu bahwa dia sedang berhadapan dengan tokoh Hwa-i Kaipang tingkat kedua. Maka Kwi Beng lalu mewakili adiknya menjawab,

"Kami berdua memang hendak memasuki sarang Hwa-i Kaipang, mengapa kami harus mengambil jalan lain?"

Mendengar jawaban ini, Lo-thian Sin-kai mengerutkan alisnya dan tiba-tiba saja tempat itu penuh dengan pengemis-pengemis dari tingkat lima hingga tingkat tiga, ada sepuluh orang banyaknya! Namun, dua orang muda itu tetap tenang saja, biar pun setiap urat syaraf di tubuh mereka sudah menegang dan siap untuk menghadapi segala kemungkinan.

"Ah, begitukah?" Tiba-tiba suara kakek kurus itu berubah dan sinar matanya memandang penuh selidik.

Dia melihat dua orang laki-laki dan wanita seperti kembar itu memang telah menunjukkan sikap mencurigakan, apa lagi melihat betapa keduanya telah siap dengan senjata pedang di punggung, dan kantong hui-to, yaitu pisau-pisau kecil yang digunakan sebagai senjata rahasia, tergantung di pinggangnya masing-masing. Pendeknya, dua orang muda itu jelas memperlihatkan kesiapan orang yang hendak bertarung! Dan pakaian mereka pun adalah pakaian orang berkabung!

"Siapakah kalian berdua? Dan ada keperluan apakah sehingga kalian memasuki sarang Hwa-i Kaipang?"

Souw Kwi Beng memandang kepada kakek pengemis kurus itu. "Kami melihat bahwa engkau merupakan seorang tokoh tingkat dua dari Hwa-i Kaipang. Ketahuilah bahwa kami datang bukanlah untuk berurusan dengan Hwa-i Kaipang, melainkan dengan pangcu dari perkumpulan kalian. Maka bawalah kami bertemu dengan dia, karena urusan kami adalah urusan pribadi dengan Hwa-i Kaipangcu!"

Lo-thian Sin-kai memandang tajam sambil menduga-duga siapa gerangan adanya kedua orang kembar ini!

"Siapakah kalian berdua? Dan apa keperluan kalian mencari pangcu kami?"

"Tidak akan kuberi tahukan kepada siapa pun, kecuali ketua Hwa-i Kaipang si jahanam keparat!" Mendadak Kwi Eng yang sudah tidak sabar lagi itu membentak dengan marah sekali.

"Ahh...!" Lo-thian Sin-kai memandang kepada nyonya muda itu dan kecurigaannya timbul. "Apakah toanio mempunyai hubungan dengan orang she Tio...?"

"Jembel busuk! Orang she Tio yang dibunuh ketua kalian itu adalah suamiku, mengerti? Nah, ketuamu hutang nyawa kepadaku, dia harus membayarnya sekarang juga!" Sambil berkata demikian, Kwi Eng sudah mencabut pedangnya dengan gerakan cepat sehingga pedang itu mengeluarkan cahaya berkilauan. "Dan kalau pangcu kalian terlalu pengecut untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya, aku akan mencarinya sampai dapat!"

"Dan harap kalian para tokoh Hwa-i Kaipang tidak mencampuri karena urusan ini adalah urusan pribadi!" sambung Kwi Beng yang sudah mencabut pedangnya.

"Orang-orang muda yang tinggi hati! Aku telah berada di sini!" Tiba-tiba terdengar suara halus.

Dari jauh muncullah seorang kakek pendek kurus yang mukanya seperti tikus, memegang sebatang tongkat dan kakek ini berjalan seenaknya ke tempat itu. Ternyata sebelum orangnya tiba, suaranya sudah terdengar dengan halus dan jelas. Itulah dia Hwa-i Sin-kai, pangcu dari Hwa-i Kaipang sendiri.

Kwi Eng dan Kwi Beng memandang kepada kakek yang baru datang ini. Mereka melihat betapa semua tokoh Hwa-i Kaipang membungkuk dengan hormat lalu mundur, memberi ruang kepada kakek kecil pendek yang baru datang. maka tahulah Kwi Eng bahwa kakek ini adalah Hwa-i Kaipangcu, musuh besarnya yang sudah membunuh suaminya. Tanpa terasa lagi dua titik air mata berlinang keluar dari sepasang matanya yang memandang dengan penuh dendam dan kebencian.

"Engkaukah orangnya yang telah membunuh suamiku yang bernama Tio Sun?" Kwi Eng bertanya, suaranya menggetar dan sepasang matanya berlinang air mata.

Kakek itu menarik napas panjang. Dia menyesal bukan main bahwa urusan kaipang dengan iblis betina itu ternyata telah merembet sampai jauh. Dari sikap kedua orang ini saja dia sudah tahu bahwa kedua orang ini adalah pendekar-pendekar yang gagah, dan tentu datang terdorong oleh api dendam yang hebat dan hendak mengadu nyawa dengan dia!

"Apakah kami berhadapan dengan Tio-hujin?" tanyanya dengan suara halus.

"Benar, aku adalah isteri dari Tio Sun yang telah kau bunuh tanpa dosa itu. Sekarang kau datang hendak menebus kematian suamiku, kau bersiaplah!"

"Dan orang muda ini siapa?"

"Aku adalah kakak kembar dari adikku ini, dan aku pun menyediakan selembar nyawaku untuk membalas dendam ini!"

"Ahh, sungguh aku orang tua merasa menyesal sekali. Akan tetapi tahukah kalian berdua mengapa Tio-taihiap itu sampai tewas? Karena dia membantu Panglima Lee Siang yang di lain fihak membantu iblis betina Kim Hong Liu-nio, musuh pribadi kami. Dan sebetulnya aku sendiri tidak mengerti bagaimana Tio-taihiap bisa tewas, padahal pukulan sakti yang kupergunakan belum juga menyentuh tubuhnya!"

Ucapan itu keluar dari hati yang sungguh-sungguh, akan tetapi bagi Kwi Eng dan Kwi Beng terdengar seperti ejekan atas kelemahan mendiang Tio Sun! Memang apa bila hati sudah diracuni oleh dendam, adanya hanya benci dan kalau sudah benci, apa pun yang diucapkan atau dibuatnya oleh orang yang dibencinya tentu saja selalu salah!

"Keparat keji, tua bangka sombong!" Kwi Eng sudah menerjang ke depan dan pedangnya menyerang dengan cepat dan kuat, disusul oleh kakak kembarnya yang juga langsung menyerang dengan pedangnya.

"Ahh, terpaksa aku melayani kalian orang-orang muda yang tidak mau berpikir panjang!" ketua Hwa-i Kaipang itu berkata dengan penuh sesal sambil menggerakkan tongkatnya menangkis dan balas menyerang.

Dia sudah kesalahan tangan membunuh Tio Sun dalam sebuah pertandingan yang jujur, dan kalau sekarang dia sekalian membunuh isteri pendekar itu serta kakak kembarnya dalam pertandingan yang jujur, bahkan dia membiarkan dirinya dikeroyok, maka dia tidak khawatir akan mendapat teguran dan penyesalan dari tokoh-tokoh kang-ouw. Dia dipaksa oleh mereka ini, bukan dia yang mencari permusuhan! Apa boleh buat.....!
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar